Minggu, 30 Juli 2017

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 7



PART 7 : PERMINTAAN RIZA

Begitu pun seminggu setelahnya dimana Riza dan Ana giliran menjalani sidang di hari yang sama, di waktu yang berurutan karena memang mereka dibimbing oleh dosen yang sama. Hari itu, Nisa sengaja meluangkan waktunya untuk mendatangi fakultas ekonomi dengan membawa dua batang coklat. Sebenarnya Nisa tidak terbiasa memberi coklat seperti itu, terlebih ke Riza, tapi dia ingin menghargai kebiasaan di lingkungan Riza dan Ana itu. Sebenarnya Nisa pun awalnya ragu untuk datang dan menunggui Riza sidang, ia merasa hal itu sedikit berlebihan sebagai perempuan apalagi dia beda fakultas dan sendirian. Namun, pesan dari Riza sehari sebelumnya berhasil membuat Nisa memutuskan datang. Bagaimana tidak, Riza memberinya dua pilihan dan permintaan setengah 'memaksa', yaitu "Nisa boleh tidak datang tapi artinya dia menerima lamaran Riza untuk menikah dengannya ATAU Nisa datang ke sidangnya". Ya, laki-laki itu semakin berani mendesak jawaban 'ya' dari Nisa, membuat Nisa semakin sulit melakukan penolakan karena kegigihannya. Untungnya, jadwal sidang Riza bertepatan setelah sidang Ana selesai sehingga Nisa merasa punya alasan yang lebih wajar untuk dirinya datang kesana. Meski demikian, sebait doa untuk kesuksesan dan kelancaran urusan Riza tak pernah Nisa lupa untuk ia selipkan diantara doa-doa rutinnya. Terlepas dari jawaban 'tidak'nya, perasaan gadis itu masih sama untuk Riza.
Pagi itu, Nisa sengaja berangkat bersama Ana dari tempat kos mereka menuju tempat sidang Ana. Nisa ingin menemani Ana dan memberikan dukungan moral untuk teman satu kosannya itu. Waktu menunjukkan pukul 08.25 saat Ana memasuki ruang sidang skripsinya, hanya ada dua orang teman dekat Ana yang ikut menunggui di depan ruang sidang selain Nisa. Laki-laki luar biasanya itu belum datang, ya mungkin karena memang jadwal sidang Riza masih cukup lama, jam 10.30. Nisa membaca lagi layar chat-nya dengan Riza pagi itu selepas subuh sambil mengisi waktunya.
"Assalaamualaikum, Riza... sudah bangun? Akhirnya hari sidang skripsi kamu datang juga. Semangat ya. Bismillaah pasti bisa.. Fighting aka berjuang Riza! :)".
"Waalaikumsalam warrahmatullaahi wabarakaatuh. Alhamdulillah sudah bangun dan sedang latihan presentasi di depan cermin he he. Makasih banyak ya, Nisa... iya harus semangat! Bismillaah. Deg deg-an juga ngebayangin penguji, soalnya terkenal killer sih he he. Tolong tetap bantu doain aku, ya calon teman hidupku... :D"
"Hmmm calon teman hidup? :P :P :P. Iya, aku bantu doa semoga sidang kamu lancar dan dimudahkan insyaa Allah. Semoga penguji 'killer'-nya juga dilunakkan hatinya untuk tidak membantai kamu di sidang he he. Kalau deg-deg an, perbanyak dzikkir dan shalawat aja, Riz biar hati kamu jadi tenang (jangan malah mikirin aku... ntar malah galau lagi he he he :P). Aku percaya kamu sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk hari ini, Riza. Insyaa Allah hasil tidak akan menghianati usaha yang sungguh-sungguh. Good luck :)" .
":D :D :D. Iya, makasih. Semangaaaaat! Aku tunggu kedatangan kamu di ruang sidang ya, Nis. Hari ini kurang lengkap tanpa kehadiranmu he he :D".
Nisa tertawa sendiri membaca kalimat Riza itu. Ada kalanya Nisa merasa Riza kadang berlebihan menggodanya. Terlebih beberapa hari terakhir ini, laki-laki itu seolah makin berusaha bahkan dengan cara yang makin terang-terangan mendapatkan jawaban 'ya' darinya, benar-benar laki-laki yang luar biasa. Kalimat "Maukah kamu menikah denganku?" Riza yang hampir seribu kali disampaikan ke Nisa entah kenapa makin lama makin membuat perasaan gadis itu bimbang untuk tetap pada jawaban 'tidak'-nya. Tak banyak laki-laki segigih dan sekeras usaha seperti itu, apalagi yang seperti Riza... laki-laki yang sepertinya banyak jadi incaran kaum hawa dengan kelebihannya terutama kelebihan fisiknya.
"Andai aku bisa menjawab 'iya', Riz... tapi bukannya itu artinya aku egois, hanya memikirkan kebahagiaan aku sendiri dan bukan kebahagiaan untuk Riza? Ya, Riza berhak mendapatkan yang lebih baik," ucap Nisa dalam hatinya. Lamunan Nisa berakhir ketika terdengar suara yang agak rame memecah keheningan di ruangan tersebut. Nisa melirik ke arlojinya, pukul 09.03. Beberapa mahasiswa cewek terlihat membawa selempang, balon, coklat, dan bunga. Tak berapa lama kemudian, terlihat Tia juga datang bersama seorang temannya dan duduk tak jauh dari Nisa.
"Apa mereka mau mengucapkan selamat buat Ana ya?" pikir Nisa sambil melihati pintu ruangan sidang skripsi Ana. Nisa pun kembali asyik mengisi waktunya dengan aktivitas browsing sambil melihati model-model baju dan jilbab di online-shop lewat handphone-nya.
"Kamu datang kemari buat Riza juga ya, Nis?"
Suara Tia itu menghentikan aktivitas Nisa, gadis itu sudah berdiri di hadapannya.
"Eh... Tia... aku... menunggui Ana yang sekarang lagi sidang, dia teman satu kosku. Berhubung Ana dan Riza sidangnya berurutan, jadinya sekalian deh he he," jawab Nisa, "Kamu datang kemari buat Riza?"
Tia tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya.
"Menurut kamu, Riza bakal suka nggak?" tanya Tia sambil menyodorkan sebuah cake black forest lengkap dengan tempatnya kepada Nisa. "Selamat LuLus Sidang, Riza" tertulis diatasnya, membuat Nisa terdiam sejenak, hatinya terusik melihat perhatian Tia kepada Riza. Tia...., perempuan itu sepertinya benar-benar menyukai Riza dan serius memperjuangkan perasaannya. Sebaliknya dirinya malah dengan tega berkali-kali menolak lamaran Riza, laki-laki luar biasanya itu. "Maafin aku, Riz".
Nisa pun melebarkan senyumannya dan menganggukkan kepalanya. "Elegant dan so sweet banget cake-nya, Tia. Riza insyaa Allah bakal suka," ucap Nisa dengan ceria, terlihat senyuman Tia makin mengembang mendengarnya. Nisa baru saja hendak menanyakan kapan gadis cantik itu sidang ketika Tia sudah kembali ke tempat duduknya semula.
Nisa membuka tas ranselnya, memegang coklat yang dibelinya buat Riza dan Ana, menyadari coklat itu tak ada apa-apanya dibandingkan black forest milik Tia tadi.
Nisa pun tersenyum minder untuk sesaat. "Yang terpenting niat memberinya, Nisa," ucap gadis itu di dalam hati, berusaha menyemangati dirinya sendiri sambil melebarkan senyumannya.
Beberapa saat Nisa larut membunuh waktunya dengan main game di handphone-nya ketika terdengar suara Riza. Terlihat cewek-cewek yang berdatangan beberapa saat sebelumnya itu bergantian mendekati laki-laki itu memberi semangat untuknya termasuk Tia.
"Ah Riza, ternyata benar kata Ana, kamu tuh termasuk cowok populer disini ya. Sidang aja udah banyak suporter ceweknya," batin Nisa menarik nafas panjang sambil melirik kearah Riza dan cewek-cewek di dekatnya itu. Riza terlihat sedikit tegang tapi tetap cool dan elegan dengan celana hitam dan atasan hem putih panjangnya. Hanya satu yang sedikit mengganggu penampilan nyaris sempurna laki-laki itu, kantung matanya agak terlihat, pasti karena efek begadang. Lagi-lagi Nisa tersenyum sendiri mengamati laki-laki luar biasanya itu dalam diam dari kejauhan, "Semangat, Riza".
Waktu menunjukkan pukul 10.08 ketika pintu ruang sidang skripsi terbuka dan Ana keluar dari sana. Dua orang teman Ana yang menemani sejak Ana masuk ruang sidang terlihat menghampiri Ana disusul Nisa, sementara cewek-cewek lain yang datang belakangan terlihat tetap tenang di tempatnya. Ternyata mereka memang datang bukan buat Ana, tapi untuk Riza. Nisa memeluk Ana, mengucapkan selamat dan menyerahkan sebatang coklat untuk teman satu kos-nya itu. Sejenak Nisa ikut larut merasakan kelegaan Ana.
"Selamat ya, Na... ," terdengar suara Riza menghampiri Ana dan Nisa sambil mengulurkan tangannya kepada Ana, "sekarang tegangnya pindah ke aku".
Nisa menoleh kearah laki-laki yang sudah berdiri di sebelahnya itu, laki-laki itu melihat kearahnya dengan raut tegangnya.
"Bismillah, Riza... insyaa Allah kamu bisa. Stay relax and calm but keep focus (ind: tetap santai dan tenang, tapi fokus)," ucap Nisa lirih hampir seperti bahasa isyarat dengan senyumnya yang lebar. Riza ikut tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan.
"Iya, tolong terus temani aku lewat doa ya, Nis dan jangan kemana-mana selama aku di dalam. Aku ingin melihat kamu menyambut aku dengan senyuman nanti sekeluarnya aku dari ruang sidang," sambung Riza lagi-lagi berhasil membuat Nisa tersipu. Perlakuan laki-laki itu entah kenapa membuatnya merasa istimewa.
"Ehm ehm...," suara lirih deheman Ana yang tiba-tiba itu pun langsung membuat Nisa dan Riza menoleh kearah Ana.
"Aku berasa jadi obat nyamuk disini," ucap Ana lagi sambil senyum-senyum setengah menggoda Nisa dan Riza. Nisa pun tertawa kecil menundukkan kepalanya, berusaha menutupi rasa malunya, sementara Riza terlihat kembali ke senyum cool-nya.
"Eemmmm ya udah, aku pergi dulu, Na ... Nis... . Wish me luck ya," pamit laki-laki itu seolah tidak terjadi apa-apa, kembali fokus pada ketegangannya menjelang sidang. Terdengar suara Tia menyemangati Riza, laki-laki itu berusaha menghargainya dengan melempar senyum tipisnya ke arah Tia dan para 'suporter' ceweknya berada. Kemudian Riza terlihat kembali, lagi-lagi memandangi Nisa seolah gadis itu punya medan magnit yang menenangkan untuk Riza. Kali ini Riza dengan kombinasi raut dag dig dug-nya dan senyuman serta tatapan lembutnya untuk gadis itu dibalas Nisa dengan senyuman tulusnya, menemani langkah kaki laki-laki itu menuju ruang sidang skripsinya.
Waktu menunjukkan pukul 10.30 ketika hening kembali menyapa ruang tunggu sidang. Nisa terlihat khusyuk menunaikan janjinya menemani Riza yang berjuang di ruang sidang lewat doa-doanya sambil sesekali Nisa mengobrol ringan dengan Ana yang duduk di sampingnya dan asyik menghabiskan coklat pemberiannya. Beberapa kali terlihat Tia mondar-mandir mengintip Riza dari kaca pintu masuk ruang sidang, berhasil menyisakan cemburu di hati Nisa karena perhatian gadis itu ke Riza.
"Nisa, sebenarnya ada hubungan apa diantara kamu dan Riza?" tanya Tia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Nisa, memandang serius kearahnya.
"Seperti yang aku pernah bilang, kami temenan, Tia," jawab Nisa sembari tersenyum.
"Yakin cuma teman?"
Nisa lagi-lagi mengangguk.
"Tapi aku merasa cara Riza menatap kamu nggak biasa, Nisa... bahkan lebih dalam dari tatapan Riza ke aku dulu waktu aku masih pacaran sama dia, Nis," lanjut Tia lagi, gadis itu masih menatap tajam kearah Nisa.
Nisa terdiam mendengarnya, hanya tersenyum. Entah kenapa pertanyaan Tia itu mengena di hati Nisa. Tia benar, Riza yang berkali-kali melamarnya tak mungkin menganggap Nisa biasa.
"Apa kalian pacaran, Nis?"
Nisa menggelengkan kepalanya.
"Apa kalian HTS-an atau TTM-an?" sambung Tia lagi-lagi dijawab gelengan kepala Nisa. Tia terlihat tidak puas dengan jawaban Nisa.
"Apa kamu menyukai Riza, Nis?" Kali ini pertanyaan Tia berhasil membuat Nisa terdiam, gadis itu tak menggelengkan maupun menganggukkan kepalanya. Nisa terlihat bingung menjawab apa. Ia tak ingin berbohong, tapi ia pun ragu untuk jujur. Nisa tak ingin mengusik perasaan Tia dengan jawaban jujurnya. Namun Nisa lebih tak ingin lagi menyakiti Riza dengan jawaban bohongnya.
"Kenapa kamu diam, Nis? Oooo jadi benar kamu menyukai Riza...," ucap Tia dengan nada meninggi, sementara Nisa hanya diam menatap ragu gadis itu. Terlihat beberapa pasang mata menatap ke keduanya, mata beberapa 'suporter' perempuan Riza dan juga mata Ana yang duduk di sebelah Nisa
"Perasaan kamu ke Riza bukan urusanku, Nis...tapi kamu harus ingat satu hal. Aku mencintai Riza dan sangat menginginkan Riza. Aku ga akan menyerah berjuang mendapatkan hati Riza lagi, Nis... seperti yang pernah kamu bilang di perpus dulu. Kamu ingat itu". Tia pun melangkah menjauhi Nisa.
Sementara itu, Nisa kembali fokus melihati handphone-nya berusaha mengalihkan perasaan tidak nyaman yang dirasakannya.
"Sekarang bukan saatnya terlalu mempersoalkan tentang rasa, Nisa. Riza sedang memerlukan orang-orang yang menemaninya lewat doa demi doa untuk kebaikannya," batin Nisa. Selama lima menit kemudian Nisa kembali larut dalam heningnya.
"Nisa..., aku dengar Riza pernah meminta kamu untuk menikah dengannya ya?" Pertanyaan Ana terdengar setengah berbisik itu membuat Nisa menoleh ke Ana dengan raut agak terkejut. "Dengar dari siapa, Na?"
"Dari Riza," jawab Ana tetap memelankan suaranya, "tapi kata Riza kamunya belum mau".
"Riza cerita soal itu ke kamu, Na?" tanya Nisa lagi dengan raut tertegunnya.
Ana tersenyum lebar menepuk lembut bahu Nisa, "Sebenarnya kebetulan akhirnya aku jadi tahu, Nis. Gara-garanya dosen pembimbing kami tiba-tiba menanyai setiap anak bimbingnya tentang rencana menikah selepas wisuda nanti, mulai dari aku satu-satunya anak bimbingan perempuan apa sudah ada yang meminang, sampai kemudian ke anak bimbingan laki-laki termasuk Riza, sudah ada keberanian dan kesiapan belum buat meminang seseorang. Jadilah aku tahu sekilas tentang cerita kalian. Ditambah lagi sepulang dari bimbingan hari itu, Riza menghampiri aku dan minta tolong buat bantuin dia menyakinkan kamu agar mau menikah dengannya".
Nisa balas tersenyum menoleh kearah Ana. "Sebenarnya..., Riza sudah ratusan kali meminta aku menikah dengan dia, Na. Dan sebanyak itu pula aku memberikan jawaban tidak ke Riza". Kalimat Nisa yang pelan itu berhasil membuat raut Ana berubah, ada rasa terkejut disana, seolah tak menyangka kegigihan teman satu bimbingannya yang sedang berada di dalam ruang sidang itu.
"Kenapa kamu tidak mau menerima Riza, Nis? Bukannya kalian saling menyukai satu sama lain? Apa ada sesuatu tentang Riza yang membuat hati kamu tidak bisa menjawab iya?"
Nisa tetap diam, lagi-lagi hanya tersenyum.
"Apa kamu ragu tentang perasaan Riza? Apa ini kaitannya dengan mantan Riza?"
Nisa menggelengkan kepalanya pelan.
"Ini bukan tentang Riza, Na..., tapi tentang aku... . Aku ingin melihat Riza merasakan banyak kebahagiaan sepanjang hidupnya, tapi aku takut tidak bisa menghadirkannya buat Riza," jelas Nisa membuat Ana justru terlihat semakin bertanya-tanya dalam diamnya.
"Sejak aku pernah pingsan di kosan beberapa bulan lalu, waktu kamu kebetulan mau ngajakin aku jalan saat itu, ketika di rumah sakit dokter memberitahu aku kalau aku menderita glaukoma sudut tertutup yang berisiko menyebabkan kebutaan permanen, Na. Sejak saat itu, aku mengubah harapan aku tentang apa yang kurasakan ke Riza bahkan sejak awal dia menyatakan perasaannya ke aku beberapa minggu setelahnya dan Riza tahu alasan aku menolaknya dari awal. Riza berhak mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik, Na".
"Tapi Nis..., seingat aku dokter waktu itu bilang kalau sakit kamu mungkin disembuhkan lewat operasi mata...," ucapan Ana terhenti ketika Nisa melebarkan senyumannya dengan raut mukanya yang sendu.
"Itu letak masalahnya, Na. Sampai saat ini, aku belum bisa mengalahkan trauma aku tentang operasi, saat ibu dan calon adik aku meninggalkan kami sekeluarga. Aku memilih rutin berobat jalan saja dengan resiko kebutaan itu bisa saja terjadi kapan saja. Dan itu artinya juga aku tidak bisa menjawab iya ke Riza".
Ana mengusap-usap lembut punggung Nisa, seolah ingin menyemangati temannya itu.
"Aku paham apa yang kamu rasakan, Nis. Tapi... kalau Riza sudah tahu dari awal tentang itu dan dia tetap gigih memperjuangkan jawaban 'iya' dari kamu, itu artinya dia sudah benar-benar yakin untuk menikahi kamu, Nis... apapun yang akan kalian lewati bersama nantinya. Ada baiknya kamu pikirin lagi ya..., ga banyak laki-laki yang memperjuangkan jawaban 'iya' segigih Riza, Nisa".
Nisa pun kembali melebarkan senyumannya ke teman sekosannya itu kemudian keduanya asyik dengan aktivitas masing-masing, Ana terlihat asyik mem-browsing model-model baju kebaya untuk wisuda sementara Nisa meneruskan doa-doanya untuk laki-laki luar biasanya itu sambil sesekali mengomentari model-model baju yang diperlihatkan Ana kepadanya. Meski perbaikan skripsi masih menjadi syarat sebelum mereka bisa wisuda, memikirkan tentang detail saat wisuda salah satunya baju kebaya merupakan hal yang menyenangkan dan menambah semangat mereka untuk sampai di garis finish kuliah.
Menit demi menit pun terus berjalan ketika Riza terlihat keluar dari ruang sidang dengan raut lega bercampur lelah. Laki-laki itu sepertinya baru saja 'bertempur' habis-habisan di dalam sana. Meski begitu, senyuman kelegaan terlukis di wajah Riza yang menatap kearah Nisa. "Alhamdulillaah, Riz," batin Nisa belum beranjak dari tempat duduknya, hanya senyuman lebar dan tatapannya yang tertuju pada Riza.
Tia dan para suporter cewek Riza terlihat menyerbu Riza dengan rangkaian 'perayaan' habis sidang ala mereka. Riza terlihat menerima semua perlakuan mereka dengan sikap berusaha menghargai mereka.
"Kamu ga mau menghampiri dan memberi selamat ke Riza, Nis?" tanya Ana membuat Nisa menggelengkan kepalanya pelan.
"Nanti aja, Na, gantian sama mereka. Mereka kelihatan bersemangat banget soalnya".
"Tia kelihatan perhatian banget ke Riza ya, Nis. Kamu ga cemburu ngelihatnya? Kamu ga takut Tia berhasil membuat Riza suka lagi ke dia?"
Nisa terdiam sejenak, lagi-lagi tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan.
"Jujur aku cemburu, Na meski aku tahu aku ga berhak. Tapi aku juga belum bisa menjawab 'iya' ke Riza, jadi aku berusaha nggak boleh baper saat Riza didekati perempuan lain, termasuk Tia. Di sisi lain, ga tau kenapa hati aku memercayai Riza dengan semua kegigihannya selama ini mengajakku nikah".
"Aku sependapat dengan kamu, Nis. Lagian meski kamu bukan orang pertama yang menyambutnya, tapi aku bisa lihat kamu orang yang pertama kali dicarinya saat dia keluar dari ruang sidang. Pandangan Riza langsung tertuju ke bangku kamu tadi, Nis".
Nisa tersenyum kearah Ana, "Kamu terdengar seperti sedang membantu Riza meyakinkan aku buat menjawab 'iya' ke Riza, Na".
"Memang iya," jawab Ana sambil meringis, "soalnya aku ngerasa Riza ga main-main dengan keinginannya itu dan ga bakal mundur kecuali kamu menikah sama orang lain, Nis. Perasaan dia ke kamu benar-benar tulus sepertinya, Nis".
Nisa tersenyum mendengarnya. Tanpa Ana mengatakannya, Nisa mengetahui hal itu. Namun perkataan Ana itu berhasil semakin membuat hatinya bimbang untuk tetap bertahan dengan jawaban 'tidak'-nya. Nisa menatap kearah Riza yang dikelilingi beberapa perempuan. Terlihat Tia hendak menyuapkan potongan kue ke mulut Riza, membuat Nisa lagi-lagi berusaha menahan perasaannya yang mulai mengajukan protes melihatnya, tapi Riza langsung menolak keinginan Tia itu dan mengambil potongan kue dari tangan Tia baru menyuapkan kue itu ke mulutnya dengan tangannya sendiri. Sempat dua kali, Nisa melihat saat Riza sesekali memandang kearahnya.
"Riza, habis ini kita makan siang bareng yuk," terdengar Tia mengajak laki-laki luar biasanya itu.
"Maaf, Tia... aku ga bisa. Habis ini aku ada acara dengan Nisa. Makasih banyak buat kue dan support-nya. Aku pergi dulu ya".
Terdengar suara Riza juga mengucapkan terima kasih dan berpamitan ke cewek yang lainnya kemudian berjalan menuju tempat Nisa duduk. Nisa dan Ana pun langsung berdiri menyambut pejuang skripsi yang baru selesai sidang itu dengan memasang senyum lebar mereka.
"Selamat lulus sidang, Riza," ucap Nisa dengan ceria sambil menyerahkan sebatang coklat buat Riza diikuti Ana yang juga mengucapkan selamat. Terdengar ucapan terima kasih dari mulut laki-laki itu ke Nisa dan Ana dengan senyuman yang tak kalah lebar. Setelah Riza memasukkan coklat dan jasnya kedalam tas, ketiganya pun jalan bareng menuju taman di fakultas ekonomi tersebut sebelum akhirnya Ana memisahkan diri.
"Ya udah aku sepertinya pamit dulu, Nis Riz... aku ga mau jadi obat nyamuk kalian lebih lama lagi, Sepertinya kalian perlu waktu buat ngobrol berdua aja tentang masa depan. Aku pergi dulu ya," pamit Ana tertawa kecil ke Nisa dan Riza kemudian mengerdipkan mata ke Nisa. Nisa dan Riza hanya balas tersenyum sambil saling berpandangan sejenak. Setelah Nisa cipika cipiki dengan Ana, Nisa dan Riza pun bergegas mencari bangku kosong di tempat terbuka itu untuk melanjutkan obrolan mereka.
"Gimana perasaan kamu sekarang Riz?"
"Capek, berasa kehabisan tenaga tapi lega, Nis. Seperti baru selesai berjuang habis-habisan aja he he". Riza beberapa kali menarik nafasnya dalam-dalam.
Nisa menganggukkan kepalanya, setuju dengan kalimat Riza itu. "Sedikit lagi menuju garis finish kuliah S1, Riz," sambung Nisa tersenyum lebar menyemangati laki-laki itu.
"Gimana tadi di dalam ruang sidang? Apa kamu merasa puas dengan pencapaian kamu hari ini, Riz?"
"Not bad. Setidaknya aku sudah memperjuangkan dan mempertahankan skripsi aku sebaik mungkin, Nis. Ada beberapa Pe Er perbaikan tapi dosen pengujinya tidak semenakutkan yang aku kira ha ha".
Nisa ikut tertawa menemani tawa Riza.
Riza tiba-tiba menoleh kearahnya. "Aku percaya ada banyak doa yang membantu aku melewati sidang tadi dengan baik, salah satunya doa kamu, Nis...," ucap Riza sambil melebarkan senyuman manisnya, membuat Nisa pun tersipu di tempatnya, "makasih banyak untuk semua doa, semangat, dan dukungan kamu buat aku ya, Nis".
Perempuan itu hanya bisa balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Hmmm sekarang waktunya kita makan coklat dari kamu," sambung Riza tetap dengan senyum lebarnya sambil mengeluarkan coklat pemberian Nisa dari tas ranselnya.
"Emangnya perut kamu belum kekenyangan coklat, Riza? Bukannya kamu habis makan kue black forest lezat dari Tia?"
Riza menatap Nisa kemudian makin melebarkan senyumannya, "Sepertinya aku mencium aroma-aroma jealous nich. Jangan-jangan kamu cemburu sama Tia ya, Nis?"
Nisa menggigit bibirnya, tak bicara apa-apa. Laki-laki di sebelahnya terlihat bersemangat mencandai sekaligus mendapatkan pengakuan cemburu dari dirinya.
Laki-laki itu tetap saja senyum-senyum menatapnya membuat Nisa makin tak tenang dan risih di tempat duduknya.
"Apaan sih Riz ngelihatin aku seperti itu? Aku bicara sesuai kenyataan aja. Coklat black forest Tia tadi emang nyata-nyata lebih mahal dan spesial dibandingkan coklat pemberian dari aku yang biasa-biasa aja, Riza," jelas Nisa berusaha menarik bibirnya tersenyum seperti biasa, menyamarkan rasa kagoknya. Riza justru makin cekikikan meski tanpa suara mendengar jawaban Nisa itu, ekpresi Nisa terlihat lucu di matanya. Tingkah laku Riza itu membuat Nisa tak tahan menahan tawanya sambil mengalihkan pandangannya kearah pancuran air di depan mereka.
"Meski kamu nggak mau mengakuinya dengan jelas, setidaknya kamu juga tidak menyangkalnya seperti ketika awal-awal aku mengenalkan kamu dengan Tia di perpus dulu, Nis," batin Riza.
"Ga nyangka Tia ternyata masih inget soal kue black forest kesukaan aku. Tia kayaknya serius banget pingin kami balikan lagi seperti dulu," sambung Riza sengaja memancing Nisa, ingin melihat ekspresi gadis itu.
Nisa terlihat langsung menundukkan kepalanya sejenak kemudian buru-buru melebarkan senyumannya kembali. Perempuan itu terlihat berusaha keras untuk tidak menampakkan ketidaknyamanan yang dirasakan hatinya saat itu.
"Seperti yang kamu lihat... kamu sudah bisa menilai sendiri kan siapa perempuan yang lebih perhatian ke kamu dan lebih layak buat kamu ajak menikah, Riz? Bahkan dibandingkan Tia, aku ga ada apa-apanya, Riz," jawab Nisa sambil menatap laki-laki itu.
Riza balas menatap Nisa yang duduk berjarak setengah meter di sebelahnya itu. Riza tidak menyukai ekspresi Nisa saat itu, ada sedih di raut itu meski berusaha Nisa sembunyikan lewat senyumnya, membuat hati Riza ikut sedih dan malah merasa bersalah.
Riza membagi dua coklat pemberian Nisa di tangannya lalu memberikan satu bagiannya ke Nisa. "Black forest dari Tia tadi memang mahal dan enak banget, tapi tetap nggak akan bisa mengalahkan cokelat pemberian kamu, Nisa. Buat aku, bukan mahalnya pemberian yang terpenting, tapi siapa orang yang memberikannya. Cokelat ini justru spesial karena cokelat ini dari kamu, Nisa... seseorang yang punya arti istimewa di hati aku. Lebih dari sekedar rasa coklatnya, melainkan rasa senang dan bahagia yang hadir ketika aku memakannya. Lebih-lebih ketika aku bisa membagi coklatnya dan makan coklat ini bareng kamu, Nisa," ucap Riza menarik bibirnya tersenyum lebih lebar kearah gadis itu, membuat Nisa speechless sejenak hanya bisa membalas tersenyum lebih lebar sambil menerima coklat dari tangan Riza. Tanpa perlu aba-aba, Nisa dan Riza pun mulai menghabiskan coklat mereka. Tawa dan candaan demi candaan pun kembali pecah diantara mereka, mengalihkan ketegangan hati keduanya.
"Oh ya, sketsa taman kamu apa kabarnya, Nis? Kan kamu pernah bilang kalau kamu bakal memperlihatkannya ke aku saat wisuda," tanya Riza.
"Insyaa Allah hampir selesai Riz. Kamu akan jadi orang pertama yang akan melihat sketsa itu nanti saat kita wisuda, Oke!"
Riza terlihat antusias mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya saling tertawa.
"By the way, Jadi apa jawaban kamu soal ajakan nikah aku, Nis? Kamu mau kan menikah denganku setelah kita wisuda?" tanya Riza kemudian. Makin hari laki-laki itu makin yakin bahwa Nisa akan nengubah jawabannya.
Nisa balas menatap Riza sejenak, hatinya makin bimbang untuk tetap memberi jawaban 'tidak' dengan semua usaha yang dilakukan Riza untuknya.
"Nisa?" tanya Riza lagi ketika Nisa masih tetap memilih diam.
"Selangkah lagi, tanggung jawab kuliah aku sudah selesai dan aku juga sudah berpenghasilan. Meski pekerjaan aku belum benar-benar mapan, tapi secara penghasilan aku siap menafkahi kamu, Nisa. Mau ya, Nis?"
Nisa masih tetap diam tak menjawab. Dia percaya kesungguhan dan ketulusan laki-laki itu, tapi dia justru tidak yakin dengan dirinya sendiri.
"Nisa?"
Nisa menarik nafasnya dalam-dalam. "Maaf Riza, jawaban aku masih sama. Aku tidak mau menikah dengan kamu," ucap Nisa akhirnya menoleh kearah Riza, "aku mohon kamu berhenti meminta aku menikah dengan kamu karena aku merasa makin bersalah tiap kali aku menjawab 'tidak' ke kamu, Riz. Jangan buang waktu kamu lagi, Riza.. lebih baik kamu fokus untuk masa depan kamu, karier dan mempersiapkan diri buat seseorang yang lebih pantas buat kamu perjuangkan nantinya. Dan kitaaa.. kita akan tetap berteman baik seterusnya, Riza".
Riza diam menatap sekaligus mendengarkan ucapan gadis itu, entah kenapa hatinya sangat-sangat kecewa saat itu. Riza sepertinya tidak siap menerima jawaban 'tidak' dari Nisa kali ini. Tidak seperti biasanya, Riza merasa benar-benar kelelahan memperjuangkan Nisa. Desahan nafas Riza terdengar berat. Laki-laki itu terlihat mematung memandangi coklat di tangannya yang masih tersisa setengahnya sementara Nisa memperhatikan laki-laki itu dengan rasa bersalah tampak jelas di wajahnya.
"Aku benar-benar minta maaf, Riz," sambung Nisa lagi.
Riza masih tetap diam, laki-laki itu memasukkan sisa coklatnya ke salah satu saku tas ranselnya.
"Aku mengerti. Hari ini aku benar-benar ngerasa capek banget, Nis. Sepertinya aku mau pulang aja," ucap Riza kemudian berdiri dari duduknya. Laki-laki itu lagi-lagi memandangi Nisa dengan tatapan agak dingin. "Meski kamu tidak mau menikah denganku, aku tetap ingin mengenalkan kamu ke orang tua aku saat wisuda dan aku harap kamu juga ga keberatan mengenalkan aku dengan keluarga kamu saat itu," sambung Riza membuat Nisa makin merasa bersalah melihat sikap Riza yang langsung berubah dingin itu. Nisa hanya menganggukkan kepalanya pelan.
"Maaf kalau aku sudah membuat kamu merasa bersalah tiap kali aku meminta kamu menikah dengan aku. Duluan ya, Nis," ucap Riza lalu beranjak pergi meninggalkan Nisa yang makin terdiam di tempat duduknya.
Riza bergegas berjalan menuju parkir hendak mengambil motornya, hari ini ia merasa benar-benar capek. Jawaban Nisa yang belum berubah kepadanya semakin memperparah mood-nya. Semakin Riza berusaha tidak terlalu memikirkannya, perbaikan skripsi justru unjuk gigi menghantui pikirannya. Beberapa kali laki-laki itu terlihat menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kembali sekuat-kuatnya, berusaha mengusir kerisauan hatinya. Tiba-tiba Riza merasa pusing, pikirannya dipenuhi jawaban Nisa dan perbaikan skripsi yang datang dan pergi bergantian. Riza pun menghentikan langkahnya, memutuskan duduk di lantai di depan kelas tak jauh dari parkiran. Riza ingin menenangkan pikirannya dan mengusir pusing yang membuat pandangannya tiba-tiba terasa sedikit berkunang-kunang.
Suasana di sekitar laki-laki terlihat sepi, hanya ada beberapa orang terlihat berjalan menuju parkiran atau lalu lalang di depannya.
"Kenapa tiba-tiba ga bertenaga gini sih? Mana cuacanya panas banget pula," batin Riza sambil memijit-mijit kepalanya yang terasa sakit.
"Apa kamu sakit, Riz?"
Riza mendongakkan kepalanya, terlihat Ana sedang berdiri di hadapannya, mengamatinya.
Riza tersenyum tipis, "Aku baik-baik aja, Na ... cuma sedikit pusing aja,... makanya istirahat duduk sebentar disini sebelum pulang".
Raut laki-laki itu terlihat kusut, berbeda dengan saat dia baru keluar dari ruang sidang tadi.
"Nisa mana?"
Riza menggelengkan kepalanya ragu. "Nisa... mungkin dia sudah pulang, Na," jawab Riza kemudian mengalihkan pandangannya melihat kearah lain.
"Apa Nisa tahu kamu disini?"
Riza menoleh sejenak kearah Ana, menggelengkan kepalanya pelan lalu kembali diam.
"Ya udah, duluan ya Riz," ucap Ana akhirnya dijawab anggukan pelan Riza. Ana merasa teman sebimbingannya ini sedang ada masalah dan entah kenapa Ana justru teringat Nisa. Setelah berjalan beberapa langkah menjauhi Riza, Ana pun bergegas menelepon Nisa.
"Kamu dimana, Nis?"
"Aku masih duduk di taman dekat pancuran air, Na. Kenapa, Na?"
"Aku barusan ketemu Riza. Dia kelihatan kusut banget duduk sendirian di lantai depan kelas dekat parkiran. Apa ada masalah diantara kalian, Nis? Dia bilang kepalanya agak pusing padahal perasaan tadi dia kelihatan baik-baik aja, Nis".
Sesaat tak ada sahutan dari Nisa, hanya terdengar nafas gadis itu.
"Riza dimana, Na?"
"Kalau dari tempat kamu, kamu jalan ke arah depan terus belok kanan lewatin kelas-kelas sampai mentog tempat parkiran sepeda motor, Nis. Riza duduk sendirian di dekat situ".
Setelah mengucapkan terima kasih ke Ana, tanpa buang-buang waktu, Nisa pun bergegas mencari Riza.
"Riza...," panggil Nisa setelah ia akhirnya menemukan laki-laki itu yang terlihat sedang duduk sendirian menyandarkan kepalanya di dinding kelas sambil memejamkan matanya. Wajah laki-laki itu terlihat lelah. Suara gadis itu langsung membuat Riza membuka matanya, menatap kearah Nisa yang berdiri pas di depannya.
"Nisa...," jawab Riza lirih, dengan raut wajah setengah tertegun.
"Maaf sudah bikin kamu bertambah lelah, Riz".
"Kamu nggak salah apa-apa, Nis. Akunya aja yang terlalu baper, terbawa perasaan. Mungkin efek habis sidang yang menguras energi kali ya," jawab Riza lalu lagi-lagi diam menatap kearah lain. Nisa memperhatikan laki-laki itu dengan seksama. Nisa tahu laki-laki itu kecewa gara-gara jawabannya tadi.
"Kita makan siang bareng di kantin yuk, Riz," ajak Nisa membuat Riza kembali menatap ke perempuan itu.
"Kamu perlu makan buat mengisi penuh energi kamu lagi setelah berjuang habis-habisan di sidang, Riz. Apalagi ditambah perkataan aku tadi yang bikin kamu jadi bad mood, Riz". Nisa terlihat tersenyum kepadanya meski ada penyesalan tergambar di wajah gadis itu.
Riza pun menganggukkan kepalanya pelan. Meski perasaannya masih tidak nyaman, ia tidak menolak ajakan Nisa itu. Riza tahu Nisa peduli padanya.
Kantin fakultas ekonomi tidak terlalu rame saat Nisa memilihkan tempat duduk buat mereka berdua. Riza nyaris tak bicara, laki-laki itu langsung mengambil tempat duduk berhadapan dengan Nisa.
"Kamu mau makan apa, Riz?" tanya Nisa tersenyum lembut kepadanya.
"Terserah kamu aja, Nis," jawab Riza tersenyum tipis tak punya bayangan apa yang ingin dimakannya.
"Aku mau makan nasi goreng, apa kamu mau nasi goreng juga?" tanya Nisa lagi dibalas anggukan pelan Riza. Nisa pun bergegas memesan makan siang mereka lalu kembali ke tempat duduk mereka dengan membawakan air mineral dan segelas kopi buat Riza.
Hening lagi-lagi menyapa diantara Nisa dan Riza, Riza terlihat mengetuk-ngetuk meja setengah melamun sementara Nisa terlihat memerhatikan gerak-gerik laki-laki yang duduk persis di depannya itu.
"Kata Ana kamu sedikit pusing, apa sekarang masih, Riz?" tanya Nisa membuat Riza menghentikan gerakan isengnya dan menoleh ke Nisa, "Sekali lagi aku minta maaf sudah merusak mood kamu gara-gara jawaban aku di taman tadi, Riz".
"Aku baik-baik aja. Seperti yang tadi aku bilang, aku terlalu baper aja sepertinya hari ini, Nis. Padahal selama ini sudah ratusan kali aku meminta kamu menikah denganku, sebanyak itu juga kamu menjawab 'tidak' dan itu sama sekali tidak membuat aku ingin menyerah, Nisa," jelas Riza tersenyum kearah Nisa, "mungkin aku cuma lagi benar-benar kehabisan tenaga selepas sidang tadi,... jadi mungkin kebawa capeknya. Maaf ya, Nis.. aku cuma perlu istirahat sebentar".
Nisa balas tersenyum lebar ke laki-laki itu. "Ya udah, kalau begitu sebagai permintaan maaf aku dan buat mengembalikan mood kamu jadi baik kembali, aku bakal memenuhi tiga permintaan kamu hari ini, Riz... tapi selain meminta aku menikah dengan kamu. Gimana?"
"Tiga permintaan?" tanya Riza penasaran.
Nisa menganggukkan kepalanya. "Iya, kamu boleh mengajukan tiga permintaan, tiga hal yang kamu ingin aku penuhi untuk kamu, tapi berlaku sampai hari ini saja," jawab Nisa riang dan bersemangat.
Riza terlihat mencerna perkataan Nisa itu dengan serius. "Aku boleh minta apa aja?"
"Iya Riz, selama tidak melanggar norma agama, hukum, susila, dan kesopanan, he he he". Riza ikutan tertawa mendengar syarat Nisa itu lalu menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Oh iya satu lagi, tiga permintaan itu akan aku penuhi dengan syarat kamu harus habiskan dulu makan siang kamu," sambung Nisa membuat laki-laki itu tersenyum lebar lalu menganggukkan kepalanya.
Nisa dan Riza pun menyantap makanan pesanan mereka. Terlihat Riza bersemangat menghabiskan makanannya sambil memikirkan tiga permintaan yang akan diajukannya ke Nisa setelah itu. Nisa terlihat beberapa kali tersenyum lebar memerhatikan raut Riza, ada ceria disana setidaknya sedikit mengurangi rasa bersalahnya ke laki-laki luar biasanya itu.
Nisa masih menghabiskan nasi goreng miliknya saat piring laki-laki di hadapannya itu terlihat sudah bersih, hanya menyisakan dua butir nasi. Minuman kopi Riza juga terlihat sudah tak bersisa dan laki-laki itu terlihat sedang menghabiskan coklat pemberian Nisa yang sempat tertunda tak dihabiskannya tadi.
Sesekali Nisa tersenyum lebar ke Riza yang balas tersenyum tak kalah lebar, entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu hingga wajahnya berubah perlahan dari mendung menjadi cerah.
"Oke, sekarang kamu boleh sebutin permintaan kamu, Riza," ucap Nisa setelah menyelesaikan makannya.
Riza lagi-lagi tersenyum. "Permintaan pertama, aku mau kamu menemani aku teriak di atap gedung tinggi, Nisa". Nisa terlihat mengernyitkan dahinya sejenak mencoba menyelami pikiran Riza yang tak tertebak itu meski kemudian pasrah melebarkan senyumannya dan menganggukkan kepalanya setuju.
"Permintaan kedua, aku mau kamu menemani aku ke toko perhiasan tepatnya toko yang jual aneka model cincin pernikahan. Tapi sebelumnya aku mau tahu ukuran jari manis kamu, Nisa," sambung Riza membuat Nisa sempat terdiam.
"Tapi Riz... kamu kan sudah tahu jawaban aku soal itu, Rizaaa...," protes Nisa.
Riza tersenyum menatap sejenak Nisa.
"Aku nggak minta kamu menjawab 'iya', Nisa... kan kamu tadi juga sudah bilang permintaan ini diluar meminta jawaban soal itu. Aku cuma ingin tahu ukuran jari manis kamu dan model cincin seperti apa yang kamu suka untuk pernikahan kamu nantinya," jelas Riza melebarkan senyumannya, membuat Nisa pun akhirnya mengangguk setuju. Ia sudah berjanji kepada laki-laki itu untuk memenuhi tiga permintaannya hari itu.
Riza terlihat mencari sesuatu di dalam tasnya, ternyata sebuah pulpen bertali yang bisa digantungkan di leher.
"Apa kamu punya cutter, Nis?" tanya Riza lagi. Nisa pun mengeluarkan cutter-nya dari tempat pensilnya, masih bertanya-tanya maksud laki-laki itu.
Riza terlihat memotong tali pulpennya itu kemudian menjulurkannya ke Nisa, "Buat mengukur jari manis kamu, Nis". Lagi-lagi Nisa tertegun sejenak dengan tingkah Riza itu, tapi kemudian ia pun balas tersenyum pada laki-laki itu dan menuruti permintaannya. Setelah menge-pas-kan panjang tali itu sesuai dengan diameter (ukuran) jari manisnya, Nisa menyerahkan tali itu kembali ke Riza. Riza terlihat tersenyum lebar menerimanya dan langsung menyimpan tali itu di dalam dompetnya sementara Nisa hanya bisa tersenyum pasrah. Entah apa yang ada di pikiran Riza saat itu, tapi Nisa merasa laki-laki itu pantang menyerah tentangnya.
"Lalu yang terakhir...," sambung Riza membuat Nisa makin dag dig dug mendengarkan permintaan selanjutnya laki-laki itu. Nisa takut, permintaan Riza makin mengejutkan dan tidak ia sangka-sangka.
"Kenapa kamu kelihatan tegang, Nis?" tanya Riza tertawa kecil melihat raut wajah gadis di depannya itu. Nisa buru-buru tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Enggak,... penasaran aja he he," jawab Nisa berusaha menutupi perasaannya, membuat Riza makin pecah dalam tawanya.
"Jangan-jangan kamu takut kalau aku minta kamu mengukur baju pengantin kamu di desainer baju pernikahan ya, Nis?" tanya Riza terkekeh membuat Nisa pun pecah dalam tawa dengan wajah bersemu merah.
"Udahan ah bercandanya, Riz. Sekarang sebutin permintaan ketiga kamu," jawab Nisa kembali tersenyum berusaha menetralkan perasaan dan ekspresinya.
Riza terlihat tersenyum lebar, "Permintaan aku yang ketiga... aku minta kamu yang mengatakannya, Nisa. Kira-kira kamu ingin kita ngapain hari ini?"
Nisa pun tersenyum. Terlihat Nisa sedang memikirkan apa yang ingin dilakukannya bersama Riza ketika kemudian ia melebarkan senyumannya menatap Riza. "Aku pingin menemani kamu makan ice cream, Riz... biar mendinginkan hati dan pikiran kamu sejenak, he he he".
Riza pun tergelak sambil menganggukkan kepalanya setuju. Nisa..., perempuan itu selalu menghadirkan bahagia di hatinya dengan cara sederhana.
Setelah sholat Zhuhur di musholla kampus, Nisa pun menemani Riza memenuhi tiga permintaan laki-laki itu.
Perjalanan mereka dimulai dengan mendatangi sebuah gedung tinggi yang sepertinya sudah beberapa kali didatangi Riza, sebuah gedung berlantai 20. Riza langsung mengajak Nisa menemaninya menuju atap gedung itu.
Nisa mengira Riza ingin teriak melepaskan beban pikirannya setelah sidang skripsi disana, tapi ternyata perkiraan gadis itu salah.
Sesampai di atap gedung, Riza mengajak Nisa berdiri di sebelahnya dan mendengarkan teriakannya.
"Apa kamu mau menikah denganku, Nisa? Would you be my best friend forever, Nisa?" teriak laki-laki itu membuat Nisa terdiam di tempatnya. Suara Riza yang lantang diantara udara dan cahaya matahari siang hari itu berhasil menggetarkan hati Nisa dan membuatnya sejenak berkaca-kaca meski Nisa berusaha menyembunyikannya dari Riza. Nisa buru-buru menetralkan raut wajahnya ketika Riza menoleh kepadanya dengan senyum lebarnya. Nisa berusaha balas tersenyum dengan sebiasa mungkin.
Setelah dari sana, perjalanan mereka pun berlanjut ke sebuah toko perhiasan yang lumayan besar tempatnya. Riza bilang, dia tahu tempat itu karena pernah mengantarkan sepupunya mencari cincin pernikahannya disana. Riza meminta Nisa memilih model cincin pernikahan yang disukainya.
"Kenapa kamu melakukan ini, Riz...?" tanya Nisa saat itu. Nisa takut Riza nekat membelikannya cincin pernikahan meski gadis itu tetap pada jawaban 'tidak'-nya.
Riza tersenyum menatap Nisa. "Kamu sudah janji kalau kamu akan mengabulkan tiga permintaan aku hari ini, Nis. Aku tidak sedang meminta jawaban kamu saat ini. Aku cuma pingin tahu model cincin yang kamu sukai, Nisa. Tenang aja, Nis... aku ga bakal beliin kamu cincin nikah sekarang," jawab Riza seolah bisa membaca pikiran Nisa, membuat Nisa akhirnya memberitahu Riza model cincin pernikahan yang paling disukainya di toko itu. Setelah itu Nisa dan Riza pun menuju parkiran toko, bersiap melakukan permintaan terakhir Riza.
"Jadi kita mau makan ice cream dimana, Nis?" tanya Riza sambil tersenyum lebar memasang helmnya.
Nisa tertawa kecil, "Terserah aja, Riz... beli ice cream di Indomart, Alfamart, McD, KFC, atau mana aja juga boleh he he. Yang penting kita makan ice cream-nya bareng he he".
Riza tertawa mendengar ucapan Nisa itu. Bahagia dimata gadis itu memang sederhana, tapi kadang terlalu sederhana bagi Riza.
"Ya udah, kalau gitu biar aku yang menentukan tempatnya ya, Nis. Aku tahu tempat cozy yang menyediakan aneka menu ice cream. Tempatnya enak juga buat ngobrol panas-panas gini he he".
Nisa pun mengangguk setuju.
Lima belas menit kemudian, Riza dan Nisa sudah asyik menikmati ice cream masing-masing, itu pun setelah keduanya saling beradu argumen siapa yang menraktir. Nisa berpendapat harusnya dia yang menraktir Riza karena dia yang mengajaknya makan ice cream. Sebaliknya Riza bersikeras dia yang menraktir karena dia yang mau makan di tempat itu dan itu masih bagian dari tiga permintaan Riza hingga akhirnya Nisa pun pasrah membiarkan Riza menraktirnya.
"Enak nggak, Nis?" tanya Riza dijawab dengan anggukan dan senyuman lebar Nisa.
"Makasih ya udah menraktir aku ice cream yang enak ini, Riza," jawab Nisa dengan riang.
Riza tertawa mendengarnya.
"Sama-sama, Nis. Makasih ya kamu sudah mau menemani aku dan memenuhi tiga permintaan aku hari ini".
"Apa mood kamu udah membaik, Riz?" tanya Nisa dibalas anggukan kepala Riza yang terlihat senang.
"Makan ice cream ini ternyata memang bisa mendinginkan hati dan pikiran juga ya, Nis. Baper aku udah hilang aja sekarang, mungkin karena udah kenyang dan melakukan hal-hal yang menyenangkan ya".
Nisa tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya. "Alhamdulillaah, itu artinya besok kamu bisa kembali fokus dan semangat sama perbaikan skripsi kamu, Riz".
"Siap, insyaa Allah," ucap Riza tersenyum lebar lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bukan hanya perbaikan skripsi, Nisa. Semangat dan mood aku juga sudah kembali seperti semula buat memperjuangkan jawaban 'iya' dari kamu lagi. Aku ga akan menyerah dengan jawaban 'tidak' kamu, Nis. Aku akan terus meminta kamu menikah denganku sampai kamu mau karena aku semakin yakin bahwa perempuan itu memang kamu".
Kalimat terakhir Riza itu pun membuat Nisa tertegun di tempatnya, lagi dan lagi laki-laki itu membuat hatinya tersentuh dan makin susah mengatakan 'tidak' padanya.
Riza terlihat tersenyum lebar kearahnya, dari tatapan Riza, Nisa tahu laki-laki itu tulus dan bersungguh-sungguh memperjuangkan jawaban 'iya' darinya.
"Makasih sudah membantu aku mengembalikan semangat juang dan mood aku lagi, Nisa," ucap Riza lagi sementara Nisa hanya bisa membalas senyum laki-laki itu tak kalah lebar tanpa satu kata terucap dari mulutnya.
-Bersambung-

Setelahnya : Saat Bahagia yang Tak Sempurna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar