Senin, 06 Juli 2015

Sebuah Monolog Di Ruang Rindu Akan Pelangi



Untuk kalian, pemilik pedar indah warna pelangi....

Aku bukan fans mereka, baik Rizky maupun Anisa, tapi aku penyuka energi positif mereka yang sangat indah. Energi yang seolah karunia langit yang diberikan kepada mereka agar mereka bisa membagikan banyak senyum dan tawa kepada sesamanya. Bermula dari sana, aku memutuskan menitipkan rasa sayang untuk keduanya. Apa aku salah menyayangi kalian? Tidak, aku tidak pernah menyesalinya. Ya, aku menyayangi Rizky dan Anisa. Bukan sebagai artis, tapi sebagai manusia.
Percaya atau tidak, aku selalu yakin mereka adalah dua orang baik, punya beberapa kesamaan seperti rasa sayang mereka ke mama mereka masing-masing, dan keinginan mereka untuk membuat orang lain bahagia. Mereka juga dua orang yang punya kemauan kuat untuk maju.
Melihat perjalanan mereka dalam membagi senyum dan tawa tiap kali terlibat dalam project yang sama, selalu berhasil membuat hati ini tertular virus mereka. Bahkan virus itu datang dan kemudian seolah enggan untuk pergi meninggalkan hati orang-orang yang mereka tulari. Itulah virus mereka, virus positif mereka yang menular melalui hal-hal yang sederhana tapi tidak berlebihan, semua berjalan alami alias natural, tapi sungguh indah. Apakah hanya kami yang merasakan itu, sementara mereka yang diberikan karunia energi positif itu justru tidak bisa merasakannya? Semoga tidak, karena yang terlihat, setiap kali kebersamaan terajut dalam project yang sama, sepertinya Tuhan juga memberikan kesempatan untuk mereka saling berbagi kebaikan, saling berbagi hal-hal positif meski itu pun semakin langka entah karena apa ☺✌.

-Bersambung di monolog selanjutnya, he he. Iseng menulis ini karena hati sepertinya ingin menuangkan monolog yang terselip dalam ruang akan rindu-

Cerbung : Melukis Kita Dalam Cerita Aku dan Kamu - Rizky Nazar as Varrho dan Anisa Rahma as Alfa

Rizky Nazar as Varrho dan Anisa Rahma as Alfa

Part 1: AWAL

"Apa kamu pikir hati ini dari pualam? Kamu dengan mudah berbuat seenaknya, menyanjung kemudian menghempaskannya? Bukankah kamu pernah bilang bahwa hati itu seperti kaca? Sekali dia pecah atau retak, sulit membuatnya kembali sama seperti semula".


Jam di dinding kamar Alfa menunjuk jarum 01.00 pagi saat Alfa masih memandangi langit-langit kamarnya, sambil sesekali dia mengusap air mata yang tidak mau berkompromi untuk tidak keluar. Ada yang berhasil meninggalkan luka dihatinya yang selama ini berusaha untuk ia beri benteng kuat untuk tidak mudah jatuh dalam luka.  
“Fa, kita agak menjaga jarak ya sementara ini. Gina, cewek aku, lagi sensitif ke kamu sepertinya, dia agak keberatan kalau kita terlalu dekat.,” suara Varrho beberapa hari sebelumnya kembali terngiang di telinga Alfa. Alfa yang baru duduk dengan berusaha terburu-buru demi memenuhi janjinya dengan sahabat baiknya itu pun langsung terdiam. Senyuman manis yang berusaha ia berikan ke Varrho pun langsung memudar. 
“Memangnya ada sikap aku yang membuat Gina ngerasa tidak nyaman, Rho? Apa aku sudah berbuat sesuatu yang salah?” tanya Alfa serius sambil berusaha untuk tersenyum lagi memandang ke arah Varrho. Varrho balas menatap Alfa tanpa suara. Varrho bingung bagaimana menjelaskan ke Alfa bahwa sebenarnya ceweknya itu cemburu dengan hubungan diantara Varrho dan Alfa. “Intinya, aku ga bisa sering-sering main bareng kamu lagi, Fa.. Dan aku harap kamu mau mengerti dan mengalah. Sementara ini kamu main aja dulu sama Beta ya”. 
“Tapi Rho, kamu sudah janji, di hari ulang tahun aku tiga hari lagi, kamu bakal meluangkan waktu kamu di hari itu untuk bercanda dan berbagi cerita denganku, seperti yang biasa kita lakukan dulu”.
“Kalau soal itu, kamu nggak usah khawatir, Fa... aku bakal datang menepati janji aku. Kita akan bercanda, main gitar dan nyanyi bareng juga dibawah langit yang penuh bintang seperti dulu lagi . Okay! Kita berdoa saja semoga di hari ulang tahun kamu, bintang-bintang tersenyum merayakannya”.
“Aamiin aamiin aamiin,” ujar Alfa seraya mengangguk angguk penuh semangat, ia kembali tersenyum lebar seolah permintaan Varrho agar dirinya menjaga jarak dengan Varrho dan sempat menghadirkan sedih di hatinya tadi terlupakan sejenak.   
Alfa dan Varrho adalah dua orang sahabat yang selalu mempunyai cara sendiri memaknai persahabatan mereka dalam rupa demi rupa yang sederhana. Mereka tidak bertemu setiap hari untuk menguatkan tali persahabatan mereka, tapi tiap kali bertemu mereka selalu menemukan cara untuk memaknai persahabatan itu meski dengan sangat sederhana. Tiap kali bertemu Alfa dan Varrho selalu memancing tawa demi tawa diantara mereka itu hadir menghangatkan perjumpaan mereka. Mereka membiarkan cerita demi cerita itu mengalir dengan sebebas-bebasnya untuk dibagi agar mereka lebih mengenal satu sama lain baik kelebihan maupun kekurangannya. Dan pada akhirnya di setiap perjumpaan itu pula mereka akan menarik simpulan akan hal-hal yang mereka lontarkan satu sama lain, bersama-sama mencari pembelajaran dibaliknya agar mereka menjadi manusia yang lebih baik, bijak, ceria, dan lebih mensyukuri hidup apapun suka dan dukanya. Mereka memang bukan dua orang sahabat yang saling mengenal sejak kecil, tapi kebersamaan mereka cukup mampu menghangatkan arti persahabatan itu sendiri karena seolah mereka memiliki kesepahaman meskipun mereka berbeda latar belakang dan beberapa pemikiran. Mereka selalu punya ruang dimana mereka kompak memandang sesuatu akan hidup. Hingga kemudian, Varrho pun mulai terbuka menceritakan tentang gadis yang ada di hatinya kepada Alfa, Gina namanya. Gadis itu bahkan hadir sebelum Alfa dan Varrho menjadi dua orang sahabat. Cerita hati Varrho tentang Gina tidaklah membuat Alfa merasa terganggu dan justru berusaha untuk menghargai keberadaan Gina, lebih memahami posisi dia terhadap Varrho. Hingga lambat laun ternyata persahabatan dan cinta itu tidaklah mudah bersanding tanpa ada gesekan diantaranya, apalagi mereka bertiga adalah tiga orang dewasa. 
“Oh ya, Rho... nanti kamu mau disiapin makanan apa buat menemani kita bercerita dan bercanda bersama bintang-bintang?” tanya Alfa tetap dengan semangat. 
 “Apa saja, Fa.. pasti ludes aku makan dan minum,” jawab Varrho sambil meringis. “Oh ya, Fa... aku pergi dulu ya, aku ada janji sama Gina he he...,” ujar Varrho sambil berdiri. Alfa langsung menganggukan kepalanya tanda paham, “Oh iya Rho, hati-hati ya...”. Setelah saling berbalas senyum lebar, Varrho pun pergi meninggalkan Alfa sendiri di tempat itu. 
Tiga hari kemudian, Alfa sengaja mampir ke toko roti membeli beberapa donat buat dirinya dan Varrho. Alfa juga sengaja menyiapkan coklat untuk minuman mereka berdua. Tak lupa Alfa juga membeli beberapa biskuit. Alfa sudah lama menunggu hari itu, beberapa waktu terakhir mereka seolah kesulitan bercanda bersama. Selepas menyelesaikan sholat Maghribnya, Alfa langsung mengeluarkan makanan dan minumannya di halaman rumahnya, siap menunggu kedatangan Varrho. Bintang di langit sudah tersenyum dengan terang dan tulusnya seolah ingin menemani Alfa di hari spesialnya itu. Alfa memetik gitarnya dan mulai menyenandungkan lagu demi lagu kesukaannya sambil menunggu kedatangan Varrho. Sesekali dia memandangi langit luas di malam itu, tersenyum menatap bintang-bintang yang terlihat tulus menemaninya dan hatinya. Detik demi detik pun berlalu... Alfa beberapa kali melirik arlojinya sambil sesekali melihati pintu pagar rumahnya, siapa tahu Varrho muncul disana. Detik demi detik pun terakumulasi dalam jam, bahkan Alfa sempat berbincang-bincang di telepon bersama Beta sambil menunggu kedatangan Varrho. Alfa kembali melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 00.15. Tak ada sms atau panggilan atau notifikasi pesan masuk satu pun dari Varrho di HP Alfa. Alfa memandangi makanan dan minuman yang sudah disiapkannya. Sambil tersenyum, ia kemudian mengambil kue itu dan memakannya, serta meminum coklat yang disiapkannya. “Selamat ulang tahun, ya Fa... Semoga berkurangnya jatah usia kamu, menjadikan kamu manusia yang lebih baik dan dewasa. Jadi manusia yang lebih kuat, ya Fa,” ujarnya kepada bayangannya sendiri sambil tersenyum dan kemudian sekali lagi menatap langit membagi senyum itu kepada bintang. “Mungkin Varrho lupa atau ada hal yang lebih penting untuk dilakukannya dibandingkan sekedar berbagi cerita dan canda bersamaku,” ujar Alfa sambil berusaha tersenyum diantara air matanya yang tiba-tiba ingin keluar. Alfa pun kemudian bergegas masuk ke dalam rumah, membereskan semua makanan dan minuman yang ia siapkan kemudian masuk ke dalam kamarnya.   
 Alfa terbangun dari lamunannya, sekali lagi ia buka HP-nya tapi tetap tidak ada notifikasi satu pun dari Varrho untuknya. Alfa kemudian memasang headsetnya dan memutar lagu-lagu kesayangannya hingga matanya akhirnya terlelap diantara air matanya yang masih tersisa malam itu. Tak ada rasa marah kepada Varrho, hanya terselip kecewa yang berusaha Alfa abaikan. Alfa selalu berprinsip dia tidak ingin mengingat orang dengan kekurangannya, tapi dia ingin mengingat orang dengan senyuman yang pernah mereka hadirkan untuknya. Meski Alfa juga gagal mengelak, saat perasaannya merasa sakit saat itu karena apa yang Varrho lakukan padanya.
 Keesokan harinya, Alfa berjanji datang ke sebuah acara bersama Beta. Sebenarnya Varrho juga diundang dalam acara itu, tapi Alfa seolah tahu diri, tidak mungkin Varrho memilihnya untuk datang bersama. Apalagi setelah permintaan Varrho agar Alfa menjaga jarak darinya. Alfa dan Beta pun janji bertemu langsung di tempat acara berlangsung. Beta sedang asyik menunggu Alfa yang sedang diperjalanan ketika Varrho tiba-tiba datang menghampiri Beta. “Ta, ada lihat Alfa?” tanya Varrho sambil tersenyum. “Tumben kamu ingat sama Alfa, Rho. Setelah kemarin kamu buat Alfa menunggu kamu sampai tengah malam karena dia percaya dan memegang janji kamu. Kamu sudah menyakiti Alfa dengan sukses, Rho. Kamu benar-benar tega,” cecar Beta setengah emosi sebagai sahabat Alfa. Varrho terdiam. Jujur di dalam hatinya, dia merasa bersalah, beberapa kali dia memang mengorbankan perasaan Alfa, meski disisi lain dia merasa tidak punya pilihan lain. “Maafkan aku, Ta... Aku memang bersalah ke Alfa, tapi aku punya alasan dan aku ingin menjelaskannya ke Alfa. Dia bakal datang ke acara ini kan, Ta? Aku berusaha telepon dan hubungi dia beberapa kali pagi ini, tapi dia sama sekali tidak menjawab. Aku harus bicara sama dia, Ta... . Aku...”.
Varrho belum menyelesaikan kalimatnya ketika ia melihat Alfa baru saja tiba. Wajah Alfa selalu saja tidak pernah lepas dari senyuman yang seolah tak pernah lelah ia bagi ke sekitarnya. “Alfaaa..., “ ujar Varrho pelan dan bergegas menghampiri Alfa diikuti dengan Beta dibelakangnya. Melihat Varrho yang berjalan kearahnya, sejenak Alfa memperlambat langkahnya meski senyuman itu tetap berusaha ia sunggingkan. Alfa berusaha lebih menguatkan hatinya di hadapan Varrho. “Alfa, ternyata kamu baru datang, aku menunggu kamu, aku ingin bicara sama kamu, Fa...,” ujar Varrho.
Alfa menatap Varrho sejenak. “Sorry Rho, bukan apa-apa tapi aku sudah berjanji dengan Beta sekarang. Kalau kamu mau bicara soal tadi malam, aku ngerti kok Rho. Pasti kamu nggak bisa datang karena ada hal yang lebih penting kan? Aku yakin kamu punya alasan, ya kan?” Susah payah Alfa berusaha tetap tersenyum ke laki-laki yang sedang menatapnya itu.
“Aku... aku benar-benar minta maaf Fa, maaf aku membuat kamu menunggu sampai tengah malam tanpa memberi kabar. Gina... Gina tiba-tiba mengajak keluar dan HP aku mati dan aku tinggal di kamar. Aku baru sampai rumah sekitar jam 01.00. Aku coba telepon dan mengirim pesan ke kamu selepas Shubuh, tapi kamu sama sekali tidak menjawab. Kamu pasti marah ke aku, ya Fa?” Varrho berusaha menjelaskan dengan raut wajah bersalahnya. Alfa menunduk sejenak kemudian tersenyum lagi ke Varrho, “Aku berusaha memahami posisi kamu, Rho. Aku tidak apa-apa. Maaf kalau aku tidak merespon tadi. Aku percaya kamu tidak datang tadi malam pasti ada alasannya. Makasih kamu sudah jelasin barusan. Sekarang kita lupakan saja ya, aku mau ngobrol sama Beta, Rho karena aku sudah janjian dengan Beta. Kamu... have fun ya”.
Alfa tersenyum lebar ke Varrho, seolah tidak terjadi apa-apa di hatinya seraya memberi isyarat ajakan pergi ke Betha. Sementara itu, Varrho hanya bisa memandangi Alfa yang menjauh darinya. Entah kenapa, rasa bersalah itu makin memenuhi hatinya meski Alfa tersenyum lebar sebelumnya. Seolah ada hal yang Alfa berusaha sembunyikan dari Varrho, semacam kecewa yang berusaha diabaikan Alfa. 
Alfa sedang asyik mengobrol dengan Beta dan beberapa teman lainnya ketika Alfa melihat Varrho yang sedang duduk menyendiri di acara itu. Sebenarnya sudah beberapa kali Alfa mencuri pandang memperhatikan gerak gerik Varrho yang seperti orang canggung di acara itu. Bahkan Alfa juga menyadari bahwa Varrho ada kalanya memerhatikan dirinya yang asyik dengan Betha. “   
“Kamu sedang memerhatikan Varrho ya, Fa? Sudahlah, Fa... ingat dia kemarin membuat kamu menunggu sampai tengah malam. Sewajarnya kamu marah ke Varrho kali Fa,” tanya Beta mengagetkan Alfa. 
Alfa tersenyum, “Kasihan Varrho, Ta, dia sendirian dan seperti orang yang bingung begitu. Dia bahkan tidak berusaha bergabung dengan teman-teman cowok yang lainnya”. Alfa terdiam sejenak. “Aku hampiri Varrho dulu, ya Ta. Kita disini ngobrol rame-rame berlima, sementara Varrho sendirian disana. Kamu nggak keberatan kan, Tha?”
“Aku sih sama sekali nggak keberatan Fa, tapi aku ikut kesal saja kalau ingat apa yang sudah diperbuat Varrho ke kamu. Harusnya kamu juga bisa ganti tidak peduli ke dia, nggak perlu mencemaskan dia seperti ini”.
Alfa lagi-lagi tersenyum kearah Beta. Alfa tahu sahabat baik yang ada dihadapannya itu berusaha memahami apa yang dirasakan oleh Alfa, berusaha ikut merasakan apa yang Alfa rasakan. Alfa kemudian merangkul bahu Beta seolah menenangkan sahabatnya itu. “Aku baik-baik saja, kok Ta. Kamu jangan mencemaskan aku, ya,” ujar Alfa sambil menepuk-nepuk lembut bahu Betha sambil menyunggingkan senyuman lebarnya ke Beta membuat Beta pun mengangguk akhirnya. Sepanjang yang Beta kenal, Alfa adalah sosok yang cukup tulus dalam berteman dengan siapapun termasuk dirinya maupun Varrho. Sosok teman yang asyik dan berusaha memahami orang dari sudut pandang orang itu dan bukan hanya sudut pandang dirinya. 
Alfa pun bergegas menghampiri tempat Varrho duduk sendirian. “Kok sendirian saja, Rho,” ujar Alfa tersenyum sambil menyodorkan sekotak susu coklat kearah Varrho. Varrho pun menoleh, “Alfa,... kok bisa ada susu coklat kotak? Kamu ambil dari hidangan sebelah mana, Fa?” balik Varrho bertanya sembari balas tersenyum ke Alfa. Alfa pun tertawa kecil, “Kebetulan aku bawa satu dari rumah buat jaga-jaga kalau tiba-tiba diperlukan, he he. Mau nggak, Rho?”. Varrho ikut tergelak sambil mengangguk dan mengambil sekotak susu dari tangan Alfa itu. “Makasih ya, Fa”.
“Gina belum datang ya, Rho kok kamu duduk sendirian saja disini dan tidak gabung dengan teman-teman cowok yang lain?”
“Aku tidak menunggu Gina kok Fa karena Gina memang tidak bakal datang juga, Fa”. Varrho memandangi Alfa sambil mulai meminum susu coklat pemberian dari Alfa itu. Alfa pun tersenyum kearah orang yang sedang memandanginya itu. “Keberatan kalau duduk disini menemani kamu, Rho?” tanya Alfa membuat Varrho pun tertegun. Varrho terdiam sejenak, “Bukannya kamu harus menemani Beta, Fa?” ujar Varrho balik bertanya. “Beta sedang asyik mengobrol dengan beberapa teman lamanya juga. Jadi nggak masalah kalau aku tinggal. Kecuali... kamu keberatan kalau aku temani...”
“Sama sekali nggak keberatan, Fa. Aku justru senang kamu masih mau menemani aku disini setelah apa yang sudah aku lakukan kemarin. Sekali lagi, maafin aku ya Fa,” balas Varrho dengan wajah kembali dihinggapi rasa bersalah .
Alfa pun balas melebarkan senyumannya untuk Varrho. “Sudah Rho, kita nggak usah bahas lagi soal semalam ya”. Meski hati Alfa masih dihinggapi rasa sakit tiap kali mengingat Varrho mengungkit kejadian di hari ulang tahunnya itu, tapi dia berusaha menyingkirkan rasa itu dengan rasa sayang dirinya untuk Varrho.
Alfa pun mengambil tempat duduk di sebelah Varrho Ia letakkan kue yang sengaja ia ambil sebelum menghampiri Varrho di meja depan tempat duduk mereka. “Daripada bengong, mending kita makan kue ini saja, Rho. Ini aku juga bawa biskuit coklat dari rumah, ayolah kita makan sampai habis,” ujar Alfa sambil tertawa renyah ke Varrho. “Kamu tuh, Fa... masih saja suka bawa stock makanan ya kemana-mana,” balas Varrho sambil tertawa lebar memandangi gadis di depannya yang menularkan tawa padanya. “Makasih banyak ya, Fa... sudah menemani aku ngobrol disini,” ucap Varrho kemudian. “Kamu tidak perlu mengucapkan terima kasih, Rho. Itulah sahabat Rho, saling menemani saat satu sama lain memerlukan, hmmm meski mungkin aku juga tidak selalu ada saat kamu perlukan. Maaf ya, Rho,” balas Alfa sambil tersenyum lebar. Dengan raut setengah tertegun, Varrho memandangi Alfa tanpa bersuara. Varrho tidak menyangka Alfa akan berkata seperti itu, padahal dirinya lebih sering bertindak egois dibandingkan Alfa dalam persahabatan mereka. Senyum Alfa masih tersungging dengan lebar ke Varrho, senyuman yang entah kenapa membuat hati Varrho perlahan menjadi tenang kembali. Varrho pun mengangguk, “Maafkan aku juga ya, Fa... aku belum jadi sahabat yang baik buat kamu, aku beberapa kali membuat kamu kecewa”. “Sahabat itu juga berarti berusaha saling memahami satu sama lain. Jadi...sudah cukup melonya ah Rho, mending kita nikmati kebersamaan kita ini dengan berbagi senyum dan tawa, Ok,” balas Alfa sambil tertawa kecil menatap Varrho sambil menyodorkan jari kelingkingnya ke Varrho tanda baikan membuat Varrho pun akhirnya ikut tergelak dan melingkarkan jari kelingkingnya ke kelingking Alfa. Mereka pun akhirnya menghabiskan kebersamaan mereka dengan menghabiskan makanan yang ada sambil tergelak dalam canda. Persahabatan mereka mungkin seumur jagung dan tidaklah seperti sepasang sepatu yang selalu bersama, tapi mereka utamanya Alfa ingin selalu mengisi kebersamaan mereka dengan bingkai senyum dan tawa meski mungkin didalamnya ada air mata yang mengalir. Persahabatan bukan hanya tentang berbagi sedih dan bahagia, tapi membalut sedih dengan bahagia saat dikenang nantinya.
 Seminggu berlalu, Alfa dan Varrho sama-sama sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sesekali mereka saling berkomunikasi via whatsapp atau SMS, sekedar memastikan satu sama lain baik-baik saja. Mereka tak sempat berbagi cerita tentang hal-hal yang terjadi di hidup mereka termasuk tentang perihal Alfa yang diterima bekerja di Kota Bandung, disebuah salah satu perusahaan yang sudah lama Alfa incar dan idam-idamkan. Namun, fakta itu justru menjadi kabar bahagia sekaligus sedih bagi Alfa. Sedih karena itu berarti, persahabatannya dengan Varrho mungkin akan semakin menjauh meski sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan semakin mudahnya sarana untuk berkomunikasi dimana pun mereka berada. Entah kenapa, masih saja ada kecemasan yang tiba-tiba muncul di hati Alfa, seolah dia akan kehilangan sahabatnya itu. Sementara itu, Varrho sendiri minggu itu disibukkan dengan jadwal pekerjaannya yang semakin padat ditambah dengan waktu yang harus dibaginya untuk Gina sehingga membuat Alfa menjadi urutan yang harus mengalah. Sepertinya Varrho selalu percaya bahwa Alfa adalah seseorang yang akan mampu memahami dan memaklumi dirinya, tanpa ia sadari kadang kepercayaan saja tak cukup tangguh untuk menghindarkan hati Alfa dari luka.      
“Wah, serius Fa, kamu diterima di perusahaan yang sudah lama jadi salah satu target kamu itu?” tanya Beta via telepon.
“Iya Ta, alhamdulillaah, benar-benar tidak menyangka saat menerima surat panggilan itu, he he. One of my dreams comes true. Tapi selama dua tahun aku bakal ditempatkan di Kota Bandung, Ta sebelum nanti bisa dipertimbangkan untuk dipindah ke kantor pusat di Jakarta,” balas Alfa.
“Selamat ya Fa, ikut senang mendengarnya. BTW, kok terdengar ada sedikit keraguan di suara kamu, Fa, ada apa? Kamu berat meninggalkan Jakarta tercinta ini buat stay di Bandung ya?”. Alfa masih terdiam. “Kamu berat meninggalkan sahabat-sahabat kamu yang ada di Jakarta ya?he he..Sok Pede ceritanya,” ujar Beta lagi.
“Meski Bandung dan Jakarta jaraknya sangat terjangkau, tapi pastinya aku harus tinggal di Kota Bandung dengan ritme kerja di perusahaan aku itu. Aku nggak mungkin bolak balik, Ta. Iya nih, entah kenapa, ada rasa sedih aja tiba-tiba harus meninggalkan Jakarta dan semua hal yang aku miliki disini, meski seminggu sekali tetap bisa pulang. Pastinya aku ga bisa sesering sebelumnya bertemu kamu Ta, apalagi... “. Alfa memilih tidak meneruskan ucapannya. Entah kenapa, rasa cemas itu kembali hadir dengan tiba-tiba di hati Alfa.
“Soal Varrho? Kamu mengkhawatirkan persahabatan kamu dengan Varrho ya, Fa?”
Alfa masih terdiam di tempatnya menelepon. 
“Wajar sih, Fa...apalagi dengan beberapa kejadian diantara kalian akhir-akhir ini. Kalian berdekatan tempat saja, dia kadang mengalahkan keberadaan kamu, apalagi kalian bertambah jauh, ya”.
“Entahlah Ta, jujur aku tiba-tiba merasa takut kehilangan Varrho sebagai sahabat, Ta. Bukannya aku tidak percaya Varrho, tapi persahabatan aku dan dia sekarang ini seperti menyimpan bom waktu. Aku takut, suatu saat, baik aku dan Varrho lelah dan tak ada lagi daya untuk menjaga persahabatan ini tetap hangat, kami akan kembali menjadi asing bahkan lebih asing daripada seorang teman sekalipun. Mungkin kecemasan aku ini terlalu berlebihan kali ya, Ta.”
“By the way, reaksi Varrho gimana Fa dengan kabar ini? Kamu sudah memberitahu Varrho kan?“ sambung Beta lagi.
“Aku belum mengabari Varrho, tentang ini, Ta. Dia lagi sibuk banget minggu ini, bahkan komunikasi via SMS atau WA pun sebatas pendek-pendek saja, sekedar menanyakan apa masing-masing diantara kami baik-baik saja. Tapi aku punya rencana Ta, setidaknya sebelum berangkat aku ingin meninggalkan kesan manis buat Varrho tentang persahabatan kami. Apapun yang terjadi setelah aku berangkat nanti, setidaknya tidak ada penyesalan yang akan aku rasakan tentang Varrho karena aku sudah memperjuangkan persahabatan kami,” jelas Alfa panjang lebar disertai dengan gelak tawa kecilnya seolah ia ingin menunjukkan semangatnya ke Beta.
“Good luck ya, Fa. Kalau kamu perlu bantuan tentang Varrho, aku siap membantu semampu aku, Fa. Berjuang dan semangat Alfa. Mungkin Varrho saat ini sedang sibuk dengan kehidupannya yang bahagia dan tidak bisa melihat arti kamu dengan jelas, tapi akan ada masanya, Varrho akan menyadari bahwa puzzle hidupnya tak kan lengkap tanpa adanya kamu, Fa.”
Alfa tersenyum mendengar ucapan Beta, setelah mengucapkan terima kasih dan membuat janji akan hangout bareng sebelum Alfa berangkat ke Bandung, pembicaraan telepon diantara keduanya pun terputus.
Alfa masih terdiam memandangi surat pemberitahuan panggilan kerja itu sembari tersenyum. Matanya sejenak menyapu ruangan kamarnya seolah membiarkan otak dan hatinya riuh berpendapat. Tak seberapa lama kemudian, Alfa pun memutuskan untuk menghubungi Varrho.
“Rho, lagi sibuk nggak?” ketik Alfa via WA. Ketika kemudian ada balasan dari Varrho, “Ada apa, Fa?” 
“Maaf ya, Rho kalau sebelumnya aku mengganggu waktu kamu. Aku cuma ingin mengajak kamu, sekali aja dalam minggu ini untuk kita bisa menikmati waktu matahari terbit, waktu senja dan waktu malam, sebentar saja bersama. Aku harap ada diantara pagi, sore dan malam kamu di minggu ini yang bisa terluangkan sejenak untuk kita bersama. Aku akan menunggu kabar dari kamu, semoga luang kamu masih ada. Tetap jaga diri dan kesehatan sesibuk apapun kamu, ya Rho”.
“Maaf ya, Fa aku benar-benar sibuk sampai satu minggu ke depan. Gina meminta aku menemaninya di beberapa project kerjaannya dan pekerjaan aku sendiri juga menyita waktu. Maafkan aku ya, aku tidak bisa berjanji ke kamu tapi kita usahakan ya, Fa. ”
Alfa memandangi jawaban Varrho tersebut sejenak. “Sahabat itu harus memahami satu sama lain, Fa. Jika sama-sama tidak ada yang bisa atau ingin memahami, maka sahabat hanya akan menjadi sekedar status tanpa nyawa dan makna,” tegas Alfa ke dirinya sendiri. 
“Iya Rho, nggak apa-apa. Aku bakal mengingatkan kamu, ya. Siapa tahu kamu ada waktu luang,” ketik Alfa lagi.
“Sip, Fa. Makasih ya, untuk doanya, kamu juga jaga kesehatan kamu, ya”. Dengan emotion senyum dari Alfa, percakapan mereka pun berakhir.  
“Aku bakal tunggu jawaban kamu, Rho,” bisik Alfa sambil melihati handphonenya sambil tersenyum. Alfa sengaja tidak memberitahu bahwa dirinya akan berangkat ke Bandung minggu depan ke Varrho. Dia ingin memberi tahu Varrho saat mereka bertemu dan bercengkerama sejenak bersama pagi, atau senja, ataupun gulita. 
Setiap hari, Alfa selalu mengirim pesan ke Varrho. Meski Varrho tak kunjung bisa mengabulkan permintaan Alfa karena waktunya habis untuk kesibukan kerjanya dan juga Gina. Namun, Alfa tidak pernah menyerah. Alfa tetap ingin mewujudkan kebersamaaan dia sejenak di pagi, senja, dan malam sejenak bersama Varrho sebelum dia berangkat. Hari itu hari ketiga, empat hari lagi sebelum Alfa berangkat ke Bandung. 
Alfa kembali mengirim pesan ke Varrho
“Rho, apa kamu ada waktu luang? apa bisa kita bertemu sejenak di pagi, senja, atau malam?” ketik Alfa.
Varrho pun balas menelepon ke Alfa.
“Assalaamualaikum, Fa.”
“Waalaikumsalam, Rho”.
“Fa, malam ini sepertinya kita bisa bercengkerama bersama bintang sekitar jam 7 malam. Insya Allah aku nanti aku ke rumah kamu ya,” ujar Varrho bersemangat.
Alfa pun tersenyum lebar, “Siap, Rho. Makasih banyak, ya Rho”.
“Oh ya, Fa, ajakan kamu soal pagi, senja, dan malam kemarin itu cukup terpenuhi salah satu atau gimana? Aku jadi bertanya-bertanya, Fa kenapa kamu ingin kita bertemu di tiga waktu itu? Ada apa sebenarnya, Fa?” terdengar suara yang penasaran bertanya.
Lagi-lagi Alfa tersenyum meski Varrho tak bisa melihatnya.”Nanti juga kamu bakal tahu kenapa aku mengajak kamu di tiga waktu itu. Aku berharapnya kita bisa mewujudkan ketiga waktu tersebut, Rho sebelum...”. Ucapan Alfa terhenti.
“Sebelum apa, Fa? Sepertinya ada yang aneh dengan kamu, Fa. Ada apa sebenarnya, Fa?” tanya Varrho semakin penasaran.
Alfa tertawa kecil di telepon sengaja supaya terdengar oleh Varrho. “Nggak apa-apa kok, Rho. Toh kita udah lama juga tidak bercanda, sejak kamu makin sibuk dengan kerjaan kamu dan juga Gina. Aku cuma ingin meluangkan waktu sejenak untuk persahabatan kita, Rho.”
“Hmmm, kamu benar Fa. Aku yang meminta kamu berjarak dan mengalah beberapa waktu terakhir ini. Maaf ya. Ya sudah, soal pagi, gimana kalau besok pagi kita bertemu. Kebetulan jadwal aku besok, masih bisa menyisipkan pagi untuk luang, Fa. Soal senja kita bicarakan lagi nanti, ya Fa.”
“It’s okay, Rho. Sampai jumpa nanti malam, ya. Terima kasih banyak kamu sudah meluangkan waktu kamu”.
“Tidak perlu berterima kasih Fa. Aku yang harusnya minta maaf, semakin tidak punya waktu dengan persahabatan kita akhir-akhir ini. Aku harap kamu bisa memahaminya ya, Fa. See you...”
“Insyaa Allah aku berusaha memahami kita, Rho. Sampai jumpa nanti ya Rho. Tetap semangat beraktivitas ya”.
  “Jangan lupa siapin coklat hangat dan gitar ya Fa,” sambung Varrho sambil tertawa di ujung telepon membuat Alfa pun tergelak bersama sahabatnya itu.
Sehabis maghrib, Alfa bersemangat membuat coklat hangat buat dirinya dan Varrho. Dia siapkan gitar dan beberapa cemilan juga sambil bersiap menunggu Varrho di tempat duduk di teras depan rumahnya. Bintang dan bulan sedang asyik bercengkrama malam itu membuat mata Alfa jatuh hati untuk kesekian kalinya. Tanpa sadar Alfa pun memetik gitarnya seolah ingin bergabung membagi canda bersama bintang dan bulan di langit. Tiba-tiba handphone Alfa berbunyi, sebuah pesan dari Beta. “Sedang apa, Fa?”
“Sedang menunggu Varrho datang, Ta,” balas Alfa. 
“Berarti kamu bakal memberitahu Varrho soal kabar gembira itu, ya Fa?”
“Iya, Ta. Doain aku bisa meninggalkan kesan yang indah ya bersama Varrho diantara kebersamaan aku dan dia yang makin langka ini, ya”. 
“Good luck ya, Alfa sayang”. Setelah saling berbagi icon senyuman, percakapan Alfa dengan Beta pun berakhir. 
Alfa membunuh waktunya dengan bersenandung sembari menatap langit yang dipenuhi bintang itu ketika sebuah pesan masuk di handphonenya.


Bersambung kembali, he he. 
Kata masih kelu bercengkerama mesra dengan ide dan tangan, malah sok puitis, ha ha. Ingin sekali meminta Rizky dan Anisa menjawab rindu tapi sekedar meminta pun seolah tak berhak meski kadang rindu itu menjadi liar, he he... malah melo lebay ngelantur, nggak penting dan lupakan, wkwkwkwk ☺✌. Penulisnya lagi galau belum bisa menyelesaikan cerita ini dalam rupa kalimat ☺✌.