Senin, 05 September 2016

YOU ARE THE ONE : "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 4


PART 4 : TENTANG KAMU ADALAH BAGIAN TENTANG AKU

Tiga hari berlalu sejak Nisa membuat rangkuman materi kuliah untuk Riza. Tiap satu catatan materi selesai, Nisa segera menitipkan catatan-catatan buat Riza itu lewat Ana. Riza pun masih setia dengan kalimat luar biasanya buat Nisa, ‘Maukah Kamu Menikah Denganku?’, membuat Nisa makin tersentuh dengan kegigihan laki-laki itu. Di satu sisi, apa yang dilakukan laki-laki itu membuat Nisa makin tidak ingin membebani sekaligus tidak ingin membuat Riza sedih karenanya. Itu sebabnya, tiap kali Riza mengirimkan kalimat istimewa itu, Nisa hanya membalas dengan kalimat  yang bermakna sama.
“Terima kasih untuk kegigihan kamu Riz, aku benar-benar tersentuh. Maaf, jawaban aku masih sama seperti sebelumnya. Apapun itu, kamu harus tetap semangat menyelesaikan tanggung jawab kuliah kamu dengan baik ya. Tetap semangat kuliah sambil kerja, Riza. You are the strong one :)”.
Mengetahui Nisa yang membuatkan rangkuman-rangkuman materi kuliah untuknya, membuat Riza semakin mantab untuk memperjuangkan perasaannya kepada Nisa. Riza semakin yakin bahwa sebenarnya Nisa punya perasaan yang sama kepada Riza. Riza hanya perlu kesabaran dan kegigihan untuk mengubah penolakan demi penolakan gadis itu terhadap lamarannya agar berubah menjadi jawaban ‘iya’, Riza hanya perlu waktu.
Catatan-catatan kecil Nisa untuknya itu pun hampir selalu dibawa Riza kemana-mana, menjadi salah satu semangat Riza untuk bisa menjalani kedua tanggung jawabnya, kuliah dan kerja, dengan baik.
Minggu itu adalah minggu ujian baik bagi Riza maupun Nisa. Keduanya sama-sama disibukkan dengan belajar untuk ujian. Meski demikian, tiap hari Riza tetap setia dengan kalimat ajaibnya buat Nisa ‘Maukah Kamu Menikah Denganku?’ ditambahi dengan beberapa tambahan kalimat semangat. Rabu di minggu itu, Nisa baru saja tiba di tempat kosnya ketika ia berpapasan dengan Ana yang terlihat bersiap-siap berangkat ke kampus.
“Ujian siang, Na?” tanya Nisa tersenyum kepada Ana, dibalas dengan anggukan dan senyuman penuh semangat dari Ana.
“Oh iya, kamu pernah bertemu Riza lagi ga Nis?” tanya Ana sambil menalikan sepatunya.
“Enggak, emangnya ada apa dengan Riza, Na?” ucap Nisa balas bertanya.
 “Tuh anak kelihatan capek banget dan ngantuk di ruang ujian, bahkan kemarin dia nyaris ga bisa ujian karena telat masuk. Untung masih ditoleransi sama dosen yang ngejaga. Dia masih kerja sore sampai pagi ya?” sambung Ana sambil menatap Nisa yang juga sedang menatap kearahnya.
Nisa menganggukkan kepalanya pelan. “Tapi... dia selalu masuk dan ga pernah absen kan, Na?”
“Setahu aku sih, dia selalu masuk meski dengan kondisi yang seringkali terlihat lelah itu. Cuma kadang Riza suka jadi bahan perbincangan temen-temen cewek di kelas, pada bingung kenapa Riza jadi berubah drastis gitu”.
Nisa hanya tersenyum, ia paham tidak mudah pastinya bagi Riza mengubah siklus kesehariannya setelah memutuskan bekerja.
“Kalian hari ini ujian jam berapa, Na?”
“Jam dua sampai jam empat sore, Nis. Kamu mau nemuin Riza ya?” tanya Ana tersenyum setengah menggoda Nisa.
Nisa pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Tempat ujian aku sama Riza di kelas yang dulu kamu nunggu Riza, Nis. Ya udah aku berangkat dulu, ya Nis”.
“Semangat Ana, good luck yaaa”.
Nisa bergegas membuka pintu kamarnya dan segera menyantap makan siang yang dibelinya dan sholat kemudian bergegas berangkat ke kampus lagi. Arloji di tangannya menunjukkan pukul 13.30 saat itu. 
15 menit kemudian, Nisa sudah duduk manis di bangku yang berada tak jauh dari kelas tempat Riza ujian, bak seorang detektif yang sedang melakukan pengamatan. Terlihat beberapa teman sekelas Riza ramai memasuki ruang ujian, tapi sejak Nisa datang ia tak juga melihat sosok Riza diantara orang-orang yang masuk ruangan itu. Nisa melirik kearah arlojinya, pukul 13.52, delapan menit lagi sebelum ujian Riza dimulai hari itu. “Semoga saja Riza sudah ada di dalam,” batin Nisa ketika terlihat seseorang berlari terburu-buru lewat di depannya kemudian bergegas masuk ke kelas tersebut dan ternyata itu Riza. Penampilan laki-laki itu sekilas terlihat agak awut-awutan. “Pasti ga mudah menjalani dua tanggung jawab dengan baik, ya Riz. Semangat Riza, good luck!” ucap Nisa lirih sambil tersenyum seolah ia sedang bicara dihadapan Riza.
Tiga puluh menit kemudian, Nisa terlihat berjalan mengintip lewat kaca di pintu kelas tempat Riza ujian, ingin melihat sekilas keberadaan laki-laki istimewanya itu ketika pandangannya tertuju di bangku pojok depan yang berseberangan dengan pintu masuk. Riza terlihat serius mengerjakan ujiannya, beberapa kali terlihat Riza menutup mulutnya karena menguap sambil terus menuliskan jawabannya di lembar ujian.
“Pasti kamu kurang tidur, ya Riz,” batin Nisa kemudian kembali duduk di bangku tunggu. Nisa pun membuka-buka catatannya. Esok hari, ada dua ujian yang harus dijalani Nisa, ujian teori dan praktik. Ujian praktiknya tentang sketsa sudah dicicil Nisa sebagian, oleh karenanya Nisa memanfaatkan waktunya untuk belajar buat ujian teorinya. Waktu di arloji Nisa menunjukkan pukul 15.00, Nisa bergegas melangkah ke kantin fakultas ekonomi dan membeli dua gelas kopi buat dirinya dan Riza. Beberapa saat kemudian Nisa kembali duduk di bangku semula sambil menunggu Riza keluar dari ruang ujian. Nisa mengambil HP di tas ranselnya kemudian menuliskan sebuah pesan via whattsapp buat Riza berharap Riza akan membacanya.
“Selesai ujian, tolong temuin aku sebentar di bangku tunggu di dekat ruang ujian kamu ya, Riz. Ada yang mau aku omongin:)”.
45 menit kemudian, terlihat beberapa orang keluar dari ruang ujian Riza, Nisa terlihat mengamati satu per satu wajah-wajah itu, tidak ingin pandangannya sampai melewatkan Riza. Semakin mendekati jam empat sore, makin banyak mahasiswa/i yang keluar dari ruangan ujian, termasuk juga Ana.
“Kok Riza belum keluar juga ya? Semoga kamu sukses menyelesaikan ujian kamu hari ini, Riz,” batin Nisa.
Lima menit kemudian, terlihat laki-laki yang ditunggunya itu keluar dari ruang ujian dan bergegas berjalan menuju parkiran, Nisa pun bergegas menghampiri Riza.
“Gimana ujiannya, Riz...?” tanya Nisa membuat Riza langsung mendongakkan pandangannya menatap gadis yang sedang membawa 2 gelas kopi di depannya.
“Nisa... kok kamu ada disini?”
Nisa tersenyum lebar. “Aku sengaja nungguin kamu keluar dari ruang ujian, ini aku bawain kopi buat kamu,” lanjut Nisa sambil menyodorkan segelas kopi ke Riza.
Laki-laki itu balas tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih kemudian langsung meminum beberapa teguk kopi di tangannya.
“Kamu tahu aja kalau aku lagi ngantuk banget, Nis,” ujar Riza sambil mengucek-ngucek matanya.
“Ya taulah, orang aku mondar-mandir beberapa kali di depan kelas kamu dan ngelihatin kamu beberapa kali nguap di pojok depan, Riz,” jawab Nisa dengan tawa kecilnya membuat Riza menoleh setengah tertegun kearahnya.
“Jangan bilang kalau kamu sengaja mengawasi aku selama ujian tadi, Nis?” tanya Riza tersenyum dengan pandangan penasaran ke Nisa. Nisa menganggukkan kepalanya sambil meringis.
“Iya, he he. Tadi kebetulan aku berpapasan dengan Ana di kosan, dia cerita kalau kamu terlihat capek banget dan kemarin bahkan terlambat masuk ruang ujian. Aku jadi penasaran pingin tahu langsung kondisi kamu, Riz. Makanya aku tungguin kamu selama ujian”.
Riza balas meringis meski tetap dengan mata sayunya itu, “Iya nich, ternyata ga mudah mengatur waktu antara kuliah dan kerja sekaligus, Nis. Aku masih suka keteteran sampai sekarang apalagi dengan tugas bertumpuk-tumpuk gitu”.
Nisa menatap Riza sejenak, keduanya saling tersenyum.
“Aku yakin kamu pasti bisa melakukan keduanya dengan baik, Riza. Kamu cuma perlu waktu buat menyesuaikan ritme kehidupan kamu saja,” lanjut Nisa penuh semangat sambil melebarkan senyumannya, membuat laki-laki itu pun tertawa dan menganggukkan kepalanya.
“By the way, makasih ya sekali lagi untuk rangkuman materi yang kamu buat untuk aku, Nis”.
“Emangnya berguna, Riz?”
Riza menganggukkan kepalanya sambil kembali meneguk kopinya. Dia membuka tas ranselnya dan memperlihatkan lembaran-lembaran kertas A4 yang sudah dilipat kecil-kecil berisi tulisan tangan Nisa. “Sangat amat membantu aku yang belajarnya agak kacau akhir-akhir ini, Nis. Kamu benar-benar calon temen hidup aku yang baik hati dan setia, Nisa. Nikah yuk, Nis,” ujar Riza terdengar mantap menatap Nisa dengan tersenyum. Nisa tertegun mendengar kalimat terakhir Riza itu, sejenak hening menyapa diantara keduanya. Nisa pun menundukkan pandangannya sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Maaf, Riza. Kamu sudah tahu jawabannya. Kamu layak mendapatkan perempuan yang lebih baik, Riz. Kita lebih baik berteman baik saja ya,” jawab Nisa kembali menatap sejenak Riza sambil berusaha tersenyum riang kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain.
Riza tak bergeming, tetap tersenyum menatap gadis di depannya itu.
“Aku paham kalau kamu masih belum bisa menjawab ‘iya’, Nisa... dan aku tidak akan menyerah meminta sampai kamu menjawab ‘iya’ Nis”. 
 Kalimat Riza itu lagi-lagi berhasil membuat Nisa tersentuh haru tapi gadis itu berusaha keras menata perasaannya agar tetap bersikap biasa dan tidak berkaca-kaca mendengar kesungguhan laki-laki itu. Nisa pun memberanikan menatap Riza dan tersenyum sejenak tanpa berkata apa-apa.
“Oh iya, gimana kondisi mata kamu, Nis? Apa pernah sakit lagi?” tanya Riza  mengalihkan pembicaraan.
“Mata aku baik-baik saja, Riz,” jawab Nisa kembali tersenyum lebar.
“Alhamdulillaah kalau begitu. Oh ya, besok kamu ada ujian nggak, Nis?” lanjut Riza lagi.
“Besok aku ada dua jadwal ujian, teori dan praktik, dari jam sepuluh pagi sampai jam tiga sore dipotong ishoma he he. Kamu sendiri, Riz?”
“Aku ada ujian jam sembilan pagi sampai jam sebelas. Semangat buat kitaaa,” jawab Riza mengepalkan tangannya sambil tersenyum tak kalah lebar. Lagi-lagi Riza beberapa kali menguap meski segelas kopi sudah ludes diminumnya.
“Habis ini kamu langsung pergi ke tempat kerja Riz?”
Riza menganggukkan kepalanya pelan sambil mengucek-ucek matanya yang masih saja terasa berat. Nisa mengamati gerak-gerik laki-laki itu.
“Jangan terlalu memaksakan diri kamu, Riza. Apa kamu tidak bisa minta keringanan selama minggu ujian, Riz?”
Riza menggelengkan kepalanya pelan sambil berusaha tersenyum lebar. “Aku gapapa kok, Nis. Percaya sama aku ya”.
Nisa menatap sejenak kearah Riza, ia bisa melihat kesungguhan di mata dan senyum teduh laki-laki itu. Nisa pun balas tersenyum lebar.
“Memangnya kamu masuk jam berapa, Riz?”
“Jam tujuh, Nis”.
 Nisa melirik ke arloji di tangannya, jam 16.21.
“Itu artinya kamu bisa mejemin mata kamu sejam sepertinya, Riz. Habis maghrib baru kamu berangkat kerja. Kamu kelihatan ngantuk banget gitu, bahaya kalau dipaksain naik motor”.
Riza menatap Nisa yang terlihat sedikit khawatir menatapnya. Riza pun tersenyum seolah ingin menenangkan gadis itu.
“Iya nih, ga tau kenapa mata berasa berat banget, perasaan udah habis segelas kopi, kok nggak mempan ya he he... Btw, maksud kamu aku tidur disini, Nis?”
Nisa tertawa mendengarnya.
“Ya nggak lah, Riz. Kalau kamu tidur disini, ntar orang bakal aneh ngelihat kita, Riz. Kita ke perpus aja, kamu bisa tidur sebentar di ruang belajar 24 jam, Riz”.
Riza balas tertawa kecil sambil mengangguk setuju.
“Itu artinya kamu nemenin aku, Nis? Emangnya kamu gapapa, kan besok kamu ada dua ujian?” tanya Riza.
“Iya, aku temenin kamu, Riza. Takutnya kamu kebablasan tidur sampai malam, ga ada yang bangunin. Jadi kamu tidur, aku disebelah kamu sambil belajar buat ujian teori aku. Tenang aja, aku bawa bahan-bahan buat ujian teori besok kok, Riz”.
Lagi-lagi Riza menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebih lebar.
“Ya udah, kita sekarang sholat Ashar dulu yuk, baru ke ruang belajar 24 jam,” sambung Nisa. Keduanya pun bergegas menuju ke musholla. Selepas sholat, Nisa meminta Riza menungguinya sejenak untuk membeli sesuatu.
“Ini kopi buat diminum setelah kamu bangun tidur nanti, Riz,” ucap Nisa dengan riang sambil menyodorkan segelas kopi dan sebotol air mineral ke Riza kemudian memasukkan sebotol air mineral untuk dirinya sendiri ke dalam tas ranselnya. Laki-laki itu pun tersenyum lebar mengucapkan terima kasih. Riza semakin bersemangat untuk mendapatkan jawaban ‘iya’ dari Nisa.
Sepuluh menit kemudian, Riza dan Nisa akhirnya sudah duduk di salah satu meja di ruang belajar 24 jam. Satu meja belajar itu memang diperuntukkan untuk dua orang. Tak perlu banyak waktu, Riza pun langsung terlelap dengan posisi duduk dan kepalanya ditumpukan diatas kedua tangannya, diatas meja belajar. Di sebelahnya, Nisa terlihat asyik membolak-balik lembar demi lembar bahan ujian teorinya besok. Sesekali Nisa melirik kearah Riza yang terpejam menghadap kearahnya. Wajah laki-laki itu terlihat lelah dan bulu di janggutnya terlihat sedikit lebat, sepertinya tak sempat tercukur sejak hari pertama ujian. Meskipun demikian, Nisa bisa melihat ada semangat di diri Riza sekacau apapun perubahan ritme hidupnya, membuat Nisa percaya bahwa laki-laki itu yakin dan tahu apa yang ingin diraihnya. Nisa tersenyum memandangi sejenak wajah laki-laki di sebelahnya itu. 
“Aku percaya kamu pasti bisa melakukan tanggung jawab kamu dengan baik, Riza. Perempuan yang menjadi teman hidup kamu nantinya pastilah perempuan yang sangat beruntung, Riz. Kamu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku,” batin Nisa menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan kembali belajarnya.

Malam itu, waktu menunjukkan pukul 21.11 ketika Nisa sedang asyik mengerjakan sketsa yang menjadi bahan ujian praktiknya esok hari. Tiba-tiba mata dan kepala Nisa kembali terasa sakit. Beberapa hari terakhir, beberapa kali Nisa merasakan sakit di mata dan kepalanya, meski dia berusaha tidak terlalu merasakannya. Seperti biasa dia pun segera meminum obatnya dan segera memejamkan matanya sejenak agar rasa sakit itu cepat berkurang. Nisa sengaja tidak menceritakan sakit yang dirasakannya kepada Riza, dia tidak ingin menambah beban pikiran dan membuat khawatir laki-laki itu.  Nisa sedang memegangi kepala dan bagian di sekitar matanya yang terasa sakit itu ketika handphonenya bergetar.
Nisa meraih handphonenya, ada pesan masuk di whattsapp-nya dari Riza.
“Selamat malam Nisa, maaf aku baru baca pesan kamu tadi :D.
Kamu masih belajar atau sudah tidur? Cukup istirahat ya, Nis biar besok fresh mengerjakan ujian teori dan praktiknya.
Btw, Nisa.. maukah kamu menikah denganku? :D :D Aku akan selalu menunggu jawaban kamu:)”.
Nisa tersenyum membaca pesan dari Riza itu diantara sakit di mata dan kepalanya yang belum juga hilang.
“Aku masih mengerjakan sketsa buat ujian praktik aku besok, Riz. Kamu sudah belajar buat ujian besok belum? Sudah makan malam belum?” ketik Nisa.
“Ini baru mulai baca-baca materi ujian dari rangkuman kamu, Nis. Mumpung ada waktu luang setelah satu kerjaan beres. Udah makan juga barusan. Kamu sendiri jangan lupa makan ya, Nis,” ketik Riza.
Nisa pun balas mengetik, “Aku juga udah makan tadi, langsung setelah sampai di kos, Riz. Ya udah kamu met bekerja sambil belajar ya. Ingat, jangan terlalu memaksakan diri kamu:)”.
“Siap :),” ketik Riza.
Nisa pun lagi-lagi tersenyum membaca percakapannya malam itu dengan Riza. Ia kembali teringat, kejadian sore tadi saat dirinya menemani laki-laki itu di ruang belajar 24 jam. Nisa beberapa kali melihati wajah Riza yang terlelap, ia ingin merekam ekspresi demi ekspresi laki-laki itu jika kemungkinan buruk dari penyakitnya itu suatu saat akhirnya terjadi. Saking gemas melihat Riza yang terlihat agak brewok dan awut-awutan, Nisa bahkan iseng mengambil foto Riza yang sedang terlelap itu. 
Nisa pun membuka folder foto di handphonenya, ia pun kembali senyum-senyum sendiri dan kemudian mengirimkan foto Riza itu via whatsapp dengan caption “Btw hampir kelupaan, kalau nanti ada waktu luang, jangan lupa cukur rambut dan brewok kamu ya Riz, he he he”.
“Waaaah, kamu iseng banget ngambil gambar aku pas tidur Nisaaa, untung aja ekspresi tidurku lagi bagus ha ha. Iya... iya nanti setelah ujian selesai aku janji bakal cukur, Nis he he,” ketik Riza dibalas Nisa dengan emotion senyum dan tertawa lebar.
“Btw, soal lamaranku, apa sudah ada jawaban yang berbeda dari kamu, Nisa?:)” ketik Riza lagi.
“Maaf Riza..., jawaban aku masih tidak berubah. Maaf yaaa...”. Jawaban dari Nisa itu pun mengakhiri percakapan keduanya.
Riza kembali membaca materi ujiannya besok dan Nisa pun bergegas melanjutkan mengerjakan sketsanya agar tidak banyak penyempurnaan yang dilakukan saat di kelas besok. Sakit kepala dan mata Nisa masih tetap terasa meski sedikit berkurang.
Malam pun semakin larut, saat Nisa kembali merasakan sakit  di mata dan kepalanya makin menjadi dan pandangannya mulai kabur, membuat Nisa akhirnya menggulung sketsa ujian praktiknya dan memasukkan kembali ke tempatnya. Perut Nisa terasa sedikit mual, membuat gadis itu pun meneguk kembali obatnya. Nisa tahu benar, salah satu gejala yang bisa dirasakan oleh penderita glaukoma sudut tertutup, sakit di mata dan kepalanya itu bisa menyebabkan perutnya terasa mual. Nisa pun mengambil gulungan sketsa taman impiannya dan mendekap gulungan itu sambil membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya.
“Aku yakin aku pasti bisa sembuh. Dan kalaupun aku harus mengalami kebutaan permanen, aku akan menyelesaikan sketsa yang jadi misi aku ini. Aku pasti bisa. Semangat Nisa menghadapi hari esok dan esoknya lagi,” ucap Nisa lirih dan tersenyum lebar sambil memejamkan matanya diantara sakit yang makin dirasakannya. Doa pun terucap pelan dari bibir Nisa sebelum akhirnya gadis itu terlelap dalam tidurnya.
Waktu merangkak naik, pagi pun menjelang. Alarm jam beker Nisa pun berdering saat waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi. Nisa membuka matanya, rasa sakit itu sudah jauh berkurang dibandingkan sebelum tidur meski tetap saja terasa.
Nisa meraih handphonenya yang ia geletakkan di meja belajar, hendak men-charge baterainya ketika ia lihat ada tiga pesan dari Riza, tertanda pukul 23.36, waktu-waktu dimana Nisa merasakan sakit yang makin menjadi sebelum akhirnya terlelap.
“Nis, kamu baik-baik aja, kan? Sakit mata kamu tidak kambuh kan, Nis?
Ga tau kenapa perasaan aku tiba-tiba mendadak ga enak dan aku langsung kepikiran kamu.
Semoga aja ini cuma akunya aja yang sedang terlalu baper alias kebawa perasaan”.
Pesan kedua Riza tertanda pukul 00.10, “Nisa...”. Sementara pesan ketiga Riza tertanda pukul 01.00, “Nis...”.
Nisa tersenyum haru membacanya. Nisa sedikit tertegun, entah kenapa laki-laki itu seolah bisa ikut merasakan saat dirinya kesakitan tadi malam.    
Nisa pun bergegas mengetik, “Maaf aku sudah tidur pulas semalam. Aku baik-baik saja, Riz. Mungkin kamu terlalu banyak pikiran aja jadinya terlalu kebawa perasaan. Semangat buat ujian hari ini ya. Good luck for us!!! :D :D”.
“Maaf ya, Riz kalau aku tidak berterus terang ke kamu, tapi aku insyaa Allah baik-baik saja,” ucap Nisa lirih kemudian meletakkan handphonenya lalu bergegas melanjutkan belajar untuk ujian teorinya.
Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi saat ada pesan masuk kembali di handphone Nisa dari Riza.
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, Nis. Iya mungkin aku terlalu baper bin laper kali ya he he. Selamat berjuang di ujian hari ini, Nis!
Ups... satu agenda rutin hampir terlupa. Jadi.... maukah kamu menikah denganku, Nisa? :D”
Nisa pun hanya tersenyum membacanya, memutuskan tidak menjawabnya. Ia mengambil buku hariannya kemudian menuliskan di halaman 'Kalimat Ajaib dari Laki-laki Luar Biasa',  ‘Proposal ke 141, 4 Juni 2015: pukul 07.00, komen: terima kasih karena kamu masih tetap teguh memperjuangkan perasaan aku, Riza. Aku merasa sangat sangat sangat bahagia dan tersentuh meski tidak bisa menjawab iya. Semoga Tuhan menunjukkan seseorang yang terbaik dan memberikan kebahagiaan untuk mewarnai hari-hari kamu, Riz’. Nisa pun mengembalikan buku hariannya ke tempat semula dan bergegas melanjutkan belajarnya. Sementara itu di tempat kerjanya, Riza sedang bersiap-siap untuk pulang sebelum berangkat kembali ke kampus. Riza terlihat beberapa kali melihati layar handphonenya, berharap akan ada balasan dari perempuan istimewanya itu meski ia tidak terlalu banyak berharap. Ia sadar, Nisa masih kokoh dengan pendirian untuk menolak lamarannya.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 ketika Nisa siap-siap berangkat menuju kampus, memastikan tidak ada peralatan dan bahan-bahan untuk keperluan ujian hari ini yang tertinggal. Nisa meraih handphonenya yang baterainya sudah terisi penuh itu ketika kepalanya dan matanya kembali terasa sakit, membuat Nisa langsung terduduk di ranjangnya.
“Aku pasti bisa mengalahkan rasa sakit ini. Berikan hamba kekuatan Tuhan untuk bisa menyelesaikan ujian hamba dengan baik,” ucap Nisa lirih sembari masih memegangi kepalanya. Ia pun menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, seolah ingin mengumpulkan tekadnya untuk bisa melawan rasa sakit yang ia rasakan. Ia ambil sebungkus roti yang sengaja ia jadikan stok makanan kemudian memakannya lalu menelan obatnya. Setelah beberapa menit kemudian, saat rasa sakitnya mulai reda, Nisa pun berangkat ke kampus.
“Bismillaah... semoga diberikan kekuatan untuk menghadapi hari ini dengan baik,” ucap Nisa dengan tersenyum yakin, “semangat Nisaaa!”.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 ketika ujian teori Nisa dimulai. Sejam lebih dahulu, Riza juga sedang mengerjakan ujiannya di tempat yang berbeda. Riza bertekad akan gantian memberi kejutan menemui Nisa di fakultas gadis itu selepas Nisa menyelesaikan ujian praktiknya. Riza ingin membalas perhatian kecil Nisa sehari sebelumnya.  Sebelumnya, Riza memang tidak pernah mengunjungi Nisa di fakultas gadis itu, terlebih sebelumnya saat Riza beberapa kali masih sibuk dengan petualangan hatinya. Riza dan Nisa biasanya bertemu di taman terbuka hijau yang ada di kampus itu, itu pun tidak terlalu sering. Hari Kamis itu, penampilan Riza terlihat lebih rapi dibandingkan beberapa hari sebelumnya. Riza seolah kembali ke penampilannya yang dikenal sebagai salah satu cowok berpredikat cool di fakultasnya. Sementara itu, waktu terus berjalan dan Nisa terlihat serius mengerjakan ujian teorinya hingga waktu ujian selesai. Beberapa kali, Nisa memegangi kepala dan bagian pelipis matanya ketika sakit itu kembali ia rasakan meski ia tetap berusaha fokus mengerjakan ujiannya.
Waktu menunjukkan pukul 13.00 saat itu ketika Nisa mulai mengerjakan ujian praktiknya. Sebelumnya saat istirahat tak lupa ia meminum obatnya, berharap bisa membuat pergi rasa sakit di mata dan kepalanya. Gadis itu terlihat serius menyelesaikan gambar sketsa yang jadi materi ujiannya. Sementara itu selepas sholat dan makan siang, Riza yang mengisi waktu  luangnya untuk belajar materi ujian esok hari di taman yang ada di fakultas Nisa pun bergegas menuju ke depan kelas tempat Nisa ujian setelah dia menjadi ala-ala detektif mencari tahu dimana ruang ujian Nisa sebelumnya. Ia lirik arlojinya, jam 14.03, sekitar satu jam lagi sebelum waktu ujian Nisa selesai. Riza pun memilih duduk tak jauh dari depan ruang ujian Nisa sambil mengamati pintu ruangan itu kalau-kalau Nisa keluar. Ia sengaja tidak memberitahu Nisa via whatsapp kalau ada disana. Di dalam ruang ujian, Nisa masih tetap berusaha menyelesaikan sketsanya dengan sebaik mungkin ketika keringat dinginnya makin banyak keluar dan Nisa berusaha mengelapnya dengan tissue. Nisa sudah berusaha mengabaikan dan menahan rasa sakit di kepala dan matanya, tapi sakit itu makin lama justru makin terasa, pandangannya pun mulai kabur. Mual itu pun makin menjadi dirasakannya hingga akhirnya gadis itu memutuskan mengumpulkan sketsanya ke penjaga ujian di depan kelas setelah ia berjuang keras untuk buru-buru menyelesaikannya sejak ujian dimulai.
“Kamu nggak boleh pingsan disini, Nisa. Kamu pasti kuat jalan pulang ke kos,” batin Nisa melangkah pelan keluar dari ruang ujian. Wajah gadis itu terlihat memucat. Nisa pun berjalan pelan kearah toilet berusaha menahan rasa mual dan sakitnya. Di saat bersamaan Riza menghampiri Nisa sejak ia melihat gadis itu keluar dari ruang ujian setelah sebelumnya sempat heran karena gadis itu keluar dari ruang ujian lebih awal. Lorong fakultas teknik itu terlihat agak sepi, hanya beberapa orang terlihat berlalu lalang. Riza baru akan memanggil Nisa, hendak memberi kejutan buat gadis itu ketika ia baru menyadari ada yang tidak biasa dengan Nisa. Gadis itu terlihat... pucat(?).
“Apa kamu sakit, Nis? Atau ini cuma aku yang terbawa perasaan seperti tadi?” batin Riza. Riza pun akhirnya memutuskan mengikuti Nisa beberapa langkah di belakangnya. Nisa terlihat masuk ke toilet dan Riza pun memutuskan menunggunya persis di dinding disamping tulisan toilet itu.  Di dalam toilet, tak ada satu pun orang saat itu disana, Nisa  buru-buru masuk ke satu bilik dan gadis itu pun langsung muntah beberapa kali selama beberapa menit di dalamnya. Tiap kali Nisa muntah, itu juga berarti sakit di kepala dan matanya pun makin menjadi, tapi Nisa tidak ingin menyerah, ia tetap berusaha menahan sakitnya, tidak ingin pingsan di kampus.
“Aku ga boleh pingsan disini, aku harus bisa menguatkan diri aku sampai di kos,” batin Nisa sambil masih terduduk jongkok didalam toilet setelah membersihkan muntahannya. Pandangannya semakin kabur dibandingkan sebelumnya. Gadis itu terlihat beberapa kali menarik nafas dalam-dalam berusaha menguatkan dirinya sendiri lalu kemudian dengan susah payah berdiri. Keseimbangan badannya pun mulai agak hilang karena sakit di kepala dan matanya makin menjadi, tapi Nisa bertekad ke dirinya sendiri bahwa dia harus kuat. Sementara itu, Riza yang berdiri di dekat dinding depan toilet terlihat khawatir karena Nisa tidak kunjung keluar dari toilet, padahal 15 menit sudah gadis itu didalam ketika kemudian Nisa terlihat keluar dan berjalan pelan kearah berlawanan dari tempat Riza berdiri tanpa menyadari keberadaan laki-laki itu.
“Nisa...,” panggil Riza pelan membuat Nisa menghentikan langkahnya. Nisa sangat mengenali suara itu. “Kenapa Riza bisa ada disini?” batinnya. Nisa sengaja memegang dinding di sebelahnya, menyamarkan keseimbangan tubuhnya yang mulai sedikit hilang.
“Apa kamu sakit, Nis? Wajah kamu terlihat pucat gitu dan kamu keluar dari ruang ujian lebih awal banget,” tanya Riza terdengar khawatir. Nisa masih membelakangi Riza, Nisa lagi-lagi mengelap keringat dingin di wajahnya dengan tangannya sambil menarik nafas dalam-dalam. Nisa tidak ingin Riza tahu kondisinya saat itu. Nisa pun kemudian membalikkan badannya menghadap Riza dengan senyuman lebarnya yang susah payah diupayakannya untuk laki-laki itu, ingin menghapuskan rasa khawatir laki-laki itu. “Aku baik-baik aja, Riz... . Wajah aku terlihat pucet sepertinya karena kehabisan energi setelah berjuang di dua ujian hari ini. Capeeek he he”. Nisa berusaha tetap berusaha tersenyum lebih lebar dan riang meski disisi lain dia berusaha menyembunyikan dan menahan sakit yang makin menjadi. Bahkan Nisa tidak bisa melihat dengan jelas wajah Riza yang terlihat kabur di pandangannya. Samar Nisa hanya bisa melihat sepertinya Riza sedang tertawa kecil mendengar jawabannya.
“Beneran kan kamu nggak apa-apa, Nis?” tanya Riza lagi, laki-laki terdengar ragu melihat wajah Nisa yang pucat itu.
Nisa menganggukkan kepalanya pelan. “Oh iya, kamu kok tumben kemari, Riz? Ada apa?” lanjut Nisa tetap berusaha tersenyum sambil tangannya kanannya memegang erat dinding di sebelahnya dan tangan kirinya ia kepalkan erat di belakang tubuhnya berusaha mengalihkan rasa sakitnya.
“Aku mau menraktir kamu makan sore ini, Nis. Kemarin kan kamu udah beliin aku kopi dan nungguin aku ujian sampai nungguin aku tidur di ruang belajar. Jadi sekarang gantian. Yaa sekalian soalnya kan aku juga belum sempat menraktir kamu setelah menerima gaji pertama aku. Mau yaaa?” ucap Riza dengan senyum lebarnya.
Saat itu tersenyum terasa sulit untuk dilakukan Nisa karena ia sangat ingin berteriak sakit karena sakit kepala dan matanya semakin tak tertahan lagi membuat Nisa hampir menyerah. Namun Nisa tetap berusaha tersenyum, “Sorry banget, Riz. Ada yang harus aku kerjain sekarang. Traktirannya lain kali aja, ya... Aku pulang dulu ya”. Riza pun mengangguk pelan, memandangi gerak-gerik Nisa. Dengan sisa tenaganya, Nisa berusaha segera menjauh dari Riza, dia tidak ingin insiden pingsan sebelumnya terjadi lagi saat dia bersama Riza. Namun manusia hanya bisa berusaha dan berencana, Nisa baru melangkah empat langkah ketika lagi-lagi kepalanya seperti dipukul palu besar membuat pandangannya yang kabur itu berubah menjadi gelap seketika.
“Nisa... Nisa kamu kenapa, Nis? Bangun Nis,” ucap Riza panik melihat wajah Nisa yang sangat pucat dan terlihat kesakitan. Kejadian itu terjadi lagi, meski kali ini saat tubuh Nisa terkulai, Riza menahan tubuh gadis itu. Dengan meminta pertolongan ke mahasiswa yang saat itu lewat disana, Riza pun membawa Nisa ke rumah sakit menggunakan taksi.
Hampir dua setengah jam sejak Nisa pingsan, gadis itu belum juga membuka matanya. Riza terlihat duduk di sebelah tempat tidur Nisa, menunggui Nisa dengan raut khawatir yang tidak bisa disembunyikannya. Laki-laki itu hampir tak pernah sekalipun meninggalkan Nisa kecuali untuk sholat.
“Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu sakit, Nis?” ujar Riza lirih melihati wajah perempuan berjilbab bunga-bunga yang terpejam dan pucat itu. Dokter mata sempat memeriksa kondisi Nisa atas permintaan Riza yang menjelaskan penyakit glaukoma Nisa. Beberapa menit kemudian, Nisa terlihat perlahan sadar dan membuka matanya. Kepala dan matanya masih terasa sakit dan pandangannya pun masih kabur.
“Kamu sudah sadar Nis? Mana yang sakit, Nis? Apa mata kamu masih sakit?”
Nisa sangat mengenali suara laki-laki yang terdengar sangat cemas itu. Riza, kekhawatiran laki-laki itu sama sekali tak berubah seperti saat dirinya pingsan sebelumnya. Nisa menoleh ke tempat laki-laki itu duduk, seolah menatapnya meski ia tidak bisa melihat wajah Riza dengan jelas. Nisa tersenyum lebar, ingin mengusir pergi kekhawatiran laki-laki itu untuknya.
“Maaf ya Riz, aku pingsan lagi ya... . Aku baik-baik aja, Riza, cuma sedikit sakit di kepala dan mata aja, berasa kepukul palu he he,” ujar gadis itu berusaha tertawa.
Riza hanya terdiam, ia tahu gadis itu hanya ingin menenangkannya.
“Kenapa kamu tidak mau membagi sakit kamu dan memilih menanggungnya sendiri, Nis? Kamu tahu perasaanku ke kamu, itu sebabnya aku ingin menikah dengan kamu. Aku ingin kamu membagi sakit dan sedih kamu dengan aku, Nis”.
Kalimat Riza itu lagi-lagi berhasil menyentuh hati Nisa. Dia bisa merasakan ketulusan laki-laki itu.
Nisa kembali berusaha tersenyum lebih lebar diantara sakit yang ia rasakan merambat kembali di kepala dan matanya. “Tapi aku lebih suka membagi tawa dan senyum aku bersama kamu, Riza”.
Riza balas tersenyum lebih lebar kearah gadis itu.
“Apa kepala dan mata kamu masih sakit, Nis? Apa pandangan kamu masih kabur? Tolong jawab dengan jujur kali ini, Nis,” sambung Riza.
Nisa tersenyum lirih dan mengangguk pelan, “Tenang, Riz. Aku bakal baik-baik saja insyaa Allah”.
“Ya udah kamu istirahat aja lagi, ya,” lanjut Riza lagi-lagi dibalas anggukan pelan Nisa.
Nisa memejamkan matanya sejenak, seolah ingin mengusir pergi sakit di kepala dan matanya, tapi sakit itu justru kembali terasa. Nisa tiba-tiba kembali merasa mual, tapi Nisa berusaha menahannya, ia tidak ingin muntah di hadapan Riza.
“Riz, bisa tolong ambilkan kantong plastik di ransel aku?” ucap Nisa pelan menatap Riza yang masih terlihat kabur di matanya.
“Kantong plastik? Buat apa, Nis?”
“Please, Riz...,” ujar Nisa tetap berusaha tersenyum tanpa menjelaskan apa-apa.
Riza pun bergegas membuka tas ransel Nisa yang ia letakkan di meja di belakang tempatnya duduk, mencari kantong plastik yang diminta Nisa. Ada obat-obatan di dalam tas itu selain bahan kuliah Nisa juga satu pak kantong plastik. Sejak Nisa tahu bahwa dia bisa mengalami mual dan muntah akibat penyakit glaukomanya itu, Nisa selalu membawa kantong plastik kemanapun ia pergi.
Riza yang sebenarnya masih bertanya-tanya tentang kantong plastik itu pun memilih diam, hanya memenuhi permintaan Nisa.
“Ini kantong plastiknya, Nis. Kamu perlu berapa?” tanya Riza kembali duduk di dekat Nisa. Gadis itu terlihat terpejam seperti menahan sakit membuat Riza yang baru menyadarinya pun panik. “Kamu kenapa Nisa? Kamu merasa kesakitan?”
 Nisa menggelengkan kepalanya pelan, susah payah ia mencoba membuka matanya dan tersenyum ke laki-laki yang terdengar panik itu.
“Tolong doublein kantong plastiknya ya, Riz dan aku mohon kamu keluar dari kamar sebentar ya,” ucap Nisa lirih. Susah payah ia menahan cairan di perutnya itu tidak keluar saat Riza masih di sebelahnya.
Riza makin bertanya-tanya dengan permintaan Nisa itu.
“Tapi untuk apa kantong plastik ini Nisa? Dan aku ga mau keluar, aku mau menemani kamu, Nis,” tanya Riza menyerahkan kantong plastik itu ke tangan Nisa.  
“Perut aku mual banget. Aku ga mau kamu melihat aku muntah, Riza. Jadi tolong kamu keluar ya,” sambung Nisa lirih, cairan di perutnya itu terasa di kerongkongannya dan Nisa tetap berusaha menahannya tidak keluar sebelum Riza pergi.
Riza langsung mengambil kembali kantong plastik di tangan Nisa itu dan memeganginya, mendekatkannya di dekat mulut Nisa.
“Aku ga akan keluar dari sini, Nis. Kalau kamu mau muntah, muntahin aja. Biar aku yang bantu memegangi kantong plastik ini buat kamu,” ucap Riza tegas tapi tetap terdengar khawatir bahkan lebih khawatir di telinga Nisa. Saat itu, kondisi Nisa sudah tidak memungkinkan dirinya untuk berdebat dengan Riza karena cairan perutnya sudah tidak bisa lagi ditahan untuk keluar. Gadis itu kembali muntah beberapa kali selama beberapa menit. Riza ikut merasa tersiksa melihat Nisa seperti itu. Wajah Riza pun terlihat panik meski dia tidak berkata apa-apa. Riza tidak tahu bahwa setiap kali Nisa muntah, rasa sakit yang dirasakan Nisa justru bertambah dan makin menyiksa gadis itu.
“Enakan ga, Nis? Apa perut kamu masih mual? Apa kepala dan mata kamu sakit, Nis?” Riza memberondong Nisa dengan beberapa pertanyaan sekaligus saking paniknya saat Nisa berhenti muntah. Riza mengusapkan tisu ke mulut Nisa kemudian mengusapkan tisu ke keringat dingin di wajah Nisa. Nisa hanya diam, tak menjawab. Gadis itu terbaring dengan mata terpejam dan ekspresi kesakitan. Kepala dan matanya terasa sakit luar biasa hingga ia tidak bisa merespon pertanyaan Riza itu. Riza tetap mendekatkan kantong plastik itu di mulut Nisa. Muntahan gadis itu tak banyak, lebih kearah cairan karena tanpa Riza tahu isi perut Nisa sudah terkuras ketika Nisa muntah di toilet kampusnya sebelumnya.
“Nisa,” panggil Riza sambil menggoyang pelan bahu Nisa, ia sangat khawatir Nisa kembali pingsan dan terjadi apa-apa ke gadis itu. Nisa tetap tak menjawab, nafas gadis itu naik turun menahan sakit di mata dan kepalanya ketika kemudian ia kembali memuntahkan cairan bening beberapa detik sebelum akhirnya terkulai lemas dan benar-benar kehilangan kesadarannya.
“Nis... Nisa...bangun Nis...”. Riza pun bertambah panik melihat Nisa yang semakin pucat pasi itu, ia pun segera mencari pertolongan dokter dan perawat.
Arloji Riza menunjukkan pukul 19.04 ketika Nisa kembali membuka matanya. Jarum cairan infus masih terpasang di tangannya dan Riza terlihat masih menemaninya, duduk di sebelah tempat tidurnya memandangi Nisa.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nis. Apa kamu bisa melihat aku? Apa kamu masih merasa mual? Apa mata dan kepala kamu masih sakit banget?” tanya Riza terdengar sangat khawatir.
Nisa tersenyum lebar kearah laki-laki itu.
“Sekarang sudah jauh berasa enakan, Riz. Kepala dan mata aku udah hampir ga sakit lagi, dan udah nggak mual lagi,” jawab Nisa berusaha riang, “aku juga bisa melihat kamu meski masih agak kabur, Riz”. Pandangan gadis itu masih sedikit kabur, tapi sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Aku tadi pingsan lagi ya, Riz?” tanya Nisa merasa bersalah ke laki-laki itu.
Riza menganggukkan kepalanya. “Tadi kamu benar-benar membuat aku merasa khawatir, Nis. Aku takut terjadi apa-apa dengan kamu”.
“Maaf ya, Riz udah bikin kamu jadi khawatir,” sambung Nisa.
Riza tersenyum lebih lebar, ia tidak ingin Nisa merasa bersalah kepadanya.
“Kamu tidak perlu minta maaf, Nis. Kamu tidak pernah meminta aku buat mengkhawatirkan kamu. Aku yang mau karena kamu perempuan yang sangat berarti buat aku. Aku lega karena sekarang kamu sudah jauh lebih baik”.
Nisa melebarkan senyumannya, ucapan Riza membuat hati Nisa sangat tersentuh.
“Tadi dokter bilang kalau operasi mata sepertinya menjadi jalan yang terbaik buat menyembuhkan penyakit glaukoma kamu, Nis. Dokter khawatir, serangan glaukoma yang terjadi ke kamu lebih dari sekali sehari ini bahkan kamu sampai pingsan dua kali dan muntah-muntah parah seperti tadi itu membuat peluang kamu kehilangan penglihatan permanen lebih besar, Nis,” ujar Riza tetap terdengar sangat mengkhawatirkan Nisa.
Nisa diam menatap Riza yang masih terlihat agak kabur itu kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Aku takut operasi, Riz. Aku ga mau operasi. Aku akan tetap berobat jalan aja”.
“Aku akan temani kamu di ruang operasi biar kamu tidak merasa takut, Nis. Kamu mau ya menikah sama aku, Nis?” tanya Riza lembut tapi penuh kesungguhan sambil menatap lembut Nisa.
“Aku ingin sekali membahagiakan kamu seumur hidup aku, Riza. Tapi aku takut aku tidak bisa melakukannya,” batin Nisa sambil menunduk. Nisa kembali tersenyum ke Riza, lagi-lagi menggelengkan kepalanya pelan. “Maaf, Riz, jawabanku tetap sama. Dan aku tetap memilih berobat jalan di luar operasi saja”.
Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan.
“Aku paham dan ga akan memaksa, Nisa... mungkin kamu masih perlu waktu untuk berpikir tentang lamaran aku dan juga tentang operasi. It’s okay, yang pasti aku ga akan menyerah untuk terus meminta kamu tentang dua hal itu”.
Nisa hanya diam dan balas tersenyum.
“Oh iya, Nis apa ga sebaiknya kamu memberitahu kondisi kamu ini ke ayah kamu?” tanya Riza.
Nisa menggelengkan kepalanya tanpa keraguan. “Aku ga mau bikin ayah aku khawatir dan cemas, Riz. Aku baik-baik saja dan insyaa Allah aku ga akan mudah menyerah karena penyakit ini. Aku akan terus berobat jalan dan berdoa. Kalau akhir-akhir ini beberapa kali serangan itu kambuh, mungkin karena kecapekan ujian aja, Riz,” jelas Nisa dengan senyum lebar dan bersemangat.
Riza balas tersenyum simpul. “Emangnya ayah kamu ga bakal curiga kalau kamu perlu uang lebih buat biaya pengobatan kamu, Nis?”
Nisa menggelengkan kepalanya pelan. “Sampai sekarang sih, alhamdulillah nggak curiga. Soalnya untuk pengobatan ini aku menyisihkan sebagian dari jatah uang makan aku selain juga dari honor-honor part time ikut ngebantuin desain proyeknya temen sejak setahun terakhir ini he he”. Jawaban Nisa itu membuat Riza makin kagum dengan kemandirian perempuan yang ada didekatnya, tapi sempat terlewatkan olehnya.
“Oh iya, bicara kamu kecapekan gara-gara ujian... jangan-jangan kamu sakit juga gara-gara bikinin aku rangkuman ya, Nis?” tanya Riza tiba-tiba ingat dan langsung merasa bersalah membuat Nisa tertawa mendengarnya, gadis itu ingin meyakinkan Riza bahwa Riza bukan salah satu penyebab yang memicu sakitnya.
“Nggak lah Riz... jangan baper deh...,” goda Nisa tertawa makin lebar membuat Riza pun akhirnya ikutan tertawa.   
“Tapi kamu harus janji satu hal, Nis. Kalau kamu ngerasa sakit kapan pun itu, tolong jangan sembunyiin sakit kamu dari aku. Kamu harus bilang ke aku, izinin aku untuk tahu, Nis. Janjiiii,” ujar Riza sambil mengarahkan jari kelingkingnya ke Nisa.
Nisa tersenyum melihati sejenak Riza kemudian menggelengkan kepalanya, “Aku nggak bisa berjanji soal itu, Riz. Aku ga mau”.
“Tapi kan kita sahabat, Nis. Sudah seharusnya kan berbagi suka dan duka. Kamu aja ngepoin dan perhatian kalau aku lagi ada masalah, masak aku ga boleh melakukan hal yang sama, Nis?”
Nisa tetap menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. “Ini pengecualian, Riza”.
 Riza memanyunkan bibirnya kecewa. “Please, Nis...,” ucapnya sambil berusaha melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Nisa, tapi Nisa buru menyembunyikan telapak tangannya di belakang badannya. Nisa tetap menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil membuat Riza akhirnya menyerah.  
Nisa kemudian melihat kearah arlojinya, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
“Wah sudah jam setengah delapan. Bukannya kamu harus masuk kerja ya, Riz?” tanya Nisa sedikit panik dan hendak duduk dari posisi terbaring, tapi segera dicegah Riza.
“Ettt udah, Nis.... jangan duduk dulu, kamu itu harus banyak istirahat dan berbaring,” ujarnya. Masih ada nada khawatir disana.
Nisa pun hanya menurut, tak jadi duduk. “Tapi kamu telat berangkat kerja jadinya gara-gara menunggui aku disini, Riz...”.
Riza tersenyum kepada gadis itu. “Aku udah izin tidak masuk hari ini karena harus ngejagain keluarga yang sakit kok, Nis”.
“Emang gapapa, Riz? Takutnya kamu nanti dinilai kurang bagus lagi,” sambung Nisa cemas.
“Kamu tenang aja, Nisa. Semuanya akan baik-baik aja, baru kali ini juga aku izin ga masuk kok, Nis,” jelas Riza tersenyum lebar berusaha menenangkan Nisa.
“Lagi pula aku ga mungkin berangkat kerja dan ninggalin kamu sendiri, kan kamu alasan kenapa aku kerja, Nis,” sambung Riza lirih  keceplosan di akhir-akhir kalimatnya membuat Nisa menatap serius kearahnya.
“Jadi alasan kamu bekerja dan memaksakan diri kamu sendiri akhir-akhir ini, itu aku, Riz?”
“Eh, bukan Nis... maksud aku, aku bekerja ingin belajar jadi calon suami yang baik buat istri aku kelak dan siapa tahu itu kamu he he”. Riza berusaha tetap tersenyum lebar ke Nisa. Riza sengaja mencari alasan lain yang tetap masuk nalar untuk menjawab pertanyaan Nisa itu sambil setengah bercanda. Riza belum ingin Nisa tahu bahwa alasan utama dirinya bekerja karena memang ia ingin membantu Nisa mewujudkan taman impian gadis itu selain dia juga ingin membuktikan ke Nisa bahwa dirinya siap bertanggung jawab menikahinya.
Nisa tetap menatap tajam kearah Riza sambil mengucek-ucek matanya, ingin sekali ia bisa melihat jelas ekspresi Riza saat itu.
“Kamu kenapa Nis? Mata kamu sakit lagi?” tanya Riza langsung terdengar kembali khawatir membuat Nisa langsung buru-buru  tersenyum lebar dan menggelengkan kepalanya.
“Nggak... mata aku nggak sakit, Riz. Aku mengucek mata aku karena pandangan aku masih kabur, jadinya aku ga bisa melihat jelas kamu. Padahal aku pingin lihat dengan jelas ekspresi kamu sekarang, lagi jujur, serius atau nggak“.
Riza menarik nafas lega dan ikutan tersenyum lebih lebar.
“Ooo, soal alasan kerja tadi ya, Nis? Intinya aku mau belajar jadi pemimpin rumah tangga yang bertanggung jawab buat teman hidup aku nanti siapapun dia”, sambung Riza, “jadi... kamu mau nggak menikah sama aku biar kamu jadi teman hidup orang seperti aku he he”.  
Lagi-lagi Nisa hanya diam dan tersenyum kearah Riza. Ingin sekali ia menemani Riza sepanjang hidupnya andai ia terbebas dari ancaman kebutaan permanen yang sewaktu-waku bisa dialaminya dan andai ia bisa mengalahkan ketakutan-ketakutannya tentang operasi. Riza pun tersenyum lebih lebar melihat gadis di hadapannya itu. Riza tahu dirinya mempertanyakan sesuatu yang sudah ia tahu jawabannya meski tetap saja ia menaruh harapan akan mendapatkan jawaban yang berbeda.
"Ya udah, lebih baik sekarang kamu tidur dan mengistirahatkan mata kamu lagi, Nis. Dokter bilang kamu perlu lebih banyak istirahat selain obat untuk mengurangi peluang mata dan kepala kamu sakit lagi, Nis,” jelas Riza.
“Aku sudah merasa enakan, Riz. Aku mau pulang,” pinta Nisa.
Riza menggelengkan kepalanya.
“Lagi pula besok aku ada ujian jam dua siang, Riz. Kamu memangnya besok ga ada jadwal ujian?” sambung Nisa.
“Aku bisa mintakan surat keterangan sakit dari dokter dan rumah sakit, Nis biar kamu bisa ikut ujian susulan, Nis”.
Nisa menggelengkan kepalanya.
“Aku ga mau ikut ujian susulan, Riz. Lagi pula aku udah baik-baik aja, Riz,” ucap Nisa sambil tersenyum lebar, meyakinkan laki-laki itu bahwa kondisinya sudah jauh membaik .
“Pandangan kamu kan masih kabur, Nis. Lagi pula infus kamu juga belum habis tuh, sayang kan. Kamu istirahat dulu ya sejam dua jam disini. Nanti kalau setelah kamu bangun pandangan kamu udah jelas lagi, aku janji bakal antar kamu pulang ke tempat kos. Yaaa”.
Nisa pun akhirnya tersenyum dan mengangguk setuju
“By the way, kamu belum jawab, kamu besok ada ujian ga?” tanya Nisa lagi.
“Ada,” jawab Riza singkat.
“Jam berapa?”
“Jam sembilan, tapi kamu tenang aja, Nis. Aku tadi siang udah nyicil belajar sambil nungguin kamu keluar ruang ujian. Dan sekarang disini aku juga bisa belajar sambil nungguin kamu tidur sejam dua jam,” sambung Riza bersemangat dan tersenyum lebar sambil mengeluarkan bahan ujiannya untuk esok termasuk rangkuman yang sudah dibuat Nisa untuknya dan menunjukkan ke Nisa. Gadis itu pun tertawa dan menganggukkan kepalanya.
“Ya udah cepat tidur dan istirahatin lagi mata kamu, Nis, biar nanti kalau kamu bangun, kamu juga bisa ngomentari perbedaan di penampilan aku hari ini he he,” sambung Riza sambil tertawa kecil.
“Perbedaan penampilan?” tanya Nisa ikut tertawa kecil dengan ekspresi penasaran.
“Iya... aku udah penuhi permintaan kamu semalam”.
“Permintaan aku? Permintaan yang mana sih Riz?”
Riza makin tertawa melihat Nisa yang terlihat makin penasaran dengan rautnya yang lucu itu.
“Iyaaa... aku udah cukur, cukur jenggot dan rambut, Nis he he”.
Tawa Nisa pun pecah. “Pantesan aja, aku ngerasa ada yang beda sama bentuk rambut kamu  samar-samar. Tapi bukannya kamu bilang mau cukur setelah ujian ya, Riz?”
Kali ini Riza yang tertawa kecil. “Iya sih..., tapi tadi malam tiba-tiba muncul ide pingin bikin kejutan datang ke fakultas kamu, nraktir kamu dan dengan penampilan yang kamu pingin lihat. Kebetulan ada waktu juga tadi pagi buat cukur”.
Nisa menganggukkan kepalanya tak henti tertawa kearah Riza. “Ya udah, kalau gitu sekarang aku tidur dulu biar nanti bangun-bangun aku bisa pulang ke kos dan lihat penampilan baru kamu. Udah ga sabar nih he he”. Keduanya pun sejenak pecah dalam tawa.
Tak perlu waktu lama, Nisa terlihat terlelap dalam tidurnya, sementara Riza larut membaca bahan-bahan ujiannya di sebelah Nisa. Seolah kejadian kemarin berputar dan bergantian dengan kejadian hari ini. Kemarin Nisa menjaga Riza yang tertidur sambil belajar dan hari ini sebaliknya. Sesekali Riza terlihat mengamati wajah teduh gadis berjilbab yang sedang terlelap itu.
“Seberapa kuat kamu menolak lamaran aku, aku akan tetap mendekat dan meminta kamu untuk menjadi teman hidup aku, Nis. Aku akan selalu berusaha ada untuk kamu, Nisa. Aku akan menemani kamu menghadapi ketakutan dan sakit kamu, membantu mewujudkan mimpi kamu, dan juga menjaga kamu semampuku, Nisa,” batin Riza sembari tersenyum lembut kearah Nisa kemudian kembali fokus belajar materi untuk ujian esok harinya.