Sabtu, 29 Juli 2017

See You Again When The Next Blue Moon Appears Part 9 : Masa Depan - Melawan Bimbang


Catatan pengantar: Kali ini alur sengaja dilompatkan beberapa waktu ke masa mendatang baru selanjutnya balik ke belakang (mencoba alur random maju mundur :)) .
 


PART 9 : MASA DEPAN - MELAWAN BIMBANG

Empat tahun berlalu, dua tahun sudah Ahsan dan keempat rekan cowoknya wisuda kemudian menapaki karir mereka sesuai dengan passion dan target hidup masing-masing. Jika mengingat kembali perpisahan Ahsan Hasna sebelum  Hasna ke Papua, sepulang dari Papua banyak hal yang terjadi, mulai dari kecelakaan Ahsan ketika acara kemah di hutan bersama adik-adik kelas bantaran rel di hari yang bersamaan dengan kepulangan Hasna dari Papua dan akhirnya berbuah perkenalan gadis itu dengan Mama Ahsan, perpisahan Hasna dengan kelas bantaran rel dan Ahsan setelah Hasna menyelesaikan gelar masternya dan dipindah kerja ke Surabaya, wisuda Ahsan dkk dan kedatangan Hasna memenuhi keinginan hati Ahsan, komitmen Ahsan untuk Hasna  yang hampir terwujud dalam bentuk lamaran laki-laki itu ke Hasna tapi buyar oleh keputusan Ahsan menghindari Hasna setelah kecelakaan serius yang dilaluinya dan membuat Ahsan lebih introvert memilih mundur memperjuangkan Hasna pada akhirnya.
Beginilah sekarang Ahsan dan Hasna kembali berjarak dalam 'asing'. Tiga bulan yang lalu Hasna kembali bekerja di kantor pusatnya di Jakarta, beberapa kali gadis itu menyapa rekan-rekan pengajarnya di kelas bantaran rel di grup whatsapp yang sengaja dibuat Raka untuk tetap menjalin silahturrahiim diantara mereka berenam. Ya, tak banyak berubah, rekan-rekan Ahsan masih seramai dulu menyahuti Hasna kecuali Ahsan yang memilih menjadi silent reader tiap kali gadis itu nimbrung disana.
Sejak kecelakaan yang dialami Ahsan dan membuat sebelah kaki Ahsan tak bisa berjalan normal seperti sebelumnya, laki-laki itu berhenti memperjuangkan perasaannya untuk berkomitmen ke Hasna.
Hasna pernah beberapa kali mengirim pesan ke Ahsan selepas kecelakaan itu seolah tak ada yang berubah tapi Ahsan sengaja menutup dirinya dari gadis itu. Laki-laki itu berubah agak dingin dan canggung ke Hasna. Beberapa kali Hasna berusaha memberanikan diri untuk memulai mencairkan obrolan keduanya seperti sebelumnya, tapi semuanya sia-sia. Bahkan terakhir dengan ajakan dari rekan-rekan Ahsan, Hasna mendatangi rumah Ahsan bersama ketiga rekan Ahsan untuk bicara lebih terbuka dengan Ahsan tapi laki-laki itu justru menolak untuk menemui mereka. Ahsan semakin memasang benteng tangguh ke Hasna membuat Hasna akhirnya dipaksa berusaha memahami keinginan laki-laki itu. Pembicaraan komitmen keduanya seperti kandas di tengah jalan. Padahal sebelumnya Ahsan dengan gencar dan penuh keberanian secara intens dan serius membicarakan komitmen dia untuk segera melamar Hasna ke orang tuanya.
Hari itu, sepulang kerja Raka dan Ardi sengaja mampir ke rumah Ahsan. Laki-laki itu terlihat larut bercanda dengan kedua rekannya yang menceritakan kisah lucu Azka yang baru berangkat melanjutkan sekolah S2-nya di Belanda setelah dua tahun dia menjadi dosen.
"Azka sih meski suka nyasar di tempat baru pasti ujung-ujungnya dia dapat kenalan anak Indonesia. Terakhir nyasar dia malah dapat kenalan kakak kelas waktu S1 dan sekarang malah taarufan tuh. Kemarin japri katanya lebaran ini rencananya mau langsung ngelamar ke ortu cewek itu di Bandung ckckckck," cerita Ardi tertawa renyah dibalas Raka tak kalah renyah. Ahsan tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba ia teringat Hasna.
"Insyaa Allah aku siap menerima lamaran kamu, San. Tapi kamu harus bertemu dulu sama ortu aku ya biar ortu aku tahu kamu bukan sekedar sebagai teman volunteer aku tapi berniat jadi calon imam aku he he".
Itulah jawaban Hasna via whatsapp beberapa bulan lalu saat Ahsan akhirnya yakin dan berani mengajak gadis itu berkomitmen serius setelah sekian lama dia hanya diam menahan perasaannya untuk Hasna. Ahsan sangat lega dan bahagia saat itu sampai-sampai laki-laki itu nyaris tak pernah lepas tersenyum dimana pun selama dua hari berturut-turut setelahnya. Namun, semua berubah setelah kecelakaan yang dialami Ahsan sepulang dari luar kota beberapa minggu setelahnya. Sepihak, Ahsan langsung mengurungkan ajakannya itu ke Hasna.
Ahsan menarik nafasnya dalam-dalam. Terselip rasa sakit di hati Ahsan mengingat semua itu. Dia melepaskan Hasna, perempuan yang selalu ia selipkan namanya dalam doanya sejak empat tahun lalu dan selalu tersenyum di ruang hatinya seolah menunggu keberanian laki-laki itu.
"Oh ya, San. Kita malam ini kemari selain menceritakan soal Azka, kita juga mau ngajakin loe buat datang ke rumah Hasna besok Sabtu sore. Ortu Hasna ngadain pengajian sekalian buat mendoakan Hasna menjelang pernikahannya," jelas Raka membuat Ahsan sejenak mematung di tempatnya. Sebulan yang lalu, dirinya diberitahu Raka dan Ardi bahwa Bara datang ke rumah Hasna dan mengajak gadis itu ke jenjang lebih serius. Saat itu, mereka menanyakan ke dirinya, apa Ahsan benar-benar yakin melepaskan Hasna karena perasaan gadis itu sepertinya masih sama dan berharap Ahsan melanjutkan komitmennya. Saat itu Ahsan berusaha dengan santai menjawab bahwa dia ikut senang mendengar berita tentang Hasna itu dan berharap gadis itu bahagia dengan Bara meski di satu sisi saat keempat rekannya mencandai Hasna di grup, Ahsan bahkan tak bisa mengetikkan satu kata bahkan satu emoji-pun.
"Gimana, San? Loe bisa kan dateng? Ga enak sama Hasna kalo ga datang, apalagi dia dan ortunya sengaja ngundang kita berlima besok buat ngedoain kelancaran acaranya dia," ujar Ardi menepuk bahu Ahsan, membuyarkan lamunan Ahsan.
Ahsan tersenyum canggung. "Gue... gue nggak bisa datang sepertinya. Sorry...  . Ada yang harus gue kerjain besok sore".
Raka tersenyum menatap Ahsan. "Apa hati loe belum bener-bener bisa melepaskan Hasna dan belum bisa ikhlas ngelihat Hasna sama Bara, San?"
Ahsan terdiam mendengarnya karena ia akui pernyataan Raka itu benar adanya.
"Ikhlas dan melepaskan itu proses, Ka... tapi gue sudah memutuskan berhenti memperjuangkan Hasna. Satu hal yang gue tahu, Hasna berhak dapat suami yang lebih baik dari gue yang sekarang. Gue ikut senang kalau lihat Hasna bahagia dan gue yakin Bara bisa membahagiakan Hasna".
Ahsan tersenyum canggung kemudian kembali larut dalam diamnya.
"Tenang aja San, besok Bara ga bakal datang juga kok. Selain tetangga, Hasna cuma mengundang kita doank. Ya udah kalo gitu gue sama Ardi pulang dulu, istri gue pasti udah nungguin di rumah soalnya. Kalau loe berubah pikiran dan mau datang ke rumah Hasna, pengajiannya jam empat sore. Kita langsung ketemuan disana aja kecuali loe butuh temen kesana, San. Loe kabari aja ya".
Ahsan hanya tersenyum menganggukkan kepalanya pelan, menyalami dan memeluk kedua temannya bergantian lalu mengantarkan keduanya sampai pintu pagar rumahnya.
Setelahnya laki-laki itu berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaannya sambil mendengarkan musik kesukaannya ketika bayangan Hasna justru beberapa kali tersenyum di pikirannya membuat Ahsan akhirnya melihati kembali history chat-nya dengan Hasna.
"Maaf Na, keputusan aku sudah bulat. Aku memutuskan berhenti tentang kamu. Aku membatalkan rencana aku buat datang ke ortu kamu dan melamar kamu, Na. Maaf ya".
Itu jawaban terakhir Ahsan ke Hasna saat itu setelah obrolan panjang keduanya terutama Hasna yang berusaha meyakinkan Ahsan bahwa dia tidak mempermasalahkan cacat di kaki Ahsan setelah kecelakaan itu. Bahwa perasaan dan keyakinan Hasna ke Ahsan tetaplah sama baik sebelum maupun setelah kecelakaan itu. Namun Ahsan tetap bersikeras dengan keputusannya untuk mundur.
Sepanjang malam itu pun Ahsan tak bisa terpejam, entah kenapa perasaannya tak tenang dan gelisah membayangkan seseorang yang masih tersenyum lebar di hatinya itu akan menjadi halal bagi laki-laki lain. Waktu menunjukkan pukul 03.19, Ahsan pun memutuskan mengambil air wudlu dan bergegas sholat malam dan membaca surat Arrahman berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Esok harinya, selepas Ashar terlihat rumah Hasna dipenuhi oleh kehadiran ibu-ibu yang akan pengajian. Dari agak kejauhan, terlihat Ahsan masih duduk di motornya menatap ke rumah Hasna. Terlihat dua sepeda motor salah satunya motor Raka sudah terparkir di halaman rumah Hasna. Laki-laki itu hampir saja memutuskan tidak datang tapi hati kecilnya seolah menasihati dan berhasil mengubah keputusannya selepas Ahsan menunaikan sholat Zhuhur hari itu. "Kamu yang melepaskan Hasna, Ahsan. Kalau kamu ga menghadiri undangan Hasna, bukannya itu artinya kamu nggak adil dan nggak berbesar hati ke Hasna? Bukannya itu artinya kamu egois, melepaskan tanpa mau datang sekedar mendoakan dan ikut berbahagia buat Hasna?"
Begitulah, Ahsan akhirnya memutuskan datang daripada ia harus dihantui bimbang, gelisah dan galau tak jelas berkepanjangan di rumah. Ahsan memberanikan diri mendoakan dan ikut tersenyum untuk kebahagiaan Hasna, seolah memberanikan diri untuk melepaskan perasaannya ke Hasna. Namun disatu sisi Ahsan pun ragu, hatinya sepertinya belum siap untuk bertemu Hasna. Alhasil Ahsan terdiam di tempatnya.
Hujan pun mulai turun rintik-rintik saat itu seolah sehati dengan apa yang dirasakan laki-laki itu. Meski demikian, rintik hujan tak membuat Ahsan beranjak dari tempatnya.
Sementara itu Hasna sedang asyik  menuang teh hangat ke dalam gelas demi gelas ketika sebuah pesan masuk di handphone-nya membuat Hasna bergegas mencari payung besar dan buru-buru keluar rumah. Pandangan Hasna terhenti ketika ia melihat sosok yang biasa menunggunya di pintu keluar stasiun beberapa tahun silam menatap kearahnya.
Ahsan pun terkejut saat ia melihat Hasna berpayung dan berjalan kearahnya. Ahsan baru menyadari sapaan gerimis yang membuat basah  tubuh dan bajunya. Laki-laki itu seketika terlihat kagok dan bingung harus berbuat apa. Wajah itu..., wajah yang dulu selalu ditunggu untuk bisa dilihatnya dan jilbab biru muda itu jilbab pilihan Ahsan ketika ia serta teman-teman cowoknya memberi hadiah wisuda buat Hasna.
"Assalaamualaikum. Kok kamu hujan-hujanan disini, San? Ayo masuk," sapa Hasna agak canggung tapi tetap berusaha tersenyum lebar. Hasna langsung membagi payungnya untuk dirinya dan menaungi Ahsan.
Ahsan menjawab salam Hasna tak kalah canggung, tapi senyuman Hasna tak berubah seperti biasa selalu menular dan membuat laki-laki itu otomatis ikut tersenyum. Laki-laki itu mengangguk pelan dan perlahan menuntun sepeda motornya di sebelah Hasna.
Ahsan merasa deg-degan seketika itu, ingatannya kembali teringat saat ia menunggu Hasna di stasiun dan berjalan sepayung berdua dengan Hasna. Begitu pun Hasna, ia tersenyum mengingat saat yang sama ketika laki-laki itu perlahan mulai menyusup ke dalam hatinya.
"Selamat ya, Na buat kamu dan... dan Bara...," ujar Ahsan ragu dan agak tersendat mengucapkannya. Laki-laki itu terdengar terlalu memaksakan kalimatnya.
Hasna menoleh ke Ahsan, mata mereka beradu sejenak sebelum akhirnya gadis itu lagi-lagi tersenyum tanpa jawaban apa-apa.
"Gimana kaki kamu, San? Apa masih suka sakit dan nyilu?" tanya Hasna mengalihkan bahasan. Terselip jelas nada khawatir di kalimat gadis yang memakai jilbab biru muda itu. Ahsan memandangi Hasna agak lama kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik saja, Na dan tolong jangan kasihani aku," ucap Ahsan dengan nada berubah dingin.
Hasna menarik nafasnya dalam-dalam kemudian kembali tersenyum ke Ahsan. "Aku sama sekali tidak pernah mengasihani kamu, San... tapi aku peduli dan khawatir tentang kamu".
Jawaban Hasna itu membuat Ahsan refleks  menatap tajam gadis itu, membuat Hasna agak salah tingkah dan langsung menundukkan pandangannya. Percakapan mereka pun terhenti.
Lima menit kemudian, Hasna mempersilahkan Ahsan masuk lewat pintu samping dan duduk di ruang keluarga di dekat dapur itu.
"Raka sama yang lainnya dimana, Na?" tanya Ahsan canggung memecah keheningan diantara keduanya.
"Tadi mereka izin keluar sebentar," jawab Hasna singkat kembali tersenyum kemudian meninggalkan Ahsan sendirian, membuat kebimbangan itu muncul lagi di hati dan pikiran Ahsan. Menginjakkan kaki ke rumah Hasna lagi membuat laki-laki itu teringat akan rencana yang pernah disusunnya untuk berkomitmen dengan Hasna. Namun sekarang, ia datang justru untuk mendoakan  Hasna dengan orang lain.
"Kenapa melepaskan Hasna buat Bara berat banget ya? Kenapa hati aku rasanya sesak banget sekarang?" batin Ahsan.
"Kamu keringkan dulu baju dan badan kamu yang kena hujan, San," ucap Hasna dengan tangannya mengulurkan handuk ke Ahsan, membuyarkan kebimbangan hati laki-laki itu. Terlihat Hasna lagi-lagi tersenyum kepadanya dan Ahsan hanya diam menerima handuk pemberian Hasna dengan balas tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan lirih. Mata Ahsan hanya mengamati apa yang dilakukan Hasna. Gadis itu membawakan sepiring nasi soto dan satu mug teh panas untuknya.
"Kamu makan dan minum dulu  sekalian menghangatkan badan kamu, ya San. Aku mau ngebantu Mama aku buat menyuguhkan hidangan ke ibu-ibu pengajian," jelas Hasna diikuti anggukkan pelan Ahsan yang kali ini tersenyum tak ingin kalah lebar dari Hasna.
"Apa ada yang bisa aku bantu Na?" tanya Ahsan spontan dibalas gelengan kepala dan senyuman gadis itu.
"Kamu duduk disini aja, San. Aku sudah minta Papa buat nemenin kamu sementara aku bantuin Mama".
Ahsan berusaha menghubungi Raka, Ardi dan Bayu menanyakan keberadaan ketiganya berusaha menghilangkan rasa kagoknya sendirian di rumah Hasna tapi tak ada respons sama sekali dari ketiganya. Ahsan curiga jangan-jangan rekan-rekannya itu sengaja 'mengerjainya' seperti beberapa tahun sebelumnya ketika mereka bersemangat menjadi comblang buat dirinya dan Hasna.
"Apa iya mereka masih seperti dulu?" 
Ahsan menggelengkan kepalanya, "Nggak... semuanya sudah berubah dan nggak seperti dulu ketika kami masih mengajar di kelas bantaran rel. Banyak hal sudah terjadi dan nggak bisa lagi sama, termasuk kecelakaan yang bikin kaki aku ga bisa kembali normal seperti semula. Lagipula..., Hasna sudah menerima lamaran Bara".
Ahsan sedang asyik menghabiskan makanannya sendirian ketika Papa Hasna kemudian menghampiri dan duduk di sebelahnya. Seketika itu Ahsan merasa tegang dan deg-degan, seolah hari ini adalah hari dimana ia akan mengatakan dengan serius niatnya berkomitmen dengan Hasna.
"Sore, Om," sapa Ahsan tersenyum kagok dan buru-buru mencium punggung tangan laki-laki tua itu.
"Sore, Ahsan. Lama ga pernah lihat kamu lagi. Gimana kabar kamu?"
"Baik, Om. Om sehat-sehat juga kan?"
Papa Hasna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya sambil mengucapkan Alhamdulillaah.
Ahsan menarik nafasnya dalam-dalam berusaha menenangkan dirinya.
"Ngomong-omong, selamat ya Om atas rencana pernikahan Hasna. Semoga semuanya berjalan lancar dan ditunjukkan yang terbaik saja," ujar Ahsan dengan senyum agak canggung setelah berusaha menata hati dan kalimatnya.
Laki-laki tua itu terlihat bertanya-tanya dan memandang kearah Ahsan.
"Pernikahan Hasna?"
Ahsan balik bertanya-tanya melihat reaksi Papa Hasna itu.
"Iya.... bukannya pengajian kali ini rangkaian buat mendoakan Hasna sebelum pernikahannya dengan Bara ya, Om?"
Papa Hasna tertawa kecil menggelengkan kepalanya.
"Ini cuma pengajian rutin mingguan ibu-ibu di kompleks sini kok, San... jadi ga ada kaitannya sama Hasna, memang lagi dapat giliran saja. Memang siapa yang bilang kalo pengajian ini buat persiapan pernikahan Hasna?" jelas Papa Hasna membuat Ahsan perlahan merasa bahwa ia sedang jadi korban teman-teman cowoknya lagi.
"Soal kedatangan Bara bulan kemarin, memang Bara ada datang mengajak Hasna berkomitmen ke jenjang serius, tapi sayangnya Hasna sepertinya punya pilihan lain di hatinya. Jadinya dia belum bisa menerima ajakan Bara," sambung Papa Hasna membuat Ahsan agak tertegun di tempatnya.
"Pilihan lain, Om? Siapa laki-laki itu, Om?"
Papa Hasna lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
"Hasna belum pernah menyebutkan nama laki-laki itu ke Om dan Tante. Beberapa bulan lalu, Hasna pernah cerita kalau ada teman laki-lakinya yang ingin datang menemui Om dan Tante, mengenal lebih dekat keluarga kami. Kata Hasna dia sudah cukup mengenal baik laki-laki itu dan cowok itu ingin berkomitmen serius dengannya. Tapi setelahnya, Hasna ga pernah lagi menyinggung soal laki-laki itu. Setelah Hasna menjawab tidak ke Bara, Tante sempat menanyai lagi Hasna tentang laki-laki yang pernah diceritakannya itu. Hasna cuma bilang laki-laki itu membatalkan niat berkomitmennya  gara-gara kecelakaan yang dialaminya. Hasna sepertinya masih belum bisa menghapus cowok ini dari hatinya sampai sekarang dan itu sebabnya dia belum bisa menerima ajakan Bara".
Ahsan terdiam mendengarkan penjelasan Papa Hasna itu, laki-laki itu menundukkan kepalanya merasa bersalah kepada Hasna.
"Om malah jadi panjang lebar cerita soal Hasna, maaf ya Ahsan. Om sekedar sharing aja seharusnya kita sebagai laki-laki tidak boleh cepat patah arang dan mundur. Laki-laki itu harus cukup stock keberanian memperjuangkan perempuan yang disukainya karena bisa jadi perempuan itu seperti anak Om, masih percaya dan menunggu cowok itu berani datang," sambung Papa Hasna sembari menepuk-nepuk bahu Ahsan yang masih larut dalam diam mendengarkan ucapan Papa Hasna itu. Ahsan hanya menganggukkan kepalanya pelan.
"Ngomong-omong, Ahsan sendiri sudah ada calon makmum buat diperjuangkan belum?"
Ahsan tersenyum canggung, ia bingung harus menjawab apa ke Papa Hasna.
"Ahsan... Ahsan baru melepaskan seseorang Om karena saya merasa nggak bisa ngebahagiakan dia seperti dulu dengan kondisi fisik saya sekarang," ucapnya lirih, "kaki saya nggak bisa normal seperti dulu lagi, selamanya Ahsan akan jadi laki-laki pincang".
Kali ini giliran Papa Hasna menatap agak lama Ahsan, entah kenapa cerita Ahsan dan Hasna seolah saling melengkapi. "Apa mungkin laki-laki di hati putrinya itu Ahsan?"
"Apa perasaan kamu ke perempuan itu sudah kembali biasa saja setelah kamu memutuskan melepaskannya, San?"
Ahsan tersenyum lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Ahsan masih tetap menyukainya, Om".
"Kalau Om sebagai orang tua, apa Om nggak keberatan dan percaya menyerahkan kebahagiaan putri Om ke orang seperti saya?" tanya Ahsan lagi agak ragu.
"Om tidak bisa langsung memutuskan. Tapi kalo seandainya laki-laki yang disukai Hasna berpikir seperti Ahsan, menurut Om seharusnya laki-laki itu tidak langsung memutuskan sepihak. Yang akan menjalani komitmen serius itu kan berdua, San... jadi harusnya keputusan apapun itu juga didiskusikan berdua. Siapa tahu temen perempuan Ahsan juga seperti Hasna, masih yakin melanjutkan komitmen itu dan bisa menerima apa adanya kondisi Ahsan seperti Hasna yang juga sepertinya bisa menerima kondisi laki-laki itu. Sebagai orang tua Hasna, Om akan merestui pilihan Hasna selama laki-laki itu baik dan bertanggung jawab".
Ahsan lagi-lagi terdiam mencerna ucapan Papa Hasna, tatapannya sejenak melihat kearah Hasna yang sedang membantu mamanya .
"Wajar jika setiap orang menghendaki jodoh yang sempurna buat dirinya, tapi yang perlu diingat tidak ada manusia yang sempurna, Nak. Yang terpenting dalam sebuah komitmen pernikahan adalah bagaimana dua orang bisa saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing serta saling menguatkan satu sama lain".
Ahsan menoleh kearah Papa Hasna dan tersenyum lirih. Hati laki-laki itu kembali berdiskusi, saling beradu argumen tentang apa yang harus dilakukan terhadap gadis berjilbab biru muda itu. Hati Ahsan makin campur aduk dalam bimbang.
Terdengar Papa Hasna memanggil Hasna.
"Hasna, duduk disini sebentar... ada yang Papa mau bicarakan," ujar Papa Hasna sementara Ahsan masih terdiam di tempatnya.
Hasna menatap sejenak kearah Ahsan yang terlihat agak kagok itu.
"Ada apa, Pa?" tanya Hasna pelan dengan senyumannya seperti biasa.
"Papa mau tanya soal laki-laki yang ada di hati Hasna sekarang, apa Papa mengenalnya?"
Hasna langsung melirik sejenak kearah Ahsan yang terlihat sama terkejutnya dengan dirinya mendengar pertanyaan Papa Hasna itu.
Sejenak Hasna terdiam sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Raut Papa Hasna terlihat serius meski beliau terlihat tersenyum.
"Boleh Papa tahu siapa nama laki-laki itu, Na?"
Hasna lagi-lagi menoleh kearah Ahsan yang juga sedang melihat kearahnya.  Entah apa makna tatapan laki-laki, yang pasti raut muka Ahsan terlihat tegang. Hasna takut menyebutkan nama laki-laki itu di depan Papanya justru akan membuat Ahsan tersinggung dan makin menghindar darinya. Lagipula Hasna pun bertanya-tanya kenapa Papanya tiba-tiba menanyakan soal itu terlebih di depan Ahsan.
"Maaf Pa, tapi Hasna... Hasna... ".
"Laki-laki itu sepertinya Ahsan, Om...," tiba-tiba suara Ahsan meneruskan kalimat Hasna yang terhenti.
Gadis itu terkejut mendengar pengakuan Ahsan didepan papanya itu sementara Papa Hasna terlihat tetap tenang.
"Ahsan yang sudah memutuskan sepihak rencana berkomitmen dengan Hasna setelah kecelakaan beberapa bulan lalu karena alasan yang tadi sempat Ahsan ceritakan ke Om. Perempuan yang tadi Ahsan ceritakan itu Hasna, Om," jelas Ahsan, pengakuan laki-laki itu terdengar cukup tegas diantara tatapan bersalahnya ke gadis berjilbab biru muda di hadapannya.
"Benar laki-laki yang membuat kamu belum bisa menerima Bara karena kamu masih menunggunya itu Ahsan, Na?" tanya Papa Hasna tersenyum lembut ke Hasna.
Hasna terdiam beberapa saat lalu menganggukkan kepalanya pelan.
"Pantesan Papa ngerasa cerita Ahsan itu nyambung sama cerita Hasna ke Mama".
"Saya minta maaf Om karena saya tidak se-gentle yang Om bilang tadi. Saya sudah egois dan bikin Hasna terus menunggu," sambung Ahsan.
Hasna menatap sejenak Ahsan, laki-laki itu terlihat menundukkan kepalanya. Sementara itu Papa Hasna terlihat bergantian menoleh ke keduanya dengan tatapan bijaknya.
"Sebaiknya sekarang kalian berdua bicarakan lagi tentang ini dengan pikiran dan hati yang dingin dan tenang. Dari cerita kalian masing-masing, terlihat yang satu masih menunggu dan yang satunya sebenarnya juga masih tidak siap melepaskan".
Ahsan menoleh ke Papa Hasna dan sejenak melirik kearah Hasna.
"Tapi, Pa.. sekarang Hasna masih harus mbantuin Mama".
Lagi-lagi Papa Hasna tersenyum. "Udah, biar Papa yang bantuin Mama. Lagipula makanan juga sudah dihidangkan jadi ga banyak juga yang harus dilakukan. Hasna bicara aja ya sama Ahsan empat mata biar kalian nggak sungkan dan bisa lebih terbuka satu sama lain. Mumpung Ahsan ada disini, Na".
Hasna balas tersenyum lembut ke papanya.
"Dan kamu, Ahsan... ingat nasihat Om tadi. Om tidak akan memaksa kamu untuk mengubah keputusan kamu, tapi Om mau Ahsan memutuskan segala sesuatunya dengan pikiran dan hati yang lebih jernih bukan dengan emosi atau terbawa perasaan sesaat. Apapun hasil pembicaraan kalian, Om akan hargai itu. Kalau ternyata Ahsan ingin melanjutkan komitmen ke jenjang serius dengan Hasna, pintu rumah ini terbuka buat menerima kedatangan Ahsan dan keluarga. Kalau pun tidak, pintu rumah ini juga tetap selalu terbuka buat Ahsan sebagai teman volunteer Hasna," jelas Papa Hasna dengan senyum teduhnya dijawab anggukan dan senyuman Ahsan tanpa suara.
"Maaf kalau aku sepihak membatalkan rencanaku berkomitmen dengan kamu, Na," ucap Ahsan memecah keheningan setelah Papa Hasna pergi.
Hasna sejenak menatap laki-laki itu.
"Kenapa kamu tidak menerima Bara, Na? Bukannya dia sosok teman hidup yang ideal dan baik banget ya? Dia jauh lebih baik dari aku".
Gadis itu tersenyum lirih.
"Karena Bara bukan kamu, San. Setelah beberapa kali istiharah malamku (catatan: istirahah adalah meminta petunjuk dan ketetapan hati kepada Tuhan), hati aku masih yakin kalau seseorang itu kamu".
"Apa kamu tidak takut omongan orang gara-gara kaki aku yang pincang ini, Na? Apa kamu nggak malu? Aku nggak ingin membebani pikiran kamu, Na... karena aku ingin jadi pelindung, sosok yang bisa diandalkan buat kamu".
"Aku percaya kamu tetap bisa jadi laki-laki yang baik, bertanggung jawab, dan melindungi aku, San karena aku percaya hati kamu baik".
Hasna tersenyum lebar ke Ahsan yang terlihat menatap kepadanya.
"Insyaa Allah aku siap menghadapi apapun itu bersama kamu, San. Berkomitmen serius itu bukan hanya tentang kita bisa melihat kelebihan satu sama lain, tapi juga siap menerima kekurangan satu sama lain. Aku juga jauh dari sempurna, Ahsan. Bahkan ada kalanya aku takut beda umur kita akan menimbulkan masalah buat kita terlebih buat kamu. Namun, jika nanti kita diizinkan bersatu dalam ikatan pernikahan, aku  berharap kita akan menumbuhkan cinta dan belajar baik bersama, saling mengingatkan saling menguatkan satu sama lain dalam ikatan sampai Tuhan memisahkan kita insyaa Allah".
Ahsan balas tersenyum lebar ke gadis berwajah teduh itu, laki-laki itu masih tak bersuara, ia masih bimbang dengan keputusannya. Namun, Ahsan memercayai kesungguhan Hasna dari sorot mata dan senyuman gadis itu.
"Sekarang coba kita balik, gimana seandainya aku yang mengalami kecelakaan seperti yang kamu alami, apa kamu siap menerima aku, San? Atau kamu juga akan menyerah dan mundur?"
Ahsan menatap lekat Hasna, tertegun dengan pertanyaan yang diajukan Hasna itu. Jangankan membayangkan Hasna mengalami kecelakaan seperti dirinya, kembali mengingat Hasna pernah terserempet motor beberapa tahun yang lalu membuat hatinya terasa nyeri dan dihinggapi resah.
"Aku nggak akan mundur Na karena meski aku akui aku juga menyukai fisik kamu, tapi aku jatuh cinta dengan banyak hal di diri kamu,... kepribadian, sifat, dan juga hati kamu, Na," jawab Ahsan lirih tapi tanpa keraguan membuat Hasna tersenyum sambil menundukkan pandangannya. Selain ada malu yang merona di wajah Hasna, entah kenapa Hasna 'rindu' mendengar jawaban Ahsan yang penuh keyakinan itu setelah beberapa bulan laki-laki itu menghindar dan mundur teratur darinya.
"Dan soal beda umur kita...., aku sama sekali tidak keberatan, Hasna. Kita sudah beberapa kali mendiskusikan soal ini juga sebelum kecelakaanku dan intinya hati aku tetap yakin ke kamu. Lagipula setahuku bukannya secara ilmu demografi (ilmu tentang kependudukan), usia harapan hidup perempuan Indonesia secara rata-rata lima tahun lebih lama dari laki-laki, ya kan? Setidaknya, saat salah satu diantara kita harus pergi meninggalkan dunia yang fana ini lebih dulu, maka yang satunya lagi tidak perlu menyendiri dalam kesedihan terlalu lama terlepas kembali lagi bahwa kematian itu tentu saja rahasia Tuhan," jelas Ahsan lagi membuat Hasna tersenyum simpul di tempat duduknya.
Ah, entah kenapa penelitian tentang angka harapan hidup itu menjadi pendukung yang menghibur permasalahan beda usia diantara keduanya. Spontan, Hasna pun menyelipkan sebait doa saat itu didalam hatinya, semoga Allah mempertemukan mereka lagi di kehidupan sesudah kematian nanti.
"Jadi...".
Suara Ahsan itu menyadarkan Hasna dari pikirannya sendiri dan membuatnya langsung menyimak perkataan Ahsan di hadapannya.
"Jadi... tunggu aku ya, Na. Insyaa Allah aku akan datang kesini bersama keluargaku untuk memperkenalkan mereka ke kamu dan keluarga sekaligus melamar kamu, Hasna. Apa kamu bersedia menerima kedatanganku, Na?"
Hasna menatap sejenak lekat-lekat mata Ahsan sebelum kemudian ia pun menundukkan pandangannya sambil mengangguk pelan diiringi senyuman malu-malu. Ahsan pun tersenyum lebar melihat tingkah Hasna yang polos dan lucu dimatanya.
"Cieeee.... yang dapat wejangan dari Papa Hasna". Suara agak lirih khas Ardi itu pun membuyarkan 'sikon malu-malu' diantara Ahsan dan Hasna. Selain Ardi, terlihat Bayu, Raka dan istrinya keluar dari arah dalam dengan wajah berseri-seri tersenyum dan tertawa menggoda Ahsan dan Hasna.
"Cie cie cieeee... yang akhirnya berubah pikiran dan akhirnya bakal lanjut ngelamar Hasna," sahut Raka tertawa kecil sambil menepuk-nepuk bahu Ahsan.
Ahsan terlihat kaget dengan kedatangan mereka untuk sesaat sebelum akhirnya ia pun ikut tertawa tak ketinggalan juga Hasna.
"Kaliaaaaan? Hmmm ini pasti ide kalian ya ngerjain gue. Kalian ngumpet dimana dari tadi? Pantesan gue telpon dan japri ga ada yang bales," sahut Ahsan dijawab tawa teman-temannya. Hasna terlihat tersenyum berusaha menahan tawa mendengarnya.
"Kita ngawasi loe dari ruangan sebelah. Untung aja mbak yang bantu-bantu disini baik hati dan ngizinin kita make kamarnya yang posisinya pas banget buat mata-matain loe, San...," lanjut Bayu masih terkekeh lirih.
"Itu artinya kamu juga tahu rencana mereka ya, Na?" tanya Ahsan tiba-tiba menoleh penuh selidik ke Hasna dengan senyuman agak kagoknya.
Hasna tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya. 
"Tadi pagi, Raka tiba-tiba nge-invite aku di grup berisi mereka berempat dan menjelaskan rencana mereka secara garis besarnya. Mereka 50 50 juga yakinnya soal berhasil atau nggak-nya. Jadinya aku ngikut aja apa yang diberitahu mereka termasuk soal kamu ternyata datang dan kehujanan di luar tadi. Tapi selebihnya semua ngalir aja, San... termasuk saat aku meminta Papa nemenin kamu. Itu semua spontanitas dan ga direncanain. Maaf ya".
Ahsan balas tertawa melihat permintaan maaf gadis itu dengan ekspresi polos Hasna itu.
"Kamu ga salah apa-apa Na. Mereka aja nich bertiga yang masih aja nekat he he".
"Tapi gue sama temen-temen lega banget misi comblang nekat hari ini ga nyangka bisa berhasil mengubah keputusan seorang Ahsan ke Hasna.
Saking gembira dan kebawa perasaannya ngintipin dan ngupingin kalian, istri gue sampai meluk gue erat-erat pas loe bilang bakal datang buat ngelamar Hasna... sampai-sampai kami bikin mupeng Ardi yang masih galau nge-jomblo mencari cinta sejati dan Bayu yang masih LDR-an ha ha".
Perkataan Raka itu pun disambut gelak tawa lainnya tak terkecuali Ardi yang tertawa dengan muka manyunnya.
Terdengar suara-suara ibu pengajian sedang membaca shalawat tanda selesainya pengajian.
"Oh iya, aku izin mau bantuin mbaknya buat ngerapiin piring dan gelas kotor dulu ya," ujar Hasna meminta izin.
"Ya udah, biar aku bantuin kamu, Na," tawar Ahsan penuh semangat yang langsung disambut kompak cie cie cie dari teman-temannya membuat Hasna pun ikut tersipu malu dibuatnya.
"Calon imam Hasna masih tetap ga berubah, pengertian dan perhatian banget kayak dulu ya," celetuk Ardi langsung mendapat sikutan tangan pelan dari Ahsan yang ikutan tersipu juga.
"Sekalian belajar jadi calon menantu yang baik, Ar," sahut Bayu kembali diikuti tawa yang lainnya.
"Ya udah biar istri aku nemenin Hasna beberes piring dan gelas kotor. Kita-kita yang cowok nemenin Ahsan buat ngebantuin Papa Hasna menggulung karpet dan merapikan ruangan. Itung-itung nostalgia ngerapiin ruangan kelas di bantaran rel dulu, salah satu saksi bisu perjalanan Ahsan dan Hasna he he he," ujar Raka diikuti tawa yang makin pecah dan anggukan setuju yang lainnya.
Hari pun senja  ketika semua pekerjaan beres-beres selesai dilakukan di rumah Hasna. Ahsan, Hasna, Ardi, Bayu, Raka dan istrinya beserta Papa Mama Hasna duduk bersama di ruang tamu rumah Hasna.
Terdengar ucapan terima kasih bergantian oleh Hasna dan orang tuanya.
"Jadi,... gimana hasil pembicaraan Ahsan dan Hasna tadi?"
Pertanyaan Papa Hasna itu pun membuat suasana menjadi hening seketika, tiap orang saling melempar senyum, Hasna terlihat diam dan tersipu di tempatnya sementara Ahsan terlihat sedikit tegang berusaha menata kalimatnya untuk menjawab Papa Hasna.
"Insyaa Allah... Ahsan akan datang ke rumah ini bersama keluarga Ahsan untuk mengenal lebih dekat Hasna dan keluarga, Om. Tapi Ahsan belum menentukan tanggal pastinya karena Ahsan harus me-rembug-annya dengan keluarga Ahsan. Semoga Om dan Tante tidak keberatan menerima kedatangan Ahsan nantinya," jelas Ahsan terdengar tegang tapi tegas dan cukup tertata.
"Insyaa Allah pintu rumah ini terbuka untuk niat baik Ahsan ke Hasna, Nak. Semoga Allah meridhoi dan menunjukkan yang terbaik tentang hubungan kalian," jawab Papa Hasna dengan bijak dan wajah teduh beliau yang langsung diamini oleh Mama Hasna dan Ardi, Bayu, Raka serta istrinya.
Setelah sholat maghrib berjamaah di masjid dekat rumah Hasna, Ahsan dan teman-temannya pun berpamitan pulang.
Malam harinya, waktu di arloji Ahsan menunjukkan pukul 20.45 ketika laki-laki itu mengetikkan sesuatu di layar chat grup volunteer kelas bantaran rel.
"Terima kasih banyak buat kalian semua yang udah bantuin gue tentang Hasna. Tanpa semangat dan kenekatan kalian ngerjain gue, mungkin gue ga akan berani mengambil keputusan buat lanjut memperjuangkan komitmen serius gue ke Hasna. Tanpa loe semua, gue bakal membuat Hasna terus menunggu gue yang galau dan minder berkepanjangan. Thank u so much, guys. I'm really lucky to be a part of  you
Buat Hasna, maaf  ya sudah membuat kamu menunggu dalam ketidakpastian... tetap selipin doa buat calon imam kamu yang kadang masih suka galau dan baper ini ya, Na :)"
Terlihat Raka is typing....
"Itulah gunanya teman dan sahabat, Bro. Gue bener-bener lega dan ikut senang dengan keputusan loe buat Hasna hari ini. Gue ngerasa loe kembali jadi Ahsan yang gue kenal :D
Cieee... akhirnya berakhir sudah no comment Ahsan ke Hasna di grup ini :D.
Btw, buat Hasna... selain Ahsan jangan lupa doain kami berempat juga ya, barisan comblang nekat dan iseng Ahsan dan Hasna :D. Doain juga aku dan istri biar cepet dapat momongan :)".
Tak lama kemudian Ardi pun nimbrung.
"Udah sewajarnya sesama teman saling bahu membahu, Bro. Jadi ga perlu berterima kasih :). Ntar selanjutnya bantuin gue ya kalo gue udah nemu tambatan hati gue he he he :D (tetep ujung-ujungnya ada udang dibalik bakwan ha ha)
Btw cieeee... gue ikut berbunga-bunga ngelihat sikap Ahsan udah kembali seperti dulu lagi ke Hasna ;) ;). Bikin gue jadi semangat buat nemuin sosok 'Hasna' versi gue :D ;D. Hasna yang sabar ya kalo gue makin semangat ngegodain Aa Ahsan :D"
Semantara itu Bayu terlihat mengutip jawaban Raka sambil menambahkan emoji jempol dan ekspresi tersenyum dan jatuh cinta.
Tak lama Azka pun is typing...
"Akhirnya grup ini kembali terasa lengkap.... Welcome back, Ahsan. My big hug for you, Bro :).
Alhamdulillaah... akhirnya rencana nekat buat loe sukses juga.... coba aja gue bisa ikutan jadi timses dan datang langsung :( :D. Ditunggu kabar baik selanjutnya ya, Bro :D
Buat Hasna.... aku nitip Ahsan ya, ... jangan pernah capek menemani dia yaaa....  :). Dan buat Ahsan, selalu jaga Hasna ya Bro, bahagiain dia :D"
Begitulah silih berganti balas-balasan pesan diantara kelima cowok itu meramaikan grup volunteer kelas bantaran rel sampai kemudian
Hasna terlihat is typing
"Idem seperti Ahsan, terima kasih banyak ya, Ardi, Bayu, Azka, Raka dan istri buat bantuan dan dukungan kalian selama ini buat aku dan Ahsan. Ga ada comblang nekat dan setia  sebaik, sekoplak, dan sekeren kalian, guys... makasiiiih banyaaaak :). Semoga Tuhan membalas kalian dengan kebaikan dan kebahagiaan yang lebih banyak lagi :)
Buat Raka... semoga apa yang jadi keinginan dan doa kamu beserta istri dikabulkan Allah, aamiin.. semangaaat ya... :) .
Buat Ahsan.... insyaa Allah... tolong jangan berhenti mendoakan aku juga yaaa.... :)
Kalau mau bales pesanku ini mending japri aja jangan di grup ya. Takut di-bully :P :P"
Jawaban Hasna itu pun berakhir dengan saling berbalas emoji, kata aamiin dan kalimat mendoakan, serta tak lupa kalimat bernada "cie cie cie" hingga grup akhirnya sepi dengan sendirinya menjelang tengah malam.

 "Sahabat itu seperti BINTANG di langit, dia memang tak selalu terlihat, tapi kamu tahu dia selalu ada di sana"
~ ibid ~

Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar