Kamis, 11 Februari 2016

See You Again When The Next Blue Moon Appears : Ahsan Hasna Part 5 Perhatian yang Aneh?

Part Sebelumnya 


Part 5 Ahsan dan Hasna : Perhatian yang Aneh?

Beberapa hari kemudian, tak terasa Sabtu pun menjelang ketika Hasna sudah berada di KRL saat itu. Waktu di arlojinya menunjukkan pukul 13.58 ketika sebuah pesan masuk di handphone Hasna dari Ahsan. "Aku tunggu di tempat biasa ya, Na".
Hasna tersenyum dan bergegas mengetikkan pesan balasannya. "Thanks, San. Insyaa Allah aku sudah hafal jalan, San. Kalo kamu mau duluan, silahkan aja. Sampai ketemu di kelas :)".
35 menit kemudian, Hasna baru turun dari KRL ketika hujan gerimis menyambut kedatangannya. Hasna bergegas berlari kecil menuju pintu keluar biasanya ketika terlihat Ahsan berdiri di tempat biasa mereka bertemu. Hasna tersenyum ke arah Ahsan yang sedang melihat dan tersenyum ke Hasna.
"Kok masih disini, San? Kan aku sudah bilang kalau aku sudah hafal jalan ke kelas," sapa Hasna sambil mengelap bajunya yang terkena rintik hujan. Lagi-lagi Ahsan hanya tersenyum. "It's ok, Na. Hujan sudah turun saat aku turun dari KRL, aku takut kamu ga bawa payung". Hasna tersenyum lebar sambil mengucapkan terima kasih ke laki-laki di hadapannya itu. Perhatian-perhatian kecilnya itu kadang membuat benteng kokoh hati Hasna sedikit retak juga. Sebenarnya hujan hanya kebetulan turun di saat bersamaan sore itu hingga Ahsan bisa menjadikan hujan sebagai alasan menunggu Hasna. Padahal kalaupun hujan tidak turun sore itu, Ahsan akan tetap menunggu Hasna disana. Ia seperti mulai terbiasa menunggu Hasna di stasiun setiap Rabu atau Sabtu. Dan sepertinya Ahsan mulai ketagihan untuk melakukan hal itu.
"Ya sudah, Na. Ayo kita cari ojek payung," ajak Ahsan membuat Hasna sedikit tertegun kemudian tertawa kecil, "Kirain kamu menunggu aku karena kamu bawa payung, San".
Ahsan balas tertawa kecil sambil tersipu dan menggelengkan kepalanya.
Hasna pun mengeluarkan payung dari tas ranselnya. "Ya udah kalau gitu kita sepayung berdua pakai payung aku saja, San. Insyaa Allah muat, soalnya kan hujannya cuma gerimis saja," balas Hasna masih tertawa kecil ke Ahsan. Ahsan pun menganggukkan kepalanya sambil tertawa, ia meminta payung Hasna itu dari tangan Hasna. Mereka pun berjalan berdua menuju kelas sambil Ahsan memegangi payung yang menaungi mereka berdua itu.
Gerimis membuat jalanan menuju kelas sedikit becek bahkan sebagian mulai tergenang sehingga Ahsan dan Hasna memelankan langkah mereka agar pakaian mereka tidak kotor. Mereka sedang berjalan di tengah gerimis sore itu, ketika Hasna memecah hening diantara keduanya.
"By the way, tumben hari ini kamu pakai jaket, San. Wajah kamu juga kelihatan capek dan agak pucat. Kamu lagi ga  enak badan?" tanya Hasna menoleh ke Ahsan yang balik menoleh kepadanya.
Ahsan tersenyum ke Hasna. "Biasa, Na, habis begadang ngerjain tugas kuliah yang lagi padat-padatnya dua hari ini, jadi capek karena kurang tidur, he he".
Hasna balas tersenyum lebar ke Ahsan. "Iya, kantong mata kamu itu ga bisa bohong kalau kamu kurang tidur, San. Kalau memang lagi nggak enak badan kenapa kamu nggak izin aja hari ini? Kan masih ada aku dan volunteer yang lain buat mengajar bahasa inggris," sambung Hasna menunjukkan perhatiannya meski ia berusaha bersikap biasa saja.
"Volunteer yang lain tidak bisa datang, Na. Seperti Sabtu kemarin, kali ini kita bakal mengajar berdua lagi. Soalnya teman-teman ada tugas kuliah sifatnya praktik yang nggak mungkin ditinggal selama sebulanan ini terutama di hari Sabtu. Dan aku kebetulan sudah ambil tugas itu sebelum mereka. Kalau aku ga datang hari ini, kasihan kamunya Na jadi mengajar sendirian," jelas Ahsan. Lagi-lagi Hasna tersenyum, "So sweet sekali laki-laki ini," pikirnya dalam hati kemudian menertawakan dirinya sendiri karena lagi-lagi ada retakan di benteng kokoh hatinya, "jaga hati, Hasna... ingat dia lebih muda dari kamu...". Tanpa sadar bibir Hasna ikut tersenyum dengan pandangan Hasna sedikit menunduk.
"Lagipula, aku juga ga mau kamu berpikir kalau kami berlima ngebully kamu, ngerjain kamu biar mengajar sendirian... ," sambung Ahsan tersenyum dan tiba-tiba menoleh kearah Hasna. Ahsan merasa sedikit heran melihat ekspresi Hasna yang senyum-senyum sendiri itu. Begitu juga Hasna pun kaget karena Ahsan tiba-tiba menoleh kearahnya. Hasna langsung tersenyum lebar ke Ahsan, berusaha menetralkan situasi diantara mereka. "Aku percaya kamu ... emmm maksud aku kalian tidak sekejam itu, berniat ngebully aku," ujar Hasna sambil menganggukkan kepalanya sambil memandang Ahsan yang kemudian balas tersenyum. Hasna kembali teringat asal mula pembicaraan mereka adalah membahas kondisi Ahsan yang tidak fit hari itu.
"Sini, biar aku yang gantian pegangi payungnya, San. Kamu kan lagi kurang enak badan," tawar Hasna lagi.
Ahsan tertawa mendengar ucapan Hasna. "Aku kuat, Hasna dan aku laki-laki. Memangnya aku semenyedihkan dan selemah apa sampai aku ga kuat pegang payung?" ujar Ahsan dibalas Hasna dengan tertawa kecil sambil mengucapkan kata maaf.
"Oh iya, karena kamu lagi ga fit, kalau kamu nggak keberatan, nanti biar aku yang berdiri mengajar adik-adiknya di depan. Kamu duduk saja menemani di belakang adik-adiknya sambil mengarahkan aku dari belakang," sambung Hasna lagi-lagi tersenyum. Ahsan menoleh kearah Hasna, balas tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya. "Makasih ya, Na. Maaf jadi merepotkan kamu dan membuat kamu jadi khawatir". Ada rasa senang menyusup di hati Ahsan akan perhatian kecil Hasna itu. Begitu pun Hasna, ada rasa lega saat Ahsan seolah memahami rasa khawatir Hasna untuknya. Entah kenapa.
Waktu di arloji Hasna menunjukkan pukul 15.10 ketika keduanya akhirnya sampai di kelas. Terlihat sebagian adik-adik laki dan perempuan sudah siap untuk sholat berjamaah. Ahsan dan Hasna pun tersenyum  bangga melihat adik-adik disana sudah menyiapkan ruangan tempat belajar tanpa menunggu kakak-kakak pengajarnya datang. Tanpa banyak mengulur waktu, Ahsan dan Hasna pun bergegas mengambil wudlu lalu segera bergabung dengan adik-adik yang sudah siap. Ahsan dan Hasna pun mengajak sebagian adik-adik yang sedang asyik bermain dan berlarian di dalam kelas dan mereka pun sholat berjamaah, dipimpin Ahsan.
Pelajaran bahasa inggris pun dimulai, terlihat Hasna bergegas maju berdiri di dekat papan tulis (white board) dan mengucap salam dan memintakan maaf karena kakak volunteer lainnya terpaksa tidak bisa hadir hari itu karena tugas kuliah. Sementara Ahsan duduk membaur bersama adik-adik disana. Hasna membagikan soal latihan kepada adik-adik berdasarkan kelompoknya kemudian ia bergegas menuliskan materi bergantian untuk masing-masing kelompok. Setiap satu materi kelompok selesai, adik-adik di kelompok yang bersangkutan langsung mengerjakan soal latihan yang sudah dibagikan.
Putri yang duduk tak jauh dari tempat Ahsan duduk pun bergegas mendekati Ahsan. Sejak Ahsan datang, Putri sudah mengamati penampilan Ahsan yang tidak seperti biasanya.
"Kak Ahsan lagi sakit ya kak, kok pake jaket dan kelihatan capek begitu sejak datang tadi?"
Ahsan menoleh kearah Putri dan tersenyum. "Kak Ahsan baik-baik saja, Putri. Ayo Putri segera selesaikan latihan soal dari Kak Hasna, ya".
Putri mengangguk. "Kalau Kak Ahsan baik-baik saja, kenapa Kak Hasna yang berdiri depan? Kak Ahsan pasti sedang sakit kan?" sambung Putri dengan raut wajah yang terlihat sedikit khawatir.
Lagi-lagi Ahsan tersenyum, "Kak Ahsan cuma agak ga enak badan aja karena kurang tidur, Putri jangan khawatir ya".
"Ayo Putri, dikerjain sampai selesai dulu latihan bahasa inggrisnya, baru kemudian boleh ngobrol sama Kak Ahsan," ujar Hasna sambil membelai rambut Putri dibalas dengan anggukan kepala dan senyuman Putri. Ahsan tersenyum kearah Hasna, kemudian ia melihati adik-adik di dekatnya yang sedang asyik mengerjakan soal latihan masing-masing.
"Kamu melihati jawaban adik-adik yang dekat dengan tempat kamu duduk aja ya, San. Biar aku yang berkeliling memeriksa jawaban adik-adik yang agak jauh duduknya dari kamu," ujar Hasna kepada Ahsan sembari bergegas mendekati adik-adik yang berada agak jauh dari Ahsan. Ahsan mengamati gerak-gerik Hasna sejenak lalu tersenyum melihat kepedulian Hasna kepadanya yang terbungkus biasa tapi terasa istimewa. Hasna yang tanpa banyak ekspresi, tiba-tiba mengambil alih tugas Ahsan, memberikan banyak kesempatan bagi Ahsan untuk lebih bersantai di kelas daripada biasanya.
Hasna terlihat sedang membahas latihan yang tadi dikerjakan adik-adik secara bergiliran per kelompok di papan tulis. Sementara Ahsan terlihat membantu adik-adiknya lebih memahami penjelasan Hasna.
Hasna sedang membahas jawaban latihan untuk kelompok terakhir saat Ahsan memberi isyarat ke Hasna, izin keluar sebentar. Perut Ahsan tiba-tiba terasa mual dan entah kenapa tubuhnya tiba-tiba kedinginan padahal dia sudah memakai jaket yang cukup tebal.
10 menit berlalu, ketika Ridwan yang pamit buang air kecil masuk ke kelas dengan terburu-buru.
"Kak Hasna, Kak Ahsan jatuh kak di dekat tempat wudlu," ujar Ridwan sambil berdiri di dekat pintu kelas itu dengan raut sedikit panik. "Innalillaah, Kak Ahsan jatuh? Sekarang Kak Ahsannya dimana?" Hasna pun menghentikan penjelasannya di papan tulis, dengan raut panik menghampiri Ridwan yang menganggukkan kepalanya sambil menunjukkan jarinya keluar. Hasna menoleh ke adik-adik yang lain, "Kak Hasna tinggal sebentar melihat kondisi Kak Ahsan dulu, ya adik-adik, jangan rame yaa," ucapnya berusaha tenang dan menenangkan. Hasna baru akan beranjak keluar saat Ahsan yang terlihat sedikit pucat  tiba-tiba muncul di pintu kelas dipapah seorang adik remaja, salah seorang warga yang tinggal disana.
"Ahsan...," ujar Hasna. Ahsan langsung tersenyum kearah Hasna kemudian mengucapkan terima kasih ke adik yang membantu memapahnya tadi. Ahsan pun duduk di tengah pintu kelas itu, sementara Hasna masih terdiam di tempatnya, bingung harus melakukan apa.
"Aku cuma kepeleset tadi di dekat tempat wudlu, Na. Kaki aku sedikit terkilir sepertinya, untung aja ga sampai jatuh. Aku baik-baik aja, kok Na," ujar Ahsan lagi-lagi tersenyum seolah berusaha menenangkan Hasna yang terlihat khawatir itu. Sesekali terlihat Ahsan meringis kesakitan sambil memegangi bagian kakinya yang terkilir. "Yakin kamu baik-baik saja, San? tanya Hasna akhirnya sembari duduk di dekat Ahsan. Ahsan mengangguk sembari tersenyum ke Hasna. "Sebaiknya kita lanjutkan pelajaran bahasa inggris adik-adiknya, Na". Hasna pun akhirnya balas tersenyum sembari mengangguk dengan bersemangat.
Ahsan terlihat berusaha berdiri dengan agak kesulitan.
"Apa kamu perlu bantuan buat memegangi kamu berdiri dan jalan ke dalam, San?" tanya Hasna ragu dengan raut khawatirnya.
Ahsan menggelengkan kepalanya pelan, lagi-lagi tersenyum lebar kepada Hasna. "I'm okay, Hasna. Aku bisa sendiri kok, Na. Mending kamu lanjutin mengajarnya lagi ya. Maaf jadi mengganggu konsetrasi kamu dan membuat kamu cemas". Hasna pun membalas dengan senyuman yang lebih lebar, "Tidak ada yang merasa terganggu, San".
Hasna bergegas melanjutkan pembahasannya untuk kelompok terakhir di papan tulis dengan bersemangat. Sesekali pandangannya pun tertuju ke Ahsan yang berusaha duduk di dekat adik-adiknya lagi sambil berusaha bersikap tidak terjadi apa-apa dengan kakinya. Hasna sekedar ingin memastikan kondisi Ahsan. Sementara itu, dengan berusaha riang dan tak ingin kalah semangat dengan Hasna, Ahsan kembali membantu Hasna mengulangi dan meneruskan penjelasan Hasna satu per satu ke adik-adik yang ada di dekatnya. Hasna pun ikut tersenyum melihatnya. Hasna makin kagum melihat pribadi Ahsan itu.
Sebelum pulang seperti biasa adik-adik harus menyetor hafalan kata dalam bahasa inggrisnya sekaligus cara mengejanya. Seperti yang disampaikan Sabtu sebelumnya, kali ini adik-adik menghafal nama peralatan rumah tangga, 5 kata untuk kelompok satu, 10 kata untuk kelompok dua, dan 15 kata untuk kelompok tiga. Ahsan meminta Hasna untuk mengizinkan Ahsan mengecek hafalan kelompok satu dan dua, sementara Hasna mengecek hafalan kelompok tiga. Melihat Ahsan yang bersemangat itu pun membuat Hasna menyetujui permintaan Ahsan tersebut.
Sesekali, Ahsan melihat kearah Hasna yang bersemangat mengecek hafalan kata adik-adik di kelompok tiga dari tempatnya duduk. Ahsan selalu suka melihat senyuman lepas Hasna itu. Meski hanya sejenak melihatnya, tapi senyuman Hasna selalu berhasil menularkan senyum dan semangat bagi Ahsan. Begitu pula Hasna, sesekali Hasna pun tersenyum lebar melihat Ahsan yang terlihat bersemangat disertai senyumannya mengecek hafalan adik-adiknya. Baik Hasna maupun Ahsan tidak menyadari bahwa mereka saling menularkan senyum dan semangat itu satu sama lain.
Waktu menunjukkan pukul 17.15 saat kelas bahasa inggris hari Sabtu itu pun selesai. Adik-adik pun bergegas pulang setelah mencium tangan Ahsan dan Hasna bergantian, kecuali Putri dan Ridwan serta dua orang adik lainnya, Zein dan Lili. Mereka terlihat duduk berkerumun di dekat Ahsan.
"Mana yang sakit, Kak Ahsan?" tanya Putri terlihat mencemaskan Ahsan.
"Iya, yakin Kak Ahsan bisa pulang sendiri?" sambung Ridwan diikuti anggukan kepala dari Zein dan Lili.
Ahsan tersenyum lebar ke keempat adik itu sambil menganggukkan kepalanya pelan. "Kak Ahsan cuma terkilir sedikit, kok. Kak Ahsan baik-baik dan pastinya bisa pulang sendiri," jelas Ahsan sambil menunjukkan bagian kakinya yang terkilir. Hasna yang sedang merapikan buku dan kamus yang digunakan untuk mengajar tadi pun ikut menyimak obrolan itu ketika Hasna teringat sesuatu. Hasna bergegas merogoh tas ranselnya, mencari counter pain buat dioleskan ke kaki Ahsan yang terkilir itu. Hasna pun bergabung duduk di dekat Ahsan. "Oleskan ini dulu sementara, San. Semoga bisa mengurangi rasa nyeri di otot kamu yang terkilir," ujar Hasna. Ahsan menatap Hasna sejenak dan membalas senyuman Hasna untuknya kemudian mengambil counter pain di tangan Hasna itu, perlahan dioleskannya ke bagian kakinya yang terkilir, sambil sesekali meringis kesakitan lalu mengembalikannya ke Hasna seraya mengucapkan terima kasih.
"Udah kamu simpan dan bawa saja, San. Siapa tahu kamu memerlukannya lagi di jalan nanti," jawab Hasna tersenyum, menyodorkan kembali counter pain itu ke Ahsan. Ahsan mengangguk pelan dan tersenyum.
"Kak Ahsan beneran gapapa? Soalnya tadi Ridwan sempat denger Kak Ahsan sepertinya muntah di kamar mandi ya," ujar Ridwan tiba-tiba membuat semua mata di ruang itu tertuju ke Ahsan tak terkecuali Hasna.
"Kak Ahsan habis muntah? Dari sejak datang, Putri udah curiga kalau ada yang nggak beres sama Kak Ahsan. Mana yang sakit, Kak? Kepala atau perut Kak Ahsan sakit?" tanya Putri panjang lebar dengan raut khawatir  seolah mewakili tiga temannya yang lain. Lagi-lagi, Ahsan tersenyum lebar sambil bergantian menatap keempat adik yang duduk di hadapannya itu. "Kak Ahsan cuma masuk angin aja sepertinya, ga perlu khawatir ya, Kak Ahsan baik-baik saja". Ahsan kemudian menoleh kearah Hasna. Tampak Hasna sedang menatapnya, ada khawatir disana yang berusaha Hasna tahan dalam diam. Sejenak hening menyapa diantara Ahsan dan Hasna sebelum akhirnya senyuman itu terbentuk di bibir Hasna diikuti Ahsan yang balas tersenyum. Pelan, Hasna pun menganggukkan kepalanya, seolah menyemangati Ahsan. Lagi-lagi Hasna teringat sesuatu dan merogoh tas ranselnya. Sebotol minyak kayu putih tampak sedang dipegang Hasna. "Coba kamu olesin badan kamu, perut, dada, punggung, leher, dan telapak tangan kaki kamu dengan minyak kayu putih saja, San, biar hangat," ujar Hasna menyodorkan minyak kayu putih itu ke Ahsan. "Ayo Putri sama Lili ikut Kak Hasna sebentar ya, soalnya Kak Ahsan harus buka sebagian bajunya biar bisa diolesin minyak kayu putih. Ridwan dan Zein, tolong bantu Kak Ahsan mengoleskan minyak kayu putih di bagian belakang tubuh Kak Ahsan yang ga bisa Kak Ahsan jangkau ya," sambung Hasna lagi sambil tersenyum lembut ke adik-adik yang ada disana. Ahsan menatap Hasna sejenak lalu mengangguk dan tersenyum menerima minyak kayu putih itu dari Hasna. Hasna bergegas mengajak Putri dan Lili menjauh dari Ahsan, ketiganya duduk di dekat papan tulis membelakangi Ahsan. Terlihat sambil setengah bercanda dengan kedua adik perempuan itu, Hasna menutup mata keduanya supaya tidak mengintip. Hasna juga berusaha menghibur Putri yang mencemaskan Ahsan. Ahsan pun tertawa kecil melihat tingkah laku Hasna dan kedua adik perempuan itu. Kehadiran Hasna sebagai volunteer perempuan satu-satunya, membuat adik-adik perempuan seperti punya tempat bercanda dan bermanja dengan lebih dekat dan leluasa dibandingkan yang mereka bisa lakukan dengan kakak volunteer laki-laki. Selain itu, Hasna pun mengajarkan batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan ke adik-adik itu dari sudut pandang perempuan dengan caranya yang sederhana tapi bisa dipahami adik-adik disana, dan tentu saja tetap dengan ceria.
Lima menit kemudian Ahsan sudah selesai mengoleskan minyak kayu putih sesuai saran Hasna sebelumnya. "Kak Hasna, Kak Ahsan sudah selesai nich acara buka sedikit bajunya. Sekarang Putri, Lili, dan Kak Hasna sudah boleh mengintip dan melihat Kak Ahsan yang ganteng ini lagi," ujar Ahsan disambut tawa Hasna dan keempat adik-adik itu. Hasna, Putri dan Lili pun duduk kembali di dekat Ahsan. "Sepertinya, kelas kita perlu kotak obat-obatan alias kotak P3K, San. Aku baru sadar kalau kita nggak punya tempat itu disini," ujar Hasna menatap Ahsan sejenak.
"Apa memang perlu, Na? Selama ini sepertinya tidak diperlukan sih. Masak iya bikin kotak P3K cuma gara-gara aku terkilir dan masuk angin hari ini?" lanjut Ahsan sambil tersenyum lebar ke Hasna.
Hasna ikut tersenyum, "Bukan begitu, San. Memang gara-gara kamu terkilir dan masuk angin, aku jadi menyadari kalau perlu juga ada kotak obat-obatan di kelas ini. Bukan berarti kita berharap ada adik-adik atau kakak-kakak yang sakit, tapi sekedar buat jaga-jaga saja. Nanti biar aku yang bawa deh kotak obat dan isinya buat ditaruh di dinding kelas," jawab Hasna dengan riang dan bersemangat membuat Ahsan hanya bisa menatap Hasna sambil tersenyum merasakan ketulusan perempuan itu.
"Kak Ahsan yakin bisa pulang sendiri? Wajah Kak Ahsan masih kelihatan capek dan kaki Kak Ahsan juga keseleo, kan? Biar Kak Ahsan pulangnya ditemenin Kakaknya Ridwan aja, ya... kakaknya cowok kok, Kak," ujar Putri masih saja terlihat sedikit khawatir dengan kondisi Ahsan.
"Terima kasih banyak, Putri, Ridwan, Lili dan juga Zein. Jangan khawatirin Kak Ahsan ya. Kak Ahsan baik-baik saja kok," ujar Ahsan tersenyum lembut sambil berpose seperti pamer otot. Ahsan berusaha melucu dihadapan adik-adiknya saat itu. Jawaban Ahsan itu, meski menghadirkan tawa sejenak, tidak juga berhasil menghilangkan rasa khawatir Putri ke Ahsan. Hasna yang melihatnya pun bisa memahami kekhawatiran Putri itu. Putri memang termasuk yang paling dekat dengan Ahsan diantara adik-adik yang lain. Ahsan pernah bercerita ke Hasna bahwa Putri merasa mendapatkan kakak lagi setelah mengenal Ahsan selain juga Putri juga menyukai Ahsan karena tampannya sepertinya. Putri, ayahnya adalah buruh bangunan serabutan, sedangkan ibunya bekerja sebagai buruh cuci keliling. Putri pernah punya seorang kakak laki-laki, usianya mungkin lebih muda dua tahun dibanding Ahsan, tapi setahun yang lalu kakak putri meninggal karena demam tinggi beberapa hari yang ternyata sakit demam berdarah. Karena terlambat ditangani dengan benar, nyawa Kakak Putri tidak terselamatkan. Sejak kematian kakaknya itu, Putri yang biasanya sangat riang, sempat terlihat murung beberapa minggu. Oleh karena sejak Ahsan dkk membuka kelas bantaran rel itu Putri sudah jatuh hati dengan Ahsan, dengan dorongan dari volunteer yang lain juga, Ahsan pun berusaha lebih mendekati Putri, berusaha mengembalikan keceriaannya lagi. Sejak saat itu, Putri terlihat semakin dekat dan perhatian dengan Ahsan. Dan ketika Ahsan sakit hari ini, meski hanya terkilir dan masuk angin, wajar buat Hasna melihat Putri khawatir seperti itu. Jangankan Putri, Hasna yang baru mengenal Ahsan seminggu yang lalu pun mengkhawatirkan Ahsan meski Hasna berusaha tidak terlalu menampakkannya, hanya mewujudkannya lewat perhatian kecilnya seperti tentang counter pain dan minyak kayu putih tadi. Padahal, seperti yang Ahsan bilang, Ahsan cuma sekedar sedikit terkilir dan masuk angin saja. Mungkin ketulusan Ahsan yang tetap bersemangat mengajar di kelas bantaran rel meski sedang sakit itu yang membuat Hasna semakin menaruh simpati kepada sosok Ahsan itu. Entahlah.
"Mau ya, Kak Ahsan?" tanya Putri lagi dengan sedikit memohon diikuti anggukan kepala ketiga temannya yang lain.
Ahsan tetap menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum lebar. "Kak Ahsan insyaa Allah bisa pulang sendiri," ujar Ahsan ceria. Hasna masih terdiam di tempatnya mengamati obrolan Ahsan dan adik-adik itu ketika Putri menoleh kearahnya.
"Kak Hasna..., boleh tidak Putri dan teman-teman punya satu permintaan ke Kak Hasna?" ujar Putri sambil tersenyum.
Wajah Ahsan terlihat bertanya-tanya meski tidak mengucapkan apa-apa, sedangkan Hasna menganggukkan kepalanya pelan sambil membelai lembut rambut Putri dan membalas senyuman Putri dengan senyuman lebih lebar lagi. "Kalau Kak Hasna mampu, insyaa Allah Kak Hasna kabulin. Memang permintaan apa?" tanya Hasna.
"Tolong temani Kak Ahsan pulang sampai rumahnya...," sambung Putri ragu.
"Putri,... " potong Ahsan kemudian melihat kearah Hasna sambil menggelengkan kepalanya. Hasna pun tersenyum kemudian meyodorkan jari kelingkingnya ke Putri sambil tersenyum lebar.
Putri balik melingkarkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Hasna kemudian Hasna menyatukan jempolnya dengan jempol putri, membentuk simbol janji, "Kak Hasna janji akan menemani Kak Ahsan pulang hari ini dan memastikan kakak cakepnya Putri dan adik-adik disini ini  tiba dengan selamat sampai rumah, insyaa Allah. Oke... ".
"Hasnaaaa..." sela Ahsan meski ia akhirnya tidak melanjutkan kalimatnya melihat keempat adik-adik di hadapannya itu terlihat berterima kasih dan mengangguk senang dengan janji yang diucapkan Hasna itu. Ahsan pun memutuskan diam, hanya tersenyum kepada mereka, menoleh sejenak ke Hasna dan tersenyum  padanya.
Setelah berterima kasih ke Hasna, Putri dan ketiga temannya pun berpamitan pulang dengan wajah lebih ceria. Kini tersisa Ahsan dan Hasna di kelas itu, Hasna pun berdiri hendak membersihkan papan tulis ketika Ahsan dengan agak susah payah ingin menggulung tikar di kelas. "Sudah San, biar aku saja yang merapikan kelas, kamu lebih baik duduk saja," ujar Hasna berusaha  mencegah Ahsan.
"Hasna, aku baik-baik saja. Meski terkilir, aku masih bisa menggulung tikar, Na," jawab Ahsan. Ahsan dan Hasna sedang berdebat kecil perihal itu ketika terlihat empat kepala menyembul dari balik pintu, kepala Putri, Ridwan, Lili, dan Zein. Ahsan dan Hasna pun melihat kearah mereka yang sedang tersenyum lebar ke Ahsan dan Hasna.
"Kalian belum pulang?" tanya Ahsan.
"He he, belum Kak. Kita habis beli es dan cilok di sebelah," jawab Zein sambil meringis memamerkan giginya.
Ahsan dan Hasna pun tertawa mendengarnya.
"Boleh nggak Kak, kalau kita mau bantuin merapikan kelas?" sambung Ridwan lagi.
Hasna tersenyum lebar dan mengangguk pelan, "Tentu boleh, makasih banyak sebelumnya. Kalian memang terbaik" jawab Hasna dengan riang sambil menirukan gaya tokoh di BoBoiBoy disambut tawa kecil adik-adiknya. Ahsan menoleh kearah Hasna, senyuman Hasna itu seperti mengatakan bahwa Hasna sedang tersenyum yakin akan memenangkan perdebatan kecil diantara Ahsan dan Hasna sebelumnya. Meskipun demikian, Ahsan tetap saja tertular untuk ikut tersenyum melihat kelakuan Hasna itu.
Dengan riang, adik-adik itu pun masuk kembali ke kelas. Terlihat mereka mendekati Ahsan. "Kak Ahsan duduk manis saja, serahkan semuanya ke kita dan Kak Hasna," ujar Putri tegas sambil tersenyum lebar kemudian menoleh ke Hasna yang balas mengangguk dan tersenyum lebar. Adik-adik yang lain juga terlihat mengangguk setuju membuat Ahsan pun pasrah dan akhirnya memilih duduk di dekat pintu kelas, menunggui Hasna dan keempat adik-adik yang bergotong royong merapikan kelas, tetap dengan keceriaan mereka. Ada kalanya, Ahsan tertawa kecil merasa perhatian mereka terlalu berlebihan mengkhawatirkan Ahsan, tapi Ahsan pun sangat menghargai perhatian itu yang terasa tulus untuknya.
Sepuluh menit kemudian, kelas pun sudah dalam kondisi rapi. Putri, Ridwan, Zein, dan Lili mencium tangan Ahsan dan  Hasna lagi kemudian berpamitan pulang. Hasna teringat sesuatu, "Oh ya, Putri... Kak Hasna hampir lupa memberikan ini, janji Kak Hasna ke Putri, Rabu kemarin," ujar Hasna sambil menyerahkan kantong plastik hitam berisi celengan kaleng itu. Setelah memasukkannya ke tas dan mengucapkan terima kasih dengan senyuman manisnya, Putri pun bergegas menyusul teman-temannya yang sudah ada di depan kelas. "Semoga cepat sehat, ya Kak Ahsan...," ucap Putri sambil tersenyum. Terlihat keempatnya melambaikan tangan ke arah Hasna dan Ahsan sambil mengucapkan salam sembari berlari kecil. Ahsan yang duduk di pintu dan Hasna yang berdiri di sebelahnya pun tertawa melihatnya sambil balas melambaikan tangan. Anak-anak selalu punya caranya membagi tawa kepada orang dewasa seperti Ahsan dan Hasna, termasuk juga adik-adik yang tinggal di bantaran rel itu. Dengan keterbatasan lingkungan yang mereka miliki, mereka tetap tahu memaknai berbagi dan peduli, meski ada kalanya juga adik-adik itu menguji kesabaran kakak volunteer saat iseng dan nakal mereka muncul.
Waktu menunjukkan pukul 17.45 saat Ahsan dan Hasna berjalan berdua menuju stasiun. Meski tak lagi hujan, jalanan yang mereka lalui becek sehingga mereka memelankan kecepatan berjalan mereka, terlebih lagi kaki Ahsan sedang terkilir. "Na, makasih ya buat semuanya hari ini," ucap Ahsan sambil tersenyum kearah Hasna. Hasna balas tersenyum lebar, "Aku yang harusnya berterima kasih, meski kamu dalam kondisi sakit, kamu tetap semangat mengajari adik-adik di kelas tadi, San".
"Cuma masuk angin dan sedikit terkilir doank, Na," balas Ahsan dengan ekspresi lucunya. Ahsan dan Hasna tertawa kecil sejenak.
"Oh ya, Na. Kamu ga perlu temenin aku pulang, aku bisa pulang sendiri. Aku tahu kamu tadi berjanji karena ingin menenangkan mereka," ujar Ahsan sembari tesenyum menatap Hasna.
"Gapapa, San. Aku sudah berjanji ke Putri dan teman-temannya, jadi aku harus menepatinya," balas Hasna.
"Kalau kamu antar aku, kamu bakal kemalaman pulangnya, Na. Aku janji aku bakal kabari kamu setiba aku di rumah, okeee.... ," lanjut Ahsan lagi-lagi menatap Hasna. Hasna balik menatap Ahsan sambil tersenyum tanpa kata kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain. Sesekali ia melirik ke Ahsan yang beberapa kali terlihat meringis menahan sakit di otot kakinya yang terkilir itu. Wajah pucat Ahsan itu pun masih terlihat jelas oleh Hasna sehingga masih menyisakan khawatir di hatinya. Begitu pun sebaliknya Ahsan, sesekali ia melirik kearah Hasna, seolah menunggu Hasna bicara, tapi Hasna hanya diam dan sesekali tersenyum kearah langit atau melihati sekitarnya. Mereka berdua pun membisu dalam kata.
Ahsan dan Hasna tiba di stasiun saat arloji Hasna menunjukkan pukul 18.25. Mereka baru akan antri masuk ketika itu saat Hasna memanggil Ahsan pelan.
"Janji tetaplah janji dan itu hutang. Aku sudah berjanji ke Putri dan teman-temannya, jadi aku harus menepatinya, San," ucap Hasna sambil tersenyum ke Ahsan.
Ahsan memandangi Hasna sejenak kemudian balas tersenyum pasrah. Di satu sisi, dia merasa risih kalau Hasna menemaninya pulang, padahal Ahsan cuma tidak enak badan biasa saja. Ahsan tidak terbiasa menerima perhatian seperti itu dari perempuan dan selama ini dirinya berusaha untuk menghindarinya saat beberapa perempuan menawarkan perhatian kepadanya meski dalam wujud yang berbeda. Di sisi lain Ahsan juga merasa khawatir Hasna akan pulang kemalaman. Walaupun demikian, Ahsan suka melihat niat Hasna untuk menepati janjinya kepada Putri dan teman-temannya, sebuah prinsip sederhana yang selama ini juga berusaha dipegang Ahsan dalam kehidupannya, berusaha menghargai dan memegang janji dengan siapapun itu termasuk janji kepada adik-adik di bantaran rel itu.
"Anggap saja, kita tidak sedang bareng, San. Anggap saja, aku kebetulan sedang searah dengan kamu. Aku janji aku bakal tetap menjaga jarak biar kamu nggak risih dan bisa tetap menebarkan pesona kamu,"  sambung Hasna dengan riang menggoda Ahsan, membuat Ahsan pun mengalah dan mengangguk sembari tersenyum lebar padanya.
Ahsan dan Hasna pun memutuskan sholat maghrib di mushalla stasiun kemudian menunggu KRL kearah rumah Ahsan datang. Hasna memegang kata-katanya sebelumnya, ia sengaja mengambil tempat duduk agak berjarak dengan Ahsan di stasiun dan melanjutkan obrolannya dengan Ahsan melalui whatsapp. Meski sempat merasa aneh, Ahsan pun tidak keberatan dengan apa yang dilakukan Hasna, perempuan pemilik senyum lepas itu. "Jangan menghilang dari pandanganku ya, San :p" tulis Hasna. Ahsan menoleh ke Hasna yang terlihat juga sedang memandanginya. "Iya, tenang saja Hasna. Lagipula aku tidak punya ilmu menghilang kok, he he. Hmmm aku berasa punya bodyguard atau pengagum bayangan yang mengikuti aku kemana-mana, Na.... he he," jawab Ahsan.
Hasna tersenyum membacanya. "Gapapa deh, yang penting aku bodyguard dan pengagum bayangan yang santun dan menepati janji, ha ha :D"
Ahsan tertawa di tempat duduknya. Hasna yang melihatnya dari tempatnya duduk pun ikut tertawa.
Ahsan dan Hasna pun bergegas berdiri ketika kereta yang ditunggu datang. Hasna terlihat melihati Ahsan yang sedikit kesusahan berdiri menahan sakit di bagian kakinya yang terkilir itu. Meski di satu sisi Hasna ingin membantu Ahsan, tapi disisi lain dia percaya Ahsan, laki-laki itu, tangguh. Pelan-pelan Ahsan masuk ke dalam kereta, Hasna mendekati Ahsan tanpa mengucapkan apa-apa, hanya berusaha memastikan Ahsan naik ke KRL dengan aman tanpa tergencet kaki atau terdorong-dorong atau tersenggol penumpang lainnya. Setelah Ahsan mendapatkan tempat duduk di dalam kereta, barulah Hasna bergegas mencari tempat duduk buat dirinya sendiri. Meski di sebelah Ahsan duduk, sebenarnya masih muat untuk satu orang lagi, Hasna memilih mencari tempat duduk beberapa meter dari tempat Ahsan duduk tapi masih dalam satu gerbong. Ahsan memerhatikan semua yang dilakukan Hasna tanpa Ahsan minta itu. Meski Ahsan merasa tidak enak sendiri ke Hasna karena Ahsan merasa merepotkan Hasna, tapi ada bagian di hatinya yang merasa senang menerima perhatian-perhatian kecil Hasna kepadanya, meski Ahsan pun tak mau mengupas apa yang dirasakannya itu lebih jauh.
Ahsan terlihat mengoleskan lagi counter pain di bagian ototnya yang terkilir itu, sementara Hasna hanya memerhatikannya dari tempatnya duduk. Hasna sadar, laki-laki muda yang sedang dilihatnya itu, sudah menarik perhatian Hasna untuk peduli kepadanya, meski Hasna tidak mau mengartikan lebih jauh apa yang dirasakannya sebenarnya. Bagi Hasna, Ahsan adalah laki-laki yang baik, tidak kurang dan tidak lebih. Hasna seolah berusaha membatasi dirinya lebih hati-hati tentang Ahsan. Ada begitu banyak perbedaan diantara mereka berdua, terutama tentang umur dan komitmen, meski secara banyak pemikiran lainnya, Hasna tidak terlalu merasakannya dan justru merasa nyambung dengan Ahsan. Terlepas dari semuanya, Hasna tidak pernah tahu bagaimana retakan kecil yang Ahsan timbulkan di benteng hati Hasna itu akan membekas atau mungkin menghilang seiring dengan waktu.
"Hasna, dua stasiun lagi kita turun. Hati-hati jangan sampai kamu menghilang ya :P" ketik Ahsan menggoda Hasna.
Hasna tersenyum membacanya, "Mana ada ceritanya bodyguard yang menghilang, Ahsan :D. Yang ada kamunya tuh yang bisa aja sewaktu-waktu menghilang dari radar aku, he he". Ahsan tertawa kecil membaca pesan Hasna itu.
Ahsan terlihat perlahan berdiri dari tempat duduknya, sambil menahan rasa nyeri di otot kakinya itu dan perlahan berdiri di dekat pintu keluar kereta. Hasna pun bergegas menuju pintu keluar yang sama dengan Ahsan, tanpa  berkata-kata Hasna berdiri berseberangan dengan Ahsan. Mereka hanya saling bertukar senyum satu sama lain.
Ahsan hendak keluar stasiun ketika kemudian ia menoleh ke Hasna yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Hasna menatap ke arah Ahsan sejenak lalu mengeluarkan handphonenya dari sakunya. "What's wrong, Ahsan(ind: apa yang salah, Ahsan)?" ketik Hasna.
Hasna melihati Ahsan yang sedang mengetik itu, "Hari sudah malam, Na. Kamu cukup mengantarku sampai sini aja. Aku masih harus naik angkot sekali soalnya".
Untuk sejenak, Ahsan dan Hasna saling berpandangan dalam diam. Kemudian Hasna menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum lebar ke Ahsan, "Jangan membuat aku menjadi Kak Hasna yang ingkar janji, Kak Ahsan. Udaaah, kamu pura-pura nggak kenal aku aja :D".  Ahsan pun akhirnya mengangguk pelan sambil balas tersenyum lebar ke Hasna sambil mengucapkan maaf dengan gerakan  bibirnya.
Setelah keluar dari stasiun, Ahsan berjalan pelan menuju sebuah jembatan penyeberangan. Ahsan harus naik angkot dari jalur di seberang jalan tempat dirinya berada sekarang. Ahsan berhenti dan terlihat mengamati jembatan yang biasa ia lewati itu.
"Kenapa? Jembatan penyeberangannya tidak cocok buat orang yang sedang sakit dan terkilir sepertinya ya, San :)," sebuah pesan dari Hasna.
Ahsan menoleh ke belakang, terlihat Hasna sedang mengamatinya beberapa langkah di belakangnya sambil tersenyum ke Ahsan. Ahsan pun berjalan menghampiri Hasna sambil tersenyum lebar, "Iya nih, Na. Jembatannya tinggi, otot kaki berasa makin nyeri membayangkan harus naik dan turun lewat jembatan itu. Mana pandangan mata makin kabur aja nih, he he. Baru nyadar kalau jembatan penyeberangan ini tidak sesuai untuk pejalan kaki lanjut usia atau punya keterbatasan atau juga pejalan kaki yang sedang terkilir seperti aku ini". Hasna mengangguk setuju sambil tersenyum. Beberapa kali Hasna mengamati jembatan penyeberangan di sekitarnya, dan Hasna sering berpikir bahwa jembatan penyeberangan itu tidak cukup ramah untuk sebagian pejalan kaki, terutama mereka yang lanjut usia, cacat, atau sedang hamil juga yang sedang sakit. Dan lagi-lagi Ahsan memiliki pemikiran yang sama dengannya. "Ya udah, San... kita menyeberang lewat bawah aja, ya. Aku temani kamu menyeberang pelan-pelan ya," ujar Hasna lagi. Ahsan tersenyum, meski Ahsan sadar bahwa kondisi badannya sedang tidak fit ditambah dengan kakinya yang terkilir, tetap saja dirinya tidak biasa menjadi seseorang yang dilindungi oleh perempuan, terlebih perempuan itu Hasna. Sejak awal ia melihat perempuan pemilik senyum lepas itu di foto profil wa-nya, dia seolah ingin menjadi pelindung buat Hasna, tanpa alasan, hanya sekedar ingin melindungi saja.
"Kamu temani aku menyeberang pelan-pelan di sebelahku ya, Na. Tapi tetap biarkan aku berada di sisi yang melindungi bukan dilindungi. Okeee...,” ujar Ahsan sambil tersenyum lebar. Hasna menatap Ahsan sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya sambil balas tersenyum. Meski ada rasa khawatir dengan kondisi Ahsan, Hasna tetap memercayai Ahsan sebagai seseorang yang bisa diandalkan.
Setelah menyeberang jalan, Ahsan kemudian menyetop sebuah angkot dan perlahan naik ke dalamnya. Hasna pun ikut naik di belakang Ahsan. Di sepanjang perjalanan, lagi-lagi mereka tidak mengobrol langsung satu sama lain. Ahsan dan Hasna hanya saling melempar senyum dari tempat duduk mereka yang saling berhadapan itu.
"San, berapa ongkos angkot ke rumah kamu?" ketik Hasna ke Ahsan.
"Biar sekalian aku yang bayar aja, Na," balas Ahsan.
"Ga mau, kan kesepakatannya kita tidak sedang bareng, cuma kebetulan menuju arah yang sama. Jadi ongkosnya berapa?" ketik Hasna lagi.
Ahsan tersenyum menatap Hasna yang balas tersenyum juga.
"5 ribu, Na. Maaf ya jadi merepotkan kamu :)," balas Ahsan lagi.
"Aku tidak merasa repot, jadi santai saja, San :)," ketik Hasna lagi.
Dan untuk beberapa saat baik Ahsan maupun Hasna hanya terdiam di tempat duduknya masing-masing.  Mereka sibuk memandangi pemandangan di luar angkot yang dilihatnya, meski sesekali Hasna terlihat mengamati kaki Ahsan yang terkilir dan melirik sejenak melihat wajah Ahsan seolah memastikan bahwa Ahsan baik-baik saja.  Begitu pun Ahsan, sesekali ia melirik sejenak ke Hasna, meski entah ingin memastikan apa.
Arloji Hasna menunjukkan pukul 19.30 ketika Hasna dan Ahsan sampai di pintu gerbang kompleks Ahsan tinggal. Hasna tetap menjaga jarak beberapa meter dari Ahsan yang berdiri di depannya.
"Na, aku sudah sampai di depan kompleks, aku. Rumah aku sekitar 20 meter dari gerbang. Kamu sebaiknya pulang aja, ya. Anggap aja, janji kamu ke Putri dan teman-temannya sudah kamu tepati. Sudah terlalu malam, Na. Aku khawatir kalau kamu pulang terlalu malam sendirian," ketik Ahsan.
Hasna tersenyum, "Nanggung, San. Bukannya kalau melakukan sesuatu itu ga baik kalo setengah setengah. Udah kamu jalan aja, biarkan aku menyelesaikan tugas aku dengan baik sampai kamu benar-benar di depan rumah kamu :D," ketik Hasna.
Ahsan tertawa membacanya, kemudian bergegas melanjutkan langkahnya dengan Hasna berjalan mengikutinya beberapa langkah di belakangnya. Meski Ahsan memahami apa yang dilakukan Hasna saat itu, tapi dia tetap merasa aneh dengan perhatian Hasna itu. Hasna yang tetap berjalan beberapa langkah di belakangnya tanpa ia minta seolah memahami rasa risih yang sempat Ahsan rasakan di hatinya sebelumnya.
15 menit kemudian Ahsan akhirnya sampai di depan pagar rumahnya. Ahsan kembali menoleh ke belakang, Hasna terlihat berdiri beberapa meter dari tempatnya, masih dengan senyuman lebarnya.
"Aku sudah sampai di depan rumah aku, Na," ketik Ahsan sambil memandang kearah Hasna.
"Ya udah kalo begitu, tugas aku hari ini sudah selesai, San. Aku pamit pulang dulu ya :)," balas Hasna.
Ahsan dan Hasna saling berpandangan dan melempar senyuman, Hasna tetap berdiri di tempatnya, tidak berjalan mendekat kearah Ahsan.
"Mungkin kamu mau mampir, Na...? Istirahat sebentar mungkin?" ketik Ahsan lagi. Saat mengetiknya, Ahsan sempat ragu karena ia hampir tidak pernah mengajak teman perempuannya ke rumahnya sendirian. Namun Ahsan tetap mengetikkannya.
Hasna tersenyum membacanya, "Terima kasih, San. Aku langsung pulang saja. Sudah malam. Kamu istirahat ya, semoga cepat sembuh ya," ketik Hasna lagi.
Ahsan menatap Hasna beberapa saat. "Kamu yakin gapapa pulang sendirian, Na? Kalau nggak biar aku carikan seseorang buat mengantarkan kamu pulang," ketik Ahsan.
Hasna menggelengkan kepalanya pelan ke Ahsan dari tempatnya berdiri. "Aku bisa pulang sendiri, Ahsan. Lagipula aku tidak sedang sakit seperti kamu. Jadi jangan gantian mengkhawatirkan aku ya :D," ketik Hasna lagi.
Ahsan tersenyum lebar kearah Hasna, "Ya udah, kamu hati-hati ya. Makasih sekali lagi untuk semuanya. Sampai jumpa hari Rabu ya... :) :D," ketik Ahsan lagi.
Lagi-lagi Ahsan dan Hasna saling berpandangan dan melemparkan senyuman. Hasna kemudian melambaikan tangannya ke Ahsan sebagai tanda berpamitan kemudian membalikkan badannya, bergegas pulang.
Beberapa saat, Ahsan mengamati Hasna yang berjalan menjauh. Apa yang terjadi hari ini terutama diantara dirinya dan Hasna membuat Ahsan merasa bersalah ke Hasna tapi sekaligus bahagia diantara nyeri otot kakinya yang terkilir dan badannya yang terasa tidak karuan. Yaaa, perhatian aneh Hasna hari ini sangat berkesan di hatinya.

~ Kamu punya cara yang unik untuk membuatku tersenyum dan merasa damai  apa pun yang terjadi. Yang kamu lakukan membuat aku ingin bertemu kamu lagi dan lagi. Meskipun kita bukan kekasih atau dua orang yang memadu hati, tapi aku merasa kamu layaknya teman sejati. ~


 

Kamis, 04 Februari 2016

See You Again When The Next Blue Moon Appears Part 4 Ahsan Hasna : Kamu dan Kelas Rabu Itu

Part Sebelumnya  

Part 4 Ahsan Hasna : Kamu dan Kelas Rabu Itu


Rabu pun menjelang, waktu menunjukkan pukul 13.45 saat Hasna sedang berada di KRL dalam perjalanan menuju kelas bantaran rel kedua kalinya. Sebuah pesan masuk di handphone Hasna.
"Hasna, kita ketemu di stasiun seperti sebelumnya ya, sekitar jam 14.30. Ahsan :)".
Hasna tersenyum dan bergegas menyimpan nomer Ahsan di handphonenya.
"Iya terima kasih banyak, San. Tahu aja kalo aku belum hafal letak kelas kemarin. Maaf merepotkan ya :D ," ketik Hasna. Kali ini giliran Hasna penasaran mengintip foto profil di whatsapp Ahsan. Seorang laki-laki terlihat sedang jongkok sambil mengelus kepala seekor kucing sambil tertawa kearah kamera. Bibir Hasna pun otomatis tertawa melihatnya. "Very cute and natural... (ind: sangat lucu dan alami)," ujar Hasna dalam hati. Hasna semakin tidak menyangsikan sangat wajar Ahsan menjadi idola banyak kaum hawa di kampusnya. Sejauh yang Hasna kenal, Ahsan laki-laki yang punya banyak kelebihan. Sayangnya ia jauh terlalu muda untuk seorang Hasna. Ahsan bahkan belum punya gambaran apapun tentang komitmen yang selama ini menjadi sesuatu yang dipegang teguh oleh Hasna. Dan yang paling mendasar, Hasna pun sadar dirinya sepertinya bukan sosok yang cukup sepadan untuk masuk kriteria seorang pendamping bagi laki-laki semacam Ahsan.
Hasna kembali larut membaca cerita anak-anak yang menjadi koleksi di handphonenya. Buat seorang Hasna, memiliki banyak persediaan cerita lucu dan mendidik akan memudahkan dirinya lebih dekat dengan anak-anak kecil.
Waktu menunjukkan pukul 14.23 ketika Hasna sampai di stasiun dan menunggu Ahsan di dekat pintu keluar seperti sebelumnya. Hasna terlihat mengamati sekelilingnya ketika ia melihat Ahsan diantara kerumunan manusia yang baru turun dari KRL. Ahsan terlihat memandang kearah tempatnya menunggu dan Hasna pun melambaikan tangannya dengan wajah tersenyum. Namun Ahsan seolah tak melihatnya. Ahsan masih mengedarkan pandangannya mencari Hasna. Hasna pun menghampiri Ahsan yang berdiri tak jauh darinya.
"Assalaamualaikum Ahsan". Ahsan segera menutup handphonenya dan menoleh keasal suara yang tak asing lagi baginya itu. "Waalaikumsalam wr wb,...  Hasnaaa...". Sejenak Ahsan tertegun mengamati perempuan yang sedang tersenyum padanya itu. Wajah dan senyum itu tak asing baginya, tapi penampilan Hasna yang berjilbab itu sempat membuat Ahsan tak mengenalinya. Hasna terlihat anggun dengan rok panjang marun dan kemeja hitam polosnya dipadu dengan jilbab segi empat pink muda motif bunga-bunga yang menjuntai menutupi dadanya.
"Ahsan...," panggil Hasna menyadarkan Ahsan dari ketertegunannya. Ahsan pun buru-buru minta maaf ke Hasna.
"Kamu kenapa, San kok terlihat kaget seperti itu? Ada yang salah ya dengan penampilan aku? Jilbab aku berantakan ya?" tanya Hasna sambil mencari tempat di sekitar tempatnya berdiri yang bisa dipakai buat bercermin. Reaksi Ahsan membuat Hasna jadi tidak percaya diri.
"Sama sekali nggak ada yang salah dengan penampilan kamu kok, Na. Hanya saja kamu terlihat beda," ujar Ahsan sembari tersenyum ke Hasna. "Kamu terlihat lebih cantik dengan jilbab itu, Na," lanjut Ahsan di dalam hatinya.
"Aku pikir karena Rabu adalah jadwal kelas mengaji, makanya aku pakai jilbab. San, apa aku salah kostum?" tanya Hasna lagi. Lagi-lagi Ahsan menggelengkan kepalanya. "Kostum kamu sudah pas kok, Na. Aku hanya sempat pangling dan tidak mengenali kamu aja tadi," jawab Ahsan sambil tersenyum. "Hmmm pantesan waktu tadi aku lambaikan tangan, kamu diam aja," sahut Hasna balas tersenyum lebar. "Maaf maaf, Na," ujar Ahsan sambil tertawa malu.
Waktu menunjukkan pukul 15.00 ketika Ahsan dan Hasna tiba di kelas bantaran rel itu dan disambut oleh adik-adik kecil yang langsung mencium tangan mereka. Terlihat keempat volunteer (relawan), rekan Ahsan, sudah tiba terlebih dahulu disana. Mereka pun menghampiri Ahsan dan Hasna. Raka mengenalkan dirinya dan volunteer lainnya dengan Hasna. Ini kali pertama, Hasna bertemu dengan semua volunteer yang mengajar di kelas itu. Selain Raka dan Ahsan, ada juga Ardi yang pertama bertemu Hasna di kantin, Azka, dan Bayu. Adzan Ashar pun terdengar berkumandang mengakhiri perkenalan singkat Hasna dengan keempatnya, Hasna bergegas mengambil wudlu ditemani Ahsan yang juga belum berwudlu. Hasna pun segera bergabung bersama-sama adik-adik perempuan, begitu pun Ahsan mengambil tempat di sebelah adik laki-laki dan mereka pun sholat berjamaah dipimpin Raka.
Seusai sholat, seperti biasa adik-adik pun segera membuka meja belajar lipatnya masing-masing kemudian membuka bukunya. Dalam kelas mengaji, adik-adik di kelas itu terbagi menjadi tiga kelompok, mereka yang belajar mengeja huruf arab, belajar surat-surat pendek, dan juga mereka yang sudah belajar Alquran. Oleh karena jumlah volunteer ada 5 laki-laki plus Hasna, maka satu kelompok dipegang oleh dua volunteer.
"Hasna, karena kamu baru, kamu silahkan memilih mau bergabung dengan kelompok adik-adik yang mana," ujar Raka.
"Kalau boleh, aku bergabung dengan kelompok yang paling mudah aja, Ka. Aku ikut kelompok adik-adik yang mengeja huruf aja, walaupun sebenarnya itu susah susah gampang dan menantang sih ya," jawab Hasna sambil tersenyum.
"Ya udah, berarti kamu bareng sama Ahsan ya mengajarnya," balas Raka sambil menunjuk ke Ahsan yang berjalan ke mereka dengan buku ditangannya. Ahsan memandangi Raka dan Hasna. "Memang nggak apa-apa, Ka aku bareng lagi sama Ahsan?" tanya Hasna dengan senyum tertahan bergantian melihat Ahsan dan Raka.
"Emang ada masalah, Na kalau kamu bareng Ahsan lagi?" ujar Raka balik bertanya, dibalas Hasna dengan menggelengkan kepala dan tersenyum.
"Kalo aku sih nggak masalah, Ka selama Ahsannya mau aja".
Ahsan menatap Hasna sejenak. "Iya, Ka. Masak aku bareng melulu sama Hasna, kali aja Hasna bosen dan pingin kenal lebih dekat sama volunteer yang lain?" timpal Ahsan sambil tersenyum.
"Bukan begitu juga sih San, aku sama siapa aja nggak masalah kok. Seiring waktu, aku pasti bisa lebih dekat dan mengenal volunteer disini. Lagian, aku gabung disini kan ingin jadi relawan, bukan mau PeDeKaTe atau taaruf sama volunteer cowok disini," balas Hasna mencandai Ahsan. Mereka pun tertawa.
"Ya udah, biar Hasna bareng kamu aja, San. Toh, buku yang ada ditangan kamu buku iqra (buku buat belajar membaca huruf arab) kan," sambung Raka lagi.
"Iya, San... biar Hasna bareng kamu aja. Gapapa sering-sering bareng, biar lebih mengenal dekat. Yaaa siapa tau berjodoh, Bro.. ," ujar Ardi menimpali. Ahsan menatap ke Ardi yang terlihat tersenyum lebar menggodanya.
Hasna, Raka, Bayu, dan Azka hanya tersenyum. "Ya nggak mungkin lah Ar, perempuan biasa seperti aku begini bisa mencuri hati Ahsan yang popular di kampus. Mana lebih tua pula,  pastinyaaa aku beda kelas sama selera Ahsan. Ibarat kalau ada antrian kandidat perempuan yang disukai Ahsan, aku sudah tertolak masuk di dalam antrian," sambung Hasna menimpali candaan Ardi. Semuanya tertawa kecuali Ahsan. Ahsan menatap Hasna dalam diam sejenak dan Hasna menyadari raut Ahsan yang berbeda itu.
"Becanda, San," ujar Hasna sambil menunjukkan jarinya yang membentuk tanda "peace" ke Ahsan sambil tersenyum lebih lebar. Ahsan pun akhirnya ikut tersenyum bergabung dengan tawa teman-temannya yang lain.
"Udah cukup ah, becandanya. Ayo segera bertugas di pos masing-masing," ujar Ahsan  sambil sok memberi komando membubarkan teman-temannya itu diiringi dengan senyuman keenamnya.
Ada empat orang adik di kelompok mengeja huruf Arab yang dihadapi Ahsan dan Hasna. Ahsan dan Hasna duduk menghadap mereka, seperti sebelumnya Ahsan bertindak mengajar di depan, sementara Hasna lebih "merangkul" di dekat adik-adiknya. Ahsan kemudian memanggil adik-adik itu satu demi satu untuk membaca beberapa halaman huruf arab di buku iqra itu dan Hasna membantu yang lainnya, termasuk membetulkan cara pengucapannya dan panjang pendeknya. Ahsan sesekali melirik Hasna yang membantu adik-adiknya dengan ekspresif dan membuat adik-adiknya ikut ekspresif menjadi lebih riang dan bersemangat. Ahsan jadi tertular untuk ikut tersenyum dan lebih bersemangat. Setelah pelajaran mengeja dan membaca serta menulis huruf selesai, sebelum pulang seperti biasa adik-adik menyetor 2 hafalan doa harian yang doanya dipilih secara acak oleh Ahsan dan Hasna dari kumpulan doa harian yang sudah diajarkan. Ahsan dan Hasna masing-masing menghadapi 2 orang adik.
Waktu menunjukkan pukul 17.03 saat kelas mengaji pun akhirnya selesai. Raka menahan adik-adiknya untuk tidak langsung pulang karena ada permintaan dari tempat kerja Hasna untuk membuat dokumentasi, salah satunya foto bersama semua adik-adik yang belajar dan volunteer disana. Terlihat Bayu, Azka dan Ardi sedang memanggil 3 adik yang bukan beragama islam yang hanya mengikuti kelas bahasa inggris. Sementara itu Raka, Ahsan, dan Hasna menunggu di kelas sambil merapikan kelas dan bercanda dengan adik-adik disana. Hasna sedang merapikan buku-buku di raknya ketika Putri tiba-tiba mendekatinya. "Kak Hasna terlihat lebih cantik deh kalau pakai jilbab begini," ujar Putri sambil tersenyum lebar. Hasna tersenyum lebih lebar, "makasih, Putri".
"Putri juga suka sama jilbab Kak Hasna, bagus dan cantik, Kak. Kak Hasna beli dimana? Pasti mahal ya, Kak?" tanya Putri lagi dengan polosnya.
"Putri mau?" tanya Hasna diikuti dengan anggukan antusias dari Putri.
"Kalau Putri mau, jilbab Kak Hasna bisa buat Putri. Tapi nanti hari Sabtu ya Kak Hasna bawain biar dicuci bersih dulu," jawab Hasna memandang lembut Putri sambil tangannya merapikan beberapa buku yang kurang rapi.
Putri menggelengkan kepalanya pelan. "Putri nggak mau jilbab Kak Hasna, Kak. Kata Kak Ahsan dan kakak-kakak yang lain, tangan diatas itu lebih baik dari tangan di bawah Kak. Iya kan, Kak Ahsan?" ujar Putri sambil memandang ke belakang Hasna. Hasna pun menoleh ke belakang, ternyata ada Ahsan disana, sedang menyusun rapi meja lipat yang biasa digunakan adik-adik belajar. Ahsan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, "Betul sekali, Putri. Seratus buat Putri". Hasna pun ikut tersenyum dan menganggukkan kepalanya, bergantian memandang kearah Ahsan dan Putri. "Putri pingin beli jilbab seperti punya Kak Hasna, tapi Putri belum ada uang. Putri harus nabung dulu, Kak Hasna," sambung Putri sambil tertawa kecil. Hasna tersenyum lebih lebar kearah Putri, "Ya udah, kebetulan Kak Hasna punya celengan kaleng yang belum terpakai, besok Sabtu Kak Hasna bawain buat Putri biar bisa menabung di celengan itu buat beli jilbab. Nanti kalau celengan itu udah penuh, kita beli jilbab seperti jilbab Kak Hasna buat Putri. Setuju?" Kalimat Hasna itu pun langsung disambut dengan anggukan Putri yang tertawa riang. Ahsan yang ikut mendengar pembicaraan keduanya meski sambil disambi mengerjakan yang lain pun ikut tertawa melihat Putri dan Hasna yang sedang tertawa riang itu.
"Putri sukaaaa banget melihat Kak Hasna pakai jilbab. Semoga nanti Kak Hasna bisa berjilbab seterusnya, ya Kak," sambung Putri dengan riang yang disambut Hasna dengan tersenyum lebar. "Insyaa Allah, doain Kak Hasna ya Putri, semoga suatu saat Kak Hasna berjilbab seterusnya," balas Hasna.
"Aamiin," tiba-tiba terdengar suara Ahsan ikut mengaminkan membuat Hasna sedikit tertegun dan menoleh kearah Ahsan yang sedang tersenyum kearahnya. "Aamiin, makasih sudah ikut mengaminkan, San," ujar Hasna sambil balas tersenyum lebih lebar ke Ahsan kemudian diikuti kata aamiin dari Putri dengan nada ceria.
Beberapa menit kemudian, setelah semua adik yang belajar disana sudah terkumpul lengkap, dibantu seorang warga disana, mereka pun berfoto bersama dengan tema acak tapi ceria. Hasna membaur diantara adik-adik perempuan yang berdiri dan berpose tertawa bersama mereka, sementara Ahsan dan Raka ada diujung berbeda barisan adik-adik yang berdiri sambil merangkul adik-adik laki-laki dengan ceria. Sebaliknya Bayu, Azka dan Ardi pun membaur bersama adik-adik di barisan yang dalam posisi duduk.
Selepas foto bersama, adik-adik pun berpamitan pulang setelah mencium tangan semua kakak-kakak volunteer. Sementara itu, Hasna, Raka, Ahsan dkk tidak langsung pulang, mereka melakukan rapat sejenak terkait program mengajar mereka dan rencana tempat kerja Hasna membantu apa-apa yang diperlukan tapi belum tersedia di kelas tersebut. Mereka membuat daftar apa-apa saja yang diperlukan dan kegiatan-kegiatan tambahan yang bisa dilakukan untuk lebih bisa menghidupkan kelas.
Waktu menunjukkan pukul 17.45 saat mereka beranjak pulang. Raka berboncengan sepeda motor dengan Bayu, sedangkan Ardi berboncengan sepeda motor dengan Azka.
"Oh ya, Hasna dan Ahsan, perlu tumpangan nggak ke stasiun, biar kita antar," ujar Raka menawari. "Makasih, Ka tapi biar aku jalan aja ke stasiun," balas Hasna sambil tersenyum.
"Biar gue yang nemanin Hasna jalan, Ka. Gue dan Hasna kan sama-sama naik kereta meskipun beda arah," sahut Ahsan sambil tersenyum. Kata gue dan loe pun kembali mereka berlima gunakan karena sudah di luar kelas. Mereka sepakat tidak menggunakan kata itu di depan adik-adik yang belajar, melainkan menggunakan kata aku, kamu, dan saya. Meskipun demikian, khusus kepada Hasna mereka tidak menggunakan kata loe gue juga, apalagi Hasna juga lebih tua dibandingkan mereka.
"Oh iya, loe bilang kan mau insyaf ya mengurangi pergi-pergi pake kendaraan pribadi bermotor dan lebih banyak naik kendaraan umum  terhitung sejak kemarin," timpal Azka sambil tertawa kecil. Ahsan balas tertawa.
"Mengurangi emisi gas karbon karena kendaraan bermotor pribadi katanya," sambung Ardi disambut dengan acungan jempol Raka dan Bayu. Hasna pun menoleh kearah Ahsan. Ahsan yang tadinya tertawa pun tersenyum tersipu kearah Hasna yang kemudian tersenyum lebar kepada Ahsan. Ya, baru Senin kemarin Hasna melontarkan itu kepada Ahsan sambil bercanda. Hasna tidak menyangka Ahsan langsung memutuskan mengubah kebiasaannya secepat itu. Setelah mengucap salam, Raka dkk meninggalkan Ahsan dan Hasna.
Hasna pun berjalan beriringan dengan Ahsan menuju stasiun. Sesekali, Hasna melirik kearah Ahsan. Ada sesuatu yang Hasna ingin ucapkan kepada Ahsan meskipun ia ragu memulainya dari mana.
"Oh iya, San... soal bercandaan aku tadi sebelum proses belajar mulai, aku minta maaf yaaa kalau bercandaku keterlaluan," ucap Hasna akhirnya. Ahsan menoleh ke Hasna, setengah tertegun karena tidak menyangka Hasna masih mengambil hati tentang itu.
"Gapapa, Na. Akunya aja yang terlalu sensitif," ujar Ahsan sembari tersenyum.
Hasna tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan, jilbab bunga-bunga-nya sedikit berkibar karena gerakannya. "Meski niat aku memang bercanda, tapi bisa jadi candaan itu mungkin melukai hati kamu. Apa yang menurut aku gurauan bisa jadi bukan bagi kamu, San. Dari ekspresi wajah kamu, aku bisa merasakan kamu tidak nyaman dengan perkataan aku tadi. Maaf ya".
Ahsan terdiam, dia bingung bagaimana menjelaskan ketidaknyamannya kepada Hasna. Rasa tidak nyaman itu hinggap di hatinya tanpa Ahsan tahu apa alasannya. Dia hanya tidak suka saat mendengar Hasna mengucapkan kalimat itu, meski Ahsan tahu Hasna hanya bercanda.
"Kamu mau maafin aku kan, San?" Suara Hasna membuat Ahsan kembali menoleh ke gadis berjilbab bunga-bunga di sebelahnya itu. Ahsan tersenyum lebar sambil pura-pura berpikir kemudian mengangguk. "Tidak ada yang perlu dimaafkan sebenarnya, Na tapi aku terima permintaan maaf kamu. Kamu juga maafin aku ya kalau ada yang tidak berkenan". Hasna pun balas tersenyum lebar sembari mengangguk.
"Oh iya Na, setiap Rabu, kamu bakal pakai jilbab kan di kelas mengaji?" tanya Ahsan kemudian dibalas Hasna dengan tersenyum dan mengangguk, "Nggak apa-apa kan, San?"
Ahsan pun tersenyum. "Pastinya nggak apa-apa, Na. Seperti yang Putri bilang tadi, kamu terlihat lebih cantik mengenakan jilbab, Hasna".
"Terima kasih," ujar Hasna sembari membalas senyuman Ahsan dengan senyuman yang riang. Perlahan senyum Ahsan dan Hasna berubah menjadi tawa riang diantara keduanya, membaur bersama senja yang tersenyum bersama keduanya.

Mengenalmu membuat hati tak bisa mengabaikan tentangmu. Tentangmu adalah istimewa hingga memori menyediakan ruang khusus buatmu, meski hanya ruang tak bernama. Dan bersamamu, selalu terselip senyum dan tawa  

Tokoh imajinasi :
Anisa Rahma as Hasna
Rizky Nazar as Ahsan

Catatan kecil : semoga Tuhan selalu menjaga kalian berdua, Rizky dan Anisa :)

Part Setelahnya