Jumat, 13 November 2015

Renungan Malam Dalam Perjalanan Seorang Penakut yang Peduli

Malam ini hujan mengguyur Depok. Aku pulang melalui jalanan yang mulai lengang, di jalan-jalan tembus yang bertemankan dingin malam sehabis bercanda dengan hujan. Aku suka segarnya, tapi aku disuguhkan dengan suasana yang berbeda malam ini. Jakarta atau lebih luas lagi Jabodetabek, megapolitan Indonesia. Malam disini diisi oleh penghuninya dengan bermacam aktivitas. Ada yang menghidupkan malamnya di tempat hiburan, tempat nongkrong, ada yang lelap dalam istirahat malamnya melepas penat seharian, ada pula yang masih harus bekerja menekuri malam. Aku melewati gang tembus itu, gang di dekat kali kecil itu. Aku melihat mereka, beberapa orang tidur di gang itu hanya beralas seadanya, beratap seadanya berselimut dinginnya sisa hujan. Mereka tertidur diantara lalu lalang orang yang melaluinya. Mereka, entah siapa. Mereka yang bertahan di Kota ini tanpa pekerjaan yang jelas. Mereka yang bertahan dengan dinginnya malam tanpa rumah tanpa kasur yang layak untuk alas tidurnya. Siapakah mereka? Apakah mereka salah satu yang tergiur dengan gemerlapnya ibu kota dan sekitarnya yang seolah menjanjikan kesejahteraan bagi mereka sehingga mereka mendatangi tempat ini?
Aku berjalan melalui mereka. Hawa dingin itu sangat terasa di tubuhku yang hanya lewat di lorong kecil itu. Aku tak sempat membayangkan bagaimana dingin saat tubuh menyentuh semen cor hanya dipisah dengan kardus diantara sisa air hujan yang masih segar menghiasi malam. Mereka dan dingin itu. Mereka yang terlelap tanpa sempat menikmati kehangatan.
Aku menyusuri jalanan di dalam kampus UI ini. Halte depan stasiun menjadi pilihan seseorang untuk tidur disana. Entah siapa dia, dia sudah terlelap saat aku melewatinya. Aku melihat sejenak danau di dekat balairung ini. Sunyi, gelap, pekat, tenang, dingin menyatu dengan air tenang itu.
Aku bukan penyair, aku juga bukan Gie, aku hanya seorang perempuan yang mencoba menikmati jalanan kampus malam ini dengan lebih membuka mataku. Aku belajar tentang hidup malam ini, ya meski setiap hari aku belajar tentang itu. Kota, selalu menyisakan dua sisi, seperti gambaranku tentangnya dulu, sisi megah dan sisi kumuh, sisi terang dan sisi gelap.

Selamat tidur saudaraku, baik kalian yang bisa menikmati empuknya kasur atau apapun sebutannya itu juga buat kalian yang terlelap sekedar menitip penat di tempat yang tak menawarkan alas yang seharusnya

Depok, suatu malam di awal November 2015


Senin, 02 November 2015

Konstelasi Hati BINTANG Buat ARA Part 1 : Intro - Bintang dan Ara

Ketika ide itu terus mengalir dan melahirkan judul baru lagi, menyisakan banyak ending untuk diselesaikan :). Terima kasih Rizky dan Anisa :).


Karena namamu seperti nama konstelasi bintang dan namaku adalah BINTANG, aku akan membuat konstelasi hati aku untukmu, ARA. Konstelasi Ara adalah salah satu yang cantik. Ia membuatku tersentuh, membuatku ingin melihatnya lagi dan lagi seperti halnya kamu. Kamu menyentuh hatiku. Kamu membuatku ingin melihatmu lagi dan lagi. Kemudian, aku berpikir lebih dalam. Hmmm, aku menyadari bahwa aku menyukai konstelasi Ara karena kamu. Ia mengingatkanku padamu, ARA ~ BINTANG.

Because your name is like a constellation (constellation of stars) name and my name is BINTANG (= star), i will make my heart constellation for you, ARA ❤☺. I think that Ara constellation is a beautiful one. It touches me, i want to see it again and again. It looks like you, ARA. You touch my heart. You make me want to see you again and again. Then, i think more deeply. I think that i love Ara constellation because of you. It makes me remember you, ARA ☺~ BINTANG.


Rizky Nazar sebagai BINTANG
Anisa Rahma sebagai ARA 

Dia terdiam di tempat itu sendiri. Dia merasa sendiri, sunyi sepi meski tempat itu menawarkan riuh. Dia menunggu seseorang yang bahkan ia sendiri tak tahu siapa orang itu. Dia menunggu seseorang untuk menemaninya bangkit dari lelah yang dirasakannya. "Letih, aku sungguh sangat letih di titik ini. Hati dan diri ini terasa sunyi", ujarnya. Tak ada air mata yang terurai. Baginya sebagai laki-laki tak boleh dengan mudah memperlihatkan lemah dan rapuhnya. Dia hanya bisa terdiam di salah satu ruangan itu, ruangan dimana dirinya menjadi asing disana. "Kamu tidak sendiri. Aku akan menemani kamu". Suara lembut seorang gadis itu tiba-tiba menyapanya. Gadis itu, entah bagaimana dia sudah ada disana, tersenyum manis duduk disampingnya menawarkan ketulusan untuknya bisa membagi lelahnya. Gadis itu menawarkan "genggaman" hangat untuk menenangkannya. Gadis itu yang tersenyum dengan uniknya yang ternyata berhasil membuat pergi perlahan demi perlahan rasa kesendiriannya. "Siapa kamu sehingga aku merasa ingin berbagi denganmu, sehingga hati aku yang beku dan sunyi ini perlahan melunak dan terasa hangat?" ujarnya.
Gadis itu tetap tersenyum hangat. Meski ada segurat sedih yang berusaha ia abaikan dan sembunyikan,  dia tetap berusaha menawarkan rasa tenang dan damai untuknya. "Aku akan menemani kamu agar tidak merasa sendiri, agar kamu bisa melepaskan lelah kamu dan melanjutkan langkah kamu lagi".

Bintang tiba-tiba terbangun dari mimpi anehnya karena bunyi petir yang menggelegar di malam itu. 
"Siapa sebenarnya perempuan itu?" ucapnya lirih. Setelah meminum segelas air putih dan satu pil obat tidur untuk menenangkan dirinya, Bintang pun kembali mencoba untuk tertidur.

Bukan hanya Bintang yang mengalaminya, di tempat lain ada seseorang yang juga mengalami mimpi yang sama. Ia adalah Ara yang malam itu terbangun karena lupa mematikan alarm tengah malamnya yang sengaja ia setel untuk malam sebelumnya karena ada kerjaan kantor yang harus diselesaikannya.
"Siapa laki-laki itu? Kenapa mimpi yang sama itu datang kembali untuk ketiga kalinya?" tanyanya pada diri sendiri. Sejenak terdengar hujan sedang bernyanyi lantang di tengah malam itu di telinga Ara yang sedang memikirkan mimpi anehnya itu. Setelah beberapa saat, akhirnya Ara pun kembali terlelap. 

Esok paginya Ara pun bermalas-malasan di tempat tidurnya. Hari itu adalah hari Sabtu, hari yang selalu dinantikan Ara setiap minggunya selain hari Minggu. Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya, "Araaa, ini aku Lintang. Boleh aku masuk?"
Ara pun membukakan pintu kamar kosnya untuk sahabat dekatnya itu. 
"Ara, please gantiin aku menyanyi di kafe sore ini ya," ujar Lintang dengan ekspresi membujuk dan memelas itu.  "Lintang sayang, bukannya aku nggak mau bantuin kamu, tapi kamu kan tahu sendiri, aku itu menyanyi cuma sebatas hobby saja, bukan buat ditonton banyak orang termasuk pengunjung kafe". 
Sudah dua hari Lintang berusaha membujuk Ara agar bersedia menggantikannya. Dan Ara masih dengan pendiriannya menolak permintaan sahabatnya itu. 
"Ara, aku harus selesaikan semuanya sore ini dengan Oktan. Aku tidak mau menundanya lagi,"ujar Lintang, "please sekali ini aja, Ra".
Ara memandangi wajah Lintang yang masih memohon itu. Akhirnya, dengan setengah ragu, Ara pun mengangguk menyanggupinya. 

Sore itu, Ara tiba di kafe tempat Lintang bekerja jam 03.04 sore. Meski ini kali pertama Ara menyanyi di depan umum, tapi suasana kafe itu sudah tak asing baginya. Lintang sudah beberapa kali mengajaknya kesana, sekedar janjian bertemu atau bahkan menunggui sahabatnya itu menyanyi. Ara juga mengenal beberapa orang yang bekerja disana. Ara sengaja datang satu jam sebelum waktunya untuk menenangkan dirinya dan menyatukan suasana kafe itu dengan suasana hatinya.

Sementara itu, di tempat lain Bintang tampak sedang menyisir jalanan dengan motornya. Malam sebelumnya, ia dan pacarnya bertengkar. Pertengkaran yang dipicu karena waktu Bintang seminggu ini seolah tersita dengan kerjaannya dan membuat dia harus menomorduakan pacarnya itu. Hari Sabtu biasanya dihabiskan Bintang untuk memprioritaskan pacarnya, tapi entah kenapa sejak pertengkaran terakhir semalam, Bintang belum tergerak untuk mengalah dan berbaikan lagi dengan pacarnya itu. Beberapa minggu terakhir ini, Bintang merasa hidupnya sangat letih dan sunyi. Pertengkaran dengan pacarnya pun seolah membuat Bintang cuek menanggapinya karena ia merasa "kehabisan tenaga" alias kelelahan di titik ini. Bintang sedang menyusuri jalan tanpa tujuan ketika pandangannya terhenti pada satu bangunan yang tak asing baginya. Sebuah kafe yang mirip sekali dengan yang ada di mimpi anehnya semalam. Sejenak, Bintang mengamati kafe itu dengan seksama seolah memastikan apakah memang kafe itu kafe yang ada di mimpinya. Beberapa saat kemudian, Bintang pun memutuskan.untuk masuk ke dalam kafe tersebut. Bintang mengamati sekeliling kafe itu, sampai ia dapati satu tempat duduk di pojokan yang mirip sekali dengan mimpinya. Kafe sore itu sangat rame dengan pengunjung. Dan dari kejauhan terlihat di panggung, seorang perempuan sedang asyik menyiapkan gitar dan dirinya untuk bernyanyi. Ara memutuskan untuk menyanyi dengan akustik sore itu. 
Waktu pun berlalu dan Bintang pun sudah memesan segelas kopi dan sepiring klapertart. Dia terdiam duduk di pojok kafe itu, merasakan sunyi diantara ramainya kafe saat itu.
Bintang seperti sedang berada di dalam mimpinya.
Arloji di tangan Ara menunjukkan pukul 15. 56 ketika Ara mulai menyanyi. Ia harus membawakan lima lagu saat itu. Untunglah performa Ara mampu membuat pengunjung kafe menikmatinya ketika kemudian Ara sampai di lagu yang terakhir.
"Untuk lagu terakhir, saya akan menyanyikan lagu anak-anak yang sudah pasti familiar di telinga kita semua, dengan sedikit modifikasi. Semoga kalian dan anda semua suka". Ara pun mulai menyenandungkan lagu Tit Tik Bunyi Hujan dan Pelangi dengan akustik tapi dengan nada ceria. Tak disangka, lirik lagu anak-anak itu ternyata menarik hati Bintang untuk tersenyum mengenang masa kecilnya, saat Nenek atau Bundanya menyanyikannya lagu itu seolah sunyi itu terpinggirkan sejenak ketika lagu itu mengalun dengan sederhana tapi merdu di telinganya. 
Bintang mengamati penyanyi itu dan menikmati suaranya beberapa saat ketika ia menyadari bahwa wajah itu sepertinya pernah dilihatnya. Penyanyi itu adalah perempuan yang ada di mimpinya semalam. Meskipun ia tertegun mengetahuinya, tapi entah kenapa suara merdu perempuan itu menyanyikan lagu anak-anak seolah menghadirkan sedikit ceria di hatinya dan mampu membuatnya mengabaikan hal lain yang dirasakannya.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Ara berhasil menyelesaikan tugasnya sebagai penyanyi pengganti Lintang. Tanpa disangka, respons pengunjung sangat melegakannya karena ia mendapatkan applause yang sangat meriah setelah ia menyelesaikan lagu anak-anak sebagai penutup penampilannya. Tak terkecuali applause dari Bintang meski Ara tidak melihat keberadaannya yang agak tersembunyi di pojokan. Ara merasa senang sekali karena ternyata lagu penutupnya itu mampu menghadirkan senyum ceria pengunjung kafe itu, seolah mereka kembali ke masa kanak-kanak mereka.
Ara baru saja menerima honornya dan hendak keluar dari kafe itu ketika seseorang memanggilnya.
"Tunggu, mbak penyanyi. Tolong jangan pergi dulu...," terdengar suara laki-laki itu membuat Ara menghentikan langkahnya kemudian menoleh padanya. Ara terkejut melihat laki-laki itu. Laki-laki yang beberapa kali hadir dalam mimpi anehnya kini sedang berdiri di hadapannya. 
"Aku sangat suka lagu penutup kamu, tentang hujan dan pelangi tadi. Bagus banget," ujar laki-laki itu tersenyum tipis sejenak.
"Terima kasih. Syukurlah kalau kamu menyukainya". Ara balas tersenyum. Ia berusaha senetral mungkin bersikap di depan laki-laki itu meski ketertegunan tentang mimpi itu terus menghinggapi pikirannya.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya laki-laki itu tiba-tiba membuat Ara bengong untuk sesaat sebelum akhirnya ia kemudian menggelengkan kepalanya.
Bintang pun balas mengangguk. Ia seolah mendapatkan dukungan yang meyakinkan dirinya bahwa ia memang belum pernah bertemu dengan perempuan itu di dunia nyata.
"Apa boleh aku meminta kamu menyanyikan satu lagu lagi? Satu lagu anak-anak yang jadi kenangan aku bersama nenek aku," ujar Bintang dengan wajah netral sedikit memohon.
Ara terdiam sejenak mengamati laki-laki di depannya itu. "Maaf, tapi tugas aku untuk menyanyi disini sudah selesai dan aku harus pergi. Aku cuma penyanyi pengganti disini. Sekali lagi, aku minta maaf banget, ya," jawab Ara dengan muka menyesal.
Bintang masih terdiam di tempatnya ketika Ara memberi isyarat hendak pergi.
"Aku mohon, tolong nyanyikan Lagu Bintang Kecil sekali saja buat aku," sambung Bintang tiba-tiba membuat Ara pun tertegun dan menatap laki-laki di hadapannya itu. Wajah itu, wajah yang dipenuhi kesunyian, wajah yang membuat hatinya tersentuh didalam mimpinya, kembali terbayang dengan jelas di pikiran Ara. Akhirnya Ara pun mengangguk sambil tersenyum kepada laki-laki itu. "Ya sudah, aku akan menyanyikan lagu itu untuk kamu, aku tanya dulu ke pengelola kafenya ya, semoga diperbolehkan. Kamu duduk saja kembali di tempat duduk kamu tadi". Bintang pun balas tersenyum.
Ara menghampiri pengelola kafe dan menjelaskan permintaan laki-laki itu. Tanpa keberatan sama sekali, pengelola kafe menyanggupi permintaan itu, apalagi permintaan itu datang dari pengunjung baru kafe itu. Dengan wajah ceria, akhirnya Ara kembali naik panggung dengan gitarnya.
"Maaf, karena ada permintaan dari salah satu pengunjung kafe, saya akan menyanyikan satu lagi lagu anak-anak berjudul Bintang Kecil. Semoga lagu ini bisa menghibur dan membawa keceriaan. Semoga pengunjung yang lain juga bisa menikmatinya, terima kasih". Ara pun mulai bernyanyi sambil tersenyum dan tertawa ceria. Ia seolah ingin menghibur laki-laki yang ada di mimpinya itu meski hanya dengan lagu. Sementara itu, Bintang yang kembali duduk di tempatnya semula terlihat asyik menikmati lagu yang dibawakan Ara. Lagu dan suara itu mampu membuatnya tersenyum dari awal sampai akhir dinyanyikan.

Tak terasa lagu Bintang Kecil itu pun sampai di penghujungnya saat applause yang sangat meriah diterima Ara termasuk dari Bintang yang sengaja memberikan standing applause di tempat ia duduk. Mereka sempat saling bertukar senyum sejenak. Setelah itu, Ara terlihat sedang mengobrol dengan pengelola kafe sehingga Bintang yang ingin mengucapkan terima kasih memutuskan menunggu sembari menghabiskan makanan dan minumannya sambil meminta bill pembayaran. Untuk sejenak kemudian, Bintang sibuk membereskan barangnya dan ia pun tak sempat menyadari kepergian Ara. Saat Bintang menoleh ke arah dekat  panggung, tempat Ara terlihat mengobrol sebelumnya, dan sekitarnya ia tak lagi menemukan bayangan Ara. 
"Aku bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih pada perempuan tadi...," ujar Bintang dalam hati sembari tersenyum sejenak sebelum kemudian ia bergegas pulang ke apartemennya. 

~ Bersambung ~