Senin, 17 April 2017

See You Again When The Next Blue Moon Appears Part 8 Katakan dan Relakan! (2)

Sebelumnya : Katakan dan Relakan! (1)



PART 8.4. PENGAKUAN AHSAN 

Akhirnya Raka menemani Ahsan periksa ke rumah sakit. Awalnya Raka sengaja mencari rumah sakit di dekat rumah Ahsan biar sekalian mudah mengantar Ahsan pulang setelahnya, tapi hasil diagnosa bahwa Ahsan ternyata sakit typus mengharuskan Ahsan untuk di-opname (rawat inap). Kondisi Ahsan memang cukup drop untuk dia memaksakan diri buat pulang saat itu ditambah demamnya yang cukup tinggi, membuatnya menyerah untuk bed rest di rumah sakit.
Raka pun menghubungi orang tua Ahsan setelah ia mendapatkan izin membuka handphone Ahsan, mencari nomor Mama Ahsan. Tak lupa Raka pun memberi kabar tentang sakit Ahsan itu ke Ardi, Bayu dan Azka ketika kemudian Raka teringat Hasna.
"Gue udah kabari Ardi, Bayu, dan Azka kalau loe opname disini. Mereka lagi OTW kemari. Gue kabari Hasna juga ya, San kalo loe sakit?" tanya Raka ke Ahsan yang terbaring belum juga terlelap itu, Ahsan justru fokus melihati cairan infus yang mengalir ke tubuhnya itu.
Ahsan buru-buru menggelengkan kepalanya. "Please jangan beritahu Hasna, Ka. Aku ga mau Hasna ikutan khawatir. Dia pasti sedang sibuk menyiapkan keberangkatannya ke Papua".
"Tapi Hasna juga teman volunteer loe seperti kita berempat, menurut gue ga ada salahnya memberitahu dia tentang kondisi loe, San".
Ahsan diam, perkataan Raka itu ada benarnya. Namun, sejak awal Ahsan mengenal Hasna, dia selalu ingin menjadi pelindung bagi perempuan pemilik senyuman tulus itu dan tidak ingin terlihat lemah dihadapannya, meski di satu sisi Ahsan menyukai tiap kali Hasna menunjukkan perhatiannya ke dirinya beberapa kali sebelumnya.
"Ahsan," panggil Raka membuat Ahsan tersadar dari diamnya kemudian lagi-lagi menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau mengganggu Hasna, Ka. Lagipula aku baik-baik aja, cuma perlu istirahat".
Raka mengambil salah satu kursi tunggu dan duduk di sebelah Ahsan.
"Kalau memang loe dan Hasna cuma teman biasa, harusnya tidak masalah gue memberitahu Hasna, San. Yakin, ga ada yang mau loe omongin dengan Hasna sebelum dia pergi bareng Bara ke Papua? Kemarin, loe kelihatan banget penasarannya soal Bara, Bro," lanjut Raka sambil melebarkan senyumannya. Ahsan hanya balas tersenyum tipis tetap memandangi cairan infusnya yang menetes di selang infusnya. Jujur ketidaknyamanan itu selalu dirasakannya tiap kali dia teringat Bara, mulai dari pikiran-pikiran apa yang akan dilewati Hasna bersama Bara selama di Papua, bagaimana Bara memperjuangkan dan menunjukkan perasaannya ke Hasna disana, kemungkinan Hasna menerima perasaan Bara atau bahkan kemungkinan Bara akan melamar Hasna dan Hasna menerimanya. Ahsan memejamkan matanya rapat-rapat sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang hanya berdasar dugaan demi dugaannya itu. Badannya terasa tak ada tenaga tapi entah kenapa pikirannya masih saja liar mengusik hatinya tentang Hasna.
"Menurut loe, seberapa besar peluang Bara bakal melamar Hasna, Ka?" tanya Ahsan tiba-tiba, membuat Raka balas menatap Ahsan.
"Entahlah, tapi peluangnya sih terbuka karena Hasna kelihatannya masih membuka hatinya buat siapa pun yang ingin jadi calon teman hidupnya. Hasna sepertinya menunggu laki-laki pemberani untuk mengatakan perasaan kepadanya, San," sambung Raka dibalas senyuman tipis Ahsan. "Apa menjadi laki-laki pemberani sesederhana itu? Apa artinya berani jujur tentang perasaan kalau kamu tidak bisa memberi kepastian buat Hasna, San?" batin Ahsan berdebat dengan dirinya sendiri, "tapi... aku juga takut membayangkan Bara memberikan kepastian ke Hasna dan Hasna menerimanya".
Ahsan menarik nafasnya dalam-dalam, ia kembali merasakan tubuhnya menggigil saat itu. Raka terlihat masih melihati kearahnya.
"Gue capek banget, Ka. Gue tidur dulu ya," sambung Ahsan dibalas anggukan Raka yang tersenyum padanya itu. Raka tahu betul, terlepas apapun dilema yang dirasakan Ahsan soal Hasna, istirahat adalah hal yang paling dibutuhkan Ahsan untuk memulihkan kesehatannya.
Raka pun menunggui Ahsan sambil menyibukkan dirinya dengan handphone-nya sampai Mama Ahsan dan teman-temannya yang lain datang.
Sementara itu di kantor, Hasna terlihat sedang sibuk memilah buku-buku yang akan dibawanya ke Papua kemudian memasukkannya ke sebuah koper. Sudah beberapa kali, perempuan itu melihati handphone-nya, menunggu balasan Ahsan atas permintaannya siang tadi. "Apa mungkin Ahsan keberatan dengan permintaanku tadi ya?" batin Hasna menerka-nerka kemudian menggelengkan kepalanya pelan, "Sepertinya sih nggak. Mungkin saja Ahsan masih sibuk kuliah atau kegiatan di kampusnya, makanya belum sempat membalas. Kamu ga boleh terburu-buru berprasangka, Na".
"Ada yang bisa aku bantu, Na?" Suara Bara itu membuat Hasna langsung menoleh ke laki-laki yang sudah duduk di sebelahnya persis itu dan tersenyum padanya. Bara menyerahkan segelas coklat dingin, pesanan Hasna.
"Makasih, insyaa Allah sudah hampir selesai juga memilah-milahnya, Bar," jawab Hasna dengan riang seperti biasa.
Hasna menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke Bara, tapi Bara langsung menggelengkan kepalanya sambil melebarkan senyumannya
"Kali ini gratis, sekali-kali izinin aku mentraktir kamu, Na".
Hasna masih tetap berusaha menolak traktiran Bara, ketika Bara lagi-lagi tersenyum kepadanya. "Tenang aja, Na. Minumannya aman dan ga aku masukin apa-apa yang membahayakan kok. Tapi tetap, jangan lupa berdoa sebelum meminumnya he he," jelas Bara membuat Hasna pun tertawa mendengarnya. Terdengar ucapan terima kasih sekali lagi dari mulut perempuan itu. Bara terlihat melanjutkan pekerjaannya menghadap laptopnya. Sementara itu Hasna kembali melanjutkan aktivitas sortir buku setelah meminum coklat dinginnya beberapa teguk ketika handphone-nya bergetar, ada pesan masuk dari Raka (?) sementara Hasna berharap ada pesan balasan dari Ahsan.
"Maaf mengganggu waktu kamu, Hasna dan maaf sebelumnya kalau pertanyaanku lancang, Na. Sebenarnya kalau boleh tahu, perasaan kamu ke Ahsan sejujurnya seperti apa, Na?"
Kalimat Raka itu pun sukses membuat Hasna bengong membacanya. Raka tiba-tiba memintanya menjawab jujur tentang apa yang dirasakannya kepada Ahsan.
"Memangnya kenapa Ka, kok tiba-tiba kamu nanya perasaan aku ke Ahsan?" ketik Hasna.
Terlihat Raka is typing
"Soalnya menurut aku, kalian itu agak unik. Kamu sepertinya menunggu, sedangkan Ahsan terlihat ragu dan malu buat maju. Siapa tahu ada yang bisa aku bantu tentang kalian, Na. Maaf juga kalau ternyata aku keliru dan sok tahu".
Hasna tersenyum memandangi kalimat Raka itu, perempuan itu bingung harus menjawab apa. Kalaupun Hasna mengakui apa yang dirasakannya ke Ahsan, tapi so what (lalu apa) setelahnya. Terlebih lagi, ia juga masih menyimpan keraguan apa mungkin Ahsan akan berani berkomitmen dengannya kalaupun memang laki-laki itu ada rasa padanya, mengingat beda usia diantara dirinya dan Ahsan.
"Terima kasih sebelumnya. Entahlah, Ka. Jujur agak susah buat aku menjawabnya karena aku sendiri nggak yakin seratus persen dengan perasaanku. Apa yang terjadi diantara aku dan Ahsan, apa yang aku rasakan, aku biarin ngalir aja untuk sekarang, Ka. Aku ga mau terlalu memusingkannya:)," ketik Hasna akhirnya.
Raka is typing ...
"Kalau boleh tahu, apa Bara yang membuat hati kamu bimbang salah satunya, Na?"
Hasna lagi-lagi tersenyum membacanya, Hasna melirik ke laki-laki yang sedang fokus dengan laptopnya tak jauh dari tempatnya duduk itu. Meski rekan-rekan volunteer dan adik-adik sering menggodanya dengan Ahsan, Hasna merasa heran entah kenapa tiba-tiba Raka serius menanyakan tentang ini kepadanya saat itu. Apa mungkin Ahsan mengatakan sesuatu kepada rekan-rekannya itu.
"Aku cuma menunggu laki-laki pemberani, Ka. Aku yakin orang yang tepat akan hadir di waktu yang tepat buat aku insyaa Allah. Itu saja :D".
Tak ada balasan lagi dari Raka, bahkan tak kunjung ada juga balasan dari Ahsan untuknya. Hasna pun melanjutkan menyelesaikan pekerjaannya.
Malam itu, terlihat Raka, Bayu, Azka dan Ardi berkumpul di kamar inap Ahsan bersama keluarga Ahsan. Ahsan beberapa kali merasakan sakit di bagian perutnya diantara demamnya. Hanya sesendok bubur yang bisa dipaksakan disuapkan Mama Ahsan ke mulut laki-laki itu sehingga kebutuhan sari makanan laki-laki itu sementara digantikan dengan cairan infus. Sesekali Ahsan yang tergeletak pucat itu terlihat tersenyum mendengarkan candaan demi candaan dari teman-temannya itu.
"Kalau temen-temen cewek di kampus pada tahu kalau Ahsan sakit, besok ruangan ini pasti langsung penuh dengan bunga dan makanan tak lupa... penuh cewek-cewek juga ha ha," ucap Ardi dengan riang disambut tawa kecil Azka, Raka, Bayu, tak ketinggalan Ahsan tentunya.
"Perlu dibuat pengumuman ga, San kalau kamu sakit?" tanya Ardi lagi.
Ahsan tersenyum. "Boleh boleh... lumayan kan, nanti bunga dan makanannya bisa dijual lagi Ar," jawab Ahsan pelan diikuti tawa teman-temannya.
"Yang diperlukan Ahsan sekarang kayaknya cuma senyuman seorang Hasna deh," goda Bayu yang langsung ditanggapi Ahsan dengan bunyi lirih "sssttt"-nya. Ahsan tidak ingin mamanya mendengar tentang gadis itu, tapi nyatanya terlambat karena Mama Ahsan terlihat sudah mencuri dengar percakapan Ahsan dan teman-temannya.
"Hasna? Sepertinya Tante tidak asing dengan nama itu," tanya Mama Ahsan penasaran diikuti senyuman kompak dari Ahsan dan teman-temannya. Terlihat Ahsan memejamkan matanya sejenak, tiba-tiba ada malu yang dirasakannya.
"Ahsan pernah menyebutkan nama Hasna ya, Tante?" tanya Bayu lagi diikuti anggukan kepala Mama Ahsan.
"Tante baru ingat, Hasna itu satu-satunya volunteer perempuan di kelas bantaran rel bukan?" tanya Mama Ahsan lagi diikuti dengan anggukan kepala keempat teman Ahsan itu, "yang pernah kecelakaan keserempet motor bukan? Soalnya Ahsan sempat sibuk nyari sepeda buat ngeboncengin Hasna selama sakit katanya".
"Mama...," ucap Ahsan pelan.
Mama Ahsan tersenyum dengan pandangan menggoda menatap ke Ahsan yang hanya meringis tersipu malu itu, sementara teman-teman Ahsan lainnya justru terlihat berusaha menahan senyuman masing-masing yang makin lebar.
"Iya Tante, Ahsan itu perhatian banget sama Hasna," ujar Ardi lagi langsung dibalas pelototan mata Ahsan kepadanya yang justru membuat Ardi tertawa.
"Yakin loe ga mau kita memberitahu Hasna, San? Siapa tahu lihat senyuman Hasna bisa jadi semacam energi buat loe lebih semangat buat pulih he he," sambung Ardi membuat Ahsan pun pasrah, hanya ikutan tertawa sambil menggelengkan kepalanya akan kelakuan teman-temannya itu. Terlihat Mama Ahsan pun ikut tersenyum mendengar candaan demi candaan itu.
"Hasna-nya diberitahu saja kalo gitu. Mama sekalian pingin kenal juga sama dia, Nak". Ucapan Mama Ahsan itu langsung membuat Ahsan bengong sejenak mendengarnya. "Mamaaaa... Ahsan itu perlu istirahat baik fisik maupun pikirannya. Kan tadi dokter bilang kalau Ahsan disuruh bener-bener istirahat biar cepat sembuh. Ini malah digodain melulu, gimana pikirannya mau istirahat coba," jelas Ahsan pura-pura manyun kemudian meringis, berusaha menyamarkan rasa malunya.
"Iya...iya... becandanya udahan dulu deh. Sekarang Ahsan istirahat ya, Nak biar cepet sembuh," ucap Mama Ahsan dengan senyuman lebarnya kemudian mengecup lembut kening Ahsan.
"Ngebahas Hasnanya dilanjut lagi kalau kamu sudah pulih ya," sambung Mama Ahsan tersenyum membuat Ahsan tersipu mendengarnya. Ahsan melirik sejenak ke arah Raka, Bayu, Ardi, dan Azka, keempatnya terlihat menahan tawanya membuat Ahsan menatap tajam kearah mereka sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Tiga puluh menit sudah Ahsan terpejam ketika ia terbangun gara-gara teringat pesan Hasna siang tadi yang belum dibalasnya. Ia melihat sekeliling kamarnya sepi hanya tertinggal Raka yang terlihat asyik dengan handphone-nya.
"Kok sepi, Ka? Yang lain kemana?" terdengar suara Ahsan lirih membuat Raka menoleh kepadanya.
"Yang lain lagi pergi makan malam. Loe kenapa bangun? Ada yang loe perluin, San?"
"Gue baru inget kalo gue belum bales pesan Hasna tadi siang, Ka. Handphone gue mana ya?"
Raka tersenyum mendengarnya sambil mengambilkan handphone Ahsan yang ia letakkan di laci meja di sebelah Ahsan.
"Cuma gara-gara belum balas pesan dari Hasna aja udah bikin loe kepikiran, San". Ahsan tersenyum mendengar ucapan Raka itu. "Saran gue sih, sebaiknya loe ngomong jujur ke Hasna soal perasaan loe sebelum dia berangkat ke Papua, San. Biar loe lebih plong".
"Tapi kalopun gue jujur, gue ga bisa ngasih kepastian ke Hasna, Ka. Belum lagi gimana kalau ternyata Hasna ga punya perasaan apa-apa ke gue atau bahkan memilih Bara?" tanya Ahsan ragu.
"Setidaknya loe sudah berani jujur ke dia. Soal jawaban Hasna dan apa yang terjadi setelahnya, itu soal memperjuangkan atau mengikhlaskan, San. Setidaknya biarin Hasna tahu perasaan loe. Siapa tahu juga dia sebenarnya menunggu loe buat mengucapkannya".
Raka membantu Ahsan untuk duduk sementara Ahsan terdiam mencerna nasihat dari Raka itu. Masih dengan tangan agak gemetar, Ahsan mengetikkan pesan balasan buat Hasna.
"Maaf baru bales, Na :D. Iya, nanti aku belikan peta Indonesia-nya buat di kelas :). Uangnya nanti aja, gampang aja :D".
Terlihat Hasna is typing
"Kurang baik kalau kita memberi sesuatu tapi malah berhutang, San. Jadi please kamu kirimin no rekening kamu segera setelah kamu ngebeliin petanya ya he he. Makasih banyak sekali lagi, Kak Ahsan yang baik :) . Maaf merepotkan he he. Selamat istirahat :D".
Ahsan tersenyum membaca kalimat Hasna itu, perempuan itu selalu saja menyentuh hatinya dengan hal-hal kecil dan sederhananya.
"Selamat istirahat juga, Na. Jangan begadang ya biar badan kamu selalu fit selama proyek kamu di Papua :)," ketik Ahsan yang dibalas Hasna dengan emotion senyum dan ucapan terima kasih. Ahsan melihati sejenak profile picture Hasna yang tersenyum itu, Ahsan balas tersenyum seolah Hasna sedang tersenyum padanya. Sejenak ia kembali merenungi kalimat Raka sebelum kemudian kembali terlelap masih dalam posisi duduk tanpa sempat Raka membantunya kembali berbaring.
Esok harinya, Hasna menghabiskan waktunya untuk persiapan keberangkatan tim kantornya ke Papua, memastikan tidak ada yang tertinggal dan kurang untuk dibawa dan dikerjakan sebelum mereka berangkat. Selepas sholat Jumat dan makan siang, Pak Ryan mengumpulkan semua anggota tim yang akan berangkat ke Papua untuk melakukan briefing terakhir sebelum mereka berangkat. Setelahnya, Hasna terlihat masih menyempurnakan schedule proyek mereka selama di Papua di ruang rapat, begitu pun Bara terlihat masih asyik dengan laptopnya, chat sekaligus berkoordinasi dengan volunteer yang bertempat tinggal di Papua.
"Padahal saya kemarin bilang akan memberikan kalian kado volunteering ke Papua kalo seandainya kalian berdua berjodoh dan menikah nantinya. Eh ini belum juga menikah, belum juga ada PeDeKaTe yang berarti... eh kalian akhirnya setim juga ke Papua ya Na... Bar," ucap Pak Ryan sontak membuat Hasna dan Bara menoleh ke atasan yang sedang senyum-senyum menggoda keduanya itu.
Bara tersenyum lebar berusaha menutupi rasa malu yang ia rasakan saat itu sementara Hasna hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ingat Bara, jagain Hasna baik-baik selama disana, ya Bar...," sambung Pak Ryan disambut anggukan mantab kepala Bara. "Siap, Pak," jawab Bara bersemangat, membuat Hasna tertawa melihatnya.
"Hasna juga jagain dan kontrol Bara ya biar dia tidak terlalu liar di pedalaman. Denger-denger Bara kadang suka cuek sama kesehatannya kalo sudah asyik dengan aktivitasnya," lanjut Pak Ryan lagi membuat Bara meringis dan Hasna makin tertawa dibuatnya.
"Insyaa Allah Pak Ryan. Kami akan saling menjaga satu sama lain sebagai satu tim, he he," jawab Hasna. Entah kenapa atasannya itu selalu bersemangat mencomblangkan dirinya dengan Bara. Meski di satu sisi Hasna masih tetap membuka hatinya buat siapa saja termasuk Bara dengan semua kekaguman Hasna kepadanya, entah kenapa perasaannya tak lagi sama, tak lagi selepas sebelumnya sejak ia mengenal Ahsan.
Waktu di arloji Ahsan menunjukkan pukul 19.06 ketika Raka, Ardi, Bayu, dan Azka baru tiba di kamar inap Ahsan. Hari itu mereka sengaja menawarkan diri buat tidur di rumah sakit menunggui Ahsan, bergantian dengan keluarga Ahsan yang sudah menginap disana malam sebelumnya. Ahsan terlihat sedang tidur sehingga Azka mendapat giliran jaga duduk di sebelah Ahsan sementara tiga yang lainnya duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Azka asyik memainkan game di handphone-nya sambil sesekali melihati kearah Ahsan. Samar terdengar lirih mulut Ahsan mengucapkan sesuatu membuat Azka penasaran mendekatkan telinganya ke mulut laki-laki itu.
"Na... Has na ..., " ucap Ahsan. Azka menajamkan pendengarannya, memastikan ia tidak salah dengar. Tidak salah, berulang, Ahsan memang menyebut lirih nama yang sama. Azka menoleh ke Raka, Ardi, dan Bayu kemudian mengirim pesan singkat ke ketiganya. "Guys... coba mendekat kesini," ketiknya yang tak lama kemudian diikuti langkah ketiganya mendekat kepadanya.
"Ada apa, Az?" tanya Raka super lirih tidak ingin membangunkan Ahsan yang sedang tidur itu.
"Ahsan beberapa kali nyebut nama Hasna," jawab Azka pelan.
Keempatnya saling berpandangan dan tersenyum tipis seperti tim penyidik sedang mencari barang bukti, sementara Ahsan sebagai tersangka tidak menyadarinya.
Beberapa saat hening diantara kelimanya, hanya terdengar deru nafas satu sama lain tak terkecuali Ahsan, sampai beberapa menit kemudian terdengar lagi mulut Ahsan menggumamkan sesuatu. Bayu yang kemana-mana selalu membawa alat perekam untuk merekam kuliah setiap dosen pun langsung mendekatkan alat perekam itu di dekat mulut Ahsan.
Selain itu, mereka juga sama-sama fokus memperhatikan gerak bibir Ahsan dan semuanya berkesimpulan sama, memang nama Hasna yang sedang keluar dari mulut itu selama beberapa saat.
Raka menempelkan punggung telapak tangannya ke kening Ahsan, demam Ahsan masih lumayan terasa.
Keempatnya pun berkumpul dan duduk di sofa. Bayu terlihat memutar lagi rekaman suara Ahsan yang menyebut nama Hasna itu.
"Sepertinya kita perlu bawa Hasna kemari," ujar Ardi tersenyum lebih lebar diikuti anggukan kepala Azka dan Bayu sementara Raka masih terlihat berpikir tentang itu.
"Ahsan nggak ingin Hasna tahu dan ikut khawatir apalagi melihatnya dalam kondisi sakit," ucap Raka, "tapi... menurut aku ini kesempatan juga buat Ahsan bisa jujur ke Hasna sebelum Hasna berangkat". Raka tersenyum lebar dibalas senyuman tak kalah lebar dari teman-temannya.
Akhirnya mereka pun berbagi tugas, Raka dan Ardi bertugas menjemput Hasna menggunakan mobil Ahsan sementara Bayu dan Azka menemani Ahsan di rumah sakit.
Waktu menunjukkan pukul 20.16 saat Ardi dan Raka mengetuk pintu rumah Hasna.
Hasna menyambut mereka dengan senyuman tulusnya seperti biasa dan mempersilahkan mereka masuk.
"Ada apa Ka Ar, kok tumben kalian malam-malam kemari? Apa ada kaitannya tentang rencana mengajak adik-adik ke bandara lusa?" tanya Hasna.
Keduanya tersenyum menggelengkan kepalanya pelan membuat Hasna ikutan tersenyum penasaran.
"Kami mau ngajakin kamu ngejagain Ahsan di rumah sakit malam ini, Na".
"Ahsan di rumah sakit? Sakit apa?" tanya Hasna dengan raut wajah yang mendadak berubah khawatir.
Raka melebarkan senyumannya berusaha menenangkan perempuan itu.
"Ahsan opname dari kemarin, Na. Dokter bilang dia sakit typus. Tapi jangan khawatir, dia baik-baik aja cuma perlu bed rest sambil di-treatment obat biar cepet pulih". Hasna terdiam sejenak, menganggukkan kepalanya pelan. Hasna pun bergegas berganti baju dan jilbab, meminta izin ke papanya, lalu bersiap pergi bersama Ardi dan Raka.
"Salam ya Na, buat Ahsan. Semoga cepet sembuh," ujar Papa Hasna yang mengantarkan Hasna di pintu depan.
"Iya Pa, insyaa Allah nanti Hasna sampaiin".
Hasna, Raka dan Ardi pun mencium punggung tangan Papa Hasna berpamitan.
"Om titip Hasna, ya Raka Ardi," ujar Papa Hasna lagi.
"Siap Om, kami akan jagain Hasna selama di rumah sakit sampai besok kami mengembalikannya ke rumah dengan aman, utuh, dan selamat he he," jawab Ardi membuat tawa pecah diantara Raka, Ardi, Hasna dan Papanya.
Beberapa saat kemudian ketiganya sudah ada di mobil Ahsan menuju ke rumah sakit, Hasna duduk di kursi belakang sementara Raka dan Ardi duduk di kursi bagian muka.
"Kenapa kalian baru sekarang memberitahu kalau Ahsan sakit? Ahsan tadi malam juga biasa aja membalas pesan aku dan ga bilang apa-apa," ucap Hasna, jelas terdengar ada khawatir disana.
"Ahsan sebenarnya nggak mau kamu tahu kalau dia sakit, Na... tapi kami nekat akhirnya memberitahu kamu sekarang, habisnya dia beberapa kali manggil nama kamu di tidurnya. Tadi malam aja dia tiba-tiba terbangun dari tidurnya gara-gara kepikiran belum membalas pesan kamu, Na," jelas Raka.
Hasna tertegun mendengarnya sementara Ardi yang duduk di sebelah kiri Raka itu terlihat menyerahkan sebuah alat perekam ke Hasna. Terdengar beberapa kali nama Hasna disebut, gumaman singkat Ahsan itu entah kenapa membuat hati gadis itu terenyuh. Di sisi lain Hasna juga mencoba memahami alasan Ahsan tidak memberitahu dirinya, selama ini laki-laki itu selalu berusaha menjadi seseorang yang bisa melindunginya.
"Kita berharap dengan kedatangan kamu disana, Ahsan bisa berani jujur tentang perasaannya ke kamu sebelum kamu berangkat, Na," sambung Raka membuat gadis itu hanya bisa tersenyum. Entahlah ada ragu di hati Hasna akankah Ahsan memiliki keberanian semacam itu.
"Meski Ahsan suka bilang kalau ga ada perasaan apa-apa ke kamu, tapi kita sih lebih percaya sama apa yang terlihat dari sikap dia ke kamu selama ini, Na. Kadang mulut dan hati itu suka ga kompak di beberapa kasus he he dan itu juga sepertinya yang dialami Ahsan," ujar Ardi lagi membuat Hasna tersenyum lebar mendengarnya.
"Kamu suka sama Ahsan juga kan, Na?" tanya Ardi lagi membuat Hasna lagi-lagi hanya bisa tersenyum lebar tak menjawab apa-apa. Hasna bingung harus menjawab apa. Ada malu dan ragu untuk menjawab yang dirasakan hatinya saat itu.
"He he kamu ga perlu menjawabnya ke aku atau Raka kok Na, nanti aja kamu jawabnya di depan Ahsan aja he he," sambung Ardi tertawa kecil. Hasna lagi-lagi ikut tertawa. Rasanya hati Hasna dag dig dug saat itu, tidak tahu pasti apa yang harus dilakukannya saat bertemu Ahsan nantinya.
Terdengar suara musik menemani perjalanan ketiganya ketika Ardi meraih sebuah amplop di dekat kaca depan mobil Ahsan.
"Bukannya ini surat cinta dari Rana kemarin, Ka? Ahsan belum jadi mengeposkannya?" tanya Ardi sementara Raka terlihat hanya sekilas meliriknya.
"Belum sempet sepertinya, Ahsan nelpon gue ga lama setelah pamit dari kantin. Kita langsung ke rumah sakit dan Ahsan langsung disuruh opname sama dokter," jelas Raka.
"Surat cinta?" tanya Hasna membuat Ardi langsung meringis ke Hasna.
"Iya, surat cinta buat Ahsan dari salah satu cewek di kampus. Maklumlah Ahsan itu lumayan populer diantara cewek-cewek di kampus, Na. Tapi tenang aja, Na... Ahsan nggak menerimanya, makanya dia mau kembalikan surat itu ke pengirimnya".
Hasna balas tersenyum lebih lebar lalu menganggukkan kepalanya pelan, Hasna sadar Ahsan termasuk laki-laki yang jadi idola di kampusnya. Itu juga yang menyisakan ragu di hatinya ke laki-laki itu apa mungkin Ahsan mau memperjuangkan seorang Hasna yang jauh lebih tua dan biasa saja. Jangan-jangan apa yang dirasakan laki-laki itu ke Hasna hanya perasaan sesaat saja.
Jam di arloji Hasna menunjukan hampir setengah sepuluh ketika Hasna beserta Raka dan Ardi sampai di kamar tempat Ahsan dirawat. Laki-laki itu terlihat sedang terbaring dan tidur dengan selang infus di tangannya. Terlihat Azka dan Bayu yang duduk di sebelah Ahsan tersenyum lebar melihat kedatangan Hasna.
"Bagaimana kondisi Ahsan sekarang?" tanya Hasna pelan setelah saling berbalas salam dengan Bayu dan Azka serta melihati sejenak wajah Ahsan yang terlihat pucat dan sedang tertidur itu. Hasna bisa mendengar jelas bunyi nafas laki-laki itu.
"Masih demam, Na. Tadi pas makan malam sepertinya cuma bisa masuk 2-3 suap aja. Jadinya masih ngandelin sari-sari makanan dari cairan infusnya," jawab Bayu menjelaskan.
"Sejak ditinggal Raka dan Ardi menjemput kamu sampai kalian datang, sempat tiga kali dia menggumamkan nama kamu, Na," sambung Azka memberi laporan lebih detail membuat Hasna tersenyum mendengarnya. Teman-teman Ahsan itu entah kenapa seperti menjadi comblang yang penuh semangat buat Ahsan dan Hasna.
Azka, Bayu, dan Ardi pun berpamitan keluar membeli makanan dan minuman, sementara Raka terlihat duduk di sofa membiarkan Hasna duduk sendirian di dekat Ahsan. Hasna membenarkan posisi selimut Ahsan dan sesekali mengusap keringat di wajah Ahsan dengan tisu ketika mata laki-laki itu perlahan terbuka. Hasna tersenyum kearahnya sementara pandangan Ahsan yang masih samar itu baru menangkap bayangan seorang perempuan berjilbab di hadapannya. Mata Ahsan pun membulat ketika ia akhirnya melihat jelas bahwa perempuan itu Hasna.
"Hasna... kok kamu bisa ada disini?" tanya Ahsan setengah tertegun. Perempuan itu hanya tersenyum, membantu Ahsan yang berusaha untuk duduk dari tidurnya.
"Gimana kondisi kamu, San?"
Ahsan balas tersenyum. "Aku baik-baik aja, Na. Kok kamu bisa ada disini, Na?" tanya Ahsan lagi. Hasna melebarkan senyumannya.
"Memangnya salah kalau aku menjenguk kamu? Sudah sewajarnya bukan kalau ada temen yang sakit kita jenguk?" jawab Hasna.
Ahsan balas tersenyum, sedikit nyengir sambil matanya mencari-cari teman-teman cowoknya, hanya terlihat Raka di sofa sepertinya sedang asyik dengan game di handphone-nya.
"Azka, Bayu sama Ardi lagi keluar beli makanan kalau kamu mencari mereka, San," jelas Hasna lagi, masih tetap dengan senyum lebarnya.
"Teman-teman aku ya Na yang memberitahu kamu kalau aku sakit?"
Hasna mengangguk. "Iya, tadi mereka menjemput aku ke rumah soalnya kamu nyebut nama aku beberapa kali dalam tidur katanya," jelas Hasna lagi-lagi tersenyum.
Ahsan meringis, "Ah, mereka cuma ngerjain kamu biar kamu mau datang aja, Na. Mereka itu bener-bener deh ya ngegodainnya terlalu bersemangat dan keterlaluan".
Hasna tertawa mendengarnya membuat Ahsan pun bertanya-tanya. Andai Ahsan tahu suaranya yang direkam teman-temannya itu, pasti Ahsan akan speechless malu. "Kok kamu ketawa, Na?"
Hasna menggelengkan kepalanya, tak ingin membuat Ahsan bertambah malu.
"Kamu juga sih, ngapain pake nggak ngebolehin mereka buat ngasih tahu aku tentang kondisi kamu yang sedang sakit?"
Ahsan lagi-lagi melebarkan senyumannya.
"Aku ga mau mengganggu kamu, Na. Kamu kan mau berangkat ke Papua. Lagipula aku gapapa, aku baik-baik saja, Hasna" jelas Ahsan menatap gadis itu sejenak.
"Kalau kamu baik-baik saja, kamu ga akan di-opname sampai diinfus seperti ini, San," ujar Hasna lagi, lagi-lagi ada khawatir terselip di nada dan tatapan gadis yang masih tersenyum padanya itu. Lagi-lagi Ahsan melebarkan senyumannya, tak ingin melihat Hasna mengkhawatirkannya meski ada bahagia yang juga menyusup di hatinya di saat yang sama karena perhatian perempuan itu padanya.
"Ya udah, sebaiknya Kakak Gantengnya Putri tidur lagi ya... biar cepet pulih," ucap Hasna tertawa kecil, menggoda Ahsan, membuat Ahsan ikutan tertawa kecil mendengarnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ahsan melirik ke sejenak ke arloji di tangannya, pukul sepuluh lebih.
"Udah malam banget, kamu sebaiknya pulang, Na. Biar Raka anterin kamu pulang, ya Na. Kamu kan mau perjalanan jauh, jadi harus benar-benar cukup istirahat biar selalu fit," ujar Ahsan lagi. Meski Ahsan suka saat dirinya bisa dekat lebih lama dengan Hasna, tapi memastikan gadis itu akan selalu dalam kondisi baik-baik saja jauh lebih penting bagi Ahsan.
"Aku sudah diizinkan ortu buat ngejagain kamu bareng kakak-kakak volunteer yang lain malam ini, San," sambung Hasna tersenyum lalu berhenti sejenak, "kalau kamu risih aku duduk di dekat kamu, biar aku duduk di sofa sana dan Raka yang duduk disini ya," ucap Hasna lagi-lagi tersenyum, gadis itu bingung harus bersikap seperti apa ke Ahsan, "Sebelum aku pergi, apa ada yang bisa aku bantu, San?"
Ahsan memandangi Hasna sejenak, Ahsan teringat ucapan Raka kepadanya untuk jujur ke Hasna, lagi-lagi ia melirik kearah Raka. Raka masih tetap asyik dengan handphone-nya seolah sengaja memberi kesempatan Ahsan dan Hasna, ruang untuk bicara.
Ahsan pun tersenyum, ragu ia akhirnya menggelengkan kepalanya ke perempuan di hadapannya itu disambut anggukan Hasna tetap dengan senyuman di wajahnya.
"Oh iya, tentang pertanyaan kamu di kelas kemarin,... aku pergi ke Papuanya berlima, San. Tiga laki-laki dan dua perempuan termasuk aku dan Bara," jelas Hasna sambil melebarkan senyumannya ke Ahsan yang terlihat sedikit tertegun itu lalu Hasna pun bangkit dari tempat duduknya. Ahsan tidak menyangka Hasna masih mengingatnya.
"Tunggu, Na...". Suara laki-laki itu pun menahan langkah Hasna. Gadis itu pun kembali duduk di tempatnya semula
"Ya... ada apa, San?" jawab Hasna berusaha tetap riang. Yang selalu diingat Hasna, salah satu hal yang harus dilakukan saat menjenguk orang sakit adalah berusaha menghiburnya meski hanya lewat sebuah senyuman. Apalagi Hasna tidak sempat membawakan buah tangan buat Ahsan, antara terburu-buru pergi dan bingung harus membawakan apa.
Ahsan terlihat menatap kearahnya, beberapa kali terdengar laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam, membuat hati Hasna tiba-tiba jadi deg-degan tanpa diminta hingga akhirnya Hasna memilih menundukkan pandangannya.
"Maaf..., aku akui aku cemburu soal Bara meski aku sadar tidak punya hak untuk itu, Na. Maaf ya, " ucap Ahsan membuat Hasna mengangkat kepalanya dengan raut tertegun.
"Sepertinya..., aku suka sama kamu, Na," lanjut Ahsan dengan serius membuat Hasna makin terdiam di tempat duduknya.
"Tapi aku juga tidak bisa berkomitmen apa-apa untuk saat ini. Aku masih fokus buat menyelesaikan tanggung jawab kuliah aku. Aku mungkin tidak semapan dan sesiap Bara. Aku cuma ingin jujur tentang perasaan aku ke kamu sebelum kamu berangkat ke Papua bersama Bara, Na. Maaf kalau aku lancang". Terlihat raut tegang dan serius di wajah laki-laki itu membuat Hasna akhirnya tersenyum ke Ahsan.
"Sepertinya?" tanya Hasna tersenyum lebih lebar, "kamu bahkan tidak yakin dengan apa yang kamu rasakan, San. Jangan-jangan itu cuma perasaan sesaat aja he he". Lagi-lagi Hasna tertawa kecil dengan nada menggoda Ahsan, seolah ingin menyembunyikan ketegangan yang dirasakan hatinya lewat itu.
Ahsan terdiam menatap sejenak gadis di depannya itu. Hasna sama sekali tak balas menatapnya, gadis itu malah menatap pada jarum infus di tangan Ahsan.
"Jadi... apa tanggapan kamu, Na?" tanya Ahsan berhasil membuat Hasna menoleh kepadanya. "Aku suka sama kamu, Na," sambung laki-laki itu menegaskan tanpa keraguan, membuat Hasna sejenak mematung di tempatnya.

PART 8.5. JAWABAN HASNA

"Jadi... apa tanggapan kamu, Na?" tanya Ahsan berhasil membuat Hasna menoleh kepadanya. "Aku suka sama kamu, Na," sambung laki-laki itu menegaskan tanpa keraguan, membuat Hasna sejenak mematung di tempatnya.
Laki-laki itu memerlukan tanggapan dan Hasna bingung harus menjawab apa. Lagi-lagi Hasna beranikan diri melebarkan senyumannya dan masih tetap menatap laki-laki itu.
"Kamu.... jawaban seperti apa yang kamu mau, San?" Kali ini Ahsan yang gantian mengalihkan pandangannya dari Hasna ke arah Raka.
"Cukup tanggapan yang jujur dari kamu, Na. Saat ini buat aku hanya tentang keberanian mengatakan lalu merelakan. Aku cuma ingin tahu, Na".
Hasna tersenyum mendengarnya, ia kembali teringat pembicaraan keduanya tentang komitmen di awal pertemuan mereka. Laki-laki itu sepertinya mengerti bahwa yang Hasna mau adalah hubungan dengan komitmen ke arah pernikahan, bukan sekedar status pacaran yang tak berarah.
"Sikap kamu tuh lucu kalau sedang jealous ke Bara, San... nggak ngaku, tapi kelihatan. Lucu... tapi juga membuat hati aku ikut terusik dan merasa bersalah ke kamu disaat bersamaan".
Kalimat Hasna terhenti, gadis itu menoleh sejenak ke Ahsan dan tersenyum lalu menujukan pandangannya ke jarum infus di tangan Ahsan lagi. Sementara Ahsan, raut wajah laki-laki itu terlihat serius memperhatikan Hasna.
"Aku...sejak pertama mengenal kamu, ada satu kesan yang berbeda di hati aku tentang kamu, semacam 'klik' yang susah buat dijelaskan. Kamu... kamu membuat hati aku tidak lagi senetral dan seterbuka sebelumnya menunggu seseorang, San. Ga tau kenapa," jelas Hasna.
Ahsan tersipu mendengar jawaban Hasna itu, senyuman senang tersungging di wajah pucatnya meski ia berusaha untuk menahan perasaannya dan tetap cool di hadapan Hasna.
"Padahal kamu yang sekarang jelas-jelas bukan laki-laki yang siap berkomitmen serius ke ikatan suci pernikahan seperti yang aku tunggu-tunggu selama ini," sambung Hasna memberanikan dirinya balas menatap Ahsan dan melebarkan senyumannya, berusaha mencairkan suasana diantara keduanya. Ahsan meringis sedikit malu sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apa itu artinya kita punya rasa yang sama meski arah kita belum sama, Na?"
Hasna menoleh kearah Ahsan dan membalas senyuman lebar laki-laki itu tak kalah lebar.
"Sepertinya begitu. Jadi mau kita apakan rasa yang sama tapi masih berbeda arah ini, Ahsan?"
Ahsan terlihat memikirkan pertanyaan Hasna itu. Beberapa kali terdengar ia menarik nafasnya dalam-dalam.
"Sepertinya... mengikhlaskan perasaan aku ke kamu, itu yang terbaik sekarang, Na. Aku belum bisa memberikan kepastian apa-apa ke kamu. Terlalu egois kalau aku meminta kamu menunggu. Kamu berhak menerima laki-laki manapun yang mengajak kamu berkomitmen serius, Na... termasuk mungkin Bara...". Kalimat Ahsan terhenti, laki-laki itu kembali menarik nafas dalam-dalam sejenak, "Tapi... aku akan terus berusaha berproses menuju arah yang sama dengan kamu. Aku berharap perempuan itu kamu nantinya, seseorang dengan rasa dan arah yang sama saat waktu yang tepat itu datang," sambung Ahsan tegas membuat Hasna ganti tersipu. Entah kenapa, meski laki-laki itu terpaut usia beberapa tahun dibawahnya, tapi sosok Ahsan seolah berhasil meninggalkan harapan dan rasa di hatinya, seolah hatinya bilang 'ya, sepertinya dia orangnya'.
Hasna melebarkan senyumannya. "Aku percaya sama kamu dan aku akan berusaha menjaga hati aku, Ahsan. Meski seseorang dalam doa-doaku itu belum tentu kamu, tapi semoga itu kamu".
"Aamiin", ucap Ahsan singkat dengan senyuman lebih lebar.
"Pinky promise, Kak Ahsan?" sambung Hasna menyodorkan jari kelingkingnya ke Ahsan.
"Hmmm???" Ahsan balik menautkan jari kelingkingnya ke jari Hasna meski ia masih bertanya-tanya maksud Hasna.
Sejenak Hasna tertawa kecil.
"Kita akan berusaha sama-sama menjadi lebih baik dan saling mendoakan kebaikan satu sama lain sampai saat itu tiba, San. Insyaa Allah," ujar Hasna terdengar tulus dan bersemangat membuat laki-laki itu tertular untuk ikut tertawa sepertinya. Ahsan pun menganggukkan kepalanya yakin, "Insyaa Allah, Na. Aku akan mendoakan kamu dan aku percaya kamu juga mendoakan aku. Semoga kita berjodoh, Hasna".
Setelahnya, tak lama Ahsan pun kembali melanjutkan tidurnya.
"Apa benar kamu orangnya San, sosok Cinta yang selama ini aku titipkan tentangnya dalam doa?" ucap Hasna di dalam hatinya seolah ingin meyakinkan dirinya sambil melihati wajah laki-laki itu yang terlihat lebih tenang dalam lelapnya. Mungkin Ahsan merasa lega sudah berkata jujur tentang perasaan yang selama ini dipendamnya.
"Apapun itu, hati aku memercayai kamu, San. Terima kasih sudah menyukaiku dengan indah sampai saat ini, Ahsan. Semoga apa yang terjadi diantara kita bukan sekedar rasa yang sesaat, melainkan rasa yang selalu terjaga dan akan terus tumbuh di saat yang tepat, aamiin", sambung Hasna lirih sambil tersenyum lebar ke Ahsan yang terpejam itu.
Waktu beranjak pagi ketika Ahsan mendengar sayup adzan Subuh, membangunkannya. Terlihat Hasna tertidur sambil duduk tak jauh di samping tempat tidurnya. Ahsan melihati kearah sofa, tak terlihat satu pun teman-teman cowoknya, membuatnya bertanya-tanya kemana mereka. Ahsan melihati sejenak wajah polos perempuan yang sedang terlelap itu kemudian tersenyum lebar. "Terima kasih untuk semuanya, Na. Terima kasih sudah mau memercayai aku. Terima kasih kamu sudah datang ke hidup aku dengan warna yang indah, Hasna...," ucap Ahsan lirih ketika Hasna terlihat perlahan mengerjapkan matanya, terbangun dari tidurnya.
"Kamu sudah bangun, San?" tanya Hasna langsung tersenyum lebar kemudian melihati arloji di tangannya. Ahsan mengangguk, sedikit salah tingkah seperti biasa seolah kepergok sedang memerhatikan Hasna.
"Oh ya, Na... Raka, Ardi, Bayu, dan Azka pada tidur dimana? Jangan-jangan mereka sengaja ngerjain kita dan tidur keluar kamar biar kita berduaan aja ya?" tanya Ahsan berusaha mengalihkan pembicaraan sekaligus menetralkan rasa kagok yang tiba-tiba menghampirinya. Hasna menoleh sejenak kearah sofa.
"Ga baik buru-buru berprasangka yang tidak-tidak, San. Mereka berempat semalam ngobrol dan tidur di sofa situ kok, bahkan si Azka bawa karpet lipat biar mereka lebih leluasa rebahan. Mungkin mereka lagi sholat subuh berjamaah di musholla rumah sakit. Jam tiga tadi sebelum ketiduran aku sempat melihat mereka kok," jawab Hasna lagi-lagi tetap dengan senyuman khasnya, berhasil membuat Ahsan merasa malu sendiri mendengar perkataan Hasna itu.
"He he. Iya, kamu benar. Maaf, Na he he".
"Meski mereka itu suka becanda dan ngegodain kamu bahkan kadang keterlaluan, tapi aku tahu mereka peduli sama kamu, San. Mereka tipe orang yang menjaga temannya, mengingatkannya dan ga membiarkan temannya terjerumus ke hal yang ga baik".
Lagi-lagi Ahsan menganggukkan kepalanya, "Iya, Na... aku bersyukur karena dikelilingi teman-teman yang baik seperti mereka meski kadang suka usil dan iseng".
Tawa kecil pun pecah diantara Ahsan dan Hasna.
"BTW, aku mau sholat, Na".
Hasna bergegas bangkit mendekat kearah Ahsan.
"Biar aku bantu memegangkan infus kamu selama wudlu, San. Kamu kuat berdiri?
"Insyaa Allah aku kuat, Hasna he he".
Tanpa diminta dan menunggu persetujuan Ahsan, Hasna pun langsung membantu memegangkan infus Ahsan. Perlahan Ahsan berdiri dari tempat tidurnya, badan laki-laki itu masih agak gemetar saat berjalan.
"Kamu boleh pegangan ke lengan baju aku, San," ucap Hasna membuat Ahsan menoleh kearah Hasna, ragu menerima tawaran bantuan Hasna itu.
"Aku mengerti kamu tidak ingin terlihat lemah di depan aku, San. Tapi, ga ada salahnya juga kalau sesekali kamu membiarkan aku membantu kamu, San".
Ahsan balas tersenyum ke Hasna yang terlihat tulus menawarkan bantuan itu, akhirnya Ahsan menerimanya, memegang lengan baju Hasna selama wudlu.
Hasna pun kemudian menyiapkan kursi untuk Ahsan bisa melakukan sholatnya dengan duduk mengingat kondisi Ahsan yang kurang memungkinkannya untuk sholat dengan berdiri.
"Makasih bantuannya, Na. Maaf jadi bikin repot kamu he he".
Hasna menggelengkan kepalanya, "Ga repot sama sekali kok, Kak Ahsan he he".
Setelah memastikan segala sesuatunya agar Ahsan bisa sholat sambil duduk, Hasna pun bergegas mengambil wudlu untuk sholat.
"Sholat berjamaah bareng aku yuk, Na," terdengar suara Ahsan ketika Hasna baru keluar kamar mandi. Hasna tidak menyangka Ahsan ternyata menunggunya. Laki-laki ini selalu berhasil menumpuk kesan di hatinya dengan cara yang tak disangka-sangka Hasna.
Tanpa membuang banyak waktu, Hasna bergegas menggelar sajadah dan mengenakan mukenanya di belakang Ahsan.
"Meski aku belum bisa dan belum pasti jadi pemimpin di kehidupan kamu, setidaknya aku bisa jadi imam alias pemimpin sholat buat kamu meski kadang-kadang juga he he," celetuk Ahsan setengah bercanda sambil menunggu Hasna siap, berhasil membuat Hasna ikut tersenyum di belakangnya. Sepertinya sejak percakapan mereka malam itu, Ahsan lebih berani mencandai sambil ngemodusin Hasna.
Sepuluh menit kemudian, seusai sholat Hasna pun membantu Ahsan kembali ke tempat tidurnya. Di saat bersamaan terdengar suara salam dan 'cie' panjang dari arah pintu, Raka dan Ardi terlihat menyunggingkan senyuman lebar kearah Ahsan dan Hasna.
"So sweet banget yang habis dibantuin dan sholat bareng eaaaa", goda Ardi ke Ahsan seperti biasa sambil tertawa, "sampai-sampai kita ga enak mau masuk dan akhirnya mutusin ngintipin kalian dari kaca di pintu kamar bergantian".
"Berdasar pengamatan gue dari sofa menemani mereka di ruangan sambil main game semalam, sepertinya obrolan diantara Ahsan dan Hasna berjalan dengan sangat baik, Ar. Terbukti, Ahsan semalam tidur dengan lebih tenang dibandingkan sebelum Hasna datang," ucap Raka menimpali membuat Ahsan hanya bisa geleng-geleng kepala sedangkan Hasna hanya ikut tersenyum.
"Emang ada yang aneh dengan sholat bareng? Kalian juga sih pada ninggalin gue sholat dan ga ngebangunin gue," jawab Ahsan berusaha melakukan pembelaan, gurat malu itu susah untuk disembunyikannya.
"Sorry, San. Kita tadi ga tega mau bangunin loe. Lagian kami pikir dengan kondisi loe, loe bisa aja sholat di kamar. Lagipula juga ada Hasna disini kalau loe perlu bantuan," jawab Raka dengan bijak sambil tersenyum dan duduk di pinggir ranjang Ahsan.
"Jadi kapan kita makan-makan buat berbagi kebahagiaan loe dan Hasna jadian, Bro?" tanya Ardi penuh semangat menggoda lagi sambil berdiri di samping ranjang Ahsan, dekat Raka. Raka langsung menyikut pinggang laki-laki itu sementara Hasna hanya tertawa kecil menggelengkan kepalanya kali ini.
"Siapa juga yang jadian? Gue sama Hasna semalam cuma saling terbuka dan jujur satu sama lain aja, ya kan, Na?"
Hasna pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke Ahsan.
"Iya, Ar. Semalam kami cuma bicara dari hati ke hati aja," sambung Hasna dengan senyuman lebarnya.
"Bentar lagi kita juga makan bareng, Ar. Kan si Azka dan Bayu lagi beli sarapan buat kita he he. Lagian kalaupun Ahsan dan Hasna jadian, ngapain juga pake acara makan-makan sih Ar. Kalau gue sih lebih milih makan-makan pas syukuran pernikahan Ahsan Hasna aja sih he he," sambung Raka berhasil membuat Ardi tertawa sambil menganggukkan kepalanya, mendukung perkataan Raka. Terdengar kata 'aamiin' dari mulut Ardi dengan penuh semangat. Sementara itu, Hasna dan Ahsan hanya bisa tertawa kecil bercampur setengah tersipu menanggapinya.
"Doain aja, ya Bro semoga gue sama Hasna berjodoh saat itu tiba," ucap Ahsan tersenyum dan menoleh kearah Hasna yang terlihat makin tersipu mendengarnya. Kembali terdengar suara 'aamiin' dari mulut Raka dan Ardi. Hasna pun tak ketinggalan mengamini keinginan Ahsan itu meski hanya di dalam hatinya.
Ahsan, Raka, Ardi dan Hasna asyik membicarakan rencana mengajak adik-adik ke bandara dan Monas hari minggu besok ketika seorang perawat datang membawakan sarapan bubur buat Ahsan.
"Makanannya kali ini coba dihabiskan ya, Mas Ahsan... biar cepet sembuh," pesan perawat itu. Terlihat Ahsan tersenyum sedikit malu. Perawat pun menyerahkan makanan jatah Ahsan itu ke Hasna, "berhubung mbak satu-satunya kerabat yang cewek disini, saya minta tolong mbaknya aja ya buat menyuapi Mas Ahsan pagi ini dengan telaten. Sudah memasuki hari ketiga, Mas Ahsan masih susah makan soalnya".
Hasna bingung harus menjawab apa, Hasna hanya balas tersenyum lebar. Berbalikan dengan Hasna, justru terdengar jawaban 'iya' penuh semangat dari mulut Ardi disertai anggukan kepala dari Raka yang tak kalah semangat, membuat perawat ikut tertawa kecil memandangi Ahsan dan Hasna bergantian seolah menebak-nebak yang terjadi diantara keduanya.
"Biar aku makan sendiri aja, Na," ucap Ahsan sesaat setelah perawat pergi sambil menjulurkan tangannya ke Hasna yang langsung disela Raka.
"Makanannya jangan dikasihkan ke Ahsan, Na. Sudah terbukti dia ga bakal makan dengan benar, palingan diaduk-aduk dia doang, dimakannya juga paling sesendok. Kemarin aja Mama Ahsan susah banget maksa Ahsan buat makan. Seperti yang perawat tadi saranin, mendingan kamu yang nyuapin, Na " jelas Raka tegas tapi sambil tersenyum lebar ke Hasna setelah sebelumnya melirik Ahsan dengan senyuman tipisnya.
"Setuju sama, Raka, Na. Mending kamu yang suapin Ahsan. Boro-boro mau ngabisin makanannya, raut wajah Ahsan aja udah kelihatan jelas ga berselera makan," sambung Ardi menimpali sambil tersenyum lebar ke Ahsan dan Hasna, membuat Hasna tertawa kecil menatap Ahsan yang sedikit manyun dan menatap tajam bergantian ke Ardi dan Raka lalu meringis malu ketika menyadari Hasna sedang menertawainya.
"Maklum lah guys, gue kan sakit," ucap Ahsan ke Raka dan Ardi.
"Ya udaaah.... gimana kalau salah satu diantara kalian aja yang nyuapin gue?" sambung Ahsan langsung dibalas gelengan Ardi dan Raka sementara Hasna berusaha menahan senyumnya mendengarkan perdebatan ketiga cowok itu. Hasna paham ada risih yang dirasakan Ahsan saat dirinya tidak bisa bertindak sebagai pelindung Hasna dan malah terlihat sebaliknya. Ahsan ingin terlihat kuat di hadapan Hasna
"Masak cowok nyuapin cowok sih, San? Nggak keren banget ya Ka," jawab Ardi mengerdipkan matanya dengan senyuman menggoda Ahsan dibalas Raka dengan anggukan kepala dan senyuman tak kalah lebarnya.
"Udah-udah... ini mau sampai kapan kalian berdebatnya? Buburnya keburu dingin dan ga enak lagi yang ada," ucap Hasna akhirnya menimpali. Hasna memajukan kursinya lebih dekat ke Ahsan dan tersenyum kepadanya sambil bersiap menyuapkan sesendok bubur itu ke Ahsan.
"Tapi, Na...," ucap Ahsan masih berusaha mengelak ketika terdengar suara Raka yang menyela kalimatnya.
"Ya udah deh San, sekarang loe mau pilih mana, loe mau disuapin Hasna atau mau gue panggilin perawat tadi buat nyuapin loe?"
Ahsan melihati Raka dan Ardi kemudian melihati Hasna yang terlihat tersenyum kepadanya. Ragu, akhirnya Ahsan pun membuka mulutnya pelan, membiarkan Hasna memasukkan sesendok bubur itu ke mulutnya.
"Bismillaah, semoga makanan ini bisa membantu memulihkan kesehatan kamu, San".
Satu sendok suapan Hasna pun berhasil mendarat dengan aman di mulut Ahsan. Laki-laki itu balas tersenyum meski masih saja terlihat kagok terlebih Ardi dan Raka melihatinya dengan senyuman iseng khas mereka saat menggodanya.
"Maaf ya Na, aku malah merepotkan kamu. Aku berasa manja banget disuapin kamu. Padahal aku kan cowok, Na... harusnya aku yang menjaga kamu," sambung Ahsan tersenyum kearah Hasna, ada rasa bersalah terselip di kalimat Ahsan itu. Hasna balas tersenyum lebih lebar dan menggelengkan kepalanya pelan, "Laki-laki memang diciptakan salah satunya untuk menjadi pelindung perempuan, Ahsan. Tapi sebagai manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling menjaga, saling membantu, saling menemani, San". Ahsan balas tersenyum tak kalah lebar sambil menganggukkan kepalanya. Hasna kembali menyuapkan sesendok buburnya ke mulut Ahsan. Terlihat Ardi dan Raka berpandangan, saling melempar senyum melihat yang terjadi diantara Ahsan dan Hasna.
"Ka, menurut loe kita perlu menjauh dan keluar dari kamar ga sih biar ga jadi obat nyamuk disini?" ucap Ardi lirih membuat Ahsan dan Hasna tersenyum simpul menoleh ke Raka dan Ardi lalu sama-sama menundukkan kepalanya.
"Justru kita ga boleh meninggalkan mereka berduaan, Ar... kita harus jadi obat nyamuk buat Ahsan dan Hasna biar Ahsan dan Hasna ga gatal-gatal kegigit nyamuk," jawab Raka membuat Ahsan dan Hasna pecah dalam tawa kecil mendengarnya. Sementara Ardi terlihat memasang tampak sok serius sambil menganggukkan kepalanya.
"Setuju banget apa yang dikatain Raka. Lagian kalau kalian keluar, siapa coba yang bakal ngegodain Ahsan, memecah perhatian dia biar aku bisa menyuapkan bubur ini sampai habis?" ucap Hasna dengan ceria, membuat Raka dan Ardi meringis kompak memperlihatkan giginya serta Ahsan makin tergelak dalam tawanya.
Dengan sabar Hasna menyuapkan sendok demi sendok bubur itu ke mulut Ahsan. Sesekali terlihat Ahsan meminta gadis itu berhenti menyuapinya ketika perutnya terasa sakit. Di saat itu pula Ardi dan Raka memainkan peranan mereka mengajak Ahsan bercanda, mengalihkan perhatian Ahsan agar tidak fokus merasakan sakitnya. Hasna pun ikut ambil bagian menjadi pendengar yang bersemangat dengan raut wajah cerianya membuat Ahsan pun tertular merasakan keceriaan Hasna. Begitulah cara gadis itu memberikan jeda pada Ahsan sebelum lagi-lagi ia akan lanjut menyuapkan lagi sendok demi sendok bubur ke Ahsan hingga akhirnya makanan itu tak bersisa di tempatnya.
Setelah makan pagi bersama dengan Raka dan Ardi paska Bayu dan Azka datang membelikan sarapan untuk ketiganya, Hasna pun akhirnya diantar pulang oleh Raka dan Ardi. Tak banyak bicara, Ahsan melepas kepergian Hasna dengan senyuman lebarnya.
Beberapa menit kemudian, Hasna sedang berada di perjalanan menuju rumahnya, duduk di kursi belakang mobil milik Ahsan sambil mendengarkan lagu-lagu di salah satu saluran radio yang diputar Ardi yang duduk di sebelah Raka.
Ada pesan masuk di handphone Hasna, kiriman foto mereka berenam di kamar rawat inap Ahsan saat Raka meminta tolong perawat yang datang mengambil tempat makanan Ahsan sekaligus mengganti infus laki-laki itu, untuk mengambilkan gambar mereka dengan handphone Ahsan.
"Ini tadi foto dadakan kita berenam, Na. Siapa tahu kamu mau menyimpannya buat kenang-kenangan kalau lagi kangen sama kekonyolan kami berlima he he".
Hasna membalas pesan Ahsan itu dengan memberikan tanda jempol dan senyum lebarnya, "Makasih banyak, San. Suka banget dengan gaya natural kalian yang lepas gini he he".
"Maaf kalau wajah aku kelihatan pucet dan ga segagah yang lainnya he he".
Hasna tersenyum membacanya, entah kenapa Hasna merasa Ahsan masih saja terbebani dengan keinginannya untuk selalu menjadi pelindung bagi Hasna.
"Wajar, San.. kan kamu lagi sakit. Semangat cepat sembuh yaaa :D," sambung Hasna dibalas tanda semangat dan senyuman lebar oleh Ahsan.
Hasna tiba-tiba teringat sebuah quotes yang beberapa hari sebelumnya dibacanya, ia pun membuka-buka halaman instagramnya, mencari quotes tersebut kemudian mengetikkannya ke Ahsan.
"Beberapa hari lalu aku membaca quotes ini, ga tau siapa yang mengatakannya dan hari ini sikap kamu mengingatkanku ke quotes ini. Siapapun nanti yang jadi tulang rusuk kamu, aku atau mungkin orang lain, aku hanya ingin kamu mengingatnya, San.
'Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Perempuan tidak diciptakan dari kepala laki-laki untuk memperbudak laki-laki. Perempuan tidak juga diciptakan dari kaki laki-laki untuk diinjak-injak olehnya. Perempuan diciptakan dari sisi laki-laki untuk dekat/berjalan beriringan dengannya (menemaninya), dari bawah lengan laki-laki untuk dilindunginya, dekat dengan hati laki-laki untuk dicintainya'.
Aku tahu kamu berusaha ingin menjadi pelindung dan selalu kuat sebagai laki-laki San, tapi bukan berarti kamu tidak boleh terlihat lemah sama sekali. Ingat, perempuan bukan hanya untuk dilindungi, tapi dia sekaligus teman yang bisa berjalan beriringan, membantu, mengingatkan dan menguatkan laki-laki, Ahsan :)".
Di kamar rawat inapnya, Ahsan yang sedang berbaring tersenyum membaca pesan panjang dari Hasna itu. Perempuan itu seolah bisa meraba resah yang mengusik hatinya.
"Terima kasih karena kamu berusaha memahami dan menenangkan hati aku, Na".

PART 8.6. KEPERGIAN HASNA

Minggu pagi itu, Hasna berangkat ke bandara bersama Bara dan satu teman perempuan mereka dengan menyewa mobil sedangkan dua orang laki-laki lainnya janji bertemu di bandara. Meski jadwal keberangkatan pesawat mereka baru jam sebelas siang, mereka sengaja berangkat pagi, menyesuaikan rencana Hasna yang akan bertemu adik-adik dari kelas bantaran rel di bandara. Teman-teman kantor Hasna penasaran ingin berkenalan dengan mereka. Waktu di arloji Hasna baru menunjukkan pukul delapan saat kelimanya sudah bersantai mengobrol di bandara selepas check in dan meletakkan bagasi mereka. Tiga puluh menit berlalu ketika ada panggilan masuk dari Raka di handphone Hasna, memberitahu bahwa adik-adik kelas bantaran rel dan kakak-kakak volunteer sudah sampai bandara. Hasna dan teman-temannya pun bergegas menghampiri mereka.
Hasna langsung tertawa lebar ketika melihat puluhan anak kecil sedang melihat kearahnya.
"Assalaamualaikum adik-adik... wah akhirnya adik-adik sampai juga di bandara. Ada yang tahu ini namanya bandara apa?" tanya Hasna ceria. Terdengar suara adik-adik itu berbaur dengan suara kakak volunteer menjawab salam Hasna.
"Soekarno Hatta, Kak," jawab beberapa adik kecil itu langsung diacungi jempol oleh Hasna.
"Ada yang tahu letaknya bandara ini dimana?"
Terlihat kebanyakan dari mereka menjawab 'Jakarta' membuat Hasna tersenyum menggelengkan kepalanya pelan.
"Tadi sempat baca di tulisannya Soekarno Hatta Jakarta, Kak...," sahut Ridwan.
"Memangnya kita sedang di luar Jakarta ya, Kak?" sambung Lili dengan polosnya dibalas tawa dan belaian lembut Hasna di kepala gadis kecil itu.
"Bandara ini terletak di Provinsi Banten, tetanggaan sama Jakarta," jelas Hasna. Terdengar kata ooo panjang dari sebagian adik-adik itu membuat Hasna tertawa melihat keluguan mereka.
Terlihat Raka, Bayu, Ardi dan Azka tersenyum diantara mereka kecuali Ahsan yang sepertinya tidak mungkin ikut karena masih harus bed rest dan Hasna memakluminya. Meski ada sedikit rasa sedih dan kehilangan sosok laki-laki itu, Hasna kembali melebarkan senyumannya. Terdengar celotehan beberapa adik tentang kesan-kesan mereka melihat pesawat dari jarak lebih dekat dan menginjakkan terminal tempat penumpang naik pesawat yang ternyata luas banget dan beda dengan terminal bis dan angkot pada umumnya, mengukirkan senyuman di wajah Hasna. Tak lupa Hasna juga mengenalkan Bara dan ketiga teman kantor lainnya ke Azka, Raka, Bayu dan Ardi.
Untuk sesaat mereka pun berbagi keriangan, ngobrol di halaman depan terminal tempat Hasna berangkat. Hasna dan para kakak volunteer terlihat bersemangat menjawab banyak pertanyaan yang diajukin dengan polos oleh adik-adik kecil itu, mulai dari cara naik pesawat sampai tanda-tanda atau tulisan di sekitar mereka.
"Oh iya, Kak Hasna punya susu kotak dan donat, adik-adik mau ga?" teriak Hasna dengan ceria dijawab dengan kata 'mau' yang kompak dari adik-adik dan kakak volunteer disana. Hasna pun mengeluarkan beberapa kardus susu kotak dan donat yang sengaja dibelinya itu lalu membagikannya dibantu para kakak volunteer. "Bilang apa ke Kak Hasna?" ucap Raka agak lantang.
"Terima kasih, Kak Hasna," ucap adik-adik dan para kakak volunteer itu dibalas senyuman lebar Hasna.
"Kembali kasih. Jangan lupa, jangan buang sampah sembarangan ya, taruh lagi di kantong plastik ini," sambung Hasna dengan riang.
Terlihat wajah-wajah ceria adik-adik itu memakan donat sambil meminum susu kotak bersama-sama. Hasna pun tersenyum melihati mereka dan sekitarnya ketika tatapan Hasna tertuju pada sosok laki-laki yang terlihat tersenyum lebar kearahnya, bersandar di salah satu tiang dinding terminal bandara tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Ahsan...," sebut Hasna lirih berusaha meyakinkan bahwa dia tidak salah lihat. Laki-laki itu terlihat berjalan menghampirinya membuat Hasna pun balas tersenyum lebar.
"Kak Ahsan,... kok bisa ada disini? Bukannya masih harus bed rest?" Terselip khawatir di kalimat gadis berjilbab bunga-bunga itu meski berusaha ia samarkan lewat senyumannya.
Ahsan melebarkan senyumannya. "Susu kotak buat Kak Ahsan mana, Kak Hasna?" tanyanya membuat Hasna tertawa.
"Kak Ahsan kan lagi sakit typus, bukannya masih ga boleh makan dan minum sembarangan ya? Emang gapapa minum susu kotak ini?" jawab Hasna balik bertanya.
Ahsan tertawa kecil. "Kan bisa diminum nanti kalau sudah pulih, Na. Yang penting aku tetap dapat susu kotak dari kamu, he he".
Hasna ikut tertawa mendengarnya sambil menjulurkan sekotak susu yang dipegangnya ke Ahsan. Terdengar ucapan terima kasih bernada riang dari laki-laki itu.
"Kok kamu ada disini? Memangnya Dokter sudah mengizinkan kamu keluar rumah sakit?" lagi-lagi Hasna menanyakan hal yang sama.
"Aku minta keringanan buat keluar sebentar, Na. Kemarin aku benar-benar bed rest he he," jawab Ahsan dengan senyuman lebarnya.
"Iya, Na. Seharian kemarin, Ahsan rekor selalu menghabiskan makanannya meski dengan susah payah. Dia bener-bener berjuang mengistirahatkan tubuhnya banget, biar bisa nganterin kepergian kamu hari ini, Na. So sweet kan," sela Ardi yang tiba-tiba berdiri di sebelah Hssna dengan senyuman lebarnya membuat Ahsan tersenyum sedikit malu menggelengkan kepalanya.
Hasna tersenyum lebar ke Ahsan kali ini giliran Hasna yang mengelengkan kepalanya.
"Kamu harus berusaha cepat sembuh untuk kebaikan diri kamu, San... jangan cuma karena kamu ingin bertemu aku," ujar Hasna membuat Ahsan meringis menggaruk rambutnya yang tidak gatal sambil menganggukkan kepalanya.
"Kak Ahsan ternyata datang juga," terdengar suara Putri, "bukannya kemarin dibilangnya Kak Ahsan masih harus istirahat penuh ya?"
Putri terlihat sudah berdiri diantara Ahsan dan Hasna. Hasna bisa melihat Putri mencemaskan kesehatan kakak kesayangannya itu seperti biasa.
Ahsan tersenyum lebar, "insyaa Allah kondisi Kak Ahsan udah baikan Putri, makanya Dokter mengizinkan Kak Ahsan kemari. Kak Ahsan kan juga pingin nganterin Kak Hasna seperti yang lain he he".
Hasna tertawa kecil mendengarnya, ada bahagia menyusup di hatinya karena perhatian Ahsan padanya, meski ia berusaha agar tidak terlihat berlebihan. Putri pun ikut tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.
"Berarti Kak Ahsan ikutan jalan-jalan ke Monas juga ya, Kak?" sambung Putri bersemangat dibalas gelengan kepala Ahsan. "Sayangnya Kak Ahsan nggak bisa ikut ke Monas, Dokter cuma mengizinkan Kak Ahsan keluar sebentar ke Bandara aja he he".
"Cieee... jadi Kak Ahsan bela-belain kesini demi Kak Hasna doang yaaa...," goda Putri tersenyum lebar memandang bergantian ke Ahsan dan Hasna membuat Ahsan dan Hasna tertawa kecil menyamarkan rasa malu keduanya.
"Putri jangan ngegodain Kak Ahsan gitu. Nanti kalau Kak Ahsan sakit jantung gara-gara jantungnya berdebar terlalu cepat gimana coba?" sambar Ardi dengan raut sok serius langsung mendapat injakan kaki pelan dari Ahsan.
"Kak Ardi nih, Kak Ahsan aja belum sembuh dari sakit typus-nya malah didoain sakit jantung ckckck. Nggak baik becanda berlebihan seperti itu, Kak," jelas Hasna dengan nada lembut dan tetap tersenyum, menangkap ada rasa bersalah di raut wajah gadis kecil itu. Pandangan Hasna bergantian ke Ahsan, Ardi, lalu Putri sambil tangannya mengusap lembut kepala Putri.
"Iya Putri, maaf Kak Ardi bercandanya keterlaluan," ucap Ardi menyadari ekspresi Putri yang sedikit berubah sembari meringis menunjukkan rasa bersalahnya, "Kak Ardi cuma pingin ngegodain Kak Ahsan aja".
Melihat ketiga kakaknya tersenyum lebar, Putri pun ikut melebarkan senyumannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh iya, sebelum Kak Hasna berangkat, kita foto bareng-bareng yuk," ujar Raka terdengar agak lantang memberi komando ke adik-adiknya mengatur shaf (barisan) buat berfoto sambil memberi isyarat panggilan ke Ahsan dan Hasna juga Ardi.
Ahsan dan Hasna pun langsung membaur bersama adik-adik kecil itu, Hasna segera merangkul adik-adik perempuan, begitu pun Ahsan langsung mengambil posisi duduk persis di depan Hasna berdiri, merangkul adik-adik laki-laki di sebelahnya bersama volunteer laki-laki yang lain. Tanpa perlu diminta, Bara yang masih ada disana langsung meminta izin meminjam handphone Hasna, menawarkan diri buat jadi tukang potret.
Terlihat Hasna tersenyum puas melihati hasil potretan Bara di handphone-nya sambil mengucapkan terima kasih dan tersenyum lebar ke laki-laki itu, sementara Ahsan hanya tersenyum tipis mencuri pandang melihat keduanya. Meski Ahsan percaya kepada gadis itu dan mengikhlaskan perasaannya setelah ia mengungkapkannya ke Hasna, tetap saja ada cemburu yang mengusik di hatinya tiap kali ia melihat Hasna dan Bara. Dengan semua kelebihan dan kerendahan hati yang dimiliki Bara, laki-laki itu memang layak dicemburui.
"Oh iya, Kak Ahsan belum sempat berfoto bareng Kak Hasna ya... Sini biar aku fotoin pakai handphone kamu, San," ujar Raka tiba-tiba menyela keheningan Ahsan. Raka sepertinya bisa membaca raut tidak biasa di wajah Ahsan, ah Ahsan memang tidak jago berpura-pura baik-baik saja khusus soal Bara.
Hasna menoleh dan langsung menyimpan handphone-nya ke dalam sakunya lalu tersenyum lebar ke arah Ahsan dan Raka. Sementara Ahsan terlihat sedikit kaget, masih terdiam di tempatnya.
"Putri sama Ridwan tolong kemari sebentar, temani Kak Ahsan dan Kak Hasna foto bersama," ucap Raka memanggil kedua adik yang terlihat sedang asyik saling berkejaran dan bercanda dengan temannya itu.
Ahsan dan Hasna hanya diam dan pasrah menuruti perkataan Raka. Raka mengatur posisi keempatnya, Putri di depan Hasna dan Ridwan di depan Ahsan.
"Kak Ahsan dan Kak Hasna masing-masing meluk adik yang di depannya ya, jangan salah meluk sebelahnya, belum muhrim soalnya" celetuk Raka pelan membuat Ahsan langsung menatap Raka. Sementara itu Hasna di sebelahnya justru tersenyum tersipu sambil menundukkan pandangannya, membuat Ahsan akhirnya ikut tersenyum melihati gadis itu. Senyuman Hasna selalu menenangkan hati Ahsan dan berhasil membuatnya tertular ikut tersenyum. "Aku pasti akan kehilangan senyuman itu selama kamu tidak ada, Na," batin Ahsan bergegas memeluk Ridwan seolah mengikuti apa yang dilakukan Hasna yang memeluk Putri dengan ekspresi riangnya. Bahkan Ahsan juga meniru gaya "peace" Hasna setelah sesekali sembunyi-sembunyi memerhatikan gadis itu.
"Senyum dan katakan peace....," ucap Raka memberi aba-aba menghasilkan beberapa gambar di handphone Ahsan.
"Waaah... lucu juga ekpresi kita ya, Kak Raka ternyata jago memotret," ucap Hasna ketika melihati hasil potretan Raka bersama Putri. Ahsan yang berdiri di sebelah Hasna itu pun tersenyum menganggukkan kepalanya.
"Iya Kak Hasna. Kak Ahsan juga kelihatan lebih cakep ya Kak dengan tawa lepasnya he he," jawab Putri membuat Hasna tersenyum mendengarnya. Ahsan melirik ke keduanya, lebih tepatnya penasaran melihat reaksi Hasna he he, laki-laki itu makin tersenyum lebar mendengar dirinya jadi bahan obrolan. Meski di satu sisi Hasna suka melihat ekspresi Ahsan yang terlihat lepas disana, di sisi lain Hasna mengkhawatirkan Ahsan karena menyadari wajah laki-laki itu terlihat agak pucat di foto.
"Iya... Kak Ahsan kelihatan makin cakep karena senyumannya lepas banget, Putri. Senyuman tulus itu membuat kecakepan seseorang makin keluar. Itu sebabnya kita harus banyak senyum. Selain senyum itu ibadah, senyum itu juga bikin kita jadi makin nambah kecakepannya, Putri," jelas Hasna diikuti anggukan kepala Putri yang terlihat makin melebarkan senyumannya.
"Jadi rahasia kamu terlihat istimewa cantiknya itu ternyata karena kamu suka tersenyum ya Na?" tanya Ahsan membuat Hasna menoleh ke laki-laki yang sedang tersenyum lebar kepadanya itu. Hasna balas tersenyum tak kalah lebar. Entah kenapa pipi Hasna sedikit memerah mendengarnya.
"Cieeee.... Kak Ahsan so sweet ngegodain Kak Hasnanya". Suara riang Putri itu pun membuat Ahsan dan Hasna tergelak mendengarnya. Putri pun terlihat kembali bercanda dengan teman-temannya, menyisakan Hasna dan Ahsan yang masih berdiri berdampingan melihati foto mereka.
Kini giliran Ahsan melihati dengan seksama foto itu, senyuman lepas Hasna itu selalu saja mengalihkan perhatiannya sejak kali pertama ia melihat foto gadis itu saat Hasna mulai bergabung di kelas bantaran rel.
"Setelah ini, kamu langsung balik ke rumah sakit dan bed rest lagi ya, San. Wajah kamu masih terlihat pucat soalnya. Ga usah minta izin keluar-keluar lagi sampai kamu beneran pulih, San," terdengar ucapan Hasna yang bernada khawatir membuat Ahsan menoleh ke gadis di sebelahnya itu, buru-buru tersenyum kepadanya seolah ingin mengusir pergi rasa khawatir gadis itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Nanti biar kamu ditemani salah satu kakak volunteer balik ke rumah sakit ya," lanjut Hasna membuat Ahsan merasa bersalah membebani pikiran Hasna dengan rasa khawatir akan kondisinya.
"Aku baik-baik aja, Na. Tolong berhenti mengkhawatirkan aku ya. Aku janji aku bakal jaga diri dan kesehatan aku baik-baik. Kamu nikmatin aja volunteering kamu dan teman-teman sambil berpetualang di Papua ya," jawab laki-laki itu dengan nada seolah menenangkan Hasna sambil tersenyum lebih lebar membuat gadis itu pun tersenyum lebih lebar dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Kalau sempat dan ada sinyal, jangan lupa kirim kabar kamu ya, Na biar aku... emmm maksudnya... kita semua di kelas bantaran rel tahu kamu baik-baik aja," sambung Ahsan lagi membuat Hasna tersenyum lebih lebar lagi-lagi menganggukkan kepalanya.
"Aku titip adik-adik kita selama aku pergi ya, San. Jagain mereka baik-baik buat aku juga ya".
Ahsan mengangguk.
"Siap, insyaa Allah. Nanti setiap Rabu dan Sabtu aku bakal kirim WA ke kamu menceritakan kejadian di kelas ke kamu," jelas Ahsan penuh semangat dibalas anggukan dan tawa kecil gadis di sebelahnya itu, "aku juga janji insyaa Allah akan jaga diri dan hati aku baik-baik, Na. Jadi sekali lagi kamu jangan khawatir ya".
Kalimat Ahsan itu pun sukses membuat muka Hasna kembali memerah, tanpa bisa berucap apa-apa hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Hasna, aku sama temen-temen berencana mau masuk ruang tunggu keberangkatan. Apa kamu mau masuk sekarang atau menyusul?" tanya Bara yang beberapa menit kemudian sudah berdiri di hadapan Ahsan dan Hasna. Hasna melirik arlojinya dan memutuskan masuk bersama teman kantornya. Hasna tidak ingin Ahsan semakin lama balik ke rumah sakit gara-gara dirinya. Hasna pun berpamitan kepada adik-adik dan kakak volunteer kelas bantaran rel sebelum akhirnya ia kembali menghampiri Ahsan untuk berpamitan. Terlihat Putri sudah berdiri di samping kakak kesayangannya itu.
"Aku pergi dulu ya, San. Semoga cepet sembuh. Jaga diri kamu baik-baik ya," ucap Hasna dengan senyuman khasnya itu sambil menjabat tangan Ahsan yang terulur padanya.
Laki-laki itu balas tersenyum menganggukkan kepalanya pelan.
"Tenang aja ya, Kak. Putri bakal bantuin Kak Hasna buat ngejagain Kak Ahsan selama Kak Hasna pergi. Putri dan temen-temen juga bakal menghibur Kak Ahsan biar ga terlalu sedih selama Kak Hasna ga ada". Perkataan Putri yang tiba-tiba itu pun membuat Ahsan, Hasna, Bara, serta Raka yang ada di dekat sana menoleh ke gadis kecil itu. Bara dan Raka terlihat tersenyum, Ahsan terlihat sedikit tertegun meski berusaha tetap tersenyum agak salah tingkah (salting) sementara Hasna meski awalnya sedikit kaget tapi langsung menundukkan badannya mendekati Putri dan tersenyum lebar kearahnya.
"Makasih banyak, Putri. Kak Hasna percaya Putri bakal menemani Kak Ahsan dan ngejagain Kak Ahsan dengan baik".
Ahsan pun tersenyum lebar mendengarnya sambil menatap kearah keduanya.
"Tenang aja, Na. Nanti Ardi bakal nemenin Ahsan balik ke rumah sakit, memastikan Ahsan bener-bener kembali istirahat disana," sambung Raka kemudian.
Lagi-lagi Hasna hanya tersenyum menganggukkan kepalanya, tak menyangka Raka mendengarkan ucapannya ke Ahsan sebelumnya. Sementara itu Ahsan berusaha tetap tersenyum menyembunyikan salting yang tiba-tiba dirasakannya gara-gara aksi relawan comblang mereka yang terlalu bersemangat tanpa diminta itu. Meski sebenarnya, baik Ahsan dan Hasna tidak keberatan dan justru merasa senang.
"Kamu juga jaga diri kamu baik-baik disana, ya Na, Have a great journey," ujar Ahsan lalu menoleh kearah Bara.
"Aku titip Hasna, ya Bar. Tolong jagain dia selama di Papua. Semoga proyek pendidikan kalian sukses. Semoga kalian sehat-sehat selalu disana".
Bara menganggukkan kepalanya mantab dan penuh semangat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu tentang Ahsan. Apakah senyuman Bara saat itu benar-benar menggambarkan hatinya ataukah ia berusaha untuk fair memperjuangkan perasaan Hasna, Ahsan benar-benar tidak tahu. Namun satu hal diyakini Ahsan, Bara itu laki-laki yang baik.
"Iya Kak Bara, tolong bantu jagain Kak Hasna ya Kak. Tapi tolong jangan ngegodain Kak Hasna apalagi ngegangguin hati Kak Hasna ya Kak. Soalnya hati Kak Hasna itu buat Kak Ahsan aja," celetuk Putri membuat kaget semua kakak yang ada disana, terlebih Ahsan.
"Putri..., jangan ngomong sembarangan seperti itu," tegur Ahsan tegas membuat gadis kecil itu merasa salah bicara. Agak takut ia menoleh kearah Ahsan sampai kemudian ia melihat ke arah Hasna. Kakak perempuannya itu terlihat tersenyum lebar kepadanya, seolah berusaha menghiburnya dari rasa bersalahnya. Salah satu keistimewaan Hasna sepertinya karena gadis itu selalu berusaha memahami orang lain meski kadang ia tidak setuju dengannya.
"Maaf Bar, tolong jangan diambil hati ya, Putri cuma terlalu bersemangat aja ngecomblangin aku sama Hasna he he," sambung Ahsan berusaha tersenyum lebar meski sedikit kagok melihat bergantian ke Bara dan Hasna.
"Iya Kak, maaf Putri sepertinya salah bicara," sambung Putri tulus menyesali ucapannya.
Hasna langsung menunduk mengusap lembut kepala gadis kecil itu sambil tersenyum lebih lebar.
"Gapapa, Putri. Kak Ahsan dan Kak Bara pasti sudah maafin dan ga marah lagi ke Putri kok. Kak Hasna yakin Putri ga ada niat yang jelek. Tapi.... lain kali, Putri harus lebih hati-hati ya sebelum berbicara apapun itu termasuk bercanda jangan keterlaluan atau bahkan sampai ada yang terluka atau tersinggung ya...," jelas Hasna diikuti anggukan kepala Putri.
"Kak Ahsan udah ga marah dan maafin Putri kan?" sambung Hasna menoleh kearah Ahsan yang melihati keduanya. Perempuan bernama Hasna itu selalu punya cara menenangkan hatinya.
Ahsan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar kepada Putri juga Hasna membuat Putri terlihat kembali ceria.
Bara tersenyum lebih lebar dengan raut mukanya yang tetap cool tapi menenangkan itu, bergantian melihat ke Ahsan dan Putri juga Hasna.
"Iya, Putri... Kak Bara nggak marah dan nggak masalah kok sama omongan Putri tadi he he. Insyaa Allah Kak Bara dan teman-teman bakal ngejagain Kak Hasna selama di Papua," jelas Bara tertawa kecil membuat suasana kembali cair dan ceria.
Bagi Ahsan dan Bara, keduanya sepertinya sepakat memperjuangkan hati perempuan itu seperti layaknya bertanding olahraga, harus dengan cara yang sehat dan fair.
Beberapa saat kemudian Hasna dan keempat teman kantornya sudah berada di ruang tunggu keberangkatan sambil sesekali bercanda dan berdiskusi ringan ketika ada pesan masuk di handphone Hasna.
"Sincere smile (laughter) is a simple but the best thing to open and warm everyone's heart :) (ind: Senyuman (tawa) yang tulus itu sesuatu yang sederhana tapi terbaik untuk membuka dan menghangatkan hati setiap orang :))" tulis Ahsan.
Ahsan mengirimi foto mereka bersama Putri dan Ridwan yang diambil dari handphone Ahsan sebelumnya membuat Hasna tersenyum lebar melihatinya kemudian membalasnya dengan memberi emotion tanda jempol dan hati diakhiri emoji senyuman.
Foto profil laki-laki itu juga terlihat berubah, bukan gambar Ahsan dan kucing lagi, tapi gambar Putri, Ridwan dan laki-laki itu dengan pose riangnya. Ahsan terlihat tersenyum lebar memegang sekotak susu pemberian Hasna dan tangan lainnya berpose tanda 'like' membuat Hasna tak bisa menahan tawanya. Laki-laki itu selalu punya ide yang kreatif menyentuh hatinya dan menghadirkan senyumannya dengan cara yang tak terduga.
"Foto profil kamu lucu, San. Terima kasih ya udah bikin aku senyum-senyum sendiri :)".
"Sama-sama, Hasna. Syukurlah kalau kamu menyadari makna di balik foto itu, Na he he. Tadinya mau foto berduaan aja sama sekotak susu dari kamu itu, tapi berasa berlebihan he he. Mau pasang foto kita berempat tadi, tapi pasti jadi pembahasan panjang orang-orang he he. Akhirnya ngajakin Putri dan Ridwan seperti susunan foto yang aku kirim tadi. Meski ga ada kamu, tapi ada sekotak susu dari kamu buat mewakilin kamu :)".
Kalimat Ahsan itu lagi-lagi membuat Hasna tertawa sendiri sampai-sampai Bara yang ada di hadapannya pun memanggilnya gara-gara penasaran melihat ekspresi gadis itu. Hasna pun sedikit meringis dan berusaha menetralkan perasaan dan senyumannya.
"Jaga hati, Hasna... jangan sampai berlebihan. Ingat kamu dan Ahsan belum ada komitmen serius apa-apa. Kamu boleh menyukainya, tapi secukupnya aja," batin Hasna mengingatkan dirinya sendiri.
"Hati itu mudah terbolak balik. Semoga Tuhan selalu menjaga hati kita kapan pun dan dimana pun kita berada :)," ketik Hasna di status whatsapp-nya.
Hasna hendak menutup aplikasi whatsapp-nya setelah melihati semua notifikasi dari teman-teman dan grup yang diikutinya ketika ada satu notifikasi masuk dari Ahsan.
"Hati memang mudah terbolak-balik, begitu pun rasa, terlebih lagi bagi dua orang tanpa komitmen seperti kita sekarang. Aku tidak akan meminta kamu menutup hati kamu buat orang lain demi aku, Na. Yang terpenting kita sama-sama menjaga hati kita masing-masing sampai saat yang tepat untuk menumbuhkan rasa itu tiba. Kita tidak pernah tahu siapa orangnya yang berjodoh dengan kita. Yang bisa kita lakukan hanya menitipkan rasa demi rasa yang ada di dalam hati kita lewat doa demi doa. Semoga Tuhan menyatukan rasa aku dan kamu saat itu tiba seperti halnya ketika Tuhan menyatukan cinta putri Nabi Muhammad, Fatimah, dan Ali yang saling menitip rasa dalam doa, aamiin :).
Semoga Tuhan selalu menjaga hati kita :). Have a safe flight, Na :D".
Hasna tersenyum membaca kalimat Ahsan itu, ada sedikit haru yang tiba-tiba dirasakannya karena kedewasaan pikiran laki-laki bernama Ahsan itu meski usianya jauh lebih muda darinya. Laki-laki itu menguatkan Hasna untuk lebih bersemangat menjaga hatinya dan menitipkan rasa lewat doa-doa.
"Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin :). Terima kasih banyak, San. Semoga kita bisa saling menguatkan dalam kebaikan ya. Selamat melanjutkan bed rest-nya ya. Cepet sembuh yaaaa dan sampai ketemu sebulan lagi, insyaa Allah :)," ketik Hasna dibalas terima kasih dan senyuman lebar dari Ahsan sebelum mengakhiri percakapan diantara keduanya.

-Kamu 'HATI' yang ingin selalu aku jaga. Kamu 'CINTA' yang membuatku ingin menumbuhkannya pada waktunya-

-Bersambung-

Setelahnya : Masa Depan - Melawan Bimbang