Jumat, 16 Januari 2015

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku - Bagian 2


Dua minggu berlalu, Rizzar dan Ara memulai syuting hari pertama untuk mini series mereka berjudul  “Warna Warni Cinta di Rumah Singgah”.  Ara memerankan tokoh Jingga dan Rizzar memerankan tokoh Archimedes alias Archi. Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB saat mereka memulai latihan dialog. Entah kenapa, Ara merasa Rizzar  dalam kondisi tidak tenang seolah sedang banyak pikiran sejak datang ke lokasi. Bahkan saat latihan dialog pun, Rizzar seringkali melakukan kesalahan yang biasanya jarang dia lakukan.
“Riz, kamu lagi ada masalah?” ujar Ara sambil memegang script milik Rizzar. Rizzar sedikit terkejut dan memandang ke arah Ara. Rizzar baru menyadari dirinya baru saja melamun.
“Eh maaf maaf banget, Ra…  aku kurang konsen beberapa hari ini, kita latihan lagi ya…,” ujar Rizzar berusaha menormalkan suasana.
Ara masih memandang ke arah Rizzar dan masih dengan senyumnya yang berusaha untuk menenangkan Rizzar yang terlihat gelisah. “Aku tahu Riz, kamu selalu ingin tampil cuek, tegar, dan kuat juga cool.. tapi hari ini, kamu tidak bisa menyembunyikan kegelisahan kamu, Riz. Ada apa? Aku mungkin bukan teman yang bisa memberikan solusi yang pas buat masalah kamu, tapi aku siap menjadi pendengar yang baik dan berusaha semampuku memberi masukan”
Rizzar masih memandang ke arah Ara kemudian menundukkan pandangannya seolah bimbang apakah dia harus curhat ke Ara atau tidak. Ara bukan sahabat bagi Rizzar, tapi beberapa kesempatan mereka terlibat dalam film atau sinetron yang sama, mereka seringkali terlibat dalam obrolan ringan yang seringkali membuatnya nyaman.
“Ya sudahlah, Ra.. kita fokus latihan lagi saja ya.. “. Rizzar memutuskan untuk tetap diam, meski hati dia saat itu sangat tidak nyaman. Ara tiba-tiba menepuk bahu Rizzar. “Semangat, Riz. I know that you are a super boy”. Ara tersenyum lebar seolah ingin menghibur Rizzar agar tidak larut dalam masalahnya dan bisa lebih fokus. Rizzar membalas senyum Ara tak kalah lebar sambil mengepalkan tangannya semangat. 
“Ara, kamu selalu hadir dengan senyuman kamu yang membuat aku merasa nyaman, entah kenapa”, ujarnya dalam hati. Rizzar dan Ara pun larut dalam peran baru mereka
Bagian Satu Warna Warni Cinta di Rumah Singgah
Rizzar as Archimedes (Archi), Ara as Jingga
Archimedes sedang asyik di mobilnya sepulang kuliah bersama sahabatnya, Ryo. Mereka asyik mengobrolkan musik dan apa-apa yang mereka lihat di sepanjang perjalanan itu.
“Lihat deh, Ryo… anak-anak yang meminta-minta di perempatan itu, mereka itu pasti korban eksploitasi orang tuanya… memperkerjakan anak yang masih dibawah umur“.
“ Iya sih Chi, tapi ga semua anak-anak itu korban eksploitasi kok, aku punya teman di fakultas sastra inggris, dia aktif menjadi volunteer di rumah singgah gitu”.
“Non sense, buat aku anak-anak itu adalah korban eksploitasi orang-orang dewasa, apapun alasannya. Mereka seharusnya nggak berada di jalanan.”
“Archi, kamu nggak bisa sembarang menilai. Oke, kamu mungkin lama tinggal di luar negeri dan disana kamu tidak menjumpai fenomena seperti yang kamu lihat disini. Di luar negeri, negara memberikan jaminan sosial yang lebih baik bagi warganya yang kurang mampu secara ekonomi. Kamu tidak bisa menyamakan sudut pandang kamu, Chi”.
Keduanya pun terdiam, perdebatan mereka seolah tak bisa dikompromikan karena belum menemukan kacamata yang sama.
         Siang menjelang sore itu,  langit mendung ketika mobil Archimedes kembali berhenti di sebuah persimpangan lampu merah. Archimedes kembali disuguhkan pemandangan beberapa anak melintasi depan dan samping mobilnya sambil menawarkan koran dan minuman dingin. “Can you see it, Ryo… it’s about children exploitation… !” ucap Archimedes dengan nada tinggi dan agak kesal.
Ryo mengikuti pergerakan anak-anak kecil yang ditunjukkan oleh Archimedes, ketika pandangannya tertuju pada seorang perempuan sebaya dengan Archi dan dirinya yang sedang bercanda dengan beberapa anak pekerja jalanan itu.
“Kamu bisa melihatnya, Ryo.. aku yakin gadis itu pasti orang yang sudah tega mengeksploitasi anak-anak kecil ini… Damn it!”
Seorang gadis seusia mereka itu tampak sedang membantu seorang anak kecil yang berjualan tissu wajah. Dari penampilannya, gadis itu tidak terlihat seperti bagian anak jalanan itu, malah terlihat seperti anak kuliah.”Hmmm mungkin dia salah satu volunteer Chi, soalnya lokasi ini kan relatif dekat dengan kampus kita. Bagaimana kalau kita hampiri saja dia dan menanyakan langsung padanya?”
Archimedes tampak memandang tajam kepada Ryo. “Nggak penting banget, tapi aku janji kalau aku sudah punya kuasa untuk menindak, aku bakal membuat jera orang-orang semacam itu, sudahlah kita ke cafĂ© saja sekarang, daripada aku kebawa kesal sampai nanti”.
          Esok paginya, Archimedes baru turun dari mobilnya, saat Rhea menghampirinya. Rhea adalah teman dekat Archimedes saat SMP sebelum Archimedes pindah keluar negeri dan sekarang mereka kembali bertemu dan menjadi teman satu fakultas di fakultas hukum pada universitas yang sama. 
“Have you had breakfast, Chi?” tanya Rhea lembut.  Archimedes mengangguk pelan sambil tersenyum manis ke teman dekatnya itu. Rhea adalah salah satu orang yang disayangi oleh Archimedes selain Ryo dan keluarganya. Hubungan mereka cukup dekat, apalagi Archimedes baru beberapa bulan kembali ke Indonesia dan belum banyak teman dekat. Meskipun demikian, banyak orang menganggap Archimedes dan Rhea sebagai pasangan yang serasi, pasangan tampan dan cantik dari keluarga yang sama-sama cukup mapan. Keduanya adalah dua orang populer di kampus mereka. Archimedes sedang asyik bercanda dengan Rhea, saat tiba-tiba tubuh Rhea tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang di belokan.
“Maaf, aku tidak sengaja dan terburu-buru,” ujar Jingga sambil membungkuk seraya meminta maaf. Buku yang dipegang Rhea pun terjatuh. Archimedes pun langsung menunduk untuk mengambil buku yang terjatuh itu ketika tangan Archimedes dan Jingga sama-sama memegang buku itu. Mereka saling berpandangan sejenak. Archimedes merasa pernah melihat gadis itu, sementara Jingga hanya tersenyum sejenak dan kemudian menunduk. “Hati-hati kalau jalan, jangan merugikan orang lain hanya karena kamu merasa ada keperluan. Setiap orang punya keperluannya masing-masing. Hargai orang lain, please”. Jingga mengangguk pelan,” Maaf, aku benar-benar  nggak sengaja. Aku yang salah, maaf sudah nabrak cewek kamu”.  Archimedes spontan memandangi Jingga mendengarnya, tapi Jingga buru-buru berdiri menghadap Rhea.
Jingga menganggukkan kepalanya lagi meminta maaf ke Rhea dan Archimedes.  Dia pun bergegas pergi. Reihan, rekan volunteernya, sudah menunggu Jingga untuk membahas beberapa masalah di rumah singgah Pelangi. Archimedes menoleh ke arah Rhea. “Are you okay?” Rhea tersenyum mengangguk. “Cewek tadi menyangka kita couple, Chi”. Archimedes membalas senyum tipis dan menoleh kearah Jingga pergi. “She is careless enough dan sok tahu. Sudahlah, lupakan, sebaiknya kita segera ke kelas sekarang”
         Jingga masih menyusuri lorong fakultas hukum itu, mencari letak perpustakaan fakultas tempat ia berjanji menemui Reihan. Pikiran dan hati Jingga sangat riuh. Archimedes bukanlah sosok yang asing buat Jingga. Dia pernah mengenalnya meski hanya Jingga yang mengingatmya dan sebaliknya Archimedes seolah tak pernah mengenalnya.
Waktu itu beberapa bulan yang lalu, Archimedes pernah menolong Jingga yang tiba-tiba dihadang seorang preman mabuk yang ingin mengganggu anak jalanan di rumah singgah Pelangi. Archimedes yang saat itu kebetulan melintas di jalan yang agak lengang itu langsung berusaha menolong Jingga dengan menggunakan alat pengejut listrik yang ia selalu bawa sebagai senjata pengaman. Dan jurus itu memang manjur dan mampu membuat preman mabuk itu tersungkur. Tapi tanpa diduga saat Archimedes dan Jingga merasa keadaan sudah aman, dan Jingga baru mengucapkan rasa terima kasihnya, tiba-tiba sebuah botol menghantam kepala Archimedes membuat Archimedes langsung tak sadarkan diri, membentur aspal dengan kepala  berdarah. Jingga yang terkejut langsung mengambil pengejut listrik milik Archimedes dan mengarahkan ke preman tersebut hingga preman itu benar-benar tersungkur. Kala itu Jingga panik melihat kepala Archimedes yang penuh darah. Dia pun langsung menghubungi Reihan yang sedang di rumah singgah tak terlalu jauh dari tempat mereka berada. Setibanya Reihan, tanpa banyak mengulur waktu, mereka segera membawa Archimedes yang tak sadarkan diri ke rumah sakit. Reihan dan Jingga menunggui proses Archimedes mendapatkan pengobatan dalam kondisi yang belum juga sadarkan diri. Untunglah Reihan langsung mengenali Archimedes sebagai teman baru yang sefakultas dengannya sehingga dia langsung menghubungi keluarga Archimedes.
45 menit kemudian, Archimedes sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Dokter yang menangani mengatakan bahwa Archimedes kemungkinan mengalami gegar  otak ringan akibat pukulan dan benturan dengan aspal setelahnya. Jingga duduk menunggui Archimedes tepat disebelahnya. Ada rasa bersalah yang ia rasakan saat itu melihat orang yang menolongnya justru terluka hingga seperti itu. Archimedes tak kunjung sadarkan diri, meski beberapa kali dia terdengar mengerang kesakitan di kepalanya dan Jingga hanya bisa mengusap-ngusap bagian muka kepala Archimedes seraya berusaha menenangkannya.Tak beberapa lama keluarga Archimedes  memasuki kamar perawatan setelah Reihan berjaga-jaga di pintu masuk rumah sakit.   Dokter yang menangani Archimedes segera menjelaskan kembali lebih detail keadaan pasiennya tersebut. Kondisi Archimedes tidaklah terlalu mengkhawatirkan. Setelah kedatangan keluarga Archimedes, Reihan pun menjelaskan penyebab Archimedes sehingga mengalami luka tersebut, kemudian baik Reihan dan Jingga pun memilih menunggu di luar kamar perawatan untuk memberikan keleluasaan bagi keluarga Archimedes. Mereka menunggu dan sesekali menengok dari pintu masuk kamar perawatan Archimedes menunggu Archimedes membuka matanya. Satu jam berselang ketika  Archimedes kemudian mulai sadar. “Kak Rei, lihat dia akhirnya sudah sadar,” ujar Jingga bahagia dan dengan ekspresi lega. Satu sisi, Jingga juga terlihat cemas melihat ekpresi kesakitan Archimedes dan kondisinya yang terlihat lemah. “Tenang, Ngga.. insyaa Allaah Archi si dewa penolong kamu itu bakal baik-baik saja, kan tadi dokter sudah bilang. Kamu tetap disini biar aku panggilkan dokter terlebih dahulu buat memeriksa kondisi Archi”. Jingga mengangguk pelan. Pandangan Jingga masih tertuju ke arah Archi, ada rasa bersalah bercampur simpati melihat penolongnya itu menahan sakit dan dia nggak bisa melakukan apa-apa kecuali mendoakannya agar dikurangkan rasa sakitnya dan diberikan kesembuhan sesegera mungkin. Dokter yang menangani Archimedes pun masuk kamar perawatan dan langsung melakukan pemeriksaan, sementara Reihan dan Jingga hanya mengamati dari jendela pintu masuk kamar tersebut. Tak lama kemudian terlihat dokter menyuntikkan cairan semacam obat penenang di infus Archimedes dan kemudian berdiskusi dengan orang tua Archimedes. Perasaan Jingga masih terus dihinggapi resah dan cemas menunggu penjelasan tentang kondisi Archi. Dokter kemudian keluar dari kamar perawatan bersama ayah dari Archimedes
“Bagaimana keadaan Archi, Dokter dan Om?” tanya Reihan seolah mewakili apa yang ingin ditanyakan Jingga. “ Archi nggak mengalami luka yang serius, tapi memang dia mengalami gegar otak ringan yang menyebabkan dia mengalami amnesia tentang peristiwa yang dialami dan membuatnya luka seperti ini,” ujar Dokter menjelaskan. “Amnesia, Dok? Apa itu berbahaya untuk kondisi Archi sendiri?” tanya Jingga spontan menanggapi dengan muka cemas dan makin merasa bersalah. “Archi nggak apa-apa, dia tetap ingat dengan kehidupannya, keluarganya, dan memori yang lainnya kecuali memori saat dia mengalami luka itu, tentang preman mabuk itu, saat dia dibawa ke rumah sakit, sampai dia sadar. Selebihnya, dia ingat semuanya, kok”.    
“ Apa ada yang bisa kami bantu untuk membuat Archi mengingat kembali kejadian tadi, Dok?” lanjut Jingga
“Saya pikir, kita nggak perlu membuat Archi mengingat-ingat kejadian buruk yang dialaminya tadi, biarkan saja dia mengalami amnesia terkait peristiwa ini daripada dia malah jadi trauma atau kepikiran, Saya harap kalian tidak mengungkit-ungkit sedikitpun terkait peristiwa ini kepada Archi” ujar Ayah Archimedes.
Dokter kembali tersenyum, “Kalau memang mau dibiarkan tidak ingat juga tidak apa-apa. Toh cuma di periode waktu itu saja ingatan saudara Archi hilang. Bisa jadi mungkin itu lebih baik buat dia juga”.
“Maaf  Dok, tapi kondisinya sekarang bagaimana? Soalnya Archi terlihat kesakitan,” lanjut Jingga lagi dengan wajah masih cemas.
“Kalian tenang saja, Archi sudah saya beri obat penenang  agar dia bisa lebih banyak istirahat dan tidak terlalu kesakitan. Insyaa Allaah dia baik-baik saja”.
Reihan dan Jingga tampak menarik nafas panjang lega, meski wajah Jingga masih tak bisa lepas dari rasa bersalahnya. Setelah berpamitan kepada orang tua Archimedes, mereka akhirnya memutuskan pulang.
Jingga tersadar dari lamunan panjangnya, ketika Reihan terdengar memanggil namanya.
-Cut 1-
Rizzar dan Ara bergegas menuju mobil masing-masing untuk mengambil bekal makan siang mereka dan peralatan sholat mereka. Saat itu waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Rizzar dan Ara memilih makan di dekat tempat sholat yang ada di lokasi syuting tersebut. Rizzar tampak murung kembali ketika membuka kotak bekal makannya. Seolah dia kembali larut memikirkan sesuatu yang membuatnya terlihat tak tenang. Ara yang mengamatinya beberapa kali pun akhirnya memutuskan mengambil duduk di sebelah Rizzar. “Ayo makan yang semangat, Riz… kok cuma dilihat saja,” ujar Ara sambil tersenyum lebar dan menepuk bahu Rizzar. Rizzar memandang dengan setengah terkejut dan setengah pandangan kosong ke arah Ara yang tanpa ia sadari sudah ada di sampingnya sambil mengangguk pelan dan berusaha membalas senyum Ara. Rizzar kembali menatap bekal makan siangnya dan dia kembali melamun, seolah ada rasa bersalah yang ia rasakan setiap kali memandangi bekal makanan yang ia bawa dari rumah. Meskipun mereka saling menjaga jarak, Ara tetap bisa merasakan ketidakberesan sikap Rizzar yang tidak seperti biasa, kocak, usil dan kadang suka bercanda dengan pemain atau kru yang sudah ia kenal dengan akrab. Ara bisa melihat ada rasa sedih dan menyesal dari raut wajah Rizzar saat itu.
“Aku tahu kamu tidak bisa berbagi cerita dengan aku tentang masalah kamu Riz, apalagi kita sudah berkomitmen untuk saling menjaga jarak. Tapi kamu harus membagi masalah kamu dengan orang yang bisa kamu percaya, Riz. Kamu nggak boleh larut dalam kegelisahan seperti ini. Kalau kamu terus seperti ini tanpa menemukan solusi secepatnya,  ini bisa nggak baik untuk kesehatan badan maupun mental kamu, Riz,” ujar Ara sambil memandang kearah Rizzar. Kali ini Rizzar menatap kearah Ara yang masih setia menawarkan senyum-senyum tulusnya. Cukup lama dia memandangi Ara diantara sorot matanya yang menunjukkan rasa lelah dan penyesalan yang membuat Ara menjadi tak tega dan bertekad untuk memberikan senyum yang lebih tulus lagi untuk menyemangati Rizzar. “Makan Riz, ingat lambung kamu… jaga sehat sebelum sakit datang,” lanjut Ara dengan nada meneduhkan dan senyum tulusnya yang semakin lebar. Rizzar masih memandangi Ara sambil berusaha tersenyum lebih lebar seperti senyuman yang diberikan Ara untuknya seraya mengangguk pelan.
“Atau, bagaimana kalau kamu telepon cewek kamu biar kamu bisa lebih bersemangat makannya?” ucap Ara lagi dengan ekspresi wajah penuh semangat.
Rizzar tiba-tiba menunduk, dia kembali menatap ke kotak bekal makanannya.
Ara pun merasa dia telah salah bicara. Ia sepertinya bisa mulai menerka bahwa masalah yang dihadapi Rizzar terkait dengan cewek Rizzar juga
“Maaf kalau aku salah bicara, Riz,” lanjut Ara sambil menyodorkan jari kelingkingnya ke Rizzar. “Tapi kamu harus memaksa diri kamu untuk makan, syuting kita masih panjang, kita harus tetap fit dan jaga kesehatan”. Rizzar masih diam tak bergeming melihat ke arah jari kelingking Ara yang ada di dekat tangannya. Ara pun kemudian menarik jari kelingkingnya lagi dan dia bergegas merapikan kotak makannya yang sudah habis isinya dan bergegas hendak bangkit. “Ya sudah, mungkin kamu perlu waktu sendiri, tapi ingat seberat apapun masalah kamu, kamu harus habiskan bekal makan kamu ya. Aku sholat duluan yaaa…” ujar Ara sambil menepuk kembali bahu Rizzar seolah ingin membantu menenangkan Rizzar.
“Ra, aku sudah membuat Mama aku kecewa dan sedih, bahkan aku sempat melihat Mama diam-diam menangis karena aku. Aku merasa marah dengan diri aku sendiri, Ra… aku merasa menjadi anak yang nggak berbakti ke Mama,” tiba-tiba ucapan itu keluar dengan pelan dari mulut Rizzar. Ara menghentikan langkahnya dan memandang ke arah Rizzar. Mereka saling beradu pandang. “Kalau kamu mau berbagi cerita, aku siap menjadi pendengar Riz”. Rizzar menggeleng pelan kemudian kembali menunduk. Ara masih memandangi Rizzar seolah berusaha menyelami apa yang sedang dirasakan oleh Rizzar. “Ya sudah kalau kamu tidak ingin membaginya. Aku paham rasa bersalah kamu terhadap Mama kamu. Tapi satu hal yang harus kamu ingat juga, sebesar apapun rasa kecewa Mama kamu ke kamu, aku bisa lihat ada cinta yang sangat besar yang beliau berikan saat menyiapkan bekal makan siang dengan menu favorit kamu ini. Coba kamu lihat bekal makan siang kamu, aku bisa merasakan bekal itu dipenuhi cinta Mama kamu ke kamu. Kamu pasti bisa melihatnya juga kan, Riz?” Rizzar kembali memandangi bekal makan siangnya itu agak lama, kemudian ia menatap Ara. “Kamu mungkin dihinggapi rasa bersalah yang sangat besar ke Mama kamu saat ini, kamu mungkin sudah melakukan sesuatu hal yang membuat beliau kecewa. Tapi bekal makan siang kamu ini tetaplah bekal yang penuh cinta seorang Mama ke anaknya. Jadi kamu harus makan bekal makan siang ini sampai habis dan tak bersisa dengan merasakan kehangatan cinta Mama kamu di setiap suapnya. Kamu nggak mau kan membuat Mama kamu semakin sedih gara-gara bekal penuh cinta yang disiapkannya justru tidak kamu makan?” ujar Ara lembut sambil tersenyum manis kearah Rizzar yang masih menatapnya. Pandangan seorang Rizzar itu kini tak lagi kosong seperti sebelumnya, bahkan terlihat mulai berkaca-kaca meski Rizzar berusaha keras untuk menahannya agar tidak terlihat Ara. Rizzar pun membalas senyuman Ara dengan agak lebar sambil menganggukkan kepala beberapa kali tanda ia menyetujui ucapan-ucapan Ara.  “Semangat makannya, Rizzar!” seru Ara menyemangati Rizzar dengan tersenyum lebih lebar lagi dengan ekspresi kocaknya. Rizzar pun tertawa melihat ekspresi Ara yang kocak. Rizzar pun mengepalkan genggaman tangannya membentuk ekspresi semangat tanpa mengucapkan satu patah kata pun. “Ya sudah, kalau gitu aku duluan sholat ya Riz, kamu harus menghabiskan masakan penuh cinta dari Mama kamu itu, ok…”. Rizzar kembali mengangguk. “Insyaa Allaah pasti aku habiskan, Ra. Nanti aku menyusul sholatnya setelah makan”. Ara mengacungkan kedua jempolnya buat Rizzar sambil lagi-lagi tersenyum sebelum kemudian beranjak menuju tempat sholat. Rizzar memandangi punggung Ara sambil menyuapkan bekal makanannya ke dalam mulutnya. “Makasih banyak, Ra karena kamu sudah membuat perasaan aku menjadi agak ringan. Seharusnya aku lebih menjaga jarak dari kamu, tapi kamu selalu menawarkan ketulusan itu untuk aku di waktu yang tepat dan tak terduga. Dan kita seolah dipertemukan saat aku memerlukan seseorang untuk berbagi dengan cara yang tidak biasa. "Tapi… tapi... tapi..., maafkan aku, Ra, setelah ini aku tetap harus bisa lebih menjaga jarak dari kamu…”. Rizzar kembali meneruskan menghabiskan bekal makan siangnya. Lagi-lagi ada rasa bersalah dan rasa tak terdefinisi yang campur aduk di dalam hatinya tentang Ara. Rasa yang selalu tersisa setiap kali dia berusaha menjauh dari perempuan yang selalu memberikan kesejukan dan rasa nyaman di hatinya dengan senyuman dan hal-hal sederhana yang dia miliki. Disisi yang lain, Rizzar merasa bahwa menjaga jarak adalah pilihan yang harus dilakukannya, mengingat situasi dan kondisi yang terjadi diantara mereka . 
"Apapun yang terjadi diantara kita, apapun pilihan yang kamu yakini benar tentang bagaimana kamu harus memperlakukan aku, aku akan tetap berdiri disini Riz, memandangmu dari jauh meski tak terlihat jelas olehmu. Aku akan tetap menjadi bayangan dalam doa panjang tentang kamu," ucap Ara dalam hati sambil menyelipkan senyum tulus di bibirnya. "Apapun jenis rasa dan keterhubungan diantara kita, aku tidak akan membuat dua hal itu menjadikan kita  kalah dan menyerah dengan mudah, tapi justru akan membuat kita saling menguatkan satu sama lain meski jalan kita memang tak sama dan kisah bahagia itu bukan milik kita. Karena bahagia buat aku salah satunya adalah melihat kamu baik-baik saja, Riz...".


Part Selanjutnya

Cast : Rizzar (Rizky Nazar), Ara (Anisa Rahma)

Bersambung

 Note : Ayo semangat menulis! Ayo semangat menggali pesan positif yang bisa disampaikan :D :D. Fight n Never Give Up!!! :D. Dan tetap menulis dari hati... :)