Rabu, 30 September 2015

Melukis Kita Dalam Cerita Aku dan Kamu - Part 3: Pagi yang Tertunda, Kenangan Senja dan Petang, Serta Kita

Sebelumnya : Part 2, Kita dan Bintang - You Can Count On Me, Rho 

Part 3: Pagi yang Tertunda, Kenangan Senja dan Petang, Serta Kita

Jam dinding kamar Alfa menunjukkan pukul 03.30 pagi saat Alfa terbangun dari tidurnya. Setengah mengantuk Alfa pun bergegas ke kamar mandi, mengambil wudlu kemudian melakukan sholat malam dan mengaji. Waktu menunjukkan pukul 04.15, Alfa sedang memandangi sekeliling kamarnya dan matanya berhenti di kalender meja yang ada di dekatnya. Kini tersisa hari Kamis dan Jumat buat Alfa mungkin mewujudkan pagi, senja, dan malamnya sejenak bersama Varrho sebelum dia berangkat ke Bandung. Alfa seolah sadar posisinya, dia tidak ingin mengganggu hari Sabtu Varrho yang mungkin akan digunakan Varrho untuk beristirahat atau menghabiskan waktu liburnya bersama Gina. Alfa melempar pandangannya ke sudut kamar dimana kopernya berada. Apa dia akan membawa kenangan Varrho bersama baju-baju di koper itu nantinya. "Alfa, kamu tidak boleh pesimis. Kamu pasti bisa mewujudkan kebersamaan kamu bersama Varrho sebelum berangkat".
Adzan Shubuh berkumandang tak lama setelahnya. Alfa pun bergegas menunaikan sholat Shubuhnya kemudian bergegas membuat sebotol coklat panas. Tidak ada pesan atau notifikasi dari Varhho di HP Alfa padahal jam sudah menunjukkan pukul 05.00. "Apa mungkin Varrho kecapekan karena pulang terlalu larut ya?" Alfa pun tidak mau membiarkan prasangkanya berkembang lebih jauh. Dengan mengambil kamera sakunya, Alfa bergegas menuju halaman depan rumahnya. "Bunda, Alfa duduk-duduk di depan ya. Soalnya Alfa punya janji dengan Varrho mau berbincang sambil melihat matahari terbit," ujar Alfa memberitahu bundanya yang sedang asyik di dapur. "Wah yang mau pindahan ke Bandung padat banget agendanya dengan teman-temannya. Baju yang mau dibawa sudah mulai dimasukkan koper belum Fa?" Alfa tersenyum manis ke bundanya sambil menggelengkan kepala pelan. "Alfa mulai packingnya besok Sabtu saja, Bun he he. Alfa keluar dulu ya. Nanti biar Alfa saja yang membereskan dan mencuci piring kotor dan teman-temannya ya, Bun".
Alfa bergegas duduk di bangku taman yang ada di halaman rumahnya menunggu Varrho. Sambil menunggu Varrho, Alfa kembali teringat bagaimana dirinya dan Varrho bertemu dan kemudian perlahan menjadi dekat. Waktu itu, Alfa sedang menemani Beta datang ke pesta ulang tahun temannya ketika kemudian Alfa terpisah dengan Beta karena Beta bertemu dengan sahabat lamanya dan Alfa pun memutuskan memberikan waktu Beta untuk bernostalgia tanpa ingin mengganggunya. Alfa menunggu Beta dan berdiri sendirian di dekat tempat makanan dan minuman disediakan ketika ada seseorang laki-laki seusianya menghampirinya, mengajak kenalan, dan menggodanya. Alfa berusaha dengan halus menghindari laki-laki itu, tapi laki-laki itu terlihat semakin gigih mendekatinya ketika tiba-tiba ada seseorang yang berteriak. "Jangan macam-macam sama cewek aku". Seorang laki-laki yang kini dikenalnya dengan nama Varrho itu menghampiri Alfa, "Kita keluar dan ngobrol di teras kafe ini saja yuk, Say". Sejenak Alfa menatap laki-laki asing itu sejenak dan entah kenapa, Alfa menurut begitu saja saat itu, ia memutuskan mengikuti laki-laki asing itu keluar.
"Daripada kamu bengong seperti orang hilang didalam pesta, lebih baik menikmati udara segar di teras kafe ini". Alfa menatap laki-laki aneh di hadapannya itu. "Memang kamu siapa, tiba-tiba muncul menjadi sok pahlawan? Bagaimana aku bisa tahu, kamu lebih baik dari cowok tadi atau sama saja?" tanya Alfa datar. Laki-laki itu balas menantap Alfa dengan datar. Kemudian dia melihat ke arah matahari. "Matahari, tolong beritahu cewek aneh di sebelah aku ini, sudah ditolongin dari jeratan playboy, bukannya berterima kasih eh malah balik curiga dan bicara sinis ke aku". Alfa melirik ke laki-laki disampingnya sejenak kemudian ikut memandang ke arah matahari. "Wajar kan matahari kalau aku curiga ke dia. Aku tidak kenal dia, tiba-tiba dia datang menjadi pahlawan kesiangan. Siapa tahu dia juga sebelas duabelas playboy-nya sama cowok yang tadi. Ya nggak, matahari?"
"Memangnya kamu tidak bisa membedakan mana laki-laki baik dan playboy? Jangan-jangan kamu tidak pernah pacaran ya, hmmm kasihan sekali," ujar laki-laki itu lagi ke arah Alfa. Alfa memasang muka cemberut mendengarnya. Kemudian dia memandang ke arah matahari lagi. "Matahari, memang mudah ya membedakan mana laki-laki baik dan playboy? Sekarang kan banyak serigala berbulu domba. Hati manusia siapa yang tahu, ya kan matahari? Lagipula pacaran atau nggak itu kan soal pilihan". Alfa kemudian memandang ke laki-laki itu. "Lagi pula, setahu aku, laki-laki yang baik tidak akan mengaku dia baik dan pastinya akan berusaha menjaga perasaan perempuan, tidak asal bicara seperti yang kamu lakukan barusan".
Laki-laki itu terlihat tertegun sejenak mendengar ucapan Alfa meski ekspresinya berusaha tetap datar dan cool. "Maaf kalau omonganku keterlaluan, tapi kamu juga keterlaluan berprasangka buruk ke aku. Maaf kalau aku melukai perasaan kamu," ujar laki-laki itu dengan suara lebih pelan dan lembut. Pandangan Alfa pun melunak, ia sadar sudah keterlaluan juga mencurigai laki-laki aneh itu, meski itu ia lakukan dalam rangka waspada terhadap jebakan laki-laki hidung belang. "Aku... aku juga minta maaf karena mungkin sudah keterlaluan juga ke kamu. Itu semua aku lakukan karena aku berusaha waspada saja, aku kan tidak kenal siapa kamu, dan aku tidak bisa memastikan apakah kamu baik atau tidak. By the way, terima kasih atas bantuannya tadi. Lebih baik aku masuk lagi saja ke tempat tadi". Mereka saling berpandangan sejenak ketika laki-laki itu kembali berucap, "Aku mohon jangan ke tempat tadi lagi. Cowok playboy itu ada disana dan dia tidak sendirian. Dia tidak akan berhenti begitu saja menggoda kamu yang terlihat sendirian dan canggung disana. Demi kebaikan kamu, mending kamu menunggu teman kamu disini, sambil minum secangkir kopi atau makan kue". Alfa memandang dengan penuh selidik ke laki-laki di depannya itu. "Bagaimana kamu yakin kalau cowok tadi playboy dan bakal menggoda aku lagi? Memang kamu kenal dia? Dan bagaimana kamu tahu kalau aku menunggu teman aku? Sorry bukannya maksud ke-GeEr-an, jangan bilang kamu memata-matai aku".
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya pelan sambil tertawa kecil, "Aku tidak kenal dia, tapi aku tahu kalau dia brengsek. Teman aku yang mengenalnya. Dan aku tahu kamu sedang menunggu teman kamu karena aku juga salah satu yang diundang di pesta itu dan karena aku ngerasa canggung sendirian di pesta tadi, jadinya aku mengalihkan perhatian ke hal-hal yang nggak penting sebenarnya, termasuk mengamati kamu sejak datang kemudian ditinggal teman kamu dan berdiri sendirian dengan canggung di dekat makanan dan minuman". Alfa memandang lagi laki-laki itu, kali ini dengan pandangan lebih lunak. "Aku tahu kamu ragu ke aku, apakah aku baik atau sama saja, tapi aku saranin kamu lebih baik menunggu teman kamu disini saja. Toh teman kamu pasti keluarnya lewat sini juga. Aku nggak akan mengganggu kamu dengan perdebatan atau obrolan lebih panjang lagi, aku akan cari tempat duduk yang berbeda dan menjaga kamu kalau-kalau cowok playboy itu datang lagi setidaknya sampai teman kamu datang". Alfa masih memikirkan kata-kata laki-laki aneh itu sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika ia tiba-tiba melihat seorang nenek sedang terduduk karena terkilir kakinya. Nenek itu juga terlihat berusaha menyelematkan dagangannya agar tidak jatuh karena dirinya yang kehilangan keseimbangan itu.
"Lihat deh, sepertinya nenek yang disana itu perlu bantuan. Ayo kita bantu," ujar Alfa sembari menunjuk tempat nenek yang sedang terduduk itu, memberitahu sekaligus mengajak laki-laki didekatnya.
"Oh iya, ayo kita kesana...," jawab laki-laki itu singkat. Tanpa banyak pertimbangan mereka berdua pun menghampiri nenek itu. "Nek, kaki Nenek terkilir ya?" tanya Alfa. Nenek itu menatap Alfa dan laki-laki disebelahnya itu bergantian kemudian mengangguk pelan. "Iya, Nak.. tiba-tiba saja kaki Nenek terkilir, makanya jadi hilang keseimbangan buat berdiri. Alhamdulillah dagangan Nenek selamat dan tidak terjatuh ke tanah," jawab nenek itu dengan senyum ramahnya.
"Rumah Nenek masih jauh? Biar kami bantu antar Nenek sampai ke rumah," ujar Varrho menimpali yang disertai anggukan kepala Alfa. "Dekat kok, Nak ... Ini makanya Nenek mau pulang saja," jawab nenek itu lagi masih tetap tersenyum. "Ya sudah, biar aku bantu Nenek jalan ya sampai ke rumah dan biar teman aku yang membantu membawa dagangan Nenek ya," sambung Alfa disertai anggukan kepala Varrho. Akhirnya mereka pun membantu nenek itu pulang ke rumahnya. Sekitar 20 menit kemudian, akhirnya mereka sampai di rumah nenek tersebut, sebuah rumah petak yang sangat sederhana. "Nenek tinggal sendiri disini sampai Nenek masih berjualan keliling begini?" tanya Varrho. "Nggak Nak, Nenek tinggal dengan cucu Nenek. Kebetulan dia sedang bekerja dan belum pulang. Nenek jualan kue keliling biar ada kegiatan dan membantu menambah penghasilan saja. Oh iya, anak berdua, apa mau minum? Biar Nenek ambilkan," ujar nenek tersebut ke Alfa dan Varrho.
"Tidak usah repot-repot Nek, terima kasih. Kebetulan kami sudah minum juga tadi," jawab Varrho diikuti dengan anggukan Alfa yang tersenyum bergantian ke nenek itu dan Varrho.
"Terima kasih banyak sekali lagi karena sudah bersedia membantu Nenek pulang ke rumah ya, Nak. Kalian orang baik. Nenek doakan semoga hubungan kalian awet ya, Nak," sambung nenek itu lagi. Varrho dan Alfa saling berpandangan satu sama lain dengan ekspresi bengong dan sedikit kaget ketika kemudian Alfa menjelaskan kepada nenek tersebut. "Kami bukan pasangan kok, Nek. Kami cuma berteman, bahkan baru kenal," jelas Alfa sambil tersenyum dan tertawa kecil yang diikuti dengan anggukan kepala dari Varrho yang ikutan tertawa geli juga. Kini ganti nenek itu yang sedikit bengong dan tersipu malu. "Maaf, Nenek kira kalian itu pacaran. Maaf ya Nak kalau Nenek sok tahu". Alfa dan Varrho pun menggelengkan kepala sambil tertawa kecil mengisyaratkan bahwa mereka tidak mempermasalahkan ketidaktahuan nenek tersebut.
Varrho memberi isyarat ke Alfa untuk berpamitan ke nenek tersebut ketika pandangan Alfa kemudian tertuju pada kue jualan nenek tersebut yang masih banyak tersisa. "Wah kuenya masih banyak yang tersisa ya, Nek padahal kaki Nenek terkilir dan tidak bisa lanjut keliling buat jualan," ujar Alfa menunjukkan raut bersimpati.
"Tidak apa-apa, Nak. Namanya juga jualan Nak, kadang terjual habis kadang tersisa banyak. Itu wajar kok, Nak. Oh iya kalau kalian berdua mau, ayo silahkan dibawa kuenya. Insyaa Allah bersih kok Nak, tidak ada yang terjatuh ke tanah tadi".
"Makasih banyak sebelumnya, Nek. Maksud aku, kalau Nenek mengizinkan, aku sama teman aku mau bantu Nenek buat menjualkan kue ini keliling di dekat taman situ. Itu juga kalau Nenek percaya sama kami," tawar Alfa sambil tersenyum lebar. Alfa memandang sejenak ke laki-laki di sebelahnya itu yang juga sedang memandangnya sambil mengangguk setuju.
"Oh tidak usah repot-repot, Nak. Nenek sudah berterima kasih sekali karena dibantu pulang ke rumah. Kalau soal sisa kue ini, bisa dimakan sendiri atau dibawa anak berdua kalau memang mau".
"Tidak apa-apa, kok Nek. Kebetulan kita sedang tidak ada kerjaan juga. Daripada kita melakukan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya, lebih baik kita membantu menjualkan kue Nenek di taman dekat sini," sambung Alfa tersenyum lebar. Nenek itu kembali tersenyum melihat Alfa dan Varrho yang bersemangat membantunya.
"Memangnya kalian tidak malu berjualan keliling soalnya kalau Nenek lihat dari pakaian dan muka kalian, kalian itu berpenampilan rapi dan sepertinya tidak pernah berjualan apalagi jualan keliling seperti Nenek. Iya kan?" tanya nenek itu lagi.
"Nenek tenang saja, kami akan berusaha sebisa kami menjualkan kue-kue milik Nenek. Iya sih, jujur ini memang pengalaman aku berjualan keliling Nek dan tidak terbayang sebelumnya. Tapi kan aku berjualannya berdua, jadi kalaupun malu, malunya dibagi dua sama dia," timpal Varrho sambil nyengir dan menunjukkan jarinya ke Alfa yang ikut nyengir juga. "Lagipula sebenarnya tidak seharusnya kami malu, Nek. Ini cuma masalah keberanian saja, kami mungkin kurang berani saja," ujar Varrho lagi sambil tertawa kecil menertawakan dirinya sendiri.
Melihat niat tulus keduanya pun, membuat Nenek itu akhirnya mengizinkan mereka untuk membantunya berjualan. "Berjualannya di taman di dekat sini saja, Nak. Kalau pun tidak habis, tidak usah dipaksa ditunggu sampai habis. Nenek sudah sangat berterima kasih untuk kebaikan hati kalian. Nenek senang melihat kalian berdua, Nenek doakan kalian berjodoh ya soalnya kalian sepertinya saling melengkapi satu sama lain dalam kebaikan, Nak," ujar Nenek itu dengan tulus.
"Berjodoh?" Varrho dan Alfa kembali saling memandangi satu sama lain dengan aneh. Nenek tersebut yang melihat keduanya bengong satu sama lain pun tidak bisa menahan tertawanya. "Berjodoh itu tidak selalu berjodoh menjadi pasangan, Nak. Menjadi sahabat atau teman dekat pun namanya berjodoh. Maksud Nenek barusan berjodoh agar bisa saling melengkapi untuk melakukan hal-hal baik". Kini giliran Alfa dan Varrho yang tertawa kecil memandang ke nenek tersebut. Mereka berdua malu karena sudah berpikiran aneh-aneh sebelumnya.
Akhirnya Varrho dan Alfa pun memulai pengalaman pertama mereka berjualan kue keliling demi sebuah misi yang mereka sepakati sebagai misi kemanusiaan membantu Nenek yang terkilir. Alfa pun mengirim pesan ke Beta bahwa dia izin tidak bisa pulang bersama Beta karena ada keperluan mendadak. Secara singkat ia ceritakan misi itu ke Beta. Meski dengan hati yang kadang masih dihinggapi malu dan takut, Alfa dan Varrho saling menopang satu sama lain untuk berani menawarkan kue itu ke pengunjung dan orang yang ada di sekitar taman sore itu. Mereka berusaha menyemangati satu sama lain dengan canda tawa dan saling mengingatkan niat mereka melakukan misi sederhana itu.
Waktu sudah berjalan 1 jam sejak mereka berjualan keliling taman, ketika hari makin senja. "Waaah, langit menjelang senjanya terlihat indah sekali," ujar Alfa memandang ke arah langit yang memerah saat itu. "Btw, kue Nenek tinggal berapa? Syukurlah semesta mendukung niat kita, pengunjung taman sore ini rame dan baik baaa". "Ssssst, jangan bicara dulu sejenak, ayo kita nikmati keindahan menjelang senja sore ini," Alfa memotong pertanyaan laki-laki yang berdiri disebelahnya itu. Varrho pun memandang ke perempuan aneh itu yang matanya masih tidak lepas memandang ke arah matahari yang perlahan terbenam kemudian Varrho pun ikut memandang ke arah yang sama. "Kamu sangat suka senja ya?" tanya Varrho ke Alfa. "Sukaaaa sekali, saat-saat matahari terbenam dan hari mulai senja itu sangat indah, sangat menenangkan. Memang kamu tidak suka senja?" tanya Alfa sambil memandang ke arah laki-laki di sebelahnya itu. Varrho tersenyum sejenak ke perempuan yang ada disebelahnya itu kemudian mereka balik memandang ke arah matahari yang mulai terbenam. "Aku suka matahari dan aku juga suka hari yang mulai senja seperti sore ini. Alam seperti sedang tersenyum kepada kita dengan teduhnya, sejenak membuat kita melupakan bahwa hidup itu tidak selalu teduh melainkan seperti gado-gado. Akan tetapi, menikmati hari yang mulai senja ini juga membuat aku sedih karena harus melihat matahari yang perlahan menghilang. Selamat tinggal matahari, " urai Varrho. Mata mereka tetap fokus memandangi matahari yang nyaris menghilang itu. "Mungkin lebih tepatnya, sampai berjumpa lagi esok pagi, matahari. Kalau kita renungi lagi, matahari terbenam setiap sore hari untuk memberikan kesempatan buat bintang malam berbagi sinar ke kita. Alam memberikan banyak sekali hikmah yang bisa dipelajari, salah satunya tentang berbagi," sambung Alfa sambil tertawa ceria. Varrho memandangi perempuan disebelahnya itu lagi, ikut larut dalam tawa sambil mengangguk-angguk setuju.
"Btw, kembali ke misi kemanusiaan kita hari ini, kue yang tersisa enam biji lagi," ujar Alfa sambil menghitung sisa kue di tempatnya.
"Sebentar lagi adzan maghrib tiba, lebih baik kita sholat maghrib dulu yuk. Terserah kalau memang mau lanjut jualan lagi setelahnya. Tapi kalau ide aku sih, sisa kue tadi mending aku beli saja semuanya, lagipula berjualan kue malam-malam juga kurang efektif sepertinya. Nanti 3 bijinya aku ambil, 3 lainnya kamu yang bawa ya. Soalnya kalau kebanyakan, takut tidak ada yang makan di rumahku," ujar Varrho ke arah Alfa.
"Oke, aku sepakat dengan ide kamu, tapi 3 kue yang jatah aku tadi biar aku sendiri yang bayar. Memang kamu pikir aku tidak punya uang buat beli kue itu sampai harus kamu yang bayar?" goda Alfa dengan tersenyum sinis.
"Hmmm, mulai lagi deh berprasangka nggak baiknya...," jawab Varrho sambil sedikit manyun, "aku tidak ada niat sok-sokan kali...".
Alfa pun tertawa kecil sambil menatap laki-laki di hadapannya itu. "Aku cuma bercanda, tapi memang benar aku ingin bayar sendiri. Kan misi kemanusiaan kali ini misi kita berdua, jadi segala sesuatu ditanggung berdua termasuk sisa kue ini". Ucapan Alfa itu pun membuat Varrho ikut tertawa bersama Alfa.
Alfa dan Varrho pun bergegas menuju musolla yang ada di dekat taman. Secara terpisah mereka pun melakukan sholat Maghribnya. Alfa sudah selesai menjalankan sholat maghribnya ketika ia melihat Varrho masih sedang sholat berjamaah bersama beberapa laki-laki lainnya. Alfa pun menunggu Varrho di teras luar musolla sambil membungkuskan 3 kue jatah Varrho dan 3 kue sisanya buat dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, Varrho terlihat menghampiri Alfa dan Alfa pun menyerahkan plastik berisi kue jatah Varrho. "Tiga kali dua ribu per kue, jadinya total enam ribu," ujar Alfa ke laki-laki yang berdiri di hadapannya itu. Varrho tersenyum kemudian menyerahkan uang enam ribu kepada Alfa. "Alhamdulillah, akhirnya misi kemanusiaan membantu menjualkan kue ini pun selesai," ucap Alfa puas diikuti dengan raut puas di wajah Varrho, "total kue yang berhasil kita jual sebanyak 34 kue, jadi uang yang terkumpul Rp 68.000,-".
"Biar aku genapkan jadi Rp 100.000,- saja", ujar Varrho sambil bersiap mengeluarkan uang dari dompetnya ketika perempuan di hadapannya itu mencegahnya dan menggelengkan kepalanya pelan. "Nenek tadi bukan orang yang suka dikasihani sepertinya, jadi mungkin jauh lebih baik kalau kita biarkan saja uang itu sebagaimana total harga kue yang terjual," saran Alfa sambil memandang ke arah Varrho.
Varrho terdiam sejenak memikirkan ucapan perempuan yang sedang memandangnya itu lalu akhirnya mengangguk setuju.
"Kita doakan saja, rezeki halal ini meski mungkin jumlahnya tidak seberapa tapi bisa membawa berkah buat nenek tadi dan cucunya," sambung Alfa kali ini tersenyum lebih lebar membuat Varrho pun tertular untuk ikut tersenyum lebih lebar. Tanpa menunda lebih lama lagi, akhirnya mereka berdua pun menyerahkan uang hasil penjualan kue tersebut ke rumah nenek yang terkilir tadi sekaligus berpamitan pulang. Mereka pun pulang dengan ucapan terima kasih yang tulus dari nenek tersebut dan banyak doa baik dari nenek tersebut.
Varrho dan Alfa baru keluar beberapa meter dari rumah nenek tersebut, ketika Varrho menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Alfa. "Kita makan yuk, lapar banget setelah berkeliling tadi," ajak Varrho disambut dengan anggukan setuju dari Alfa yang juga merasakan hal yang sama. Entah kenapa, meski laki-laki disebelahnya itu baru dikenalnya dan belum sepenuhnya dipercayainya sebagai laki-laki baik, tapi Alfa merasa aman bersamanya, terutama setelah misi kemanusiaan yang mereka lakukan berdua.
"Bagaimana kalau kita makan di kafe yang tadi saja," ujar Varrho menawarkan pilihan.
"Kita makan lalapan di warung tenda di pinggiran jalan dekat taman situ saja, tadi aku sempat mengintip saat kita menjajakan kue, lumayan bersih kok," jawab Alfa menanggapi.
"Memang kamu tidak apa-apa makan di pinggir jalan?" tanya Varrho lagi
"Memang ada yang salah dan aneh ya kalau makan di pinggir jalan? Perasaan yang aneh itu kalau makannya di tengah jalan kali. Soalnya bakal mengganggu pengguna jalan dan diteriakin orang banyak," jawab Alfa lagi sambil tertawa kecil. Varrho pun tertawa lepas karena geli mendengar jawaban perempuan di hadapannya yang tidak pernah ia sangka bakal seaneh itu.
Akhirnya mereka pun makan lalapan di warung tenda di dekat taman itu. Mereka pun memilih duduk di lesehan beratap langit. "Langit malam ini penuh bintang-bintang, indah sekali," ucap Varrho sambil menatap langit dan bintang-bintang sambil tersenyum. Alfa memandangi laki-laki yang duduk di hadapannya itu kemudian ia pun ikut menatap ke arah bintang-bintang dan tersenyum. "Kamu suka bintang?" tanya Varrho kemudian ganti menoleh ke Alfa yang kemudian dijawab Alfa dengan menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Aku ingin menjadi seperti bintang. Bintang itu selalu bersinar apapun yang terjadi, aku ingin seperti itu. Aku ingin bersinar seperti bintang, menjadi orang sukses dalam kehidupan, berhasil mewujudkan mimpi-mimpi aku, dan bisa membahagiakan orang-orang yang aku sayangi," ujar Varrho lagi kembali menatap bintang-bintang. Alfa memandangi Varrho dengan tersenyum, "kamu benar-benar pecinta bintang ya. Kamu suka matahari alias si bintang di siang hari dan juga bintang-bintang malam". Varrho balas memandang dan tersenyum ke Alfa sambil mengangguk. Varrho kemudian kembali menatap bintang-bintang. "Kamu benar, aku suka sekali bintang dari kecil. Terlebih setelah meninggalnya papa aku beberapa tahun lalu, aku makin sering bercanda dengan bintang-bintang dan makin menyukainya. Dia seperti teman yang tersenyum dan memberi semangat terlebih saat aku teringat almarhum papa".
Alfa menatap laki-laki di hadapannya lama, ada simpati mendalam dalam ekspresinya kepada laki-laki itu, ketika tiba-tiba Varrho memandang kearahnya dan tertegun sejenak melihat Alfa yang sedang menatapnya dan mata mereka bertemu dalam diam sejenak. Varrho tersenyum lebar dan Alfa membalasnya dengan senyuman lebih lebar. "Selama kamu tetap mendoakan beliau, aku yakin papa kamu akan selalu hidup di hati kamu dan bintang-bintang akan selalu menemani kamu tersenyum bersama rasa rindu itu," ujar Alfa berusaha memberikan senyuman yang lebih manis untuk menyemangati laki-laki di hadapannya itu yang diikuti dengan anggukan penuh semangat dari Varrho.
"Kalau kamu sendiri kenapa suka bintang?" ujar Varrho balik bertanya sambil tersenyum ke perempuan yang ada di hadapannya itu. Alfa tersenyum kemudian kembali menatap ke arah bintang-bintang. "Seperti yang kamu bilang, bintang-bintang di langit itu meneduhkan mata dan menenangkan hati. Bintang-bintang dengan sinarnya itu seolah berbagi senyuman kepada kita yang melihatnya. Dan aku pun ingin seperti bintang yang bersinar, aku ingin menjadi seseorang yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan aku, ... seperti bintang". Kini balik Varrho yang menatap agak lama perempuan di hadapannya yang sedang asyik tersenyum bersama bintang-bintang itu. Ada kagum yang tersirat dalam tatapan Varrho itu. Varrho merasa nyaman berada di dekat perempuan itu.
"Aku benar-benar tidak menyangka kita bakal akur, duduk bersama, dan berbagi cerita seperti sekarang setelah apa yang terjadi diantara kita tadi," sambung Varrho tersenyum ke arah Alfa. Alfa pun balas tertawa kecil sambil mengangguk, "Misi kemanusiaan tadi sepertinya menularkan hal-hal positif buat kita ya".
Keduanya pun tertawa lepas bersama mengingat semua yang terjadi hari ini sejak mereka mulai berinteraksi. "Oh ya baru ingat, perkenalkan nama aku Varrho," sambung Varrho baru teringat bahwa mereka belum saling tahu nama masing-masing. Varrho menjulurkan tangannya ke perempuan di hadapannya itu sambil tersenyum hangat. Alfa tersenyum sambil menjabat tangan Varrho, "Aku Alfa..., senang berkenalan dengan kamu...". "Semoga ini menjadi awal yang baik buat kita, seperti doa nenek tadi, semoga kita berjodoh untuk berbagi banyak kebaikan satu sama lain, Alfa...".

Alfa larut dalam senyumannya mengingat pertemuan awalnya dengan Varrho ketika terdengar sebuah panggilan masuk di handphonenya dari Varrho.
"Assalaamualaikum, pecinta bintang...pasti kesiangan bangun, ya," ucap Alfa memulai percakapan dengan semangat dan tersenyum.
"Waalaikumsalam wr wb, Fa. Pecinta bintang??? Hmmmm, maaaaaaaf banget, iya nih aku kesiangan. Lagi-lagi aku tidak menepati janji aku. Maaf ya, Fa".
"Aku sudah menduga kamu kesiangan, Rho soalnya kamu pulang larut banget pastinya".
Varrho terdiam sejenak.
"Ya sudah, Rho. Sekarang lebih baik kamu segera siap-siap, bukannya kamu bilang hari ini bakal lembur dari pagi sampai malam," sambung Alfa lagi dengan nada ceria.
"Aku benar-benar minta maaf, Fa. Aku sadar, aku benar-benar sahabat yang makin payah buat kamu akhir-akhir ini. Maafin aku ya, Fa. Insyaa Allah besok pagi aku akan berusaha menepati janji aku ke kamu, Fa," terdengar suara Varrho diliputi rasa bersalah ke Alfa.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, Rho. Aku bisa mengerti kok. Aku memang ingin bisa menghabiskan pagi, senja, dan malam sejenak sebelum hari minggu ini bersama kamu, tapi bukan berarti harus dan memaksakan diri. Soal besok pagi, nanti malam kamu kabari aku lagi ya, Rho. Kalau kamu kecapekan hari ini karena habis lembur, kita bisa melakukannya lain kali insyaa Allah, Rho".
Lagi-lagi Varrho terdiam. "Aku tidak ingin mengecewakan kamu lagi, Fa," ujar Varrho dalam hati.
"Rho...Varrho... halo pecinta bintang?" panggil Alfa lagi. Entah kenapa Alfa seolah bisa merasakan rasa bersalah yang sedang dirasakan Varrho ke Alfa. Diam Varrho seolah mengatakan hal itu.
"Aku harap kamu tidak perlu merasa bersalah, Rho. Mungkin memang situasi dan kondisi diantara kita membuat kita tidak bisa sesering dulu menghabiskan waktu bersama".
Lagi-lagi terdengar desahan nafas Varrho, "sekali lagi aku minta maaf, Fa. Semoga besok aku bisa menunaikan janji aku ke kamu. Ya sudah, aku siap-siap kerja dulu, ya. Semoga hari kamu menyenangkan Alfa dan semoga kesalahan aku hari ini tidak mengurangi rasa bahagia di hati kamu ya," sambung Varrho.
"Tenang saja, Rho. Aku baik-baik saja kok. Makasih ya, Rho, have a great day for you too. Tetap jaga kesehatan dan jangan lupa makan ya sesibuk apapun kamu, pecinta bintang," lanjut Ara sambil tertawa kecil dan penuh semangat.
"Makasih banyak, sesama pecinta bintang. Jangan pernah lelah buat berbagi sinar dengan aku ya, Fa... ".
Telepon itu pun ditutup Alfa dan Varrho dengan berbagi gelak tawa.
Alfa memandangi matahari yang mulai menghiasi hari di ujung timur. Alfa tidak memungkiri terselip sedikit kecewa karena ia kembali gagal mewujudkan kebersamaannya bersama Varrho di pagi itu. Namun Alfa percaya Varrho tidak berniat mengecewakannya. Lagi pula kembali mengingat pertama kali mereka berdua berkenalan pagi itu, membuat Alfa kembali lebih yakin bahwa persahabatannya dengan Varrho begitu berharga. Dan Alfa semakin yakin untuk berusaha terus memperjuangkannya.

Bersambung

Selasa, 29 September 2015

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku - Part Khusus Peri Baik dan Kurcaci Raksasa : Kita Merajut Sederhana (1)

Sebelumnya : Part 8 Superman dan Peri Baik yang Terlupa

Kita Merajut Sederhana (1)
Ara sedang asyik menikmati waktu bebasnya di hari Kamis itu untuk mengerjakan tugas kuliahnya ketika sebuah notifikasi masuk di i-phonenya dari Kurcaci Raksasa. 
"Apa kabar, Ra? Lama juga kita nggak pernah ngobrol apalagi bertemu ya".
"Alhamdulillaah kabar aku baik, Riz. Bagaimana kabar Superman dengan super duper kesibukannya? Semoga selalu baik, happy, dan sehat selalu ya," balas Ara dengan emotion tersenyum dan simbol semangat.
Lama tidak ada jawaban dari Rizzar sempat membuat Ara menjadi bertanya-tanya apakah dia salah bicara atau mungkin Rizzar sedang super sibuk sehingga chat pun mencuri-curi waktu. Apalagi chat itu hanya sekedar ke Ara, seseorang yang bukan siapa-siapa di dunia nyata Rizzar. 
Ara tersenyum meletakkan i-phonenya dan melanjutkan tugas kuliahnya lagi. Buat Ara, kisah Ara dan Rizzar adalah kisah yang tidak akan pernah mudah dipahami oleh orang lain. Bahkan sebenarnya kisah itu pun sulit untuk dipahami oleh Rizzar dan Ara pada awalnya, tentang keterhubungan mereka yang bahkan sulit dijelaskan dengan logika.
 
Hubungan Ara dan Riza pun tetap baik sejak Ara dan Rizzar makin memantapkan berada di dua kutub yang berbeda untuk sebuah kata "move on" dari keterhubungan yang sebenarnya tidak pernah diundang tapi selalu datang menghampiri.
 
Waktu berlalu satu jam kemudian, ketika ada balasan dari Kurcaci Raksasa.
"Boleh kita bertemu sejenak, Ra? Sepertinya aku perlu Peri Baik hari ini".
Ara melihati kalimat dari Rizzar itu. Sudah lama mereka tidak pernah bertemu lagi. Rizzar semakin bersinar dalam kariernya dan itu membuat Ara yang hanya bisa melihatnya dari kejauhan semakin tenang dan ikut senang. Ara berharap keterhubungan diantara mereka pun semakin menghilang, terutama tidak lagi mengganggu Rizzar dan kehidupannya. Namun hari ini, pesan Rizzar kepadanya itu entah kenapa tiba-tiba membuat perasaan Ara menjadi tidak tenang.
"Aku kebetulan free hari ini, Kurcaci Raksasa. Kita mau bertemu jam berapa dan dimana, semua terserah kamu. Insyaa Allah aku bisa saja," ketik Ara.
"Nanti sepulang dari lokasi syuting, aku kabari kamu lagi, Peri. Terima kasih". Kalimat Rizzar itupun mengakhiri dialog mereka. Ara kembali melihati percakapan singkat antara dirinya dan Rizzar, entah kenapa ada yang tidak biasa Ara rasakan di hatinya. "Semoga kamu baik-baik saja, Kurcaci Raksasa yang menjelma menjadi Superman".
Waktu berlalu dan malam pun menjelang, jam dinding di kamar Ara menunjukkan pukul 09.00 malam ketika i-phone Ara berbunyi. Sebuah panggilan atas nama Kurcaci Raksasa berkedip-kedip di layarnya. Ara hendak menutup gordain jendela kamarnya dan baru akan mengangkat panggilan itu ketika ia melihat mobil Rizzar terparkir di depan rumahnya, berseberangan di luar pagar rumah Ara. Ara bergegas menghampiri Rizzar dan sengaja tidak mengangkat panggilan dari Rizzar itu ketika beberapa menit kemudian Ara melihat sosok Rizzar yang membuat hati Ara tiba-tiba menjadi resah. Ara seperti melihat sosok yang asing di depan matanya. Entah apa yang berbeda dengan Kurcaci Raksasa. Sementara itu, Rizzar belum juga menyadari Ara yang mendekat ke arah mobilnya dan tetap fokus menelpon Ara sambil bersandar di bantalan tempat duduknya.
 
"Assalaamuaikum, selamat malam Superman," ujar Ara mengucapkan salam sambil mengetuk pelan kaca mobil Rizzar, membuat Rizzar sedikit kaget akannya. Rizzar menurunkan kaca mobil di sebelah tempat duduknya, sejenak terdiam memandangi Ara di depan matanya yang masih tetap menawarkan senyuman tulusnya seperti biasa. "Peri baik... ajari hati aku tersenyum lagi..," ucap Rizzar didalam hatinya.
 
Ara pun balas memandangi Rizzar sejenak. "Kok berhenti disini, Riz. Ayo kita ngobrolnya di rumah aku saja," ujar Ara lagi menyadarkan Rizzar dari diamnya dan membuatnya kemudian tersenyum. Dimata Ara, sosok Rizzar yang ada dihadapannya ini tetap terlihat tampan dan makin dewasa, meski entah kenapa hati Ara merasa ada yang tidak hidup dibalik ekspresi Rizzar itu. Ada letih yang tersirat meski berusaha dibalut sekuat tenaga oleh laki-laki yang lama tidak bersua langsung dengannya lagi yang kini ada di hadapannya itu.
"Temani aku ngobrol disini saja ya, Peri Baik. Susah payah kita sudah berusaha saling menjaga jarak untuk menghilangkan keterhubungan kita beberapa waktu ini untuk kebaikan, aku tidak ingin merusaknya, aku tidak ingin ada yang salah paham lagi," jelas Rizzar.
Ara kembali tersenyum, kali ini lebih lebar sembari mengangguk. Kalimat Rizzar mengingatkan dirinya bahwa sudah banyak hal yang mereka sepakati dan berhasil lewati beberapa waktu ini.
 
"Ayo masuk Ra, duduk di sebelah aku," sambung Rizzar. 
Lima menit kemudian, Ara sudah duduk di dalam mobil Rizzar. Kembali hening sejenak saat itu, hanya terdengar lirih suara musik kesukaan Rizzar mengalun di antara keduanya. Rizzar memegangi setir mobilnya sambil menunduk sementara Ara lagi-lagi mengamati Rizzar yang terlihat tidak biasa itu. Kembali duduk dan memandang lebih dekat Rizzar membuat rasa kangen yang masih tersimpan di salah satu ruang hatinya itu seolah terbayarkan. Meski ada rasa tidak tenang yang Ara rasakan tentang Rizzar di sisi lainnya.
 
"Ada apa, Superman? Tumben kamu ingin bertemu setelah sekian lama kita berhasil berjauhan di kutub yang berbeda," ujar Ara memecah sunyi diantara mereka disambut Rizzar yang balas menatap kearahnya. Ara tertawa kecil menampakkan giginya seolah ingin menghibur Rizzar. "Kamu pasti capek banget ya Riz dengan kesibukan kamu yang semakin menggila beberapa waktu akhir ini, harga yang sepadan untuk ketenaran yang makin melejit yang kamu peroleh. Tapi disisi lain, aku ikut senang melihat kesuksesan kamu, kamu semakin menjelma menjadi Superman dan aku ikut bangga dengan kerja keras kamu," sambung Ara lagi dibalas Rizzar dengan senyuman. Ara berusaha menyelami apa yang dirasakan laki-laki yang duduk disebelahnya ini yang kali ini lebih banyak diam. "Pasti semakin banyak kebahagiaan yang kamu rasakan akhir-akhir ini kan Riz seiring karier kamu yang semakin melejit dan pergaulan kamu yang semakin luas?" ujar Ara lagi.
"Bahagia?" tanya Rizzar seolah bicara bukan hanya ke Ara tapi lebih bertanya ke dirinya sendiri.
 
"Aku lelah jadi Superman, aku ingin menjadi Kurcaci Raksasa lagi, Peri Baik. Aku ingin kita bisa berbagi tawa lagi dengan sederhana seperti dulu, Peri Baik".
Ara menatap lekat Rizzar, dia seolah ingin menjadi pendengar yang baik bagi Rizzar yang sepertinya sedang mememerlukan teman untuk mendengarkannya.
"Kamu benar Ra, aku senang bahwa kerja keras aku berbuah kesuksesan yang semakin aku rasakan, satu dari doa-doa dan mimpi-mimpi aku terkabul perlahan-lahan. Aku dikelilingi makin banyak fans yang menggilai aku, aku makin banyak tertawa dengan banyak orang yang aku temui di sekitar aku, termasuk teman-teman baru di kerjaan aku. Superman sepertinya semakin mendapatkan tempat untuk unjuk diri sebagai super hero," lanjut Rizzar.
Ara tersenyum lembut tetap menyimak Rizzar, tanpa ingin memotong sedikitpun. Ia tahu Rizzar sedang perlu didengar, bukan sebagai Superman tapi sebagai Kurcaci Raksasa yang sedang bergumul dengan banyak rasa di hatinya.
 
Tiba-tiba Rizzar tertawa keras untuk beberapa saat, "Aku semakin sering tertawa seperti ini, Peri Baik. Aku berusaha membagi lebih banyak tawa untuk orang lain semampu aku, tapi entah kenapa, hati aku justru semakin enggan untuk ikut tertawa. Dia hanya diam menonton aku yang tertawa. Aku tidak bisa merasakan apa-apa, Ra. Dulu, Peri Baik suka bilang kalau kita bersyukur dan membagi bahagia kepada orang lain, kita akan merasa bahagia, iya kan? Tapi kenapa sekarang aku tidak bisa merasakan apa-apa? Padahal aku bersyukur dengan semua aku miliki dan capai saat ini. Aku merasa hilang arah, Peri". Kalimat Rizzar terhenti, sejenak ia memandangi Ara yang sedang mengamatinya dengan seksama.
 
"Aku terlalu cengeng ya, Ra? Tapi jujur aku ngerasa kehilangan arah di titik ini. Padahal aku sudah berjanji tidak ingin mengganggu Peri lagi apalagi mengusik perasaanya lagi, aku sudah bertekad bahwa Superman tidak akan kembali lagi menjadi Kurcaci, tapi...," ucapan Rizzar terhenti saat Ara justru tersenyum makin lebar kearahnya sambil menggelengkan kepalanya.
"Mungkin kamu cuma lelah, Riz. Superman juga manusia, wajar jika ada kalanya dia lelah. Yang harus kamu lakukan mungkin berhenti sejenak dan menyenangkan diri kamu sendiri".
"Apa Peri Baik sudah enggan bercanda dengan Kurcaci sejak Kurcaci meninggalkannya dan tidak lagi menoleh padanya?" Rizzar terdiam sejenak dan mengalihkan pandangannya kedepan, mengamati hujan yang mulai turun rintik malam itu. Rizzar kemudian memejamkan matanya sejenak sambil bersandar di tempat duduknya. Sementara Ara hanya membiarkan matanya mengikuti gerakan Rizzar. Rizzar, sosok di depannya ini selalu terlihat bahagia di beberapa kali kesempatan Ara menontonnya di layar televisi. Ara semakin sering melihat Rizzar dalam perannya di layar kaca. Dari social media, Rizzar juga terlihat semakin menikmati kehidupannya. Ara tidak pernah menyangka Rizzar ada di hadapannya saat ini justru dengan kondisi yang berketerbalikan 180 derajat dari apa yang ia lihat dari jauh.
Sejenak Ara hanya mendengar suara nafas Rizzar yang ia rasakan berat, seolah ada hal yang Rizzar tahan disana.
 
"Aku tidak bisa berhenti, Ra... karena saat aku berhenti justru hati aku makin sunyi dan aku merasa makin tidak memiliki apa-apa. Aku cuma ingin hati aku bisa ikut tersenyum. Aku merasa sendirian, Ra," ucap Rizzar lirih dengan masih memejamkan matanya. Ara tetap menatap ke arah Rizzar. "Peri selalu menunggu Kurcaci menoleh lagi kepadanya dan ingin bercanda kembali dengannya, Riz," ujar Ara dalam hati. Ara memutuskan tidak mengucapkannya ke Rizzar saat itu. Ara sadar Rizzar perlu seseorang untuk membantu membuat hatinya mau ikut tersenyum. Kata sendiri yang dirasakan Rizzar hanyalah sebuah titik jenuh yang Rizzar rasakan karena kesibukannya dan hatinya yang tetap saja tidak mau dibujuk untuk tersenyum. Ara memutar otaknya sejenak mencari cara sederhana untuk membantu Rizzar ketika kemudian ia tersenyum makin lebar dan kemudian mencubit pipi Rizzar yang masih terpejam itu agak keras.
"Aw...," Rizzar spontan menoleh kearah Ara dengan ekspresi kaget dan bertanya-tanya, "kenapa kamu cubit pipi aku, Ra? Sakit tahu...". Ara tertawa kecil sejenak. "Habisnya, mata Kurcaci Raksasa terpejam sih, kan Peri jadi khawatir, takut Kurcaci kerasukan makhluk halus. Apalagi sekarang malam Jumat. Makanya, Peri cubit deh he he. Maaf ya, Kurcaci".
Rizzar mengernyitkan dahinya kemudian tersenyum dan setengah tertawa. "Yeee, orang kerasukan itu kan karena pikirannya kosong, Peri Baik. Lagian juga biasanya orang-orang yang kerasukan itu jarang dalam kondisi terpejam, kebanyakan dalam kondisi mata terbuka tapi kosong".Ara ikut mengernyitkan dahinya seolah berpikir sambil tertawa kearah Rizzar. "Emang iya, Kurcaci Raksasa memangnya tahu dari mana?"
"Dari beberapa yang kerasukan di TV, pasti sebelumnya lagi melek, Peri Baik," timpal Rizzar sambil ikut tertawa lebih lebar melihat ekspresi Ara yang lucu di hadapannya.
 
"Bukan apa-apa sih, Kurcaci. Peri takut membayangkan Kurcaci Raksasa kerasukan, apalagi yang merasukinya jin raksasa, waaah Peri Baik harus menghadapi dua raksasa dong," sambung Ara makin larut dalam tawanya. Rizzar pun memanyunkan bibirnya sambil menahan tawanya. "Harusnya kalau Peri Baik mau membangunkan Kurcaci pake cara yang  lebih lembut dong, kan Kurcaci lagi galau, jangan dicubit pipinya seperti tadi, melainkan hmmmm dicium pipinya misalnya," sambung Rizzar sambil memainkan alisnya keatas menggoda Ara masih sambil tertawa. Ara bergantian memanyunkan bibirnya sambil menatap serius ke Rizzar. "Hmmm, mulai lagi nakalnya seperti dulu. Kita bukan muhrim, Kurcaci, jadi mana boleh main cium seenaknya. Hmmm berarti Kurcaci salah orang buat diajak ngobrol sepertinya malam ini. Mungkin harusnya Kurcaci menemui putri yang disukainya. Sebaiknya Peri turun saja deh," ujar Ara terlihat bersiap hendak keluar dari mobil Rizzar ketika Rizzar menahannya. "Jangan pergi, Peri Baik. Kurcaci nggak butuh dicium kok, Kurcaci cuma pingin ditemani sama Peri Baik saja. Kurcaci cuma kangen bercanda agak nakal dan menggoda Peri seperti dulu saja". Ara memandang Rizzar, kali ini dengan tersenyum lebar membuat Rizzar jadi bertanya-tanya. "Satu sama buat aku dan kamu, Kurcaci. Aku juga cuma bercanda pura-pura ngambek, he he," ujar Ara sambil tertawa makin lepas, membuat Rizzar ikutan tertawa lepas. "Hmmm Peri Baik ternyata sekarang tertular nakalnya Kurcaci juga ya, tapi jujur aku senang banget mendengar jawaban kamu, Peri. Jawaban yang selalu dan masih sama dengan jawaban Peri ke Kurcaci dulu yang selalu berhasil membuat Kurcaci tersenyum ha ha". Ara tiba-tiba berhenti tertawa dan tersenyum kearah Rizzar membuat Rizzar ikut berhenti tertawa.
"Kenapa, Peri? Aku merusak move on dari keterhubungan kita dengan mengingat kembali hal-hal yang sudah lewat, ya?" Ara cepat-cepat menggelengkan kepalanya sambil melebarkan senyumannya ke Rizzar.
  "Peri sama sekali tidak keberatan Kurcaci mengajaknya kembali bercanda seperti dulu. Peri tidak pernah menganggap apa yang kita jalani itu sesuatu yang harus disesali, Kurcaci. Buat Peri, kehadiran Kurcaci dan semua cerita tentang kita sesuatu yang berharga dan Peri syukuri karena Kurcaci membuat hidup Peri menjadi lebih baik kok. Peri cuma takut kalau ternyata mengingat apa yang kita lalui justru mengganggu kehidupan Kurcaci yang menjelma sebagai Superman saat ini". Kini gantian Rizzar yang menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum.  "Begitu pun Peri Baik buat Kurcaci. Kurcaci minta maaf jika ada kalanya saat dia menjelma menjadi Superman dia seolah melupakan keberadaan Peri Baik. Tapi jauh di lubuk hati aku, Peri itu seperti seseorang yang menjaga hati aku, dan aku tidak ingin Peri terluka karena Kurcaci yang menjelma menjadi Superman. Ternyata menjadi Superman itu jauh lebih rumit dari sekedar menjadi Kurcaci ya, Peri. Itu sebabnya pula aku akhirnya memilih mengambil sikap dingin dan cuek ke Peri. Maaf kalau membuat Peri jadi sedih".
"Terima kasih banyak Kurcaci mau bersusah payah menjaga perasaan Peri meski dengan cara yang tidak biasa," ujar Ara sambil menyunggingkan senyuman lembutnya lebih lebar dan masih menatap Rizzar diikuti dengan anggukan pelan dari Rizzar dengan senyuman yang sangat lebar.
"Meski kita sudah berusaha move on dari keterhubungan kita sejauh ini, Peri Baik sama sekali tidak berubah, tetap istimewa seperti dulu," lanjut Rizzar tertawa kecil menunjukkan giginya ke perempuan yang ada dihadapannya itu, "termasuk becandaan nakal soal ciuman tadi ha ha". Ara mengangguk, ikut memamerkan giginya ke Rizzar, "Selama sesuatu itu adalah hal yang kita yakini benar, buat apa kita harus berubah, Kurcaci. Mungkin buat sebagian orang, ciuman ke lawan jenis itu adalah hal yang mulai dianggap wajar dalam pertemanan sekalipun, tapi buat aku ciuman apapun itu hanya untuk teman hidup aku, laki-laki yang menjadi halal bagi aku, Kurcaci. Mungkin aku terkesan sangat kuno tentang ini, termasuk bagi Kurcaci terlebih Superman. Tapi, itu nilai yang aku anut dan aku meyakininya".
Rizzar tersenyum lembut. Perempuan di depannya ini selalu berhasil menempati ruang yang spesial di hatinya dengan apa yang dimilikinya. Berinteraksi dengan dirinya selalu menyisakan banyak hal untuk dibagi, hal-hal yang terlihat sederhana tapi membuat Rizzar membuka mata bahwa banyak hal sederhana itu ternyata sangat berharga.
"Kecantikan kamu itu terpancar dari hati, Ra, itu sebabnya aku tidak ingin melihat hati kamu tersakiti, terlebih karena aku," ujar Rizzar dalam hati.
Melihat Rizzar yang tersenyum dengan pandangan lembut dalam diam kearahnya, Ara pun menjadi salah tingkah dan mengalihkan pandangannya ke depan melihat hujan.
"Maaf ya Peri kalau Kurcaci kehilangan kata-kata karena apa yang Peri katakan tadi. Meski Kurcaci belum bisa melakukannya seperti Peri, Kurcaci berharap bisa menguranginya, tidak dengan mudah mencium lawan jenis kecuali untuk mereka yang memang halal bagi Kurcaci. Doakan Kurcaci Raksasa bisa dalam hal ini ya, Peri Baik," sambung Rizzar dengan tertawa kecil.
Ara tersenyum lebar kearah Rizzar sambil menganggukkan kepalanya pelan, "insyaa Allah bisa, tapi memang Kurcaci nggak takut dibilang nggak gaul? Kan Kurcaci apalagi setelah menjelma dalam wujud Superman, disukai banyak perempuan?"
Rizzar tersenyum lebar, Ara seperti berusaha memahami posisi Rizzar.
 
"Aku juga ingin menjaga diri aku buat seseorang yang istimewa yang akan menemani hidup aku nantinya seperti yang Peri lakukan. Siapapun dia, entah dia cewek aku sekarang atau orang lain, apakah aku telah mengenalnya atau bahkan pernah menciumnya ataukah tidak. Aku berharap aku bisa lebih bisa menjaga diri aku untuk dia saat cinta itu memasuki masanya untuk seluruhnya halal dinikmati.
"Semangat, Kurcaci Raksasa!" lanjut Ara dengan mengepalkan tangannya menyemangati sambil tertawa kecil membuat Rizzar pun ikut tergelak.
 
Untuk beberapa saat, Rizzar seolah melupakan hatinya yang terasa sesak hari itu. Peri Baik yang duduk disebelahnya ini seolah memahami dirinya dan selalu menemukan cara untuk lebih mendinginkan hatinya.
 
Rizzar menatap kearah depan dan kembali mengamati hujan yang turun malam itu ketika ia kemudian mendapatkan sebuah ide. "Peri Baik, temani Kurcaci main bersama hujan, yuk," ujar Rizzar ke Ara, "siapa tahu hati dan pikiran aku jadi sejuk setelah menari bersama air hujan. Siapa tahu hati aku jadi bersemangat untuk makin tersenyum setelah bercanda dengan hujan dan Peri".
"Kurcaci, ini sudah malam dan kamu juga baru pulang kerja dan dalam kondisi lelah, kalau kita hujan-hujanan sekarang, takutnya kamu malah sakit," ujar Ara sambil memandang kearah Rizzar sambil tetap tersenyum. Rizzar membalas senyuman Ara dengan tertawa kecil, "Bukannya dulu kita malah pernah main hujan di tengah malam saat syuting, Ra dan kita senang-senang saja dan menikmatinya. Iya nggak? Masih ingat, nggak?" 
Ara menyandarkan kepalanya di bantalan kursi tempat duduknya sambil tetap menatap Rizzar dan ikut tertawa kecil seraya mengangguk pelan. "Masih ingat, pastinya. Malah ketagihan ya sepertinya, ha ha". Rizzzar pun tertawa keras sambil mengangguk mantap. "Mana scene yang dimainkan romantis pula, ha ha...," ucapan dan tawa Rizzar tiba-tiba terhenti. Rizzar tersadar bahwa dia lagi-lagi sedang kembali ke beberapa waktu sebelumnya, saat dirinya dan Ara masih berbagi senyum dan tawa dalam project yang sama. Sementara itu Ara hanya diam mengamati Rizzar dengan seulas senyumannya. "Aku lagi-lagi kembali ke masa-masa kita dulu, padahal kita sudah sepakat untuk saling bergerak kearah yang berjauhan dan tidak bersinggungan untuk menghilangkan keterhubungan diantara kita. Maaf, Peri Baik. Kurcaci sepertinya agak merusak kesepakatan kita," sambung Rizzar dengan rasa bersalah. Ara menggelengkan kepalanya dan tersenyum makin lebar ke arah Rizzar di hadapannya. "Aku tidak pernah merasa bahwa kembali mengenang tentang kita adalah kesalahan, Kurcaci. Justru buat aku, itu adalah masa-masa yang indah. Move on atau gagal itu bukan ditentukan dari kita melupakan masa lalu, melainkan bagaimana kita berteman dengan masa lalu sehingga masa lalu itu menjadi pembelajaran menjadikan kita lebih baik di saat sekarang dan kedepan".
Rizzar dan Ara saling menatap satu sama lain dengan serius dan berbalas senyum satu sama lain. Hati Rizzar kembali riuh saat itu, ada sakit yang tertawa saat dia menyadari bahwa ia telah meninggalkan Peri Baik di hadapannya itu cukup lama dan itu tidak membuat Peri sama sekali berubah. Peri Baik tetap menawarkan senyuman dan kehangatan yang selalu hidup untuk dirinya. Sementara Kurcaci yang menjelma menjadi Superman berusaha tutup mata untuk sebuah alasan move on yang kadang ia tak bisa peroleh apa makna dibaliknya selain bahwa dia tidak ingin hidupnya menjadi rumit karena keberadaan Ara. 
Rizzar mengalihkan pandangannya kembali ke depan dan larut dalam lamunannya, seolah ia ingin menghindari tatapan Ara yang tiba-tiba membuatnya merasa bersalah itu ketika tangan Ara menutup mata Rizzar.
  "Daripada hujan-hujanan, mending kamu memejamkan mata kamu sejenak sekarang, Kurcaci Raksasa," ujar Ara tiba-tiba dengan nada ceria pada Rizzar. Rizzar menuruti kalimat Ara itu begitu saja, ia pejamkan matanya erat. Ara memandangi Rizzar, nafas berat Rizzar masih tetap ia dengar menandakan ada yang Rizzar tahan dihatinya saat itu. 
"Kurcaci sudah terpejam nih, terus apa selanjutnya?" tanya Rizzar.
"Oke, sekarang Kurcaci Raksasa coba tarik nafas pelan-pelan dan dalam-dalam, tahan selama beberapa jam baru lepaskan". Rizzar tergelak mendengarnya, "Peri Baik berniat membunuh Kurcaci ya?" Ara ikut tergelak, "Maksud Peri ditahan selama seper enampuluh jam alias satu menit, Kurcaci Raksasa. Kurcaci sudah mikir yang nggak-nggak sih, ha ha," lanjut Ara diikuti oleh suara tawa lepas Rizzar. Ara bisa mendengar dan melihat suara tarikan nafas Rizzar yang pelan dan dalam saat itu selama beberapa menit. Tarikan nafas yang perlahan menyamarkan nafas Rizzar yang terasa berasa berat sebelumnya dan itu membuat Ara merasa sedikit lega.
 “Tetap jangan buka mata kamu, sudah berasa agak enakan belum, Kurcaci Raksasa?" tanya Ara tetap memandangi Rizzar yang terpejam diikuti anggukan kepala Rizzar.
"Nah sekarang, coba kamu rasakan sejenak bau hujan diluar sana," ujar Ara lagi dengan lembut.
Rizzar terlihat sedang mencoba membau hujan seperti kata Ara. "Sekarang coba Kurcaci ungkapkan ke Peri, masih tetap dengan mata terpejam, seperti apa bau hujan".
"Hmmm... bau hujan itu sangat segar, Peri. Bau tanah dan air yang sejuk ditambah dengan suara denting hujan yang terasa menenangkan," ucap Rizzar pelan dengan senyum tersungging lebar di bibirnya, membuat Ara ikut tersenyum.
"Kurcaci bisa mengulangnya beberapa kali sampai merasa puas dan tenang, baru kemudian Kurcaci buka matanya kembali". Rizzar mengangguk pelan. Untuk beberapa saat, Ara hanya memandangi Rizzar yang sedang asyik membau hujan. Sesekali Ara ikut terpejam sejenak, ikut membau hujan. Membau hujan adalah salah satu hal sederhana yang suka dilakukan Ara. Membau tanah basah adalah terapi sederhana bagi Ara untuk menyejukkan dan menenangkan hati dan pikiran. Nafas berat Rizzar perlahan tak terdengar lagi di telinga Ara bahkan saat Ara sedang memejamkan mata sekalipun. "Semoga hal sederhana ini bisa sedikit meringankan hati dan pikiran kamu, Riz," ujar Ara dalam hati dengan mata terpejam saat itu. Tanpa disadari, Rizzar sudah membuka matanya saat itu ketika dia melihat Ara yang terpejam sambil tersenyum lembut setengah meter di hadapannya dengan wajah menghadap ke arahnya.
 
"Terima kasih sudah membuat hati dan pikiran aku lebih terasa ringan, Peri Baik, ujar Rizzar dalam hati sambil tersenyum memandang lembut Ara. Ara membuka matanya ketika di hadapannya ia lihat Rizzar sedang tersenyum menatapnya dan membuatnya sedikit kaget sejenak. Ara buru-buru melebarkan senyumannya ke Rizzar dan menetralkan ekspresinya. Laki-laki tampan dihadapannya ini ada kalanya membuat Ara menjadi malu ketika laki-laki itu memandangnya.
"Terima kasih ya, Ra karena Peri Baik sudah mau menemani Kurcaci Raksasa malam ini. Peri selalu punya caranya sendiri untuk menghibur Kurcaci," ujar Rizzar lembut sambil tersenyum lebar.
Lagi-lagi Ara membalas senyuman Rizzar padanya sambil mengangguk pelan. "Apa perasaan kamu sudah sedikit ringan, Kurcaci?" tanya Ara. Rizzar mengangguk. "Apa yang harus Kurcaci lakukan agar bisa benar-benar menjadi Superman yang hatinya bahagia, Peri? Malam ini Kurcaci bisa merasakan bahagia saat bercanda dengan Peri, tapi esok dan esoknya lagi...".
Ara tersenyum lembut.
 "Insyaa Allah bisa, Kurcaci. Setiap orang berhak dan pasti bisa bahagia, termasuk kamu. Kamu melakukan apapun itu karena kamu mampu, Kurcaci Raksasa alias Superman. Saat sesuatu berjalan tidak seperti yang kamu inginkan atau kamu merasa hampa di satu titik, kamu harus selalu mencari dan menemukan sisi atau hal positif dari aktivitas yang kamu jalani. Tetap cari celah untuk tersenyum di dalam hati agar kamu tetap hidup menjadi diri sendiri dan tidak mati".  Rizzar memandangi Ara dengan seksama dan Ara pun memberikan senyuman manisnya untuk Rizzar seolah ingin memberikan tambahan semangat buat laki-laki di hadapannya itu.  "Bagaimana kalau hati aku tetap terasa dingin dan hampa di satu titik meski aku sudah berusaha menularkan bahagia, Peri? Padahal aku merasa selalu berusaha untuk tetap bersyukur, Peri," tanya Rizzar lirih meski kali ini suaranya sudah jauh lebih tenang dibandingkan saat pertanyaan itu ia lontarkan sebelumnya.
"Tuhan tidak akan menguji hamba-NYA diluar kemampuannya, Kurcaci. Seperti yang Peri bilang, mungkin Kurcaci hanya lelah di titik ini. Peri yakin tidak ada kebaikan atau hal positif yang sia-sia, hanya mungkin kita perlu belajar lebih dan lebih ikhlas dan sabar lagi. Bukan hanya Kurcaci, Peri juga masih harus belajar banyak lagi tentang ini".
Rizzar mengangguk seraya balas tersenyum lembut kepada Ara yang tersenyum padanya.
"Satu hal lagi, ketika ada masanya kamu merasa kesepian, tetap ingat satu hal bahwa kamu tidak sendiri, Kurcaci. Ada Tuhan, doa-doa mereka yang menyayangimu dan ... juga ada aku. Meski fisik kita mungkin tidak berdekatan, tapi aku ada buat kamu. Aku harap kamu ingat itu," lanjut Ara sambil melebarkan senyumannya membuat Rizzar tersenyum lepas dan tak kalah lebar, selega dan selepas hatinya saat itu.
"By the way, besok pasti jadwal kamu padat merayap ya, secara sinetron kamu ada dua judul dan semuanya stripping ya," tanya Ara kembali dengan nada cerianya. 
"Kebetulan, besok aku libur, Peri Baik, Sabtu dan Minggu baru kejar tayang lagi. Kamu sendiri besok ada syuting atau jadwal tapping mungkin? ujar Rizzar menjawab dan kemudian balik bertanya.
Ara terdiam sejenak, sedang memikirkan sesuatu. "Bagaimana kalau besok siang habis Jumatan kita pergi bareng ke suatu tempat Kurcaci? Biar Kurcaci makin bersemangat lagi menjelma kembali menjadi Superman. Tapi itu pun kalau Kurcaci mau dan nggak ada kegiatan. Kebetulan besok aku juga kosong alias free seharian he he," ujar Ara sambil tertawa kecil dan bersemangat. Rizzar mengamati wajah Ara yang lucu itu untuk sejenak, ada rasa penasaran tergambar di wajah Rizzar. "Agenda acara aku besok cuma ingin istirahat saja di rumah. Memang Peri mau mengajak Kurcaci kemana?" tanya Rizzar dengan mengerdipkan matanya dengan antusias. "Rahasia dong, ini kejutan kecil Peri buat Kurcaci Raksasa. Misi penyamaran yang rahasia," jawab Ara sambil balas mengedipkan matanya sambil tersenyum lebar, seolah menggoda Rizzar agar makin penasaran.Rizzar mengamati Ara dengan raut dibuat serius, sementara Ara mulai tergelak dalam tawa melihat ekspresi Rizzar yang menurutnya justru kocak. "Oke, siapa takut. Kurcaci terima dengan senang hati tawaran Peri. Jadi kita ketemu dimana, Peri Baik?"
"Kita ketemuan di Stasiun Kota jam dua, bagaimana?"
"Stasiun Kota, Peri? Hmmmm memang kita mau kemana sih, Peri?"
Ara makin mengedipkan matanya, makin bersemangat menggoda Rizzar yang ekspresinya makin lucu dan aneh.
"No more question, Kurcaci. See you tomorrow. Sekarang sudah malam, malam Jumat pula, sebaiknya Kurcaci pulang ke rumah ya". Rizzar tertawa kecil, "Iya, Peri...sekali lagi makasih banyak untuk senyum dan tawa malam ini. Selamat istirahat, Peri Baik. Kalau Peri mimpi indah malam ini, jangan lupa ajakin Kurcaci, ya". Ara tertawa sambil mengangguk dan Rizzar pun makin larut dalam tawanya. Setelah saling berbagi salam dan saling mendoakan satu sama lain untuk saat istirahat mereka malam itu, Ara pun bergegas pulang sambil berlari kecil menerobos gerimis yang bercanda malam itu, setelah sebelumnya ia menolak tawaran payung dari Rizzar.

-Bersambung di Misi Jumat Rizzar Ara, ha ha -