Selasa, 17 Oktober 2017

See You Again When The Next Blue Moon Appears Part 10 : Jarak


PART 10. JARAK

Dari AHSAN Buat HASNA

Sejak hari keberangkatan Hasna ke Papua, baik Ahsan maupun Hasna saling menjaga hati masing-masing meski pada praktiknya hati susah-susah gampang buat dijaga. Setelah kondisi Ahsan membaik dan diizinkan keluar dari rumah sakit, Ahsan kembali aktif mengajar di kelas bantaran rel. Hal pertama yang dilakukan laki-laki itu buat Hasna adalah mengirimkan video peta Indonesia yang sudah tergantung di dinding kelas bantaran rel dilengkapi bonus ucapan terima kasih dari keempat volunteer rekan Ahsan dengan gaya koplak sambil bercanda menggoda Ahsan dan Hasna seperti biasa. Ardi, Raka, Bayu, dan Azka bergantian menampakkan wajah mereka di video itu.
"Halo Kak Hasna, makasih ya udah ngebeliin adik-adik peta Indonesia buat mereka belajar. Hari pertama peta itu dipasang Kak Ahsan, kita berlima kewalahan menanggapi pertanyaan adik-adik yang luar bisa imajinasinya he he," ujar Raka dengan senyum teduhnya seperti biasa.
"Iya Na, bahkan ada yang nanyain ada ga peta yang lebih gedhe biar kelas bantaran rel kelihatan di peta he he. Jadinya kita akhirnya menyanggupi buat nge-print-in mereka peta sekitar kelas bantaran rel dari google maps buat ditempel di kelas he he," sahut Azka dengan senyum lebarnya, "tapi makasih lho Na, gara-gara peta Indonesia dari kamu... adik-adik pada semangat menghafal posisi provinsi dan kota-kota besar di Indonesia".
"Iya Kak Hasna, makasih banyak yaaa... Kalo kata adik-adik disini... Kak Hasna tercantik... eh terbaik ding...soalnya takut dipelototin Kak Ahsan kalo ngegodain kamu ha ha," sambung Bayu sambil tertawa kecil dan melihat kearah pembuat video yang terdengar lirih tertawa diantara tawa rekan-rekannya.
"Iya Na.. kita sekalian ngewakilin adik-adik intinya ngucapin terima kasih buat petanya. Peta dari kamu bermanfaat banget pastinya, bukan hanya buat adik-adik belajar tapi juga buat kakak-kakaknya belajar lagi mengenal daerah-daerah di Indonesia yang kaya banget ini," sambung Ardi dengan tawa riangnya seperti biasa sambil sesekali ekspresinya terlihat sengaja ngegodain Ahsan yang ada di hadapannya.
"Oh iya, Na... sepertinya Ahsan perlu satu peta lagi deh Na, peta menuju hati kamu, jaga-jaga biar nggak nyasar he he he," lanjut Ardi yang langsung mendapat teriakan spontan dan lemparan spidol dari Ahsan, membuat ruangan itu makin pecah dalam tawa .
Sementara Ahsan, si pembuat video, hanya suaranya terdengar disana, laki-laki itu terlihat tertawa sesekali menanggapi candaan rekan-rekannya kemudian memberikan kalimat penutup dengan sedikit malu-malu pada video itu tanpa menampakkan wajahnya.
"Terima kasih banyak ya, Na. Tetap semangat dan jaga kesehatan ya disana... Hmm semoga semuanya berjalan lancar biar kamu bisa pulang tepat waktu dan bergabung lagi bersama kita di kelas ini he he," terdengar suara Ahsan, berhasil menautkan Ahsan dengan Hasna lewat senyuman meski fisik mereka berjauhan.
"Terima kasih juga buat Kak Ahsan karena sudah berbaik hati, mau direpotkan Kak Hasna buat membelikan dan memasangkan peta Indonesia he he. Makasih ya," ketik Hasna diakhiri dengan emoji senyuman.
Video singkat itu sepertinya diambil Ahsan dengan dadakan karena tak ada adik-adik kecil disana saat itu, kemungkinan seusai kelas bubar. Saat itu, para volunteer kadang melakukan review dan briefing materi yang sudah dan akan diajarkan atau mendiskusikan sesuatu lainnya yang dianggap perlu, bisa jadi membicarakan acara persami (perkemahan sabtu minggu) di alam terbuka adik-adik kelas bantaran rel yang direncanakan empat minggu lagi.
Setiap Rabu dan Sabtu, Ahsan selalu menceritakan kejadian di kelas bantaran rel ke Hasna lewat whatsapp, seolah menunaikan janjinya ke perempuan itu. Hasna pun selalu antusias menanggapi cerita demi cerita dari Ahsan. Meski tak setiap hari, tiga atau empat hari sekali Hasna mengunggah foto atau video singkat di instagramnya tentang hari-harinya di Papua, lingkungan dan alam sekitar yang Hasna lihat atau berbagi keceriaan dan kepolosan adik-adik yang menjadi objek proyek pendidikan tempat Hasna bekerja. Caption Hasna pun ringan seperti layaknya orang sedang bercerita. Di setiap unggahan Hasna, dapat dipastikan Ahsan tak pernah absen untuk meninggalkan tanda like disana meski laki-laki itu bukan follower Hasna sebagaimana Hasna yang juga tidak mem-follow instagram Ahsan. Pun tak ada komentar dari Ahsan di setiap postingan Hasna tersebut. Keduanya seolah sepakat tetap menjaga jarak di media sosial meski tetap saling mengintip akun satu sama lain. Meski demikian, beberapa kali Ahsan justru mengomentari foto yang diunggah Hasna di status whatsapp-nya, menempel di cerita rutin Ahsan tentang kegiatan kelas bantaran rel.
Seperti Sabtu itu, Ahsan bercerita tentang kegiatan perkemahan yang sudah matang dan ditetapkan oleh kakak volunteer dua hari setelah Hasna pulang dari Papua sesuai jadwal gadis itu. Ahsan juga bercerita bahwa tadi sore, diadakan kuis kecil-kecilan menebak lokasi kota, gunung, laut serta danau di peta Indonesia berhadiah ice cream. Ide itu berawal gara-gara mereka sama-sama ngelihat dan akhirnya ngebahas status Hasna saat ketemuan di kantin kampus selepas sholat Jumat. Tiba-tiba mereka teringat kuis berhadiah coklat buat adik-adik yang pernah diusulkan Hasna dulu dan sudah lama tidak pernah dilakukan lagi.
"Itu beli ice cream-nya dimana, San? Kan ice cream cepat mencair dan bukannya kelas bantaran rel agak jauh dari penjual ice cream?"
"Salah satu kakak stand by di minimart yang jual ice cream, Na he he. Pas semua adik-adik udah ngejawab, baru deh ice cream-nya dibagiin he he".
" :D :D . Jadinya kalian patungan berlima buat beli ice creamnya, San?" tanya Hasna diakhiri dengan emoji senyum. Waktu di Papua sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Ahsan berbagi cerita aktivitas kelas bantaran rel hari itu.
"He he... rencana awalnya sih begitu, Na. Tapi berhubung hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun aku, jadi aku yang menraktir ice cream-nya. Sekalian pingin berbagi 'ala-ala' aja sama adik-adik meski mereka tetap harus jawab kuis dulu :D".
Hasna tersenyum di tempatnya. Gadis itu bukannya tidak tahu tanggal lahir Ahsan, bahkan semua tanggal lahir keempat cowok teman Ahsan pun dia tahu. Namun Hasna ragu memberi ucapan ke Ahsan lewat whatsapp terlebih lewat medsos seperti instagram, facebook, twitter. Hasna takut berlebihan.
"Oh iya, Kak Ahsan ultah ya hari ini :).
Semoga selalu ditunjukkan yang terbaik dalam kehidupan kamu ya, San. Makin berkah dan bermanfaat dalam kebaikan di kehidupannya, serta makin sukses dunia akhirat. Semoga sehat dan bahagia selalu ya :). Semangat menjadi manusia yang lebih baik lagi :).
Berbagi itu bukan selalu tentang sedikit atau banyak uang/jumlah yang bisa dibagi, tapi membagi apa yang bisa dan ikhlas kita bagi :). Makasih ya, Kak Ahsan udah berbagi ice cream sore ini. Pasti adik-adiknya pada senang sore ini. Btw, Kak Hasna juga mau ice cream, Kak Ahsan he he," ujar Hasna diikuti dengan gambar ice cream dan senyuman.
Ahsan tertawa kecil membacanya. "Aamiin, makasih banyak doanya, Na :).
Ice cream? Boleh..., nanti sepulang kamu dari Papua, kamu boleh minta traktir ice cream, Na... tapi ada syaratnya. Kamu harus jawab kuis seputar peta dulu seperti adik-adiknya he he".
Hasna tersenyum lebar di tempatnya,"Siaaaap, siapa takut :D".
"Oh iya Na, status whatsapp kamu kemarin lucu banget, setiap anak menceritakan kembali buku cerita yang dia baca ke teman-temannya ya. Saling berbagi cerita dan pengetahuan dengan cara sederhana ya. Seruuu banget kayaknya ditambah kakak-kakaknya pada semangat gitu he he," sambung Ahsan antusias mengomentari status Hasna.
" :D :). Iya kebahagiaan tersendiri ngelihat mereka mau menceritakan kembali ke teman-temannya dengan versi masing2... bener-bener polos banget :D.
Inti dari kegiatan itu adalah saling berbagi sekaligus melatih keberanian dan kepercayaan diri adik-adiknya. Sebagai penghargaan mereka yang sudah berani bercerita, kita siapkan hadiah kecil segelas susu dan roti he he".
"Iyaaa... seru banget kayaknya mulai dari malu-malunya adik itu saat memulai cerita sampai keceriaan mereka pas makan roti dan minum susu sama-sama he he. Two thumbs up sama ide kalian, sederhana tapi mengena :D :). Satu hal yang aku percaya dan tetap ingin percayai bahwa hal-hal baik itu menular dan bisa ditularkan sekecil apapun itu :). Dan kamu salah satu orangnya yang membuat aku percaya, Na :). Sayangnya kamu ga kelihatan di foto itu, Na he he. Tapi gapapa, yang penting kamu sehat kan? :)"
" :D :D. Kamu bisa aja, San :). Semangat saling menularkan kebaikan ya :). He he he aku Alhamdulillaah sehat, San. Kamu juga jaga kesehatan ya biar typusnya nggak kambuh lagi :)".
"He he, iya Na... makasih ya :). Ya udah, pasti udah malam banget di Papua.. selamat istirahat aja ya, Na biar besok bisa beraktivitas dengan penuh semangat. Sampai jumpa lagi di laporan kelas hari Rabu, insyaa Allah :D :D"
"Selamat istirahat juga, Kak Ahsan yang baik. Makasih ya sudah mau berbagi cerita. Jadinya aku tetap berasa dekat dengan kelas bantaran rel meski sedang berada di Papua :). Jauh di mata namun dekat di hati kalo kata RAN he he".
Ahsan lagi-lagi tersenyum membacanya. "Jauh di mata dekat di hati itu berlaku buat adik-adik kelas bantaran rel atau termasuk buat kakak volunteernya, Na? :D :P".
Kalimat Ahsan itu pun membuat Hasna tak bisa menahan tawanya meski gadis itu berusaha tetap melirihkan suaranya, tak ingin membuat rekan perempuan sekamarnya terbangun. Maklum, hari Sabtu itu cukup panjang dan melelahkan fisik bagi Hasna dan timnya dengan segudang aktivitas proyek mereka.
Hasna senyum-senyum geli sendiri membaca ulang kalimat Ahsan itu.
"Buat semua yang ada di kelas bantaran rel pastinya, Kak ... termasuk Kak Raka, Kak Bayu, Kak Azka, dan Kak Ardi juga Kak Ahsan... he he," jawab Hasna dibalas emoji tawa dari Ahsan.
Hari terus berlalu dan jadwal kepulangan Hasna tinggal lima hari lagi. Entah kurang kerjaan atau emang niat, di kalendar meja kamarnya Ahsan menandai tanggal keberangkatan kepulangan Hasna dengan bulatan dan tiap Rabu serta Sabtu laki-laki itu menandai silang untuk tanggal-tanggal yang sudah terlalui (niat banget yak :D). Hari Sabtu siang itu seperti biasa, Ahsan berangkat ke kelas bantaran rel dengan naik KRL. Setiba di stasiun dekat kelas, Ahsan tak langsung beranjak keluar, entah kenapa tiba-tiba ia ingin duduk sejenak, menunggu KRL dari arah Hasna biasa naiki berhenti di stasiun itu. Setelah itu, Ahsan bergegas menuju pintu keluar, tatapannya tertuju ke tempat biasanya ia dan Hasna bertemu sebelum jalan bareng ke kelas bantaran rel. Entah kenapa, hari itu Ahsan ingin melakukannya, menyusuri hal-hal yang biasa ia lakukan bersama Hasna.
"Ada apa dengan aku ya? Apa aku kangen sama Hasna?" tiba-tiba pertanyaan itu menghinggapi pikiran Ahsan. Laki-laki pun menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Ingat...kamu harus tetap jaga hati baik-baik buat Hasna, San".
Sore itu, pelajaran bahasa inggris berjalan seperti biasa, kali ini Ahsan terlihat mengajar sendirian dengan lebih bersemangat dari biasanya, ia bukan hanya mewakili dirinya sendiri tapi berusaha mewakili semangat Hasna. Selama Hasna di Papua, dua kali teman-temannya bergantian menemani Ahsan menggantikan Hasna.
Setelah kelas bahasa inggris usai dan adik-adiknya pulang, Raka meminta waktu sejenak untuk berdiskusi.
"Gue barusan dapat kabar dari Hasna, sepertinya dia bakal mundur jadwal pulangnya. Hasna minta maaf karena sepertinya dia ga bisa ikut persami Sabtu depan," ujar Raka membuka diskusi.
"Emang kenapa kata Hasna, Ka?" tanya Ardi.
"Bara sakit dan diopname pagi tadi. Katanya sih sakit maag akut dan kena malaria juga. Jadinya Hasna dan tim selain ngerjain proyek mereka juga harus ngejagain Bara".
Ahsan hanya menyimak ucapan Raka itu, tak bersuara apapun meski ia merasa ada kalanya tatapan teman-temannya sejenak kearahnya. Entah apa yang dirasakan Ahsan saat itu. Jujur hatinya terusik dengan fakta Hasna merawat Bara karena itu membuat peluang keduanya mendekat lebih besar. Namun, ia juga sudah bertekad mengikhlaskan Hasna sampai ia benar-benar siap berkomitmen dengan gadis itu.
Ardi terlihat menepuk pelan bahu Ahsan tanpa suara dan Ahsan membalasnya dengan berusaha tetap tersenyum.
"Jadwal persami adik-adik nggak mungkin kita undur... Artinya, mau ga mau, tugas-tugas yang kemarin udah kita bagi dengan asumsi Hasna ikutan, kita ubah lagi ya. Ada usulan?" terang Azka melanjutkan ucapan Raka.
"Langsung kita distribusiin lagi aja tugas Hasna ke kita berlima," jawab Bayu diikuti anggukan Raka, Azka, dan Ardi kecuali Ahsan.
"Gimana, San... loe juga setuju kan?" tanya Raka membuyarkan Ahsan yang sesaat sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ahsan tersenyum. "Tentu gue setuju. Nanti biar sebagian tugas Hasna gue yang ngerjain, ga masalah," jawab Ahsan sembari menganggukkan kepalanya dengan ekspresi kembali biasa. Seperti tekad Ahsan tentang Hasna, laki-laki itu ingin bersikap lebih dewasa soal rasa meski di dalam hatinya ada ketidaknyamanan yang datang tanpa bisa dicegah.
"Loe baik-baik aja kan, Bro?" tanya Ardi disambut tawa lirih Ahsan.
"Gue baik-baik aja, kan Bara yang sakit...". Keempat kawannya itu terlihat sedang menatap kearahnya. "Gue percaya kalo jodoh ga akan kemana, guys... . Begitupun Hasna," jawab Ahsan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Sabtu malam itu, waktu menunjukkan pukul 19.20 Wib saat Ahsan baru selesai sholat Isya kemudian melihati kalendar mejanya yang berhiaskan tanda silang dan bulatan. Ahsan meraih handphone-nya dan mulai menceritakan kejadian di kelas bantaran rel ke Hasna seperti biasa sesuai janji yang diucapkan laki-laki itu ke Hasna di bandara. Bedanya, kali ini Ahsan tidak mengomentari status Hasna. Hasna pun membalasi cerita Ahsan dengan antusias seperti biasanya.
"Gimana kondisi Bara, Na?" tanya laki-laki itu akhirnya via pesan whatsapp.
"Kondisi Bara masih drop dan belum bisa masuk makanan, tapi sudah agak lebih baik dibandingkan tadi pagi ketika kita bawa ke UGD.
Bara kadang terlalu menganggap remeh kesehatannya. Padahal dari kemarin juga udah kelihatan drop, makan ga banyak dan demam tapi tetep aja dia kerja ngurus sana-sini.
Tadi aja, dia sebenernya nolak buat ke rumah sakit sampai kami yang cewek akhirnya ikutan maksa dia. Dan bener aja, Bara pingsan di tengah perjalanan ke rumah sakit, tapi untungnya nggak terlalu terlambat ditanganinya".
Hasna berhenti mengetik ke Ahsan, ia merasa terlalu detail bercerita ke Ahsan yang sebenernya laki-laki itu tidak perlu tahu.
"Raka bilang Bara sakit maag akut dan malaria. Apa itu bener, Na? Bukannya Bara biasa keluar masuk pedalaman?"
"Iya, San... kami sempat mengira gejala typus, tapi setelah diobservasi ternyata maag akut dan malaria. Mungkin karena memang staminanya drop kali ya, makanya malarianya kambuh".
"Apa kamu sekarang sedang di rumah sakit, Na? Apa orang tua Bara sudah datang kesana, Na?"
"Iya, malam ini aku dan temen yang nemenin Bara, tidur di rumah sakit. Bara sebenarnya bersikeras kalo dia ga perlu dijagain dan nggak mau memberitahu orang tuanya juga tentang sakitnya, San. Dia juga ga mau kerjaan tim terhenti gara-gara dia sakit. Akhirnya aku terpaksa juga ga mau kalah keras 'ngotot' ke Bara kalau kami tetap bakal gantian ngejagain Bara. Aku dan temen cewek sekamar aku yang bakal lebih banyak ngejagain karena temen cowok yang lain tetap ngerjain urusan proyek kami. Namanya satu tim, saat anggota yang satu sakit maka yang lain juga ikut merasakannya".
Lama tak ada jawaban dari Ahsan, membuat Hasna dihinggapi khawatir apa mungkin ia bercerita yang tidak perlu.
"Maaf kalau aku terlalu panjang lebar bercerita soal Bara, San".
Ahsan is typing, "Gapapa, Hasna :)".
"Maaf ya, San karena aku ga bisa ikutan persami bersama kalian dan adik-adik kelas bantaran rel Sabtu depan. Padahal kamu dan teman-teman udah sengaja nentuin tanggal itu biar aku bisa ikutan. Maaf ya... ".
"Nggak apa-apa, Na. Namanya juga kejadian di luar rencana. Bukan salah kamu, Na".
"Iya, aku tahu ini bukan salah siapa-siapa, San...tapi tetap aja aku ngerasa ga enak ke kamu dan yang lainnya. Kalian harus mengganti lagi pembagian tugas gara-gara aku. Padahal sesuai rencana aku dan kamu bakal satu tim ngejagain sebagian adik-adiknya, tapi akunya ga bisa. Maaf banget ya".
Ahsan mengetikkan emoji senyum buat Hasna.
"Kamu tenang aja, Na. Aku janji bakal gantiin kamu buat ngejagain adik-adiknya bareng sama teman-teman yang lain, insyaa Allah. Nanti aku bakal ceritain jalannya Persami itu ke kamu biar kamu berasa ada disana juga. Okay? :)"
Hasna balas tersenyum. Ahsan selalu punya 'cara' memenangkan hatinya dengan uniknya.
"Kamu jagain Bara baik-baik ya, Na karena itu kewajiban kamu dan tim untuk menjaganya. Tapi inget... kamu juga harus tetap jaga kesehatan, jangan sampai jatuh sakit juga :). Jangan lupa makan yang teratur, istirahat yang cukup dan diminum pil kinanya ya, Na".
Hasna tersenyum lebar membacanya. Ia merasa kalimat laki-laki itu semakin dewasa terutama menyikapi soal Bara.
"Iya... makasih banyak, Kak Ahsan yang sangat baik :). Titip adik-adik kelas bantaran rel termasuk saat persami ya :D," tulis Hasna dibalas emoji senyum lebar dan tanda jempol Ahsan ke gadis itu.
Setelah saling mendoakan kebaikan dan kesehatan satu sama lain serta berbalas salam, percakapan keduanya berakhir.
Hasna memeriksa percakapan di whatsapp yang belum dibacanya dan sekilas melihat status teman-temannya ketika ia melihat status baru dari Ahsan yang membuat gadis itu tersenyum tersipu di tempatnya.

"Jika aku disini menjaga, aku harap kamu disana pun menjaga.
Jika aku disini berdoa, aku harap kamu disana terjaga."

~Bersambung ~

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 8.2

PART 8.2 : YES, I DO

"Waalaikumsalam warrahmatullah, Om Riza," jawab Nisa sambil membahasakan Nuna agar ikut menjawab salam sementara Nuna justru sudah asyik melambaikan tangannya ke Riza 

Waktu di arloji Riza menunjukkan pukul 13.00 saat ia dan orang tuanya tiba di rumah sakit kemudian mencari kamar Nisa dirawat. Dua laki-laki dan satu balita terlihat duduk di depan ruangan yang tertulis pada kertas dari Ana yang dipegang Riza. Setengah menduga dan ragu, Riza mengenalkan dirinya.
"Selamat siang. Apa benar ini kamar Nisa?"
Kedua laki-laki itu berdiri. Laki-laki yang lebih muda diantara keduanya mengiyakan sementara laki-laki yang lebih tua hanya tersenyum menganggukkan kepalanya.
"Saya... Riza, teman Nisa dan beliau kedua orang tua saya," ucap Riza sambil menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki paruh baya itu, sepertinya laki-laki itu ayah Nisa. Riza sekilas mengingatnya karena pernah melihat foto keluarga Nisa di instagram gadis itu.
Kedua orang tua Riza pun berbincang dengan ayah Nisa tentang kondisi gadis itu sementara kakak ipar Nisa langsung mengajak Riza untuk masuk ke ruang perawatan. Riza disambut oleh Nina, kakak perempuan Nisa, keduanya pun saling berkenalan singkat. Perempuan itu mengantarkannya mendekat ke tempat Nisa berbaring.
Riza melangkah menghampiri Nisa tanpa sekalipun pandangannya berpindah ke arah lain, laki-laki itu terus menatap Nisa yang terpejam dengan wajah pucatnya.
Gadis itu tak lagi menggunakan kebaya pink-nya, sudah berganti baju rumah sakit termasuk jilbabnya. Masih terlihat bekas riasan di wajah Nisa.
"Apa Nisa belum juga sadar dari pingsannya, Kak?" tanya Riza pelan akhirnya menoleh ke kakak Nisa yang ada di sisi sebelah kanan Nisa, berseberangan dengan Riza.
"Nisa sudah siuman lebih dari satu jam yang lalu, tapi dokter meminta Nisa banyak istirahat karena matanya masih terasa sakit dan pandangannya juga masih kabur".
"Jadi Nisa baru sadar setelah sekitar enam jam pingsan, Kak?" tanya Riza, terdengar jelas nada khawatir di suara laki-laki itu, lagi-lagi Riza fokus melihati Nisa.
"Sekitar jam sembilan Nisa sempat sadar hampir satu jam, tapi... kemudian dia kesakitan dan muntah lalu pingsan lagi".
Riza menatap sendu gadis yang terbaring di hadapannya itu. Riza kembali teringat ketika Nisa dua kali pingsan saat ujian semester, raut kesakitan Nisa saat itu terbayang jelas di pikirannya.
"Apa dokter sudah memberitahu penyakit Nisa, Kak?"
Lagi-lagi perempuan di hadapannya itu mengangguk. "Bahkan Nisa sendiri pun sudah menceritakan penyakitnya ke Ayah dan kami sesaat setelah dia sadar. Dia merasa bersalah karena mengecewakan kami yang sudah jauh-jauh datang tapi justru tidak bisa melihatnya wisuda karena sakitnya. Padahal itu sama sekali bukan salah Nisa, tapi memang sudah jalannya".
Riza menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu tahu tentang sakit Nisa?"
Riza menganggukkan kepalanya pelan, mata laki-laki itu sedikit berkaca-kaca meski ia berusaha menyembunyikannya dari kakak Nisa.
"Apa aku boleh menemani Nisa sebentar disini, Kak?"
"Tentu saja," jawab kakak Nisa tersenyum lembut ke Riza seolah ia bisa menerka apa yang terjadi diantara adiknya dan laki-laki itu. Setelah membelai lembut sejenak kepala Nisa, perempuan itu bergegas menjauh,menunggui mereka di sofa yang terletak dekat pintu kamar.
Riza baru duduk di sebelah Nisa ketika gadis itu perlahan membuka matanya.
"Kamu bangun, Nis," sapa Riza lirih tersenyum ke Nisa.
Nisa balas tersenyum lebar menyadari keberadaan Riza di hadapannya meski pandangannya masih agak kabur. Gurat tampan laki-laki luar biasanya dalam balutan setelan wisudanya itu tetap terlihat."Riza...".
"Gimana kondisi kamu, Nis? Apa mata kamu masih sakit?"
"Sudah jauh lebih enakan, Riz," jawab Nisa buru-buru melebarkan senyumannya ingin menghapus rasa khawatir di wajah laki-laki itu, "Oh iya, gimana tadi wisudanya? Selamat ya Riz akhirnya kamu jadi sarjana ekonomi".
Riza tersenyum simpul, "Selamat juga buat kamu sudah jadi sarjana arsitektur, Nis".
Nisa menganggukkan kepalanya riang sambil mengucapkan terima kasih.
"Cuma aku ngerasa ada yang kurang, Riz karena aku nggak cumlaude. Padahal aku ingin memberikan bonus kecil itu buat orang tuaku," lanjut Nisa dengan raut sedikit kecewa meski tetap ia balut senyuman.
Riza tersenyum kearah Nisa, "Yang terpenting kita sudah berusaha menyelesaikan tanggung jawab kita dengan baik, Nis. Semoga ilmu yang kita peroleh bisa bermanfaat serta menambah kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan kita".
"Aamiin aamiin aamiin," balas Nisa tersenyum lebih lebar, "Tapi aku ikut senang buat kamu, Riz karena kamu berhasil mendapatkan predikat cumlaude. Apalagi mengingat perjuangan kamu kuliah sambil kerja beberapa bulan ini. Bukan hanya orang tua dan fans-fans kamu yang bangga pastinya, aku juga bangga sama kamu, Riza. Selamat ya".
Riza tertawa kecil mendengarnya.
"Makasih banyak, Nisa... tapi tetap saja wisuda hari ini buat aku kurang lengkap tanpa kamu".
Nisa tersenyum. "Maaf ya Riz, aku mengacaukan rencana kamu hari ini". 
Riza tersenyum lalu mengeluarkan bungkusan pink dari tas ranselnya.
"Ini hadiah wisuda buat kamu, Nis... semoga kamu suka ya".
Nisa tersenyum senang menerimanya, gadis itu duduk dari posisi tidurnya, ekspresinya penasaran dan tak sabar ingin membuka pemberian laki-laki itu.
Sebuah baju terusan berwarna dasar biru tua dilengkapi outer bermotif songket lengan panjang berwarna kombinasi biru lebih muda dan pink plus jilbab warna biru muda berhasil membuat Nisa jatuh hati dengan pilihan Riza itu.
"Bajunya cantik banget, Riz....," ucap Nisa tersenyum lebar kearah Riza.
"Kamu suka, Nisa?"
Nisa menganggukkan kepalanya dengan raut senang membuat Riza merasa jauh lebih senang sekaligus lega karena ia tidak salah memilih hadiah.
"Makasih banyak ya. Hmmm, pasti mahal ya, Riz?" sambung Nisa dengan raut berubah serius. Setahu gadis itu, harga baju semacam itu tidaklah murah.
Riza tersenyum lebar menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau kamu menghamburkan hasil kerja keras kamu buat sesuatu yang tidak terlalu penting, Riz...".
"Nisaaa..., menurut aku kado buat kamu itu sesuatu yang penting. Kamu perempuan yang istimewa dalam kehidupanku selain Mamaku, Nis. Lagi pula...". Kalimat Riza terhenti, lagi-lagi laki-laki itu hampir saja keceplosan bilang bahwa Nisa salah satu motivasi utama dia bekerja. Riza merasa belum saatnya dia jujur tentang itu ke Nisa, ia berniat mengatakan semuanya setelah ia berhasil menikahi Nisa.
Di hadapannya, Nisa tersipu mendengarnya, kalimat Riza itu membuat gadis itu bahagia sekaligus merasa bersalah.
Nisa membuka kartu ucapan dari Riza di kado itu sementara laki-laki itu memperhatikannya.

"Semoga menjadi arsitek yang sukses dan bermanfaat untuk kebaikan, Nisa :).
Seperti kamu yang selalu menemukan alasan menyukai dunia arsitektur, aku juga selalu menemukan alasan untuk menyukai kamu dan memperjuangkan jawaban 'iya' dari kamu.
Aku sangat berharap kamu bersedia menemani aku, menjadi arsitek dalam kehidupan rumah tangga kita.
Maukah kamu menikah denganku, Nisa? :)
                                                                                                  -Riza-
                                                                            <yang menunggu jawaban 'iya'>"

Nisa tersenyum membacanya, kalimat Riza membuat hatinya terasa hangat dan berbunga-bunga. Mata Nisa pun berkaca-kaca meski ia berusaha menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya ke penulis surat itu.
"Jadi apa jawaban kamu, Nis?" tanya Riza membuat Nisa salah tingkah dan bingung menjawab apa. Nisa hanya tersenyum balas menatap Riza tanpa kata. Laki-laki itu terlihat menunggu jawaban darinya.
"Oh iya, Riz ... aku kan janji mau memperlihatkan pertama kalinya ke kamu sketsa taman buat mereka yang tidak bisa melihat. Tolong ambilkan gulungan sketsa dan tas tanganku disitu ya," ujar Nisa melebarkan senyumannya, mengalihkan topik bahasan keduanya yang belum bisa dijawabnya.
Riza pun balas tersenyum lebar, berusaha memahami gadis itu dan bergegas memenuhi permintaan Nisa.
Lima menit kemudian, Riza kembali duduk di sebelah Nisa sambil memegang sketsa Nisa dan menyerahkan tas tangan gadis itu ke empunya.
"Makasih, Riz. Sekarang kamu boleh lihat sketsa taman itu, Riza... aku mau tahu pendapat kamu juga," ujar Nisa dengan raut riangnya.
Riza mengangguk, dengan tak kalah riang laki-laki itu membuka gulungan sketsa buatan Nisa itu, project spesial Nisa yang menjadikan Riza bertekad membantu Nisa mewujudkannya meski Riza belum mengatakannya ke gadis itu.
"Gimana menurut kamu, Riz?"
"Hmmm... bagus... bagus banget... dan aku yakin taman ini akan jadi taman yang indah saat diwujudkan dalam nyata, Nis," jawab Riza, "meski aku ga paham soal sketsa beginian... tapi aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, ketulusan kamu di tiap goresannya, Nisa".
Nisa tersipu mendengar ucapan Riza itu..., laki-laki itu selalu memercayai kemampuannya dan tulus menyemangatinya.
"Terima kasih untuk semuanya ya, Riz. Aku juga udah bikin versi autocad-nya. Meski aku juga belum tahu dan masih memikirkan gimana caranya mewujudkan mimpi aku ini. Pastinya butuh banyak dana he he".
Riza tersenyum lebih lebar. "Aku percaya Tuhan akan memberi jalan selama kita percaya bahwa kita bisa mewujudkan mimpi kita, Nis... insyaa Allah kamu pasti bisa mewujudkannya".
"Aamiin". Nisa tersenyum simpul menganggukkan kepalanya.
"Dan aku ingin menemani dan membantu kamu mewujudkan mimpi kamu, Nis...," sambung Riza di dalam hatinya.
"Jujur... kadang aku takut... gimana kalau ternyata aku kehilangan penglihatan sebelum bisa mewujudkan impian aku ini, Riz".
Riza menatap gadis itu dengan tetap tersenyum.
"Kamu harus optimis kalau kamu bakal sembuh, Nisa. Aku yakin kamu bisa mewujudkannya".
Nisa balas tersenyum, entah kenapa ucapan Riza itu mampu menenangkan hatinya.
Nisa mengambil sesuatu dari tas tangannya lalu menyerahkannya ke Riza sembari tersenyum lebar .
"Apa ini?" tanya Riza balas tersenyum tak kalah lebar dengan raut penasaran memandangi bungkusan biru itu.
"Kamu buka aja...," jawab Nisa.
Riza menggoncang-goncang pelan hadiah itu di dekat telinganya seolah menerka-nerka isinya, sengaja menggoda gadis itu dan berhasil menghadirkan gelak tawa Nisa yang melihatinya.
"Hati-hati... awas meledak lho," sahut Nisa balas meledek Riza, membuat laki-laki itu terkekeh di tempatnya.
Sebuah arloji pria terlihat rapi di dalam kotaknya beserta sepucuk surat cinta eh surat ucapan dari Nisa (he he).
"Tolong jangan dilihat harganya, ya Riz. Maaf kalau hadiah aku nggak mahal he he...tapi aku berharap semoga hadiah ini bermanfaat buat kamu," ujar Nisa sementara Riza membuka kertas ucapan dari Nisa.
"Selamat menjadi sarjana ekonomi, Riza. Semoga sukses di karier dan kehidupan kamu.
Mungkin ada banyak sarjana ekonomi, tapi tidak semuanya baik. Semoga kamu bisa menjadi bagian dari mereka yang baik, amanah dan bermanfaat untuk kebaikan. Aku percaya kamu bisa :).
Tantangan terbesar bagi masing-masing kita adalah mengalahkan diri sendiri, termasuk rasa sombong atau merasa cepat puas. Semoga di tahap kehidupan selanjutnya, kamu tetap jadi Riza yang rendah hati tapi juga tidak pernah berhenti belajar.
Lihatlah keatas saat kamu butuh motivasi, tapi tetap melihat kebawah untuk bersyukur :). Menyentuh langit tapi tetap menginjak bumi :D.
Semangat, Riza!
Ps. Tolong doakan aku juga. Makasih :).

Salam hangat,
Nisa"
Riza tersenyum membacanya. Ia langsung memakai arloji pemberian Nisa itu dan menyimpan arloji lamanya di dalam tasnya lalu menunjukkan pergelangan tangannya ke Nisa dengan raut riangnya.
"Makasih ya, Nis...".
"You're welcome, Riz. Beberapa bulan terakhir ini kamu berjuang buat membagi waktu kamu buat kuliah dan kerja. Aku salut dan bangga, Riz. Aku harap arloji ini bisa ikut menemani kamu melewati waktu demi waktu ke depannya meski mungkin hanya sesekali sebagai cadangan he he," ucap Nisa dengan riang diantara mukanya yang masih pucat.
Riza mengangguk pelan lalu tersenyum agak lebar.
"Dengan senang hati aku ditemeni arloji dari kamu, Nis... tapi... aku berharapnya kamu menemani aku sepanjang usia aku sampai Tuhan memisahkan kita, Nisa... . Maukah kamu menikah denganku, Nis?"
Kalimat Riza itu pun menghadirkan hening di kamar rawat itu. Nisa terlihat tertegun tanpa mengeluarkan satu kata pun sementara raut muka Riza terlihat serius diantara senyumannya. Sesekali Nisa memberanikan balas menatap sejenak Riza, terlihat kesungguhan laki-laki itu disana.
"Aku ingin menjadi imam kamu, Nis. Aku ingin menemani kamu dalam senang dan sedih. Aku ingin menemani kamu saat operasi mata kamu nanti, menghapus ketakutan kamu. Aku ingin menemani kamu mewujudkan impian kamu. Aku ingin kita belajar baik bersama sepanjang hidup kita, Nisa".
Riza mengeluarkan sebuah cincin yang tak asing bagi Nisa, cincin yang pernah dilihat dan dipilihnya sebagai salah satu dari tiga permintaan Riza kepadanya.
"Bismillaah... . Would you be my best friend forever and ever, Nisa?" ucap Riza lagi, berhasil membuat Nisa makin terdiam di tempatnya. Apa yang jadi dugaan Nisa sebelumnya menjadi nyata, laki-laki itu benar-benar melamarnya. Bahagia itu hadir menyatu dengan rasa sedih yang sekaligus menyapa di hati Nisa.
"Nisa...," panggil Riza lagi menyadarkan Nisa dari diamnya. Beberapa bulir air mata lolos mengalir dari sudut mata gadis itu tanpa bisa Nisa cegah dan Nisa buru-buru menghapusnya.
"Maaf... .... aku... tetap nggak bisa, Riz. Kamu berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik," terdengar Nisa menarik nafasnya dalam-dalam dua kali, "Lagipula... aku... aku... aku masih ingin kerja dulu dan... aku belum ingin menikah. Lebih baik kamu perjuangkan perempuan yang lebih pantas buat kamu, Riz... dan aku rasa seseorang itu bukan aku. Tolong berhenti untuk memintaku menikah dengan kamu ya".
Nisa terlihat menunduk dalam posisi duduk di tempat tidurnya, ada saja air mata yang tetap lolos keluar tanpa ia minta. Meski Nisa sadar dengan apa yang harus ia katakan Riza, tapi disaat bersamaan hatinya terasa sakit karena kegigihan Riza yang tak pernah surut itu justru membuat perasaan dan keyakinan Nisa ke Riza semakin dalam.
Beberapa kali Nisa terlihat buru-buru menghapus air mata yang tak bisa dicegahnya dan Riza mengamati setiap gerak gadis itu dengan tetap menyodorkan cincin itu di hadapan Nisa. Pandangan mata keduanya beradu sejenak, pandangan penuh harap dari Riza dan pandangan penuh rasa bersalah dari Nisa.
"Maaf, Riza...," sambung Nisa kemudian berusaha tersenyum ke laki-laki itu. Ada satu ekspresi yang sama di raut keduanya, ada sedih terukir disana.
Riza akhirnya menggengam cincin di telapak tangannya yang terlihat agak bergetar itu. Giliran laki-laki itu menarik nafasnya dalam-dalam beberapa kali.
"Aku mengerti, Nis... maaf malah bikin kamu nangis dan mengganggu kamu dengan permintaan ini disaat kamu lagi sakit begini," ucap Riza lirih, "Tapi... terlepas apapun jawaban kamu, aku ingin kamu berkenalan dengan orang tua aku, Nis. Kamu mau kan?"
Nisa menatap sejenak Riza lalu berusaha melebarkan senyumannya ke Riza seraya mengangguk pelan, ada sendu dan rasa bersalah disana. Laki-laki itu pun balas tersenyum lebar, meski dengan susah payah ia melakukannya.
Dengan langkah agak gontai, Riza pun melangkah keluar kamar, hanya terlihat Mamanya sedang duduk sendirian di kursi depan ruangan itu.
"Papa sama Ayah dan Kakak Nisa kemana, Ma? Kok Mama sendirian?" tanya Riza lirih kemudian duduk di sebelah Mamanya.
"Mereka lagi sholat sekalian makan siang".
"Mama nggak ikut?"
"Mama sekalian minta dibungkusin saja, sekalian buat kamu, Nisa dan kakaknya di dalam. Lagipula Mama sengaja nggak ikut, takut kamu nyari. Mama sholatnya bareng kamu saja, Nak".
Riza mengangguk pelan. Sebagai seorang ibu, Mama Riza bisa melihat ada yang tidak biasa di raut putranya itu. "Kamu kenapa, Nak... wajah kamu kelihatan murung gitu? Kondisi Nisa gimana?"
Riza menarik nafasnya dalam-dalam lalu bergegas tersenyum lirih kearah Mamanya. "Alhamdulillaah, Ma.. Nisa sudah baikan meski masih pucat dan butuh banyak istirahat".
Terdengar ucapan syukur dan kelegaan dari mulut Mama Riza.
"Oh ya, Ma. Seperti yang Riza bilang, Riza mau kenalkan Mama ke Nisa. Sekarang Mama masuk dan bicara sama Nisa, ya".
Mama Riza tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia sudah tak sabar berkenalan dengan perempuan yang punya tempat istimewa di hati putra kesayangannya itu selain dirinya.
Keduanya baru akan masuk ke kamar rawat Nisa ketika Riza tiba-tiba berubah pikiran.
"Riza disini saja, Ma. Mama saja yang masuk dan bicara sama Nisa ya," ucap Riza lirih.
"Kenapa, Nak?"
"Riza sudah bikin Nisa nangis tadi, Ma gara-gara Riza minta Nisa menikah sama Riza. Nisa masih tetap dengan keputusannya tidak mau menikah dengan Riza. Satu sisi Riza berusaha memahami Nisa, tapi Riza juga butuh waktu buat menenangkan diri, Ma".
Mama Riza mengusap bahu putranya itu penuh sayang.
"Riza titip cincin ini ya, Ma," lanjut Riza menyerahkan kotak cincin itu ke Mamanya, meminta Mamanya untuk menyimpankan cincin untuk Nisa itu.
"Mama mengerti, Sayang. Ya sudah, kalau begitu sekarang lebih baik kamu ambil wudlu dan sholat di musholla. Adukan apa yang kamu rasakan ke Tuhan dan meminta kepada-Nya. Insyaa Allah hati kamu lebih tenang dan insyaa Allah ada jalan keluar yang terbaik. Biar Mama numpang sholat di kamar Nisa saja".
Riza mengangguk pelan dan beranjak ke musholla.
Lima menit kemudian, Mama Riza sudah duduk di sebelah Nisa. Sikap hangat yang dimiliki masing-masing meniadakan jarak dan mengakrabkan keduanya dengan cepat. Perbincangan keduanya dimulai dengan membicarakan kesehatan Nisa, jalannya wisuda hari itu, Mama Riza bercerita tentang Riza dan keluarganya begitu pun Nisa bercerita tentang keluarganya termasuk trauma Nisa tentang operasi.
Sejak Mama Riza masuk ke kamar tanpa Riza, Nisa sempat bertanya dalam hati kemana laki-laki itu yang akhirnya terjawab saat Mama Riza memberitahunya tanpa diminta .
"Dari sejak lulus sidang, Riza semangat banget cerita soal Nisa, pingin ngenalin Nisa ke Tante," cerita Mama Riza duduk di pinggir tempat tidur Nisa dengan raut teduh dan bersemangatnya. Nisa terlihat tersipu diantara senyuman lebarnya.
"Riza bilang kalau Nisa itu perempuan yang istimewa di hatinya selain Mamanya," lanjut Mama Riza melebarkan senyumannya membuat wajah Nisa makin bersemu merah.
"Nisa mau kan menikah sama Riza, Nak?"
Pertanyaan Mama Riza itu langsung hadirkan sendu diantara senyuman Nisa. Gadis itu bingung menjawab apa. Bagaimana mungkin Nisa tega mengatakan 'tidak' kepada perempuan teristimewa dari laki-laki luar biasanya itu.
"Dari cara Riza bercerita tentang Nisa apalagi setelah Tante berkenalan dengan Nisa, Tante percaya Nisa bisa membuat Riza bahagia dan insyaa Allah begitupun Riza akan melakukan hal yang sama," sambung Mama Riza seraya menggenggam tangan Nisa. Genggaman itu terasa hangat dan menghangatkan hati Nisa.
Nisa tersenyum lebar. "Nisa tidak meragukan Riza, Tante... buat Nisa, Riza itu laki-laki yang luar biasa. Siapa pun yang mendapatkan hati Riza, dia perempuan yang sangat beruntung dan pasti bahagia. Tapi..., Nisa merasa tidak pantas buat Riza, Tante apalagi dengan kondisi sakit Nisa ini. Riza berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik, yang jauh lebih bisa membahagiakan Riza".
Mama Riza menepuk-nepuk lembut tangan Nisa yang masih dipegangnya sambil tersenyum memandangi Nisa.
"Tante ingat Riza kelihatan bahagia dan bersemangat banget waktu dia memilihkan baju hadiah wisuda buat Nisa dan menunjukkan cincin yang katanya bakal buat Nisa". Mama Riza mengeluarkan kotak cincin itu dari tasnya, memandanginya sekaligus menunjukkannya ke Nisa.
"Tapi barusan Tante melihat hal sebaliknya, Riza terlihat murung terlebih saat melihat cincin spesialnya ini".
Nisa terdiam di tempatnya, ia merasa semakin bersalah ke laki-laki itu.
"Mungkin Tante memang sulit netral saat bicara tentang Riza karena seorang ibu pasti akan berada disisi anaknya. Tapi, sebagai Mama Riza, Tante bisa melihat saat Riza bicara tentang kamu, disana bukan hanya ada perasaan cinta melainkan ada tanggung jawab yang sudah siap diambil Riza buat Nisa, Nak".
Nisa balas tersenyum, menatap lama kemudian perlahan memberanikan memegang cincin milik Riza itu. Sekelebat cerita dibalik cincin itu kembali memutar di memory Nisa.
"Menikah itu bukan berarti mencari seseorang yang selalu membuat kita bahagia, Nak... tapi seseorang yang kita yakini buat menghadapi kehidupan bersama-sama, bersama berjuang dalam ikatan suci, bersama membangun rasa bahagia, bersama membalut rasa sedih, bersama menghadapi masa sulit, bersama belajar menjadi lebih baik, bersama belajar tentang satu sama lain dan bersama dalam banyak hal lainnya termasuk bersama membangun sekaligus memupuk cinta. Riza yakin perempuan itu adalah kamu, Nak".
Sebulir air mata kembali terlepas mengalir di sudut mata Nisa dan lagi-lagi buru-buru dihapusnya.
"Dan Tante percaya insyaa Allah Nisa bisa menjadi teman hidup yang baik buat Riza".
Lagi-lagi Nisa tersenyum, kali ini balas menggenggam tangan Mama Riza.
"Nisa mau menikah dengan Riza, Tante... tapi... setelah Nisa menjalani operasi mata".
"Bukannya Nisa ga mau operasi karena trauma, Nak? Apa Nisa berubah pikiran?"
Nisa terdiam sejenak, rasa takut kembali kuat menggelayuti pikiran dan perasaan Nisa. Bayangan Mama dan adiknya yang meninggal di meja operasi itu kembali datang membuat gadis itu memejamkan matanya sejenak.
"Nisa," panggil Mama Riza sembari mengusap lembut kepala gadis itu membuat Nisa menoleh kearah perempuan itu.
"Nisa akan berusaha mengalahkan rasa takut Nisa demi Ayah dan Riza, Tante". Mama Riza menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pelukan itu begitu hangat dan dirindukan Nisa seperti layaknya pelukan Mama Nisa.
"Makasih banyak ya, Nak... Tante yakin Nisa insyaa Allah akan sembuh dan semuanya akan baik-baik saja".
Sementara itu, Riza masih terduduk di musholla dengan pikiran mengembara. Laki-laki itu sudah 'bicara' dengan Penciptanya. Sebelumnya pikirannya dipenuhi momen saat Nisa menolaknya. Namun, kali ini Riza kembali teringat momen ia bersama Nisa saat mereka tersenyum bersama, Nisa yang selalu hadir dengan semangatnya termasuk buat Riza, keceriaan juga perhatian Nisa yang sederhana tapi indah bagi Riza bahkan sejak sebelum Riza menyadari perasaannya ke Nisa. Penggalan ingatan itu perlahan mengembalikan keyakinannya untuk memperjuangkan Nisa. Riza yakin Nisa punya perasaan yang sama dengannya. Nisa, gadis itu selalu menghadirkan tenang tiap kali Riza mengingatnya.
Seperti yang dibilang Mamanya, mengadu ke Tuhan berhasil menenangkannya, mengembalikan semangat dan kembali meneguhkan Riza tentang Nisa sekaligus mengusir pergi rasa tidak nyaman dan sedih yang sempat hadir di hatinya.
"Aku percaya ini hanya tentang waktu yang tepat, Nisa dan aku insyaa Allah ga akan menyerah," ucap Riza tersenyum sambil memandangi arloji pemberian Nisa di pergelangan tangannya.
Riza melihati layar handphone-nya, ada SMS dari Mamanya.
"Riz, kalau sudah selesai sholat dan menenangkan diri, tolong kamu datang ke kamar rawat Nisa ya. Ada yang perlu kalian bicarakan berdua, Nak".
Ragu, laki-laki itu masuk ke kamar rawat Nisa. Gadis itu terlihat sudah menunggunya. Riza tak bicara melainkan memilih duduk di kursi menghadap Nisa.
"Aku senang bisa berkenalan dan ngobrol dengan Mama kamu, Riz. Mama kamu juga barusan mengenalkan Papa kamu ke aku," ucap Nisa tersenyum lebar membuat Riza balas tersenyum menatap Nisa sejenak. Sejenak, ada canggung yang tiba-tiba hadir membuat hanya deru nafas keduanya yang saling bicara.
Nisa mengeluarkan sesuatu dari balik selimutnya.
"Apa ajakan kamu masih berlaku, Riz?" tanya Nisa sambil menunjukkan cincin milik Riza itu ke pemiliknya.
Riza tertegun mengetahui cincin yang ia titipkan ke mamanya itu berada di tangan Nisa. Laki-laki itu balas menatap Nisa dengan ekpresi bertanya-tanya.
"Aku mau menikah sama kamu kalau ajakan kamu masih berlaku buat aku," sambung Nisa tersenyum lebih lebar.
"Kamu... kamu nggak sedang bercanda kan, Nis? Aku nggak salah dengar kan?"
Lagi-lagi Nisa balas tersenyum kemudian mengetikkan sesuatu di handphone-nya sementara Riza masih tertegun melihati gadis itu.
"Aku mau jadi teman hidup kamu, Riz. Aku mau jadi arsitek dalam rumah tangga bersama kamu. Aku mau menikah sama kamu, Riza :)".
Nisa meminta Riza membuka handphone-nya, membaca pesan dari Nisa.
"Aku sengaja menulis pesan itu biar kamu yakin dengan apa yang kamu dengar. Kamu sama sekali nggak salah dengar, Riz. Sekarang pertanyaannya, apa ajakan Riza masih berlaku buat seorang Nisa?"
Raut laki-laki itu berubah seolah mendung langsung terusir dari wajahnya seperti dulu saat Nisa mengabulkan tiga permintaannya. Bahkan kali ini terlihat lebih bahagia. Laki-laki itu tersipu dan senyum-senyum sendiri untuk sejenak masih menatap layar handphone-nya. Giliran Nisa tersenyum melihati tingkah Riza.
"Aku bukan laki-laki yang mudah menyerah memperjuangkan sesuatu yang aku yakini, Nis. Ajakan aku buat kamu masih tidak berubah, Nisa :).
Maukah kamu menikah denganku? Would you be my best friend forever and ever, Nisa? :)"
"Aku sengaja mengetikkannya juga biar kamu yakin kalau ajakan aku masih sama, Nisa," ucap Riza akhirnya bicara sambil tersenyum ekstra lebar kearah gadis itu.
Nisa pun tersipu, ia tiba-tiba malu bahkan untuk memberikan jawaban langsung ke laki-laki itu.
"Apa kamu mau menikah denganku, Nisa?"
Nisa memberanikan menatap sejenak Riza yang sedang melihat serius kearahnya. Gadis itu balas tersenyum lalu menganggukkan kepalanya pelan.
"Yes, I do, Riza".
Nisa pun menjelaskan ke Riza bahwa ia memutuskan akan melakukan operasi mata dan ia mau menikah dengan Riza setelah operasinya berhasil.
"Baik kamu memutuskan operasi atau tidak, aku tetap ingin menikahi kamu Nisa. Aku tetap ingin jadi imam dan teman hidup kamu, Nis. Aku nggak mau kamu terlalu memaksakan diri".
Nisa tersenyum, "Aku memang bakal memaksakan diri buat berani melawan trauma aku soal operasi, Riz. Tapi aku akan berusaha melakukannya demi orang-orang yang meyayangi aku dan juga buat kebaikan diri aku sendiri. Semoga semuanya akan berjalan dengan baik". Ada rasa takut terselip di nada bicara Nisa di ujung kalimat itu.
"Insyaa Allah semuanya akan baik-baik saja, Nisa. Ada keluarga kamu dan juga aku yang akan menemani dan mendoakan kamu, Nis," jawab Riza sambil tersenyum ke gadis itu, "Dan pastinya ada Tuhan yang akan menemani dan menjaga kamu. Dengan kuasa-NYA, DIA akan menghilangkan rasa takut yang kamu rasakan, Nis".
Nisa balas tersenyum, lagi-lagi kalimat Riza berhasil menenangkan perasaannya.
Nisa menyerahkan cincin itu ke Riza.
"Jadi kapan aku bisa menyematkan cincin ini di jari manis kamu, Nis?" tanya Riza bersemangat dengan senyuman super lebarnya.
"Nanti setelah akad aja ya, Riz. Setelah kita jadi halal satu sama lain," jawab Nisa balas tersenyum tak kalah lebar.
Riza menganggukkan kepalanya.
"Tapi aku boleh kan meng-khitbah alias melamar kamu secepatnya, Nis... biar kamu nggak bisa dilamar laki-laki lain sampai akad tiba".
Nisa tertawa mendengarnya.
"Kebalik kali Riz.. yang ada harusnya aku yang khawatir, kan kamu yang banyak fans ceweknya he he".
Riza tergelak mendengarnya.
"Oh iya, bicara soal melamar, emangnya kamu sudah berkenalan sama Ayah aku?"
"He he... tadi cuma salaman sama nyebutin nama aja ke beliau pas mau jenguk kamu".
Nisa tertawa kecil.
"Ya udah nanti aku kenalkan kamu dengan laki-laki istimewaku itu biar kamu bisa melamar aku dengan benar di hadapan beliau".
Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Oh iya, kondisi mata kamu gimana sekarang, Nis? Masih sakit? Apa pandangan kamu masih kabur?"
"Alhamdulillaah sudah enakan, Riz... barusan tadi aku udah minta pulang ke dokternya he he. Hari ini aku sudah membuat keluarga aku nggak bisa menyaksikan prosesi wisuda aku padahal mereka datang buat itu. Setidaknya aku ingin foto wisuda bareng mereka hari ini".
"Aku juga belum foto wisuda bareng orang tuaku sih. Tadi setelah Ana ngasih tahu kondisi kamu, kami langsung kemari. Tapi aku sudah pesan mau foto wisuda hari ini di salah satu studio dekat kampus. Gimana kalau kita fotonya barengan aja?" tawar Riza penuh semangat.
"Memangnya nggak apa-apa, Riz?"
"Gapapa, Nis... biar sekalian kita bisa foto bareng, Nisa he he".
Nisa tertawa mendengarnya.
Setelah keduanya menghabiskan makan siangnya dan Nisa akhirnya diizinkan dokter pulang, kedua keluarga itu pun bergegas menuju studio foto.
Sebelumnya, Nisa kembali mengenakan baju kebayanya dan mengenakan make up dibantu kakaknya dan Mama Riza.
Di studio foto, Riza dan Nisa berfoto wisuda dengan keluarga masing-masing, diawali dari Riza kemudian dilanjutkan Nisa. Gadis itu terlihat makin cantik dalam balutan kebaya pink dan make up naturalnya. Begitu pun Riza terlihat tampan dengan setelan tuxedo-nya. Jawaban 'iya' dari Nisa hari itu pun membuat wajah laki-laki itu makin berseri, menambah ketampanannya.
"Masih ada satu jatah foto lagi. Gimana kalo kita foto bareng berdua, Nis?" tanya Riza menghampiri Nisa yang baru selesai berfoto.
"Foto studio berduaan sama kamu? Nggak ah, Riz... malu tahu," bisik Nisa, lagi-lagi Riza berhasil membuat wajahnya memerah tanpa diminta.
Riza terkekeh, "Anggap aja salah satu foto pre wedding".
"Bilang ke Ayah aku dan lamar aku dulu baru aku mau foto bareng berdua sama kamu di studio," jawab Nisa balas tertawa menggoda Riza, membuat Riza kembali terkekeh.
Akhirnya pose foto terakhir diputuskan foto bersama Riza, Nisa, dan keluarga keduanya.
Setelah 'pemotretan' selesai, Nisa bergegas mencium tangan orang tua Riza begitu pun Riza terhadap Ayah dan keluaga Nisa. Kedua keluarga menuju mobil masing-masing.
Nisa sedang menggendong keponakannya di luar mobil sambil sesekali bercanda dengan ayah dan keponakannya, menunggu kakaknya yang sedang membeli sesuatu di minimarket dekat studio foto itu, ketika Riza menghampirinya.
"Riza...," ucap Nisa.
Ayah Nisa pun menoleh kearah laki-laki muda itu.
Riza tersenyum kepada beliau sementara Nisa bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Riza.
"Om..., maaf kalau tadi saya belum mengenalkan diri dengan rinci ke Om. Saya bukan hanya teman Nisa, Om. Saya... saya ingin melamar Nisa sebagai calon istri saya," jelas laki-laki muda itu dengan intonasi yang susah payah ditatanya agar setenang mungkin. Nisa terlihat tertegun mendengar pernyataan Riza itu karena laki-laki itu memutuskan mengutarakan niatnya sebelum Nisa sempat membicarakan hal itu dengan ayahnya sebagaimana janjinya ke Riza sebelumnya. Sementara itu, Ayah Nisa melihati keduanya bergantian. Hening sejenak diantara ketiganya, kecuali suara Nuna yang terlihat menyanyi 'Pelangi Pelangi' dengan nada bebasnya. Riza dan Nisa melihati kearah Ayah Nisa.
Ayah Nisa tersenyum bergantian kearah keduanya.
"Sebagai Ayah dari pihak perempuan, Om akan menunggu laki-laki baik dan pemberani yang akan melamar Nisa. Kalau kamu memang serius dengan Nisa, Om tunggu kedatangan kamu dan orang tua di rumah, Nak," jawab Ayah Nisa.
Nisa terlihat tersipu diantara senyumannya. Begitu pun Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya kemudian berpamitan ke Ayah Nisa ketika tiba-tiba Nuna merengek dengan tangan minta digendong Riza.
"Nuna mau digendong Om Riza?" tanya Nisa tertawa kecil sambil mencium pipi gembul ponakannya itu.
Nuna terlihat tertawa lucu sambil menganggukkan kepalanya, membuat Riza pun langsung mengulurkan tangannya. Dan seketika pun keduanya akrab, Riza mengajak Nuna menyanyi 'Pelangi Pelangi lagi, membuat Nisa tertawa melihatnya.
"Nuna sayang, Om Riza mau pulang tuh, sudah ditungguin Mama dan Papa Om Riza. Ayo Nuna ikut Tante Nisa lagi ya," jelas Nisa sambil menunjukkan ke Nuna mobil keluarga Riza berusaha memberi pengertian ke keponakannya itu.
"Om Riza janji, kapan-kapan kita main lagi ya insyaa Allah," sambung Riza tersenyum lebar ke Nuna.
Laki-laki itu mengeluarkan handphone-nya dan mengajak Nuna foto bareng dirinya sementara Nisa terlihat tersenyum melihati keduanya.
"Ayo kamu sekalian ikut foto bareng aku dan Nuna, Nis," ujar Riza dengan senyum lebarnya. Jadilah mereka foto bertiga dengan pose 'smile' setelah beberapa kali pengambilan dengan gaya sulit tertebak ala Nuna.
Setelah dibujuk, Nuna pun akhirnya menurut dan mau kembali digendong Nisa.
"Ayo Nuna salim dulu ke Om Riza," ucap Nisa lagi langsung diikuti gerakan Nuna mencium tangan Riza. Setengah gemas, laki-laki itu pun mencium kedua pipi keponakan Nisa itu.
"Btw, Tantenya Nuna nggak mau cium tangan juga ke Om Riza nih?" goda Riza dengan suara lirih membuat Nisa tergelak.
"Mau, tapi nanti setelah akad insyaa Allah he he," jawab Nisa membuat tawa pecah diantara keduanya.
"Assalaamualaikum, Nuna dan Tante Nisa," ucap Riza dengan senyum lebarnya.
"Waalaikumsalam warrahmatullah, Om Riza," jawab Nisa sambil membahasakan Nuna agar ikut menjawab salam sementara Nuna justru sudah asyik melambaikan tangannya ke Riza.
 
~ Bersambung ~

Minggu, 30 Juli 2017

CAHAYA (PART 1)

 

C A H A Y A  

15 Oktober 2016
Pemeran di imajinasi :
Anisa sebagai Aya (Cahaya)
Rizky sebagai Rizky


[C]atatan Pengantar

Cahaya tidak pernah menyangka akan kembali berinteraksi dengan Rizky. Terlebih pertautan pertama keduanya menyisakan dingin dan seakan gelap pada akhirnya. Cahaya pun bertanya-tanya akankah terang dan hangat menghiasi pertautan mereka yang kedua? Sayangnya Cahaya tidak bisa membaca arti tatapan dan sikap laki-laki itu kepadanya saat mereka kembali harus "bersama". Waktu sepertinya ingin tetap setia menemani keduanya dalam diam hingga saatnya tiba.

[A]wal Lagi

Seorang gadis dengan jilbab merah muda sedang asyik menikmati pemandangan di sekitar danau kampusnya, bermain dengan seekor kucing ketika terdengar ada yang memanggilnya. Cahaya tersenyum lebar menatap orang yang berjalan mendekatinya.
"Kamu jadi ikutan seleksi Majalah Kampus bareng aku sore ini kan, Ay?" Asa terlihat duduk di sebelah Cahaya.
Cahaya menganggukkan kepalanya. "Jam 4 kan, Sa?" tanya Cahaya sambil melirik ke arlojinya yang menunjukkan pukul 3.10.
"Kita Asharan dulu yuk, Ay," lanjut Asa tersenyum manis. Cahaya tersenyum mengelus kucing berbulu kuning belang putih itu sekali lagi, "Aku pergi dulu ya pus,.... sampai ketemu lagi".
Keduanya pun pergi ke musholla.
Waktu menunjukkan pukul 15.45 saat Cahaya dan Asa berjalan beriringan ke tempat seleksi.
"Kamu beneran nggak merasa terpaksa kan Ay ikutan seleksi ini?" tanya Asa kesekian kalinya kepada Cahaya dijawab Cahaya dengan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis. Asa merasa tidak enak hati ke Cahaya, dua minggu ini Asa berusaha membujuk beberapa kali Cahaya untuk menemaninya ikut seleksi Majalah Kampus sampai akhirnya Cahaya bersedia. Pasalnya sahabatnya itu tipe orang yang tidak suka ikut aktif berorganisasi dua tahun terakhir ini. Padahal Asa masih ingat Cahaya cukup aktif di Media Sekolah ketika mereka duduk di bangku SMA. Sahabatnya itu sangat suka menulis, entah itu artikel atau puisi di buletin sekolahnya.
"Justru aku mau berterima kasih ke kamu, Sa. Gara-gara kamu ngajakin aku, aku jadi punya sedikit keberanian buat ikutan seleksi Majalah Kampus lagi meski hati aku masih ragu," sambung Cahaya sambil merangkul Asa. Keduanya tertawa.
"Memangnya kamu kenapa Ay sampai-sampai kamu vakum dari dunia organisasi dua tahun terakhir ini? Waktu SMA dulu kamu kan termasuk yang bersemangat ikutan organisasi sekolah apalagi kalau terkait tulis-menulis?"
Cahaya nyengir, tersenyum lebih lebar ke sahabatnya itu, "Lagi pingin menenangkan diri aja, sedikit krisis PeDe menulis juga sepertinya he he".
Asa terlihat bertanya-tanya mendengar jawaban Cahaya itu, tapi Cahaya tetap tersenyum riang kepadanya.
"Nah, kalau kamu sendiri, kenapa tiba-tiba tertarik menulis, Sa?" ujar Cahaya balik bertanya.
Gantian Asa yang tertawa nyengir ke Cahaya. "Sebenarnya sih aku tertarik sama fotografinya, Ay he he".
"Kenapa ga sekalian daftar di klub fotografi kampus, Sa? Kalau di Majalah Kampus, fotografi kan cuma sebagai pelengkap aja".
Asa lagi-lagi nyengir, "Aya..., kamu tahu sendiri klub fotografi kampus lumayan eksklusif keanggotaannya. Daripada niat belajar aku malah terkalahkan sama baperku yang lebih kuat, mending ikutan di Majalah Kampus aja yang lebih membumi. Lagipula bagian fotografinya juga sebagian dari anak-anak klub fotografi juga setahu aku he he".
Cahaya tertawa mendengarnya sambil menganggukkan kepalanya, "Gapapa, Sa. Belajar dimana aja insyaa Allah bisa meski mungkin beda kualitasnya. Yang terpenting niat kita ingin belajar. Semangaat!" Keduanya kembali tertawa.
Beberapa menit kemudian, Cahaya dan Asa pun tiba di ruang kegiatan mahasiswa yang menjadi tempat seleksi UKM Majalah Kampus. Ruangan itu cukup ramai oleh mahasiswa dengan tujuan yang sama. Cahaya dan Asa sedang asyik dengan obrolan mereka menunggu acara seleksi dimulai ketika seorang laki-laki duduk tepat di seberang mereka. Posisi duduk di ruangan itu memang diatur membentuk lingkaran.
"Itu kan Rizky yang cukup populer di Klub Fotografi, Ay. Ga nyangka dia ikutan seleksi Majalah Kampus juga," ujar Asa pelan berbisik di dekat telinga Cahaya. Cahaya hanya diam, memandangi sejenak laki-laki yang sedang asyik dengan handphone-nya itu ketika laki-laki itu tiba-tiba melihat kearahnya. Pandangan mereka saling beradu sejenak sebelum akhirnya Cahaya buru-buru menoleh kearah lain.
"Ay," panggilan Asa membuat Cahaya menoleh kearah sahabatnya itu. Cahaya tersenyum lebar.
"Kamu kenapa? Jangan bilang salah tingkah karena Rizky barusan menoleh kemari," sambung Asa sambil tersenyum meledek membuat Cahaya tertawa kecil dan menjulurkan lidahnya.
"Ngomong-omong kalo Rizky dan kita lolos seleksi dan masuk Majalah Kampus, itu artinya kita bisa belajar teknik fotografi dari dia, Ay. Denger-denger, dia kan jago ya," ucap Asa lagi kembali berbisik di telinga Cahaya.
"Iya, Sa. Kamu bisa belajar fotografi dari Rizky. Setahu aku selain jago fotografi, dia juga jago bikin animasi dan bikin layout majalah".
"Cie Aya, kamu diam-diam ternyata malah lebih tahu banyak tentang Rizky ya he he he. Kok aku doank yang belajar, kita Aya. Memangnya kamu tidak ingin belajar? Hmmm semoga aja Rizky ga pelit berbagi ilmu ya Ay secara kelihatannya sekilas dia berjarak, cuma berteman dengan orang-orang tertentu".
"Semoga saja dia mau berbagi," ucap Cahaya lirih sambil tersenyum optimis ke sahabatnya itu.
Terdengar panitia seleksi meminta semua peserta untuk menempati tempat duduk melingkar yang sudah disediakan. Cahaya dan peserta seleksi lainnya diberi tugas untuk melakukan wawancara, semacam peliputan sederhana dengan objek bebas lalu menuliskannya dalam bentuk artikel lengkap dengan layoutnya. Mereka bekerja secara kelompok, satu kelompok terdiri dari dua orang yang sudah terpilih dengan acak, dan diberi waktu dua hari untuk menyelesaikan tugas itu. Terdengar panitia sedang mengumumkan nama-nama pasangan per kelompok sampai Cahaya mendengar namanya disebut sekelompok dengan Rizky. Ingatan Cahaya seakan kembali ke dua tahun yang lalu, mendengar hal yang serupa saat namanya dan nama Rizky disebut untuk menjadi rekan satu kelompok untuk kali pertama.
"Aya,... berdiri Ay..., nama kamu disebut tuh...". Suara Asa dan tangan Asa yang menepuk pelan telapak tangan Cahaya menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Aya buru-buru berdiri dan tunjuk tangan sambil tersenyum meminta maaf ke panitia kemudian menoleh kearah laki-laki yang sedang berdiri tepat diseberangnya. Laki-laki itu terlihat memegang selebaran petunjuk teknis tugas pemberian panitia dan sedang menatap padanya. Sorot mata Rizky tidak dingin tapi juga tidak hangat namun tidak pula datar. Sorot mata itu tajam tanpa Cahaya bisa membaca makna dibalik tatapan laki-laki itu. Setengah canggung Cahaya berusaha melempar senyuman ke Rizky, tapi laki-laki itu hanya diam menatapnya nyaris tanpa berkedip. Tidak seperti dua tahun lalu di momen yang serupa, keduanya saling tersenyum.
Rizky pun menganggukkan kepalanya dan keduanya bergegas kembali duduk di tempat masing-masing.
"Sa, kira-kira boleh tukeran teman sekelompok ga, ya?" tanya Cahaya lirih membuat Asa menatap heran padanya.
"Kamu mau tukeran? Memangnya kenapa kalau kamu sekelompok sama Rizky, Ay? Bukannya kamu seharusnya seneng, dia kan jago ambil foto dan bikin layout juga. Aku aja pingin bisa sekelompok sama dia, siapa tahu bisa belajar dari dia".
Cahaya tersenyum, "Kamu mau tukeran sekelompok sama Rizky, Sa?"
Asa menggelengkan kepalanya pelan. "Aku sebenarnya mau, tapi sayangnya di aturannya ga dibolehin tuker-tukeran anggota kelompok, Ay," ujar Asa sambil menyerahkan selebaran petunjuk teknis dari panitia yang dipegangnya.
"Kamu ada masalah sama Rizky, Ay? Kamu kenal sama Rizky?" tanya Asa penasaran.
Cahaya memandangi sahabatnya itu. "Dua tahun lalu aku ikut seleksi Majalah Kampus dan sekelompok dengan Rizky. Gara-gara keteledoran aku, kami sama-sama tidak masuk ke Majalah Kampus karena tidak mengumpulkan tugas kelompok dari panitia," ujar Cahaya menarik nafas dalam-dalam sejenak, "sejak saat itu, kami tidak pernah bicara lagi selain memang jarang bertemu setelah itu".
Cahaya tersenyum dibalas senyuman lebih lebar oleh Asa. "Diambil positifnya aja, Ay. Dengan kalian ditakdirkan sekelompok lagi sekarang, kamu jadi bisa memperbaiki kesalahan kamu dua tahun lalu kan? Kalian juga jadi bisa bicara lagi".
Cahaya tersenyum lebih lebar kemudian menganggukkan kepalanya.
-----------------------------------------------
Dua tahun yang lalu...
"Aku benar-benar minta maaf, Riz. Aku akan menghadap panitia dan bilang tentang apa yang terjadi. Aku yang bertanggung jawab dan kamu nggak seharusnya ikut menanggungnya," ujar Cahaya di hari deadline tugas kelompok mereka. Tugas mereka baru saja hilang karena flashdisk Rizky yang dipegang Cahaya tiba-tiba terkena virus sehingga file tugas mereka hilang. Sebelumnya Rizky meminta Cahaya buat mengcopy tugas mereka di laptop atau flashdisk Cahaya sebagai back up karena Rizky tidak memiliki back up di laptopnya, tapi Cahaya lupa melakukannya.
"Nggak perlu, tugas ini kan tugas kelompok, Aya. Apapun yang terjadi, itu tanggung jawab kita berdua," jawab Rizky dingin sambil terus melangkah ke tempat panitia. Cahaya mengiringi laki-laki itu dengan raut wajah bersalah.
"Tapi kamu berhak mendapatkan kesempatan kedua, Riz. Aku tahu kamu berbakat dan aku bisa lihat kesungguhan juga semangat kamu untuk masuk Majalah Kampus dua hari ini. Ini murni kesalahan aku, Riz. Izinin aku untuk menjelaskan ke panitia ya," pinta Cahaya lagi. Rizky menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Cahaya, menatap tajam kepada gadis berjilbab merah muda yang terlihat menyesal itu.
"Aku tetap pada pendirian aku, Aya. Kegagalan menyerahkan tugas ini adalah kegagalan kita berdua. Aku ga mau kamu menjelaskan apa-apa ke panitia. Biar aku yang menjelaskan semuanya. Lagi pula aku tidak terlalu memikirkan kalau harus gagal menjadi anggota Majalah Kampus. Masih banyak hal yang bisa aku lakukan. Begitu pun kamu, Aya. Jadi tolong jangan berdebat lagi, okay!"
Cahaya pun hanya bisa terdiam melihati Rizky yang berjalan menjauh dari tempat Cahaya berdiri. Sejak itu pula, keduanya tak pernah lagi bicara termasuk saat Rizky baru keluar dari ruang panitia seleksi saat itu dan Cahaya berdiri menunggu laki-laki itu di dekat pintu masuk. Terlihat jelas ada kecewa di wajah laki-laki itu, tapi laki-laki itu hanya menatap Cahaya sejenak tanpa berkata apa-apa kemudian melangkah pergi, menyisakan rasa bersalah di hati Cahaya hingga saat ini.
-----------------------------------------------

[H]ening yang Mulai Bicara

Cahaya terbangun dari flashback-nya ketika Asa berpamitan padanya, hendak berdiskusi dengan teman sekelompoknya. Cahaya tersenyum riang menyemangati sahabatnya itu kemudian menoleh ke kursi di seberangnya. Rizky seolah sengaja menunggu Cahaya mendekat, entahlah. Laki-laki itu memandanginya dalam diam. Cahaya menunduk, menarik nafasnya dalam-dalam sejenak berdoa kemudian dengan agak ragu melangkah kearah tempat duduk laki-laki itu. "Semangat, Cahaya! Kali ini kamu harus bisa lebih baik," ucapnya lirih kepada dirinya sendiri. Beberapa langkah kemudian Cahaya sudah duduk di sebelah Rizky.
Hening sejenak menyapa diantara keduanya. Cahaya bingung harus memulai percakapan mereka sementara laki-laki itu terlihat masih teguh dalam diamnya.
"Assalaamualaikum Riz, ... lama kita tidak bicara lagi. Kamu apa kabar?" sapa Cahaya akhirnya sambil menarik bibirnya, membentuk senyuman lebar ke laki-laki di sebelahnya itu.
Laki-laki itu menjawab salam Cahaya sambil menoleh kearahnya, melihati wajah gadis dengan senyuman lebar itu kemudian ikut tersenyum tipis.
"Kita sekelompok lagi, Cahaya. Jadi kali ini kita mau menulis tentang apa?" ujar Rizky.
"Apa kamu mau menuliskan tentang kucing dan pecintanya lagi seperti usulan kamu dua tahun lalu? Toh kita juga tidak jadi mengumpulkan artikel itu gara-gara kejadian waktu itu," sambung Rizky.
Cahaya terdiam, ia tidak menyangka Rizky masih mengingat artikel mereka dua tahun yang lalu. Cahaya menggelengkan kepalanya pelan. Kalimat Rizky itu pun membuat Cahaya kembali dihantui rasa bersalah. "Maaf... gara-gara kecerobohan aku, kamu jadi ikut menanggung akibatnya, Riz".
Rizky melihati Cahaya yang terlihat canggung itu, Rizky merasa salah bicara karena membuat perempuan itu kembali bersikap sama seperti saat hari pengumpulan tugas dua tahun lalu. Namun, laki-laki itu memilih diam.
"Kali ini, giliran aku yang bakalan ikut usulan kamu, Riz. Kamu yang menentukan topiknya, kita mau menulis apa," lanjut Cahaya berusaha ceria setelah beberapa saat berusaha menata perasaannya. Cahaya teringat kalimat Asa sebelumnya, Cahaya bertekad ingin memperbaiki segala sesuatunya dengan laki-laki itu, meski ragu dan tanda tanya masih seringkali menyapa Cahaya.
"Baiklah. Aku ingin menulis tentang perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial. Sebaiknya kita pergi sekarang buat wawancara, Cahaya".
Cahaya terlihat bengong di tempatnya, "Kita mendatangi tempat mangkal PSK, Riz?"
Rizky menganggukkan kepalanya. "Kenapa? Apa kamu keberatan, Cahaya?" tanya Rizky dibalas gelengan kepala gadis itu dengan sedikit ragu.
"Kamu takut, Cahaya?" lanjut Rizky. Cahaya hanya diam dan tak menjawab, hanya menatap sejenak laki-laki itu.
"Atau kamu merasa terlalu baik dan suci untuk pergi ke tempat semacam itu karena kamu berjilbab, Cahaya?" tanya Rizky membuat Cahaya langsung menjawab "tidak" sambil menggelengkan kepalanya kepada Rizky.
"Aku percaya setiap manusia punya sisi baik dan buruk masing-masing, Riz. Hanya saja..., aku belum pernah pergi ke tempat semacam itu," jawab Cahaya membuat Rizky tersenyum mendengarnya. Tanpa bicara apa-apa lagi, laki-laki itu bergegas melangkah keluar ruangan dan Cahaya pun mengikutinya beberapa langkah di belakangnya.
Beberapa menit kemudian, Rizky terlihat sudah berdiri di dekat mobilnya, membukakan pintu bagian kiri depan untuk perempuan di belakangnya. Cahaya merasa canggung menerima perlakuan laki-laki itu, tapi Cahaya menerimanya. Ini bukan kali pertama Rizky melakukan hal itu, dua tahun yang lalu saat mereka sekelompok, laki-laki itu pun melakukan hal yang sama. Laki-laki itu tak berubah, hanya bedanya senyuman tak lagi menghias di wajah Rizky kali ini.
"Terima kasih," ucap Cahaya berusaha tersenyum menatap sejenak Rizky yang hendak menutup pintu mobilnya. Laki-laki itu hanya mengangguk. Kemudian bergegas menuju kursi di depan stir yang jadi tempat duduknya. Cahaya terlihat diam menundukkan kepalanya.
"Kamu tidak perlu takut Cahaya, kita kan berdua kesananya. Semuanya insyaa Allah akan baik-baik saja, Cahaya," ucap Rizky menoleh sejenak kearah Cahaya.
Cahaya mengangguk pelan.
"Cukup panggil aku Aya, Riz... biar kamu tidak terlalu panjang menyebut nama aku". Cahaya merasa aneh karena beberapa kali Rizky selalu menyebut nama depannya lengkap saat bicara dengannya.
"Aku lebih suka memanggil kamu 'Cahaya' sekarang dan aku harap kamu tidak keberatan," jawab Rizky membuat Cahaya pun menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum. Sejenak mereka membicarakan apa saja yang ingin mereka gali dari pekerja seks komersial saat wawancara. Setelahnya, tak ada lagi percakapan diantara keduanya, Rizky terlihat fokus menyetir mobilnya sementara Cahaya fokus melihati pemandangan di kanan kiri sepanjang perjalanan mereka menuju ke objek wawancara.

[A]ntara Kita

Waktu menunjukkan hampir senja saat Rizky dan Cahaya tiba di tempat beberapa pekerja seks komersial (PSK) itu bekerja menawarkan jasanya. Rizky sengaja memarkir mobilnya agak jauh sehingga keduanya pun berjalan beriringan mendekati objek wawancara mereka. "Kamu yakin kita tetap mau mewawancarai PSK, Riz?" tanya Cahaya sambil melihati keadaan sekelilingnya. Dari agak kejauhan, terlihat sebuah warung dengan tiga perempuan sedang duduk sambil asyik bercengkerama bersama tiga laki-laki disana dan seorang perempuan usia 35 tahunan sedang duduk sepertinya siap menunggu pelanggan.
Rizky menatap gadis di sebelahnya itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Aku akan mewawancarai perempuan yang lagi duduk sendirian itu. Kamu tunggu di bangku situ aja, Cahaya. Kalau kamu ikutan, takutnya si mbaknya malah susah digali informasinya. Biar aku menyamar sebagai pelanggan yang nge-booking aja biar lebih mudah," ujar Rizky diikuti anggukan pelan Cahaya sambil melangkah kearah bangku kayu yang ditunjuk Rizky. Rizky mengantarkan Cahaya hingga duduk di bangku itu.
"Nanti kamu pakai apa untuk keperluan dokumentasi, Riz? Soalnya kalau pakai kamera kamu yang canggih dan mahal itu bakal terlalu mencolok disini," sambung Cahaya lagi dengan polosnya, tetap memasang raut riangnya. Cahaya berusaha memegang tekadnya. Secampur aduk apapun hatinya saat itu, dia ingin memperbaiki segala sesuatunya tentang Rizky. "Kalau kamu mau, kamu bisa pakai kamera sakuku," sambung Cahaya hendak mengeluarkan kamera dari dalam ranselnya.
"Aku juga bawa kamera saku kok, Cahaya," jawab laki-laki itu datar. Rizky terlihat membuka tas ranselnya, menyiapkan keperluan wawancara sambil memperlihatkan kamera saku miliknya ke gadis di sebelahnya. Laki-laki itu terlihat menuliskan sesuatu di secarik kertas dan menyerahkannya ke Cahaya. "Ini nomer handphone aku kalau ada sesuatu mendesak atau ada yang perlu kamu sampaikan," ucap Rizky sambil berdiri hendak berjalan meninggalkan Cahaya. Cahaya menerima robekan kertas itu dengan sedikit tertegun kemudian cepat-cepat menyunggingkan senyumnya yang lebar ke Rizky disertai ucapan terima kasihnya. Seperti sebelumnya laki-laki itu hanya balas melihatinya sambil menganggukkan kepalanya pelan tanpa ada lengkung senyum di bibirnya.
"Aku pergi dulu," pamit laki-laki itu ketika Cahaya memanggil namanya, membuat Rizky lagi-lagi menoleh.
"Ada apa?"
"Hati-hati ya. Kamu jangan makan dan minum sembarangan disana. Takutnya ada yang iseng masukin semacam obat perangsang atau obat tidur atau bahkan zat yang memabukkan," ucap Cahaya membuat Rizky makin fokus melihati kearahnya hingga membuat perempuan itu jadi sedikit salah tingkah.
"Bukannya berprasangka buruk sih, Riz... tapi sekedar jaga-jaga aja," tambah Cahaya melebarkan senyumannya, berusaha menetralkan debaran dan kecanggungan yang dirasakannya, "kalau kamu mau, kamu boleh bawa air minum aku, Riz".
Dengan gerak cepat, Cahaya mengeluarkan botol minumannya yang masih terisi separuhnya dari dalam ranselnya. Rizky mengamati sekilas botol minum milik Cahaya itu, botol itu botol yang sama seperti dua tahun yang lalu saat Cahaya menawarkan air minumnya untuk Rizky membatalkan puasa sunnahnya saat itu gara-gara mereka terlalu asyik mengerjakan artikel di perpustakaan dan hujan deras menemani kebersamaan mereka serta pengunjung perpustakaan lainnya. Rizky kembali mengingat dua tahun lalu dirinya cukup rajin melakukan puasa sunnah.
"Rizky...," panggil Cahaya menyadarkan Rizky dari flashback-nya. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Kamu tenang aja, Cahaya. Di warung itu pasti jual air mineral. Biar aku beli air mineral disana. Kalau aku bawa air sendiri, malah aneh nantinya".
"Iya juga ya," jawab Cahaya polos setengah menertawakan dirinya sendiri. Cahaya menyimpan kembali botol air minumnya.
"Tapi ingat jangan mau kalau ditawarin yang aneh-aneh atau ke tempat yang lebih sepi apalagi sampai ditawari ngamar, Riz. Kamu wawancaranya di warung aja ya biar aku bisa melihat kamu dari kejauhan," sambung Cahaya lagi, perempuan itu berusaha menata bicaranya agar tidak terdengar berlebihan dan sok perhatian oleh Rizky. Lagi-lagi Rizky hanya menganggukkan kepala sambil tetap menatap Cahaya. "Kamu tenang aja. Aku bakal jaga diri aku baik-baik. Kamu disini aja dan jangan kemana-mana ya sampai aku selesai," ucapnya datar kemudian membalikkan badan perlahan berjalan menjauhi Cahaya. Seketika itu raut wajah datar Rizky berubah. Laki-laki itu tersenyum mengingat setiap perkataan gadis bernama Cahaya itu sebelumnya. Ada bahagia yang dirasakan Rizky saat Cahaya menunjukkan perhatian kecilnya lewat kalimat demi kalimatnya meski di satu sisi Rizky tidak ingin Cahaya tahu apa yang dirasakannya.
"Apa aku terlalu banyak bicara dan bawel ya?" tanya Cahaya ke dirinya, lagi-lagi sedikit malu menertawakan dirinya sendiri, mengingat lagi pesan demi pesannya buat Rizky sambil mengamati punggung badan Rizky yang makin menjauh dari tempatnya duduk. Cahaya kemudian memandangi sobekan kertas dari Rizky sebelumnya, sobekan yang sebenarnya tidak diperlukan Cahaya. Sebelas digit angka nomer handphone itu masih sama seperti dua tahun yang lalu. Bahkan Cahaya masih mengingatnya samar-samar sekaligus masih menyimpannya di daftar kontak telepon di handphone-nya.
"Mungkin akhir pertemuan kami yang tidak menyenangkan dua tahun lalu membuat Rizky menghapus semua hal tentang aku saat itu termasuk nomer handphone-ku. Dan mungkin dia menganggap aku pun melakukan hal yang sama," batin Cahaya ketika terdengar suara hewan kesukaannya, membuat Cahaya tersenyum lalu mengajak main kucing yang baru di-'kenal'-nya itu sambil mengamati Rizky dari kejauhan.
"Kakak suka kucing juga?"
Cahaya menoleh keasal suara, terlihat seorang gadis kecil ikut jongkok di sebelahnya.
Cahaya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Adik suka juga?"
Terlihat adik kecil itu menganggukkan kepalanya ringan balas tersenyum lebar.
"Nama adik siapa?"
"Indah," jawabnya.
"Nama Kakak Cahaya, panggil aja Kak Aya," ucap Cahaya sambil mengulurkan tangannya mengajak berkenalan dan melebarkan senyumannya.
"Oh iya, Kak Aya ngapain duduk sendirian disini?"
"Kak Aya lagi nungguin teman kakak yang sedang ngobrol di warung sana," jawab Cahaya.
Indah memerhatikan arah pandangan Cahaya.
"Teman kakak yang lagi ngobrol dengan perempuan yang pake baju merah di ujung itu?"
Cahaya menganggukkan kepalanya ringan.
"Kenapa teman Kak Aya kesana? Emangnya Kak Aya ga cukup buat dijadikan teman ngobrol sampai dia ninggalin Kak Aya sendirian disini dan malah teman Kak Aya ngobrol sama ibu aku, Kak?"
"Ibu?" tanya Cahaya setengah tertegun menatap gadis kecil disebelahnya itu, "Jadi perempuan disana itu ibunya Indah?"
Indah mengangguk.
"Indah sebenarnya nggak suka tiap kali melihat ada laki-laki yang mendatangi dan membayar ibu, bercanda sambil megang-megang ibu Indah apalagi sampai mengajaknya pergi. Kata orang, ibu Indah cari uang dengan menjual diri dan itu dosa".
Cahaya menatap gadis itu sendu. Ia merasa sedih gadis kecil itu sudah dipaksa memahami kehidupan yang tak biasa buat anak seumurannya.
"Kata orang juga, mereka yang datang kesana bukan orang baik-baik, Kak. Teman Kak Aya berarti bukan orang baik ya?"
Cahaya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Teman kakak dan Kak Aya kebetulan sedang ada tugas dari kampus membuat tulisan tentang mereka yang bekerja seperti Ibu adik makanya teman Kak Aya tanya-tanya ke Ibu adik".
"Oooo begitu". Terlihat Indah masih mengamati dengan serius kearah ibunya dan Rizky.
"Indah tenang aja ya, teman Kak Aya bukan cowok nakal. Namanya Kak Rizky. Kak Rizky cuma mewawancarai ibunya Indah untuk keperluan tulisan kami. Itu sebabnya Kak Aya menunggui Kak Rizky dari sini, sekaligus ngejagain Kak Rizky. Sebaliknya juga Kak Rizky menjaga Kak Aya dengan menyuruh Kakak menunggu disini, tidak perlu ikut kesana. Kak Rizky insyaa Allah ga bakal macam-macam ke ibunya Indah kok," jelas Cahaya sambil tersenyum lebar diikuti anggukan pelan Indah yang balas tersenyum.
"Oh iya, Indah kelas berapa?"
"Kelas tiga, Kak".
Tangan Indah terlihat mensejajari tangan Cahaya, sama-sama membelai bulu kucing di hadapan keduanya.
"Tom syukur udah makan belum?" tanya gadis kecil itu kali ini membelai kepala hewan itu.
"Tom Syukur?" tanya Cahaya spontan.
Indah terlihat meringis menatap kearahnya.
"Iya... kucing ini aku kasih nama Tom Syukur, Kak... Tom dari Tom and Jerry. Kalo Syukur dari Pak Ustadz yang ngajarin Indah ngaji di musolla. Kata Pak Ustadz kunci bahagia itu bersyukur he he".
Cahaya menganggukkan kepalanya.
"Terus, apa hubungannya syukur sama si Tom?" ujar Cahaya tetap tersenyum lebar penasaran.
"Soalnya Indah selalu merasa senang tiap kali main bareng si Tom Syukur ini, Kak he he. Indah bersyukur punya Tom Syukur ini buat temen main, jadinya Indah ga pernah merasa kesepian he he".
Cahaya tersenyum lebar kearah gadis kecil itu. Gadis itu membuat Cahaya makin meyakini bahwa bahagia dan syukur itu sederhana, bisa menjadi milik semua orang, tak masalah seperti apa kondisinya.
"Soalnya Indah cuma tahu kalau satu-satunya keluarga Indah ya Ibu aja, Kak... ga ada yang lain. Kakek Nenek dari Ibu sudah meninggal semua," jelas Indah lagi.
Gadis kecil itu terlihat melempar senyumannya lebih lebar, seolah tak ingin Cahaya ikut bersedih untuknya.
Cahaya pun balas tersenyum lebar.
"Gadis kecil yang tegar," batin Cahaya.
Cahaya jadi penasaran ingin tahu sudut pandang kehidupan dari kaca mata gadis kecil yang periang itu, ingin belajar kehidupan dari Indah, siapa tahu juga bisa melengkapi wawancara Rizky nantinya.
"Kalau keluarga dari Ayah Indah?" tanya Cahaya pelan dan hati-hati dengan raut penuh empati tetap dengan lengkungan senyuman tulusnya.
Indah terdiam sejenak, melirik kearah ibunya dan Rizky berada kemudian kembali tersenyum lebar menatap Cahaya.
"Boro-boro keluarga ayah, Indah aja nggak pernah tahu siapa Ayahnya Indah, Kak. Kata Ibu sih Ayah Indah salah satu dari laki-laki yang datang ke warung itu, tapi laki-laki ini istimewa dan bikin ibu Indah jatuh cinta meski ujung-ujungnya tetap pergi seperti laki-laki yang lainnya, ninggalin ibu Indah dalam kondisi hamil".
Indah terdiam sejenak agak murung kemudian buru-buru kembali tersenyum lebar. "Tapi Indah tetap merasa beruntung, Kak... ibu Indah memutuskan buat ngelahirin Indah dan ngebesarin Indah dengan penuh kasih sayang meski jujur Indah ga suka dengan pekerjaan Ibu".
Cahaya balas tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya pelan.
"Apapun pekerjaan ibu Indah, Indah tetep harus menghormati dan menyayangi beliau ya. Yang terpenting Indah jangan pernah berhenti doakan Ibunya Indah semoga Ibu bisa segera berhenti dari pekerjaannya sekarang dan mencari pekerjaan yang lebih baik dan halal," jelas Cahaya, refleks tangan gadis itu sudah mengelus lembut rambut gadis kecil yang menganggukkan kepala sambil tersenyum padanya itu.
"Iya Kak Aya... Indah pasti terus berdoa, Kak. Kak Aya bantu doain ya biar doa Indah segera dikabulkan. Indah juga minta bantuan Pak Ustadz di musholla buat ikut ngedoain he he". Cahaya pun mengangguk-anggukkan kepalanya balas tersenyum lebih lebar.
"Oh iya, Indah keberatan ga kalo Kak Aya selipin obrolan kita di artikel yang temen kakak tulis nanti? Kak Aya jadi belajar juga dari Indah soalnya," tanya Cahaya lagi, "Indah tenang aja, nanti nama aslinya dirahasiakan juga".
Dengan ringan Indah menjawab bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Indah lagi-lagi melirik kearah Ibunya dan Rizky dari kejauhan, kemudian tersenyum kearah Cahaya.
"Kak Aya ngelakuin ini buat ngebantuin cowok Kak Aya yang lagi ngobrol sama Ibunya Indah ya?" celetuk Indah agak cengengesan menggoda Cahaya, berhasil membuat Cahaya tertegun mendengarnya.
"Kak Rizky bukan cowok Kak Aya, Indah. Kami berdua cuma temen satu tim aja," jawab Cahaya buru-buru mengklarifikasi.
Indah justru makin tertawa.
"Yakin cuma temen Kak? Soalnya Indah beberapa kali nge-gap Kak Rizky ngelihatin kearah Kak Aya, begitu juga sebaliknya, kayak saling curi-curi pandang gitu. Kata temen ngaji Indah nih, kalau cowok sama cewek saling curi pandang, itu artinya mereka perhatian dan tertarik cuma mereka belum berani saling ngungkapin aja, Kak Aya he he".
Cahaya pun tergelak mendengarnya, tak menyangka gadis sekecil Indah sudah 'segaul' itu dan ikut-ikutan menganalisa rasa diantara dua orang dewasa. Andai Indah tahu ketegangan yang terjadi diantara dirinya dan Rizky beberapa saat sebelumnya, tapi... apa mungkin yang dikatakan Indah itu ada benarnya? Cahaya menertawai pertanyaan yang melintas tiba-tiba di kepalanya itu. Ingatan Cahaya seolah kembali pada dua tahun lalu, saat seorang anak kecil, adik dari pecinta kucing yang diwawancarai mereka saat itu, mengagetkan Cahaya dan Rizky dengan pertanyaan spontan polosnya di tengah wawancara. Si adik yang berumur sekitar 7 tahunan itu tiba-tiba menanyakan langsung bergantian apakah Rizky menyukai Cahaya serta sebaliknya gara-gara katanya baik Rizky maupun Cahaya beberapa kali terlihat sedang saling mencuri pandang sambil tersenyum dengan binar kagum ke satu sama lain selama proses wawancara. Rizky bertindak sebagai fotografer untuk proyek pertama mereka itu sementara Cahaya sebagai pewawancara. Cahaya pun tersenyum makin lebar mengingat reaksi keduanya yang langsung mengelak dengan agak malu-malu kucing, bahkan mengalahkan raut si kucing peliharaan objek wawancara mereka yang terlihat woles seperti biasa (he he).
"Kenapa juga waktu itu harus malu-malu kucing ya?" pikir Cahaya baru menyadarinya, Cahaya berusaha menahan senyumannya.
Azan Maghrib berkumandang, Rizky terlihat masih asyik dengan obrolannya bersama perempuan di hadapannya itu.
"Udah maghrib, Kak. Indah mau sholat lanjut ngaji di musholla. Apa Kak Aya mau sekalian sholat berjamaah di musholla?"
Cahaya menoleh kearah Indah, tersenyum lebar kearahnya.
Lagi-lagi ia menatap kearah Rizky, ia ragu meninggalkan laki-laki itu sendiri.
"Kak Aya hubungin teman Kakak dulu ya, Ndah. Siapa tahu, Kak Rizky mau sekalian sholat bareng," jawab Cahaya.
"Ya udah, kalau gitu Indah ambil mukena dulu di dalam ya, Kak".
Ternyata bangku tempat Cahaya menunggu Rizky itu tepat di depan rumah Indah.
"Riz, apa wawancaranya masih lama? Sudah maghrib, aku mau sholat berjamaah di musholla terdekat tapi aku nggak mungkin ninggalin kamu sendiri," ketik Cahaya via whatsapp.
Cahaya kembali melihati kearah Rizky, laki-laki itu juga sedang melihatinya dari kejauhan.
Tempat Cahaya menunggu itu terlihat redup seiring hari yang makin petang, penerangan di sekitarnya pun redup tak seterang penerangan di warung tempat Rizky berada.
"Hari mulai gelap, pasti banyak nyamuk di tempat Cahaya menunggu," batin laki-laki itu menduga-duga.
"Kenapa Mas?" tanya perempuan di depan Rizky sambil ikut melihat kearah Rizky memandang. Tampak seorang gadis sepertinya seumuran Rizky dan seorang gadis kecil, sedang melihat kearah mereka berdua.
"Itu teman cewek Mas Rizky ya?" tanya perempuan itu lagi.
"Iya...".
"Pantes muka Mas Rizky kelihatan agak gelisah gitu. Ceweknya cemburu ya Mas?"
Rizky buru-buru menoleh dan menggelengkan kepalanya.
"Eh em eh...maksudnya perempuan itu teman aku, bukan cewek aku, Mbak," ujar Rizky berusaha memberi penjelasan.
"Dia... dia teman satu tim ngerjain tugas artikel ini, tapi aku sengaja minta dia menunggu disana... ga ikutan kesini. Aku takut Mbak ngerasa risih kalau ada dia he he," sambung Rizky.
Lagi-lagi Rizky melihati layar handphone-nya, membaca lagi pesan dari Cahaya kemudian kembali menoleh sejenak kearah gadis itu.
Gadis itu terlihat tak beranjak dari tempatnya sepertinya masih menunggunya.
"Apa teman kamu japri ngajakin dan nungguin kamu buat sholat maghrib?"
Rizky tersenyum ragu menganggukkan kepalanya.
"Iya mbak, dia mau sholat di musholla terdekat tapi dia ga mungkin ninggalin aku".
Perempuan di hadapan Rizky itu tersenyum mendengarnya, ada 'cie cie' tersirat dari raut wajahnya. Rizky hanya bisa berusaha menahan senyumnya.
"Ya udah buruan kamu samperin sana. Sholat maghrib berjamaahnya bentar lagi mulai tuh".
"Iya Mbak..., tapi obrolan kita gimana, Mbak? Masih ada yang mau saya tanyakan soalnya".
Perempuan itu terlihat menoleh kearah Cahaya dan Indah.
"Nanti habis kamu sholat, kita lanjutin lagi aja disini. Gimana?"
Rizky tersenyum antusias menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu bersiap meninggalkan tempat duduknya ketika ia teringat sesuatu dan merogoh sakunya. Dua lembar ratusan ribu ia serahkan ke perempuan di hadapannya itu.
"Semoga nggak kurang, Mbak. Makasih," ujarnya kemudian melangkah menjauh dan menghampiri Cahaya yang berdiri setia menunggu di tempatnya ketika lagi-lagi ia teringat sesuatu dan berjalan menghampiri perempuan di warung itu lagi.
"Maaf Mbak, bisa nggak kalo setelah aku sholat kita cari tempat ngobrol lain, bukan disini?" tanya Rizky agak ragu. Perempuan berbaju merah yang belum beranjak dari tempat duduknya itu pun terlihat bertanya-tanya meski tanpa suara seolah tahu bahwa kalimat laki-laki muda itu belum selesai.
"Mungkin ada tempat makan atau cafe yang enak buat ngobrol di jalan raya sekitar sini? Soalnya kasihan teman aku kalau harus nunggu lagi di remang-remang sana sendirian. Pasti nyamuk-nyamuk juga bersliweran disana malam-malam gini".
Rizky menoleh kearah Cahaya sambil mengetikkan sesuatu di handphonenya, ada dua panggilan tak terjawab dari Cahaya.
"Sebentar".
"Ya udah, nanti selesai sholat kamu ketuk aja rumah aku pas di belakang tempat teman kamu nunggu itu. Baru kita tentukan mau makan dan ngobrol dimana," sahut perempuan itu tersenyum setengah menggoda sambil menoleh bergantian ke Cahaya dan Rizky, menangkap raut wajah sedikit tak tenang di wajah Rizky.
"Buruan, sholatnya udah mau mulai tuh. Temen cewek kamu dan anakku pasti gelisah nungguin kamu masih aja disini".
Rizky agak kaget mendengarnya tapi mengangguk dan buru-buru berlari menghampiri Cahaya. Dengan berjalan cepat bahkan setengah berlari kecil, Rizky, Cahaya dan Indah bergegas menuju musholla.
Dua puluh menit kemudian, Rizky terlihat sudah menunggu Cahaya di depan musholla. Tak banyak jamaah perempuan yang tersisa hanya beberapa anak yang bersiap mengaji, hingga Rizky bisa mengenali dan mengamati Cahaya yang masih asyik berdoa, masih mengenakan mukena. Laki-laki itu tersenyum. Tiba-tiba ingatan Rizky kembali ke dua tahun lalu ketika mereka numpang sholat di sebuah masjid. Situasi masjid kala itu agak lengang. Keduanya sepakat bergantian wudlu agar ada yang menjagakan barang mereka hingga posisi tempat sholat mereka pun berdekatan. Saat itu, Rizky ragu mengajak Cahaya berjamaah dengannya ketika suara gadis dalam balutan mukena soft pink dua meter dibelakangnya itu mengakhiri keraguannya.
"Kita sholat berjamaah ya, Riz," pinta Cahaya diikuti senyuman dan anggukan kepala serta jawaban iya penuh semangat dari Rizky.
Rizky senyum-senyum sendiri menyusuri kenangannya bersama Cahaya itu sebelum kemudian wajahnya kembali cool saat gadis yang ditunggunya itu melihat kearahnya dan buru-buru menghampirinya.
"Maaf, lama nunggunya ya, Riz?" tanya Cahaya tersenyum dengan polosnya dibalas gelengan kepala pelan Rizky, laki-laki itu masih saja 'menjual' mahal senyumannya. Dengan kalimat singkat dan secukupnya Rizky pun menjelaskan padanya bahwa mereka akan mencari tempat makan sekaligus tempat ngobrol di sekitar sana untuk menyelesaikan wawancaranya dengan ibunya Indah. Cahaya seperti biasa tetap tersenyum dan bersemangat menganggukkan kepalanya. Sementara Rizky hanya melihati Cahaya dengan raut seriusnya sejenak sebelum akhirnya ia berjalan diikuti Cahaya yang berusaha mensejajarkan langkahnya. Hanya terdengar pelan suara nafas masing-masing menjadi percakapan diantara keduanya. Mereka baru berjalan sekitar sepuluh langkah saat laki-laki itu tiba-tiba menghentikan langkahnya membuat Cahaya pun ikut berhenti dan menoleh padanya.
"Kenapa, Riz?"
"Kamu jalannya di depanku saja," ujar Rizky, "Langkah aku lebih panjang dari langkah kamu soalnya".
Ada tanda tanya di raut muka Cahaya tapi perempuan itu pun mengangguk dan menuruti kalimat laki-laki di sebelahnya itu.
Rizky kembali melangkah setelah Cahaya berjalan dua meter di depannya.
Penerangan jalanan menuju rumah Indah agak gelap membuat Cahaya perlahan menyadari maksud perkataan Rizky. Laki-laki itu sepertinya ingin menjaganya dari belakang.
"Terima kasih," ucap Cahaya tiba-tiba berhenti sejenak dan menoleh ke Rizky dengan menyunggingkan senyumnya, membuat Rizky tertegun apa maksud gadis itu, tapi kemudian ia mengerti dan menganggukkan kepalanya pelan.
Di belakang Cahaya, Rizky sesekali tersenyum melihati punggung badan perempuan berjilbab pink yang berjalan di depannya itu. Ia teringat dua tahun lalu, ia pernah melakukan hal yang serupa meski tak sama. Waktu itu mereka baru pulang dari perpustakaan selepas maghrib dan cuaca waktu itu habis hujan. Cahaya menolak tawaran Rizky untuk mengantarkannya pulang dengan motor Rizky karena kosnya tidak jauh dari perpustakaan sehingga gadis itu memilih berjalan kaki saja. Terlebih lagi saat itu Rizky belum sempat makan besar setelah seharian puasa. Namun demikian, karena Rizky tahu di beberapa titik jalan yang akan dilalui Cahaya terdapat tempat yang agak gelap dan sepi, Rizky akhirnya mengikuti gadis itu beberapa meter di belakangnya tanpa sepengetahuan Cahaya. Rizky berhenti mengikutinya ketika gadis itu tiba di tempat yang benar-benar terang dan aman.
Tiga puluh menit kemudian, Rizky, Cahaya, dan ibu Indah pun akhirnya duduk bersama di sebuah tempat makan. Situasi disana terlihat cukup ramai sehingga petugas yang melayani pun terlihat sibuk semua mendatangi meja demi meja yang lain.
Rizky terlihat mengeluarkan alat yang diperlukannya buat wawancara.
"Oh iya, Riz... kamu dan mbaknya mau makan apa?" tanya Cahaya sambil mengeluarkan pulpen dan secarik kertas dari tasnya. Rizky dan ibu Indah pun menyebutkan pesanan mereka dan Cahaya pun kemudian menuliskannya termasuk pesanan dirinya.
"Biar aku yang pesan makanannya, Cahaya... kamu temenin mbaknya disini aja," ucap Rizky meminta sobekan kertas di tangan Cahaya, menahan Cahaya yang hendak berdiri mengantri di kasir.
"Biar aku yang pesan makanannya, Riz...kamu lanjutkan aja wawancaranya ya," jawab Cahaya berusaha tetap tersenyum ke laki-laki yang masih memasang ekspresi datar itu.
Rizky sejenak melihati lagi antrian agak panjang di kasir itu lalu menggelengkan kepalanya ke Cahaya dan tetap meminta sobekan kertas dari tangan Cahaya.
"Biar aku aja, kamu duduk aja disini sama mbaknya, Cahaya. Aku titip tas ransel aku," ucap Rizky pelan lalu bergegas pergi menuju kasir.
"Udah, kamu mending duduk aja," ucap ibu Indah membuat Cahaya yang mendekap tas ransel Rizky dengan hati-hati itu pun duduk. Keduanya sudah berkenalan saat Rizky dan Cahaya menghampiri perempuan itu ke rumahnya, ibu Indah itu bernama Risa.
"Apa kamu merasa risih duduk berdua dengan orang sepertiku, Aya?"
Cahaya buru-buru menggelengkan kepalanya sambil melebarkan senyumannya.
"Sama sekali nggak, Mbak... saya harap Mbak Risa nggak salah paham. Saya cuma ngerasa ga enak aja sama Rizky karena saya nggak ngebantu dia apa-apa hari ini... dia doang yang sibuk... padahal kan kami satu tim".
Perempuan berbaju merah itu tersenyum melihati Rizky dan Cahaya bergantian.
"Tapi yang aku lihat Rizky melakukannya tanpa merasa keberatan,... dia itu tipe laki-laki yang bertanggung jawab sepertinya. Dia memilih tempat ini karena dia ga tega ngelihat kamu duduk di bangku depan rumahku sendirian malam-malam nungguin dia nyelesein wawancaranya," lanjut Risa membuat Cahaya tertegun sejenak lalu lagi-lagi tersenyum ke perempuan itu.
"Jadi aku ga heran juga dengan apa yang dilakukan Rizky barusan karena fokus dia itu juga memastikan kamu baik-baik saja selain menyelesaikan wawancara ini," sambung Risa membuat Cahaya makin tertegun di tempatnya lalu buru-buru melebarkan senyumannya. Lagi-lagi Cahaya melihati Rizky diantara orang yang antri di kasir itu. Cahaya buru-buru mengenyahkan rasa Ge Er dan pikiran aneh-aneh yang sempat hinggap tiba-tiba di pikirannya saat itu. Sejak pertemuan pertama mereka, Cahaya tahu Rizky sosok laki-laki yang penuh tanggung jawab, hal itu terlihat dari sikap Rizky selama mereka mengerjakan tugas bersama. Bahkan Cahaya pernah mengungkapkannya langsung penilaiannya itu ke Rizky dan laki-laki itu berkata kepadanya mungkin kehilangan figur ayah sejak kecillah yang membentuknya jadi seperti itu. Ya, perlakuan Rizky kepadanya hari ini pun adalah bentuk tanggung jawab laki-laki itu, tidak lebih dan tentu saja tidak ada kaitannya dengan 'rasa'.
"Aku rasa kamu punya tempat yang spesial di hati Rizky terlepas sikap dia yang datar didepan kamu, Aya. Sikap datarnya itu seolah ia berusaha menyembunyikan sesuatu dari kamu," sambung Risa lagi membuat Cahaya heran mendengarnya, betapa mudahnya orang menganalisa soal 'rasa' diantara dirinya dan Rizky, sebelumnya Indah dan sekarang ibunya Indah. Padahal jangankan soal 'rasa', Cahaya sendiri masih bingung memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Rizky agar kembali seperti semula, setidaknya mengembalikan senyuman Rizky saat berhadapan dengannya seperti sebelum insiden tugas dua tahun lalu itu terjadi.
"Cahaya?"
Panggilan Risa itu pun menyadarkan Cahaya dari pikirannya sendiri lalu lagi-lagi melebarkan senyumannya.
"Mbak Risa bisa aja menduga-duganya. Kami berdua cuma berteman biasa kok, Mbak. Gara-gara keteledoran saya dua tahun lalu, Rizky jadi gagal masuk ke organisasi majalah kampus kami. Itu sebabnya saya ingin memperbaiki segala sesuatunya kali ini. Saya akan merasa cukup senang kalo saya bisa melihat Rizky tersenyum lagi ke saya seperti awal kami berkenalan dua tahun lalu," jelas Cahaya bersemangat.
Ibu Indah terlihat menganggukkan kepalanya, balas tersenyum tak kalah lebar. "Kamu pasti bisa, Aya. Bahkan kalau pun sampai nanti sikap Rizky tetap datar di depan kamu, aku yakin di hatinya dia sebenarnya tersenyum ke kamu. Aku bisa lihat itu".
Cahaya pun hanya tersenyum mendengarnya. Cahaya merasa beruntung, diantara semua keresahan yang mampir di hatinya hari itu, ia justru bertemu dengan orang-orang yang menyemangatinya.
Percakapan keduanya pun berakhir karena Rizky, laki-laki yang menjadi objek obrolan singkat mereka, datang sambil membawa nomor pesanan mereka.
Rizky pun melanjutkan wawancaranya dengan ibunya Indah lalu mereka menutupnya dengan makan bersama.
Waktu menunjukkan pukul 19.45 saat saat Cahaya dan Rizky berpisah dengan ibunya Indah. Keduanya bergegas menuju mobil Rizky setelah sebelumnya sempat saling beradu argumen kecil. Cahaya berencana pulang dengan naik ojek online tapi Rizky dengan tegas ingin mengantarkannya. Cahaya pun akhirnya mengalah terlebih kali ini ia punya misi ingin memperbaiki hubungannya dengan laki-laki itu.
Setiba di mobil Rizky, Cahaya yang duduk di sebelah Rizky pun meminjam alat perekam Rizky dan meng-copy-kan rekaman wawancara Rizky ke laptopnya.
"Besok kita ketemu di perpus fakultas kamu aja habis Ashar, Cahaya. Aku ada kuliah sampai jam 15.30 soalnya".
Cahaya menganggukkan kepalanya pelan tetap tersenyum ke laki-laki yang bertahan dengan raut datarnya itu.
"Hari ini kamu sudah melakukan tugas kamu mewawancarai sekaligus mendokumentasikan objek artikel kita. Jadi... biar malam ini aku yang men-transkrip wawancara kamu ke draft tulisan kasar ya.. besok sore baru kamu baca lalu kita lengkapi dan perbaiki bareng lagi ya, " sambung Cahaya dengan antusias.
Rizky hanya mengangguk pelan melihati ekspresi Cahaya yang terlihat tetap riang itu.
"Kamu kerjakan sebisanya saja, Cahaya. Tidak usah memaksakan diri harus selesai, besok bukannya kamu ada kuis ya?" ucap Rizky datar tapi berhasil membuat bengong gadis itu. "Darimana Rizky tahu tentang kuis di kelasnya esok hari?"
"Kenapa kamu ngelihatin aku seperti itu? Aku kebetulan aja tahu soal kuis kamu itu soalnya ada temen di klub fotografi yang sekelas dengan kamu cerita ke aku tadi pagi," jelas Rizky membuat Cahaya yang melihat kearahnya itu meringis malu sambil menganggukkan kepalanya pelan sambil melebarkan lengkung senyumnya.
"Iya, Riz... seberapa pun yang bisa aku kerjain malam ini, insyaa Allah besok sore aku siap mengerjakannya sampai selesai," sambung Cahaya, "aku janji insyaa Allah kali ini aku ga akan teledor lagi dan merugikan kamu bahkan membuat kamu kecewa seperti dua tahun lalu" .
Rizky menatap sekilas Cahaya, laki-laki itu tetap diam dan cool memerhatikan tekad dan semangat juga senyuman tulus di raut perempuan di sebelahnya itu.
Jalanan menuju tempat kos Cahaya relatif cukup macet dan rintik hujan pun mulai menemani mereka di luar mobil. Meski demikian, tak ada obrolan lain diantara keduanya kecuali suara musik Tulus dari album Monokrom yang mengalun dari pemutar lagu di mobil Rizky. Sepertinya sikon macet dan hujan malam itu mengilustrasikan yang terjadi diantara Rizky dan Cahaya, komunikasi keduanya yang belum terjalin lancar alias macet dan hubungan dua tahun lalu yang berakhir dingin... sedingin hujan malam itu.
Beberapa puluh menit kemudian, keduanya pun hampir tiba di pintu gerbang masuk menuju kos Cahaya, ketika lagu 'Cahaya' kembali terdengar kedua kalinya. Sama seperti ketika lagu itu mengalun sebelumnya terlihat Rizky kembali melirik dan tersenyum sejenak kearah Cahaya yang sedang melihati kearah luar jendela sebelah kirinya.
Lima menit kemudian, Rizky menghentikan laju mobilnya, mereka akhirnya sampai. Hujan masih saja turun bahkan rintiknya sedikit lebih deras dari sebelumnya.
Cahaya menoleh ke laki-laki di sebelahnya hendak berpamitan dan berterima kasih padanya ketika Rizky justru terlihat sedang sibuk melihati ke jok belakangnya mencari sesuatu.
"Kamu cari apa, Riz?"
Rizky kembali ke posisi duduknya semula.
"Payung buat kamu jalan ke kosan. Kamu ga ada payung kan? Biasanya aku sedia payung di dalam mobil buat jaga-jaga. Aku baru inget, sepertinya dipinjam sama anak fotografi beberapa hari lalu dan belum dikembalikan," jawab Rizky tetap datar, tapi lagi-lagi membuat Cahaya heran, tidak menyangka laki-laki itu memerhatikannya saat ia membongkar isi tas ranselnya, mencari payung sebelumnya.
"Gapapa, Riz.... lagipula kosan aku juga lumayan deket dari gerbang. Aku bisa lari, ga masalah .... palingan kehujanan sebentar aja he he," jawab Cahaya tetap riang dengan senyuman lebarnya.
Laki-laki itu menatap serius kepada Cahaya lalu menyerahkan jaket yang sedang dipegangnya.
"Kamu pake jaket ini aja buat mayungin kamu, biar tubuh kamu ga terlalu banyak kena hujan, Cahaya. Meski ga jauh, tapi tetap aja kamu bakal basah dan bisa sakit, Cahaya... apalagi ini sudah malam dan udara cukup dingin di luar".
Cahaya melihati jaket di tangan Rizky itu, gadis itu belum memutuskan menerimanya. Jaket coklat itu, jaket yang sama yang pernah Cahaya lihat dua tahun lalu, jaket kesayangan Rizky.
"Cahaya? Hei... kok malah bengong ngelihatin jaket aku?" tegur Rizky membuat Cahaya buru-buru tersenyum.
"Jaket itu... bukannya jaket itu jaket kesayangan kamu, pemberian dari mama kamu, Riz? Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu bakal berpikir ratusan kali buat minjemin jaket itu?" tanya Cahaya membuat laki-laki itu agak tertegun, tak menyangka Cahaya masih mengingatnya.
"Makasih banyak tawarannya, Riz... tapi serius aku gapapa menembus hujan sebentar. Lagian juga aku pakai jilbab, insyaa Allah ga masalah, Riz. Yang terpenting tas sudah aku bungkus dan terlindung dari hujan he he".
Laki-laki itu lagi-lagi melihati rintik hujan kearah luar lalu kembali menoleh kearah Cahaya dan menaruh jaketnya ke pangkuan gadis itu.
"Sebaiknya kamu pake jaket aku sebagai pengganti payung, Cahaya... anggap aja aku sudah memikirkannya ratusan kali sebelum meminjamkannya ke kamu. Yang penting jangan lupa kembalikan jaket itu besok," ujar laki-laki itu tegas membuat Cahaya pun akhirnya menganggukkan kepalanya masih tetap dengan senyuman lebarnya.
"Terima kasih untuk semuanya, Riz. Kamu hati-hati ya di perjalanan. Sampai jumpa besok ya," sambung Cahaya diikuti anggukan pelan Rizky yang masih juga bertahan tanpa senyuman.
Seusai tersenyum sekali lagi ke Rizky lalu berbalas salam dengannya, Cahaya terlihat berlari kecil berpayungkan jaket Rizky diikuti pandangan laki-laki itu yang tersenyum memerhatikan Cahaya hingga matanya tak bisa lagi melihat sosok gadis itu di tengah hujan.

[Y]our Claustrophobia

 
 
Selepas belajar buat kuis matkul esok harinya, Cahaya mulai men-transkrip rekaman wawancara Rizky. Cahaya bertekad menebus kekecewaan Rizky dua tahun lalu dengan menulis artikel kali ini sebaik mungkin. Dua tahun terakhir, Cahaya kehilangan rasa percaya dirinya untuk menulis. Namun, entah kenapa sekelompok lagi dengan Rizky kali ini justru mengembalikan keyakinan dan semangat Cahaya buat menulis seperti dulu lagi. Apa mungkin ketakutannya itu bentuk rasa bersalahnya ke laki-laki itu?
Cahaya menoleh kearah pintu lemari pakaiannya, disana Cahaya sengaja menggantung jaket Rizky yang basah.
Gadis itu tersenyum lebar. Cahaya tiba-tiba teringat canda guraunya dengan Rizky dua tahun lalu ketika Rizky menceritakan tentang jaketnya itu. Cahaya dengan riang dan spontan mengusulkan julukan si coky ke jaket kesayangan Rizky itu gara-gara warna jaket itu yang coklat dan pemiliknya bernama Rizky.
"Maaf sudah bikin si coky yang wangi itu jadi basah gara-gara aku, Riz. Makasih sudah mau meminjamkan si coky buat menemaniku dari hujan".
Cahaya kembali teringat obrolannya dengan Rizky sebelum turun dari mobil tadi, membuat dia lagi-lagi tersenyum.
"Meski kamu belum bisa tersenyum seperti dulu lagi, tapi aku percaya kamu masih seperti Rizky yang dulu, tetap sebaik Rizky yang dulu".
Sementara itu di rumah Rizky, pemuda itu merancang layout untuk artikel tugasnya bersama Cahaya. Sesekali Rizky tersenyum membuka-buka lembar demi lembar album foto biru berisi hasil jepretannya yang ia simpan rapi di laci meja belajarnya seolah isi album foto itu salah satu mood booster bagi Rizky.
Di lain tempat, Cahaya pun fokus mengerjakan tugas kelompok mereka, mendengarkan dengan seksama beberapa kali suara Rizky dan menyarikannya ke tulisan, hingga jam beker di kamarnya menunjuk ke angka 3.45 dan gadis itu tak sanggup lagi menahan matanya untuk tetap terjaga.
Seusai menyelesaikan kuliahnya sekitar jam 12.15 hari itu, Cahaya bergegas menuju kantin ditemani Asa lalu memutuskan sholat zhuhur di musholla perpustakaan setelah beberapa menit gadis itu bermain dengan hewan kesukaannya dan mengobrol ringan dengan bapak ibu petugas kebersihan kenalannya sambil memberi makan kucing di pinggir danau kampus. Sesuai keinginan Rizky yang mengiriminya pesan via whatsapp, Cahaya menunggu Rizky di ruang belajar lantai basement perpustakaan fakultasnya, turun satu tingkat dari pintu masuk perpustakaan itu.
Cahaya sedang fokus dengan penyusunan artikelnya ketika kursi di sebelahnya ditarik dan seseorang duduk di sebelahnya. Rizky, laki-laki itu langsung duduk di sebelahnya dan terlihat sibuk menyalakan laptopnya tanpa suara, membuat Cahaya maju mundur untuk memulai pembicaraan.
"Ini aku kembaliin si coky eehmmm maksud aku jaket coklat kamu, Riz. Makasih ya," ucap Cahaya menyerahkan jaket coklat yang terlipat rapi itu ke pemiliknya. Rizky menatap Cahaya yang tersenyum lebar kepadanya, seperti biasa Rizky hanya mengangguk pelan tanpa senyuman, meletakkan jaketnya di sebelah kanan laptopnya dan kembali fokus melihati layar laptopnya.
Laki-laki itu tiba-tiba tersenyum simpul melirik ke jaket coklatnya itu meski tak terlihat oleh Cahaya. Rizky tak menyangka gadis di sebelahnya masih mengingat julukan 'si coky' yang diberikan Cahaya dua tahun yang lalu. Andai Cahaya tahu sampai sekarang nama itu masih dipakai oleh Rizky.
"Apa ada yang bisa aku bantu soal tulisan, Cahaya?"
Cahaya buru-buru tersenyum lebar menggelengkan kepalanya pelan. "Sabar ya Riz. Insyaa Allah sedikit lagi selesai. Nanti kamu bagian yang membaca dan mengedit tulisan aku aja ya. Semoga tulisan aku nggak berantakan banget dan nggak mengecewakan".
Keduanya kembali larut dalam aktivitas masing-masing, Cahaya merapikan susunan kalimat dalam artikelnya sementara Rizky juga menyempurnakan layout artikel sambil membuat rangkuman wawancaranya kemarin sembari menunggu tulisan Cahaya. Sesekali terlihat Cahaya dan Rizky saling mencuri pandang, bergantian 'mengintip' aktivitas satu sama lain.
Sebenarnya, Cahaya ingin menambahkan tentang 'Indah' di artikel itu, tapi gadis itu masih ragu membicarakannya dengan Rizky. Meski demikian, Cahaya tetap menyusun kalimat tentang 'Indah' di beberapa paragraf artikel itu dengan huruf italic merah, siapa tahu Rizky setuju dengan tambahan idenya itu.
Maghrib hampir tiba ketika Cahaya akhirnya menyerahkan flashdisk berisi draft tulisannya ke Rizky.
Flashdisk berbentuk kucing, membuat Rizky lagi-lagi tersenyum simpul melihatinya sejak kali pertama Cahaya mengeluarkannya dari tempat pensilnya. Setahun yang lalu, Rizky memberikan hadiah kecil itu ke Cahaya bertepatan dengan ulang tahun gadis itu, tanpa nama pengirim dan hanya ditemani selembar kartu ucapan. Berawal dari liburan yang mengenalkan Rizky pada sekelompok manusia kreatif yang membuat bermacam bentuk chasing flashdisk, laki-laki itu memesan dua buah berbentuk kucing cowok dan cewek. Awalnya tak ada niatan untuk memberikannya ke Cahaya sampai ia mendengar dari teman se-klub fotografinya ada budaya saling memberi hadiah ke teman sekelas untuk setiap mereka yang berulang tahun baik itu patungan atau masing-masing di jurusan teman Rizky yang kebetulan sama dengan Cahaya. Rizky pun akhirnya menitipkan kado kecil buat gadis itu lewat temannya.
"Gue nitip kado ini buat Cahaya ya, Bro. Itung-itung ungkapan maaf gue ke dia gara-gara insiden nulis bareng setahun lalu," ucapnya saat itu.
"Flashdisk kamu lucu juga, Cahaya".
Cahaya menoleh kearah Rizky, agak kaget ia mendengar komentar laki-laki yang biasanya minim bicara itu.
"Iya... itu flashdisk kesukaan aku karena bentuk kucingnya lucu, Riz. Aku dapat flashdisk itu dari temen sekelas, ga tau siapa aja yang patungan buat ngehadiahin itu buat aku pas ulang tahunku setahun lalu he he. Yang pasti siapapun mereka, aku sangat berterima kasih karena mereka salah satu yang menyemangati aku buat terus menulis, Riz," jawab Cahaya sambil tersenyum riang, "itu sebabnya juga aku pakai flashdisk itu sekarang... karena sekarang aku sedang menulis artikel bareng kamu".
Rizky diam mendengarkan penjelasan Cahaya itu dengan memandangi gadis itu. Hanya kata 'oooh' keluar dari mulut Rizky membuat Cahaya akhirnya merasa salah tingkah dan tersenyum simpul buru-buru melihat kembali kearah laptopnya. "Kenapa juga aku jadi cerita asal muasal flashdisk itu panjang lebar ke Rizky sih... . Semoga dia ga makin ill-feel ke aku...," batin Cahaya berusaha menyemangati dirinya sendiri untuk memperbaiki pertemanannya dengan Rizky.
"Maaf ya Riz kalau aku terlalu banyak bicara yang nggak perlu," sambung Cahaya kembali tersenyum diantara raut bersalahnya.
"It's okay, Cahaya," jawab Rizky melirik sejenak gadis itu kemudian fokus membereskan barang-barangnya bersiap sholat maghrib ke di lantai 2 perpustakaan tersebut.
Selepas sholat maghrib berjamaah, keduanya kembali ke tempat duduk semula dan melanjutkan kerja kelompok mereka. Rizky membaca draft tulisan Cahaya sekaligus langsung mendiskusikannya dengan gadis itu.
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika tiba-tiba listrik di ruangan itu padam. Biasanya ada genset yang otomatis mensubstitusi (menggantikan) listrik PLN di saat seperti itu, tapi entah kenapa kali ini listrik tak kunjung menyala.
Cahaya terlihat menyalakan cahaya layar handphone-nya ketika ia menoleh ke Rizky yang terlihat diam di posisinya. Terdengar deru nafas laki-laki itu tidak beraturan. Samar terlihat Rizky memejamkan matanya.
"Kamu kenapa, Riz?"
Tak ada sautan dan mata laki-laki itu masih tetap terpejam.
"Apa kamu takut gelap,Riz?"
Tak ada suara. Cahaya mendekatkan cahaya layar handphonenya ke wajah Rizky.
Wajah Rizky terlihat tegang, berkeringat dan ia tetap memejamkan matanya membuat Cahaya keheranan.
Gadis itu menanyakan kembali pertanyaan yang sama, tetap tak ada sahutan. Hanya terdengar deru nafas laki-laki itu dengan tangannya terlihat gemetar meski berusaha ia samarkan dengan menggenggam erat telapak tangannya.
"Rizky...," ulang Cahaya lagi, lagi-lagi berbalas dengan deru nafas tak teratur Rizky tanpa kata.
Tanpa bertanya lagi, Cahaya pun memasukkan barang-barangnya kedalam ranselnya kemudian memasukkan barang-barang Rizky ke tas laki-laki itu setelah ia meminta izin ke laki-laki yang terlihat panik dalam diamnya itu. Cahaya menduga sepertinya Rizky mengalami claustrophobia, suatu bentuk ketakutan berlebihan akan ruang gelap dan tertutup. Cahaya pernah membaca di internet soal itu.
"Tolong bawa aku keluar, Cahaya," ucap Rizky lirih dengan suara serak dan bergetar.
"Kamu tenang ya, Riz... sekarang kita akan keluar biar rasa takut kamu berkurang ya," jawab Cahaya berusaha menenangkan Rizky.
Rizky hanya menganggukkan kepalanya pelan, mata laki-laki itu tetap terpejam, nafasnya pun tetap tak beraturan dan samar terlihat wajahnya pucat mengisyaratkan rasa takut. Cahaya pun membetulkan posisi tas ranselnya dan mencangklong tas ransel Rizky dengan tangan kirinya. Kemudian Cahaya memegang lengan kanan laki-laki yang memakai sweater rajut lengan panjang itu dan akhirnya mengizinkan kedua tangan laki-laki itu berpegangan pada lengan kanan bajunya.
"Kamu tenang ya Riz... kamu nggak sendiri, ada aku disini...," sambung Cahaya saat menyadari tangan Rizky yang makin menggenggam erat lengan bajunya.
Perlahan keduanya pun keluar dari ruang belajar itu, Cahaya membawa Rizky ke tempat duduk di taman dekat sana. Terdengar beberapa orang mengalami hal yang serupa dengan keduanya berlalu lalang disana. Suasana disekitar gelap saat itu karena listrik yang tak kunjung nyala, untungnya bulan sedang hampir sempurna dan langit dipenuhi bintang malam itu. Cahaya mendudukkan Rizky di salah satu bangku taman itu.
"Kamu jangan takut lagi, ya Riz... kita sekarang udah di taman dan aku duduk di samping kamu kok. Aku bakal tetap menemani kamu sampai kamu nggak takut lagi, Riz," ujar Cahaya dengan lembut lagi-lagi berusaha menenangkan laki-laki itu hingga Rizky pun akhirnya mengangguk dan mau melepaskan pegangannya dari lengan baju Cahaya.
"Sekarang kamu buka mata kamu ya... langit lagi terang banget malam ini Rizky".
Rizky hanya menggelengkan kepalaya pelan tetap tak mau membuka matanya, samar bibir laki-laki itu terlihat masih gemetar dan wajah itu masih terlihat ketakutan membuat Cahaya mengkhawatirkan kondisi laki-laki itu. Cahaya berusaha memutar otak, mencari cara menghilangkan ketakutan Rizky itu sampai akhirnya ia teringat sesuatu. Cahaya pun bergegas mengeluarkan sebuah toples kaca dari dalam tas ranselnya dan mendekatkannya ke wajah Rizky, tepat beberapa centimeter di depan mata Rizky. Rizky merasakan sesuatu yang hangat dan bercahaya di hadapannya, entah apa yang dilakukan gadis itu.
"Sekarang coba kamu rasakan, apa kamu bisa ngerasain ada cahaya di wajah kamu, Riz?"
Rizky mengangguk pelan.
"Kamu bawa apa, Cahaya?" tanya laki-laki itu lirih, terdengar sedikit agak tenang dari sebelumnya.
Cahaya tersenyum, "Aku bawa cahaya buat mengusir ketakutan kamu, Riz... . Sekarang kamu buka mata kamu ya".
Dengan nafas yang masih belum teratur, Rizky memberanikan diri perlahan membuka matanya dan seraut senyum langsung tersungging di bibir laki-laki itu.
Sebuah toples kaca berisi kunang-kunang bercahaya terang tepat di hadapannya, terlihat juga Cahaya tersenyum lebar kearahnya sambil tangan gadis itu memegangi toples kaca itu. Rizky pun balas tersenyum tak kalah lebar ke Cahaya.
"Kamu sudah nggak merasa takut lagi kan, Riz?" tanya Cahaya dibalas dengan gelengan pelan Rizky.
Cahaya tetap tersenyum meski didalam hatinya ia tertegun karena sikap cool Rizky seolah sirna setelah kejadian listrik padam itu. Cahaya merasa Rizky kembali seperti Rizky yang dikenalnya dua tahun lalu.
"Kamu dapat darimana kunang-kunang ini, Aya? Aku lama banget ga pernah lihat kunang-kunang lagi".
Cahaya lagi-lagi tertegun, Rizky kembali memanggilnya Aya seperti dulu. Di satu sisi Cahaya merasa lega karena kondisi laki-laki itu sudah kembali normal seperti semula, nafas laki-laki itu sudah terdengar teratur, wajah itu terlihat kembali tenang dan nada suara laki-laki itu berangsur normal.
Cahaya tersenyum dengan raut riangnya, "Aku dapat kunang-kunang dari bapak tua yang suka bersih-bersih rumput dan menyapu di dekat danau, Riz. Baru tadi siang dapatnya. Maaf aku baru inget soal kunang-kunang setelah kita sampai di taman he he. Itu juga keingatan setelah aku bingung memikirkan gimana caranya biar kamu nggak takut lagi".
Rizky tertawa kecil, ada gurat rasa malu di wajah laki-laki itu.
"Maaf ya Ay... aku udah nyusahin kamu gara-gara ketakutanku yang berlebihan di ruang tertutup dan gelap".
Cahaya menggelengkan kepalanya pelan.
"Setiap orang punya ketakutannya masing-masing Riz. Aku yakin kamu juga tidak ingin punya fobia semacam ini kan. Yang penting sekarang kamu udah kembali tenang dan nggak takut lagi, Rizky. Aku ikut merasa lega, Riz".
Rizky menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Aku punya trauma di masa kecil dulu, Ay... dan sampai sekarang belum bisa bener-bener sembuh. Di kamarku, aku selalu menyediakan lampu emergency tiga buah yang langsung nyala tiap kali mati listrik. Tapi ruang belajar di bawah lantai satu tadi, aku ga pernah bayangin bakal mati listrik lama... bikin ketakutan aku makin berasa dua kali lipat. Memalukan banget ya, Ay".
Lagi-lagi Cahaya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dengan wajah teduhnya berusaha mengusir risau di wajah Rizky yang merasa malu akan fobianya.
"Aku percaya setiap orang juga akan menemukan 'cahaya'-nya masing-masing, Riz... termasuk kamu. Lain kali, kalau ada kejadian semacam ini... coba kamu pejamkan mata kamu dan bayangin ada setoples kunang-kunang di depan mata kamu, siapa tahu bisa mengurangi rasa takut kamu".
Rizky balas menatap Cahaya dan balas tersenyum tak kalah lebar.
"Makasih banyak buat semuanya, Aya. Aku berharap ga ada lain kali kejadian semacam ini, Ay... tapi kalau ternyata terjadi... nanti aku coba deh he he".
Rizky kembali memandangi gerak dan nyala kunang-kunang di dalam toples kaca itu dengan takjub.
"Cantik banget," ucap Rizky membuat Cahaya tiba-tiba ikutan tersipu padahal jelas-jelas Cahaya tahu bahwa kalimat itu ditujukan Rizky ke kunang-kunang diantara mereka
"Ya ampun Aya, kenapa ikut tersipu sih. Jaga hati kamu, Ay...," batin Cahaya mengalihkan pandangannya kearah langit yang tersenyum terang bersama bintang dan bulan.
"Cantik... secantik wajah dan hati yang bercahaya seperti namanya yang sekarang sedang memegangi toples kaca ini," batin Riza sejenak mencuri pandang Cahaya yang sedang tersenyum memandang langit lewat toples kaca berisi kunang-kunang diantara keduanya.
"Jadi... kita lanjutin kerja kelompok kita dimana baiknya, Riz? tanya Cahaya membubarkan hening sejenak diantara keduanya.
"Kita lanjutin di kafe tempat nongkrongnya anak-anak fotografi aja ya Ay... sekalian kita makan malam disana. Disana tempatnya enak buat nulis atau ngerjain sesuatu. Insyaa Allah disitu juga ga bakal mati listrik karena aku udah berkali-kali mastiin kalo genset disana bakal otomatis nyala saat listrik PLN mati he he".
Cahaya balas tertawa kecil, mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Keduanya pun berjalan beriringan.
"Lagipula ada seorang Cahaya dan setoples kunang-kunang yang menemani... jadi aku ga bakal merasa takut lagi kalaupun genset tiba-tiba ga langsung nyala he he".
Kalimat spontan Rizky itu pun membuat tawa pecah diantara keduanya, menemani langkah keduanya bersama setoples kunang-kunang dan langit yang tersenyum terang menuju parkiran mobil Rizky.
Waktu menuju jam sembilan malam ketika keduanya memasuki kafe langganan Rizky dan teman-teman fotografinya. Beberapa teman Rizky terdengar menyapa dan memanggil laki-laki itu tapi Rizky hanya balas menyapa dengan ucapan dan lambaian tangannya saja, tak ikut bergabung bersama komunitasnya.
Rizky langsung mencari tempat duduk buat dirinya dan Cahaya di lantai dua kafe tersebut.
Keduanya pun langsung memesan makan malam sambil melanjutkan tugas kelompok mereka.
Perbincangan diantara keduanya tak lagi sekaku sebelumnya, lebih mengalir dan lebih tanpa jarak. Ternyata ada hikmahnya juga insiden mati listrik di ruang belajar sebelumnya :), meski laki-laki itu tak bicara apapun tentang perubahan sikapnya seolah membiarkannya mengalir begitu saja dan menikmatinya. Begitu pula Cahaya, bisa merasakan Rizky kembali seperti awal dia mengenal laki-laki itu sudah lebih dari cukup baginya.
"Oh iya, Riz... tulisan merah dengan huruf bercetak miring itu tambahan paragraf dari aku tentang Indah, anak dari Mbak Risa, tentang sudut pandang dia terhadap ibunya. Menurut kamu gimana? Aku tergantung persetujuan kamu aja, Riz," ucap Cahaya tersenyum lebar sambil melahap mie goreng spesial miliknya.
Laki-laki itu terlihat membaca paragraf tambahan dari Cahaya itu dengan serius.
"Aku suka paragraf tambahan kamu soal Indah, Ay... buat aku paragraf itu bikin artikel kita lebih berasa humanis dan lebih kaya," komentar Rizky sambil tersenyum lebar membuat Cahaya tersenyum senang.
"Dari dulu aku selalu percaya kalau kamu mampu menulis dan bisa menghidupkan tulisan-tulisan kamu," sambung Rizky sambil melahap sepotong chicken cordon blue pesanannya, "karena aku tahu kamu menulis dengan sepenuh hati kamu, setulus hati kamu, Ay".
Cahaya terdiam mendengarnya, tak menyangka mendengar kalimat seindah itu dari Rizky, terlebih mengingat bagaimana dinginnya laki-laki itu ketika mereka akhirnya tidak mengumpulkan tugas kelompok mereka dua tahun yang lalu.
"Makasih banyak ya Riz... sekali lagi aku minta maaf atas kecerobohanku dua tahun lalu dan aku janji insyaa Allah kali ini aku ga bakal mengecewakan kamu lagi, Riz," ucap Cahaya dibalas dengan anggukan dan senyuman lebar dari Rizky.
Keduanya pun larut mendiskusikan dan mem-final-kan artikel mereka termasuk layout-nya sambil beberapa kali Rizky terlihat menjadikan setoples kunang-kunang milik Cahaya sebagai objek di lensa kameranya ketika dua orang cewek kemudian menghampiri keduanya.
"Tumben loe nggak gabung sama kita, Riz... malah mojok berdua sama cewek ini. Emang siapa sih dia?" tanya salah satu diantara keduanya.
Rizky tersenyum lebar kearah keduanya.
"Iya, maaf hari ini gue absen dulu, ga bisa gabung sama kalian soalnya gue dikejar deadline buat nyelesein artikel buat masuk ke Majalah Kampus. Ini Cahaya, panggil aja Aya, dia teman setim gue bikin artikel".
Cahaya tersenyum menganggukkan kepala ke keduanya, tapi berbalas tatapan sinis keduanya, entah kenapa.
"Oooo, cewek ini calon anak Majalah Kampus tho... kirain siapa. Tumben soalnya lihat loe ngajak cewek berduaan berjam-jam di kafe, apalagi di kafe tempat nongkrong anak-anak fotografi... apalagi ceweknya 'biasa' banget gini".
Rizky menoleh kearah Cahaya, gadis berjilbab merah hati itu terlihat tersenyum lebar kepadanya, seolah meminta Rizky tak perlu menanggapi apa-apa atas komentar kedua teman ceweknya yang berpakaian sangat-sangat modis dibandingkan Cahaya yang tampil sederhana itu.
"Lagian ngapain juga sih loe ngajakin dia kemari? Dia ga selevel sama kita, Rizky. Loe tahu kan gimana eksklusifnya klub fotografi kita, Riz?"
Rizky menarik nafasnya pelan.
"Gue mohon tolong kalian pergi dari sini ya, tolong hargai Aya disini. Gue yang ngajak dia kemari, tolong setidaknya kalian hargai gue. Lagipula gue pikir mengajak Aya ga ada kaitannya dengan menjaga reputasi anak fotografi, tapi... oke gue minta maaf kalau mengusik kenyamanan kalian karena bawa Aya kemari. Gue janji ini yang terakhir kali gue bawa Aya kesini".
Kalimat Rizky itu pun berhasil membuat kedua cewek itu akhirnya pergi. Canggung kembali menyelimuti Rizky dan Aya, Rizky kembali fokus melihati artikel kelompok mereka dan sedikit mengedit layout bikinannya.
"Maaf ya, Riz... gara-gara aku... kamu jadi bersitegang sama teman-teman kamu tadi," ucap Cahaya pelan membuat Rizky menatap kearah Cahaya, gadis itu terlihat menatap toples berisi kunang-kunang itu.
Rizky tersenyum melihatnya.
"Aku yang harusnya minta maaf ke kamu, Ay... gara-gara aku ngajakin kamu ngerjain artikel disini, kamu malah harus ngedengerin komen negatif dari temen-temen aku. Maaf ya".
Cahaya tersenyum tak kalah lebar membalas senyuman Rizky padanya sambil menggelengkan kepalanya.
Rizky pun memperlihatkan artikel yang sudah jadi itu ke Cahaya meminta pendapat gadis itu. Setelah diskusi selama 30 menitan lalu sepakat dengan artikel akhir yang akan dikumpul keduanya dan memback up file tersebut di email masing-masing serta flashdisk kucing Cahaya, Rizky pun mengantar Cahaya pulang. Cahaya melirik arlojinya, jam 00.12, baru kali ini dia kerja kelompok selarut itu berduaan di kafe dengan laki-laki.
Kali ini Rizky mengantarkan Cahaya hingga di depan pintu pagar tempat kos gadis itu, memastikan sampai gadis itu dibukakan pintu oleh penjaga kos-nya.
Sejenak Rizky terdiam setelah memasuki mobilnya. Ia melihati handphone-nya, ada beberapa komen dari teman-teman klub fotografi tentangnya dan Cahaya di grup mereka, beberapa memrotes apa yang dilakukannya hari itu bahkan ada pula yang sedikit mencibir Cahaya.
Rizky hanya diam men-scroll semua percakapan itu tanpa berniat membalas ketika sebuah pesan whatsapp masuk dari Cahaya.
"Terima kasih banyak ya, Riz untuk semuanya hari ini.
Kamu hati-hati di jalan ya, jangan ngebut, dan semoga selamat sampai rumah dengan lancar.
Selamat beristirahat dan sampai ketemu lagi besok insyaa Allah saat pengumpulan artikel ya :). Meski tadi kita udah putuskan kalo kamu yang bakal nge-print artikel kita, tapi aku bakal tetap print artikel kita satu rangkap dan membawanya besok buat jaga-jaga biar kejadian dua tahun lalu ga terulang:)".
Rizky tersenyum melihati pesan dari Cahaya yang terasa tulus itu. Laki-laki itu pun menghidupkan mesin mobilnya dan bergegas pulang.
Jam di dinding kamar Rizky menunjuk hampir pukul dua pagi ketika Rizky membaringkan tubuhnya di kasur empuknya. Ia kembali teringat kalimat Cahaya di taman fakultas beberapa jam sebelumnya.
Rizky menghembuskan nafasnya dalam-dalam beberapa kali kemudian mematikan lampu tidurnya yang biasanya menyala terang di sebelahnya sambil memejamkan matanya dengan tetap memegangi saklar lampu tidurnya itu. Rizky membayangkan setoples kunang-kunang yang bercahaya terang dan membuatnya takjub akan cantiknya. Terlihat disana gadis itu tersenyum lebar kearah Rizky diantara kunang-kunang yang memberi jarak pada keduanya, wajah gadis itu menenangkan.... bercahaya seperti hatinya... seperti namanya 'Cahaya', mengantarkan Rizky terlelap dalam tidurnya.
- Bersambung -