Kamis, 10 Maret 2016

Konstelasi Hati BINTANG Buat ARA - Part 5 (Ekstra) : Flashback

Part Sebelumnya 

Part 5 (Ekstra) : Flashback

Ara merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya, matanya terasa lelah, ketika bayangan Bintang hadir seakan menjadi pengantar tidurnya. Entah kenapa, hati Ara bahagia mengingat Bintang yang beberapa kali tersenyum dan tertawa malam itu. "Aku ingin membantumu lebih banyak tersenyum, Bintang," ujar Ara dalam hati. Tiba-tiba ia teringat ucapan Lintang tentang Bintang. "Setelah tugas aku selesai, baru aku bisa pergi menjauhimu dengan tenang seperti nasihat Lintang". Ara tersenyum sejenak sembari memikirkan kalimatnya itu ketika kemudian ia terlelap.
Waktu menunjukkan pukul 00.30 saat Bintang baru masuk ke kamarnya. Ia segera merebahkan tubuhnya ke springbed empuknya dengan earphone masih terpasang di telinganya. Pertemuannya dengan Ara kembali menghiasi pikirannya begitu juga senyum dan tawa perempuan itu. Bintang kembali teringat bagaimana dirinya dan Ara sedikit berdebat di depan cashier. Bintang bersikukuh untuk membayari makan mereka karena ia merasa itu hal yang sudah wajar dilakukan oleh laki-laki sekaligus sebagai bentuk ucapan terima kasihnya kepada Ara yang sudah datang menemui dan mengkhawatirkannya. Sementara Ara bersikeras membayar makan mereka masing-masing.
"Terima kasih banyak atas tawarannya Bintang, tapi aku nggak bisa terima traktiran kamu. Kita bukan suami istri, saudara, bahkan teman dekat juga bukan," ucap Ara saat itu setelah akhirnya mereka membayar makanannya masing-masing. Ara terlihat tersenyum sehingga Bintang pun balas tersenyum.
"Jadi aku harus menikah dulu sama kamu agar bisa menraktir kamu, Ra?" kali ini Bintang sengaja menggoda Ara sambil tertawa. Ara mengangguk seolah meladeni candaan Bintang itu sambil tersenyum lebar. Keduanya pun tertawa.
"Dan seberapa dekat aku harus berteman dengan kamu sampai aku bisa mentraktir kamu, Ra?" tanya Bintang lagi, kali ini dengan mimik muka yang serius. Ara menatap Bintang sejenak kemudian tersenyum lebar, "Setidaknya bukan pertemuan kali ini, Bin. Mungkin beberapa pertemuan lagi, baru kamu boleh menraktir aku". Bintang balas tersenyum masih menatap Ara, "Kamu curang, Ra. Aku tidak boleh menraktir kamu, tapi kamu belikan aku ronde dan tolak angin tadi. Harusnya aku juga boleh menolak menerima traktiran kamu itu".
"Kamu keberatan, Bintang?" Terlihat raut wajah Ara tiba-tiba berubah menjadi serius. Ada rasa canggung dan bersalah di raut perempuan yang sedang Bintang pandangi itu. Ragu, Ara melirik Bintang sejenak kemudian mengalihkan pandangannya, menunduk memandangi tanah basah.
"Aku sama sekali tidak keberatan, Ara. Aku sangat menghargai kebaikan kamu tadi yang aku rasakan tulus dari hati, Ra. Semoga kamu mendapatkan balasan yang indah ya, Ra," ujar Bintang riang. Ara menoleh kearah Bintang, Bintang terlihat sedang tersenyum lebar padanya sehingga Ara pun balas tersenyum lebih lebar sambil mengaminkan doa Bintang untuknya.
Bintang pun tersadar dari ingatannya ketika ada peringatan baterai lemah dari handphonenya menginterupsi suara Ara menyanyikan lagu Bintang Kecil di telinganya. Jam di dinding kamarnya memberitahunya bahwa hari makin merangkak menuju pagi. "Sulit sekali untuk bisa mentraktir kamu makan, Ra. Padahal aku cuma ingin sedikit berterima kasih untuk semua yang kamu lakukan buatku," ujar Bintang tertawa kecil. Kalimat Ara tentang suami istri itu kembali mengingatkan Bintang kepada ucapan ibunya tentang teman hidup. Lagi-lagi Bintang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sendiri, Bintang tak habis pikir kenapa wajah Ara beberapa kali tersenyum saat kata teman hidup terbelesit di pikirannya.
Senin pagi pun menjelang, Bintang dan Ara tenggelam dengan rutinitas masing-masing. Ara disibukkan melayani kunjungan siswa sebuah SMA ke perpustakaan lembaga penelitiannya dari pagi hingga waktu istirahat. Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul 12.00 saat Lintang, sahabat baik Ara itu sudah tersenyum manis di depan tempat duduk Ara.
"Selamat siang Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Ara sambil tersenyum manis menggoda Lintang.
"Siang juga, Mbak. Iya nih, saya tersesat habis belanja di dekat sini dan kelaparan. Saya perlu teman buat menemani saya makan siang nih. Apa Mbaknya bisa?" ucap Lintang dengan raut wajah sok serius disambut dengan tawa kecil Ara sambil menganggukan kepalanya. Tawa Ara dan Lintang pun pecah dengan suara tertahan karena mereka sedang di perpustakaan.
Ara pun mengajak Lintang makan siang di kantin kantornya. Ara mendengarkan cerita seputar aktivitas belanja sahabatnya itu sampai kemudian giliran Ara balik berbagi cerita dengan Lintang.
"Tang, tadi malam aku bertemu dengan Bintang," ujar Ara memulai ceritanya. Ia memutuskan tidak menyembunyikan hal itu dari Lintang. Lintang menatap Ara, masih tetap terdiam, menunggu Ara memberikan penjelasan lebih lanjut.
"Bintang hadir di mimpi aku, sedang menunggu aku di suatu tempat dan tertidur di tengah hujan. Aku khawatir kemudian memutuskan mendatangi tempat itu dan Bintang ternyata memang disana," lanjut Ara lagi.
Lintang tersenyum kearah Ara. "Aku belum bisa memahami yang terjadi diantara kalian, Ra, tentang mimpi dan lain lain. Tapi..., aku cuma khawatir kalau-kalau Bintang menyakiti kamu, Ra. Bintang tipe orang yang sangat mungkin bisa membuat kamu kecewa dan sedih Ra, apalagi dia sudah punya cewek, Ra".
Ara balik tersenyum lebar kearah Lintang.
"Aku mengerti kekhawatiran kamu, Tang. Makasih banyak, ya. Tapi beri aku waktu untuk membantu Bintang lebih banyak tersenyum lagi. Setidaknya sampai wajah sedih Bintang tidak hadir lagi di mimpi dan pikiran aku. Lagipula, Bintang sudah putus dengan ceweknya, Tang".
"What? Putus? Kemarin lusa cewek itu masih ngelabrak aku dan sekarang mereka sudah putus? Kebetulan banget momen putusnya. Apa Bintang yang bilang ke kamu, Ra?"
Ara mengangguk.
"Kalo begini, aku makin khawatir, Ra. Aku semakin takut Bintang bakal nyakitin kamu. Please, Ra tolong kamu pikirkan lagi niat kamu untuk membantu Bintang, Ra. Aku ga mau kamu terluka saat  tumbuh harapan perlahan di hati kamu tentang Bintang," sambung Lintang berusaha meyakinkan Ara yang duduk di hadapannya itu.
Ara tetap tersenyum, "Bintang bilang alasan dia putus dengan ceweknya tidak ada hubungannya dengan aku dan kamu. Ada masalah yang tidak bisa diselesaikan diantara keduanya. Lagipula Bintang punya cewek atau nggak, itu bukan urusanku. Tapi aku tidak bisa tidak peduli ke Bintang saat ini, Tang. Aku sudah berjanji membantunya lebih banyak tersenyum lagi. Saat ini Bintang hanya perlu teman berbagi untuk tersenyum lagi. Aku akan berusaha menjaga hati aku agar tidak terluka, Tang".
Lintang masih menatap Ara. Lintang memahami susah untuk mengubah niat Ara itu, Ara adalah tipe orang yang selalu mengikuti kata hatinya dan saat dia yakin terhadap sesuatu, Ara akan tetap melakukannya.
"Apa kamu menyukai Bintang, Ra?" tanya Lintang tiba-tiba. Ara balas menatap Lintang, Ara terlihat berpikir sejenak kemudian dengan ragu menggelengkan kepalanya. "Kalau rasa suka yang kamu maksud seperti kamu ke Oktan sekarang, sepertinya bukan, Tang. Aku cuma suka saat melihat Bintang lebih banyak tersenyum dan tertawa". Ara tersenyum sejenak bersama pikirannya kemudian kembali menatap Lintang.
Lintang tersenyum lebar sembari mengangguk-anggukan kepalanya pelan. "Aku tahu mungkin apa yang kamu rasakan ke Bintang rumit untuk diartikan, Ra. Aku cuma khawatir. Bisa jadi buat Bintang, kamu sekedar teman sesaat yang diperlukan dia saat-saat ini untuk bisa membantunya tersenyum. Tapi kamuuu, kamu adalah tipe orang yang tidak mudah melupakan perasaan kamu ke seseorang. Aku takut saat Bintang tersenyum dan pergi, justru dia meninggalkan perasaan sedih itu buat kamu. Tapi..., apapun yang akan terjadi, aku akan temani kamu, Ra". Mata Ara terlihat berkaca-kaca, Ara kemudian membalas senyuman Lintang lebih lebar lagi sambil mengucapkan terima kasih. "Jewer aku ya, Tang kalau ternyata aku nanti galau berkepanjangan gara-gara Bintang atauuuuu kalau nggak, kenalin aku sama cowok baru," ujar Ara sambil tertawa. Lintang pun menganggukkan kepalanya mantab, ikutan tertawa.
Ara tahu setiap tindakan yang dipilih, termasuk tentang Bintang, akan melahirkan banyak kemungkinan akibat, entah itu berujung bahagia atau bahkan berujung pada kemungkinan terburuk, termasuk melukai hatinya. Namun, Ara yakin untuk tetap melakukannya, karena hatinya memintanya melakukannya dan terlebih karena apapun yang terjadi, ia punya Lintang, sahabat baik yang akan tetap ada disisinya.

Part Setelahnya

Senin, 07 Maret 2016

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku, Rizzar Ara Part 5 : Sebuah Rencana dan Skenario Rasa

Rizzar Ara Part 5 : Sebuah Rencana dan Skenario Rasa

Ara sedang asyik menikmati makan siangnya di lokasi syuting ketika Viko, salah satu pemain yang seproject dengan Rizzar dan Ara, tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Sendirian aja, Ra?" tanya Viko dengan gaya menggoda. Ara tertawa, "Hmmm bukannya kita sedang berdua ya, Vik?" Viko pun ikut tertawa.
"Rizzar mana, bukannya biasanya kalian sering bercanda bareng kalo lagi satu project, makan siang aja kadang sama-sama," ujar Viko lagi.
Ara tersenyum, "Rizzar tadi lagi ke parkiran sepertinya. Ada ceweknya datang sepertinya. Perasaan si Rizzar bercandanya merata sama semua orang deh, Vik".
"Iya...., tapi biasanya kamu selalu ada disela-sela bercandaan Rizzar kan, apalagi kalian banyak satu scene," lanjut Viko dengan raut penasaran.
Ara tersenyum lebih lebar, tiba-tiba ia teringat bagaimana biasanya ia bercanda lepas bersama Rizzar sebelum mereka saling menjaga jarak satu sama lain. Rizzar yang usil dan humoris itu seringkali menggoda dan mengerjai Ara sehingga Ara pun ikutan membalas keusilan Rizzar itu dengan lebih bersemangat. Entah kapan dirinya dan Rizzar bisa bercanda lepas seperti itu lagi.
“Ra,... kamu sama Rizzar sedang menjaga jarak satu sama lain ya akhir-akhir ini?” Pertanyaan Viko membuyarkan flashback singkat Ara itu. Ara buru-buru tersenyum lebar tak memberi jawaban.
“Udah lama aku dan kalian tidak pernah satu project bareng, tapi aku merasa ada yang beda dengan kalian berdua sekarang deh. Kalian nggak serame dan selepas dulu lagi. Aku lebih suka melihat kalian seperti dulu lagi, lebih asyik, Ra,” lanjut Viko lagi.
“Ternyata kamu lumayan peka juga, Vik,” jawab Ara masih tersenyum riang, “Aku dan Rizzar memang lagi menjaga jarak, Rizzar yang menginginkannya karena sikon yang terjadi diantara kami akhir-akhir ini dan... aku berusaha memahaminya. Terlebih aku jomblo sementara Rizzar punya cewek, ... “.
Ara menarik nafasnya pelan dan dalam, entah kenapa masih ada bagian di dalam hatinya yang mempertanyakan memangnya apa salahnya menjadi jomblo sampai Rizzar pun menjaga jarak karena statusnya itu.
“Jadi Rizzar menjaga jarak dengan kamu karena kamu jomblo, Ra? Kamu kehilangan kesempatan bercanda lepas dengan Rizzar karena kamu jomblo?” tanya Viko mencoba mengklarifikasi.
 “Hmmm entahlah, Vik, tapi sepertinya seperti itu. Mungkin sebagian orang menganggap jomblo adalah ancaman bagi mereka yang pacaran?” Ara lagi-lagi tersenyum. 
“Atau, bisa jadi akunya yang kelewat lepas waktu bercanda jadi membuat Rizzar merasa nggak nyaman kali ya...,” lanjut Ara. Viko menggelengkan kepalanya, menandakan ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Ara. “Semua tergantung dari sudut pandang mana kita memandangnya, Ra. Sejauh aku mengenal kamu, kamu itu tipe orang yang berteman dengan lepas sama semua orang termasuk Rizzar, aku atau rekan syuting kamu yang lainnya. Buat aku itu ga masalah dan asyik malah, membuat kita yang terlibat satu project bisa lebih akrab. Hmmm tapi beda halnya mungkin kalau ada perasaan terlibat disini,” ujar Viko membuat Ara memandang kearah Viko beberapa saat. “Apa ada rasa yang berbeda diantara kalian, maksud aku diantara kamu dan Rizzar?”
Ara tersenyum memikirkan ucapan Viko.
Rasa itu sesuatu yang sangat sulit untuk ditebak, kapan dia datang atau pergi. Selama rasa itu tetap berada di tempat yang tepat, tetap tersimpan dengan baik di dalam hati,  ada atau tidak rasa yang berbeda, bukannya tidak seharusnya mengubah pertemanan yang sudah terjalin? Aku cuma ingin hubungan aku dengan semua orang tetap baik, Vik, termasuk pertemanan aku dengan Rizzar”.
 Giliran Viko tersenyum lebar membalas senyuman Ara sambil menganggukkan kepalanya setuju.
“Aku juga lebih suka melihat kalian yang dulu dibanding yang sekarang, Ra. Hmmm ya udah, aku punya ide  tentang ini, Ra,” sambung Viko bersemangat.
“Ide???” tanya Ara dengan raut penasaran.
“Iyaaa, biar kamu dan Rizzar bisa bercanda lepas lagi, Ra.  Kita pura-pura  jadian dihadapan  Rizzar. Gimana?
Bola mata Ara membulat sambil menatap Viko.
“Kamu bilang salah satu alasan Rizzar menjauhi kamu adalah karena kamu jomblo kan? Kalau kita jadian, alasan Rizzar buat berjarak dengan kamu menjadi berkurang kan, itu artinya kalian bisa temenan lagi?”
Ara masih menatap Viko setengah percaya dengan usulan orang didepannya itu. Bukankah berpura-pura itu sama saja dengan berbohong? Padahal Ara ingin pertemanannya dengan Rizzar itu tetap tulus. Bagaimana mungkin kebohongan bersanding dengan ketulusan. Ara berperang dengan pikiran dan hatinya sendiri.
“Ra...,” panggil Viko menyadarkan Ara. Ara menggelengkan kepalanya ragu ke Viko.
“Aku rasa itu bukan ide yang cukup bagus, Vik. Aku  ga mau ada masalah di kemudian hari dengan media atau juga cewek kamu termasuk juga dengan Rizzar. Lagi pula aku tidak ingin mengemis pertemanan dengan menghalalkan berbagai cara, Vik. Aku ingin berteman dengan Rizzar karena dia ikhlas dan tulus melakukannya bukan karena kebohongan dan kepura-puraan, Vik”.
Viko ganti terdiam memikirkan kalimat Ara meski kemudian tetap yakin meneruskan rencananya itu. “Kalau soal media dan cewek aku, kamu tenang saja, Ra. Berita tentang kita jadian ini cuma diantara aku, cewek aku, kamu, Rizzar, dan ceweknya mungkin, semua bisa dikondisikan. Soal cewek aku, kamu juga tenang aja, dia udah banyak dengar dan tahu tentang kamu kok, insyaa Allah dia ga bakal cemburu dan bakal mengerti. Aku bakal menghubungi dia dulu sebelum menjalankan rencana ini. Soal Rizzar, okeee aku harus setuju dengan kalimat kamu tadi, tapi kita bukan sedang mengemis pertemanan dengan Rizzar, Ara. Ini kondisi khusus, Ra dan aku pikir kebohongan yang kita lakukan ini toh untuk kebaikan, agar Rizzar mau berteman dengan kamu tanpa terbebani dengan status jomblo kamu. Aku pikir sah-sah aja apa yang kita lakukan, Ra,” gantian Viko menjelaskan panjang lebar ke Ara.
Ara masih terdiam ragu mencerna ucapan Viko itu.
“Ara... ini hanya tentang sudut pandang, Rizzar berjarak ke kamu karena dia memandang status jomblo kamu adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam pertemanan kalian. Padahal semestinya pertemanan kalian itu bisa tetap indah andai dia tidak di sudut pandang itu. Seperti aku ke kamu sekarang yang bisa tetap bercanda lepas, tanpa memandang kamu itu jomblo atau tidak,” sambung Viko lagi berusaha meyakinkan Ara sambil tersenyum.
Ara pun akhirnya mengangguk pelan, setuju.
Langkah pertama yang Viko lakukan, dia langsung menelepon ceweknya dan membeberkan rencananya dengan Ara itu kepada ceweknya dengan sejelas-jelasnya. Ara pun ikut nimbrung dalam pembicaraan itu karena Viko sengaja membuat sambungan pembicaraan lewat video call dan mengenalkan Ara secara langsung ke ceweknya terlebih dahulu. Ara ingin memastikan bahwa cewek Viko tidak masalah dengan rencana itu dan tidak salah paham kepada Ara.
Seperti yang Viko bilang sebelumnya, cewek Viko sepertinya cukup mudah memahami posisi Ara dan niat Viko untuk membantu Ara tentang Rizzar itu. Keterbukaan dan keramahan cewek Viko membuat Ara menjadi nyaman melakukan rencananya bersama Viko.
Setelah panggilan kepada cewek Viko selesai, secara resmi, rencana Viko pun dimulai.
Beberapa saat kemudian, Ara sedang asyik membaca script miliknya ditemani Viko sambil menghabiskan waktu istirahatnya ketika Rizzar menghampiri keduanya yang  sesekali bercanda.
“Hai guys, emang habis ini scene kalian berdua ya kok kalian kompak berduaan begini?” tanya Rizzar sambil tersenyum  dan mengambil script miliknya. Ia kemudian duduk di sebelah Viko. Ara diam, hanya tersenyum, sementara Viko sengaja mengambil banyak kesempatan bicara saat itu.
“Bukannya habis ini scene lo sama Ara lagi, ya Riz? Scene gue ama Ara sih masih setelah kalian. Gue scene bareng adik-adik kecil itu masih setelah ini,” jawab Viko  santai sambil tertawa kecil.
“Terus ngapain lo malah bercanda sama Ara disini, Bro? Adik-adik kecilnya kan disana?” lanjut Rizzar bertanya sambil menunjukkan jarinya ke tempat adik-adik kecil itu sedang bercanda.
“Emangnya ga boleh gue bercanda sama, Ara? Biasanya juga kalau lagi seproject bareng kita kan bercanda sama siapa aja, he he,” jawab  Viko lagi membuat Rizzar tersenyum canggung dan melirik sejenak ke Ara yang masih tetap membaca scriptnya. Iya saat mereka bareng di project sebelumnya, mereka bertiga terbiasa bercanda dengan lepas antar pemain, berusaha menghilangkan rasa canggung yang ada. Andai saja dia bisa tetap bersikap lepas dengan Ara. Rizzar pun sebenarnya sangat mengharapkannya, hanya saja sikon diantara dirinya dan Ara membuat semuanya tak lagi bisa sama.
“Oh iya, Riz mumpung lo nanya tentang  gue dan Ara, sekalian gue mau ngasih tahu sesuatu ke loe, Bro...,” ujar Viko dengan wajah riang sambil merangkul Rizzar yang memasang wajah penasaran itu.
“Sebenarnya, gueeee... udah jadian sama Ara, Riz,” ucap Viko dengan yakin. Ara yang awalnya asyik memelototi scriptnya, langsung menoleh ke Viko dan tersenyum lebar mendengarnya. Sementara Rizzar hanya terdiam menatap Viko, antara terkejut dengan pernyataan Viko tersebut dan entah apa lagi nama ketidaknyamanan yang ia rasakan tiba-tiba tersenyum dihatinya saat itu. Sekilas ia, melirik ke arah Ara yang sedang berbalas senyum  dengan Viko dengan wajah bahagia terlihat di keduanya itu.
“Kok lo diam aja, Riz... emang lo ga mau ngasih ucapan selamat gitu ke gue sama Ara?” tanya Viko tersenyum lebar membuat Rizzar ikut tersenyum lebih lebar.
“Sorry, gue bener-bener ga nyangka lo bakal jadian sama Ara soalnya, Bro. Selamat ya buat kalian berdua. Semoga.... awet yaaa,” ucap Rizzar sambil memeluk Viko. Ara terlihat sedang tertawa ketika Rizzar melihatnya.
“Selamat juga buat kamu ya, Ra,” sambung Rizzar lagi dijawab Ara dengan ucapan terima kasih diantara wajah riangnya itu. Ara sebenarnya tidak nyaman dengan topeng yang digunakannya saat itu, tapi ia tetap harus melakukan rencana itu dengan baik.
 “Tapi lo harus janji ya Riz, jangan bicara tentang gue dan Ara ke siapapun ya. Gue dan Ara pingin hubungan gue dan dia menjadi privasi diantara kami berdua aja plus lo dan cewek lo juga boleh deh,” lanjut Viko.
Rizzar menganggukkan kepalanya mengerti membuat Viko kembali menoleh ke Ara dan lagi-lagi mereka berdua  tertawa dalam bahagia. Harusnya Rizzar bahagia dengan kenyataan itu, bahwa Ara jadian dengan Viko, itu artinya dia bisa berteman biasa lagi dengan Ara, tapi entah kenapa hal itu justru bertolak belakang dengan apa yang dirasakan hatinya.
“Oh iya, Bro... emang lo sejak kapan pedekate sama Ara, kok tiba-tiba udah jadian aja?” tanya Rizzar penasaran.
Lagi-lagi Viko tersenyum ke Ara sebelum kemudian ia tersenyum lebar ke Rizzar.
“Udah beberapa bulan terakhir gue bergerilya menyentuh hati Ara, Riz, he he. Tapi Ara baru menjawabnya sekarang. Seproject bareng ini ada hikmahnya juga buat gue meyakinkan Ara, he he”.
Perbincangan mereka tentang seputar jadiannya Viko dan Ara pun terhenti ketika salah satu kru memanggil Viko bergabung dengan adik-adik kecil untuk latihan sebelum scene mereka diambil.
“Oh iya, Riz. Nanti malam sepulang syuting gue pingin mengajak lo sama cewek lo buat dinner di kafe deket  sini. Anggap aja sebagai ungkapan bahagia gue dan Ara yang baru jadian. Gue harap lo datang yaaa,” ucap Viko sambil menepuk bahu Rizzar. Rizzar masih memikirkan tawaran Viko itu, ketika Viko kembali berucap, “Gue sangat berharap momen jadiannya gue sama Ara bisa makin mendekatkan pertemanan diantara kita. Gue dan Ara bisa lebih berteman baik lagi dengan lo dan juga cewek lo”.
Rizzar menoleh kearah Ara sejenak mendengarnya kemudian kembali menatap Viko sembari tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. Viko  kemudian berlari menuju adik-adik kecil yang menunggu dirinya. “Ara, sampai ketemu nanti yaaa,” lanjut Viko sambil setengah teriak ke Ara dengan tawa lebarnya. Ara melambaikan tangannya dengan senyum tulusnya yang tak kalah lebar, “Semangat syutingnya, Vik... lakukan dari hati ya”. Lagi-lagi Rizzar menoleh kearah Ara mendengarnya. Kalimat Ara itu membuat Rizzar teringat akan apa yang terjadi diantara dirinya dan Ara yang sampai sekarang membekas tanpa ia tahu bagaimana untuk menghapusnya. Dan entah kenapa, ada semacam iri menyusup di hati Rizzar saat kalimat itu ditujukan Ara untuk Viko.
Saat itu hanya tersisa Ara dan Rizzar, mereka pun memutuskan untuk berlatih buat scene mereka selanjutnya. Keduanya berusaha untuk bisa tetap melakukan akting mereka dari hati, seolah hal itu adalah kesepakatan diantara keduanya meski tak tertulis. Dan entah kenapa, mereka hampir selalu berhasil melakukannya. Seolah mereka dipersatukan oleh energi positif satu sama lain meski kadang tanpa mereka sadari dan akui.
Beberapa saat kemudian, scene Rizzar dan Ara berhasil mereka selesaikan dengan baik dan lancar, Ara bergegas mengemasi barang-barangnya sebelum dirinya berganti scene. Rizzar terlihat melakukan hal yang sama, sesekali ia menoleh kearah Ara, ada sesuatu yang ingin diungkapkannya tapi ada ragu menahannya. Ara sebenarnya merasakan sikap Rizzar yang ragu itu, tapi ia memutuskan untuk diam. Ia tidak ingin menambah jauh lagi jarak diantara dirinya dan Rizzar hanya karena dia salah bicara atau bersikap.
“Riz, ...,” Ara hendak berpamitan ke Rizzar ketika kalimat itu terpotong oleh Rizzar.
“Ra, boleh aku tahu kenapa kamu menerima Viko sekarang, saat kamu seproject sama aku?” tanya Rizzar membuat Ara langsung menoleh ke Rizzar. Ara bingung harus menjawab apa karena rencana Viko itu pun tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Ara. Itu sebabnya pula, Ara membenci kebohongan karena menurut Ara kebohongan yang satu akan bisa memicu kebohongan-kebohongan selanjutnya untuk menutupi satu sama lain.
“Aku... aku menerima Viko karena.... karena aku perlu teman laki-laki buat melindungi dan menjaga aku, Riz,” jawab Ara akhirnya. Rizzar menatap Ara sejenak, “Teman? Bukannya kamu punya banyak teman yang siap melindungi dan menjaga kamu setahu aku, Ra?” lanjut Rizzar lagi.
Ara balas menatap Rizzar, “Iya, kamu mungkin  benar, Riz. Tapi... ada juga teman-teman yang memilih berjarak dan menjauh dari aku, seperti kamu salah satunya”. Entah kenapa kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir Ara, seolah dia ingin Rizzar mengetahui apa yang dirasakannya tentang pertemanan mereka berdua.
“Jadi kamu menerima Viko karena aku berjarak dengan kamu, Ra?” tanya Rizzar tajam penuh rasa ingin tahu.
Ara tertegun mendengar pertanyaan itu, seolah Rizzar membaca apa yang di pikirannya. Namun ia berusaha mencari jawaban yang sesuai buat Rizzar. Ara kembali menoleh ke Rizzar kemudian tersenyum lebar kepadanya, “Viko sudah berjuang keras meyakinkan aku, Riz dan aku memercayainya, Riz. Itu sebabnya aku bilang ya kepada Viko. Aku percaya Viko bisa jadi teman yang baik buat aku”.
“Jadi kamu jadian dengan Viko hanya karena perlu teman, Ra? Lantas bagaimana dengan perasaan diantara kalian? Bukannya jadian itu artinya kamu menerima hatinya, Ra?” ujar Rizzar masih mengejar Ara dengan rasa penasarannya.
Ara lagi-lagi tersenyum, “Rasa itu sesuatu yang ada di hati, Riz. Dan aku percaya rasa itu bisa ditumbuhkan perlahan melalui dua orang yang berteman baik dan saling menjaga satu sama lain, Riz”. Rizzar langsung menoleh ke Ara mendengarnya, sejenak keduanya kembali bertatapan sebelum akhirnya Ara mengalihkan pandangannya ke arah Viko.
“Seperti yang Viko tadi bilang, aku berharap setelah aku jadian sama Viko, pertemanan kita bisa lebih lepas dan kembali normal seperti dulu lagi, Riz. Sekarang kita berdua sudah punya batas masing-masing, aku ada Viko dan kamu ada cewek kamu. Seharusnya kekhawatiran kamu dan orang-orang didekat kamu yang membuat kamu berjarak dengan aku bisa berkurang. Meski aku tidak terlalu berharap, tapi aku ingin pertemanan diantara kita bisa lebih baik lagi, Riz,” sambung Ara masih tetap menatap kearah Viko. Buat Ara menatap Viko yang sedang asyik dalam perannya itu lebih mudah dibandingkan harus menatap Rizzar yang duduk disebelahnya itu. Rizzar lagi-lagi menatap Ara dalam diam sejenak, kemudian tersenyum tipis, “semoga ya, Ra. Semoga kehadiran Viko bisa membuat kita bisa berteman seperti dulu lagi”. Rizzar bergegas berdiri dan berpamitan ke Ara, berniat menaruh beberapa barang kembali ke mobilnya. Sejenak Ara memandangi  punggung Rizzar itu, “Jangan lupa undangan dinner nanti malam, Riz. Kita tunggu kehadiran kamu dan cewek kamu ya,” ujar Ara setengah teriak membuat Rizzar langsung menoleh kepadanya kemudian mengangguk pelan sambil mengacungkan jari jempolnya.

Malam itu, waktu di i-phone Ara menunjukkan pukul 20.30 ketika Rizzar, Ara, dan Viko sedang duduk bertiga di sebuah kafe. “Maaf banget, guys, aku sudah coba memberitahu kabar jadian kalian ke cewek aku dan mengajaknya datang kesini, tapi kebetulan dia lagi ada kegiatan sekarang," ucap Rizzar dengan wajah setengah menyesal ke Ara dan Viko yang duduk di hadapannya itu. “Wah sayang banget, ya Riz, padahal gue berharap kita bisa saling ketemuan sekarang, gue pingin kita bisa temenan lebih akrab lagi,” ujar Viko, “selama ini gue dan Ara kan nggak pernah gabung bercanda  sama lo dan cewek lo. Gue pikir, kalau gue dan Ara sudah jadian begini, bakal lebih nyaman dan enjoy ngobrolnya”. Viko menoleh ke Ara, tersenyum lebar kepadanya dibalas Ara dengan senyuman tak kalah lebar sambil menganggukkan kepalanya pelan. Sementara Rizzar hanya tersenyum tipis melihat keduanya.
“Lain kali mungkin kita bisa janjian ketemuan lagi,” lanjut Viko dibalas dengan anggukan kepala Rizzar.
Viko kembali mengenang candaan mereka di project sebelumnya bersama Rizzar dan Ara, Viko merasa sangat terkesan dengan semua tawa dan senyum diantara mereka saat itu, begitu lepas dan tanpa beban.
“Apalagi becandaan lo dengan Ara yang polos banget itu, kalian yang bercanda, tapi kita-kita terbawa ketawa..., kalian itu benar-benar kocak pokoknya,” ucap Viko dengan santai sambil tertawa kecil.
Ara dan Rizzar pun ikut tertawa melihat Viko, flashback Viko itu membuat mereka seolah ada di masa itu lagi, merasakan senyum dan tawa yang lepas diantara mereka itu lagi. Baik Rizzar maupun Ara, keduanya sama-sama merindukan masa-masa itu, masa dimana mereka tak terbebani untuk berbagi senyum dan tawa. Dan malam itu, entah kenapa flash back Viko itu perlahan berhasil mengembalikan senyum dan tawa lepas mereka. Mereka bertiga pun merajut tawa demi tawa bersama dengan celetukan-celetukan yang sengaja Viko rangkai buat Rizzar dan Ara.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam ketika Rizzar, Ara, dan Viko berada di parkiran hendak pulang.
“Ra, aku antar kamu pulang ya, soalnya sudah malam banget,” ujar Viko sambil tersenyum sambil mengedipkan matanya tidak jelas kepada Ara. Ara tersenyum lebar sambil balas tersipu malu dengan akting ngegombal yang dilakukan Viko dihadapan Rizzar itu.
“Udahan ah akting ngegombalnya Vik, malu tuh dilihat Rizzar,” ujar Ara sambil tersenyum kemudian disambut Viko dengan senyuman yang lebih lebar. “Perasaan aku sudah melakukannya dari hati deh, Riz, emang terlihat ngengombal, ya Riz?” tanya Viko ke Rizzar yang masih berdiri di hadapan keduanya.
Rizzar hanya tersenyum di tempatnya, meski melihat keduanya menghadirkan ketidaknyaman di salah satu hatinya, tapi dia berusaha mengabaikannya. “Bukankah seharusnya aku bahagia melihat mereka?”batin Rizzar saat itu.
“Jujur, buat gue tingkah lo  ke Ara tadi agak norak, Bro,” ucap Rizzar pelan sambil tertawa kecil disambut Viko dengan meninju pelan bahu Rizzar sambil tersenyum malu.  Ara pun tak kuasa menahan tawanya
 saat itu.
“Kalau kamu mengantar aku pulang, terus nasib mobilmu gimana, Vik?” tanya Ara serius.
Lagi-lagi Viko tersenyum lebar. “Tenang, Ra. Aku bisa pesan gojek buat nganter aku kesini lagi nanti, okeee”. Ara pun tertawa kecil mendengarnya sambil menganggukkan kepalanya.
“Sampai jumpa besok, Riz..., hati-hati di perjalanan pulang kamu,“ ujar Ara kemudian memandang kearah Rizzar sambil tersenyum lebar dibalas Rizzar dengan senyuman yang awalnya canggung kemudian perlahan semakin lebar sambil menganggukkan kepalanya.
Ara bergegas masuk ke dalam mobilnya dan Viko hendak menyusulnya ketika Rizzar menahan langkahnya.
“Vik, lo serius kan dengan perasaan lo ke Ara?” tanya Rizzar tiba-tiba. Rizzar terlihat serius  dengan senyum tertahan menatap ke arah Viko.
“Emang masalah buat lo, Riz gue serius atau nggak ke Ara?” jawab Viko balas bertanya sambil tersenyum lebar.
Rizzar terlihat canggung sejenak kemudian tertawa kecil, “ Gue... gue...gue  ga ada masalah dengan perasaan lo ke Ara, Bro. Gue percaya lo orang baik. Begitu pun Ara juga orang baik. Gue harap lo ga bakal nyakitin hati Ara yang baik itu dan gue yakin lo ga akan nyakitin dia”.
Viko balas tertawa kecil menatap Rizzar sejenak, pertanyaan Rizzar yang tiba-tiba itu terasa aneh baginya. Meski Rizzar menjaga jarak dengan Ara, tapi ada kepedulian disana, yang berusaha Rizzar simpan rapi meski kadang tetap terlihat.
Viko menepuk pelan bahu Rizzar, “Lo tenang aja, Bro, gue ga akan menyakiti hati Ara yang baik itu. Lo juga jangan sakiti hati Ara, ya Riz...”.
Rizzar tertegun mendengar penghujung kalimat Viko itu, “Apa maksud lo, Vik?”
Viko tersenyum lebar kearah Rizzar yang terlihat serius itu, “Kan lo yang bilang gue ga boleh menyakiti hati Ara karena Ara itu orang baik, berarti lo juga ga boleh menyakiti Ara bukan?”
 Jawaban Viko itu pun membuat Rizzar pecah dalam senyumannya. Rizzar merasa terlalu sensitif menanggapi ucapan Viko itu, meski sebenarnya kalimat Viko itu memang mengena di hatinya. Apa yang dilakukannya ke Ara akhir-akhir ini tentang menjaga jarak, mungkin saja menyakiti hati Ara dan Rizzar menyadarinya meski berusaha tidak memikirkannya.
Sementara itu, Ara yang sudah duduk manis di dalam mobilnya hanya tersenyum tipis melihat gerak gerik Rizzar dan Viko tanpa bisa mendengar apa yang mereka yang bicarakan.
“Semoga kebohongan ini bisa membuat kita berteman seperti dulu lagi, Riz. Aku benar-benar merasa bersalah melakukan hal ini, Riz”.
Viko terlihat melambaikan tangannya ke Rizzar dan bergegas masuk ke mobil Ara dan melajukan mobil itu menuju rumah Ara. Sementara itu Rizzar pun bergegas pulang dengan mobilnya. Lagi-lagi ucapan Viko itu terngiang di kepalanya, “Semoga aku bisa berteman dengan kamu lebih baik lagi, Ra. Selama ini, salah satu alasanku berjarak dengan kamu karena aku takut dari pertemanan kita yang nyaman itu, akan menghadirkan rasa yang berbeda, terlebih dengan status kamu yang jomblo itu, Ra. Dan sekarang kamu punya Viko,...”. Kalimat Rizzar itu terhenti, lagi-lagi ada yang  mengusik hatinya. Saat Ara menikmati kesendiriannya, Rizzar tidak bisa berteman dengan Ara seperti biasa demi menjaga hati ceweknya. Namun, sekarang saat Ara tak lagi sendiri dan jadian dengan seseorang, Rizzar bisa berteman dengan Ara seperti biasa tapi entah mengapa Rizzar tak bisa mengusir perasaan tidak nyaman yang selalu muncul di salah satu ruang hatinya.  
Sementara itu, Ara dan Viko sedang menikmati pemandangan sekitar di sepanjang jalan menuju rumah Ara.
“Vik, makasih banyak ya karena udah membuat aku dan Rizzar bisa perlahan tersenyum lepas seperti dulu lagi. Yaaa.. meski jujur aku tetap merasa bersalah ke Rizzar dengan kebohongan kita ini,” ujar Ara tersenyum lebar diantara lantunan musik dari salah satu radio yang diputar di mobil Ara itu.
“Aku juga ga nyaman dengan kebohongan ini, Ra... tapiiii sepertinya ini satu-satunya cara yang paling memungkinkan agar kamu dan Rizzar bisa bercanda seperti dulu lagi. Ga usah terlalu dipikirkan ya, Ra. Semoga apa yang kita lakukan ini bisa berujung kebaikan buat kamu dan Rizzar,” jawab Viko sambil menoleh sejenak  dan tersenyum lebar ke Ara.
Ara hanya tersenyum lebar, dalam hatinya ia merasa ragu apakah mungkin segala sesuatu yang diawali dengan kebohongan atau kepura-puraan akan berujung dengan kebaikan buat dia dan Rizzar. Namun di lain sisi, Ara pun tak tahu apa yang harus ia lakukan agar hubungan dia dan Rizzar bisa membaik dan mereka bisa tersenyum lepas seperti sebelumnya.
“Sampai kapan kita bisa bertahan dengan kebohongan ini, Vik? Serapi apapun kebohongan, dia pasti akan terbongkar juga,” lanjut Ara lagi.
Viko tertawa kecil, “Yups, kamu benar. Aku juga ga tau sampai kapan kebohongan ini bertahan, tapi semoga cukup sampai membuat Rizzar bisa berteman seperti biasa dengan kamu seperti dulu, setidaknya sampai Rizzar sadar dan tidak lagi menjadikan status jomblo kamu sebagai alasan untuk menjauhi kamu lagi”.
Ara lagi-lagi tersenyum menganggukkan kepalanya. Empat puluh menit berlalu sejak mereka berangkat dari parkiran cafe tempat mereka makan malam tadi, akhirnya mereka pun tiba di depan rumah Ara. Viko bergegas memesan gojek untuk kembali ke kafe tadi dan mengambil mobilnya.
 Ara sengaja menemani Viko sampai gojek pesanan Viko datang. “Oh iya Ra, besok sehabis syuting, kamu mau nggak ketemuan sama cewek aku di cafe tadi lagi, kebetulan cafe itu salah satu cafe favorit kita berdua, he he”.
“Oh ya??? Aku dengan senang hati menerima undangan kamu buat ketemu cewek kamu. Vik. Tapiii, yakin ga masalah kita ketemuan di kafe tadi, aku takut bagaimana kalau ternyata ketahuan Rizzar?” ujar Ara menoleh kearah Viko.
“Kamu tenang aja, Ra. Aku tadi sempat ngobrol sama Rizzar besok kayaknya dia sampai sore aja di lokasi syuting kita, dia ada urusan, dipanggil buat project film barunya sepertinya, Ra,” jawab Viko tersenyum lebar.
Ara menganggukkan kepalanya pelan kemudian balas tersenyum lebar.
“Nah abang gojek aku udah datang sepertinya, Ra. Aku pulang dulu, ya. Selamat istirahat ya dan jangan lupa tetap berdoa semoga pertemanan kamu dan Rizzar bisa kembali normal seperti dulu ya, he he. Sampai jumpa besok,” lanjut Viko sambil tertawa. Ara pun ikut tertawa mendengarnya. “aamiin aamiin aamiin, makasih banyak buat semuanya, ya Vik . Kamu hati-hati juga di perjalanan, sampai jumpa besok”.
Setelah bertukar salam, keduanya pun berpisah malam itu.

Keesokan harinya, Rizzar, Ara, dan Viko sudah tiba di lokasi syuting lebih pagi dari biasanya. Sesuai jadwal, syuting hari itu dijadwalkan sampai sore saja. Viko kembali dengan rencananya membantu Ara, dia sengaja membuat pancingan-pancingan buat Rizzar dan Ara agar mereka bisa bercanda lepas lagi. Dan cukup berhasil, Rizzar yang awalnya canggung pun dipaksa Viko untuk melupakan jaimnya itu dan bergabung dengan Ara dan dirinya, larut dalam candaan-candaan yang sedikit usil.
Syuting hari itu berjalan dengan penuh keceriaan terlebih diantara ketiganya.  Syuting berjalan lancar, bahkan cuaca pun mendukung, menyertai canda tawa diantara ketiganya. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 16.50 ketika Rizzar bergegas hendak sholat Ashar dan berpapasan dengan Viko.
“Bro, thank you buat hari ini. Gue seneng banget kita bisa bercanda lepas seperti dulu. Gue ga pernah ragu sama lo dan Ara, kalian berdua itu emang orangnya asyik banget, ha ha,” ujar Viko sambil menepuk lengan Rizzar. Rizzar pun balas tertawa lebar, “Gue kali yang harusnya terima kasih ke lo, Bro. Lo itu otaknya yang bikin kita bertiga jadi asyik menikmati hari ini dengan candaan lepas kita. Hmmmm, sepertinya jadian sama Ara bikin lo makin hidup, Bro”. Rizzar terdiam sejenak memandangi Viko yang pecah dalam tawanya, lagi-lagi ada rasa tidak nyaman di hati Rizzar saat dia memaksakan kalimat itu keluar dari mulutnya, “What’s wrong with me? (ind: Apa yang salah dengan diriku?)” ucap Rizzar di dalam hati.
 “Ya udah kalo gitu gue pergi dulu ya. Ara udah nungguin gue soalnya, he he. Have a great day, Riz (ind: Semoga hari lo menyenangkan)...,” sambung Viko, menyadarkan Rizzar. Rizzar balas tersenyum ke Viko. “Have a great day for you too, Vik. Enjoy your time (ind: Semoga hari lo menyenangkan juga, Vik. Nikmati waktu lo)...,” kalimat Rizzar pun terhenti menggantung, entah kenapa untuk sejenak hatinya berperang dengan otaknya untuk menyelesaikan kalimat itu, “with Ara (ind: dengan Ara)...”. Akhirnya susah payah kalimat itu pun berhasil diucapkan Rizzar sambil tersenyum lebih lebar ke Viko yang balas menganggukkan kepalanya dan tertawa kecil kemudian bergegas meninggalkannya
Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul 17.00 ketika Viko bergegas menghampirinya.
“Hi, a good girl, how about your feeling today? Happy or (ind: Hai, perempuan baik, bagaimana perasaan kamu hari ini? Bahagia atau)...,” tanya Viko sambil menggoda Ara sambil tertawa. 
Ara menoleh kearah Viko sambil tersenyum lebar. “Hari ini aku merasa seneenggggggg banget. Melihat Rizzar beberapa kali tertawa dan bercanda lepas hari ini, benar-benar membuat aku merasa....,” kalimat Ara terhenti sejenak, ia terlihat sedang memikirkan apa kata yang mewakili perasaannya saat itu, “aku... merasa... lega dan bahagia. Terima kasih ya Vik, untuk semua bantuan kamu”. Viko menganggukkan kepalanya pelan, masih tetap dengan tawanya yang lepas itu. “Aku benar-benar lega mendengar kesan yang sama dari kamu dan Rizzar. Setidaknya aku merasa kebohongan kita ini tidak sia-sia, Ra. Aku bisa melihat kalian merasa bahagia lebih lepas  dari hari-hari sebelumnya. Kalian mulai kembali ke jalur yang benar”.
Ara tersenyum sembari mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ada resah yang menghinggapinya, seolah bahagia yang dirasakannya sangat banyak hari ini hanya fatamorgana sebelum dirinya kembali menyadari bahwa Rizzar dan dirinya ternyata masih berada di tempat yang sama, tempat yang berjarak buat mereka. “Semoga saja tidak, aamiin,” ucap Ara lirih.
- Bersambung - 



Selasa, 01 Maret 2016

Menyapa Cinta Bersama Bintang - Part 3 : Bukan Bersedih, Tapi Memilih Bahagia

Part sebelumnya

PART 3 : BUKAN BERSEDIH, TAPI MEMILIH BAHAGIA

"Kak Tari..., Bintang kesel dan sedih deh, masak tadi ada temen Bintang di sekolah yang menjauhi Bintang gara-gara Bintang pakai kursi roda. Bintang doain, mereka bakal merasakan apa yang Bintang rasain, pake kursi rodaa sep....".
"Bintangggg, ga boleh mendoakan orang lain celaka seperti itu, apalagi mereka teman Bintang. Ga baik, ah...," ujar Mentari memotong kalimat Bintang yang sedang manyun itu. Mentari duduk di sebelah Bintang sambil membelai rambut Bintang yang sedang mengerjakan latihan soal matematika. Senin paginya adalah hari pertama Bintang masuk ke sekolah setelah kecelakaan yang dialaminya. Bintang harus mengejar ketertinggalannya selama hampir dua minggu. Ada beberapa ulangan harian yang harus Bintang ikuti secara susulan.
"Maaf, Kak Tari. Habisnya Bintang kesal sih," sambung Bintang menatap kearah Mentari dengan raut menyesal masih bercampur kesal. Mentari tersenyum lembut menatap Bintang, berusaha memahami perasaan Bintang.
"Memangnya teman yang menjauhi Bintang banyak jumlahnya?" tanya Mentari lagi.
Bintang menggelengkan kepalanya pelan. "Cuma tiga orang sih Kak Tari, kalau yang lainnya sih pada baik sama Bintang, mereka ramah sama Bintang dan kasihan melihat Bintang yang kakinya sakit dan sementara ga bisa jalan".
"Ya udah, Bintang ga usah terlalu pikirkan mereka ya. Kak Tari bisa merasakan apa yang dirasain Bintang, tapi Bintang jangan bersedih dan harus tetap semangat ya. Yang penting Bintang tetap baik sama semua teman Bintang yaaa...," ujar Mentari sambil mengusap lembut rambut Bintang. Bintang tersenyum ragu sambil mengangguk.
"Kira-kira kaki Bintang kapan sembuhnya ya, Kak Tari? Bintang kangen pingin bisa lari-lari dan main sepeda lagi," tanya Bintang sambil melihati kakinya yang masih penuh balutan itu. Mentari yang tadinya duduk di sebelah Bintang pun duduk di karpet, duduk menghadap Bintang. "Sabar ya, Sayang... Kak Tari yakin Bintang akan cepat sembuh insyaa Allah asalkan Bintang mematuhi apa yang dibilang dokter, minum obat, dan tetap berdoa ke Tuhan," ujar Mentari tersenyum manis sambil menggenggam tangan Bintang. Bintang pun tersenyum lebar  dan menganggukkan kepalanya.
"Oh iya Kak Tari, hari ini kita ke taman lagi kan menemui Kak Andro?" tanya Bintang dengan semangat.
"Iya, setelah Bintang selesai mengerjakan latihan matematika ini dan Kak Tari selesai mengoreksi kerjaan Bintang, ya... . Hmmm Bintang kangen ya lihat senyuman Kak Andro?" sambung Mentari tertawa menggoda Bintang sambil mengacak lembut anak rambut Bintang. Bintang tertawa memamerkan giginya sambil menganggukkan kepalanya. Mereka pun larut dalam tawa.
Tiga puluh menit kemudian, dibantu Mentari, Bintang duduk di kursi rodanya. Mentari membantu Bintang memasangkan sepatu karet kesukaannya. Bintang terlihat sedang memegangi balon bentuk hati yang dibelikan papanya beberapa hari sebelumnya, sebagai penyambutan sederhana ketika Bintang pulang dari rumah sakit.
"Hari ini kita enaknya ngapain ya Kak Tari bareng Kak Andro biar Kak Andro banyak tersenyum?"
Bintang cukup datang dan mengobrol bareng Kak Andro aja kayaknya udah bikin Kak Andro bakal banyak senyum," ucap Mentari dengan senyum lebarnya sambil mencubit pelan pipi Bintang.
"Kak Tari... seriusss niiiih...," lanjut Bintang sambil meringis.
Mentari tampak sedang memasang ekspresi berpikir sambil memandang kearah balon Bintang. "Apa yaaaa... hmmm gimana kalo kita menerbangkan satu balon bersama tiga kertas yang berisi harapan dan doa kita bertiga?" tanya Mentari sambil tersenyum. Bintang menatap Mentari sejenak kemudian menganggukkan kepalanya.
"Balon hati yang Papa beli kemarin masih sisa sepertinya deh, Kak Tari," sambung Bintang yang kemudian memanggil bibi buat mengambilkan balon dan benang di kamarnya.
Sembari menunggu, Mentari terlihat menyiapkan tiga kertas buat ditulisi oleh ketiganya nanti.
"Kira-kira Kak Tari bakal menulis apa ya nanti buat Kak Andro dan Bintang?" tanya Bintang dengan raut penasaran.
"Belum dipikirkan tuh...," jawab Mentari tertawa lebar sambil mulai mendorong kursi roda Bintang setelah bibi memberikan balon dan benang itu kepadanya.
Mentari dan Bintang sedang asyik berjalan menuju taman ketika Bintang tiba-tiba meminta Mentari berhenti sebentar.
"Kak Tari, gimana kalau kita makan ice cream bareng Kak Andro?" usul Bintang sambil menoleh ke Mentari dengan senyum lebarnya sambil menunjuk kearah penjual ice cream keliling yang berada tak jauh dari tempat mereka.
"Ide bagus," jawab Mentari spontan. Bintang dan Mentari pun bergegas memilih tiga cup ice cream. Karena keduanya tidak tahu rasa yang disukai Andromeda, akhirnya mereka membeli 1 rasa strawberry, 1 rasa vanilla, dan 1 rasa coklat. Mentari kemudian menitipkan Bintang sejenak ke penjual ice cream yang sedang berhenti menunggu pembeli itu dan Mentari pun bergegas berlari ke warung di dekat sana.
"Kak Tari beli apa lagi sih kok masih ke warung sana?" tanya Bintang 5 menit kemudian saat Mentari berlari menuju ke tempatnya.
"Air mineral, Bintang. Kak Andro kan sakit ginjal, minuman yang paling baik buat Kak Andro ya air mineral," jelas Mentari tersenyum dan kemudian bergegas mendorong kursi roda Bintang setelah mengucapkan terima kasih ke penjual ice cream.
"Tapi Kak Andro boleh makan ice cream kan, Kak Tari?" tanya Bintang.
"Insyaa Allah boleh...," jawab Mentari singkat. Keduanya kembali melihat-lihat pemandangan sore itu, langit terlihat penuh awan dan matahari terlihat tertawa bersama hari saat itu.
10 menit berlalu, mereka akhirnya sampai di tempat ketiganya bertemu sebelumnya. Terlihat Andromeda sedang asyik dengan buku sketsanya.
"Sore Kak Andro yang cakep kalau lagi tersenyum," sapa Bintang bersemangat. Andromeda langsung menoleh kearah suara itu sambil tersenyum lebar. Terlihat Bintang sedang tersenyum lebar kearahnya membuat Andromeda pun tertawa.
"Assalaamualaikum, Dro....," sambung Mentari yang berdiri di belakang Bintang.
"Waalaikumsalam, Mentari... ," jawab Andromeda gantian menoleh kearah Mentari dengan raut tersenyum.
"Hmmm apa maksudnya Kak Andro cakep kalau lagi tersenyum? Emang kalo nggak lagi tersenyum, hilang cakepnya gitu?" tanya Andromeda sambil jongkok di hadapan Bintang dengan raut pura-pura ngambek.
Bintang tertawa kecil melihatnya, "Tetap cakep kok Kak Andro, tapiii... cakepnya jadi ketutup aja kalau Kak Andro lagi ga senyum, he he".
Andromeda masih menampakkan ekspresi manyunnya dan mengalihkan pandangannya kearah lain, masih pura-pura marah. Bintang mendongakkan kepalanya ke Mentari dengan raut bingung, sementara Mentari tersenyum melihat kelakuan keduanya. "Kasih ice cream ke Kak Andro...," ucap Mentari tanpa suara hanya menggunakan isyarat bahasa bibirnya ke Bintang dibalas Bintang dengan menganggukkan kepalanya sambil balas tersenyum.
"Kak Andro, mau ice cream yang rasa apa?" tanya Bintang sambil tersenyum lebar menatap ke Andromeda yang masih membuang mukanya itu.
Andromeda melirik kearah ice cream yang disodorkan Bintang sejenak, "Emang Kak Andro gampang disogok pake ice cream?"
Kini giliran Bintang yang manyun dan menundukkan kepalanya membuat Andromeda pun tak tahan untuk berpura-pura lagi. Ia pun tersenyum kearah Mentari yang terlihat tersenyum melihat drama keduanya itu. "Bintang sedih ya? Kak Andro cuma bercanda kok. Kak Andro mau kok apapun rasa ice cream-nya. Terserah Bintang aja, Kak Andro mau dikasih yang rasa apa, asal Bintang maafin Kak Andro," sambung Andromeda tertawa lebar dibalas Bintang dengan senyum lebarnya.
Andromeda dan Mentari pun duduk di bangku taman yang biasanya, sedangkan Bintang tetap duduk di kursi rodanya menghadap mereka. Ketiganya memegang satu cup ice cream ditangannya.
"Oh iya, Dro. Ini air mineral buat mengimbangi ice cream-nya nanti," ujar Mentari menyerahkan dua botol air mineral ke Andromeda.
Andromeda menoleh kearah Mentari kemudian tersenyum, "makasih, Tari".
Andromeda dan Bintang terlihat membuka kertas penutup ice cream masing-masing dengan semangat dan mulai menyuapkan satu sendok ice cream ke mulut masing-masing sambil tertawa sementara Mentari hanya tersenyum mengamati tingkah keduanya.
"Kak Tari..., kok ice cream-nya ga dibuka? Makan ice cream-nya kan lebih seru kalau bareng-bareng, Kak," tanya Bintang  tertawa ketika kemudian menyadari sesuatu.
"Oh iya, Bintang hampir lupa, Kak Tari kan nggak terlalu suka rasa vanilla ya," sambung Bintang kemudian ganti menoleh ke Andromeda, "ice cream rasa coklatnya malah Bintang kasihkan ke Kak Andro tadi".
Andromeda memandang ke arah Mentari dengan rasa bersalah. "Maaf aku nggak tahu, Tari".
Mentari segera menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, "Gapapa, Dro...".
"Ya udah, biar adil gimana kalau ice cream-nya kita bagi rata jadi tiga? Sepertiga punya Bintang buat Kak Tari, sepertiganya buat Kak Andro, dan sisanya buat Bintang. Begitu juga ice cream Kak Tari dan Kak Andro. Biar adil, semua merasakan tiga rasa itu, gimana?"
"Tapi ice cream Bintang sama Kak Andro kan udah berkurang satu sendok Bintang, emang Kak Tari gapapa?" sambung Andromeda.
"Gapapa, Kak Andro, pake sendok Kak Tari aja buat ngebaginya. Kak Tari setuju ga?" ujar Bintang menoleh ke Mentari dengan tersenyum ceria.
Mentari pun tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya, bergantian menatap ke Bintang kemudian ke Andromeda.
Dengan sabar dan berusaha sama rata, Mentari membagi ketiga ice cream tersebut, sementara Bintang dan Andromeda pun asyik main tebak kata sambil menunggu Mentari selesai.
"Nah udah selesai nih," ujar Mentari tujuh menit kemudian sambil mengembalikan cup ice cream kepada pemiliknya masing-masing.
"Kak Andro, Bintang boleh nggak minta disuapi Kak Andro sesendok aja?" pinta Bintang sambil meringis kearah Andromeda, "sekaliiiii aja please...". Andromeda pun tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya pelan.
"Boleh kan, Kak Tari?" tanya Bintang menoleh kearah Mentari, meminta pendapatnya. Mentari tersenyum dan berpikir sejenak kemudian menganggukkan kepalanya.
Andromeda menyuapkan sesendok ice cream dari cup milik Bintang ke mulut Bintang dengan sengaja menggoda Bintang, memutar-mutar sendok ice cream itu di depan Bintang yang tidak sabar menerima ice cream itu mendarat di mulutnya sebelum akhirnya ice cream itu mendarat dengan sukses di mulut Bintang. Ulah Andromeda itu pun membuat ketiganya tertawa.
"Sekarang gantian dong, Kak Andro mau disuapin sama Bintang juga," ujar Andromeda bersemangat.
Bintang tertawa lebar, ia merasa mendapat kesempatan membalas yang dilakukan Andromeda padanya barusan. Andromeda sudah siap membuka mulutnya lebar, tapi Bintang malah mengarahkan  sendok ice cream itu mengenai hidung Andromeda sehingga ice cream itu meninggalkan sedikit jejak di hidung Andromeda. Ketiganya kembali tertawa, apalagi Bintang yang tertawa paling keras.
"Bintang, hidung Kak Andro jadi kena ice cream kan...," ujar Andromeda tersenyum bercampur manyun, "akk... buruan masukin ice cream-nya, mulut Kak Andro capek nih terbuka lebar melulu".
Mentari tersenyum melihat tingkah lucu Andromeda dan Bintang. Bintang kembali mengarahkan sendok ice cream ke Andromeda, kali  ini dia mengarahkan sendok ice cream itu ke pipi Andromeda dan meninggalkan jejak ice cream disana. Bintang pun tertawa puas
"Bintaaaaaang, udahan ah... ," teriak Andromeda sambil tertawa kecil. Akhirnya sesendok ice cream itu pun mendarat dengan selamat di mulut Andromeda. Mentari tersenyum melihat Andromeda dan Bintang yang tertawa terpingkal, kemudian ia pun mengambil tissue dari dalam tasnya dan menyodorkan ke Andromeda. Andromeda  menoleh kearah Mentari kemudian beralih tersenyum padanya. "Terima kasih, ya," ujar Andromeda sambil menerima tissue dari tangan Mentari yang mengangguk dan masih memasang wajah penuh senyumannya itu.
"Oh ya, sekarang giliran Kak Tari nyuapin Bintang...," ujar Bintang tiba-tiba membuat Mentari dan Andromeda balik menoleh kearah Bintang.
Sekarang Bintang membuka mulutnya lebar-lebar seperti yang Andromeda lakukan sebelumnya, dia yakin bahwa Mentari tidak akan mengerjainya seperti yang Andromeda lakukan. Mentari mengarahkan sesendok ice cream ke mulut Bintang ketika sendok itu berhenti beberapa sentimeter di depan mulut Bintang. "Eittssss tunggu dulu, ada syaratnya biar sesendok ice cream ini bisa masuk ke mulut Bintang. Bintang harus menjawab pertanyaan dari Kak Tari dengan benar".
Dengan raut bertanya-tanya, Bintang menutup mulutnya yang terbuka itu dan mendengarkan pertanyaan perkalian matematika dari Mentari. Andromeda tertawa kecil melihat Bintang dengan bibir manyunnya. "Mau makan ice cream dari tangan Kak Tari, susah banget yaaa... harus menghitung dulu...," ujar Bintang sambil tersenyum.
Mentari tertawa mendengarnya, begitu pun Andromeda. Sementara itu Bintang terlihat sedang serius menghitung di awang-awang. Setengah menit kemudian, sesendok ice cream itu pun berhasil mendarat di mulut Bintang setelah Bintang berhasil menjawab dengan benar. Ketiganya pun tertawa. "Nah sekarang giliran Bintang nyuapin Kak Tari," ujar Bintang sambil mengambil sesendok ice cream dari cup Mentari dengan menggunakan sendok Mentari. Mentari terlihat memasang ekspresi cool, tidak membuka mulutnya melainkan menunggu sendok itu diarahkan Bintang ke arahnya. "Eitssss, tunggu dulu.... tidak semudah itu... Kalau Kak Tari mau ice cream dari tangan Bintang, Kak Tari harussss....," Bintang menghentikan ucapannya sementara  Mentari terlihat penasaran menunggu tantangan dari Bintang untuknya dan Andromeda pun tersenyum ikut penasaran. Mentari menaikkan alisnya, sebagai isyarat bertanya kepada Bintang. Bintang tersenyum lebar, "Kak Tari harus cium pipi Bintang kanan dan kiri juga kening Bintang". Mentari pun tersenyum lebar mendengarnya dan bergegas memenuhi permintaan Bintang itu kemudian membuka mulutnya bersiap menerima satu sendok ice cream dari Bintang dengan raut tersenyum. "Eittsss satu lagi kelupaan Kak Tari...," ucap Bintang menahan sesendok ice cream itu menuju mulut Mentari.
"Apalagi Bintaaaang?" ujar Mentari pura-pura manyun dibalas Bintang dengan tertawa membuat Mentari bahkan Andromeda pun terbawa tertawa.
"Bintang pingin memeluk Kak Tari...," ucap Bintang membuat Mentari tak bisa berkata-kata sejenak, hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, membiarkan Bintang kemudian memeluk dirinya dengan erat dan hangat. Mentari balas memeluk Bintang dengan tak kalah hangat, Andromeda yang melihatnya pun ikut hanyut dalam perasaan bersama senyumannya. Dan akhirnya, sesendok ice cream itu pun mendarat ke mulut Mentari meski sebagian sudah mencair.
"Hmmm sekarang berarti giliran Kak Andro dan Kak Tari yang saling suap-suapan ice cream yaaa...," sambung Bintang membuat Mentari dan Andromeda saling memandang canggung satu sama lain karena tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut Bintang.
"Bintaaang, Kak Tari dan Kak Andro kan dua orang dewasa...," ucap Mentari sambil tersenyum ke gadis kecil di hadapannya itu.
"Kenapa, Kak Tari? Emang dua orang dewasa ga boleh ya saling menyuapi ice cream doank?" tanya Bintang. Mentari mendekatkan kursi Bintang.
"Bukan begitu, Bintang. Tapi diantara dua orang dewasa, lebih banyak hal yang harus dijaga biar ga ada salah paham. Bisa jadi kalau Kak Tari menyuapi Kak Andro, ada teman Kak Andro yang bakal keberatan karena itu...," sambung Mentari berusaha memberi pengertian kepada Bintang. Bintang menoleh kearah Andromeda. "Emang ada teman Kak Andro yang bakal keberatan ya Kak kalau Kak Andro sekedar nyuapin ice cream ke Kak Tari?" tanya Bintang polos.
Andromeda memandangi Bintang sambil tersenyum tanpa menjawab apa-apa, Andromeda kemudian menoleh sejenak kearah Mentari yang tetap menatap Bintang. Andromeda pun bingung harus menjawab apa selain hanya bisa tersenyum kepada Bintang.
"Yang terpenting Bintang sudah disuapin dan menyuapin Kak Andro dan Kak Tari, Sayang," lanjut Mentari memberi pengertian.
Bintang menoleh bergantian kepada Mentari dan Andromeda yang tersenyum kepadanya.
"Kak Tari benar, ya udah deh. Sekarang kita lanjut main balon yaaa...," ucap Bintang akhirnya sambil tersenyum lebar kepada Mentari. Ketiganya pun kembali tersenyum lebar kemudian menghabiskan ice cream masing-masing sambil mendengarkan celotehan Bintang tentang banyak hal.
Andromeda sedang menghabiskan sebotol air mineralnya ketika Mentari terlihat mengeluarkan bakal balon dari sakunya sehabis dia membuang cup ice cream mereka yang sudah kosong ke tempat sampah di dekat mereka.
"Mau meniup balon, Tari? Sini biar aku aja yang meniupnya," ujar Andromeda menawarkan bantuannya.
"Emang kamu baik-baik aja, Dro buat meniup balon?" tanya Mentari membuat Andromeda tertawa.
"Aku baik-baik aja, Tari," jawab Andromeda sambil tersenyum. Lima menit kemudian balon bentuk hati pun sudah siap diterbangkan. Andromeda terlihat melilitkan benang itu di ujung ikatan balon tersebut.
"Nah sekarang saatnya masing-masing menuliskan harapan atau doa buat diri sendiri, dan dua orang lainnya di kertas," ujar Mentari sambil membagikan kertas kosong dan pulpen ke Bintang dan Andromeda. Sementara itu, balon bentuk hati itu pun Andromeda ikatkan di kursi roda Bintang.
"Ga boleh saling nyontek ya, Kak Tari," timpal Bintang sambil tertawa kecil disambut anggukan kepala dari Mentari. "Karena jujur itu hebat...," jawab Mentari disambut dengan aggukan setuju dari Bintang yang makin tertawa lebar. Andromeda pun ikut tertawa mendengarnya.
Ketiganya pun mulai menulis. 10 menit kemudian Bintang mengumpulkan kertas dari tangan Andromeda, Mentari dan juga miliknya. Bintang kemudian memeriksa setiap tulisan yang ada sebelum mereka menerbangkannya dengan balon, ketika Bintang kemudian menoleh kearah Andromeda. "Kak Andro... kenapa yang harapan buat Kak Tari ga ada tulisannya?" tanya Bintang polos membuat Andromeda tersenyum canggung ke Mentari yang menoleh kepadanya. Mentari tersenyum lebar kepadanya.
"Kak Andro bingung harus menulis apa buat Kak Tari, Bintang," jawab Andromeda akhirnya sambil meringis kearah Bintang.
"Emangnya Kak Andro ga punya harapan buat Kak Tari atau doa buat Kak Tari gitu? Kak Tari aja punya harapan dan doa buat Kak Andro...," ucap Bintang sambil tersenyum.
Bintang kemudian membacakan isi kertas miliknya dan Mentari.

Tulisan Bintang
Buat Bintang : semoga segera bisa jalan normal lagi dan semoga teman-teman Bintang yang menjauhi Bintang di sekolah bisa terbuka hatinya buat temenan lagi sama Bintang. Semoga tetap jadi tiga besar di semester ini
Buat Kak Andro : semoga sakit ginjalnya cepet sembuh, lebih banyak tersenyum dan tertawa lagi, dan bisa segera lanjut kuliah lagi. Semoga Kak Andro ga merasa sedih lagi.
Buat Kak Tari : semoga sehat selalu, tetep sabar menghadapi Bintang, tetap dan makin sayang sama Bintang, semoga kuliahnya juga lancar dan apa yang dicita-citakan tercapai. Semoga dapat teman laki-laki yang baik buat pendamping hidup Kak Tari

Andromeda dan Mentari tersenyum mendengar harapan Bintang itu sambil mengaminkan harapan-harapan gadis kecil itu. Keduanya juga merasa sedikit haru dengan harapan Bintang ke diri mereka masing-masing.
"Sekarang, lanjut tulisan dari Kak Tari...," ucap Bintang sambil tersenyum lebar.

Tulisan Mentari
Boeat Bintang : semoga Bintang sehat selalu, segera bisa jalan lagi, bisa lari-lari dan main sepeda lagi, semoga makin jadi anak yang baik buat papa mama Bintang dan jadi kakak yang baik buat adik Bintang, makin rajin belajar, dan tetap ceria apapun yang terjadi. Semoga tetap baik ke siapa pun. Semoga Bintang selalu bahagia dan bersinar seperti bintang di langit. Pastinya tetap sayang sama Kak Tari.
Boeat Andromeda : semoga segera diberikan kesembuhan dari sakit ginjalnya, semoga segera dapat donor yang pas buat ginjalnya. Semoga lebih banyak ketawa dan tersenyum lagi, tetap semangat di hari-harinya, semoga apa yang menjadi keinginannya terwujud. Semoga sehat dan bahagia selalu apapun yang terjadi. Keep smiling, Andro!Kamu nggak sendirian, Dro...
Boeat  Mentari : semoga sehat dan bahagia selalu, menjadi manusia yang lebih baik dan bersyukur setiap harinya, semoga kuliahnya lancar dan ilmunya bermanfaat. Semoga apa yang jadi target hidup aku tercapai, semoga selalu ditunjukkan yang terbaik dalam segala hal. Semangat dan berjuang, Tari! :)

Bintang terdiam setelah selesai membacakannya. Ia menoleh kepada Mentari dan tersenyum manis lebar kepadanya sambil mengucapkan terima kasih. Andromeda pun menoleh ke Mentari. Ia tidak menyangka harapan Mentari untuk dirinya itu. Andromeda teringat tulisan Mentari di kertas sketsanya beberapa hari sebelumnya. Menyadari Andromeda menatapnya, membuat Mentari pun menoleh pada Andromeda dan tersenyum padanya. Andromeda pun balas tersenyum lebar, "Makasih banyak, Tari buat harapan-harapan indah buat aku itu...".
“Sama-sama, Dro...".
"Nah, Kak Andro kan udah tahu isi tulisan Bintang dan Kak Tari, juga harapan indah Kak Tari buat Kak Andro. Jadi sekarang Kak Andro harus isi harapan Kak Andro buat Kak Tari ya, Kak," ujar Bintang sambil tersenyum lebar ke Andromeda.
"Kalau Kak Andro memang tidak punya harapan buat Kak Tari, ga perlu dipaksa buat menulis, Bintang," jelas Mentari.
"Aku tidak merasa terpaksa, Tari. Aku akan menuliskan harapan itu buat kamu," timpal Andromeda membuat Mentari menoleh kepadanya dan mereka pun saling bertukar senyum simpul sejenak.
"Beri Kak Andro waktu beberapa menit buat Kak Andro menuliskan harapan buat Kak Tari ya, Bintang," sambung Andromeda tersenyum lebar kearah Bintang dibalas dengan anggukan antusias dari Bintang yang tersenyum tak kalah lebarnya.  Sambil menunggu Andromeda, Mentari dan Bintang melubangi sedikit kertas mereka masing-masing kemudian setengah menggulungnya.
Beberapa menit kemudian, Andromeda menyerahkan kertasnya kepada Bintang. "Ini tulisan Kak Andro, Bintang". Seperti sebelumnya, Bintang pun membacakan isi tulisan itu.

Tulisan Andromeda
Bintang : semoga kakinya cepat sembuh, bisa jalan seperti semula lagi. Tetap ceria dan lucu sampai kapan pun. Tetap mau jadi teman Kak Andro berbagi senyum dan tawa. Semoga apa yang menjadi doa dan harapan Bintang terwujud. Kak Andro sangat bersyukur bisa mengenal Bintang. Makasih Bintang...
Andromeda : semoga bisa segera ketemu donor yang cocok, semoga bisa lanjut kuliah lagi, semoga bisa tersenyum dan tertawa seperti dulu lagi. Semoga aku bisa melihat orang-orang yang aku sayangi bahagia, tidak bersedih karena aku. Semoga aku bisa menjadi manusia yang lebih baik, sukses, dan dipenuhi harapan lagi...
Mentari : semoga... tetap jadi kakak baik yang menyayangi juga disayangi Bintang, tetap menjadi orang yang berhati baik sampai kapan pun. Wish you all the best, Mentari. Thank you for every thing you have done or you will do for me and Bintang (indonesia: terima kasih untuk semua hal yang sudah kamu lakukan atau akan kamu lakukan untuk aku dan Bintang)....

"Cieee, Kak Andro pake bahasa inggris buat Kak Tari," goda Bintang sambil tertawa lebar ke Andromeda membuat Andromeda pun ikutan tertawa kecil. Andromeda bergegas melubangi kertas miliknya dan menggulungnya sambil bercanda bersama Bintang. Sementara itu, Mentari menatap kearah Andromeda sambil tersenyum, mendengar harapan Andromeda tadi membuat dirinya seolah berusaha memahami yang dirasakan Andromeda yang selama ini mungkin tersembunyi dibalik wajah coolnya itu. "Semoga harapan-harapan kamu terwujud, Dro. Jangan pernah kehilangan harapan," ujar Mentari didalam hati sambil mengaminkan harapan-harapan Andromeda itu.
"Oh iya, tadi di tulisan Kak Andro dan Kak Tari ada harapan semoga mendapatkan donor yang pas atau cocok gitu. Emang itu artinya apa? Bintang tahunya cuma donor darah. Emang Kak Andro mau ngasih darahnya gitu biar sembuh?" tanya Bintang polos sambil tersenyum.
Andromeda pun tertawa mendengarnya, sementara Mentari hanya tersenyum geli.
"Kak Andro perlu ginjal yang masih bagus dan cocok ditaruh di tubuh Kak Andro buat mengganti ginjal Kak Andro yang sudah tidak bekerja dengan baik, Bintang," ujar Andromeda, membuat Bintang menganggukkan kepalanya. "Terus nyari ginjalnya dimana, Kak Andro? Apa di PMI ada?" tanya Bintang lagi. Andromeda pun lagi-lagi tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Keluarga dan dokter yang merawat Kak Andro yang mencarikan donor yang cocok buat Kak Andro, Bintang. Ginjal itu tidak seperti darah yang lumayan banyak stoknya di PMI. Tidak mudah buat mendapatkan ginjal yang cocok sama tubuh Kak Andro".
"Makanya kita sama-sama doain ya Bintang, semoga Kak Andro bisa segera dapat donor ginjal yang cocok," ujar Mentari ikut bicara diantara perbincangan Andromeda dan Bintang. Bintang menoleh bergantian ke  Mentari  dan Andromeda sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Kalau seandainya Kak Andro nggak dapat donor ginjal yang cocok, artinya Kak Andro ga bisa sembuh ya?" tanya Bintang serius dengan raut khawatir menatap bergantian ke Andromeda dan Mentari.  Andromeda hanya tersenyum tanpa bisa berkata apa-apa, hal itu juga kadang mengganggu pikirannya, membayangkan ia tidak mendapatkan donor yang cocok buat tubuhnya. Mentari menatap kearah Andromeda yang hanya bisa terdiam itu.
"Kita ga boleh berandai-andai jelek, Bintang. Ga baik. Kita harus yakin kalau Kak Andro bakal dapat donor yang cocok buat ginjalnya. Segera, Insyaa Allah," ujar Mentari membuat Andromeda menoleh kearahnya. Bintang pun menatap Mentari dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya yakin. Mentari pun membalas senyuman Bintang itu dengan lebih lebar dan penuh keyakinan kemudian menatap Andromeda sejenak dengan senyuman optimisnya itu. Andromeda pun ikut tertular senyuman optimis Mentari itu.
"Kak Tari benar. Kak Andro pasti segera dapat donor ginjal yang cocok secepatnya, insyaa Allah. Kak Andro harus tetap semangat dan yakin yaaa... . Bintang dan Kak Tari akan bantu doa juga," ucap Bintang tersenyum manis dan super lebar ke Andromeda, membuat Andromeda kembali tertawa.
"Semangat Kak Andro!" sambung Mentari ikut menyemangati Andromeda dengan senyum lebarnya.
"Semangaaaat! Makasih banyak Bintang," balas Andromeda sambil tersenyum lebar kemudian menoleh kearah Mentari, "terima kasih, Tari".  Mereka pun kembali larut dalam senyum ceria mereka.
Tiga kertas harapan ketiganya pun sudah diikatkan ke balon bentuk hati, kemudian Andromeda dan Mentari memberi kesempatan buat Bintang melepaskan balon hati itu dari genggamannya.
"Bismillaah, semoga balonnya terbang tinggi, setinggi harapan-harapan kita," ucap Mentari sambil tersenyum lebar.
"Semoga harapan-harapan kita semua terwujud," sambung Bintang tertawa riang.
"Aamiin aamiin aamiin," lanjut Andromeda tersenyum tak kalah lebarnya diikuti Mentari dan Bintang yang ikut mengaminkan.
Mereka bertiga pun tersenyum melihati balon itu yang perlahan naik dibawa angin sore itu. Kertas itu hanyalah simbol, tapi makna sebenarnya adalah bahwa mereka bertiga menggenggam harapan dalam hati mereka dan yakin bahwa Tuhan akan mewujudkan harapan demi harapan itu.
Balon itu sudah terbang menjauh beberapa saat kemudian ketika ada suara anak-anak menyapa Bintang, ternyata teman-teman sekompleks Bintang.
"Mau ikutan main tebak kata bareng kita ga Bintang?" ujar salah satu diantara mereka. Bintang menoleh kearah Mentari dan Andromeda. "Boleh ga Bintang main sebentar sama mereka, Kak?" tanya Bintang dengan wajah memelas sambil memamerkan giginya. Mentari dan Andromeda tersenyum menganggukan kepalanya. Bintang pun bermain bersama teman-temannya tak jauh dari tempat duduk mereka tadi, menyisakan Mentari dan Andromeda duduk berdua di bangku itu. Mereka mengamati Bintang yang sedang asyik bermain bersama teman sebayanya.
"Bintang itu anak sulung dan beberapa kali dia selalu bilang kalo dia itu pingin punya kakak biar dia bisa bermanja ria. Terima kasih ya karena kamu sudah mengabulkan keinginan Bintang tadi, buat menyuapi dan disuapi ice cream sama Bintang," ujar Mentari memulai percakapan berdua dengan Andromeda. Andromeda menoleh pada Mentari dan tersenyum, "Aku sama sekali tidak keberatan melakukannya, Tari. Aku juga merasakan hal yang serupa. Sebagai anak bungsu, ada kalanya aku pingin punya adik. Dan aku dengan senang hati menganggap Bintang seperti adik aku sendiri," jawab Andromeda dibalas Mentari dengan senyuman lebar dan anggukan kepalanya tanda ia sependapat dengan Andromeda.
"By the way, gimana kondisi kamu Dro, sudah baikan?" tanya Mentari.
Andromeda mengangguk. "Terima kasih untuk semangat kamu di gambar sketsaku kemarin, Tari," sambung Andromeda masih tersenyum ke Mentari, dibalas senyuman tak kalah lebar dari Mentari.
"Waktu itu Pak Ahmad bilang kalo kamu susah tidur beberapa hari sebelumnya. Apa masih sampai sekarang?" tanya Mentari lagi membuat Andromeda sedikit tertegun. Ia terdiam menatap Mentari yang juga sedang menatapnya.
"Pak Ahmad dan istrinya khawatir dengan kamu, Dro," sambung Mentari. Andromeda menoleh kearah Bintang, mengamati Bintang yang tertawa lepas bersama teman-temannya. Untuk sesaat, Mentari merasakan sosok Andromeda yang kembali cool seperti ketika awal mereka kenal. Bibir Andromeda tersenyum mengamati tingkah Bintang, tapi sekaligus larut dengan dunianya sendiri, seolah tak menganggap keberadaan Mentari di sebelahnya.
Mentari pun memutuskan tak melanjutkan kalimatnya, menemani laki-laki itu tersenyum kearah Bintang.
"Kamu pernah menyukai atau mencintai seseorang, Mentari?" Mentari langsung menoleh ke Andromeda mendengar pertanyaan laki-laki disebelahnya itu. Keduanya saling memandang satu sama lain. Mentari masih terdiam.
"Aku mencintai seseorang, kami saling mencintai satu sama lain. Tapi aku tidak ingin melihat dia sedih karena aku sakit. Aku ingin melepaskan dia, Tari," ujar Andromeda tersenyum tipis.
"Kalian sudah jadian?" tanya Mentari.
Andromeda mengangguk, "Sudah jalan lima bulan".
Mentari tersenyum tipis, "Bukannya lebih baik kalau kamu jujur ke dia tentang sakit ginjal kamu, Dro? Saat dua orang saling mencintai, mereka akan berusaha menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, Dro. Kamu percaya ke dia kan?"
Lagi-lagi Andromeda mengangguk. "Aku mempercayainya, Tari dan karena itu juga aku mencintainya. Tapi aku tidak ingin membuat dia sedih karena aku, terlebih sampai dia menangis. Aku lebih suka dia melupakan aku dan membenci aku daripada melihat dia bersedih karena aku. Aku tidak bisa memberikan harapan apa-apa untuk dia dengan kondisiku sekarang, Tari," jelas Andromeda dengan senyum tertahan kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke Bintang.
Mentari memandangi laki-laki di dekatnya itu, berusaha menyelami perasaannya. "Buat aku, melepaskan seseorang yang kita cintai dan mencintai kita tanpa jujur kepadanya itu ga adil buat dia, Dro. Itu artinya kita egois," sambung Mentari pelan membuat Andromeda kembali menatap padanya dengan senyum tertahan.
"Mungkin aku memang egois, Tari, tapi melepaskan dia agar dia punya lebih banyak peluang buat bahagia itu adalah keputusan yang terbaik menurutku. Meski aku akui ini tidak mudah, melepaskan seseorang yang kita cintai dengan sepenuh hati," ujar Andromeda pelan, "tapi nanti kalo aku sudah menemukan donor yang cocok, aku pasti akan memperjuangkan hati dia lagi, Tari".
"Bagaimana kalau nanti kamu sembuh, kamu justru terlanjur kehilangan dia, Dro? Yakin kamu tidak akan menyesalinya?" tanya Mentari lagi.
Andromeda menatap lekat Mentari yang tersenyum tipis kepadanya sejenak kemudian Andromeda menengadahkan mukanya ke langit yang berawan itu. Andromeda terlihat memikirkan pertanyaan Mentari itu, terdengar beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam meski tanpa satu kata pun terucap.
"Aku tetap harus melepaskannya sekarang, Tari. Apa kamu mau membantu aku, Tari?" ucap Andromeda tiba-tiba kembali menoleh kearah Mentari yang memandanginya itu.
"Membantu kamu?" tanya Mentari ragu.
Andromeda mengangguk pelan. "Bantu aku melepaskan orang yang aku cintai dengan berpura-pura menjadi seseorang yang membuatku berpaling hati dan sengaja berjarak darinya beberapa minggu ini," sambung Andromeda tersenyum tipis.
Mentari terlihat memikirkan kalimat Andromeda dalam diamnya. Ia balas menatap Andromeda sejenak kemudian memalingkan pandangannya kearah Bintang yang masih asyik bermain untuk beberapa saat sebelum kemudian menoleh ke Andromeda lagi sembari menggelengkan kepalanya pelan. Mentari tidak ingin membantu Andromeda berpura-pura, ia tetap ingin Andromeda jujur kepada ceweknya. Bagi Mentari jujur adalah yang terbaik buat Andromeda dan ceweknya. Berpura-pura hanya akan membuat Andromeda berpeluang lebih sedih. Selain Bintang dan dirinya, Mentari ingin Andromeda bisa melewati masa-masa sulitnya itu ditemani orang yang dicintainya.
"Aku mengerti, Tari dan aku ga bisa memaksa kamu untuk... ".
Kalimat Andromeda pun terhenti ketika terdengar suara Bintang memanggil nama Mentari.
Mentari dan Andromeda yang saat itu saling menatap pun sama-sama menoleh kearah Bintang.
"Ya udah, buruan kamu hampiri Bintang, Tari. Terima kasih setidaknya kamu sudah mendengarkan cerita aku," ujar Andromeda pelan. Mentari bergegas berdiri dan berjalan kearah Bintang, sementara Andromeda hanya melihatinya dari tempatnya duduk ketika baru beberapa langkah Mentari menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh kearah Andromeda.
"Maaf Dro, bukannya aku tidak ingin membantu, aku tidak ingin membantu kamu berpura-pura karena kamu layak untuk lebih bahagia, Dro. Seperti harapan yang aku tuliskan buat kamu tadi," ujar Mentari sambil tersenyum lebar kearah Andromeda yang sejenak terdiam menatapnya kemudian balas tersenyum lebar.
Beberapa menit kemudian, Bintang dan Mentari pun berpamitan pulang menyisakan Andromeda yang menikmati senja sambil larut dalam pikirannya.

-Bersambung-

CAST : Rizzar as Andromeda; Ara as Mentari; X  as Bintang
DOUBLE CAST : Rizky Nazar as Rizzar and Anisa Rahma as Ara

Setelahnya : Where Are You, Kak Andro?