Minggu, 26 Juni 2016

See You Again When The Next Blue Moon Appears : Part 6 Ahsan Dan Hasna Yang Ditunggu dan Menunggu


 


Part 6 : Yang Ditunggu dan Menunggu

Pertemuan demi pertemuan menjadi ajang baik bagi Ahsan maupun Hasna untuk saling mengenal satu sama lain meski semua mengalir seperti air, tanpa masing-masing saling mendefinisikan apa yang ada di hati mereka. Beberapa minggu selanjutnya, Ahsan dan Hasna pun rutin bertemu di setiap Rabu dan Sabtu di kelas bantaran rel itu. Ahsan juga masih setia, selalu menunggu Hasna di stasiun saat berangkat dan menemaninya jalan menuju stasiun ketika pulang. Begitu pun Rabu sore itu. Ahsan terlihat beberapa kali melirik ke arlojinya. Sudah 35 menit Ahsan berdiri di dekat pintu keluar, tempat ia biasa menunggu Hasna tapi ia tak kunjung melihat perempuan yang ditunggunya itu. Ahsan membuka layar percakapannya dengan Hasna di handphonenya, ingin menanyakan keberadaan Hasna tapi Ahsan mengurungkannya. Selama ini Hasna tidak pernah memintanya menunggunya, tapi ia memang secara sukarela ingin menunggu perempuan itu. Jam di handphonenya menunjukkan pukul 14.50, Ahsan pun memutuskan untuk bergegas menuju kelas bantaran rel. Ada rasa khawatir yang tiba-tiba Ahsan rasakan saat itu, "Semoga ini cuma aku yang sedang terlalu terbawa perasaan,Na. Semoga kamu baik-baik saja".
Beberapa menit kemudian Ahsan akhirnya sampai di kelas disambut Raka dan teman-teman lainnya yang terlihat sedang mengobrol selepas wudlu dan bersiap untuk sholat Ashar berjamaah. Nafas Ahsan sedikit tersengal karena ia memang setengah berlari sebelumnya karena takut terlambat.
"Ahsan, akhirnya datang juga. Kita sudah berpikir apa mungkin kamu lagi nyusulin Hasna di rumah sakit," ujar Raka membuat raut wajah Ahsan berubah.
"Hasna di rumah sakit? Memangnya Hasna sakit apa?" tanya Ahsan dengan nada khawatir yang berusaha disembunyikannya.
"Barusan Hasna memberi kabar kalau tadi di perjalanan berangkat kesini dari kantornya dia jatuh terserempet motor. Dia izin tidak bisa datang mengajar hari ini".
"Terus bagaimana kondisi Hasna sekarang, Ka?" tanya Ahsan, ada raut terkejut terlihat jelas di wajah laki-laki itu.
Raka merangkul Ahsan dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Hasna bilang cuma lecet-lecet aja di kaki, San. Insyaa Allah Hasna baik-baik saja".
Ahsan tersenyum dan mengangguk pelan, meski entah kenapa hatinya tetap saja khawatir.
"Tenang, Bro. Nanti sesudah kelas usai, kita jenguk Hasna di rumah sakit bareng-bareng ya," ujar Ardi tersenyum lebar menimpali dibalas Ahsan dengan kembali menganggukkan kepalanya sambil berusaha melebarkan senyumannya.
Ahsan pun mengambil wudlu lalu bergegas bergabung dengan rekan-rekan dan adik-adik disana, sholat ashar berjamaah. Sebelum pelajaran dimulai, Raka memberitahu adik-adik disana tentang kecelakaan yang dialami Hasna dan meminta semua yang ada disana mendoakan kesembuhan buat Hasna. Kelas belajar mengaji kemudian dimulai seperti biasa. Biasanya Ahsan dan Hasna menjadi partner mengajar, tapi hari itu Raka sengaja meminta Ardi, yang biasa berpartner dengan Raka, menemani Ahsan menggantikan Hasna. Rekan-rekan Ahsan bisa melihat kalau Ahsan sedikit kehilangan fokusnya. Meski Ahsan tidak pernah bilang dan tidak pernah mengakuinya, tapi teman-temannya bisa melihat ada yang berubah dari Ahsan setelah mengenal Hasna.
Sementara itu di rumah sakit, Hasna ditemani orang tuanya. Meski lukanya tidak seberapa, orang tua Hasna ingin memastikan bahwa anak perempuannya itu baik-baik saja sebelum membawanya pulang, apalagi Hasna memang sempat tidak sadarkan diri sebentar saat peristiwa itu terjadi. Hasna mengambil handphone dari sakunya dan membuka aplikasi whatsapp-nya. Ada satu pesan masuk dari Ahsan.
"Hasna, apa kamu baik-baik saja?"
Hasna tersenyum membacanya, ia tidak menyangka laki-laki itu mengkhawatirkannya.
"Aku baik-baik aja, cuma lecet sedikit. Maaf ya, kamu jadinya harus mengajar sendirian hari ini, he he. Semangat yaaa :)".
Di kelas Ahsan pun dengan sabar seperti biasa mengajar mengaji ditemani Ardi. Ia letakkan handphonenya di sakunya dalam keadaan silent sehingga ia tidak menyadari ada balasan pesan dari Hasna itu. Ada kalanya ia terdiam sejenak mengingat Hasna dan Ahsan tidak sesemangat biasanya saat ada Hasna. Biasanya saat keduanya ada, mereka saling menularkan semangat dan energi positif ke satu sama lainnya, meski tanpa mereka sadari.
"Jangan terlalu khawatir ya, Kak Ahsan. Kak Raka bilang kalo Kak Hasna cuma luka lecet kok," suara Putri menyadarkan Ahsan yang setengah melamun itu. Ahsan menoleh ke gadis kecil itu sambil tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Iya Putri. Memang siapa yang bilang kalau Kak Ahsan mengkhawatirkan Kak Hasna?"
Putri tersenyum makin lebar. "Nggak ada yang bilang sih, Kak. Tapi kayaknya semua yang di kelas ini tahu kalau Kak Ahsan pasti mengkhawatirkan Kak Hasna".
Ahsan tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka bahwa apa yang dirasakannya ke Hasna bisa terbaca oleh orang lain, bahkan oleh anak sekecil Putri.
Selesai kelas mengaji, Ahsan dan teman-temannya pun bersiap-siap menjenguk Hasna. Terlihat adik-adik disana ingin ikut juga melihat kondisi Hasna sehingga kakak-kakak volunteer meminta beberapa dari mereka saja sebagai perwakilan yang menjenguk. Akhirnya Ridwan dan Putri akan ikut bersama kakak-kakaknya. Raka pun menelepon Hasna memberitahukan rencana mereka, ternyata Hasna sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Hasna pun mengirimkan alamat rumahnya ke Raka.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 saat Ahsan dkk beserta Putri dan Ridwan tiba di rumah Hasna. Orang tua Hasna menyilahkan ketujuh orang tersebut masuk kedalam kamar Hasna.
Hasna terlihat sedang duduk diranjangnya.
"Assalaamualaikum, Kak Hasna...,"sapa mereka dibalas Hasna dengan senyuman riangnya.
"Waalaikumsalam wr wb... waaah makasih ya Putri, Ridwan dan kakak-kakak volunteer udah repot-repot datang kemari".
Hasna mengenalkan mereka satu per satu ke orang tuanya, termasuk Ahsan. Orang tua Hasna kemudian meninggalkan kamar Hasna, membiarkan mereka lebih leluasa untuk berbincang.
Ahsan terlihat beberapa kali mencuri pandang melihati Hasna, ingin mengetahui lebih pasti kondisi Hasna. Keempat rekan Ahsan terlihat mengambil tempat duduk di dekat tempat tidur Hasna sedangkan Putri dan Ridwan terlihat duduk di tepi ranjang Hasna, satu dikanan dan satu dikiri, menyisakan Ahsan yang kebingungan mencari tempat duduk.
"Udah, Kak Ahsan duduk di sebelah Putri atau Ridwan aja," ujar Ardi dengan senyum setengah menggoda diikuti dengan tawa kecil dari kakak-kakak yang lain membuat Ahsan sedikit salah tingkah.
"Iya, Kak Ahsan duduk aja di pinggir ranjang atau mau diambilin kursi dari ruang makan?" sahut Hasna menatap Ahsan sejenak dengan senyum lebarnya seperti biasa.
"Nggak perlu, Na. Biar aku duduk disini aja," jawab Ahsan akhirnya duduk di sebelah Ridwan.
"Oh ya, gimana ceritanya sampai kamu terserempet sepeda motor, Na?" tanya Azka diikuti raut penasaran dari yang lainnya.
"Tadi waktu mau menyeberang ke arah stasiun, tiba-tiba ada motor melaju kenceng banget. Padahal kendaraan yang lain sudah berhenti dan memberi jalan, tiba-tiba dia nyelip... jadinya agak susah menghindar deh he he," jawab Hasna tetap bersemangat, "pas aku sudah sadar, tiba-tiba sudah ada di rumah sakit aja".
"Jadi kamu sempet pingsan, Na? Tapi kamu beneran nggak apa-apa kan Na, kata dokter?" sela Ahsan dengan khawatir membuat semua mata tertuju padanya tak terkecuali Hasna sehingga membuat Ahsan buru-buru menetralkan ekspresinya. Ada ekspresi "cie cie" dibalik tatapan mata dan senyuman teman-temannya juga Ridwan dan Putri. Ahsan pun tiba-tiba merasa kagok tapi berusaha tersenyum dengan wajar. Lagi-lagi ada rasa senang menyusup di hati Hasna mendengar pertanyaan spontan Ahsan itu, tapi Hasna tetap berusaha membungkusnya rapi. "Aku baik-baik aja. Cuma lecet dan sedikit terkilir saja," jawab Hasna sembari tersenyum menatap Ahsan sejenak.
"Kita semua khawatir pas denger Kak Hasna kecelakaan, meski Kak Raka bilang kalau Kak Hasna cuma lecet. Apalagi Kak Ahsan, selama pelajaran mengaji tadi Kak Ahsan beberapa kali ngelamun, sepertinya kepikiran Kak Hasna deh," sambung Putri dengan senyum lebar dan polosnya.
"Putriiii... jangan bicara yang aneh-aneh," sahut Ahsan berusaha tersenyum netral.
"Tapi emang bener kok, Kak Ahsan. Kak Ahsan itu kelihatan banget kalau khawatir ke Kak Hasna," ujar Ridwan menimpali, mendukung ucapan Putri.
Ahsan pun merasa salah tingkah dan sejenak hanya bisa terdiam, tidak bisa berkata-kata, terlebih Hasna dan teman-teman laki-lakinya semuanya kompak melihat kearahnya.
Ahsan berusaha tetap bersikap cool, ia beranikan dirinya menatap ke Hasna sambil tersenyum seperti biasa.
"Makasih ya, Kak Ahsan. Maaf sudah bikin Kak Ahsan dan yang lainnya khawatir," ucap Hasna dengan lembut dan riang sambil tersenyum lebih lebar membuat suasana kembali riang dan cair seperti biasa.
Hasna pun mempersilahkan teman-teman volunteer dan Ridwan serta Putri menikmati minuman dan beberapa kue yang sudah disiapkan oleh ortu Hasna sementara Hasna membuka oleh-oleh buah jeruk yang dibawa para volunteer untuknya.
"Ayo jeruknya dimakan bareng-bareng," ujar Hasna menghidangkan buah-buahan untuknya itu dan mengambil satu untuk dirinya.
"Sini,Kak... biar Ridwan kupasin jeruknya buat Kak Hasna".
"Makasih, adik kakak yang baik," balas Hasna dengan senyum lebarnya menyerahkan jeruknya ke Ridwan.
"Kak Ahsan mau dikupasin jeruk juga, ga?" tawar Putri tidak mau kalah menunjukkan perhatiannya ke kakak kesayangannya itu.
"Terima kasih, Putri. Kak Ahsan ga bakal habis makan satu buah jeruk itu," jawab Ahsan lembut menolak tawaran Putri. Hasna tersenyum melihatnya, sementara Ahsan terlihat melihati Ridwan yang dengan gerak cepat mengupaskan buah jeruk buat Hasna lalu menyerahkannya kepada Hasna diikuti ucapan terima kasih dari perempuan itu.
"Ini buat Kak Ahsan...," ucap Hasna menyodorkan separuh jeruknya ke Ahsan. Ahsan setengah terkejut menatap Hasna, tetap tersenyum dengan raut bertanya-tanya.
"Kan tadi kamu bilang ke Putri kalau kamu ga bakal habis makan satu buah, berarti kalau separuhnya habis kan?" lanjut Hasna dengan riang.
"Terima kasih," Ahsan pun tertawa menerima jeruk dari Hasna.
"Ehm ehm ehm...," terdengar suara Ardi membuat Hasna dan Ahsan menoleh kearahnya. Terlihat Raka, Bayu, Azka, dan Ardi sedang tersenyum ke keduanya.
"Kalian mau juga? Biar aku kupasin sekalian," lanjut Hasna tetap riang berusaha menutupi malu yang tiba-tiba dirasakannya, sedangkan Ahsan terlihat bingung ingin bicara apa.
"Nggak usah, Na. Kita sudah cukup makan kue onde-onde ini. Kita cuma pingin ngegodain kamu sama Ahsan kok, he he," jawab Ardi sambil tertawa lebar diikuti anggukan teman-teman yang lainnya.
"Biar kalian sadar kalau ada kita-kita juga disini," sambung Bayu sembari tertawa terkekeh.
Ahsan menggelengkan kepalanya pelan mendengar ucapan teman-temannya itu.
"Memangnya ada yang aneh ya diantara aku sama Hasna? Perasaan Hasna cuma membagi jeruknya aja," timpal Ahsan serius, berusaha bersikap cool.
"Santai, San. Ga ada yang aneh kok, kita cuma bercanda aja," sambung Raka dengan bijaknya diikuti dengan tawa teman-temannya yang lain membuat Ahsan pun ikut tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Jujur, Ahsan merasa salah tingkah saat itu, ia seolah kepergok "suka" ke Hasna padahal ia tidak pernah mengupas lebih jauh apa yang ia rasakan ke perempuan itu. "Apa iya, aku suka ke Hasna?" batin Ahsan sekilas kemudian buru-buru melupakan pertanyaan itu.
"Selama luka kamu belum bener-bener sembuh, kamu ga usah mengajar dulu, Na. Tenang aja, biar kami bergantian menemani Ahsan biar dia tidak terlalu galau dan merasa kehilangan kamu," ucap Raka dengan senyum lebarnya membuat Ahsan langsung menoleh tajam kearahnya.
"Udah deh Ka. Jangan becanda melulu. Siapa juga yang galau dan merasa kehilangan?" sambung Ahsan.
"Jadi kamu nggak merasa kehilangan? Ada atau nggak ada aku, ga ngaruh dan sama aja ya, San?" tanya Hasna membuat Ahsan menoleh ke perempuan itu. Hasna terlihat tersenyum kepadanya, menunggu jawaban Ahsan akan pertanyaannya.
"Emmmm... maksud aku bukan begitu, Na. Ada atau nggak ada kamu, pastinya nggak akan sama, Na, tapi... maksud aku bukan hanya aku yang merasa kehilangan, kita semua  ngerasa kehilangan.... Iya kan Ka?" sambung Ahsan dijawab anggukan teman-temannya. Hasna tersenyum makin lebar, "Iya... iya... aku percaya. Ga usah serius begitu, San. Aku cuma bercanda nanyanya, he he". Ucapan Hasna pun disambut tawa yang lainnya. Ahsan pun tersenyum merasa malu. Sejenak ia melihat ke Hasna, gadis itu terlihat sedang tertawa kecil sambil menutup mulutnya membuat Ahsan tertular untuk ikut tertawa seperti Hasna.
Tawa mereka pun terhenti ketika mama Hasna masuk ke kamar dan menyilahkan Ahsan dkk juga Putri dan Ridwan untuk makan malam bersama keluarga Hasna. Dengan dibantu mamanya, Hasna pun dipapah agar bisa ikut makan bersama. Hasna ingin menghargai teman-temannya dan Putri juga Ridwan yang sudah jauh-jauh datang menjenguknya.
Lagi-lagi teman-teman Ahsan sepertinya kompak untuk menggoda Ahsan. Mereka sengaja menyisakan tempat duduk kosong di dekat tempat papa Hasna duduk agar Ahsan bisa duduk dekat dengan Hasna atau keluarganya. Hasna yang datang belakangan itu pun sesuai perkiraan mengambil duduk di kursi sebelah Ahsan. Ahsan yang melihat Hasna yang dipapah mamanya itu pun dengan sigap berdiri menarik kursi untuk diduduki Hasna.
"Makasih, San...," ucap Hasna dengan senyum lebarnya dibalas Ahsan dengan senyum manisnya.
Dan untuk beberapa saat, mereka pun larut dalam jamuan makan malam keluarga Hasna. Selama itu pula, Ahsan terlihat sigap membantu Hasna mengambilkan makanan yang jauh dari jangkauan Hasna termasuk juga menuangkan air minum buat Hasna.
"Aku malah jadi merepotkan kamu, San gara-gara kamu duduk di sebelah aku. Padahal kan kamu tamunya," ucap Hasna tersenyum malu.
"Sama sekali nggak repot kok Na. Kaki kamu kan lagi sakit, jadi ga bisa leluasa bergerak. Sudah sewajarnya kali aku membantu kamu," jawab Ahsan pelan sambil tetap tersenyum. Hasna mengucapkan terima kasih, perbuatan-perbuatan kecil Ahsan itu lagi-lagi meninggalkan kesan di hatinya. Hasna makin mengagumi laki-laki disebelahnya itu, meski ia tidak berani mendefinisikan itu sebagai rasa suka, terlebih Ahsan jauh lebih muda darinya.
Seusai makan malam, Ahsan dkk juga Putri dan Ridwan pun berpamitan pulang.
"Insyaa Allah hari Sabtu nanti, aku usahakan untuk mengajar kembali," ucap Hasna kepada rekan-rekan volunteernya.
"Serius, Na? Kalau kaki kamu masih sakit, ga usah dipaksain, Na...," jawab Raka diikuti anggukan kepala yang lain. Ahsan terdiam memandangi Hasna yang tak pernah lepas dari senyumnya itu, semangat gadis itu terlihat sama meski dia sedang sakit dan hal itu membuat Ahsan makin mengaguminya.
"Tenang aja, aku ga akan memaksakan diri kok. Aku berusaha melakukan semampu aku aja," sambung Hasna diikuti dengan anggukan setuju yang lain termasuk Ahsan.
Setelah mencium tangan kedua orang tua Hasna dan Putri serta Ridwan mencium punggung tangan Hasna, ketujuh orang itu pun pulang.
Waktu menunjukkan pukul 22.15 saat Ahsan tiba di kamar tercintanya. Dia merebahkan tubuhnya ke ranjang empuknya kemudian melihati handphonenya ketika tatapannya berhenti melihat ada 1 pesan dari Hasna. Pesan balasan dari Hasna atas pertanyaannya tadi sore.
Ahsan tersenyum membacanya kemudian bergegas mengetikkan balasannya.
"Maaf baru baca pesan balasan kamu, Na. Semoga cepet sembuh biar kita bisa mengajar bareng lagi, ya. Ga ada kamu berasa ada yang kurang, Na. Kurang rame he he. Soalnya ramenya pengajar cowok dan cewek itu beda :D"
Hasna tersenyum di tempatnya kemudian balas typing, "he he he. Kamu bisa aja, rame atau cerewet tepatnya? :D :D. Insyaa Allah Sabtu ini aku bakal masuk kok, San. Aku ga mau kamu galau seperti yang dibilang Raka tadi :P"
Ahsan tertawa di tempatnya. "Serius Sabtu ini kamu mau masuk? Ya udah biar aku jemput kamu di stasiun seperti biasa ya. Atau perlu jasa antar jemput dari rumah kamu ke kelas?:)"
Hasna tertawa membacanya. Entah kenapa ia merasa laki-laki itu makin perhatian dan makin menggoda Hasna untuk membiarkan Ahsan masuk kedalam hatinya. "He he he. Kalau kamu nggak keberatan, tunggu aku di stasiun ya, biar aku ada teman jalan ke kelas:)".
Ahsan lagi-lagi tersenyum, "Siapppp. Jangan lupa kabari ya kalau seandainya kamu tidak jadi datang. Biar aku tidak menunggu seperti tadi sore. Aku tidak tahu kalau kamu kecelakaan dan aku menunggu kamu di stasiun sampai hampir jam 3 he he".
Hasna makin tertawa lebar, ia baru ingat bahwa tadi sore ia hanya mengabari Raka tentang kecelakaannya. Ia tidak menyangka bahwa Ahsan akan menunggunya lama di stasiun. Padahal ia tahu, selama ini Ahsan tidak pernah absen menunggu Hasna di stasiun meski ia tidak pernah memintanya. Hasna benar-benar lupa tidak mengabari Ahsan.
"Wah kamu lumutan ya menunggu aku di stasiun tadi, San? Maaf ya, aku lupa tidak mengabari kamu :D".
Lagi-lagi Ahsan tertawa membacanya, "Bukan salah kamu, Na. Kamu kan nggak pernah meminta aku menunggu kamu di stasiun, tapi akunya aja yang kurang kerjaan suka menunggu kamu he he".
Hasna tersenyum membacanya. Meski Hasna memang tidak pernah meminta Ahsan menunggunya, tapi di dalam hatinya, Hasna selalu berharap melihat Ahsan menunggunya di pintu keluar stasiun itu. Hasna merasa senang tiap kali Ahsan menunggunya. Entah kenapa. "Terima kasih ya San, sudah mau bersabar menunggu aku tiap Rabu dan Sabtu:)".
"Sama-sama, Hasna :)," ketik Ahsan diakhir percakapan mereka malam itu.
"Terima kasih juga karena kamu tidak keberatan untuk aku tunggu tiap Rabu dan Sabtu, Na," ucap Ahsan sambil tersenyum lebar kemudian meletakkan handphonenya di meja.
Ahsan merasa senang malam itu. Mengetahui Hasna baik-baik saja, melihat Hasna tetap tersenyum seperti biasanya, dan membaca balasan demi balasan Hasna kepadanya sudah cukup berhasil mengusir jauh gundah dan resah yang sempat menyapanya hari itu, meski Ahsan tidak mau mengartikan lebih jauh apa nama rasa yang memenuhi hatinya saat itu tentang Hasna.

"Terima kasih sudah menghilangkan resah dan hadirkan bahagia dihatiku. Kembali kasih sudah menghadirkan sebuah cerita di dalam hatiku.
Terima kasih karena kamu bersedia untuk aku tunggu. Kembali kasih karena kamu berusaha memenuhi harapanku untuk bisa melihatmu menungguku".

Jumat, 10 Juni 2016

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku : Rizzar Ara Part 6 - Akhir Sebuah Kebohongan

Sebelumnya: Part 5

Rizzar Ara Part 6 - Akhir Sebuah Kebohongan

Malam itu, Viko dan ceweknya pun bertemu dengan Ara yang sengaja datang ditemani kakak perempuannya di cafe yang sama dengan hari sebelumnya. Dengan membawakan sekotak kue black forest buat Viko dan ceweknya, Ara mengucapkan berkali-kali rasa terima kasihnya buat keduanya terutama cewek Viko yang sudah berkenan meminjamkan Viko berakting jadian dengan dirinya.  Mereka pun terlibat obrolan ringan sekitar 10 menit ketika kemudian Ara berpamitan.
"Ya udah, aku ga mau mengganggu kalian berdua lebih lama lagi, aku dan kakakku pamit cari tempat duduk lain, ya," ujar Ara tersenyum lebar ke Viko dan ceweknya.
"Kita ga merasa terganggu kok, Ra. Gabung aja, gapapa," jawab Viko ditambah anggukan kepala dari ceweknya, tapi Ara tetap bersikeras mencari kursi yang terpisah. Ara dan kakaknya pun akhirnya memilih kursi di lantai  dua kafe tersebut.
 Beberapa saat kemudian, Viko dan ceweknya asyik menikmati waktu makan malam mereka ketika seseorang berdiri di hadapan mereka. Viko mendongak, ada ekspresi terkejut disana, terlihat Rizzar sedang menatapnya tajam dan serius, sementara cewek Viko hanya bisa diam.
"Ada yang aku mau tanyain ke loe, Vik. Bisa kita bicara sebentar di parkiran?" ujar Rizzar dingin, setelah melirik ke perempuan di sebelah Viko sejenak. Viko balas menatap Rizzar, ada amarah di mata Rizzar. Viko pun mengangguk. Kalimat Ara sebelumnya tentang seberapa lama kebohongan bisa bertahan kembali terngiang di pikiran Viko. Mereka berdua pun bergegas keluar.
Di parkiran, hening menyapa diantara Rizzar dan Viko sejenak ketika kemudian Rizzar memecahnya.
"Siapa cewek itu, Vik? Jangan loe bilang dia cuma temen atau saudara," ujar Rizzar serius.
Viko tersenyum kearah Rizzar, Rizzar pasti bisa membaca gesture  diantara Viko dan ceweknya, Viko merasa kebohongannya harus berakhir. "Dia...dia cewek gue, Riz," jawab Viko dengan tegas. Rizzar menatap tajam Viko, "Lalu Ara... ?"
Viko masih diam menatap Rizzar. "Bukannya loe baru jadian sama Ara? Jawab, Vik," tanya Rizzar lagi. Viko tetap terdiam, dia ragu bicara sebenarnya karena itu artinya akan membuat hubungan Rizzar dan Ara kembali tegang bahkan mungkin lebih parah dari sebelumnya.
"Soal Ara,.... gue minta maaf, Riz," ucap Viko. Keduanya saling menatap, tatapan marah dari Rizzar bertemu dengan tatapan Viko ketika kemudian satu pukulan mendarat di wajah Viko.
"Loe udah janji ga bakal nyakitin Ara, Vik," lanjut Rizzar sambil setengah mencengkeram baju Viko.
Viko hanya tersenyum tipis, ia baru menyadari kebohongannya menjadi buah simalakama baginya.
"Gue minta maaf, tapi... itu sebenarnya bukan urusan loe juga, Riz. Loe juga bukan siapa-siapa Ara, jadi kenapa loe harus marah, Bro," lanjut Viko. Rizzar menatap tajam Viko dengan tingkat kemarahan yang lebih dari sebelumnya. "Itu urusan gue, Vik... apapun alasannya," ujar Rizzar sambil bersiap melayangkan satu pukulan lagi ke Viko.

"Berhenti, Riz... jangan lakukan itu," suara Ara membuat Rizzar dan Viko langsung kompak menoleh ke asal suara. Ara sedang berdiri sendirian tak jauh dari keduanya.
"Ara... kok kamu ada disini? Kamu baru datang, ya?" tanya Rizzar dengan wajah tertegun.
Ara menggelengkan kepalanya. "Ceweknya Viko menghampiri aku yang lagi makan bareng kakak diatas, Riz. Kalau kamu ingin marah, marahnya ke aku aja, jangan ke Viko," lanjut Ara.
"Aku nggak ngerti, apa maksud kamu, Ra? Jadi kamu tahu tentang cewek Viko?" tanya Rizzar lagi sambil menoleh bergantian kearah Ara dan Viko. Ara terdiam tetap menatap Rizzar, sejenak ia bingung harus menjawab apa. Sementara itu, Viko pun bingung harus berbuat apa.
"Aku... aku.... aku sama Viko hanya berpura-pura jadian, Riz. Viko.... cuma mau membantu kita biar bisa berteman seperti dulu lagi... .Maaf...".
Rizzar tertegun mendengar ucapan Ara, matanya kini tajam menatap Ara dengan ekpresi kecewa membuat Ara makin diselimuti rasa bersalah.
"Gue yang salah, gue yang ngusulin ke Ara rencana ini karena gue ngerasa prihatin dengan apa yang terjadi diantara loe dan Ara. Gue cuma ingin melihat kalian bisa dekat dan bercanda lepas seperti dulu lagi," ucap Viko berusaha menjelaskan. Rizzar masih diam, ia mendengar dengan jelas ucapan Viko itu, tapi matanya tetap tak lepas menatap tajam Ara.
"Loe seharusnya ga perlu mengusulkan ide ini, Vik. Tapi bukan itu poinnya. Intinya Ara mau melakukan kebohongan ini biar bisa lebih dekat dengan gue dan gue ga bisa terima itu". Hening menyapa diantara ketiganya sejenak, sementara cewek Viko terlihat memperhatikan ketiganya dari tempatnya duduk.
"Aku... benar-benar minta maaf, Riz. Aku menyesal karena melakukan kebohongan ini buat mengemis pertemanan yang lebih baik buat kita. Aku... mengaku salah," sambung Ara balas menatap Rizzar diantara rasa bersalahnya ke laki-laki itu.
Rizzar mengalihkan tatapannya kearah lain kemudian menoleh ke Viko.
"Maaf gue udah memukul loe untuk sesuatu yang seharusnya gue ga perlu peduli. Bener kata loe, apapun yang terjadi ke Ara itu bukan urusan gue. Dia... dia... bukan siapa-siapa gue. Loe boleh balas pukul gue Vik biar impas," sambung Rizzar.
Viko tersenyum menggelengkan kepalanya pelan.
"Gue cuma memar dikit doank, Riz. Lagipula loe kan besok bakal syuting film baru, ga lucu kan kalo muka loe memar gara-gara gue he he. Lagian gue biasanya juga cuma pemeran pembantu, ga seperti loe yang biasa jadi pemeran utama, jadi ga masalah kalo gue memar dikit gini doank," ujar Viko setengah bercanda berusaha mencairkan suasana.
"Lagipula, kalo gue mukul loe balik, apa itu bisa membuat hubungan loe dan Ara baikan, Riz?" sambung Viko tegas.
Rizzar terdiam tersenyum tipis ke Viko lalu  kembali menatap Ara. Terlihat Ara juga menatap Rizzar.
"Diantara gue sama Ara, kami sepakat untuk saling menjaga jarak dan Ara tahu apa alasannya, tapi sekarang dia melakukan kebohongan ini buat bisa dekat dengan gue lagi. Gue benar-benar kecewa ke Ara. Akan lebih baik kalau gue dan Ara makin menjauhkan diri satu sama lain".
Rizzar menoleh kearah Viko. "Sekali lagi sorry buat kebodohan gue mukul wajah loe gara-gara Ara. Gue pulang dulu, Vik".
"Rizzaaaar, please kalian bicarakan lagi tentang ini baik-baik, Riz. Tolong beri kesempatan Ara buat menjelaskan ke loe alasannya".
"Ga ada yang perlu dibicarakan lagi diantara kami, Vik," ujar Rizzar dingin sambil menatap tak kalah dingin ke Ara lalu pergi. Ada hal yang mengganjal di hati Rizzar ke Ara saat itu sebenarnya, tapi Rizzar berusaha menyangkalnya. Rasa kecewa dan marahnya ke Ara mengalahkan segalanya.
Viko mendekati Ara yang memandangi punggung Rizzar, mematung di tempatnya berdiri.
"Ra..., maafin aku ya, aku ga menyangka rencana ini jadi berantakan seperti ini".
Ara tersenyum lebar menoleh kearah Viko sambil menggelengkan kepalanya, "It's okay, Vik. Seperti yang Rizzar bilang, ini salah aku, bukan kamu. Harusnya aku tidak menyetujui rencana ini meski kamu berniat baik".
"Maaf ya, gara-gara aku, wajah kamu jadi memar, kegantengan kamu jadi berkurang deh" sambung Ara setengah bercanda dibalas Viko dengan senyuman lebarnya sambil  menggelengkan kepalanya. Ara lagi-lagi terdiam kembali menatap punggung Rizzar yang semakin jauh, seolah ia berusaha mengikhlaskan apapun yang bakal terjadi diantara dirinya dan Rizzar setelah malam itu. "Maaf, Riz...," batin Ara.
"Ra, ayo aku temani kamu menjelaskan ke Rizzar ya...".
Lagi-lagi Ara menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum lirih sambil tetap menatap punggung Rizzar. "Ga perlu, Vik. Ga akan ada gunanya. Mungkin saling berjauhan itu yang terbaik buat aku dan Rizzar. Ga ada yang tersakiti, ga ada kebohongan, ga ada masalah...".
"Tapi kalian ga jujur satu sama lain, Ra," balas Viko dibalas Ara dengan senyuman lebarnya dalam diam sejenak sebelum kembali menatap punggung Rizzar yang makin menjauh.
Di sebelah Ara, Viko memandangi Ara dan Rizzar bergantian, ia merasa bersalah melihat Rizzar dan Ara yang kembali menjauh karena rencana yang diusulkannya.
Viko pun berlari mengejar Rizzar, tanpa memedulikan panggilan Ara yang berdiri di tempatnya.

"Rizzar... tunggu, Riz...," teriak Viko membuat Rizzar menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya.
"Please... bicara sama Ara, Riz... Jangan meninggalkan sesuatu dengan ganjalan di hati, apalagi dengan rasa marah dan kecewa. Masalah itu untuk diselesaikan bukan buat didiamkan, Bro," ucap Viko sambil memegang bahu Rizzar.
Rizzar masih diam menatap Viko sejenak lalu menatap tajam kearah Ara. Gadis itu terlihat masih berdiri di tempatnya, menatap Rizzar dengan pandangan pasrah, membuat rasa marah dan kecewa Rizzar perlahan mereda.
Rizzar tetap merasa marah dan kecewa, tapi tatapan Ara sudah cukup memberi jawaban kepadanya bahwa gadis itu menyesali kebohongannya.
Suara Viko terdengar beberapa kali meminta hal yang sama ke Rizzar, tapi Rizzar tetap tak bergeming menatap Ara yang juga melakukan hal yang sama dengan Rizzar dari kejauhan. Tak ada yang berjalan mendekat, keduanya hanya saling melontar kata dalam diam.
"Apa yang harus aku lakuin, Ra? Kenapa kamu harus melakukan kebohongan ini? Mendekatimu makin terasa tidak mudah, tapi makin menjauhi kamu pun jauh terasa lebih berat rasanya," batin Rizzar.
"Aku benar-benar menyesal, Riz. Sejak awal aku sadar kebohongan tetaplah kebohongan dan itu tidak benar. Tapi aku merasa kita juga tidak cukup jujur satu sama lain. Entah kenapa," ucap Ara di dalam hati.

-Bersambung-