Minggu, 30 Juli 2017

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 5


PART 5 : CEMBURU YANG DITUNGGU
 
Hari terus berlalu, semester pun berganti mendekatkan baik Riza maupun Nisa dengan skripsi, tanggung jawab terakhir di masa kuliah mereka. Tak banyak hal berubah, Nisa masih setia dengan jawaban tidaknya, sementara Riza tetap maju tak gentar dengan niatnya. Riza dan Nisa tak juga sering bertemu, bahkan pertemuan terlama mereka terakhir adalah saat Riza memenuhi niatnya menraktir Nisa dengan gajinya. Ketika itu Riza meminta Nisa menyebutkan nama tempat yang ingin didatangi Nisa, tapi dengan polos Nisa cuma meminta Riza menraktirnya di warung lalapan kaki lima tak jauh dari kampus mereka yang berujung mereka berdua menonton film petualangan tiga dimensi di mini studio bersama puluhan anak usia SD dan TK. Kebersamaan yang sangat sederhana dan jauh dari kata romantis menurut sebagian orang, tapi berharga bagi keduanya. Itu kali pertama mereka nonton bareng di studio, tertawa bersama anak-anak kecil dan sebagian orang tua mereka. Maklumlah, sebelum Riza menyadari perasaannya ke Nisa, dia sibuk dengan aktivitas romantisme ala-ala remaja di mabuk cinta, mengabaikan hal-hal sederhana yang sekarang baru terasa berharga saat ia bersama Nisa .
"Kita nonton film romantis, yuk Nis... siapa tahu kamu berubah pikiran jadi mau menikah sama aku," ucap Riza hari itu selepas makan.
Nisa tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Gimana kalo kita nonton film petualangan anak-anak saja, Riz?"
"Kamu aja belum mau nikah sama aku, eh kita udah mau belajar jadi orang tua aja, Nis. Kita mau latihan dan ngebayangin seolah-olah lagi nemenin anak kita nonton ya," jawab Riza bersemangat sambil tersenyum lebar menggoda Nisa membuat gadis itu balas tertawa kecil dan langsung memukulkan pelan gulungan kertas sketsa yang sedang dibawanya itu ke bahu Riza.
"Udah deh bercandanya. Nonton film anak diantara anak-anak itu bisa bikin kita ketularan tawa dan ceria tulusnya mereka, Riza... makanya aku suka. Soalnya bawaannya jadi ikut bahagia," lanjut Nisa tertawa kecil membuat Riza mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya udah buruan kesana yuk, takut kehabisan tempat duduk soalnya. Siapa tahu saat kamu bahagia, kamu jadi bisa menjawab 'iya' ke aku pas keluar dari studio nanti," sambung Riza sambil mengerdipkan matanya dan tersenyum lebih lebar menggoda Nisa. Nisa pun hanya bisa geleng-geleng kepala, sedikit tersipu yang berujung tawa keduanya.
Setelah hari itu, tak pernah lagi Riza dan Nisa bertemu lama, apalagi setelah mereka sama-sama disibukkan dengan pengerjaan skripsi mereka. Sakit glaukoma Nisa sempat beberapa kali kambuh meski tidak parah dan Nisa tetap rutin berobat jalan. Hanya sekali Nisa sampai jatuh pingsan di kamarnya karena serangan sakitnya. Meskipun begitu, Nisa tak pernah memberitahu Riza tentang sakitnya, ia selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja tiap kali laki-laki itu bertanya. Sementara itu juga, Nisa tetap melanjutkan sketsa taman impiannya untuk mereka yang kehilangan penglihatan. Nisa bertekad dia ingin bisa memperlihatkan sketsa impiannya itu kepada Riza di hari mereka wisuda.
Siang itu, Nisa baru masuk ke dalam tempat kosnya ketika ia berpapasan dengan Ana yang hendak berangkat ke kampus.
"Hai, mau ke kampus Na?" sapa Nisa dengan senyum lebarnya dibalas senyuman tak kalah lebar oleh Ana sembari menganggukkan kepalanya. Sejenak Nisa dan Ana saling bercerita tentang skripsi dan kesibukan masing-masing.
"Oh iya Na, akhir-akhir ini kamu pernah bertemu Riza? Dia sehat dan baik-baik aja kan?" tanya Nisa. Kebetulan Ana dan Riza dapat dosen pembimbing yang sama.
Ana balas tersenyum dengan raut setengah menggoda Nisa.
"Terakhir ketemu Riza, pas Jumat kemarin sama-sama ngadep dosen dan Riza kelihatan baik dan sehat-sehat aja. Yang pasti penampilan Riza makin rapi, makin cakep dan mateng dengan level coolnya yang terjaga, bikin makin banyak cewek di Fakultas Ekonomi jatuh hati. Jadi kamu harus lebih siaga, Nis he he".
Nisa tertawa mendengarnya. "Siaga? Memangnya aku siapa, calon istrinya Riza juga bukan," jawab Nisa.
"Bukannya kamu sama Riza deket, Nis? Yakin ga ada apa-apa? Soalnya, tiap kali aku dan Riza bertemu agak lama, dia pasti nanyain kamu. Dia selalu nanya apa kamu sehat-sehat dan baik-baik aja. Kelihatan banget Riza bener-bener care alias peduli sama kamu, Nis," ujar Ana tersenyum lebar sambil mengedip-kedipkan matanya, menggoda Nisa.
Nisa lagi-lagi tersenyum, ada segurat malu di wajah manis gadis berjilbab biru dongker itu yang berusaha ia bungkus rapi.
"Aku sama Riza cuma sahabatan aja, Na. Lagipula laki-laki seperti Riza berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik, Na".
Lagi-lagi Ana tersenyum. "Kamu yakin ga ingin memperjuangkan Riza, Nisa?" Terlihat wajah Ana serius menatap Nisa. Nisa terdiam sejenak, tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya ragu.
"Soalnya denger-denger mantan cewek Riza pingin balikan lagi sih. Akhir-akhir ini dia terlihat berusaha dekat lagi dengan Riza," sambung Ana.
Nisa terdiam sejenak hanya balas tersenyum ke Ana, ada sebentuk cemburu yang tiba-tiba ia rasakan di hatinya saat itu, tapi Nisa sadar ia tidak berhak. Riza memang masih tetap setia memintanya menikah dengannya hingga pagi itu, tapi Nisa juga masih tetap dengan jawaban tidaknya.
"Aku cuma bisa berharap semoga tidak ada penyesalan di hati kamu maupun Riza nantinya saat semuanya terlambat dan kesempatan itu pergi, Nis". Ucapan Ana yang terdengar serius diantara senyumannya itu membuat Nisa memandangi Ana sejenak kemudian tersenyum lebih lebar kepadanya. Meski Ana tidak terlalu dekat dengan Nisa, tapi dua tahun di tempat kos yang sama, seolah menghadirkan kedekatan diantara keduanya, terlebih soal Riza. Ana seolah menjadi saksi yang bisa melihat apa yang terjadi diantara Riza dan Nisa bahkan beberapa kali menjadi penghubung diantara mereka.
"Semoga aku dan Riza sama-sama ditunjukkan yang terbaik aja, Na. Begitu pun kamu, semoga ditunjukkan yang terbaik juga ya," jawab Nisa akhirnya dibalas anggukan kepala dan senyuman Ana. Selepas saling berbalas salam, Nisa pun bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Nisa hendak melepas jilbabnya ketika handphone-nya bergetar. Ada pesan dari Riza.
"Selamat siang, Nisa. Apa kamu baik-baik saja hari ini? Semoga saja :). Lama kita tidak pernah ketemuan lagi, Nis. Apa kamu sudah berubah pikiran? Maukah kamu menikah denganku, Nisa?"
Nisa pun tertawa kecil membacanya. Laki-laki luar biasanya itu masih saja tidak menyerah memperjuangkan jawaban 'iya' darinya. Keteguhan laki-laki itu kadang membuat Nisa luluh, ingin sekali jarinya mengetikkan kata 'iya' untuknya karena memang itu sebenarnya yang diinginkan hatinya. Nisa pun tersenyum membaca ulang tulisan Riza itu kemudian balas mengetik.
"Yakin kamu masih mau menunggu 'iya' dari aku, Riza? Dengar-dengar, ada yang mulai dekat lagi dengan seseorang di masa lalunya, seseorang yang membuat kamu sempat galau cukup lama karena kehilangan dia :)".
Agak lama Nisa menunggu Riza membalas pesannya itu, sampai kemudian satu pesan masuk dari laki-laki itu.
"Aku hari ini bakal ngerjain skripsi sampai malam di perpustakaan besar sepertinya. Kebetulan, aku lagi giliran libur kerja. Apa kita bisa bertemu, Nis? Sudah lumayan lama juga kita tidak ketemuan :)".
Gantian Nisa yang terlihat berpikir sebelum menjawab ajakan Riza, apalagi Riza tidak merespon pertanyaan Nisa terkait kedekatan Riza dengan seseorang dari masa lalunya itu.
Sebuah pesan lagi-lagi masuk dari Riza.
"Dia mungkin berarti di masa lalu aku dan kamu pernah melihat aku galau saat kehilangan dia dulu, tapi itu sudah berlalu. Sekarang aku cuma ingin jawaban 'iya' dari seseorang yang aku harap menjadi teman halal sepanjang hidup aku dan itu kamu Nisa. Apa kamu mau menikah sama aku, Nis? :D"
Lagi-lagi kata-kata Riza itu pun menyisakan haru bagi Nisa dan air mata mengalir di sudut mata gadis itu, menimbulkan retakan-retakan di benteng hati Nisa yang sengaja dibangun gadis itu untuk Riza. Kalimat Ana sebelumnya kembali terlintas di pikiran Nisa. Nisa pun menggelengkan kepalanya, susah payah meyakinkan bahwa dia tidak boleh luluh dan berubah jawaban ke laki-laki itu.
"Kamu tidak boleh menjawab 'iya', Nisa. Riza layak mendapatkan perempuan yang lebih baik yang bisa menemaninya dengan banyak senyum dan tawa , bukan khawatir dan sedih seperti tiap kali dia melihat kamu mengalami serangan itu," ujar Nisa dalam hati.
"Ya udah, Riz. Aku ke perpustakaan besar sekarang ya, sampai bertemu disana :D," ketik Nisa akhirnya.
Nisa bergegas merapikan jilbab biru dongkernya, kemudian menambahkan bedak tipis di wajahnya memasang kembali sepatunya, berangkat menuju perpustakaan besar.
Waktu di arloji Nisa menunjukkan pukul 14.03 ketika Nisa baru sampai di pintu masuk perpustakaan besar dan melihat sosok Riza yang sedang asyik membaca sebuah buku dengan earphone terpasang di kedua telinganya. Nisa hendak menghampirinya ketika terlihat seorang gadis cantik menyapa Riza dan duduk di sebelah laki-laki itu. Gadis itu tak asing bagi Nisa, Riza beberapa kali menceritakan tentangnya ke Nisa saat mereka masih jadian meski Riza tidak pernah mengenalkan Nisa kepadanya. Semua cerita dan kegalauan Riza tentang gadis itu pun masih terekam rapi di ingatan Nisa, sekaligus menyusupkan cemburu yang sebenarnya tidak dimaui Nisa saat melihat gadis itu bersama Riza.
Nisa masih tetap berdiri memandangi keduanya dengan memegang segelas kopi yang sengaja dibelinya buat Riza. Meski hatinya tidak nyaman, Nisa tidak ingin pergi dari sana sekaligus tidak ingin mendekat sampai kemudian Riza yang mengedarkan pandangan ke sekeliling menoleh kearahnya. Laki-laki itu pun langsung berpamitan kepada gadis yang duduk disebelahnya itu kemudian bergegas menghampiri Nisa dengan senyuman lebar tersungging di bibirnya.
"Akhirnya kamu datang, Nis," ucap Riza.
Nisa tersenyum tak kalah lebar sambil menganggukkan kepalanya.
"Sepertinya aku mengganggu kamu dan dia, ya Riz," ujar Nisa setengah menggoda Riza meski di dalam hatinya sebenarnya ada demo mengatasnamakan cemburu saat itu.
Sejenak Riza hanya diam memandangi Nisa kemudian kembali tersenyum tipis, "Aku dan dia tadi ga sengaja ketemu kok, Nis. Maklum namanya juga sesama pejuang tugas akhir, tempat rujukannya sama-sama perpustakaan besar he he".
Nisa tertawa kecil sambil menyerahkan segelas kopi ke Riza, "No problem, Riza. Mau kalian ketemu sengaja atau nggak, itu tidak masalah buat aku. Bahkan sendainya kamu CLBK sama dia, aku akan ikut senang, Riz. Aku... aku masih ingat kamu bilang kalau dia perempuan yang baik dan perasaan diantara kalian cukup dalam. Aku berharap dan... aku optimis... semoga dia bisa jadi teman hidup yang baik buat kamu. Aku yakin dia pasti jauh lebih baik dari aku untuk bisa membahagiakan kamu, Riz".
Riza yang hendak meminum kopinya itu pun urung melakukannya. Laki-laki itu terlihat menatap tajam kearah Nisa, tanpa satu kata pun terucap dari mulutnya. Ada kecewa dan marah yang tertahan di mata laki-laki itu, membuat Nisa pun merasa tidak enak hati dan merasa bersalah ke laki-laki itu. Namun, Nisa berusaha tetap tersenyum.
"Apa perjuangan aku beberapa bulan ini ga ada artinya sama sekali buat kamu, Nisa? Apa menurut kamu, permintaan aku buat menikahi kamu itu cuma main-main? Apa kamu sama sekali tidak merasakan cemburu melihat aku sama mantan aku, Nis?" tanya Riza serius, membuat Nisa memilih menundukkan kepalanya.
Hening bercengkerama sendiri diantara Riza dan Nisa sampai terdengar seseorang menyebut nama Riza.
"Riza..., aku gabung ngerjain skripsi bareng kamu, ya...," ujar seorang gadis cantik dengan senyuman mengembang, gadis yang tadi duduk di sebelah Riza.
Riza dan Nisa pun menoleh kearahnya. Riza tak menjawab permintaan gadis itu.
"Oh iya, Nisa kenalin ini Tia... dan Tia ini Nisa...," ujar Riza saling mengenalkan kedua perempuan itu dengan ekspresi netral, seolah semuanya baik-baik saja.
Nisa dan Tia terlihat saling berjabat tangan dan mengucap salam satu sama lain, meski canggung menyelimuti Nisa saat itu.
"Jadi gimana, boleh ya Riz?" tanya gadis bernama Tia itu lagi dengan senyuman manisnya dan sikapnya yang sedikit manja ke Riza.
Riza menoleh kearah Nisa, tak bicara, memandangi sejenak Nisa yang sedang melihat kearahnya dengan senyuman masih saja menghias di wajah teduhnya. Riza menoleh kembali ke Tia.
"Maaf, banget Tia. Aku ada janji dengan Nisa. Aku minta tolong dia buat membantu aku mengerjakan skripsi di perpustakaan sekarang. Lain kali saja ya kita ngerjain skripsi bareng," jawab Riza kemudian memberi isyarat ke Nisa, mengajaknya pergi.
"Kalau boleh tahu, kamu sama Nisa pacaran, Riz?" lanjut Tia bertanya serius sambil bergantian menoleh kearah Nisa dan Riza.
Lagi-lagi Riza tak mengatakan apa-apa sementara Nisa langsung menggelengkan kepalanya pelan kemudian tersenyum kearah Tia.
"Aku dan Riza cuma berteman aja," jelas Nisa, membuat Riza lagi-lagi memandangi Nisa.
"Ya..., aku dan Nisa cuma teman, kebetulan aku perlu bantuan Nisa buat menemani aku mengerjakan bab dua skripsi aku, Tia. Aku pergi dulu ya," jawab Riza datar dan tersenyum tipis, "ayo Nis, buruan kita masuk".
Riza langsung bergegas masuk ke dalam perpustakaan. Kalimat terakhir Riza terdengar tegas seolah bernada perintah ke Nisa bukan sekedar ajakan seperti biasanya sehingga Nisa buru-buru pamit ke Tia dan menyusul Riza.
Tak ada obrolan diantara Riza dan Nisa, bahkan keduanya berjalan depan dan belakang, tak bersebelahan hingga akhirnya mereka sampai di kursi belajar yang dipilih Riza. Laki-laki itu langsung membuka laptopnya sementara Nisa pun duduk di sebelah Riza, ikut membuka laptop miliknya.
"Aku... aku minta maaf kalau ada kalimat aku yang tidak berkenan di hati kamu, Riz," ucap Nisa akhirnya memutuskan memecahkan diam diantara keduanya.
Riza menoleh kearah Nisa, gadis itu terlihat tersenyum tulus seperti biasa, setulus permintaan maafnya saat itu. Riza balas tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan. "Ga ada yang perlu dimaafkan, Nisa. Kamu mengatakan apa yang ingin kamu katakan dan itu hak kamu. Lagipula kamu sudah seringkali menjawab 'tidak', tapi aku tetap saja meminta jawaban 'iya'".
"Kamu tahu alasannya, Riza. Kamu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik, Riz".
Riza tersenyum lebih lebar, menganggukkan kepalanya pelan. "Aku tahu, Nis. Ya udah sekarang kita kembali ke skripsi kita, ya," lanjut Riza terlihat bersemangat membuka file-file di folder skripsi miliknya sementara Nisa terlihat mengamati apa yang dilakukan Riza.
"Apa ada yang bisa aku bantu, Riza?" tanya gadis itu penuh semangat membuat Riza kembali menoleh dan tersenyum kearahnya.
"Kamu menemani aku, duduk di sebelah aku ... itu sudah cukup buat aku, Nis," batin Riza.
"Mungkin kamu perlu bantuan buat meringkas satu jurnal yang jadi referensi kamu?" ujar Nisa lagi menawarkan bantuannya.
Riza menganggukkan kepalanya sambil meringis. Riza hendak meng-copy-kan satu jurnalnya ke flashdisk agar Nisa bisa membacanya di laptop Nisa ketika ia tiba-tiba teringat sesuatu dan kembali menatap gadis itu.
"Memangnya mata kamu gapapa Nisa kalau aku minta bantuan kamu buat membaca jurnal referensiku dan merangkumnya? Aku ga mau kamu terkena serangan glaukoma lagi karena mata kamu terlalu kecapekan," lanjut Riza serius. Kekhawatiran laki-laki itu tetap terasa sama tiap kali berhubungan dengan sakit Nisa. Nisa tertawa riang sambil menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik aja, Riz... kamu tenang saja," jelas Nisa bersemangat sambil tangannya menunggu flashdisk berisi jurnal dari laki-laki itu.
Beberapa menit kemudian keduanya terlihat asyik membaca dengan laptop masing-masing dan earphone sama-sama terpasang di telinga masing-masing. Beberapa kali Nisa terlihat melihati kearah laki-laki yang duduk di sebelahnya itu, laki-laki itu terlihat fokus dengan apa yang dikerjakannya sambil sesekali meneguk kopi pemberian Nisa. Nisa tersenyum, gadis itu bangga melihat kesungguhan dan kerja keras laki-laki itu berusaha selalu menjadi seseorang yang bertanggung jawab. Bagi Nisa, menyukai laki-laki seperti Riza adalah pilihan hati yang tidak pernah disesalinya meski Nisa belum bisa menjawab 'iya' kepadanya.
"Kenapa kamu melihati aku, Nis? Perasaan jurnal yang kamu baca ada di layar laptop kamu deh, bukan di wajah aku". Kalimat Riza itu menyadarkan Nisa dari lamunan sesaatnya. Wajah gadis itu terlihat tersipu, buru-buru tertawa meringis kearah Riza yang melihat kearahnya sambil tersenyum lebar menggoda gadis itu. "Semangat dan berjuang, Riza!" ujar Nisa mengepalkan tangannya, menyemangati Riza dengan senyum cerianya kemudian bergegas menoleh ke layar laptopnya.
Nisa baru melanjutkan membacanya satu halaman ketika ia melihat Tia duduk membuka laptopnya tak jauh di depan tempat duduk mereka dan melihat kearahnya dan Riza.
Nisa menoleh kearah Riza, laki-laki itu terlihat fokus dengan laptopnya. Nisa menepuk pelan bahu Riza membuat Riza menoleh kearahnya.
"Apa tidak sebaiknya kamu izinkan Tia bergabung dengan kita, Riza? Siapa tahu dia perlu teman diskusi tentang skripsinya dan kalian bisa saling berbagi ilmu,"ujar Nisa sambil jarinya menunjuk kearah Tia yang duduk sendirian tak jauh dari keduanya. Riza menoleh sejenak ke gadis di masa lalunya itu kemudian memandangi Nisa agak lama tanpa komentar kemudian berdiri menghampiri Tia. Ya, Riza akhirnya mengajak Tia bergabung, duduk di sebelah Riza sehingga Riza pun duduk diapit Nisa dan Tia. Terdengar beberapa kali Tia dan Riza saling berdiskusi tentang buku dan bahan acuan untuk tugas akhir mereka sementara Nisa hanya menjadi pendengar yang baik sambil tetap melanjutkan memahami jurnal yang diberikan Riza kepadanya. Terdengar, Tia meng-copy-kan bahan yang dibutuhkan Riza begitu pun sebaliknya. Nisa pun berusaha untuk tidak memedulikan rasa tidak nyaman di hatinya melihat keakraban diantara keduanya saat itu. Nisa berusaha meyakinkan hatinya bahwa dia disana sebagai sahabat Riza yang ingin membantu Riza mengerjakan tugas akhirnya. Ada kalanya Nisa tidak bisa melawan perasaan tidak nyamannya itu hingga gadis itu memutuskan untuk mengencangkan suara musik di earphone-nya, berusaha lebih fokus melihat layar laptopnya.
Waktu menunjukkan pukul 15.30 saat itu, ketiganya sama-sama fokus dengan laptop masing-masing. Sejak Tia bergabung, Riza tidak mengucapkan satu kalimat pun ke Nisa. Selain berdiskusi dan sesekali mengobrol ringan dengan Tia, selebihnya Riza fokus pada laptopnya sehingga Nisa pun memilih diam meski laki-laki itu terkesan cuek kepadanya.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Riza ke Tia yang terlihat memegangi dan memijit kepalanya.
"Kepala aku pusing banget, Riz, sepertinya aku demam lagi padahal tadi pagi sudah turun," ujar Tia pelan.
"Lebih baik kamu sekarang pulang dan istirahat, Tia. Biar aku carikan taksi dan temani kamu sampai masuk taksi ya," ujar laki-laki itu penuh perhatian di mata Nisa yang sedang memandangi keduanya.
"Besok pagi aku harus menghadap dosen pembimbingku buat menyerahkan hasil olahan data penelitianku, Riz. Dan sampai sekarang ada proses pengolahan dataku yang masih bermasalah. Lagipula ada beberapa halaman bab sebelumnya yang harus aku perbaiki, Riz. Aku harus menyelesaikannya sekarang. Aku takut nanti malam tubuhku demam lagi seperti semalam dan aku tidak bisa mengerjakannya," jelas Tia sambil menunjukkan lembar-lembar draft skripsinya yang penuh dengan coretan perbaikan.
"Kamu rebahkan dulu kepala kamu buat istirahat aja Tia. Aku carikan kamu minuman hangat dan obat buat meredakan sakit kepala dan demam kamu ya. Setelah itu aku akan berusaha bantu masalah pengolahan data kamu dan perbaikan tulisan skripsi kamu," lanjut Riza tersenyum dibalas senyuman lebar dan anggukan pelan dari Tia yang menatap Riza cukup lama.
"Kamu masih perhatian seperti dulu, Riz. Aku berharap kita bisa seperti dulu lagi. Aku menyesal pernah melepaskan laki-laki sebaik kamu, Riz," sambung Tia terdengar tulus dan penuh harap saat mengucapkannya membuat Riza hanya bisa tersenyum lirih tak menjawab apa-apa. Sementara itu, Nisa yang hanya bisa menyimak percakapan itu terlihat berusaha sekuat tenaga untuk tetap tersenyum diantara teriakan rasa cemburu yang makin keras berdemo di hatinya. Riza menoleh kearah Nisa sejenak, ada rasa tidak enak di hatinya kepada Nisa sekaligus berharap ia bisa melihat sebentuk cemburu di mata gadis itu. Namun, Nisa justru terlihat melebarkan senyumannya sambil balas menatapnya, menyisakan sedikit kecewa di hati Riza. Riza pun kembali menoleh kepada Tia yang terlihat agak pucat itu.
"Biar aku yang belikan obat dan minuman hangat manis buat Tia, Riz. Kamu temani saja Tia disini sambil membantu masalah pengolahan datanya," ucap Nisa tersenyum lebih lebar membuat laki-laki itu menatap tajam padanya, "siapa tahu juga... kalian bisa sambil ngobrol tentang kemungkinan hubungan kalian ke depannya. Riz". Nisa pun pergi meninggalkan Riza yang masih terdiam menatap kepergian gadis itu. Kalimat Nisa itu menambah kecewa di hati Riza karena Nisa seolah tidak menganggap kesungguhannya ratusan kali melamar Nisa beberapa bulan terakhir. Riza pun kembali teringat dengan kondisi Tia, dia membuka tas ranselnya hendak meminjamkan jaketnya untuk dipakai gadis itu ketika ia teringat waktu ia memakaikan jaket itu ke Nisa yang tertidur di perjalanan sepulang dari rumah sakit saat kali pertama dia melamar Nisa untuk menjadi teman hidupnya. Riza memegangi jaket itu untuk sesaat ketika terdengar Tia memanggil namanya.
"Ini pake jaket aku, Tia biar kamu ga tambah demam. AC di ruangan ini cukup berasa dinginnya," ujar Riza akhirnya memutuskan meminjamkan jaketnya.
Beberapa menit kemudian, Nisa baru kembali, ia melihat Riza sedang fokus menghadap laptop Tia sepertinya membantu mengolah data penelitian milik Tia. Tia terlihat memakai jaket Riza dan beberapa kali gadis itu terlihat tersenyum lembut melihati Riza, makin mengusik hati Nisa yang berdiri tak jauh dari sana. Nisa kembali teringat saat laki-laki itu meminta Nisa menikah dengannya untuk pertama kali dan juga perhatian demi perhatian Riza sejak hari itu.
"Kamu ga boleh cemburu, Nisa," batin Nisa menarik nafas dalam-dalam lalu menghampiri Riza dan Tia.
"Ini teh hangat manisnya, Tia. Diminum ya, siapa tahu bisa menambah tenaga kamu dan menghangatkan badan juga," ucap Nisa tersenyum lembut sekaligus menyerahkan obat ke perempuan cantik di sebelah Riza itu. Lagi dan lagi Riza menatap tajam kearah Nisa, mereka saling menatap satu sama lain tanpa kata sebelum kemudian laki-laki itu kembali fokus menghadap laptop Tia. Nisa kembali ke tempat ia duduk di sebelah kanan Riza, ia mengambil gelas kopi Riza yang sudah kosong dan menggantinya dengan segelas kopi yang baru dibelinya tanpa bicara apa-apa. Riza pun tetap diam seribu bahasa, hanya mengamati yang dilakukan gadis itu.
"Ada yang bisa aku bantu lagi, Riz?" ucap Nisa lagi-lagi membuat Riza kembali menatap tajam kearahnya. Tak seperti biasanya, tak ada senyuman di raut laki-laki itu untuk Nisa, senyuman laki-laki itu terasa mahal. Riza seolah tak menanggapi pertanyaan Nisa membuat gadis itu pun berhenti bicara padanya.
Beberapa saat kemudian, Nisa terlihat fokus membaca jurnal milik Riza di laptopnya ketika laki-laki itu terlihat memegangi kedua pelipisnya. Dia sudah selesai membantu Tia tentang pengolahan datanya yang bermasalah saat itu. Kepalanya terasa penuh, bukan karena dia membantu Tia, tapi melihat sikap Nisa yang terlihat biasa saja tentang Tia. Nisa yang berusaha tetap tersenyum dan membantu, Nisa yang terlihat seolah ingin mendekatkan lagi dirinya dengan Tia membuatnya pusing dan merasa kecewa.
"Pengolahan kamu sementara ini sepertinya sudah tidak bermasalah Tia, tapi aku harus pergi sekarang. Kepalaku rasanya penuh banget dan sakit, aku butuh udara segar sepertinya," jelas Riza.
Terlihat raut khawatir dan bersalah di wajah gadis bernama Tia itu, "Gara-gara bantuin aku ya, Riz. Maaf aku jadinya merepotkan kamu". Riza tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik saja, Tia cuma perlu udara segar aja. Nanti kalau kamu mau pulang, tolong titipin jaket aku ke Nisa ya". Riza menoleh kearah Nisa, ada semacam rasa lelah dan sedih di wajah laki-laki itu. "Tolong kamu gantikan aku buat bantuin Tia memperbaiki draft skripsinya menyesuaikan coretan-coretan di tumpukan halaman ini ya, Nis. Terima kasih sebelumnya," sambung Riza menyerahkan tumpukan halaman penuh coret-coretan di dekatnya ke Nisa. Nisa menganggukkan kepalanya, dia tidak tahu harus bicara apa ke laki-laki itu. Ada khawatir bercampur rasa bersalah di hati Nisa melihat tatapan Riza padanya. Riza pun segera mengemasi barang-barangnya dan langsung pergi meninggalkan Nisa berdua dengan Tia.
Nisa pun membantu memperbaiki tulisan Tia meski sebelumnya Tia sempat menolak untuk dibantu karena dia tidak ingin merepotkan lebih banyak lagi. Namun, Nisa bersikeras membantu Tia, bagi Nisa anggukan kepalanya ke Riza sebelum laki-laki itu pergi adalah sebuah janji yang harus ditepatinya. Apapun yang dirasakan hatinya saat itu, Nisa cuma ingin membantu Riza melakukan apa yang diniatkannya ke Tia sebelumnya. Terlebih lagi kondisi Tia juga perlu bantuan untuk menyelesaikan deadline esok harinya.
"Seberapa dekat kamu dengan Riza, Nis?" tanya Tia pelan menatap Nisa sambil kepalanya rebah diatas meja.
Nisa tersenyum, "Kami cuma teman yang cukup dekat aja".
"Setahuku Riza tidak punya teman dekat perempuan kecuali pacar atau gebetannya, Nis".
"Mungkin karena dia tidak menceritakannya ke kamu dan teman-temannya yang lain," jawab Nisa berusaha tersenyum lebih lebar ke gadis di sebelahnya itu, "tapi tiap kali Riza suka sama seseorang atau jadian beberapa tahun terakhir ini, dia selalu cerita ke aku, termasuk tentang kamu Tia".
Tia menatap agak lama ke Nisa. "Sekarang Riza sedang dekat dengan siapa, Nis?"
Nisa hanya tersenyum, dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Tia itu.
"Aku ingin baikan sama Riza. Aku ingin bisa seperti dulu lagi. Aku ingin memperbaiki segala sesuatunya dengan Riza. Aku sayang banget sama Riza, Nis," lanjut Tia.
Nisa berusaha tetap tersenyum mendengar kalimat Tia. Hati Nisa terasa campur aduk saat itu, tapi dia tetap menegarkan dirinya. Satu hal yang selalu berusaha Nisa ingat yaitu Riza berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik darinya, seseorang yang bisa mencintai Riza dengan tulus dan bisa membuatnya bahagia serta menjadi teman yang baik buat laki-laki luar biasanya itu. Nisa yakin rasa sakit melepaskan Riza akan sepadan saat dia bisa melihat Riza mendapatkan perempuan yang terbaik dan... mungkin saja perempuan itu Tia. Nisa tak pernah tahu dan tak bisa memastikan hal itu.
"Kalau perasaan kamu benar-benar tulus ke Riza, kamu harus perjuangin dia. Riza adalah tipe laki-laki yang cintanya pantas untuk diperjuangkan, Tia," lanjut Nisa, "dan aku juga tahu bagaimana Riza benar-benar kehilangan waktu kamu dulu pergi darinya".
Tia tersenyum lirih menganggukkan kepalanya pelan.
"Aku akan bantu kamu mencari dan menemukan seseorang yang terbaik buat kamu, Riz. Entah itu Tia atau bukan. Tapi dari cara dia melihat kamu, aku percaya Tia adalah orang yang tulus menyukai kamu, Riz," batin Nisa sambil tersenyum lebih lebar ke Tia. Rasa cemburu itu makin menusuk di hati Nisa, tapi Nisa juga sadar menyukai seseorang kadang juga berarti melepaskan orang itu untuk orang yang lebih baik.
Waktu menunjukkan pukul 17.00 ketika Nisa menemani Tia menunggu taksi untuk mengantarkan Tia pulang. Nisa mengambil handphone-nya yang tersimpan di saku tas ranselnya, ada pesan dari Riza.
"Terima kasih banyak sudah membantu aku buat membantu Tia, Nisa. Tentang jurnal aku tadi, kamu tidak perlu lagi merangkumnya untuk aku. Anggap saja sudah tergantikan dengan permintaan aku ke kamu buat membantu Tia tadi. Aku ga mau merepotkan kamu lebih banyak lagi dan aku ga mau terjadi apa-apa sama mata kamu akibat kelelahan.
Satu hal lagi, meski kamu tidak bisa menjawab 'iya' tentang keinginanku menikahi kamu, tapi tolong jangan pernah berusaha mendekatkan aku dengan seseorang di masa lalu aku lagi termasuk Tia, Nis. Aku yang berhak menentukan siapa perempuan yang terbaik buat aku, bukan kamu, Nis".
Nisa terdiam membacanya sambil memeluk lebih erat jaket Riza yang dipegangnya, ia merasa bersalah ke Riza, ia telah menyakiti Riza dengan sikapnya. Setelah taksi pesanan Tia datang, Nisa pun bergegas kembali masuk ke perpustakaan mencari keberadaan Riza yang ia yakini masih ada disana.
Nisa menyusuri tiap lantai dan ruang di perpustakaan itu satu per satu, sampai akhirnya ia melihat Riza sedang duduk agak tersembunyi di ruangan ujung. Hanya ada tiga orang yang agak berjauhan di ruangan itu. Nisa pun melangkah mendekat, berdiri di dekat kursi tepat di sebelah Riza.
"Apa aku boleh duduk di sebelah kamu Riz?" Suara Nisa membuat laki-laki itu menoleh dan kembali menatap padanya sejenak.
Riza menganggukkan kepalanya, "Aku kira kamu sudah pulang, Nis. Barusan Tia nge-BBM bilang kalau kalian sudah keluar dari perpustakaan".
Nisa duduk menyebelahi Riza dan Riza kembali menatap ke layar laptopnya. Sejenak Nisa memandangi Riza dalam diam.
"Aku ... aku minta maaf kalau ada sikap dan kalimat aku yang melukai hati kamu, membuat kamu tidak berkenan dan tersinggung, Riz," lanjut Nisa.
Riza lagi-lagi menoleh kepadanya, diam menatapnya.
Maaf kalau aku seperti tidak menghargai kegigihan kamu melamar aku selama ini, maaf kalau aku terkesan ingin mendekatkan kamu dengan Tia lagi. Kamu benar, yang paling berhak memutuskan perempuan yang terbaik buat kamu ... itu kamu," sambung Nisa pelan tetap menatap Riza, mereka saling menatap satu sama lain.
"Sebenarnya... aku cemburu, Riza... aku cemburu melihat kamu dan Tia, melihat perhatian kamu ke Tia, dan juga ... sikap dingin kamu ke aku saat ada Tia. Meski aku juga sadar, aku tidak berhak dan tidak seharusnya merasa cemburu. Itu sebabnya juga aku berusaha terlihat baik-baik saja dan tetap tersenyum, Riz".
Riza tersenyum mendengar kalimat Nisa yang terdengar jujur itu, pandangannya tetap ke gadis itu yang kini terlihat menundukkan kepalanya.
"Aku senang bisa mendengarnya langsung dari mulut kamu, Nisa. Meski kamu belum bisa menjawab 'iya', tapi mengetahui kalau hati kamu juga cemburu dan terusik melihat aku dan Tia, sudah jauh lebih dari cukup buat aku. Makasih ya," ujar Riza tersenyum lebih lebar kearah Nisa.
Nisa tertegun menatap kembali Riza dan balas tersenyum kepadanya.
"Maaf ya kalau sikap aku tadi dingin dan cuek ke kamu, Nis".
Nisa menganggukkan kepalanya pelan. Keduanya pun sama-sama tertawa.
"Oh iya, gimana sakit kepala kamu, Riz? Apa perlu aku belikan obat?" tanya Nisa lagi terlihat khawatir.
Riza menggelengkan kepalanya dengan senyuman lebarnya. "Aku baik-baik aja, Nis. Tadi cuma perlu istirahat sebentar aja. Apalagi setelah mendengar kalimat kamu barusan, kepalaku makin terasa ringan he he".
Nisa tertawa, sedikit tersipu mendengarnya.
"Ada yang bisa aku bantu tentang skripsi kamu, Riz?"
Riza menatap lembut kearah gadis itu dengan senyuman lebarnya. "Kamu duduk di sebelah aku dan menemani aku mengerjakan skripsi, itu sudah cukup membantu aku, Nis".
Kalimat Riza itu pun membuat hati Nisa tersentuh meski ia berusaha menutupi rasa haru dan senang di hatinya agar tidak berlebihan terlihat di wajahnya saat itu.
"Ya udah, kalau begitu biar aku terusin merangkum jurnal kamu tadi sambil menemani kamu disini ya. Nggak baik kan kalau membantu itu setengah-setengah," sambung Nisa tertawa kecil setengah bercanda dengan Riza sambil menghidupkan lagi laptopnya dibalas tawa Riza yang pecah mendengarnya.
"Oh iya hampir lupa, ini jaket kamu Riz. Apa mau aku cuciin dulu?" ucap Nisa dengan jaket Riza di tangannya.
"Hmmm... kalau kamu mau menyimpan jaket itu juga gapapa, Nisa. Jaket itu kan salah satu saksi bisu yang ada waktu aku pertama kali mengungkapkan perasaan aku ke kamu di taman lalu melamar kamu di rumah sakit," jawab Riza tersenyum lebar.
Lagi-lagi Nisa tertawa kecil mendengarnya, ia tidak menyangka Riza ternyata masih ingat momen itu padahal setahu Nisa laki-laki biasanya tidak terlalu detail mengingat setiap kenangan.
"Ngapain juga aku menyimpan jaket kamu. Emangnya aku siapa kamu, Riza?" ucap Nisa sambil menjulurkan lidahnya menggoda laki-laki di sebelahnya itu lalu kembali tertawa.
"Kamu itu calon teman hidup aku, Nisa. Jadi kalau sekarang kamu simpan jaket aku, nanti juga jaket itu akan balik ke aku lagi setelah kita menikah. Iya ga?" jawab Riza sambil memainkan alisnya dan tersenyum super lebar, laki-laki itu terlihat semakin bersemangat menggoda perempuan di sampingnya itu. Nisa tidak menjawab apa-apa, hanya tawa kecil pecah diantara keduanya. Nisa menaruh jaket Riza di dekat tangan laki-laki itu.
"Bercandanya udahan ah, Riz. Ayo lurusin niat dan fokus ke skripsi kamu lagi". Nisa terlihat kembali fokus menatap layar laptopnya, melanjutkan merangkum jurnal untuk salah satu acuan skripsi Riza sementara Riza masih senyum-senyum sendiri sesekali memandangi sejenak perempuan di sebelahnya itu. Riza mengambil handphone-nya yang tergeletak di sebelah laptopnya kemudian mengetikkan sesuatu ke gadis di sebelahnya itu. Beberapa detik kemudian, handphone Nisa berkedip, ada pesan masuk dan Nisa pun membukanya. Satu pesan dari Riza.
"Would you be my best friend forever and ever (ind: Maukah kamu menjadi teman terbaik seumur hidupku), Nisa? Maukah kamu menikah denganku? :)"
Nisa menoleh ke laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Riza terlihat sedang asyik membaca bahan-bahan terkait skripsinya dengan earphone terpasang di kedua telinganya. Sesekali terlihat dari samping, laki-laki itu tersenyum meski tetap fokus menghadap laptopnya membuat Nisa ikut tersenyum lebar di sebelahnya.
"Terima kasih untuk kegigihan kamu masih memperjuangkan aku, Riza. Maaf kalau jawaban aku masih tetap sama seperti sebelumnya," ucap Nisa di dalam hatinya sebelum kemudian kembali fokus menatap laptopnya.
Bersambung

'Ruang Rindu'
Kalimantan Selatan,
9 Nov 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar