PART 5 : CEMBURU YANG DITUNGGU
Hari terus berlalu,
semester pun berganti mendekatkan baik Riza maupun Nisa dengan skripsi,
tanggung jawab terakhir di masa kuliah mereka. Tak banyak hal berubah,
Nisa masih setia dengan jawaban tidaknya, sementara Riza tetap maju tak
gentar dengan niatnya. Riza dan Nisa tak juga sering bertemu, bahkan
pertemuan terlama mereka terakhir adalah saat Riza memenuhi niatnya
menraktir Nisa dengan gajinya. Ketika itu Riza meminta Nisa menyebutkan
nama tempat yang ingin didatangi Nisa, tapi dengan polos Nisa cuma
meminta Riza menraktirnya di warung lalapan kaki lima tak jauh dari
kampus mereka yang berujung mereka berdua menonton film petualangan tiga
dimensi di mini studio bersama puluhan anak usia SD dan TK. Kebersamaan
yang sangat sederhana dan jauh dari kata romantis menurut sebagian
orang, tapi berharga bagi keduanya. Itu kali pertama mereka nonton
bareng di studio, tertawa bersama anak-anak kecil dan sebagian orang tua
mereka. Maklumlah, sebelum Riza menyadari perasaannya ke Nisa, dia
sibuk dengan aktivitas romantisme ala-ala remaja di mabuk cinta,
mengabaikan hal-hal sederhana yang sekarang baru terasa berharga saat ia
bersama Nisa .
"Kita nonton film
romantis, yuk Nis... siapa tahu kamu berubah pikiran jadi mau menikah
sama aku," ucap Riza hari itu selepas makan.
Nisa tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Gimana kalo kita nonton film petualangan anak-anak saja, Riz?"
"Kamu aja belum mau
nikah sama aku, eh kita udah mau belajar jadi orang tua aja, Nis. Kita
mau latihan dan ngebayangin seolah-olah lagi nemenin anak kita nonton
ya," jawab Riza bersemangat sambil tersenyum lebar menggoda Nisa membuat
gadis itu balas tertawa kecil dan langsung memukulkan pelan gulungan
kertas sketsa yang sedang dibawanya itu ke bahu Riza.
"Udah deh bercandanya.
Nonton film anak diantara anak-anak itu bisa bikin kita ketularan tawa
dan ceria tulusnya mereka, Riza... makanya aku suka. Soalnya bawaannya
jadi ikut bahagia," lanjut Nisa tertawa kecil membuat Riza
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya udah buruan kesana
yuk, takut kehabisan tempat duduk soalnya. Siapa tahu saat kamu bahagia,
kamu jadi bisa menjawab 'iya' ke aku pas keluar dari studio nanti,"
sambung Riza sambil mengerdipkan matanya dan tersenyum lebih lebar
menggoda Nisa. Nisa pun hanya bisa geleng-geleng kepala, sedikit tersipu
yang berujung tawa keduanya.
Setelah hari itu, tak
pernah lagi Riza dan Nisa bertemu lama, apalagi setelah mereka sama-sama
disibukkan dengan pengerjaan skripsi mereka. Sakit glaukoma Nisa sempat
beberapa kali kambuh meski tidak parah dan Nisa tetap rutin berobat
jalan. Hanya sekali Nisa sampai jatuh pingsan di kamarnya karena
serangan sakitnya. Meskipun begitu, Nisa tak pernah memberitahu Riza
tentang sakitnya, ia selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja tiap
kali laki-laki itu bertanya. Sementara itu juga, Nisa tetap melanjutkan
sketsa taman impiannya untuk mereka yang kehilangan penglihatan. Nisa
bertekad dia ingin bisa memperlihatkan sketsa impiannya itu kepada Riza
di hari mereka wisuda.
Siang itu, Nisa baru masuk ke dalam tempat kosnya ketika ia berpapasan dengan Ana yang hendak berangkat ke kampus.
"Hai, mau ke kampus Na?"
sapa Nisa dengan senyum lebarnya dibalas senyuman tak kalah lebar oleh
Ana sembari menganggukkan kepalanya. Sejenak Nisa dan Ana saling
bercerita tentang skripsi dan kesibukan masing-masing.
"Oh iya Na, akhir-akhir
ini kamu pernah bertemu Riza? Dia sehat dan baik-baik aja kan?" tanya
Nisa. Kebetulan Ana dan Riza dapat dosen pembimbing yang sama.
Ana balas tersenyum dengan raut setengah menggoda Nisa.
"Terakhir ketemu Riza,
pas Jumat kemarin sama-sama ngadep dosen dan Riza kelihatan baik dan
sehat-sehat aja. Yang pasti penampilan Riza makin rapi, makin cakep dan
mateng dengan level coolnya yang terjaga, bikin makin banyak cewek di
Fakultas Ekonomi jatuh hati. Jadi kamu harus lebih siaga, Nis he he".
Nisa tertawa mendengarnya. "Siaga? Memangnya aku siapa, calon istrinya Riza juga bukan," jawab Nisa.
"Bukannya kamu sama Riza
deket, Nis? Yakin ga ada apa-apa? Soalnya, tiap kali aku dan Riza
bertemu agak lama, dia pasti nanyain kamu. Dia selalu nanya apa kamu
sehat-sehat dan baik-baik aja. Kelihatan banget Riza bener-bener care alias peduli sama kamu, Nis," ujar Ana tersenyum lebar sambil mengedip-kedipkan matanya, menggoda Nisa.
Nisa lagi-lagi tersenyum, ada segurat malu di wajah manis gadis berjilbab biru dongker itu yang berusaha ia bungkus rapi.
"Aku sama Riza cuma sahabatan aja, Na. Lagipula laki-laki seperti Riza berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik, Na".
Lagi-lagi Ana tersenyum.
"Kamu yakin ga ingin memperjuangkan Riza, Nisa?" Terlihat wajah Ana
serius menatap Nisa. Nisa terdiam sejenak, tersenyum kemudian
menggelengkan kepalanya ragu.
"Soalnya denger-denger
mantan cewek Riza pingin balikan lagi sih. Akhir-akhir ini dia terlihat
berusaha dekat lagi dengan Riza," sambung Ana.
Nisa terdiam sejenak
hanya balas tersenyum ke Ana, ada sebentuk cemburu yang tiba-tiba ia
rasakan di hatinya saat itu, tapi Nisa sadar ia tidak berhak. Riza
memang masih tetap setia memintanya menikah dengannya hingga pagi itu,
tapi Nisa juga masih tetap dengan jawaban tidaknya.
"Aku cuma bisa berharap
semoga tidak ada penyesalan di hati kamu maupun Riza nantinya saat
semuanya terlambat dan kesempatan itu pergi, Nis". Ucapan Ana yang
terdengar serius diantara senyumannya itu membuat Nisa memandangi Ana
sejenak kemudian tersenyum lebih lebar kepadanya. Meski Ana tidak
terlalu dekat dengan Nisa, tapi dua tahun di tempat kos yang sama,
seolah menghadirkan kedekatan diantara keduanya, terlebih soal Riza. Ana
seolah menjadi saksi yang bisa melihat apa yang terjadi diantara Riza
dan Nisa bahkan beberapa kali menjadi penghubung diantara mereka.
"Semoga aku dan Riza
sama-sama ditunjukkan yang terbaik aja, Na. Begitu pun kamu, semoga
ditunjukkan yang terbaik juga ya," jawab Nisa akhirnya dibalas anggukan
kepala dan senyuman Ana. Selepas saling berbalas salam, Nisa pun
bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Nisa hendak melepas jilbabnya ketika handphone-nya bergetar. Ada pesan dari Riza.
"Selamat siang, Nisa.
Apa kamu baik-baik saja hari ini? Semoga saja :). Lama kita tidak
pernah ketemuan lagi, Nis. Apa kamu sudah berubah pikiran? Maukah kamu
menikah denganku, Nisa?"
Nisa pun tertawa kecil
membacanya. Laki-laki luar biasanya itu masih saja tidak menyerah
memperjuangkan jawaban 'iya' darinya. Keteguhan laki-laki itu kadang
membuat Nisa luluh, ingin sekali jarinya mengetikkan kata 'iya' untuknya
karena memang itu sebenarnya yang diinginkan hatinya. Nisa pun
tersenyum membaca ulang tulisan Riza itu kemudian balas mengetik.
"Yakin kamu masih mau
menunggu 'iya' dari aku, Riza? Dengar-dengar, ada yang mulai dekat lagi
dengan seseorang di masa lalunya, seseorang yang membuat kamu sempat
galau cukup lama karena kehilangan dia :)".
Agak lama Nisa menunggu Riza membalas pesannya itu, sampai kemudian satu pesan masuk dari laki-laki itu.
"Aku hari ini bakal
ngerjain skripsi sampai malam di perpustakaan besar sepertinya.
Kebetulan, aku lagi giliran libur kerja. Apa kita bisa bertemu, Nis?
Sudah lumayan lama juga kita tidak ketemuan :)".
Gantian Nisa yang
terlihat berpikir sebelum menjawab ajakan Riza, apalagi Riza tidak
merespon pertanyaan Nisa terkait kedekatan Riza dengan seseorang dari
masa lalunya itu.
Sebuah pesan lagi-lagi masuk dari Riza.
"Dia mungkin berarti
di masa lalu aku dan kamu pernah melihat aku galau saat kehilangan dia
dulu, tapi itu sudah berlalu. Sekarang aku cuma ingin jawaban 'iya' dari
seseorang yang aku harap menjadi teman halal sepanjang hidup aku dan
itu kamu Nisa. Apa kamu mau menikah sama aku, Nis? :D"
Lagi-lagi kata-kata Riza
itu pun menyisakan haru bagi Nisa dan air mata mengalir di sudut mata
gadis itu, menimbulkan retakan-retakan di benteng hati Nisa yang sengaja
dibangun gadis itu untuk Riza. Kalimat Ana sebelumnya kembali terlintas
di pikiran Nisa. Nisa pun menggelengkan kepalanya, susah payah
meyakinkan bahwa dia tidak boleh luluh dan berubah jawaban ke laki-laki
itu.
"Kamu tidak boleh
menjawab 'iya', Nisa. Riza layak mendapatkan perempuan yang lebih baik
yang bisa menemaninya dengan banyak senyum dan tawa , bukan khawatir dan
sedih seperti tiap kali dia melihat kamu mengalami serangan itu," ujar Nisa dalam hati.
"Ya udah, Riz. Aku ke perpustakaan besar sekarang ya, sampai bertemu disana :D," ketik Nisa akhirnya.
Nisa bergegas merapikan
jilbab biru dongkernya, kemudian menambahkan bedak tipis di wajahnya
memasang kembali sepatunya, berangkat menuju perpustakaan besar.
Waktu di arloji Nisa
menunjukkan pukul 14.03 ketika Nisa baru sampai di pintu masuk
perpustakaan besar dan melihat sosok Riza yang sedang asyik membaca
sebuah buku dengan earphone terpasang di kedua telinganya. Nisa
hendak menghampirinya ketika terlihat seorang gadis cantik menyapa Riza
dan duduk di sebelah laki-laki itu. Gadis itu tak asing bagi Nisa, Riza
beberapa kali menceritakan tentangnya ke Nisa saat mereka masih jadian
meski Riza tidak pernah mengenalkan Nisa kepadanya. Semua cerita dan
kegalauan Riza tentang gadis itu pun masih terekam rapi di ingatan Nisa,
sekaligus menyusupkan cemburu yang sebenarnya tidak dimaui Nisa saat
melihat gadis itu bersama Riza.
Nisa masih tetap berdiri
memandangi keduanya dengan memegang segelas kopi yang sengaja dibelinya
buat Riza. Meski hatinya tidak nyaman, Nisa tidak ingin pergi dari sana
sekaligus tidak ingin mendekat sampai kemudian Riza yang mengedarkan
pandangan ke sekeliling menoleh kearahnya. Laki-laki itu pun langsung
berpamitan kepada gadis yang duduk disebelahnya itu kemudian bergegas
menghampiri Nisa dengan senyuman lebar tersungging di bibirnya.
"Akhirnya kamu datang, Nis," ucap Riza.
Nisa tersenyum tak kalah lebar sambil menganggukkan kepalanya.
"Sepertinya aku
mengganggu kamu dan dia, ya Riz," ujar Nisa setengah menggoda Riza meski
di dalam hatinya sebenarnya ada demo mengatasnamakan cemburu saat itu.
Sejenak Riza hanya diam
memandangi Nisa kemudian kembali tersenyum tipis, "Aku dan dia tadi ga
sengaja ketemu kok, Nis. Maklum namanya juga sesama pejuang tugas akhir,
tempat rujukannya sama-sama perpustakaan besar he he".
Nisa tertawa kecil sambil menyerahkan segelas kopi ke Riza, "No problem,
Riza. Mau kalian ketemu sengaja atau nggak, itu tidak masalah buat aku.
Bahkan sendainya kamu CLBK sama dia, aku akan ikut senang, Riz. Aku...
aku masih ingat kamu bilang kalau dia perempuan yang baik dan perasaan
diantara kalian cukup dalam. Aku berharap dan... aku optimis... semoga
dia bisa jadi teman hidup yang baik buat kamu. Aku yakin dia pasti jauh
lebih baik dari aku untuk bisa membahagiakan kamu, Riz".
Riza yang hendak meminum
kopinya itu pun urung melakukannya. Laki-laki itu terlihat menatap
tajam kearah Nisa, tanpa satu kata pun terucap dari mulutnya. Ada kecewa
dan marah yang tertahan di mata laki-laki itu, membuat Nisa pun merasa
tidak enak hati dan merasa bersalah ke laki-laki itu. Namun, Nisa
berusaha tetap tersenyum.
"Apa perjuangan aku
beberapa bulan ini ga ada artinya sama sekali buat kamu, Nisa? Apa
menurut kamu, permintaan aku buat menikahi kamu itu cuma main-main? Apa
kamu sama sekali tidak merasakan cemburu melihat aku sama mantan aku,
Nis?" tanya Riza serius, membuat Nisa memilih menundukkan kepalanya.
Hening bercengkerama sendiri diantara Riza dan Nisa sampai terdengar seseorang menyebut nama Riza.
"Riza..., aku gabung
ngerjain skripsi bareng kamu, ya...," ujar seorang gadis cantik dengan
senyuman mengembang, gadis yang tadi duduk di sebelah Riza.
Riza dan Nisa pun menoleh kearahnya. Riza tak menjawab permintaan gadis itu.
"Oh iya, Nisa kenalin
ini Tia... dan Tia ini Nisa...," ujar Riza saling mengenalkan kedua
perempuan itu dengan ekspresi netral, seolah semuanya baik-baik saja.
Nisa dan Tia terlihat saling berjabat tangan dan mengucap salam satu sama lain, meski canggung menyelimuti Nisa saat itu.
"Jadi gimana, boleh ya Riz?" tanya gadis bernama Tia itu lagi dengan senyuman manisnya dan sikapnya yang sedikit manja ke Riza.
Riza menoleh kearah
Nisa, tak bicara, memandangi sejenak Nisa yang sedang melihat kearahnya
dengan senyuman masih saja menghias di wajah teduhnya. Riza menoleh
kembali ke Tia.
"Maaf, banget Tia. Aku
ada janji dengan Nisa. Aku minta tolong dia buat membantu aku
mengerjakan skripsi di perpustakaan sekarang. Lain kali saja ya kita
ngerjain skripsi bareng," jawab Riza kemudian memberi isyarat ke Nisa,
mengajaknya pergi.
"Kalau boleh tahu, kamu sama Nisa pacaran, Riz?" lanjut Tia bertanya serius sambil bergantian menoleh kearah Nisa dan Riza.
Lagi-lagi Riza tak mengatakan apa-apa sementara Nisa langsung menggelengkan kepalanya pelan kemudian tersenyum kearah Tia.
"Aku dan Riza cuma berteman aja," jelas Nisa, membuat Riza lagi-lagi memandangi Nisa.
"Ya..., aku dan Nisa
cuma teman, kebetulan aku perlu bantuan Nisa buat menemani aku
mengerjakan bab dua skripsi aku, Tia. Aku pergi dulu ya," jawab Riza
datar dan tersenyum tipis, "ayo Nis, buruan kita masuk".
Riza langsung bergegas
masuk ke dalam perpustakaan. Kalimat terakhir Riza terdengar tegas
seolah bernada perintah ke Nisa bukan sekedar ajakan seperti biasanya
sehingga Nisa buru-buru pamit ke Tia dan menyusul Riza.
Tak ada obrolan diantara
Riza dan Nisa, bahkan keduanya berjalan depan dan belakang, tak
bersebelahan hingga akhirnya mereka sampai di kursi belajar yang dipilih
Riza. Laki-laki itu langsung membuka laptopnya sementara Nisa pun duduk
di sebelah Riza, ikut membuka laptop miliknya.
"Aku... aku minta maaf
kalau ada kalimat aku yang tidak berkenan di hati kamu, Riz," ucap Nisa
akhirnya memutuskan memecahkan diam diantara keduanya.
Riza menoleh kearah
Nisa, gadis itu terlihat tersenyum tulus seperti biasa, setulus
permintaan maafnya saat itu. Riza balas tersenyum dan menggelengkan
kepalanya pelan. "Ga ada yang perlu dimaafkan, Nisa. Kamu mengatakan apa
yang ingin kamu katakan dan itu hak kamu. Lagipula kamu sudah
seringkali menjawab 'tidak', tapi aku tetap saja meminta jawaban 'iya'".
"Kamu tahu alasannya, Riza. Kamu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik, Riz".
Riza tersenyum lebih
lebar, menganggukkan kepalanya pelan. "Aku tahu, Nis. Ya udah sekarang
kita kembali ke skripsi kita, ya," lanjut Riza terlihat bersemangat
membuka file-file di folder skripsi miliknya sementara Nisa terlihat mengamati apa yang dilakukan Riza.
"Apa ada yang bisa aku bantu, Riza?" tanya gadis itu penuh semangat membuat Riza kembali menoleh dan tersenyum kearahnya.
"Kamu menemani aku, duduk di sebelah aku ... itu sudah cukup buat aku, Nis," batin Riza.
"Mungkin kamu perlu bantuan buat meringkas satu jurnal yang jadi referensi kamu?" ujar Nisa lagi menawarkan bantuannya.
Riza menganggukkan kepalanya sambil meringis. Riza hendak meng-copy-kan satu jurnalnya ke flashdisk agar Nisa bisa membacanya di laptop Nisa ketika ia tiba-tiba teringat sesuatu dan kembali menatap gadis itu.
"Memangnya mata kamu
gapapa Nisa kalau aku minta bantuan kamu buat membaca jurnal referensiku
dan merangkumnya? Aku ga mau kamu terkena serangan glaukoma lagi karena
mata kamu terlalu kecapekan," lanjut Riza serius. Kekhawatiran
laki-laki itu tetap terasa sama tiap kali berhubungan dengan sakit Nisa.
Nisa tertawa riang sambil menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik aja,
Riz... kamu tenang saja," jelas Nisa bersemangat sambil tangannya
menunggu flashdisk berisi jurnal dari laki-laki itu.
Beberapa menit kemudian keduanya terlihat asyik membaca dengan laptop masing-masing dan earphone
sama-sama terpasang di telinga masing-masing. Beberapa kali Nisa
terlihat melihati kearah laki-laki yang duduk di sebelahnya itu,
laki-laki itu terlihat fokus dengan apa yang dikerjakannya sambil
sesekali meneguk kopi pemberian Nisa. Nisa tersenyum, gadis itu bangga
melihat kesungguhan dan kerja keras laki-laki itu berusaha selalu
menjadi seseorang yang bertanggung jawab. Bagi Nisa, menyukai laki-laki
seperti Riza adalah pilihan hati yang tidak pernah disesalinya meski
Nisa belum bisa menjawab 'iya' kepadanya.
"Kenapa kamu melihati
aku, Nis? Perasaan jurnal yang kamu baca ada di layar laptop kamu deh,
bukan di wajah aku". Kalimat Riza itu menyadarkan Nisa dari lamunan
sesaatnya. Wajah gadis itu terlihat tersipu, buru-buru tertawa meringis
kearah Riza yang melihat kearahnya sambil tersenyum lebar menggoda gadis
itu. "Semangat dan berjuang, Riza!" ujar Nisa mengepalkan tangannya,
menyemangati Riza dengan senyum cerianya kemudian bergegas menoleh ke
layar laptopnya.
Nisa baru melanjutkan
membacanya satu halaman ketika ia melihat Tia duduk membuka laptopnya
tak jauh di depan tempat duduk mereka dan melihat kearahnya dan Riza.
Nisa menoleh kearah
Riza, laki-laki itu terlihat fokus dengan laptopnya. Nisa menepuk pelan
bahu Riza membuat Riza menoleh kearahnya.
"Apa tidak sebaiknya
kamu izinkan Tia bergabung dengan kita, Riza? Siapa tahu dia perlu teman
diskusi tentang skripsinya dan kalian bisa saling berbagi ilmu,"ujar
Nisa sambil jarinya menunjuk kearah Tia yang duduk sendirian tak jauh
dari keduanya. Riza menoleh sejenak ke gadis di masa lalunya itu
kemudian memandangi Nisa agak lama tanpa komentar kemudian berdiri
menghampiri Tia. Ya, Riza akhirnya mengajak Tia bergabung, duduk di
sebelah Riza sehingga Riza pun duduk diapit Nisa dan Tia. Terdengar
beberapa kali Tia dan Riza saling berdiskusi tentang buku dan bahan
acuan untuk tugas akhir mereka sementara Nisa hanya menjadi pendengar
yang baik sambil tetap melanjutkan memahami jurnal yang diberikan Riza
kepadanya. Terdengar, Tia meng-copy-kan bahan yang dibutuhkan
Riza begitu pun sebaliknya. Nisa pun berusaha untuk tidak memedulikan
rasa tidak nyaman di hatinya melihat keakraban diantara keduanya saat
itu. Nisa berusaha meyakinkan hatinya bahwa dia disana sebagai sahabat
Riza yang ingin membantu Riza mengerjakan tugas akhirnya. Ada kalanya
Nisa tidak bisa melawan perasaan tidak nyamannya itu hingga gadis itu
memutuskan untuk mengencangkan suara musik di earphone-nya, berusaha lebih fokus melihat layar laptopnya.
Waktu menunjukkan pukul
15.30 saat itu, ketiganya sama-sama fokus dengan laptop masing-masing.
Sejak Tia bergabung, Riza tidak mengucapkan satu kalimat pun ke Nisa.
Selain berdiskusi dan sesekali mengobrol ringan dengan Tia, selebihnya
Riza fokus pada laptopnya sehingga Nisa pun memilih diam meski laki-laki
itu terkesan cuek kepadanya.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Riza ke Tia yang terlihat memegangi dan memijit kepalanya.
"Kepala aku pusing banget, Riz, sepertinya aku demam lagi padahal tadi pagi sudah turun," ujar Tia pelan.
"Lebih baik kamu
sekarang pulang dan istirahat, Tia. Biar aku carikan taksi dan temani
kamu sampai masuk taksi ya," ujar laki-laki itu penuh perhatian di mata
Nisa yang sedang memandangi keduanya.
"Besok pagi aku harus
menghadap dosen pembimbingku buat menyerahkan hasil olahan data
penelitianku, Riz. Dan sampai sekarang ada proses pengolahan dataku yang
masih bermasalah. Lagipula ada beberapa halaman bab sebelumnya yang
harus aku perbaiki, Riz. Aku harus menyelesaikannya sekarang. Aku takut
nanti malam tubuhku demam lagi seperti semalam dan aku tidak bisa
mengerjakannya," jelas Tia sambil menunjukkan lembar-lembar draft skripsinya yang penuh dengan coretan perbaikan.
"Kamu rebahkan dulu
kepala kamu buat istirahat aja Tia. Aku carikan kamu minuman hangat dan
obat buat meredakan sakit kepala dan demam kamu ya. Setelah itu aku akan
berusaha bantu masalah pengolahan data kamu dan perbaikan tulisan
skripsi kamu," lanjut Riza tersenyum dibalas senyuman lebar dan anggukan
pelan dari Tia yang menatap Riza cukup lama.
"Kamu masih perhatian
seperti dulu, Riz. Aku berharap kita bisa seperti dulu lagi. Aku
menyesal pernah melepaskan laki-laki sebaik kamu, Riz," sambung Tia
terdengar tulus dan penuh harap saat mengucapkannya membuat Riza hanya
bisa tersenyum lirih tak menjawab apa-apa. Sementara itu, Nisa yang
hanya bisa menyimak percakapan itu terlihat berusaha sekuat tenaga untuk
tetap tersenyum diantara teriakan rasa cemburu yang makin keras berdemo
di hatinya. Riza menoleh kearah Nisa sejenak, ada rasa tidak enak di
hatinya kepada Nisa sekaligus berharap ia bisa melihat sebentuk cemburu
di mata gadis itu. Namun, Nisa justru terlihat melebarkan senyumannya
sambil balas menatapnya, menyisakan sedikit kecewa di hati Riza. Riza
pun kembali menoleh kepada Tia yang terlihat agak pucat itu.
"Biar aku yang belikan
obat dan minuman hangat manis buat Tia, Riz. Kamu temani saja Tia disini
sambil membantu masalah pengolahan datanya," ucap Nisa tersenyum lebih
lebar membuat laki-laki itu menatap tajam padanya, "siapa tahu juga...
kalian bisa sambil ngobrol tentang kemungkinan hubungan kalian ke
depannya. Riz". Nisa pun pergi meninggalkan Riza yang masih terdiam
menatap kepergian gadis itu. Kalimat Nisa itu menambah kecewa di hati
Riza karena Nisa seolah tidak menganggap kesungguhannya ratusan kali
melamar Nisa beberapa bulan terakhir. Riza pun kembali teringat dengan
kondisi Tia, dia membuka tas ranselnya hendak meminjamkan jaketnya untuk
dipakai gadis itu ketika ia teringat waktu ia memakaikan jaket itu ke
Nisa yang tertidur di perjalanan sepulang dari rumah sakit saat kali
pertama dia melamar Nisa untuk menjadi teman hidupnya. Riza memegangi
jaket itu untuk sesaat ketika terdengar Tia memanggil namanya.
"Ini pake jaket aku, Tia
biar kamu ga tambah demam. AC di ruangan ini cukup berasa dinginnya,"
ujar Riza akhirnya memutuskan meminjamkan jaketnya.
Beberapa menit kemudian,
Nisa baru kembali, ia melihat Riza sedang fokus menghadap laptop Tia
sepertinya membantu mengolah data penelitian milik Tia. Tia terlihat
memakai jaket Riza dan beberapa kali gadis itu terlihat tersenyum lembut
melihati Riza, makin mengusik hati Nisa yang berdiri tak jauh dari
sana. Nisa kembali teringat saat laki-laki itu meminta Nisa menikah
dengannya untuk pertama kali dan juga perhatian demi perhatian Riza
sejak hari itu.
"Kamu ga boleh cemburu, Nisa," batin Nisa menarik nafas dalam-dalam lalu menghampiri Riza dan Tia.
"Ini teh hangat
manisnya, Tia. Diminum ya, siapa tahu bisa menambah tenaga kamu dan
menghangatkan badan juga," ucap Nisa tersenyum lembut sekaligus
menyerahkan obat ke perempuan cantik di sebelah Riza itu. Lagi dan lagi
Riza menatap tajam kearah Nisa, mereka saling menatap satu sama lain
tanpa kata sebelum kemudian laki-laki itu kembali fokus menghadap laptop
Tia. Nisa kembali ke tempat ia duduk di sebelah kanan Riza, ia
mengambil gelas kopi Riza yang sudah kosong dan menggantinya dengan
segelas kopi yang baru dibelinya tanpa bicara apa-apa. Riza pun tetap
diam seribu bahasa, hanya mengamati yang dilakukan gadis itu.
"Ada yang bisa aku bantu
lagi, Riz?" ucap Nisa lagi-lagi membuat Riza kembali menatap tajam
kearahnya. Tak seperti biasanya, tak ada senyuman di raut laki-laki itu
untuk Nisa, senyuman laki-laki itu terasa mahal. Riza seolah tak
menanggapi pertanyaan Nisa membuat gadis itu pun berhenti bicara
padanya.
Beberapa saat kemudian,
Nisa terlihat fokus membaca jurnal milik Riza di laptopnya ketika
laki-laki itu terlihat memegangi kedua pelipisnya. Dia sudah selesai
membantu Tia tentang pengolahan datanya yang bermasalah saat itu.
Kepalanya terasa penuh, bukan karena dia membantu Tia, tapi melihat
sikap Nisa yang terlihat biasa saja tentang Tia. Nisa yang berusaha
tetap tersenyum dan membantu, Nisa yang terlihat seolah ingin
mendekatkan lagi dirinya dengan Tia membuatnya pusing dan merasa kecewa.
"Pengolahan kamu
sementara ini sepertinya sudah tidak bermasalah Tia, tapi aku harus
pergi sekarang. Kepalaku rasanya penuh banget dan sakit, aku butuh udara
segar sepertinya," jelas Riza.
Terlihat raut khawatir
dan bersalah di wajah gadis bernama Tia itu, "Gara-gara bantuin aku ya,
Riz. Maaf aku jadinya merepotkan kamu". Riza tersenyum menggelengkan
kepalanya.
"Aku baik-baik saja, Tia
cuma perlu udara segar aja. Nanti kalau kamu mau pulang, tolong titipin
jaket aku ke Nisa ya". Riza menoleh kearah Nisa, ada semacam rasa lelah
dan sedih di wajah laki-laki itu. "Tolong kamu gantikan aku buat
bantuin Tia memperbaiki draft skripsinya menyesuaikan
coretan-coretan di tumpukan halaman ini ya, Nis. Terima kasih
sebelumnya," sambung Riza menyerahkan tumpukan halaman penuh
coret-coretan di dekatnya ke Nisa. Nisa menganggukkan kepalanya, dia
tidak tahu harus bicara apa ke laki-laki itu. Ada khawatir bercampur
rasa bersalah di hati Nisa melihat tatapan Riza padanya. Riza pun segera
mengemasi barang-barangnya dan langsung pergi meninggalkan Nisa berdua
dengan Tia.
Nisa pun membantu
memperbaiki tulisan Tia meski sebelumnya Tia sempat menolak untuk
dibantu karena dia tidak ingin merepotkan lebih banyak lagi. Namun, Nisa
bersikeras membantu Tia, bagi Nisa anggukan kepalanya ke Riza sebelum
laki-laki itu pergi adalah sebuah janji yang harus ditepatinya. Apapun
yang dirasakan hatinya saat itu, Nisa cuma ingin membantu Riza melakukan
apa yang diniatkannya ke Tia sebelumnya. Terlebih lagi kondisi Tia juga
perlu bantuan untuk menyelesaikan deadline esok harinya.
"Seberapa dekat kamu dengan Riza, Nis?" tanya Tia pelan menatap Nisa sambil kepalanya rebah diatas meja.
Nisa tersenyum, "Kami cuma teman yang cukup dekat aja".
"Setahuku Riza tidak punya teman dekat perempuan kecuali pacar atau gebetannya, Nis".
"Mungkin karena dia
tidak menceritakannya ke kamu dan teman-temannya yang lain," jawab Nisa
berusaha tersenyum lebih lebar ke gadis di sebelahnya itu, "tapi tiap
kali Riza suka sama seseorang atau jadian beberapa tahun terakhir ini,
dia selalu cerita ke aku, termasuk tentang kamu Tia".
Tia menatap agak lama ke Nisa. "Sekarang Riza sedang dekat dengan siapa, Nis?"
Nisa hanya tersenyum, dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Tia itu.
"Aku ingin baikan sama
Riza. Aku ingin bisa seperti dulu lagi. Aku ingin memperbaiki segala
sesuatunya dengan Riza. Aku sayang banget sama Riza, Nis," lanjut Tia.
Nisa berusaha tetap
tersenyum mendengar kalimat Tia. Hati Nisa terasa campur aduk saat itu,
tapi dia tetap menegarkan dirinya. Satu hal yang selalu berusaha Nisa
ingat yaitu Riza berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik
darinya, seseorang yang bisa mencintai Riza dengan tulus dan bisa
membuatnya bahagia serta menjadi teman yang baik buat laki-laki luar
biasanya itu. Nisa yakin rasa sakit melepaskan Riza akan sepadan saat
dia bisa melihat Riza mendapatkan perempuan yang terbaik dan... mungkin
saja perempuan itu Tia. Nisa tak pernah tahu dan tak bisa memastikan hal
itu.
"Kalau perasaan kamu
benar-benar tulus ke Riza, kamu harus perjuangin dia. Riza adalah tipe
laki-laki yang cintanya pantas untuk diperjuangkan, Tia," lanjut Nisa,
"dan aku juga tahu bagaimana Riza benar-benar kehilangan waktu kamu dulu
pergi darinya".
Tia tersenyum lirih menganggukkan kepalanya pelan.
"Aku akan bantu kamu
mencari dan menemukan seseorang yang terbaik buat kamu, Riz. Entah itu
Tia atau bukan. Tapi dari cara dia melihat kamu, aku percaya Tia adalah
orang yang tulus menyukai kamu, Riz," batin Nisa sambil tersenyum
lebih lebar ke Tia. Rasa cemburu itu makin menusuk di hati Nisa, tapi
Nisa juga sadar menyukai seseorang kadang juga berarti melepaskan orang
itu untuk orang yang lebih baik.
Waktu menunjukkan pukul 17.00 ketika Nisa menemani Tia menunggu taksi untuk mengantarkan Tia pulang. Nisa mengambil handphone-nya yang tersimpan di saku tas ranselnya, ada pesan dari Riza.
"Terima kasih banyak
sudah membantu aku buat membantu Tia, Nisa. Tentang jurnal aku tadi,
kamu tidak perlu lagi merangkumnya untuk aku. Anggap saja sudah
tergantikan dengan permintaan aku ke kamu buat membantu Tia tadi. Aku ga
mau merepotkan kamu lebih banyak lagi dan aku ga mau terjadi apa-apa
sama mata kamu akibat kelelahan.
Satu hal lagi, meski
kamu tidak bisa menjawab 'iya' tentang keinginanku menikahi kamu, tapi
tolong jangan pernah berusaha mendekatkan aku dengan seseorang di masa
lalu aku lagi termasuk Tia, Nis. Aku yang berhak menentukan siapa
perempuan yang terbaik buat aku, bukan kamu, Nis".
Nisa terdiam membacanya
sambil memeluk lebih erat jaket Riza yang dipegangnya, ia merasa
bersalah ke Riza, ia telah menyakiti Riza dengan sikapnya. Setelah taksi
pesanan Tia datang, Nisa pun bergegas kembali masuk ke perpustakaan
mencari keberadaan Riza yang ia yakini masih ada disana.
Nisa menyusuri tiap
lantai dan ruang di perpustakaan itu satu per satu, sampai akhirnya ia
melihat Riza sedang duduk agak tersembunyi di ruangan ujung. Hanya ada
tiga orang yang agak berjauhan di ruangan itu. Nisa pun melangkah
mendekat, berdiri di dekat kursi tepat di sebelah Riza.
"Apa aku boleh duduk di sebelah kamu Riz?" Suara Nisa membuat laki-laki itu menoleh dan kembali menatap padanya sejenak.
Riza menganggukkan
kepalanya, "Aku kira kamu sudah pulang, Nis. Barusan Tia nge-BBM bilang
kalau kalian sudah keluar dari perpustakaan".
Nisa duduk menyebelahi Riza dan Riza kembali menatap ke layar laptopnya. Sejenak Nisa memandangi Riza dalam diam.
"Aku ... aku minta maaf
kalau ada sikap dan kalimat aku yang melukai hati kamu, membuat kamu
tidak berkenan dan tersinggung, Riz," lanjut Nisa.
Riza lagi-lagi menoleh kepadanya, diam menatapnya.
Maaf kalau aku seperti
tidak menghargai kegigihan kamu melamar aku selama ini, maaf kalau aku
terkesan ingin mendekatkan kamu dengan Tia lagi. Kamu benar, yang paling
berhak memutuskan perempuan yang terbaik buat kamu ... itu kamu,"
sambung Nisa pelan tetap menatap Riza, mereka saling menatap satu sama
lain.
"Sebenarnya... aku
cemburu, Riza... aku cemburu melihat kamu dan Tia, melihat perhatian
kamu ke Tia, dan juga ... sikap dingin kamu ke aku saat ada Tia. Meski
aku juga sadar, aku tidak berhak dan tidak seharusnya merasa cemburu.
Itu sebabnya juga aku berusaha terlihat baik-baik saja dan tetap
tersenyum, Riz".
Riza tersenyum mendengar
kalimat Nisa yang terdengar jujur itu, pandangannya tetap ke gadis itu
yang kini terlihat menundukkan kepalanya.
"Aku senang bisa
mendengarnya langsung dari mulut kamu, Nisa. Meski kamu belum bisa
menjawab 'iya', tapi mengetahui kalau hati kamu juga cemburu dan terusik
melihat aku dan Tia, sudah jauh lebih dari cukup buat aku. Makasih ya,"
ujar Riza tersenyum lebih lebar kearah Nisa.
Nisa tertegun menatap kembali Riza dan balas tersenyum kepadanya.
"Maaf ya kalau sikap aku tadi dingin dan cuek ke kamu, Nis".
Nisa menganggukkan kepalanya pelan. Keduanya pun sama-sama tertawa.
"Oh iya, gimana sakit kepala kamu, Riz? Apa perlu aku belikan obat?" tanya Nisa lagi terlihat khawatir.
Riza menggelengkan
kepalanya dengan senyuman lebarnya. "Aku baik-baik aja, Nis. Tadi cuma
perlu istirahat sebentar aja. Apalagi setelah mendengar kalimat kamu
barusan, kepalaku makin terasa ringan he he".
Nisa tertawa, sedikit tersipu mendengarnya.
"Ada yang bisa aku bantu tentang skripsi kamu, Riz?"
Riza menatap lembut
kearah gadis itu dengan senyuman lebarnya. "Kamu duduk di sebelah aku
dan menemani aku mengerjakan skripsi, itu sudah cukup membantu aku,
Nis".
Kalimat Riza itu pun
membuat hati Nisa tersentuh meski ia berusaha menutupi rasa haru dan
senang di hatinya agar tidak berlebihan terlihat di wajahnya saat itu.
"Ya udah, kalau begitu
biar aku terusin merangkum jurnal kamu tadi sambil menemani kamu disini
ya. Nggak baik kan kalau membantu itu setengah-setengah," sambung Nisa
tertawa kecil setengah bercanda dengan Riza sambil menghidupkan lagi
laptopnya dibalas tawa Riza yang pecah mendengarnya.
"Oh iya hampir lupa, ini jaket kamu Riz. Apa mau aku cuciin dulu?" ucap Nisa dengan jaket Riza di tangannya.
"Hmmm... kalau kamu mau
menyimpan jaket itu juga gapapa, Nisa. Jaket itu kan salah satu saksi
bisu yang ada waktu aku pertama kali mengungkapkan perasaan aku ke kamu
di taman lalu melamar kamu di rumah sakit," jawab Riza tersenyum lebar.
Lagi-lagi Nisa tertawa
kecil mendengarnya, ia tidak menyangka Riza ternyata masih ingat momen
itu padahal setahu Nisa laki-laki biasanya tidak terlalu detail
mengingat setiap kenangan.
"Ngapain juga aku
menyimpan jaket kamu. Emangnya aku siapa kamu, Riza?" ucap Nisa sambil
menjulurkan lidahnya menggoda laki-laki di sebelahnya itu lalu kembali
tertawa.
"Kamu itu calon teman
hidup aku, Nisa. Jadi kalau sekarang kamu simpan jaket aku, nanti juga
jaket itu akan balik ke aku lagi setelah kita menikah. Iya ga?" jawab
Riza sambil memainkan alisnya dan tersenyum super lebar, laki-laki itu
terlihat semakin bersemangat menggoda perempuan di sampingnya itu. Nisa
tidak menjawab apa-apa, hanya tawa kecil pecah diantara keduanya. Nisa
menaruh jaket Riza di dekat tangan laki-laki itu.
"Bercandanya udahan ah,
Riz. Ayo lurusin niat dan fokus ke skripsi kamu lagi". Nisa terlihat
kembali fokus menatap layar laptopnya, melanjutkan merangkum jurnal
untuk salah satu acuan skripsi Riza sementara Riza masih senyum-senyum
sendiri sesekali memandangi sejenak perempuan di sebelahnya itu. Riza
mengambil handphone-nya yang tergeletak di sebelah laptopnya kemudian mengetikkan sesuatu ke gadis di sebelahnya itu. Beberapa detik kemudian, handphone Nisa berkedip, ada pesan masuk dan Nisa pun membukanya. Satu pesan dari Riza.
"Would you be my best
friend forever and ever (ind: Maukah kamu menjadi teman terbaik seumur
hidupku), Nisa? Maukah kamu menikah denganku? :)"
Nisa menoleh ke
laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Riza terlihat sedang asyik
membaca bahan-bahan terkait skripsinya dengan earphone terpasang
di kedua telinganya. Sesekali terlihat dari samping, laki-laki itu
tersenyum meski tetap fokus menghadap laptopnya membuat Nisa ikut
tersenyum lebar di sebelahnya.
"Terima kasih untuk kegigihan kamu masih memperjuangkan aku, Riza. Maaf kalau jawaban aku masih tetap sama seperti sebelumnya," ucap Nisa di dalam hatinya sebelum kemudian kembali fokus menatap laptopnya.
Bersambung
'Ruang Rindu'
Kalimantan Selatan,
9 Nov 2016
Kalimantan Selatan,
9 Nov 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar