Kamis, 12 April 2018

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku : Rizzar Ara Part 7 - Awal Sebuah Kejujuran (Peri Baik dan Kurcaci Raksasa)


Rizzar Ara Part 7 : Awal Sebuah Kejujuran (Peri Baik dan Kurcaci Raksasa)

Ara akhirnya memutuskan membalikkan badannya kembali ke dalam kafe. Ia menyadari tidak semudah membalik telapak tangan meredakan kekesalan Rizzar karena kebohongannya terlebih memaafkan kebohongan yang dilakukannya.
Ara pun kembali ke tempat duduknya di kafe itu. Ara hanya tersenyum kepada kakaknya yang duduk di hadapannya. Ia seolah sedang berdamai dengan perasaan dan pikirannya tentang Rizzar saat itu. Kakak Ara balas tersenyum tak bertanya seolah bisa membaca apa yang terjadi diantara adiknya dan Rizzar.
Ara sedang melanjutkan makannya ketika kakaknya menatap ke belakang Ara, membuat Ara ikutan menoleh. Terlihat Rizzar sedang berdiri di belakang Ara hampir menyejajarinya.
"Bisa kita bicara sebentar, Ra?"
Ara terdiam lalu mengangguk pelan.
"Ya udah, Ra... Kakak tunggu kamu di mobil ya. Silahkan duduk Riz, kebetulan Kakak sudah selesai makan juga" ujar Kakak Ara bangkit dari duduknya sambil tersenyum bergantian ke Ara dan Rizzar.
"Maaf, Kak... aku tidak bermaksud mengganggu. Biar aku dan Ara cari tempat duduk lain saja," ucap Rizzar merasa tidak enak hati ke Kakak Ara.
Ara masih terdiam di tempat duduknya sementara Kakak Ara terlihat tersenyum lagi-lagi menatap bergantian Rizzar dan Ara.
"Kalian bicarakan masalah kalian baik-baik ya biar tidak ada yang mengganjal dan semuanya menjadi jelas," sambung Kakak Ara lagi. Selepas mengucap salam, Kakak Ara pun meninggalkan tempat duduknya, menyisakan Ara berdua dengan Rizzar.
Rizzar pun duduk di hadapan Ara, menatap gadis itu. Hening kembali menyapa keduanya sebelum kemudian Ara memberanikan diri tersenyum kepada Rizzar. Ara selalu percaya bahwa saat ia tersenyum tulus, maka hati orang lain bisa ikut tersenyum karenanya, tak terkecuali Rizzar.
"Apa kamu sudah makan, Riz?" tanya Ara ragu.
Rizzar diam, tetap menatap gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya.
"Lebih baik kamu pesan makanan dulu sebelum kita bicara," lanjut Ara berusaha tersenyum lebih lebar dibalas anggukan pelan Rizzar. Ara pun langsung memanggil pramusaji. Rizzar memesan cappucino dan chicken steak serta air mineral. Rizzar masih tetap tak berucap, ia terlihat bingung harus memulai obrolan dengan Ara dari mana.
"Sekali lagi aku minta maaf, Riz. Aku benar-benar menyesal berpura-pura jadian dengan Viko," ucap Ara pelan akhirnya memutuskan memulai obrolan. Rizzar menatap padanya, Ara melihat ada raut kecewa disana tapi tak ada lagi kemarahan di wajah laki-laki itu.
"Aku tidak suka kebohongan, Ra," ucap Rizzar.
"Aku juga tidak menyukainya, Riz....," jawab Ara pelan, "hanya saja aku juga merasa kita tidak jujur satu sama lain". Ara mengaduk-aduk minumannya. Sementara Rizzar yang awalnya menatap kearahnya pun menundukkan pandangannya, ada sesal di raut laki-laki itu, rasa bersalah yang selama ini berusaha diabaikannya tentang Ara.
"Kenapa kamu harus berbohong, Ra?"
"Karena aku ingin kita bisa berbagi senyum dan tawa seperti dulu, lepas dan tidak terbebani apa-apa," ujar Ara tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke gelas minumannya sementara Rizzar terus menatapnya.
"Tapi kamu tahu pasti alasannya kenapa kita berjarak seperti ini, Ra".
Ara melihat kearah Rizzar sembari mengangguk pelan. "Ya, aku tahu, Riz. Mungkin aku terlalu berharap banyak tentang kita, bahwa kita bisa berteman dan bercanda dengan akrab padahal jelas-jelas kita punya pergaulan yang cukup berbeda meski dunia yang kita geluti sama," ujar Ara lagi-lagi tersenyum lebih lebar kearah laki-laki yang duduk di hadapannya itu, "ditambah lagi kamu punya cewek sedangkan aku single, membuat ruang menjadi lebih terbatas untuk kita bisa dekat".
Kopi pesanan Rizzar pun datang menyela diantara keduanya. Rizzar meminum cappucinopesanannya itu beberapa teguk. Sejak malam sebelumnya Rizzar langsung jatuh hati dengan menu di kafe langganan Viko itu, itu sebabnya Rizzar memutuskan kembali ke kafe tersebut malam ini meski ia harus memutar jauh. Kebetulan (?) itu pula yang menyebabkan dirinya sekarang bisa berbincang berdua lagi dengan Ara. Anehnya, tak ada lagi rasa kesal yang Rizzar rasakan ke gadis itu, entah sudah pergi kemana. Ara..., gadis itu seolah punya kemampuan untuk menghalau pergi dalam sekejap rasa kesal dan marahnya.
"Jujur, aku kangen masa-masa kita biasa bercanda lepas seperti dulu, Riz. Kamu itu seperti kurcaci yang nakal, suka bercanda dan usil banget, lucu tapi sekaligus nyebelin," sambung Ara tertawa kecil terlihat sedang memutar kembali memory-nya ke masa-masa itu sambil mengaduk-aduk minumannya. Rizzar tersenyum mendengar ucapan Ara itu. Memory Rizzar seolah juga kembali ke masa-masa itu.
"Aku juga merindukannya, Ra. Kita saling tertawa, aku suka ngusilin kamu dan ekspresi kamu yang lucu ketika itu. Kita saling berbagi, membahas banyak cerita kehidupan, berbagi ide sampai dengan kamu yang suka berbagi makanan denganku. Kita begitu riang dan menikmati masa-masa itu," ucap Rizzar dengan senyuman lebarnya melihat ke tangan Ara yang mengaduk-aduk gelas di hadapannya. Ara mendongakkan kepalanya dan menatap laki-laki itu dengan raut wajah tertegun. Ara tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut Rizzar yang selama ini cenderung memilih diam dan berjarak dengannya.
Laki-laki itu balas menatap Ara, Ara tersenyum lebih lebar kearahnya dibalas Rizzar dengan senyuman yang tak kalah lebar.
"Hmmm, ngomong-omong kurcaci, emang ada ya kurcaci segedhe aku, Ra? " tanya Rizzar sambil tertawa kecil.
"Kamu itu... kurcaci raksasa," jawab Ara ikutan tertawa kecil sambil menganggukkan-anggukkan kepalanya membuat Rizzar tergelak mendengarnya.
"Boleh boleh ha ha. Kalau aku jadi kurcaci raksasa, berarti kamu jadi...," terlihat Rizzar memikirkan lanjutan kalimatnya sejenak, "peri...".
"Peri?" tanya Ara.
Rizzar menganggukkan kepalanya. "Iya... peri... peri baik," jawab Rizzar sambil tersenyum membuat Ara tersenyum, merasa tersanjung mendapat julukan itu.
"Memangnya menurut kamu, aku baik, Riz?" tanya Ara lagi.
Rizzar memandangi gadis di hadapannya itu kemudian menganggukkan kepalanya.
"Kamu membagi senyum tawa, nasihat, pelajaran hidup sampai makanan dengan aku, itu artinya kamu baik, Ra. Kamu berusaha untuk baik, ramah, dan menghargai ke semua orang, itu artinya kamu baik. Kamu tetap baik dan tersenyum ke aku meski aku jelas-jelas berjarak dan memperlakukan kamu berbeda dan tidak semestinya, itu artinya kamu baik. Kamu peri baik yang berusaha untuk memahami segala sesuatu dari sisi aku, Ra".
Ara tersenyum kearah Rizzar, "Tapi Peri Baik ini sudah melakukan kebohongan untuk mengemis pertemanan yang lebih baik dengan Kurcaci Raksasa. Sepertinya Peri Baik sedang lelah".
Lagi-lagi Ara terdiam sejenak.
"Kebohongan tetap kebohongan, aku sadar aku salah, Riz. Aku terlalu memaksakan sesuatu yang mungkin akan lebih baik untuk dilepaskan, pertemanan aku dan kamu. Aku minta maaf ya, Riz. Aku ingin tetap menjadi peri yang baik dan tidak ingin berubah nama jadi peri pembohong apalagi peri jahat, jadi mungkin lebih baik Peri Baik pergi menjauh dari Kurcaci Raksasa," sambung Ara serius menatap Rizzar sambil tersenyum lebih lebar. Rizzar tertegun mendengar kalimat Ara itu dan hanya terdiam, disaat ia memberanikan diri untuk mulai memperbaiki pertemanannya dengan gadis itu justru gadis itu memutuskan untuk mundur dan menjauh.
"Dimanapun kita berada, sejauh apapun kita, Peri mendoakan yang terbaik buat kamu, Kurcaci Raksasa. Semoga kamu makin sukses dan bahagia di dalam kehidupan kamu, Riz. Dan satu lagi, ... selalu jadi orang baik ya," sambung Ara dengan senyuman lebar dan raut wajah seriang mungkin. Rizzar hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan tak berucap apa-apa.
"Selamat makan malam, Riz. Aku duluan ya".
Ara bergegas menghabiskan minumannya yang belum habis kemudian berpamitan ke Rizzar yang masih terdiam di tempatnya. Lagi-lagi Rizzar hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan sambil menjawab lirih salam Ara kepadanya.
Ketika itu chicken steak pesanan Rizzar datang. Namun, rasa lapar yang dirasakannya saat itu tiba-tiba hilang entah kemana. Padahal Rizzar belum makan sejak siangnya. Rizzar seolah masih shock mencerna ucapan Ara padanya sambil melihati punggung Ara hingga hilang dari pandangannya.
Rizzar hanya melihati chicken steak di hadapannya itu, tak lagi berselera menyentuhnya. Ada sebentuk kehilangan yang dirasakan hatinya saat itu, kehilangan Peri Baik. Rizzar pun bergegas menghabiskan cappucino-nya yang tak lagi terasa manis di lidahnya, hanya tersisa rasa pahit seperti rasa kehilangannya.
Rizzar pun meminta pramusaji membungkuskan makanannya yang tidak tersentuh sedikit pun itu sekaligus meminta bill pembayaran.
Sementara itu, Ara baru saja masuk ke dalam mobilnya. Terlihat Kakak Ara menatap kearahnya.
"Gimana? Apa semuanya sudah jelas diantara kalian?" tanya Kakak Ara tersenyum manis ke Ara. Ara tersenyum. "Insyaa Allah, Kak. Semoga ini keputusan yang paling baik buat aku dan Rizzar," ucap Ara ragu. Ada perasaan yang mengganjal dan tidak nyaman di hatinya, entah kenapa.
Di lain tempat, Rizzar terlihat berjalan gontai ke mobilnya. Beberapa saat kemudian laki-laki itu sudah duduk di dalam mobilnya meski tak kunjung ia menyalakan mesinnya.
Pikirannya masih mengulang-ulang apa yang terjadi diantara dirinya dan Ara di dalam kafe sebelumnya. Ia keluarkan handphone-nya dari sakunya kemudian melihati nomor kontak bernama Ara. Rizzar tersenyum dan mengganti nama ARA dengan sebutan PERI BAIK. Tiba-tiba wajah laki-laki itu berubah sendu, "Kenapa kamu harus memutuskan pergi, Peri Baik? Padahal Kurcaci Raksasa ingin Peri Baik menemaninya". Tiba-tiba Rizzar merasakan sakit di lambungnya, sakit yang sebenarnya sudah dirasakannya beberapa saat sebelumnya tapi berusaha diabaikannya, "Sakit maagku sepertinya kambuh gara-gara aku tidak makan dari siang ditambah hanya minum kopi barusan," ucapnya pelan menarik nafasnya dalam-dalam sambil memegangi lambungnya yang sakitnya makin menjadi sembari menyandarkan kepalanya di kursi mobilnya beberapa saat. Berusaha kembali mengabaikan sakitnya, Rizzar pun mengemudikan mobilnya, pulang.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam saat Ara masuk kedalam kamar tidurnya. Ia mengecek beberapa pesan masuk di handphone-nya ketika kemudian ia teringat kembali obrolannya dengan Rizzar. Ara tidak memungkiri bahwa dia memang menyukai laki-laki itu sejak beberapa tahun lalu saat awal-awal mereka bertemu, tapi Ara juga sadar perasaan itu hanya bisa disimpannya rapi untuk dirinya sendiri. Terlepas dari rasa sukanya, Ara tetap ingin bisa berteman dengan Rizzar, sebelum akhirnya Ara merasa bahkan sekedar berteman dengan Rizzar pun tidak mudah baginya dan akhirnya dia memutuskan mundur seperti yang dikatakannya kepada laki-laki itu di kafe tadi. Ara ingin tetap menjadi Peri Baik untuk Kurcaci Raksasa, seperti sebutan yang diberikan Rizzar untuknya.
"Kurcaci Raksasa," ucap Ara lirih sambil tersenyum lebar. Ara membuka nomor kontak bernama Rizzar di handphone-nya, kemudian mengedit nama kontak itu dengan sebutan Kurcaci Raksasa. Ada  semacam rasa "sakit" yang dirasakan Ara saat itu mengingat keputusannya untuk berjarak dari Rizzar meski di sisi lain Ara merasa itu baik untuk Rizzar dan Ara. Selain itu ada perasaan tidak enak yang tetap dirasakannya sejak ia dalam perjalanan pulang dari kafe hingga saat ini dan entah kenapa beberapa kali Ara justru teringat tentang Rizzar.
"Semoga kamu baik-baik saja, Kurcaci Raksasa".
Sementara itu, Rizzar baru tiba di halaman rumahnya saat arlojinya menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Rizzar memegangi lambungnya yang makin terasa sakit itu sambil bergegas masuk ke rumahnya. Ia mengambil obat maag di kotak P3K kemudian hendak mengambil air putih di dekat tempat makan ketika Mama Rizzar menghampirinya.
"Baru pulang, Nak? Kamu sudah makan?" tanya Mama Rizzar.
"Rizzar tidak lapar lagi, Ma. Itu barusan Rizzar beli chicken steak, belum Rizzar makan sama sekali," ujar Rizzar pelan. Raut wajahnya terlihat lesu.
Mama Rizzar duduk disebelah Rizzar mengamati Rizzar yang memegangi lambungnya sambil meminum obat maagnya.
"Sakit maag kamu kambuh, Riz?"
"Iya, Ma. Tadi Rizzar telat makan," jawab Rizzar pelan.
"Mama bikinin makanan kesukaan kamu ya," ujar Mama Riza lagi dibalas gelengan kepala Rizzar.
"Makasih, Ma... tapi Rizzar nggak lapar. Lagipula perut Rizzar masih mual. Rizzar mau tidur aja".
Mama Rizzar terlihat menempelkan punggung telapak tangannya ke kening Rizzar. "Kamu demam, Nak".
Rizzar tersenyum kearah mamanya, "Rizzar gapapa, Ma. Rizzar cuma kecapekan aja. Rizzar ke kamar dulu ya, Ma".
Setelah sholat Isya', Rizzar pun langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuknya. Ia berusaha memejamkan matanya diantara lambungnya yang masih terasa sakit dan perutnya yang masih saja mual. Namun entah kenapa pikirannya masih saja berkeliaran mengingat kalimat Ara di kafe tadi membuat pusing di kepalanya akibat demam makin terasa. Perlu beberapa menit untuk Rizzar sebelum akhirnya laki-laki itu bisa terlelap dalam tidurnya.
Jam di dinding kamar Rizzar menunjukkan hampir pukul dua belas malam saat Mama Rizzar masuk ke kamar Rizzar, mengecek kondisi Rizzar yang sedang tidak enak badan itu. Rizzar tertidur dalam posisi meringkuk memegangi lambungnya, terlihat keringat dingin memenuhi wajahnya dan tubuh laki-laki itu. Tubuh Rizzar pun sangat panas ketika Mama Rizzar memegangnya sehingga Mama Rizzar pun mengompres Rizzar berusaha menurunkan demamnya.
"Peri... peri... ," terdengar Rizzar mengigau dalam demam dan tidurnya.
Mama Rizzar mengusap-ngusap lembut tangan Rizzar yang memegang perutnya sambil satu tangannya lagi mengusap-usap lembut rambut buah hatinya itu.
"Apa lambung kamu terasa perih, Nak? Kita periksa ke dokter ya," ujar Mama Rizzar berusaha membangunkan Rizzar, tapi laki-laki itu tak mendengarnya. Mata Rizzar tetap terpejam dan tubuhnya masih menggigil akibat demamnya.
"Peri... jangan pergi Peri Baik.... , Ara... jangan pergi Ra," terdengar lagi Rizzar mengigau dalam tidurnya.
"Peri Baik? Ara?" gumam Mama Rizzar lirih bertanya-tanya sambil mengganti kompresan Rizzar. Mama Rizzar mengambil handphone Rizzar yang tergeletak tak jauh dari tangan Rizzar satunya. Terlihat nama kontak bernama "Peri Baik" disana.
"Ara... jangan pergi, Ra...," lagi-lagi Rizzar mengigau.
Di lain tempat Ara masih membaca buku berusaha untuk terlelap sambil mendengarkan kumpulan lagu di handphone-nya menggunakan earphone-nya. Matanya dari tadi tak kunjung bisa terpejam, seolah ada yang mengusik di hatinya meski Ara tidak tahu apa sebabnya. Terlihat handphone Ara bergetar, sebuah panggilan masuk dari Kurcaci Raksasa membuat Ara ragu untuk menjawabnya. Ara sudah bertekad akan mengambil jarak dengan Rizzar, tapi di satu sisi ada bisikan hatinya untuk mengangkat panggilan itu. Ara hanya melihati sembari mengusap-usap layar handphone-nya ketika tidak sengaja ia menyentuh kata "jawab" di layar handphone-nya. Ara baru akan menutup panggilan itu ketika terdengar suara lembut perempuan dari nomor Kurcaci Raksasa itu.
"Assalaamualaikum, boleh tahu ini nomer siapa? Ini Mama Rizzar yang bicara".
Ara tertegun mendengarnya dan melepaskan earphone dari handphone-nya.
"Waalaikumsalam, Tante. Ini... Ara, yang pernah main FTV bareng Rizzar. Maaf ada apa ya, Tante?" jawab Ara.
"Jadi ini nomer Ara, kalo Ara tentu saja Tante ingat orangnya. Maaf kalau Tante mengganggu malam-malam begini. Soalnya di nomer kontak handphone Rizzar tertulis Peri Baik dan beberapa kali Rizzar mengigau menyebut Peri dalam demamnya".
Ara terdiam mendengarnya.
"Rizzar sakit?" batin Ara bertanya, ada khawatir yang menjelma nyata di hatinya.
"Tidak apa-apa, Tante. Kebetulan Ara belum tidur juga," jawab Ara kepada Mama Rizzar kemudian,
"Rizzar sakit apa, Tante?"
"Sakit maagnya kambuh dan badannya demam sampai mengigau memanggil nama kamu dan Peri. Apa ada masalah diantara kalian, Nak?"
Ara terdiam sejenak. "Enggak, Tante. Tadi..., kami cuma bicara dan menyepakati sesuatu. Padahal tadi Rizzar memesan makan malam juga, Tante," jawab Ara lagi.
"Oooh, jangan-jangan chicken steak yang dibawa Rizzar pulang tadi yang belum sama sekali dimakannya karena katanya ia tidak lapar. Tante nggak tahu ada apa diantara kamu dan Rizzar, Ra. Tapi apa Ara keberatan kalau Tante minta tolong kamu buat datang kemari dan bicara lagi dengan Rizzar?"
Ara lagi-lagi terdiam. Belum sempat Ara menjawab pertanyaan Mama Rizzar itu ketika terdengar suara Rizzar memanggil mamanya.
"Mama kok belum tidur?" terdengar suara laki-laki itu bertanya ke mamanya.
"Kamu demam tinggi, Nak... makanya Mama kompres kening kamu biar demamnya bisa cepat turun," terdengar lembut suara Mama Rizzar di telinga Ara.
"Rizzar gapapa, Ma... cuma perlu istirahat aja. Mama istirahat ya. Insyaa Allah besok kondisi Rizzar udah baikan. Oh iya, Mama lihat handphone Rizzar?" terdengar suara Rizzar lagi.
"Ini Mama pegang Nak. Handphone-nya Mama matikan ya biar kamu bisa benar-benar istirahat...," terdengar suara Mama Rizzar lagi kemudian tak ada lagi suara apa-apa di telinga Ara.
Ara terdiam memandangi layar handphone-nya, panggilan dari Mama Rizzar tadi membuat Ara kepikiran kondisi Rizzar dan memikirkan kembali keputusan yang diambilnya.
"Apa keputusan aku berjarak dengan Rizzar salah? Bukannya selama ini itu yang diinginkan Rizzar?" ucap Ara lirih.
Sementara itu, di tempat lain, Mama Rizzar mencium kening Rizzar yang masih panas itu sebelum kemudian meninggalkan kamar Rizzar setelah Rizzar beberapa kali meyakinkan beliau bahwa kondisinya akan membaik esok harinya. Segera setelah Mamanya keluar dari kamarnya, Rizzar pun kembali terlelap.
Esok paginya, waktu menunjukkan pukul 06.00 saat Rizzar yang baru bangun dari tidurnya bergegas menuju meja makan. Kepalanya masih sedikit pusing, meski suhu badannya sudah mendekati normal. Terlihat Mamanya sudah menyiapkan makanan kesukaan Rizzar untuk sarapan. Lagi-lagi Rizzar meneguk obat maagnya untuk mengurangi rasa mual yang masih sedikit dirasakannya.
"Gimana demam kamu, Nak?" tanya Mama Rizzar sambil mengecup ubun-ubun Rizzar dan menempelkan telapak tangannya di kening Rizzar.
"Sudah mendingan kok, Ma," jawab Rizzar tersenyum tipis.
"Ya udah sekarang kamu makan ya, biar sakit maagnya cepet sembuh dan ga kambuh lagi. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu, Nak".
"Iya, makasih banyak, Ma".
Rizzar memandangi makanan kesukaannya yang terhidang di meja itu, ingin sekali ia memakannya tapi perutnya sama sekali tidak terasa lapar. Tiba-tiba kalimat Ara beberapa saat sebelumnya kembali terngiang di kepalanya.
"Aku bisa merasakan bekal itu dipenuhi cinta Mama kamu ke kamu. Kamu pasti bisa melihatnya juga kan, Riz?"
Rizzar tersenyum kemudian menarik nafasnya dalam-dalam. Ada sedih yang menyusup di hatinya saat teringat kembali kalimat Ara tadi malam. Meski demikian, Rizzar mengambil dua sendok makanan kesukaannya itu ke dalam piringnya lalu menyuapkannya kedalam mulutnya. Ia tidak ingin mengecewakan Mamanya yang sudah membuatkan makanan itu penuh cinta sekaligus ia tidak ingin lemah karena sakit maagnya.
Seusai makan, Rizzar bergegas duduk di kursi santai yang menghadap taman di bagian belakang rumahnya, ia ingin menenangkan pikirannya yang masih saja terkurung oleh sosok Ara. Entah kenapa ucapan Ara semalam masih saja menyisakan sesak di hatinya.
Di depan pintu rumah Rizzar, setengah ragu akhirnya Ara mengetuk pintu itu setelah beberapa menit lamanya di berdiri dan menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Beberapa menit setelah Mama Rizzar menelepon, Mama Rizzar mengirimkan alamat rumahnya via SMS ke Ara dari handphone Rizzar. Jadilah pagi itu Ara memutuskan pergi ke alamat tersebut untuk pertama kalinya, ditemani kakaknya yang sengaja tak ikut masuk ke halaman rumah Rizzar dan menunggu di mobil. Ara langsung menyalami dan mencium punggung tangan Mama Rizzar yang membukakan pintu untuknya dengan senyuman hangat terlihat di wajah beliau.
"Alhamdulillah, Ara mau datang kemari. Maaf semalam Tante langsung mematikan panggilan di tengah pembicaraan kita karena Rizzar tiba-tiba terbangun".
Ara tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Ara mengerti, Tante. Oh iya, gimana kondisi Rizzar? Apa dia sudah bangun?"
"Dia sudah bangun, Ra. Demamnya juga sudah turun, meski badannya masih hangat. Nafsu makannya sepertinya masih belum pulih seperti semula, barusan Tante lihat dia hanya makan sedikit saja makanan kesukaannya. Dia bilang belum lapar dan perutnya masih mual. Tante sudah bilangin Rizzar buat istirahat di kamar, tapi Rizzarnya tetap pingin tidur-tiduran di taman belakang".
Ara hanya mendengarkan penjelasan Mama Rizzar sembari mengikuti kemana Mama Rizzar berjalan sambil menggandeng tangan Ara.
"Tante harap kalian bicara baik-baik ya, biar ga ada yang mengganjal di hati masing-masing," sambung Mama Rizzar dibalas anggukan pelan Ara.
Mama Rizzar menghentikan langkahnya, beliau mempersilahkan Ara untuk bicara empat mata dengan Rizzar yang terlihat berbaring di salah satu kursi santai sambil memandangi bunga-bunga di hadapannya. Sementara itu, Mama Rizzar kembali ke dapur membuatkan minuman buat Ara.
Kini tinggallah Ara berdua dengan Rizzar di taman belakang itu. Sejenak Ara memandangi laki-laki itu yang terlihat setengah melamun dengan wajah sayu itu. Pelan-pelan, Ara mengambil selimut yang tergeletak di kursi di dekat Ara kemudian langsung menyelimutkannya ke tubuh Rizzar, membuat Rizzar spontan menoleh kearahnya.
"Pagi Kurcaci Raksasa. Bukannya kamu masih demam, kok malah tidur-tiduran disini dan bukannya istirahat di kamar?"
Dengan raut terkejut, nyaris tak berkedip Rizzar terlihat memandangi Ara yang tersenyum kepadanya.
"Nggak...ga mungkin Peri Baik ada disini. Dia sudah memutuskan buat pergi dan menjauhi aku," ucap Rizzar lirih sambil beberapa kali menepuk-nepuk pipinya sendiri agar tidak berhalusinasi, "Ini pasti gara-gara aku demam dan terlalu kepikiran Ara". Lagi-lagi Rizzar menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, membuat Ara merasa bersalah ke laki-laki itu karena keputusannya semalam.
"Kamu nggak berhayal, Kurcaci Raksasa. Ini aku, Riz. Peri Baik memutuskan untuk tidak jadi pergi,Kurcaci Raksasa. Dia akan tetap menemani Kurcaci apapun yang terjadi," sambung Ara lagi sembari tersenyum lebih lebar.
Rizzar menatap Ara cukup lama, kemudian lagi-lagi menggelengkan kepalanya pelan.
"Ara ga mungkin datang kemari, Ara sudah memutuskan buat pergi," ujar Rizzar lagi sambil memejamkan matanya dan menutup rapat kedua telinganya dengan tangannya, tidak ingin mendengar suara-suara yang menurutnya tidak nyata itu. Sikap Rizzar itu pun membuat Ara tertegun di tempatnya, ia tidak menyangka Rizzar akan bereaksi seperti itu tentangnya. Selama ini Ara selalu merasa bahwa hanya Ara yang terlalu terbawa perasaan tentang pertemanan keduanya, tapi kini Ara sadar ternyata ia salah. Rizzar juga  merasakan hal yang sama meski laki-laki itu memilih untuk tidak memperlihatkannya.
Mama Rizzar yang saat itu hendak menyapa sejenak Ara dan Rizzar sembari membawakan minuman buat Ara pun terkejut melihat reaksi Rizzar terhadap Ara.
"Kamu nggak berhayal, Nak. Ini memang Ara. Mama yang meminta Peri Baik ini datang kemari dan bicara sama kamu, Riz," jelas Mama Rizzar sambil mengusap lembut kepala Rizzar. Rizzar pun mendongakkan kepalanya dan memandangi mamanya itu. "Mama tahu darimana tentang Peri Baik?"
Mama Rizzar tersenyum, "Semalam kamu mengigau memanggil Peri, Peri Baik. Mama lihat handphone kamu yang tergeletak, Mama nekat membukanya, tertera nama Peri Baik disana. Mama coba menghubungi nomer itu, Nak. Ternyata Peri Baik itu Ara. Mama sengaja meminta Ara datang kemari untuk bicara dengan kamu, Riz".
Rizzar menoleh kearah Ara, terlihat gadis itu tersenyum lebar kepadanya, ada rasa bersalah di tatapan Ara padanya itu.
"Sekarang Rizzar sudah percaya kan kalau itu benar-benar Ara?" tanya Mama Rizzar lagi. Rizzar menganggukkan kepalanya pelan.
"Sekarang Rizzar bicara empat mata baik-baik ya sama Ara, biar nggak ada lagi yang mengganjal di hati masing-masing. Mama tinggal ke dapur dulu ya," sambung Mama Rizzar diikuti anggukan kepala baik Rizzar maupun Ara. Kembali hening menyapa keduanya sesaat setelah Mama Rizzar masuk ke dalam rumah.
Rizzar terlihat menegakkan duduknya sambil melihati bunga-bunga di hadapannya.
"Apa Peri Baik boleh duduk menemani Kurcaci Raksasa?" tanya Ara sambil tersenyum lebar kearah Rizzar.
Rizzar menoleh dan membalas senyuman Ara tak kalah lebar, lagi-lagi menganggukkan kepalanya pelan.
"Kenapa kamu datang kemari, Ra? Semalam kamu bilang kalau kamu mau pergi menjauh dari aku. Apa Mama aku yang memaksa kamu datang?"
Lagi-lagi Ara tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada yang memaksaku datang, Riz. Aku datang karena aku menyesal sudah mengucapkan kalimat itu semalam. Mana ada Peri justru pergi meninggalkan Kurcaci? Yang ada, Kurcaci yang lebih mungkin menjauhi Peri karena dia ingin bermain dengan putri cantik yang disukainya dan banyak orang serta melihat dunia lebih luas. Itu sebabnya aku datang, aku mau memberitahu Kurcaci bahwa Peri akan selalu menemani Kurcaci apapun situasinya sejauh apa pun kita terpisah, Peri tidak akan pergi meski Kurcaci kelak mungkin tak lagi mengingat Peri".
Ara kembali tersenyum lebar, menatap penuh kesungguhan kearah Rizzar. Rizzar tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, dia bisa melihat ketulusan Ara saat mengucapkan kalimat itu. Entah kenapa, hati dan pikirannya tiba-tiba terasa lega mendengarnya.
"Lagi pula aku ga mau sebutan kamu buat aku nanti berubah, Riz. Ntar kamu panggil aku Peri Kabur lagi, he he". Lagi-lagi kalimat Ara yang setengah bercanda itu membuat laki-laki itu tertawa.
"Oh iya, katanya sakit maag kamu kambuh ya? Semalam kamu tidak jadi makan di kafe?"
Rizzar meringis ke perempuan yang melihat kearahnya. "Kalimat kamu semalam langsung membuat rasa laparku jadi hilang, Ra. Padahal dari siang aku belum sempat makan, ditambah minum cappucino, jadilah lambung aku teriak-teriak menghukum empunya tubuh, he he," jelas Rizzar malu-malu membuat pengakuan.
"Maaf ya, aku tidak bermaksud mengusir rasa lapar kamu, Riz," jawab Ara sambil tersenyum, "tapi sesibuk apapun aktivitas kamu, kamu ga boleh sampai lupa makan, Rizzar. Sayangi lambung kamu, Kurcaci Raksasa".
"Iya, Peri Baik," ucap Rizzar tersenyum lebar, kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pertanyaan selanjutnya, kenapa kamu cuma makan sedikit pagi ini, padahal Mama kamu sudah membuatkan makanan kesukaan kamu buat menambah nafsu makan kamu? Katanya kamu tidak makan dari kemarin siang? Kamu suka kalo sakit maag kamu ga sembuh-sembuh ya?"
Rizzar lagi-lagi meringis sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Dari semalam sampai tadi pagi, aku bener-bener ga merasa lapar, Peri. Perut aku juga masih agak mual. Tapi aku ingat kata-kata kamu waktu di lokasi syuting dulu bahwa Mama sudah membuatkan makanan itu dengan penuh cinta buat aku. Makanya aku paksain makan meski cuma dua sendok, Peri," jelas Rizzar lagi, "tapi... sekarang baru berasa laparnya, Peri. Kurcaci janji bakal makan sebanyak-banyaknya makanan yang dibuat Mama dengan penuh cinta itu he he".
Ara tersenyum mendengarnya, laki-laki itu bernama Rizzar itu terlihat seperti anak kecil saat itu di hadapannya.
"Hmmm oke," ucap Ara lagi, "ketiga, Kurcaci kan semalam demam, terus kenapa sekarang bukannya  istirahat di kamar malah duduk-duduk di luar?"
Rizzar lagi-lagi meringis, "Aku... aku cuma ingin menenangkan diri, Peri. Dari semalam pikiran aku dipenuhi dengan Peri soalnya. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran aku, makanya aku berusaha nyari pelarian dengan melihat bunga-bunga disini. Tapi sejak Peri datang, anehnya beban itu tiba-tiba terasa hilang, Kurcaci janji bakal istirahat dikamar setelah ini he he".
Ara mengacungkan jempolnya dan tersenyum mendengar jawaban jujur dan polos Rizzar itu. Sudah lama rasanya, Ara tidak pernah melihat kepolosan Rizzar seperti saat ini.
"Peri temani Kurcaci makan di dalam yuk...," ujar Rizzar lagi diikuti anggukan kepala Ara. Ara membawa masuk minuman untuknya, mengikuti Rizzar yang berjalan di depannya.
Mereka pun duduk di meja makan keluarga Rizzar itu. Rizzar mengajak Ara makan sekalian bersamanya, tapi dengan halus Ara menolaknya karena kebetulan ia sudah makan sebelumnya. Ara melihati Rizzar yang menuangkan makanan kesukaan buatan Mamanya ke piringnya, terlihat mulut laki-laki itu sejenak komat kamit berdoa ketika kemudian Rizzar kembali melihat dan tersenyum ke arah Ara.
"Hmm kenapa, Riz? Ayo dimakan," ujar Ara sambil meneguk minumannya.
"Kurcaci boleh mengajukan satu permintaan ga, Peri Baik?" tanya Rizzar tersenyum lebar kemudian meringis.
Ara tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Peri kan baik ya... boleh ga kalau Kurcaci minta makannya disuapin Peri? he he".
"Kurcaci... namanya juga Kurcaci Raksasa, udah lebih dari gedhe, masak makan masih disuapin? Kurcaci kan bisa makan pakai tangan sendiri," jawab Ara terlihat tegas tapi tetap tersenyum ke laki-laki itu.
"Sekali aja Peri Baik, please... . Lagi pula tadi Peri Baik kan sudah terlanjur mengiyakan permintaan Kurcaci," lanjut Rizzar tak mudah menyerah membuat Ara pun akhirnya memenuhi permintaan laki-laki itu. Ini kali pertama Ara melihat sisi lain Rizzar yang belum pernah dilihatnya, biasanya laki-laki itu tak pernah sekekanakan seperti hari ini.
Ia mengambil sendok makan dari piring Rizzar itu. "Bismillaah, semoga makanan ini berkah untuk tubuh kamu, Riz," ucap Ara sambil tersenyum kemudian menyuapkan sesendok makanan itu ke mulut Rizzar.
Rizzar tersenyum lebar mendengarnya, penuh semangat Rizzar mengunyah makanan yang disuapkan oleh Ara. Gadis itu pun menunggui Rizzar sampai laki-laki itu menghabiskan makanan di piringnya sambil ia sendiri menghabiskan minuman yang dibuatkan Mama Rizzar untuknya. Mama Rizzar yang mengamati keduanya tak jauh dari sana, ikut tersenyum melihat kelakuan mereka. Ada lega di hati beliau melihat Rizzar sudah kembali ceria dan bersemangat.
"Makasih banyak sudah datang kemari, Peri Baik. Terima kasih karena Peri Baik memutuskan tidak pergi. Terima kasih, Ra," ucap Rizzar menatap Ara sambil tersenyum lebar kearahnya.
Ara balas tersenyum tak kalah lebar ke laki-laki itu, "Satu hal yang kamu harus ingat, Riz... dimana pun kita masing-masing berdiri dan sesulit apapun situasi diantara kita, Peri Baik akan tetap ada di tempat yang sama, menemani Kurcaci Raksasa dan tidak meninggalkannya. Bahkan jika Kurcaci pergi, Peri akan selalu menunggu Kurcaci untuk kembali berbagi cerita, senyum dan tawa bersamanya lagi".
Rizzar menganggukkan kepalanya, sekali lagi terdengar ia mengucap terima kasih sebelum gadis itu pergi.

- Bersambung -

Tersedia Selanjutnya Part Khusus Peri Kurcaci

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku : Rizzar Ara Part 8 Superman dan Peri Baik yang Terlupa


Rizzar Ara Part 8: Superman dan Peri Baik yang Terlupa

Rizzar membuka sosmed-nya hari itu, melihati sejenak angka yang tertera di barisan followers-nya menunjukkan nyaris 6 juta orang. Laki-laki itu tersenyum, ia tiba-tiba merasa bangga dengan pencapaian dirinya sendiri sebagai aktor yang digilai kaum hawa. Ia membuka komen di unggahan terakhirnya di lokasi project terbarunya. Ratusan ribu like sudah mendarat disana bersama ribuan komen. Bermacam pujian tertuju padanya, sebagian berisi rayuan dan gombalan bahkan tak jarang berisi ajang menjodoh-jodohkan dirinya dengan beberapa artis cantik yang pernah main bersamanya. 
Rizzar hanya tersenyum membacanya sekilas, biasanya dia nyaris sama sekali tak melihati detail komen di unggahannya. Pandangan Rizzar tiba-tiba terusik saat mendapati sebuah akun bernama "Peri_Baik" yang ikut mengomeni unggahan Rizzar lima hari yang lalu.
"Semangat. Go Go Go, Superman! Stay healthy and keep happy w/ your life. Semoga selalu dalam lindungan Allah 😊," tulis akun dengan foto profil kartun peri dan kurcaci itu. 
"Ara...," bisik Rizzar lirih spontan, "apa mungkin kamu Ara?" 
Sudah lama Rizzar tak pernah lagi bertemu gadis itu terlebih setelah jarak membentang sangat-sangat jauh diantara keduanya. Entah siapa yang berharap untuk berjauhan, semuanya terjadi begitu saja. Rizzar pun cuek tentang hal itu, baginya prioritas utamanya menjadi seseorang yang kaya dan terkenal. Begitulah definisi sukses dimatanya. Dengan kaya, dia akan bisa membahagiakan keluarganya. Dengan terkenal, ia merasa akan lebih bahagia.
"Kebahagiaan itu kuncinya ada di hati kita, Riz," ucapan Ara yang tersenyum lebar dan tulus saat keduanya beradu akting pertama kali beberapa tahun lalu kembali hadir dalam sekelebat bayangan Rizzar. Rizzar tersenyum kecil. Satu hal yang tak pernah ia lupa tentang Ara adalah ketulusannya melakukan banyak hal dengan dan dari hati. Gadis itu percaya bahwa sesuatu yang dilakukan dari hati akan menyentuh hati meski gadis itu juga sadar ia tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Ara benar, ketulusan hati Ara pun menyentuh hati Rizzar, sayangnya... tidak dengan biasa. Rizzar menarik nafasnya dalam-dalam kemudian hendak menutup halaman instagramnya, tapi matanya justru terpaku membaca komen bernama "Peri_Baik" itu berulang-ulang. Entah kenapa, hati dan pikiran laki-laki itu tak bisa tak terusik tiap kali berhubungan dengan Ara. Rizzar kembali menarik dalam-dalam nafasnya. 
"Nggak ada yang bisa kamu lakukan soal Ara, Riz. Kamu dan Ara terlalu jauh dan berbeda," ucap Rizzar lirih. 
Ada sedih kembali terselip di hatinya setelah sekian lama Rizzar melepaskan dan lupa tentang gadis itu. Beberapa bulan ini, Rizzar sangat menikmati kehidupannya. Kariernya sebagai aktor yang terus menanjak, semakin banyak fans yang peduli dan sayang kepadanya membuat dia menjadi manusia yang semakin mendapat pengakuan. Rizzar merasa puas saat ia bisa berbagi keceriaan dan kebahagiaan bersama fans dan teman-teman artisnya. Ia senang karena ia bisa membahagiakan keluarganya dengan kerja kerasnya. Ia pun senang bisa menjadi laki-laki yang dapat diandalkan buat ceweknya. Ia seolah menjelma menjadi superman, kuat dan handal. Sebenarnya, tidak seperti membalik telapak tangan buat Rizzar melupakan Ara. Laki-laki itu hanya berusaha tidak memberi celah untuk dirinya sendiri memikirkan Ara. Rizzar mengalihkan pikirannya ke banyak hal selain Ara. Saat awal Peri Baik dan Kurcaci Raksasa memperbaiki pertemanan mereka, keduanya optimis mereka bisa lebih baik, tapi jauhnya jarak dan kesibukan di dunia masing-masing yang berbeda, membuat keduanya putus komunikasi. Hanya bedanya, kali ini terjadi begitu saja bukan karena Rizzar berusaha menghindari gadis itu. Terlebih handphone Rizzar sempat terformat tanpa back up begitu pun Ara yang baru berganti nomor, membuat semesta semakin mendukung untuk keduanya tak lagi menyambung komunikasi.
"Peri Baik akan tetap ada di tempat yang sama, menemani Kurcaci Raksasa dan tidak meninggalkannya," lagi-lagi ucapan Ara kembali terngiang, membuat lengkungan lebar berbentuk senyum di bibir Rizzar. 
"Apa kabar Peri Baik? Apa Peri masih sabar menunggu dan menemani Kurcaci? Apa ini kamu, Ra?" monolog Rizzar membaca komen dari Peri_Baik sekali lagi sebelum kemudian meninggalkan tanda like dan menutup layar instagramnya.
Beberapa bulan terakhir, Ara pun sibuk dengan dunianya, mewujudkan cita-citanya di luar keartisan dan menikmati pergaulan dengan teman-teman kuliah dan sekolahnya. Perlahan ia berusaha mengurangi pengaruh gemerlapnya dunia entertainment dan menikmati kehidupannya sebagai perempuan biasa dan bukan sebagai artis. Ara menemukan kebahagiaan dan ketenangan disana, ia merasa lebih bebas dan bisa lebih memaknai bahagia dengan lebih dan lebih sederhana dan mudah. Ara mengikuti ajakan temannya melakukan beberapa kegiatan sosial, membuat Ara belajar untuk lebih berbagi dan mensyukuri kehidupannya. Dan itu semakin membuat Ara bahagia. Ara tetap aktif di instagramnya, sesekali Ara mengikuti aktivitas Rizzar lewat sana. 
Seperti seminggu yang lalu, ia melihat foto Rizzar tertawa bahagia dan penuh semangat bersama rekan-rekan lawan mainnya di lokasi syuting. Seperti biasa Ara tersenyum melihatnya. Selama ini apapun perasaan tidak nyaman atau sedih sempat menghampirinya soal Rizzar, Ara selalu berusaha mengabaikannya. 
"Bukankah Peri Baik harusnya bahagia saat Kurcaci Raksasa bahagia? Apalagi sekarang Kurcaci Raksasa menjelma menjadi Superman," Ara kembali mengucapkan kalimat yang sama.
Ara pun tersenyum lebar mendengar ucapannya sendiri. 
Tiba-tiba saja Ara ingin meninggalkan komentar di unggahan Rizzar itu, tapi ia sadar tidak mungkin baginya meninggalkan komentar dengan akun instagram aslinya. Ara tidak ingin ada salah paham lagi diantara dirinya dan Rizzar serta orang-orang di sekitarnya. Ara tiba-tiba mendapat ide untuk membuat akun samaran bernama "Peri_Baik". "Bukankah dirinya ingin bicara kepada Rizzar bukan sebagai artis, melainkan sebagai Kurcaci Raksasa yang bisa menjelma sebagai Superman," batin Ara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa kecil, "lagipula belum tentu juga Rizzar bakal menyadari bahkan sekedar membaca komennya".
Begitulah ceritanya hingga komen Peri_Baik itu akhirnya 'nangkring' diantara komen fans dan beberapa teman Rizzar. Seminggu berlalu, Ara tak pernah lagi membuka akun samarannya sampai hari ini ia mendapatkan sebuah ilustrasi karikatur lucu tentang Peri dan Kurcaci yang kemudian menjelma menjadi Superman dari teman dekatnya yang suka menggambar ilustrasi. Teman Ara sengaja memberikan karikatur itu sebagai hadiah kecil buat Ara setelah sebelumnya ia melihat gambar coret-coretan Ara di kelas. Saat Ara mendapat kiriman karikatur di-email-nya, Ara sempat kaget. Saking senangnya, Ara sampai membombardir temannya dengan tanda banyak sekali. Untung saja, teman Ara perempuan he he. Bahkan Ara langsung mengunggah fotonya berdua teman dekatnya itu di akun resminya dengan caption ucapan terima kasih dan kalimat penghargaan Ara buat kreativitas temannya itu tentunya tak lupa dilengkapi dengan doa dan harapan baik dari Ara buat temannya.
Setelah itu, Ara login di akun Peri_Baik, terlihat ada 100 notif  tanda like di komentar Ara buat Rizzar, pasti dari fans Rizzar. Tatapan Ara langsung tertuju agak lama saat melihat salah satu like ternyata dari Rizzar, tak menyangka laki-laki itu membaca komentarnya yang tenggelam diantara banyak komentar lainnya dan itu cukup membuat Ara makin tersenyum lebar.
"Apa kamu bisa menebaknya, Riz? Apa kamu tahu itu aku atau kamu memberi like karena nama Peri_Baik?" ucap Ara lirih masih tetap tersenyum sembari mengunggah karikatur Peri Baik, Kurcaci Raksasa, dan Superman sebagai post pertama disana.
"Peri Baik dan Kurcaci Raksasa yang menjelma jadi Superman 😊❤. Ps. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi Kurcaci Raksasa. Seperti yang pernah Peri bilang, Peri akan tetap ada di tempat yang sama, menunggu Kurcaci mengajaknya tersenyum dan berbagi banyak hal. See you when i see you insyaa Allah😉👍". Begitulah caption yang tertulis disana.
Malam itu, sebelum tidur Ara menyempatkan untuk membaca komentar di instagram resminya seperti yang biasa ia lakukan ketika ada sebuah komentar di unggahan foto Ara dan teman dekatnya tadi pagi dengan nama yang langsung mencuri perhatiannya.
@Kurcaci_Raksasa aamiin, semoga kamu selalu dikelilingi oleh banyak orang baik, Ra. Dan semoga kamu dijauhkan dari hal-hal buruk. Semoga Allah selalu menjaga kamu, Ara😉
Ara meng-click akun tersebut, tak ada post satupun disana, bahkan tak ada follower maupun following disana, hampir sama seperti akun Ara di Peri_Baik.
"Apa itu kamu, Riz? Kalau itu bukan kamu, siapa lagi yang tahu tentang Kurcaci Raksasa, panggilan aku buat kamu?"  batin Ara.
Ara pun membalas komentar itu.
"Aamiin, terima kasih... doa yang sama juga buat kamu ya😉. Tetap jadi kurcaci raksasa yang baik  dan suka menolong ya biar peri nggak sedih he he," ketik Ara sambil tersenyum sendiri.
Tak berapa lama Ara pun logout dari akun instagram resminya. Entah kenapa ia tiba-tiba ingin login kembali di akun Peri_Baik-nya. Tak ada notif baru disana, hanya sekedar melihati sekali lagi satu-satunya post  yang diunggahnya sebelumnya. Setelah itu, Ara pun meletakkan handphone-nya dan bergegas tidur. 
"Semoga Allah selalu menjaga aku dan kamu, Riz,... aamiin," ucap Ara lirih sebelum melanjutkan melafalkan doa tidur.
Waktu di handphone Ara menunjukkan pukul 00.35 saat satu notif masuk, satu komentar di unggahan satu-satunya akun Peri_Baik... dari akun Kurcaci_Raksasa. 
@Kurcaci_Raksasa gambar karikaturnya bagus banget, suka😻. Semoga Kurcaci tetap ingat jalan menuju tempat Peri berada ya 😅😄. See you when i see you, Peri Baik insyaa Allah he he.
Di lokasi syuting, Rizzar terlihat tersenyum melihati sejenak gambar Peri Baik, Kurcaci Raksasa, dan Superman itu setelah sebelumnya ia sempat senyum-senyum sendiri membaca balasan Ara buat komentarnya di akun Kurcaci_Raksasa. Laki-laki itu baru saja menyelesaikan sholat isya'-nya.
"Terlepas kamu tahu atau tidak, akun Kurcaci_Raksasa itu aku atau sebaliknya terlepas akun Peri_Baik itu kamu atau bukan, meski hati aku bilang itu kamu,... see you when i see you, Ra. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah. Maaf Kurcaci Raksasa masih belum bisa menemui Peri Baik lagi".
"Semesta seolah tak berpihak pada mereka, tapi mungkin ini cara Tuhan menjaga mereka".
-Bersambung-
Note: akhirnya bisa nulis lagi meski cuma pendek setelah sekian luaaama itu rasanya lega, semacam me-release perasaan he he.
Surabaya
11 April 2018
(Alur pertama di kota ini 😄)

Setelahnya Part Kita Merajut Sederhana 1

Selasa, 17 Oktober 2017

See You Again When The Next Blue Moon Appears Part 10 : Jarak


PART 10. JARAK

Dari AHSAN Buat HASNA

Sejak hari keberangkatan Hasna ke Papua, baik Ahsan maupun Hasna saling menjaga hati masing-masing meski pada praktiknya hati susah-susah gampang buat dijaga. Setelah kondisi Ahsan membaik dan diizinkan keluar dari rumah sakit, Ahsan kembali aktif mengajar di kelas bantaran rel. Hal pertama yang dilakukan laki-laki itu buat Hasna adalah mengirimkan video peta Indonesia yang sudah tergantung di dinding kelas bantaran rel dilengkapi bonus ucapan terima kasih dari keempat volunteer rekan Ahsan dengan gaya koplak sambil bercanda menggoda Ahsan dan Hasna seperti biasa. Ardi, Raka, Bayu, dan Azka bergantian menampakkan wajah mereka di video itu.
"Halo Kak Hasna, makasih ya udah ngebeliin adik-adik peta Indonesia buat mereka belajar. Hari pertama peta itu dipasang Kak Ahsan, kita berlima kewalahan menanggapi pertanyaan adik-adik yang luar bisa imajinasinya he he," ujar Raka dengan senyum teduhnya seperti biasa.
"Iya Na, bahkan ada yang nanyain ada ga peta yang lebih gedhe biar kelas bantaran rel kelihatan di peta he he. Jadinya kita akhirnya menyanggupi buat nge-print-in mereka peta sekitar kelas bantaran rel dari google maps buat ditempel di kelas he he," sahut Azka dengan senyum lebarnya, "tapi makasih lho Na, gara-gara peta Indonesia dari kamu... adik-adik pada semangat menghafal posisi provinsi dan kota-kota besar di Indonesia".
"Iya Kak Hasna, makasih banyak yaaa... Kalo kata adik-adik disini... Kak Hasna tercantik... eh terbaik ding...soalnya takut dipelototin Kak Ahsan kalo ngegodain kamu ha ha," sambung Bayu sambil tertawa kecil dan melihat kearah pembuat video yang terdengar lirih tertawa diantara tawa rekan-rekannya.
"Iya Na.. kita sekalian ngewakilin adik-adik intinya ngucapin terima kasih buat petanya. Peta dari kamu bermanfaat banget pastinya, bukan hanya buat adik-adik belajar tapi juga buat kakak-kakaknya belajar lagi mengenal daerah-daerah di Indonesia yang kaya banget ini," sambung Ardi dengan tawa riangnya seperti biasa sambil sesekali ekspresinya terlihat sengaja ngegodain Ahsan yang ada di hadapannya.
"Oh iya, Na... sepertinya Ahsan perlu satu peta lagi deh Na, peta menuju hati kamu, jaga-jaga biar nggak nyasar he he he," lanjut Ardi yang langsung mendapat teriakan spontan dan lemparan spidol dari Ahsan, membuat ruangan itu makin pecah dalam tawa .
Sementara Ahsan, si pembuat video, hanya suaranya terdengar disana, laki-laki itu terlihat tertawa sesekali menanggapi candaan rekan-rekannya kemudian memberikan kalimat penutup dengan sedikit malu-malu pada video itu tanpa menampakkan wajahnya.
"Terima kasih banyak ya, Na. Tetap semangat dan jaga kesehatan ya disana... Hmm semoga semuanya berjalan lancar biar kamu bisa pulang tepat waktu dan bergabung lagi bersama kita di kelas ini he he," terdengar suara Ahsan, berhasil menautkan Ahsan dengan Hasna lewat senyuman meski fisik mereka berjauhan.
"Terima kasih juga buat Kak Ahsan karena sudah berbaik hati, mau direpotkan Kak Hasna buat membelikan dan memasangkan peta Indonesia he he. Makasih ya," ketik Hasna diakhiri dengan emoji senyuman.
Video singkat itu sepertinya diambil Ahsan dengan dadakan karena tak ada adik-adik kecil disana saat itu, kemungkinan seusai kelas bubar. Saat itu, para volunteer kadang melakukan review dan briefing materi yang sudah dan akan diajarkan atau mendiskusikan sesuatu lainnya yang dianggap perlu, bisa jadi membicarakan acara persami (perkemahan sabtu minggu) di alam terbuka adik-adik kelas bantaran rel yang direncanakan empat minggu lagi.
Setiap Rabu dan Sabtu, Ahsan selalu menceritakan kejadian di kelas bantaran rel ke Hasna lewat whatsapp, seolah menunaikan janjinya ke perempuan itu. Hasna pun selalu antusias menanggapi cerita demi cerita dari Ahsan. Meski tak setiap hari, tiga atau empat hari sekali Hasna mengunggah foto atau video singkat di instagramnya tentang hari-harinya di Papua, lingkungan dan alam sekitar yang Hasna lihat atau berbagi keceriaan dan kepolosan adik-adik yang menjadi objek proyek pendidikan tempat Hasna bekerja. Caption Hasna pun ringan seperti layaknya orang sedang bercerita. Di setiap unggahan Hasna, dapat dipastikan Ahsan tak pernah absen untuk meninggalkan tanda like disana meski laki-laki itu bukan follower Hasna sebagaimana Hasna yang juga tidak mem-follow instagram Ahsan. Pun tak ada komentar dari Ahsan di setiap postingan Hasna tersebut. Keduanya seolah sepakat tetap menjaga jarak di media sosial meski tetap saling mengintip akun satu sama lain. Meski demikian, beberapa kali Ahsan justru mengomentari foto yang diunggah Hasna di status whatsapp-nya, menempel di cerita rutin Ahsan tentang kegiatan kelas bantaran rel.
Seperti Sabtu itu, Ahsan bercerita tentang kegiatan perkemahan yang sudah matang dan ditetapkan oleh kakak volunteer dua hari setelah Hasna pulang dari Papua sesuai jadwal gadis itu. Ahsan juga bercerita bahwa tadi sore, diadakan kuis kecil-kecilan menebak lokasi kota, gunung, laut serta danau di peta Indonesia berhadiah ice cream. Ide itu berawal gara-gara mereka sama-sama ngelihat dan akhirnya ngebahas status Hasna saat ketemuan di kantin kampus selepas sholat Jumat. Tiba-tiba mereka teringat kuis berhadiah coklat buat adik-adik yang pernah diusulkan Hasna dulu dan sudah lama tidak pernah dilakukan lagi.
"Itu beli ice cream-nya dimana, San? Kan ice cream cepat mencair dan bukannya kelas bantaran rel agak jauh dari penjual ice cream?"
"Salah satu kakak stand by di minimart yang jual ice cream, Na he he. Pas semua adik-adik udah ngejawab, baru deh ice cream-nya dibagiin he he".
" :D :D . Jadinya kalian patungan berlima buat beli ice creamnya, San?" tanya Hasna diakhiri dengan emoji senyum. Waktu di Papua sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Ahsan berbagi cerita aktivitas kelas bantaran rel hari itu.
"He he... rencana awalnya sih begitu, Na. Tapi berhubung hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun aku, jadi aku yang menraktir ice cream-nya. Sekalian pingin berbagi 'ala-ala' aja sama adik-adik meski mereka tetap harus jawab kuis dulu :D".
Hasna tersenyum di tempatnya. Gadis itu bukannya tidak tahu tanggal lahir Ahsan, bahkan semua tanggal lahir keempat cowok teman Ahsan pun dia tahu. Namun Hasna ragu memberi ucapan ke Ahsan lewat whatsapp terlebih lewat medsos seperti instagram, facebook, twitter. Hasna takut berlebihan.
"Oh iya, Kak Ahsan ultah ya hari ini :).
Semoga selalu ditunjukkan yang terbaik dalam kehidupan kamu ya, San. Makin berkah dan bermanfaat dalam kebaikan di kehidupannya, serta makin sukses dunia akhirat. Semoga sehat dan bahagia selalu ya :). Semangat menjadi manusia yang lebih baik lagi :).
Berbagi itu bukan selalu tentang sedikit atau banyak uang/jumlah yang bisa dibagi, tapi membagi apa yang bisa dan ikhlas kita bagi :). Makasih ya, Kak Ahsan udah berbagi ice cream sore ini. Pasti adik-adiknya pada senang sore ini. Btw, Kak Hasna juga mau ice cream, Kak Ahsan he he," ujar Hasna diikuti dengan gambar ice cream dan senyuman.
Ahsan tertawa kecil membacanya. "Aamiin, makasih banyak doanya, Na :).
Ice cream? Boleh..., nanti sepulang kamu dari Papua, kamu boleh minta traktir ice cream, Na... tapi ada syaratnya. Kamu harus jawab kuis seputar peta dulu seperti adik-adiknya he he".
Hasna tersenyum lebar di tempatnya,"Siaaaap, siapa takut :D".
"Oh iya Na, status whatsapp kamu kemarin lucu banget, setiap anak menceritakan kembali buku cerita yang dia baca ke teman-temannya ya. Saling berbagi cerita dan pengetahuan dengan cara sederhana ya. Seruuu banget kayaknya ditambah kakak-kakaknya pada semangat gitu he he," sambung Ahsan antusias mengomentari status Hasna.
" :D :). Iya kebahagiaan tersendiri ngelihat mereka mau menceritakan kembali ke teman-temannya dengan versi masing2... bener-bener polos banget :D.
Inti dari kegiatan itu adalah saling berbagi sekaligus melatih keberanian dan kepercayaan diri adik-adiknya. Sebagai penghargaan mereka yang sudah berani bercerita, kita siapkan hadiah kecil segelas susu dan roti he he".
"Iyaaa... seru banget kayaknya mulai dari malu-malunya adik itu saat memulai cerita sampai keceriaan mereka pas makan roti dan minum susu sama-sama he he. Two thumbs up sama ide kalian, sederhana tapi mengena :D :). Satu hal yang aku percaya dan tetap ingin percayai bahwa hal-hal baik itu menular dan bisa ditularkan sekecil apapun itu :). Dan kamu salah satu orangnya yang membuat aku percaya, Na :). Sayangnya kamu ga kelihatan di foto itu, Na he he. Tapi gapapa, yang penting kamu sehat kan? :)"
" :D :D. Kamu bisa aja, San :). Semangat saling menularkan kebaikan ya :). He he he aku Alhamdulillaah sehat, San. Kamu juga jaga kesehatan ya biar typusnya nggak kambuh lagi :)".
"He he, iya Na... makasih ya :). Ya udah, pasti udah malam banget di Papua.. selamat istirahat aja ya, Na biar besok bisa beraktivitas dengan penuh semangat. Sampai jumpa lagi di laporan kelas hari Rabu, insyaa Allah :D :D"
"Selamat istirahat juga, Kak Ahsan yang baik. Makasih ya sudah mau berbagi cerita. Jadinya aku tetap berasa dekat dengan kelas bantaran rel meski sedang berada di Papua :). Jauh di mata namun dekat di hati kalo kata RAN he he".
Ahsan lagi-lagi tersenyum membacanya. "Jauh di mata dekat di hati itu berlaku buat adik-adik kelas bantaran rel atau termasuk buat kakak volunteernya, Na? :D :P".
Kalimat Ahsan itu pun membuat Hasna tak bisa menahan tawanya meski gadis itu berusaha tetap melirihkan suaranya, tak ingin membuat rekan perempuan sekamarnya terbangun. Maklum, hari Sabtu itu cukup panjang dan melelahkan fisik bagi Hasna dan timnya dengan segudang aktivitas proyek mereka.
Hasna senyum-senyum geli sendiri membaca ulang kalimat Ahsan itu.
"Buat semua yang ada di kelas bantaran rel pastinya, Kak ... termasuk Kak Raka, Kak Bayu, Kak Azka, dan Kak Ardi juga Kak Ahsan... he he," jawab Hasna dibalas emoji tawa dari Ahsan.
Hari terus berlalu dan jadwal kepulangan Hasna tinggal lima hari lagi. Entah kurang kerjaan atau emang niat, di kalendar meja kamarnya Ahsan menandai tanggal keberangkatan kepulangan Hasna dengan bulatan dan tiap Rabu serta Sabtu laki-laki itu menandai silang untuk tanggal-tanggal yang sudah terlalui (niat banget yak :D). Hari Sabtu siang itu seperti biasa, Ahsan berangkat ke kelas bantaran rel dengan naik KRL. Setiba di stasiun dekat kelas, Ahsan tak langsung beranjak keluar, entah kenapa tiba-tiba ia ingin duduk sejenak, menunggu KRL dari arah Hasna biasa naiki berhenti di stasiun itu. Setelah itu, Ahsan bergegas menuju pintu keluar, tatapannya tertuju ke tempat biasanya ia dan Hasna bertemu sebelum jalan bareng ke kelas bantaran rel. Entah kenapa, hari itu Ahsan ingin melakukannya, menyusuri hal-hal yang biasa ia lakukan bersama Hasna.
"Ada apa dengan aku ya? Apa aku kangen sama Hasna?" tiba-tiba pertanyaan itu menghinggapi pikiran Ahsan. Laki-laki pun menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Ingat...kamu harus tetap jaga hati baik-baik buat Hasna, San".
Sore itu, pelajaran bahasa inggris berjalan seperti biasa, kali ini Ahsan terlihat mengajar sendirian dengan lebih bersemangat dari biasanya, ia bukan hanya mewakili dirinya sendiri tapi berusaha mewakili semangat Hasna. Selama Hasna di Papua, dua kali teman-temannya bergantian menemani Ahsan menggantikan Hasna.
Setelah kelas bahasa inggris usai dan adik-adiknya pulang, Raka meminta waktu sejenak untuk berdiskusi.
"Gue barusan dapat kabar dari Hasna, sepertinya dia bakal mundur jadwal pulangnya. Hasna minta maaf karena sepertinya dia ga bisa ikut persami Sabtu depan," ujar Raka membuka diskusi.
"Emang kenapa kata Hasna, Ka?" tanya Ardi.
"Bara sakit dan diopname pagi tadi. Katanya sih sakit maag akut dan kena malaria juga. Jadinya Hasna dan tim selain ngerjain proyek mereka juga harus ngejagain Bara".
Ahsan hanya menyimak ucapan Raka itu, tak bersuara apapun meski ia merasa ada kalanya tatapan teman-temannya sejenak kearahnya. Entah apa yang dirasakan Ahsan saat itu. Jujur hatinya terusik dengan fakta Hasna merawat Bara karena itu membuat peluang keduanya mendekat lebih besar. Namun, ia juga sudah bertekad mengikhlaskan Hasna sampai ia benar-benar siap berkomitmen dengan gadis itu.
Ardi terlihat menepuk pelan bahu Ahsan tanpa suara dan Ahsan membalasnya dengan berusaha tetap tersenyum.
"Jadwal persami adik-adik nggak mungkin kita undur... Artinya, mau ga mau, tugas-tugas yang kemarin udah kita bagi dengan asumsi Hasna ikutan, kita ubah lagi ya. Ada usulan?" terang Azka melanjutkan ucapan Raka.
"Langsung kita distribusiin lagi aja tugas Hasna ke kita berlima," jawab Bayu diikuti anggukan Raka, Azka, dan Ardi kecuali Ahsan.
"Gimana, San... loe juga setuju kan?" tanya Raka membuyarkan Ahsan yang sesaat sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ahsan tersenyum. "Tentu gue setuju. Nanti biar sebagian tugas Hasna gue yang ngerjain, ga masalah," jawab Ahsan sembari menganggukkan kepalanya dengan ekspresi kembali biasa. Seperti tekad Ahsan tentang Hasna, laki-laki itu ingin bersikap lebih dewasa soal rasa meski di dalam hatinya ada ketidaknyamanan yang datang tanpa bisa dicegah.
"Loe baik-baik aja kan, Bro?" tanya Ardi disambut tawa lirih Ahsan.
"Gue baik-baik aja, kan Bara yang sakit...". Keempat kawannya itu terlihat sedang menatap kearahnya. "Gue percaya kalo jodoh ga akan kemana, guys... . Begitupun Hasna," jawab Ahsan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Sabtu malam itu, waktu menunjukkan pukul 19.20 Wib saat Ahsan baru selesai sholat Isya kemudian melihati kalendar mejanya yang berhiaskan tanda silang dan bulatan. Ahsan meraih handphone-nya dan mulai menceritakan kejadian di kelas bantaran rel ke Hasna seperti biasa sesuai janji yang diucapkan laki-laki itu ke Hasna di bandara. Bedanya, kali ini Ahsan tidak mengomentari status Hasna. Hasna pun membalasi cerita Ahsan dengan antusias seperti biasanya.
"Gimana kondisi Bara, Na?" tanya laki-laki itu akhirnya via pesan whatsapp.
"Kondisi Bara masih drop dan belum bisa masuk makanan, tapi sudah agak lebih baik dibandingkan tadi pagi ketika kita bawa ke UGD.
Bara kadang terlalu menganggap remeh kesehatannya. Padahal dari kemarin juga udah kelihatan drop, makan ga banyak dan demam tapi tetep aja dia kerja ngurus sana-sini.
Tadi aja, dia sebenernya nolak buat ke rumah sakit sampai kami yang cewek akhirnya ikutan maksa dia. Dan bener aja, Bara pingsan di tengah perjalanan ke rumah sakit, tapi untungnya nggak terlalu terlambat ditanganinya".
Hasna berhenti mengetik ke Ahsan, ia merasa terlalu detail bercerita ke Ahsan yang sebenernya laki-laki itu tidak perlu tahu.
"Raka bilang Bara sakit maag akut dan malaria. Apa itu bener, Na? Bukannya Bara biasa keluar masuk pedalaman?"
"Iya, San... kami sempat mengira gejala typus, tapi setelah diobservasi ternyata maag akut dan malaria. Mungkin karena memang staminanya drop kali ya, makanya malarianya kambuh".
"Apa kamu sekarang sedang di rumah sakit, Na? Apa orang tua Bara sudah datang kesana, Na?"
"Iya, malam ini aku dan temen yang nemenin Bara, tidur di rumah sakit. Bara sebenarnya bersikeras kalo dia ga perlu dijagain dan nggak mau memberitahu orang tuanya juga tentang sakitnya, San. Dia juga ga mau kerjaan tim terhenti gara-gara dia sakit. Akhirnya aku terpaksa juga ga mau kalah keras 'ngotot' ke Bara kalau kami tetap bakal gantian ngejagain Bara. Aku dan temen cewek sekamar aku yang bakal lebih banyak ngejagain karena temen cowok yang lain tetap ngerjain urusan proyek kami. Namanya satu tim, saat anggota yang satu sakit maka yang lain juga ikut merasakannya".
Lama tak ada jawaban dari Ahsan, membuat Hasna dihinggapi khawatir apa mungkin ia bercerita yang tidak perlu.
"Maaf kalau aku terlalu panjang lebar bercerita soal Bara, San".
Ahsan is typing, "Gapapa, Hasna :)".
"Maaf ya, San karena aku ga bisa ikutan persami bersama kalian dan adik-adik kelas bantaran rel Sabtu depan. Padahal kamu dan teman-teman udah sengaja nentuin tanggal itu biar aku bisa ikutan. Maaf ya... ".
"Nggak apa-apa, Na. Namanya juga kejadian di luar rencana. Bukan salah kamu, Na".
"Iya, aku tahu ini bukan salah siapa-siapa, San...tapi tetap aja aku ngerasa ga enak ke kamu dan yang lainnya. Kalian harus mengganti lagi pembagian tugas gara-gara aku. Padahal sesuai rencana aku dan kamu bakal satu tim ngejagain sebagian adik-adiknya, tapi akunya ga bisa. Maaf banget ya".
Ahsan mengetikkan emoji senyum buat Hasna.
"Kamu tenang aja, Na. Aku janji bakal gantiin kamu buat ngejagain adik-adiknya bareng sama teman-teman yang lain, insyaa Allah. Nanti aku bakal ceritain jalannya Persami itu ke kamu biar kamu berasa ada disana juga. Okay? :)"
Hasna balas tersenyum. Ahsan selalu punya 'cara' memenangkan hatinya dengan uniknya.
"Kamu jagain Bara baik-baik ya, Na karena itu kewajiban kamu dan tim untuk menjaganya. Tapi inget... kamu juga harus tetap jaga kesehatan, jangan sampai jatuh sakit juga :). Jangan lupa makan yang teratur, istirahat yang cukup dan diminum pil kinanya ya, Na".
Hasna tersenyum lebar membacanya. Ia merasa kalimat laki-laki itu semakin dewasa terutama menyikapi soal Bara.
"Iya... makasih banyak, Kak Ahsan yang sangat baik :). Titip adik-adik kelas bantaran rel termasuk saat persami ya :D," tulis Hasna dibalas emoji senyum lebar dan tanda jempol Ahsan ke gadis itu.
Setelah saling mendoakan kebaikan dan kesehatan satu sama lain serta berbalas salam, percakapan keduanya berakhir.
Hasna memeriksa percakapan di whatsapp yang belum dibacanya dan sekilas melihat status teman-temannya ketika ia melihat status baru dari Ahsan yang membuat gadis itu tersenyum tersipu di tempatnya.

"Jika aku disini menjaga, aku harap kamu disana pun menjaga.
Jika aku disini berdoa, aku harap kamu disana terjaga."

~Bersambung ~

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 8.2

PART 8.2 : YES, I DO

"Waalaikumsalam warrahmatullah, Om Riza," jawab Nisa sambil membahasakan Nuna agar ikut menjawab salam sementara Nuna justru sudah asyik melambaikan tangannya ke Riza 

Waktu di arloji Riza menunjukkan pukul 13.00 saat ia dan orang tuanya tiba di rumah sakit kemudian mencari kamar Nisa dirawat. Dua laki-laki dan satu balita terlihat duduk di depan ruangan yang tertulis pada kertas dari Ana yang dipegang Riza. Setengah menduga dan ragu, Riza mengenalkan dirinya.
"Selamat siang. Apa benar ini kamar Nisa?"
Kedua laki-laki itu berdiri. Laki-laki yang lebih muda diantara keduanya mengiyakan sementara laki-laki yang lebih tua hanya tersenyum menganggukkan kepalanya.
"Saya... Riza, teman Nisa dan beliau kedua orang tua saya," ucap Riza sambil menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki paruh baya itu, sepertinya laki-laki itu ayah Nisa. Riza sekilas mengingatnya karena pernah melihat foto keluarga Nisa di instagram gadis itu.
Kedua orang tua Riza pun berbincang dengan ayah Nisa tentang kondisi gadis itu sementara kakak ipar Nisa langsung mengajak Riza untuk masuk ke ruang perawatan. Riza disambut oleh Nina, kakak perempuan Nisa, keduanya pun saling berkenalan singkat. Perempuan itu mengantarkannya mendekat ke tempat Nisa berbaring.
Riza melangkah menghampiri Nisa tanpa sekalipun pandangannya berpindah ke arah lain, laki-laki itu terus menatap Nisa yang terpejam dengan wajah pucatnya.
Gadis itu tak lagi menggunakan kebaya pink-nya, sudah berganti baju rumah sakit termasuk jilbabnya. Masih terlihat bekas riasan di wajah Nisa.
"Apa Nisa belum juga sadar dari pingsannya, Kak?" tanya Riza pelan akhirnya menoleh ke kakak Nisa yang ada di sisi sebelah kanan Nisa, berseberangan dengan Riza.
"Nisa sudah siuman lebih dari satu jam yang lalu, tapi dokter meminta Nisa banyak istirahat karena matanya masih terasa sakit dan pandangannya juga masih kabur".
"Jadi Nisa baru sadar setelah sekitar enam jam pingsan, Kak?" tanya Riza, terdengar jelas nada khawatir di suara laki-laki itu, lagi-lagi Riza fokus melihati Nisa.
"Sekitar jam sembilan Nisa sempat sadar hampir satu jam, tapi... kemudian dia kesakitan dan muntah lalu pingsan lagi".
Riza menatap sendu gadis yang terbaring di hadapannya itu. Riza kembali teringat ketika Nisa dua kali pingsan saat ujian semester, raut kesakitan Nisa saat itu terbayang jelas di pikirannya.
"Apa dokter sudah memberitahu penyakit Nisa, Kak?"
Lagi-lagi perempuan di hadapannya itu mengangguk. "Bahkan Nisa sendiri pun sudah menceritakan penyakitnya ke Ayah dan kami sesaat setelah dia sadar. Dia merasa bersalah karena mengecewakan kami yang sudah jauh-jauh datang tapi justru tidak bisa melihatnya wisuda karena sakitnya. Padahal itu sama sekali bukan salah Nisa, tapi memang sudah jalannya".
Riza menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu tahu tentang sakit Nisa?"
Riza menganggukkan kepalanya pelan, mata laki-laki itu sedikit berkaca-kaca meski ia berusaha menyembunyikannya dari kakak Nisa.
"Apa aku boleh menemani Nisa sebentar disini, Kak?"
"Tentu saja," jawab kakak Nisa tersenyum lembut ke Riza seolah ia bisa menerka apa yang terjadi diantara adiknya dan laki-laki itu. Setelah membelai lembut sejenak kepala Nisa, perempuan itu bergegas menjauh,menunggui mereka di sofa yang terletak dekat pintu kamar.
Riza baru duduk di sebelah Nisa ketika gadis itu perlahan membuka matanya.
"Kamu bangun, Nis," sapa Riza lirih tersenyum ke Nisa.
Nisa balas tersenyum lebar menyadari keberadaan Riza di hadapannya meski pandangannya masih agak kabur. Gurat tampan laki-laki luar biasanya dalam balutan setelan wisudanya itu tetap terlihat."Riza...".
"Gimana kondisi kamu, Nis? Apa mata kamu masih sakit?"
"Sudah jauh lebih enakan, Riz," jawab Nisa buru-buru melebarkan senyumannya ingin menghapus rasa khawatir di wajah laki-laki itu, "Oh iya, gimana tadi wisudanya? Selamat ya Riz akhirnya kamu jadi sarjana ekonomi".
Riza tersenyum simpul, "Selamat juga buat kamu sudah jadi sarjana arsitektur, Nis".
Nisa menganggukkan kepalanya riang sambil mengucapkan terima kasih.
"Cuma aku ngerasa ada yang kurang, Riz karena aku nggak cumlaude. Padahal aku ingin memberikan bonus kecil itu buat orang tuaku," lanjut Nisa dengan raut sedikit kecewa meski tetap ia balut senyuman.
Riza tersenyum kearah Nisa, "Yang terpenting kita sudah berusaha menyelesaikan tanggung jawab kita dengan baik, Nis. Semoga ilmu yang kita peroleh bisa bermanfaat serta menambah kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan kita".
"Aamiin aamiin aamiin," balas Nisa tersenyum lebih lebar, "Tapi aku ikut senang buat kamu, Riz karena kamu berhasil mendapatkan predikat cumlaude. Apalagi mengingat perjuangan kamu kuliah sambil kerja beberapa bulan ini. Bukan hanya orang tua dan fans-fans kamu yang bangga pastinya, aku juga bangga sama kamu, Riza. Selamat ya".
Riza tertawa kecil mendengarnya.
"Makasih banyak, Nisa... tapi tetap saja wisuda hari ini buat aku kurang lengkap tanpa kamu".
Nisa tersenyum. "Maaf ya Riz, aku mengacaukan rencana kamu hari ini". 
Riza tersenyum lalu mengeluarkan bungkusan pink dari tas ranselnya.
"Ini hadiah wisuda buat kamu, Nis... semoga kamu suka ya".
Nisa tersenyum senang menerimanya, gadis itu duduk dari posisi tidurnya, ekspresinya penasaran dan tak sabar ingin membuka pemberian laki-laki itu.
Sebuah baju terusan berwarna dasar biru tua dilengkapi outer bermotif songket lengan panjang berwarna kombinasi biru lebih muda dan pink plus jilbab warna biru muda berhasil membuat Nisa jatuh hati dengan pilihan Riza itu.
"Bajunya cantik banget, Riz....," ucap Nisa tersenyum lebar kearah Riza.
"Kamu suka, Nisa?"
Nisa menganggukkan kepalanya dengan raut senang membuat Riza merasa jauh lebih senang sekaligus lega karena ia tidak salah memilih hadiah.
"Makasih banyak ya. Hmmm, pasti mahal ya, Riz?" sambung Nisa dengan raut berubah serius. Setahu gadis itu, harga baju semacam itu tidaklah murah.
Riza tersenyum lebar menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau kamu menghamburkan hasil kerja keras kamu buat sesuatu yang tidak terlalu penting, Riz...".
"Nisaaa..., menurut aku kado buat kamu itu sesuatu yang penting. Kamu perempuan yang istimewa dalam kehidupanku selain Mamaku, Nis. Lagi pula...". Kalimat Riza terhenti, lagi-lagi laki-laki itu hampir saja keceplosan bilang bahwa Nisa salah satu motivasi utama dia bekerja. Riza merasa belum saatnya dia jujur tentang itu ke Nisa, ia berniat mengatakan semuanya setelah ia berhasil menikahi Nisa.
Di hadapannya, Nisa tersipu mendengarnya, kalimat Riza itu membuat gadis itu bahagia sekaligus merasa bersalah.
Nisa membuka kartu ucapan dari Riza di kado itu sementara laki-laki itu memperhatikannya.

"Semoga menjadi arsitek yang sukses dan bermanfaat untuk kebaikan, Nisa :).
Seperti kamu yang selalu menemukan alasan menyukai dunia arsitektur, aku juga selalu menemukan alasan untuk menyukai kamu dan memperjuangkan jawaban 'iya' dari kamu.
Aku sangat berharap kamu bersedia menemani aku, menjadi arsitek dalam kehidupan rumah tangga kita.
Maukah kamu menikah denganku, Nisa? :)
                                                                                                  -Riza-
                                                                            <yang menunggu jawaban 'iya'>"

Nisa tersenyum membacanya, kalimat Riza membuat hatinya terasa hangat dan berbunga-bunga. Mata Nisa pun berkaca-kaca meski ia berusaha menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya ke penulis surat itu.
"Jadi apa jawaban kamu, Nis?" tanya Riza membuat Nisa salah tingkah dan bingung menjawab apa. Nisa hanya tersenyum balas menatap Riza tanpa kata. Laki-laki itu terlihat menunggu jawaban darinya.
"Oh iya, Riz ... aku kan janji mau memperlihatkan pertama kalinya ke kamu sketsa taman buat mereka yang tidak bisa melihat. Tolong ambilkan gulungan sketsa dan tas tanganku disitu ya," ujar Nisa melebarkan senyumannya, mengalihkan topik bahasan keduanya yang belum bisa dijawabnya.
Riza pun balas tersenyum lebar, berusaha memahami gadis itu dan bergegas memenuhi permintaan Nisa.
Lima menit kemudian, Riza kembali duduk di sebelah Nisa sambil memegang sketsa Nisa dan menyerahkan tas tangan gadis itu ke empunya.
"Makasih, Riz. Sekarang kamu boleh lihat sketsa taman itu, Riza... aku mau tahu pendapat kamu juga," ujar Nisa dengan raut riangnya.
Riza mengangguk, dengan tak kalah riang laki-laki itu membuka gulungan sketsa buatan Nisa itu, project spesial Nisa yang menjadikan Riza bertekad membantu Nisa mewujudkannya meski Riza belum mengatakannya ke gadis itu.
"Gimana menurut kamu, Riz?"
"Hmmm... bagus... bagus banget... dan aku yakin taman ini akan jadi taman yang indah saat diwujudkan dalam nyata, Nis," jawab Riza, "meski aku ga paham soal sketsa beginian... tapi aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, ketulusan kamu di tiap goresannya, Nisa".
Nisa tersipu mendengar ucapan Riza itu..., laki-laki itu selalu memercayai kemampuannya dan tulus menyemangatinya.
"Terima kasih untuk semuanya ya, Riz. Aku juga udah bikin versi autocad-nya. Meski aku juga belum tahu dan masih memikirkan gimana caranya mewujudkan mimpi aku ini. Pastinya butuh banyak dana he he".
Riza tersenyum lebih lebar. "Aku percaya Tuhan akan memberi jalan selama kita percaya bahwa kita bisa mewujudkan mimpi kita, Nis... insyaa Allah kamu pasti bisa mewujudkannya".
"Aamiin". Nisa tersenyum simpul menganggukkan kepalanya.
"Dan aku ingin menemani dan membantu kamu mewujudkan mimpi kamu, Nis...," sambung Riza di dalam hatinya.
"Jujur... kadang aku takut... gimana kalau ternyata aku kehilangan penglihatan sebelum bisa mewujudkan impian aku ini, Riz".
Riza menatap gadis itu dengan tetap tersenyum.
"Kamu harus optimis kalau kamu bakal sembuh, Nisa. Aku yakin kamu bisa mewujudkannya".
Nisa balas tersenyum, entah kenapa ucapan Riza itu mampu menenangkan hatinya.
Nisa mengambil sesuatu dari tas tangannya lalu menyerahkannya ke Riza sembari tersenyum lebar .
"Apa ini?" tanya Riza balas tersenyum tak kalah lebar dengan raut penasaran memandangi bungkusan biru itu.
"Kamu buka aja...," jawab Nisa.
Riza menggoncang-goncang pelan hadiah itu di dekat telinganya seolah menerka-nerka isinya, sengaja menggoda gadis itu dan berhasil menghadirkan gelak tawa Nisa yang melihatinya.
"Hati-hati... awas meledak lho," sahut Nisa balas meledek Riza, membuat laki-laki itu terkekeh di tempatnya.
Sebuah arloji pria terlihat rapi di dalam kotaknya beserta sepucuk surat cinta eh surat ucapan dari Nisa (he he).
"Tolong jangan dilihat harganya, ya Riz. Maaf kalau hadiah aku nggak mahal he he...tapi aku berharap semoga hadiah ini bermanfaat buat kamu," ujar Nisa sementara Riza membuka kertas ucapan dari Nisa.
"Selamat menjadi sarjana ekonomi, Riza. Semoga sukses di karier dan kehidupan kamu.
Mungkin ada banyak sarjana ekonomi, tapi tidak semuanya baik. Semoga kamu bisa menjadi bagian dari mereka yang baik, amanah dan bermanfaat untuk kebaikan. Aku percaya kamu bisa :).
Tantangan terbesar bagi masing-masing kita adalah mengalahkan diri sendiri, termasuk rasa sombong atau merasa cepat puas. Semoga di tahap kehidupan selanjutnya, kamu tetap jadi Riza yang rendah hati tapi juga tidak pernah berhenti belajar.
Lihatlah keatas saat kamu butuh motivasi, tapi tetap melihat kebawah untuk bersyukur :). Menyentuh langit tapi tetap menginjak bumi :D.
Semangat, Riza!
Ps. Tolong doakan aku juga. Makasih :).

Salam hangat,
Nisa"
Riza tersenyum membacanya. Ia langsung memakai arloji pemberian Nisa itu dan menyimpan arloji lamanya di dalam tasnya lalu menunjukkan pergelangan tangannya ke Nisa dengan raut riangnya.
"Makasih ya, Nis...".
"You're welcome, Riz. Beberapa bulan terakhir ini kamu berjuang buat membagi waktu kamu buat kuliah dan kerja. Aku salut dan bangga, Riz. Aku harap arloji ini bisa ikut menemani kamu melewati waktu demi waktu ke depannya meski mungkin hanya sesekali sebagai cadangan he he," ucap Nisa dengan riang diantara mukanya yang masih pucat.
Riza mengangguk pelan lalu tersenyum agak lebar.
"Dengan senang hati aku ditemeni arloji dari kamu, Nis... tapi... aku berharapnya kamu menemani aku sepanjang usia aku sampai Tuhan memisahkan kita, Nisa... . Maukah kamu menikah denganku, Nis?"
Kalimat Riza itu pun menghadirkan hening di kamar rawat itu. Nisa terlihat tertegun tanpa mengeluarkan satu kata pun sementara raut muka Riza terlihat serius diantara senyumannya. Sesekali Nisa memberanikan balas menatap sejenak Riza, terlihat kesungguhan laki-laki itu disana.
"Aku ingin menjadi imam kamu, Nis. Aku ingin menemani kamu dalam senang dan sedih. Aku ingin menemani kamu saat operasi mata kamu nanti, menghapus ketakutan kamu. Aku ingin menemani kamu mewujudkan impian kamu. Aku ingin kita belajar baik bersama sepanjang hidup kita, Nisa".
Riza mengeluarkan sebuah cincin yang tak asing bagi Nisa, cincin yang pernah dilihat dan dipilihnya sebagai salah satu dari tiga permintaan Riza kepadanya.
"Bismillaah... . Would you be my best friend forever and ever, Nisa?" ucap Riza lagi, berhasil membuat Nisa makin terdiam di tempatnya. Apa yang jadi dugaan Nisa sebelumnya menjadi nyata, laki-laki itu benar-benar melamarnya. Bahagia itu hadir menyatu dengan rasa sedih yang sekaligus menyapa di hati Nisa.
"Nisa...," panggil Riza lagi menyadarkan Nisa dari diamnya. Beberapa bulir air mata lolos mengalir dari sudut mata gadis itu tanpa bisa Nisa cegah dan Nisa buru-buru menghapusnya.
"Maaf... .... aku... tetap nggak bisa, Riz. Kamu berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik," terdengar Nisa menarik nafasnya dalam-dalam dua kali, "Lagipula... aku... aku... aku masih ingin kerja dulu dan... aku belum ingin menikah. Lebih baik kamu perjuangkan perempuan yang lebih pantas buat kamu, Riz... dan aku rasa seseorang itu bukan aku. Tolong berhenti untuk memintaku menikah dengan kamu ya".
Nisa terlihat menunduk dalam posisi duduk di tempat tidurnya, ada saja air mata yang tetap lolos keluar tanpa ia minta. Meski Nisa sadar dengan apa yang harus ia katakan Riza, tapi disaat bersamaan hatinya terasa sakit karena kegigihan Riza yang tak pernah surut itu justru membuat perasaan dan keyakinan Nisa ke Riza semakin dalam.
Beberapa kali Nisa terlihat buru-buru menghapus air mata yang tak bisa dicegahnya dan Riza mengamati setiap gerak gadis itu dengan tetap menyodorkan cincin itu di hadapan Nisa. Pandangan mata keduanya beradu sejenak, pandangan penuh harap dari Riza dan pandangan penuh rasa bersalah dari Nisa.
"Maaf, Riza...," sambung Nisa kemudian berusaha tersenyum ke laki-laki itu. Ada satu ekspresi yang sama di raut keduanya, ada sedih terukir disana.
Riza akhirnya menggengam cincin di telapak tangannya yang terlihat agak bergetar itu. Giliran laki-laki itu menarik nafasnya dalam-dalam beberapa kali.
"Aku mengerti, Nis... maaf malah bikin kamu nangis dan mengganggu kamu dengan permintaan ini disaat kamu lagi sakit begini," ucap Riza lirih, "Tapi... terlepas apapun jawaban kamu, aku ingin kamu berkenalan dengan orang tua aku, Nis. Kamu mau kan?"
Nisa menatap sejenak Riza lalu berusaha melebarkan senyumannya ke Riza seraya mengangguk pelan, ada sendu dan rasa bersalah disana. Laki-laki itu pun balas tersenyum lebar, meski dengan susah payah ia melakukannya.
Dengan langkah agak gontai, Riza pun melangkah keluar kamar, hanya terlihat Mamanya sedang duduk sendirian di kursi depan ruangan itu.
"Papa sama Ayah dan Kakak Nisa kemana, Ma? Kok Mama sendirian?" tanya Riza lirih kemudian duduk di sebelah Mamanya.
"Mereka lagi sholat sekalian makan siang".
"Mama nggak ikut?"
"Mama sekalian minta dibungkusin saja, sekalian buat kamu, Nisa dan kakaknya di dalam. Lagipula Mama sengaja nggak ikut, takut kamu nyari. Mama sholatnya bareng kamu saja, Nak".
Riza mengangguk pelan. Sebagai seorang ibu, Mama Riza bisa melihat ada yang tidak biasa di raut putranya itu. "Kamu kenapa, Nak... wajah kamu kelihatan murung gitu? Kondisi Nisa gimana?"
Riza menarik nafasnya dalam-dalam lalu bergegas tersenyum lirih kearah Mamanya. "Alhamdulillaah, Ma.. Nisa sudah baikan meski masih pucat dan butuh banyak istirahat".
Terdengar ucapan syukur dan kelegaan dari mulut Mama Riza.
"Oh ya, Ma. Seperti yang Riza bilang, Riza mau kenalkan Mama ke Nisa. Sekarang Mama masuk dan bicara sama Nisa, ya".
Mama Riza tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia sudah tak sabar berkenalan dengan perempuan yang punya tempat istimewa di hati putra kesayangannya itu selain dirinya.
Keduanya baru akan masuk ke kamar rawat Nisa ketika Riza tiba-tiba berubah pikiran.
"Riza disini saja, Ma. Mama saja yang masuk dan bicara sama Nisa ya," ucap Riza lirih.
"Kenapa, Nak?"
"Riza sudah bikin Nisa nangis tadi, Ma gara-gara Riza minta Nisa menikah sama Riza. Nisa masih tetap dengan keputusannya tidak mau menikah dengan Riza. Satu sisi Riza berusaha memahami Nisa, tapi Riza juga butuh waktu buat menenangkan diri, Ma".
Mama Riza mengusap bahu putranya itu penuh sayang.
"Riza titip cincin ini ya, Ma," lanjut Riza menyerahkan kotak cincin itu ke Mamanya, meminta Mamanya untuk menyimpankan cincin untuk Nisa itu.
"Mama mengerti, Sayang. Ya sudah, kalau begitu sekarang lebih baik kamu ambil wudlu dan sholat di musholla. Adukan apa yang kamu rasakan ke Tuhan dan meminta kepada-Nya. Insyaa Allah hati kamu lebih tenang dan insyaa Allah ada jalan keluar yang terbaik. Biar Mama numpang sholat di kamar Nisa saja".
Riza mengangguk pelan dan beranjak ke musholla.
Lima menit kemudian, Mama Riza sudah duduk di sebelah Nisa. Sikap hangat yang dimiliki masing-masing meniadakan jarak dan mengakrabkan keduanya dengan cepat. Perbincangan keduanya dimulai dengan membicarakan kesehatan Nisa, jalannya wisuda hari itu, Mama Riza bercerita tentang Riza dan keluarganya begitu pun Nisa bercerita tentang keluarganya termasuk trauma Nisa tentang operasi.
Sejak Mama Riza masuk ke kamar tanpa Riza, Nisa sempat bertanya dalam hati kemana laki-laki itu yang akhirnya terjawab saat Mama Riza memberitahunya tanpa diminta .
"Dari sejak lulus sidang, Riza semangat banget cerita soal Nisa, pingin ngenalin Nisa ke Tante," cerita Mama Riza duduk di pinggir tempat tidur Nisa dengan raut teduh dan bersemangatnya. Nisa terlihat tersipu diantara senyuman lebarnya.
"Riza bilang kalau Nisa itu perempuan yang istimewa di hatinya selain Mamanya," lanjut Mama Riza melebarkan senyumannya membuat wajah Nisa makin bersemu merah.
"Nisa mau kan menikah sama Riza, Nak?"
Pertanyaan Mama Riza itu langsung hadirkan sendu diantara senyuman Nisa. Gadis itu bingung menjawab apa. Bagaimana mungkin Nisa tega mengatakan 'tidak' kepada perempuan teristimewa dari laki-laki luar biasanya itu.
"Dari cara Riza bercerita tentang Nisa apalagi setelah Tante berkenalan dengan Nisa, Tante percaya Nisa bisa membuat Riza bahagia dan insyaa Allah begitupun Riza akan melakukan hal yang sama," sambung Mama Riza seraya menggenggam tangan Nisa. Genggaman itu terasa hangat dan menghangatkan hati Nisa.
Nisa tersenyum lebar. "Nisa tidak meragukan Riza, Tante... buat Nisa, Riza itu laki-laki yang luar biasa. Siapa pun yang mendapatkan hati Riza, dia perempuan yang sangat beruntung dan pasti bahagia. Tapi..., Nisa merasa tidak pantas buat Riza, Tante apalagi dengan kondisi sakit Nisa ini. Riza berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik, yang jauh lebih bisa membahagiakan Riza".
Mama Riza menepuk-nepuk lembut tangan Nisa yang masih dipegangnya sambil tersenyum memandangi Nisa.
"Tante ingat Riza kelihatan bahagia dan bersemangat banget waktu dia memilihkan baju hadiah wisuda buat Nisa dan menunjukkan cincin yang katanya bakal buat Nisa". Mama Riza mengeluarkan kotak cincin itu dari tasnya, memandanginya sekaligus menunjukkannya ke Nisa.
"Tapi barusan Tante melihat hal sebaliknya, Riza terlihat murung terlebih saat melihat cincin spesialnya ini".
Nisa terdiam di tempatnya, ia merasa semakin bersalah ke laki-laki itu.
"Mungkin Tante memang sulit netral saat bicara tentang Riza karena seorang ibu pasti akan berada disisi anaknya. Tapi, sebagai Mama Riza, Tante bisa melihat saat Riza bicara tentang kamu, disana bukan hanya ada perasaan cinta melainkan ada tanggung jawab yang sudah siap diambil Riza buat Nisa, Nak".
Nisa balas tersenyum, menatap lama kemudian perlahan memberanikan memegang cincin milik Riza itu. Sekelebat cerita dibalik cincin itu kembali memutar di memory Nisa.
"Menikah itu bukan berarti mencari seseorang yang selalu membuat kita bahagia, Nak... tapi seseorang yang kita yakini buat menghadapi kehidupan bersama-sama, bersama berjuang dalam ikatan suci, bersama membangun rasa bahagia, bersama membalut rasa sedih, bersama menghadapi masa sulit, bersama belajar menjadi lebih baik, bersama belajar tentang satu sama lain dan bersama dalam banyak hal lainnya termasuk bersama membangun sekaligus memupuk cinta. Riza yakin perempuan itu adalah kamu, Nak".
Sebulir air mata kembali terlepas mengalir di sudut mata Nisa dan lagi-lagi buru-buru dihapusnya.
"Dan Tante percaya insyaa Allah Nisa bisa menjadi teman hidup yang baik buat Riza".
Lagi-lagi Nisa tersenyum, kali ini balas menggenggam tangan Mama Riza.
"Nisa mau menikah dengan Riza, Tante... tapi... setelah Nisa menjalani operasi mata".
"Bukannya Nisa ga mau operasi karena trauma, Nak? Apa Nisa berubah pikiran?"
Nisa terdiam sejenak, rasa takut kembali kuat menggelayuti pikiran dan perasaan Nisa. Bayangan Mama dan adiknya yang meninggal di meja operasi itu kembali datang membuat gadis itu memejamkan matanya sejenak.
"Nisa," panggil Mama Riza sembari mengusap lembut kepala gadis itu membuat Nisa menoleh kearah perempuan itu.
"Nisa akan berusaha mengalahkan rasa takut Nisa demi Ayah dan Riza, Tante". Mama Riza menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pelukan itu begitu hangat dan dirindukan Nisa seperti layaknya pelukan Mama Nisa.
"Makasih banyak ya, Nak... Tante yakin Nisa insyaa Allah akan sembuh dan semuanya akan baik-baik saja".
Sementara itu, Riza masih terduduk di musholla dengan pikiran mengembara. Laki-laki itu sudah 'bicara' dengan Penciptanya. Sebelumnya pikirannya dipenuhi momen saat Nisa menolaknya. Namun, kali ini Riza kembali teringat momen ia bersama Nisa saat mereka tersenyum bersama, Nisa yang selalu hadir dengan semangatnya termasuk buat Riza, keceriaan juga perhatian Nisa yang sederhana tapi indah bagi Riza bahkan sejak sebelum Riza menyadari perasaannya ke Nisa. Penggalan ingatan itu perlahan mengembalikan keyakinannya untuk memperjuangkan Nisa. Riza yakin Nisa punya perasaan yang sama dengannya. Nisa, gadis itu selalu menghadirkan tenang tiap kali Riza mengingatnya.
Seperti yang dibilang Mamanya, mengadu ke Tuhan berhasil menenangkannya, mengembalikan semangat dan kembali meneguhkan Riza tentang Nisa sekaligus mengusir pergi rasa tidak nyaman dan sedih yang sempat hadir di hatinya.
"Aku percaya ini hanya tentang waktu yang tepat, Nisa dan aku insyaa Allah ga akan menyerah," ucap Riza tersenyum sambil memandangi arloji pemberian Nisa di pergelangan tangannya.
Riza melihati layar handphone-nya, ada SMS dari Mamanya.
"Riz, kalau sudah selesai sholat dan menenangkan diri, tolong kamu datang ke kamar rawat Nisa ya. Ada yang perlu kalian bicarakan berdua, Nak".
Ragu, laki-laki itu masuk ke kamar rawat Nisa. Gadis itu terlihat sudah menunggunya. Riza tak bicara melainkan memilih duduk di kursi menghadap Nisa.
"Aku senang bisa berkenalan dan ngobrol dengan Mama kamu, Riz. Mama kamu juga barusan mengenalkan Papa kamu ke aku," ucap Nisa tersenyum lebar membuat Riza balas tersenyum menatap Nisa sejenak. Sejenak, ada canggung yang tiba-tiba hadir membuat hanya deru nafas keduanya yang saling bicara.
Nisa mengeluarkan sesuatu dari balik selimutnya.
"Apa ajakan kamu masih berlaku, Riz?" tanya Nisa sambil menunjukkan cincin milik Riza itu ke pemiliknya.
Riza tertegun mengetahui cincin yang ia titipkan ke mamanya itu berada di tangan Nisa. Laki-laki itu balas menatap Nisa dengan ekpresi bertanya-tanya.
"Aku mau menikah sama kamu kalau ajakan kamu masih berlaku buat aku," sambung Nisa tersenyum lebih lebar.
"Kamu... kamu nggak sedang bercanda kan, Nis? Aku nggak salah dengar kan?"
Lagi-lagi Nisa balas tersenyum kemudian mengetikkan sesuatu di handphone-nya sementara Riza masih tertegun melihati gadis itu.
"Aku mau jadi teman hidup kamu, Riz. Aku mau jadi arsitek dalam rumah tangga bersama kamu. Aku mau menikah sama kamu, Riza :)".
Nisa meminta Riza membuka handphone-nya, membaca pesan dari Nisa.
"Aku sengaja menulis pesan itu biar kamu yakin dengan apa yang kamu dengar. Kamu sama sekali nggak salah dengar, Riz. Sekarang pertanyaannya, apa ajakan Riza masih berlaku buat seorang Nisa?"
Raut laki-laki itu berubah seolah mendung langsung terusir dari wajahnya seperti dulu saat Nisa mengabulkan tiga permintaannya. Bahkan kali ini terlihat lebih bahagia. Laki-laki itu tersipu dan senyum-senyum sendiri untuk sejenak masih menatap layar handphone-nya. Giliran Nisa tersenyum melihati tingkah Riza.
"Aku bukan laki-laki yang mudah menyerah memperjuangkan sesuatu yang aku yakini, Nis. Ajakan aku buat kamu masih tidak berubah, Nisa :).
Maukah kamu menikah denganku? Would you be my best friend forever and ever, Nisa? :)"
"Aku sengaja mengetikkannya juga biar kamu yakin kalau ajakan aku masih sama, Nisa," ucap Riza akhirnya bicara sambil tersenyum ekstra lebar kearah gadis itu.
Nisa pun tersipu, ia tiba-tiba malu bahkan untuk memberikan jawaban langsung ke laki-laki itu.
"Apa kamu mau menikah denganku, Nisa?"
Nisa memberanikan menatap sejenak Riza yang sedang melihat serius kearahnya. Gadis itu balas tersenyum lalu menganggukkan kepalanya pelan.
"Yes, I do, Riza".
Nisa pun menjelaskan ke Riza bahwa ia memutuskan akan melakukan operasi mata dan ia mau menikah dengan Riza setelah operasinya berhasil.
"Baik kamu memutuskan operasi atau tidak, aku tetap ingin menikahi kamu Nisa. Aku tetap ingin jadi imam dan teman hidup kamu, Nis. Aku nggak mau kamu terlalu memaksakan diri".
Nisa tersenyum, "Aku memang bakal memaksakan diri buat berani melawan trauma aku soal operasi, Riz. Tapi aku akan berusaha melakukannya demi orang-orang yang meyayangi aku dan juga buat kebaikan diri aku sendiri. Semoga semuanya akan berjalan dengan baik". Ada rasa takut terselip di nada bicara Nisa di ujung kalimat itu.
"Insyaa Allah semuanya akan baik-baik saja, Nisa. Ada keluarga kamu dan juga aku yang akan menemani dan mendoakan kamu, Nis," jawab Riza sambil tersenyum ke gadis itu, "Dan pastinya ada Tuhan yang akan menemani dan menjaga kamu. Dengan kuasa-NYA, DIA akan menghilangkan rasa takut yang kamu rasakan, Nis".
Nisa balas tersenyum, lagi-lagi kalimat Riza berhasil menenangkan perasaannya.
Nisa menyerahkan cincin itu ke Riza.
"Jadi kapan aku bisa menyematkan cincin ini di jari manis kamu, Nis?" tanya Riza bersemangat dengan senyuman super lebarnya.
"Nanti setelah akad aja ya, Riz. Setelah kita jadi halal satu sama lain," jawab Nisa balas tersenyum tak kalah lebar.
Riza menganggukkan kepalanya.
"Tapi aku boleh kan meng-khitbah alias melamar kamu secepatnya, Nis... biar kamu nggak bisa dilamar laki-laki lain sampai akad tiba".
Nisa tertawa mendengarnya.
"Kebalik kali Riz.. yang ada harusnya aku yang khawatir, kan kamu yang banyak fans ceweknya he he".
Riza tergelak mendengarnya.
"Oh iya, bicara soal melamar, emangnya kamu sudah berkenalan sama Ayah aku?"
"He he... tadi cuma salaman sama nyebutin nama aja ke beliau pas mau jenguk kamu".
Nisa tertawa kecil.
"Ya udah nanti aku kenalkan kamu dengan laki-laki istimewaku itu biar kamu bisa melamar aku dengan benar di hadapan beliau".
Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Oh iya, kondisi mata kamu gimana sekarang, Nis? Masih sakit? Apa pandangan kamu masih kabur?"
"Alhamdulillaah sudah enakan, Riz... barusan tadi aku udah minta pulang ke dokternya he he. Hari ini aku sudah membuat keluarga aku nggak bisa menyaksikan prosesi wisuda aku padahal mereka datang buat itu. Setidaknya aku ingin foto wisuda bareng mereka hari ini".
"Aku juga belum foto wisuda bareng orang tuaku sih. Tadi setelah Ana ngasih tahu kondisi kamu, kami langsung kemari. Tapi aku sudah pesan mau foto wisuda hari ini di salah satu studio dekat kampus. Gimana kalau kita fotonya barengan aja?" tawar Riza penuh semangat.
"Memangnya nggak apa-apa, Riz?"
"Gapapa, Nis... biar sekalian kita bisa foto bareng, Nisa he he".
Nisa tertawa mendengarnya.
Setelah keduanya menghabiskan makan siangnya dan Nisa akhirnya diizinkan dokter pulang, kedua keluarga itu pun bergegas menuju studio foto.
Sebelumnya, Nisa kembali mengenakan baju kebayanya dan mengenakan make up dibantu kakaknya dan Mama Riza.
Di studio foto, Riza dan Nisa berfoto wisuda dengan keluarga masing-masing, diawali dari Riza kemudian dilanjutkan Nisa. Gadis itu terlihat makin cantik dalam balutan kebaya pink dan make up naturalnya. Begitu pun Riza terlihat tampan dengan setelan tuxedo-nya. Jawaban 'iya' dari Nisa hari itu pun membuat wajah laki-laki itu makin berseri, menambah ketampanannya.
"Masih ada satu jatah foto lagi. Gimana kalo kita foto bareng berdua, Nis?" tanya Riza menghampiri Nisa yang baru selesai berfoto.
"Foto studio berduaan sama kamu? Nggak ah, Riz... malu tahu," bisik Nisa, lagi-lagi Riza berhasil membuat wajahnya memerah tanpa diminta.
Riza terkekeh, "Anggap aja salah satu foto pre wedding".
"Bilang ke Ayah aku dan lamar aku dulu baru aku mau foto bareng berdua sama kamu di studio," jawab Nisa balas tertawa menggoda Riza, membuat Riza kembali terkekeh.
Akhirnya pose foto terakhir diputuskan foto bersama Riza, Nisa, dan keluarga keduanya.
Setelah 'pemotretan' selesai, Nisa bergegas mencium tangan orang tua Riza begitu pun Riza terhadap Ayah dan keluaga Nisa. Kedua keluarga menuju mobil masing-masing.
Nisa sedang menggendong keponakannya di luar mobil sambil sesekali bercanda dengan ayah dan keponakannya, menunggu kakaknya yang sedang membeli sesuatu di minimarket dekat studio foto itu, ketika Riza menghampirinya.
"Riza...," ucap Nisa.
Ayah Nisa pun menoleh kearah laki-laki muda itu.
Riza tersenyum kepada beliau sementara Nisa bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Riza.
"Om..., maaf kalau tadi saya belum mengenalkan diri dengan rinci ke Om. Saya bukan hanya teman Nisa, Om. Saya... saya ingin melamar Nisa sebagai calon istri saya," jelas laki-laki muda itu dengan intonasi yang susah payah ditatanya agar setenang mungkin. Nisa terlihat tertegun mendengar pernyataan Riza itu karena laki-laki itu memutuskan mengutarakan niatnya sebelum Nisa sempat membicarakan hal itu dengan ayahnya sebagaimana janjinya ke Riza sebelumnya. Sementara itu, Ayah Nisa melihati keduanya bergantian. Hening sejenak diantara ketiganya, kecuali suara Nuna yang terlihat menyanyi 'Pelangi Pelangi' dengan nada bebasnya. Riza dan Nisa melihati kearah Ayah Nisa.
Ayah Nisa tersenyum bergantian kearah keduanya.
"Sebagai Ayah dari pihak perempuan, Om akan menunggu laki-laki baik dan pemberani yang akan melamar Nisa. Kalau kamu memang serius dengan Nisa, Om tunggu kedatangan kamu dan orang tua di rumah, Nak," jawab Ayah Nisa.
Nisa terlihat tersipu diantara senyumannya. Begitu pun Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya kemudian berpamitan ke Ayah Nisa ketika tiba-tiba Nuna merengek dengan tangan minta digendong Riza.
"Nuna mau digendong Om Riza?" tanya Nisa tertawa kecil sambil mencium pipi gembul ponakannya itu.
Nuna terlihat tertawa lucu sambil menganggukkan kepalanya, membuat Riza pun langsung mengulurkan tangannya. Dan seketika pun keduanya akrab, Riza mengajak Nuna menyanyi 'Pelangi Pelangi lagi, membuat Nisa tertawa melihatnya.
"Nuna sayang, Om Riza mau pulang tuh, sudah ditungguin Mama dan Papa Om Riza. Ayo Nuna ikut Tante Nisa lagi ya," jelas Nisa sambil menunjukkan ke Nuna mobil keluarga Riza berusaha memberi pengertian ke keponakannya itu.
"Om Riza janji, kapan-kapan kita main lagi ya insyaa Allah," sambung Riza tersenyum lebar ke Nuna.
Laki-laki itu mengeluarkan handphone-nya dan mengajak Nuna foto bareng dirinya sementara Nisa terlihat tersenyum melihati keduanya.
"Ayo kamu sekalian ikut foto bareng aku dan Nuna, Nis," ujar Riza dengan senyum lebarnya. Jadilah mereka foto bertiga dengan pose 'smile' setelah beberapa kali pengambilan dengan gaya sulit tertebak ala Nuna.
Setelah dibujuk, Nuna pun akhirnya menurut dan mau kembali digendong Nisa.
"Ayo Nuna salim dulu ke Om Riza," ucap Nisa lagi langsung diikuti gerakan Nuna mencium tangan Riza. Setengah gemas, laki-laki itu pun mencium kedua pipi keponakan Nisa itu.
"Btw, Tantenya Nuna nggak mau cium tangan juga ke Om Riza nih?" goda Riza dengan suara lirih membuat Nisa tergelak.
"Mau, tapi nanti setelah akad insyaa Allah he he," jawab Nisa membuat tawa pecah diantara keduanya.
"Assalaamualaikum, Nuna dan Tante Nisa," ucap Riza dengan senyum lebarnya.
"Waalaikumsalam warrahmatullah, Om Riza," jawab Nisa sambil membahasakan Nuna agar ikut menjawab salam sementara Nuna justru sudah asyik melambaikan tangannya ke Riza.
 
~ Bersambung ~