Selasa, 19 April 2016

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 3

Sebelumnya : Part 1 dan 2 

PART 3 BERUBAH?

Hampir sebulan setelah kejadian Nisa pingsan, Riza dan Nisa tidak pernah bertemu lagi. Hanya saja, tiap hari, Riza rutin meminta dengan setia kepada Nisa untuk mau menjadi teman hidupnya, dengan kalimat luar biasanya "Maukah Menikah Denganku?",  minimal tiga kali sehari. Selain itu, beberapa kali Riza juga menanyakan kesehatan mata Nisa, memastikan Nisa baik-baik saja.
Pagi itu, Nisa baru saja selesai berpakaian dan berdandan minimalis, saat ada pesan masuk di handphone-nya. "Pagi Nisa. Maukah Kamu Menikah Denganku?" tulis Riza disana. Nisa tersenyum haru seperti biasa tiap kali membacanya, sekaligus sedih karena ia tidak bisa menjawab iya. Nisa membuka satu halaman di diarynya yang ia beri nama 'Kalimat Ajaib dari Laki-laki Luar Biasa' dan menuliskan disana 'Proposal ke-102, tanggal 23 Mei 2015, jam 7:12 - Komen : I'm always happy, reading Riza's magical sentence. It's touching my heart so much (Ind: Aku selalu bahagia membaca kalimat ajaib Riza. Itu sangat menyentuh hatiku). Tidak bisa menjawab iya kepada kamu adalah rasa sedih dan sesal yang harus dipilih, Riz. Semoga kita ditunjukkan yang terbaik ya :)'. Nisa pun menutup dan menyimpan diarynya kembali dan bergegas berangkat ke kampus. Ada kuliah jam 9.00 di jadwal Nisa. Baru saja Nisa mengunci pintu kamarnya ketika Ana, teman sekelas Riza yang satu kos dengan Nisa terlihat juga akan berangkat ke kampus. "Ada kuliah pagi, Nis?" sapa Ana dibalas anggukan Nisa dengan senyum riangnya seperti biasa. "Ada kuliah jam 9. Kamu sendiri, Na?" ujar Nisa balik bertanya. "Ada kuliah jam 11 sih, tapi mau ke perpus, he he," jawab Ana sambil nyengir. Nisa pun berangkat ke kampus bareng Ana, apalagi fakultas mereka memang berdampingan.
"Oh ya, Nis, kamu deket sama Riza kan?" tanya Ana.
"Hmmm lumayan sih, Na. Emang kenapa?" ujar Nisa sambil tersenyum.
"Kamu ngerasa ada yang berubah ga dari Riza, Nis beberapa minggu ini? Dia lagi ada masalah ya?"
Nisa menoleh ke Ana. "Berubah?" Nisa terdiam sejenak. "Meski kami cukup dekat, tapi jujur aku hampir sebulanan ini tidak pernah bertemu, Riza he he. Kami jarang ketemuan apalagi akhir-akhir ini. Emang Riza berubah seperti apa, Na?" lanjut Nisa bertanya penasaran.
"Riza sekarang berubah jadi cowok yang super dingin ke cewek. Emang sih dia cowok yang cool dari dulu dan itu yang bikin banyak cewek klepek-klepek, tapi Riza yang sekarang benar-benar beku alias dingin, Nis. Udah gitu, Riza beberapa kali terlambat masuk kelas dan kelihatan ngantuk di kelas, padahal biasanya ga segitunya. Denger-denger dari gosip yang beredar, dia kerja katanya".
Nisa memandangi Ana, sedikit tertegun mendengarnya. Belum satu bulan mereka tidak pernah bertemu lagi, tapi sudah banyak yang terjadi pada Riza. Padahal tiap hari dia menerima pesan whatsapp dari Riza, seolah tidak ada yang berubah dengan laki-laki luar biasanya itu.
"Bukannya Riza itu anak tunggal dari keluarga yang cukup mampu ya, Nis?" tanya Ana dijawab anggukan kepala dari Nisa, '"terus ngapain dia pontang panting kerja ya, Nis? Apa Riza sedang ada masalah?"
Nisa menggelengkan kepalanya. "Jujur aku ga tau, Na. Riza ga cerita apa-apa. Waktu terakhir aku ketemu Riza hampir sebulan yang lalu, dia belum kerja dan biasa aja kelihatannya, Na".
Percakapan mereka pun menggantung ketika ada teman sekelas Nisa yang bergabung jalan bersama Nisa dan Ana, mereka pun beralih obrolan ke topik yang lain. Beberapa saat kemudian, tak terasa mereka sudah sampai di fakultas Nisa yang letaknya sebelum fakultas Ana dan juga Riza. Sebelum berpisah, Nisa sejenak menahan langkah Ana.
"Na, hari ini kalian kuliah sampai jam berapa?" tanya Nisa sambil tersenyum.
"Kami ada kuliah sampai jam 4 hari ini, Nis. Kenapa?"
"Aku mau menemui Riza, Na. Kami perlu bicara sepertinya tentang semua yang kamu ceritakan tadi, Na".
Ana mengangguk mengerti, setelah Nisa mengucapkan terima kasih ke Ana dan mereka saling berbalas salam, Nisa dan Ana bergegas ke fakultas masing-masing.
Nisa berjalan menyusuri jalan menuju kelasnya ketika ia justru kepikiran tentang laki-laki luar biasanya itu. "Ada apa dengan kamu, Riz? Apa kamu sedang ada masalah keluarga? Apa kamu bekerja setelah obrolan kita tentang menikah di rumah sakit waktu itu? Apa benar kamu berubah, Riza?" tanya Nisa di dalam hatinya ketika terdengar handphone-nya bergetar.
1 pesan dari Riza
"Hai My BFF and ever :).  'Maukah Kamu Menikah Denganku?'"
Sejenak Nisa hanya tersenyum haru memandangi pesan itu, ia tidak mengetikkan satu huruf pun sebagai balasannya. Namun, jika Ana bilang Riza berubah menjadi laki-laki yang dingin, entah kenapa Nisa justru merasa kata-kata Riza sangat menghangatkan hatinya, terlebih sejak hari itu saat Riza tiba-tiba menyatakan perasaannya dan kemudian melamarnya.

Waktu menunjukkan pukul 15.30 di arloji Nisa saat Nisa berjalan menuju kelas Riza dari perpus fakultas Nisa. Sebenarnya, kuliah Nisa sudah selesai sampai jam 11.30 hari itu, tapi Nisa sengaja menunggu jam 4 sore di perpus sambil belajar materi buat Ujian Akhir Semesternya.
Nisa sudah sampai di depan kelas Riza, setelah Nisa bertanya lebih jelas ke Ana via whatsapp, dan ia pun duduk di depan kelas Riza. Beberapa menit kemudian, terlihat dosen yang mengajar Riza keluar dari kelas diikuti mahasiswanya. Nisa berdiri mengamati tiap mahasiswa yang keluar ketika kemudian ia melihat Riza yang keluar dengan terburu-buru melintas di depan Nisa tanpa menyadari kehadiran Nisa.
"Riza," panggil Nisa membuat Riza menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara yang sangat dikenali telinganya.
"Nisa..., kok kamu ada disini?" tanya Riza heran.
Nisa masih tetap tersenyum, "Boleh kita bicara sebentar, Riz?"
Riza terdiam sejenak menatap Nisa. Nisa bisa melihat rasa lelah di wajah laki-laki itu.
"Maaf, Nis tapi aku buru-buru. Kita bicara lain kali ya," jawab Riza hendak membalikkan badannya ketika ia kemudian kembali menoleh ke Nisa. "Apa kamu ingin bicara terkait dengan sakit glaukoma kamu, Nis? Apa mata kamu masih sering sakit? tanya Riza, terselip rasa khawatir di suaranya.
Nisa buru-buru melebarkan senyumannya sambil menggelengkan kepalanya. "Mata aku baik-baik aja, Riz," ujar Nisa dengan nada riang, seolah ingin menenangkan Riza.
Riza menganggukkan kepalanya, ada rasa lega disana. "Ya udah, aku pergi dulu, Nis".
"Riza...,  aku ingin bicara sama kamu sebentar, please..," pinta Nisa.
Mereka pun akhirnya duduk di salah satu bangku yang ada disana.
"Kamu mau bicara tentang apa, Nis?" tanya Riza datar.
Nisa menoleh sejenak kearah Riza yang terlihat memandang lurus ke depan, entah apa yang dilihatnya. "Aku dengar sekarang kamu kerja ya, Riz?"
Riza melihat kearah Nisa, sejenak menatapnya dalam diam, kemudian menganggukkan kepalanya.
"Apa gara-gara itu akhir-akhir ini kamu beberapa kali terlambat masuk dan mengantuk di dalam kelas?" tanya Nisa lagi dengan hati-hati. Riza menatap tajam Nisa, masih tetap diam dan lagi-lagi hanya menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu lagi ada masalah sampai-sampai kamu pontang panting kerja seperti ini?" sambung Nisa dijawab gelengan kepala dari Riza.
"Terus kenapa kamu memaksa diri kamu dengan keras seperti ini? Buat apa, Riz?"
Riza masih memilih diam sementara Nisa terlihat memerhatikan laki-laki itu.
"Apa kamu masih ingat, kamu pernah bilang ingin membuat oang tua kamu bangga dan tersenyum saat wisuda nanti ketika kamu dipanggil dengan gelar cumlaude kamu? Kamu bilang itu salah satu bentuk tanggung jawab kamu buat mereka sebelum kamu melakukan pembuktian sebenarnya, menerapkan ilmu kamu di dunia kerja dengan baik," ujar Nisa panjang lebar, berhasil membuat Riza menoleh kepada Nisa dan mereka saling berpandangan. Riza tiba-tiba ingat momen lama itu, ketika dirinya dan Nisa bercanda suatu ketika dan  mereka saling berjanji akan mempertanggungjawabkan kuliah mereka ke orang tua masing-masing dengan baik. Saat itu, keduanya sempat berdiskusi bahwa gelar cumlaude bukan penentu kesuksesan orang dan keduanya pun setuju, sampai kemudian satu kalimat Nisa membuat mereka bertekad untuk cumlaude. "Aku cuma ingin memberikan bonus kecil senyuman dan bahagia buat orang tua aku dengan gelar cumlaude itu, Riz. Ga ada salahnya kan berusaha meraihnya...,anggap aja sebagai bonus dari bentuk tanggung jawab kita ke orang tua kita," ucap Nisa dengan senyumnya yang optimis.
"Riza...," panggil Nisa menyadarkan Riza dari flashback-nya.
"Aku masih ingat dan akan berusaha buat tetap menyelesaikan tanggung jawab aku dengan baik, Nis," ujar Riza pelan. Mereka kembali berpandangan sejenak.
"Kita masih sahabat kan, Riz? Jadi kamu bisa cerita ke aku tentang apa saja, Riz. Siapa tahu ada yang bisa aku bantu, Riza".
"Aku baik-baik saja, Nis. Aku hanya ingin belajar lebih mandiri. Bekerja adalah pilihan yang aku ambil dan aku sadar resikonya. Tapi aku punya mimpi dan untuk mewujudkannya aku perlu bekerja, sambung Riza.
Mimpi? Mimpi apa sampai kamu harus berjuang seperti ini, Riz? tanya Nisa membuat Riza terdiam sejenak menatap gadis di sebelahnya itu.
 Suatu saat kamu akan tahu mimpi aku, tapi sekarang aku belum bisa membaginya dengan kamu, Nis. Seperti halnya kamu yang belum bisa memperlihatkan sketsa yang jadi mimpi kamu, lanjut Riza kemudian beranjak berdiri dari duduknya. Ya udah, lebih baik kamu pulang, Nisa. Aku harus pergi sekarang, pamit Riza meninggalkan Nisa setelah mengucapkan salam padanya. Nisa yang masih duduk di tempatnya memandangi Riza hingga bayangan Riza hilang dari pandangannya. Riza yang baru bicara dengan Nisa memang terkesan dingin, baik sikap maupun kata-katanya, membuat Nisa bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Riza. "Kenapa kamu memilih diam seribu bahasa, Riz? Apa benar kamu berubah?" batin Nisa ragu. Nisa kembali membuka percakapannya dengan Riza di whatsapp, membaca ulang kalimat-kalimat ajaib Riza untuknya ketika terdengar suara Ana memanggilnya.
"Nisa, Rizaaa... Rizaaa...," ujar Ana dengan ekspresi panik menghampirinya.
"Riza kenapa?" jawab Nisa balik bertanya ikutan panik.
"Riza jatuh dari sepeda motornya, Nis. Pas dia baru keluar dari parkiran ada sepeda motor yang tiba-tiba memotong jalan di belokan. Riza berusaha menghindari tabrakan dengan motor itu, jadinya dia jatuh dari sepeda motornya," jelas Ana, "tapi Riza gapapa, cuma luka di kakinya karena sempat terseret dan dia lagi dikerumunin beberapa teman di pinggir jalan mau keluar fakultas".
Nisa merasa sedikit lega mendengar kalimat terakhir Ana itu, meski hatinya tetap diselimuti rasa khawatir dan penasaran dengan kondisi Riza. Tanpa membuang waktu, Nisa pun bergegas menghampiri Riza.
Terlihat Riza masih terduduk di pinggir jalan dengan sepeda motornya ada di depannya ditemani dua orang laki-laki, sepertinya teman sekelas Riza.
"Riza apa kamu baik-baik saja?" tanya Nisa dengan nada khawatir sambil mengamati Riza. Riza langsung menoleh dan bergegas berdiri menghadap Nisa. Nisa langsung fokus melihati bagian bawah celana Riza yang sobek dan terlihat ada luka berdarah disana.
"Kaki kamu luka dan harus segera diobati, Riz. Aku temani kamu ke dokter ya?" sambung Nisa.
Riza menatap wajah Nisa yang terlihat khawatir itu kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik saja kok, Nis, cuma luka kecil aja, " jawab Riza. Nisa tersenyum, "Ya udah, kalau begitu aku obati luka kamu, ya...". Lagi-lagi Riza menggelengkan kepalanya, "Ga perlu, Nis. Aku harus berangkat kerja sekarang, biar lukanya aku obatin di tempat kerja aja nanti".
Mereka saling berpandangan sejenak.
"Tapi Riz, ... luka kaki kamu itu harus segera dibersihkan dan diobati. Biar aku obati luka kamu ya," ujar Nisa lagi. Pandangan Nisa lagi-lagi fokus ke luka di kaki Riza sementara Riza hanya diam memandangi Nisa.
"Kamu ga perlu khawatir, Nis. Aku gapapa. Aku janji bakal obatin luka aku nanti sesampai di tempat kerja. Percaya sama aku," ujar Riza tegas membuat Nisa menatap Riza. Sejenak Nisa terdiam, tiba-tiba ia merasa canggung kepada laki-laki di hadapannya itu, tidak seperti biasanya ketika ia bercanda dengan sahabatnya itu. Riza seolah sengaja berjarak dengannya hari itu.
"Ya udah kalau memang kamu maunya begitu, Riz. Hati-hati aja di perjalanan ke tempat kerja ya," ucap Nisa akhirnya sambil balas tersenyum lebar meski sedikit tertahan. Riza menganggukkan kepalanya pelan dan Nisa pun membalikkan badannya berjalan menjauh dari Riza. Riza terlihat mengamati punggung Nisa yang makin jauh itu dalam diam, tiba-tiba ada rasa bersalah menyusup di hatinya atas sikapnya barusan ke gadis itu. Terdengar suara teman Riza, meminta Riza menuruti kalimat Nisa buat mengobati lukanya sebelum pergi ke tempat kerja. Sementara itu, Nisa larut dalam pikirannya yang menemani langkah kakinya. "Aku tidak bisa memahami sikap kamu hari ini, Riz, tapi aku memercayaimu, Riza," ujarnya dalam hati.

"Apa tawaran kamu mengobati lukaku  masih berlaku, Nisa?"
Suara Riza yang tiba-tiba itu mengejutkan Nisa yang larut dalam diamnya. Nisa pun menoleh, terlihat Riza sudah berjalan di sebelahnya sambil menuntun sepeda motornya dan melihat kearahnya. Nisa tersenyum lebar sambil mengangguk, "Tentu saja, Riz". Riza balas tersenyum lebih lebar. Mereka pun mencari tempat duduk buat mengobati luka Riza.
"Kamu tunggu disini bentar ya, Nis. Biar aku pinjam kotak P3K di ruang mahasiswa," ujar Riza sambil memarkir sepeda motornya.
Nisa buru-buru menahan langkah Riza. "Kaki kamu kan lagi luka, Riz. Biar aku saja yang pinjam, kebetulan itu masih ada Ana juga. Kamu tunggu disini bentar ya, " ujar Nisa sambil tersenyum lalu bergegas berlari menghampiri Ana, meminjam kotak P3K buat  mengobati luka Riza. Riza hanya mengamati tingkah laku Nisa itu dengan tersenyum. Beberapa menit kemudian Nisa sudah berada di hadapan Riza dan langsung bergegas mengobati Riza.
"Aku bersihkan dulu luka kamu dengan air mineral ya, Riz," ucap Nisa sambil tersenyum dibalas Riza dengan anggukan kepala dan senyuman tak kalah lebar. Dengan telaten Nisa membersihkan luka Riza dengan kapas dan air. Kemudian, Nisa mengambil cairan alkohol dari kotak P3K yang dipinjamnya. "Ini akan sedikit perih, tahan ya, Riz," lanjut Nisa lagi sambil menatap Riza sejenak dan tertawa kecil ke Riza. Lagi-lagi Riza mengangguk dan ikutan tertawa. Dengan lebih pelan-pelan Nisa menekan lembut luka Riza dengan kapas yang sudah diolesi alkohol itu. Terlihat Riza sesekali meringis menahan perih sambil berusaha tertawa kecil saat Nisa melihat kearahnya, seolah ingin meyakinkan Nisa dia baik-baik saja. Melihat ekspresi Riza itu pun membuat Nisa meniup-niup pelan luka Riza sambil terus mengoleskan alkohol buat membersihkan luka Riza, seolah ingin mengurangi perih yang dirasakan Riza.
Riza pun tersenyum melihat perhatian  dan ketelatenan Nisa itu.
Nisa kemudian mengoleskan betadine pelan-pelan di luka Riza sambil tetap meniup pelan luka Riza lalu bergegas memasang perban di kaki Riza yang terluka itu.
"Nah lukanya sudah selesai diobati, Riz," ucap Nisa pelan sambil tersenyum lebar ke Riza, "gimana... sakitnya sudah berkurang ga, Riz?"
Riza menganggukkan kepalanya sambil tertawa kecil, "Makasih ya, Nis. Maaf sudah menyusahkan kamu, he he". Nisa pun balas tertawa sambil merapikan isi kotak P3K itu seperti semula. Nisa pun meninggalkan Riza sejenak, mengembalikan kotak P3K yang dipinjamnya dan membuang kapas kotor ke tempat sampah.
"Minum dulu, Riz...," ujar Nisa beberapa saat kemudian menyerahkan sebotol air mineral ukuran tanggung ke Riza dan Riza pun bergegas menghabiskannya.
"Yakin kamu tetap masuk kerja hari ini, Riz? Apa kamu ga bisa minta izin, Riz?" tanya Nisa hati-hati.
Riza memandang kearah Nisa dan tersenyum. "Aku baik-baik saja, Nisa. Lagi pula kan luka aku udah kamu obatin," jawab Riza dengan bersemangat. Nisa balas tertawa sambil mengangguk pelan. Nisa senang karena Riza tak lagi sedingin sebelumnya.
"Nisa...," panggil Riza membuat gadis itu menoleh kepadanya.
"Ya," jawab Nisa.
"Maaf ya kalo sikap aku terlalu dingin hari ini," ujar Riza lagi. Nisa tersenyum.
"Gapapa, Riz..., yaaa meski aku ga terlalu suka sih karena sahabat aku jadi mahal senyumnya, he he," balas Nisa dengan nada riang sambil menggoda Riza, "memang kamu kenapa sebenarnya, Riza?"
Riza tertawa memamerkan giginya sambil mengucap maaf.
"Sejak aku meminta seseorang jadi teman hidup, ada yang aneh di hati aku. Aku ingin menjaga hati aku buat dia, tapi sikap aku jadi terbawa dingin deh he he. Habisnya gadis itu belum juga menjawab iya sih padahal udah satu bulan aku meminta berkali-kali ke dia," jelas Riza lalu memanyunkan bibirnya.
Nisa tersenyum. "Kamu juga sih, Riz... udah tahu jawaban gadis itu apa, tetap aja meminta hal yang sama. Jadi negatif begini kan dampaknya buat kamu, jadi super dingin. Sudah, berhenti saja melamar gadis itu, lebih baik kamu berjuang untuk gadis yang lebih baik, Riza. Kamu layak buat dapat teman hidup yang lebih baik. Percaya sama aku".
Riza balas menatap Nisa, terdiam sejenak melihat senyuman di wajah Nisa lalu balas tersenyum lebar. "Aku selalu percaya sama kamu, Nisa, itu sebabnya aku ga akan menyerah mendapatkan jawaban iya dari kamu". Nisa menarik senyumnya lebih lebar kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Andai aku bisa menjawab iya, Riz...," ucap Nisa di dalam hatinya sambil bibirnya tersenyum menatap awan yang berarak sore itu.
"Oh iya, apa alasan kamu bekerja ada hubungannya sama aku, Riz?" tanya Nisa hati-hati tetap dengan senyum lebarnya.
Riza menatap Nisa sejenak.
"Aku kerja karena aku ingin menjadi seseorang yang bertanggung jawab buat kamu dan aku ingin membantu kamu mewujudkan mimpi kamu, Nis," batin Riza.
Riza pun tersenyum lalu ikutan menoleh ke awan-awan di atas mereka. "Kan aku sudah bilang, aku kerja karena aku punya mimpi tapi aku belum bisa menceritakannya ke kamu sekarang, Nisa," Riza menoleh kembali kearah Nisa, "yang terpenting aku harap kamu tetap percaya ke aku, Nis. Aku akui kuliah aku agak kacau sejak aku memutuskan kerja, agak susah mengatur  waktu dan tenaga, tapi aku akan berusaha lebih baik biar kerja dan kuliah bisa berjalan baik berdampingan. Aku janji, Nis akan berusaha bertanggung jawab dengan baik di keduanya". Nisa tersenyum lebih lebar kearah Riza sambil menganggukkan kepalanya, "Apapun alasannya, aku percaya sama kamu, Riz. Kamu pasti bisa, Riza. Semangat dan berjuang, Riza!" Keduanya pun saling tertawa.
Riza pun berpamitan berangkat kerja sekali lagi ke Nisa, hanya saja kali ini dengan senyum mengembang di wajah keduanya.

Tiga puluh menit kemudian, Nisa sedang asyik bersantai di kamarnya sambil melanjutkan sketsanya ketika sebuah pesan dari Riza masuk di whatsapp-nya.
"Lapor... pasien bernama Riza sudah tiba dengan selamat di tempat kerja :).
Hmmm, kira-kira perawat baik tadi mau ga menikah dengan laki-laki bernama Riza yang kakinya tadi diperban?"
Nisa tersenyum membacanya.
"Laporan diterima. Hati-hati di tempat kerja, jangan lupa makan dan istirahat ya.
Hmmm soal perawat baik tadi... hmmm lupakan saja. Dia tidak cukup baik buat Riza. Dia itu sebenarnya pasien yang menjadi perawat dadakan dalam kondisi darurat aja :)," ketik Nisa. Tak ada balasan dari Riza, Nisa pun teringat sesuatu hal yang sempat terlintas di pikirannya dalam perjalanan pulangnya dari kampus tadi.
Nisa mengetuk pintu kamar Ana dan beberapa saat sudah duduk santai di tempat tidur Ana. Nisa meminta bantuan Ana agar mau meminjamkan catatan, buku, dan meng-copy materi perkuliahan Ana yang sekaligus juga materi perkuliahan Riza. Ya..., Nisa bertekad membantu membuatkan rangkuman materi kuliah buat Riza apalagi sekitar dua minggu lagi mereka akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Nisa tahu Riza sedang berjuang untuk bisa meraih hasil yang baik di keduanya, yaitu tentang kuliah dan pekerjaannya, dan Nisa ingin membantu Riza semampunya.
Setelah meng-copy  bahan kuliah Ana dan Riza kedalam flashdisk dan meminjam beberapa catatan Ana yang sangat berbaik hati memahami niatan Nisa, Nisa pun bergegas membuat catatan-catatan kecil yang mudah Riza bawa kemana-mana.
Waktu sudah berlalu tiga jam ketika mata Nisa terasa lelah, Nisa pun memutuskan mengistirahatkan matanya setelah makan malam dan meminum obatnya. Nisa berniat tidur dulu, sebelum bangun lagi dan belajar untuk materi ujiannya sendiri.
Mata Nisa hampir terpejam ketika sebuah pesan lagi-lagi masuk ke handphone-nya, dari Riza.
"Nisa, Maukah Kamu Menikah Denganku? Aku akan tetap menunggu sampai kamu menjawab iya, Nis :)".


Nisa tersenyum haru membacanya, selalu seperti itu hatinya, tersentuh, saat laki-laki luar biasanya menuliskan kalimat ajaib itu lagi dan lagi. Seperti biasanya, Nisa tidak membalas pesan itu. Ada sebutir air mata menetes di pipinya diantara senyumnya, "Biar waktu yang menunjukkan semuanya, Riz. Semoga kita sama-sama ditunjukkan yang terbaik, Riza". 


Minggu, 03 April 2016

YOU ARE THE ONE : "Maukah Kamu Menikah Denganku?"


YOU ARE THE ONE
"Maukah Kamu Menikah Denganku?"

Rizky sebagai Riza
Anisa sebagai Nisa

Dear : Riza (laki-laki luar biasa).
“Melihat dan menemanimu adalah mimpi sepanjang usiaku. Aku ingin mencintai dan membahagiakanmu hingga akhir waktu” – Nisa.

Dear : Nisa (my best friend forever and ever).
“Mimpimu, membuatku ingin mewujudkannya. Takutmu, membuatku ingin meniadakannya. Senyummu, membuatku ingin selalu menghadirkannya. Hadirmu, membuatku ingin selalu menghabiskan hidupku bersamanya” – Riza.

PART 1 AKU MENYUKAIMU, TAPI....

Hari itu adalah hari yang sangat bahagia bagi Nisa, seorang perempuan sederhana yang mencintai dengan sederhana dan dicintai dalam sederhana oleh Riza. Riza..., laki-laki itu terlihat gagah dalam balutan kemeja putih dan jas hitamnya, suaranya lantang dan penuh keyakinan saat ayah Nisa menyerahkan putri bungsunya itu kepadanya melalui ijab kabul yang diucapkan saat itu. Hatinya merasa lega dan dipenuhi rasa syukur karena akhirnya ia menjadi teman hidup sekaligus pelindung sah Nisa, perempuan cantik yang sekarang duduk di sebelahnya, setelah ribuan kali ia berusaha meminta Nisa menjadi pasangan hidupnya. Nisa, perempuan cantik dalam balutan gaun putih itu terlihat terharu dan bahagia, sesekali air mata jatuh dari mata cantiknya itu. Kini ia bukan lagi seorang gadis yang berada dalam tanggung jawab ayah tercintanya lagi, kini ia makmum bagi laki-laki tampan pemberani yang duduk di sebelahnya dan terlihat tak kalah bahagia. Laki-laki itu... laki-laki yang mencintainya dengan caranya yang luar biasa, laki-laki yang seharusnya layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik darinya, tapi tidak menyerah meyakinkan dia sebagai teman hidupnya.

Beberapa bulan sebelumnya...

Sore itu, dua orang sahabat, laki-laki dan perempuan, terlihat sedang berjalan beriringan selepas kelas masing-masing usai menuju sebuah ruang terbuka hijau yang ada di kampus mereka. Sesekali canda tawa terdengar diantara keduanya yang hampir satu bulan tak sempat bertemu karena kesibukan kuliah mereka. Perempuan itu bernama Nisa, seorang mahasiswi jurusan arsitektur yang sedang menjalani dua semester akhirnya yang tersisa dan baru menyelesaikan tugas praktiknya sedangkan laki-laki itu bernama Riza, seorang mahasiswa jurusan ekonomi pembangunan di semester yang sama yang disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk tugasnya. Mereka sengaja mengatur waktu untuk bisa bertemu hari itu.
"Ini buat kamu, Riz," ujar Nisa tersenyum sambil menyerahkan sebuah tas kertas ke Riza.
Riza terdiam memandang Nisa dengan ekspresi bertanya-tanya menunggu penjelasan lebih lanjut dari gadis itu.
"Bulan kemarin kamu berulang tahun kan, Riz. Anggap aja ini kado kecil dari aku," sambung Nisa sambil tersenyum lebih lebar, "semoga selalu ditunjukkan yang terbaik, Riz...., maaf kalau terlambat ya, he he".
Riza balas tersenyum lebar sambil mengucapkan terima kasih dan bergegas melihat kado kecil dari Nisa itu. Ternyata sebuah tempat pensil dari bahan tembikar.
"Kebetulan di tempat praktik kemarin, kita ada diberi waktu main sehari di tempat kerajinan tembikar di daerah sana, jadi sekalian aja aku buatin tempat pensil buat kamu. Tapi maaf kalau hasilnya seadanya ya, " sambung Nisa tertawa kecil membuat Riza ikut tertawa.
"Bagus kok, Nis. Makasih sudah membuatkan ini buat aku ya," ujar Riza dengan wajah riang sambil mengamati lebih seksama tempat pensil buatan tangan Nisa itu.
"Be a good person,
 always be brave and honest " .
(ind: “Menjadi orang baik, selalu berani dan jujur”.)
Riza membaca tulisan yang terukir di tempat pensil itu kemudian tersenyum sendiri tetap memandangi tulisan Nisa itu, membuat Nisa ikut tersenyum melihat Riza. Ia merasa lega karena Riza menyukai kado sederhana darinya itu.
"Be brave and honest, Riz...," ujar Riza dalam hati ke dirinya sendiri. Riza melihat kearah Nisa dan balas tersenyum, lalu melirik ke sebuah gulungan kertas yang dipegang Nisa.
"Ituuuu.... kado buat aku juga bukan?" tanya Riza tertawa kecil menggoda Nisa. Nisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya membuat Riza sejenak tersenyum melihat tingkah Nisa yang terlihat lucu dimatanya.
"Hmmm itu sketsa gambar apa memangnya, Nis?" tanya Riza penasaran menunjuk ke gulungan kertas yang dipegang Nisa.
Gadis bernama Nisa itu pun tersenyum lebar, "Ini.... mimpi aku, Riz".
"Mimpi kamu? Mimpi apa, kok kamu tidak pernah cerita?" tanya Riza lagi makin penasaran.
Nisa tersenyum makin lebar. "Aku punya mimpi, suatu hari nanti, aku ingin membuat taman kecil yang indah yang bisa dinikmati oleh mereka yang kehilangan penglihatan," ujar Nisa bersemangat.
Riza tersenyum mendengarnya, ia tersentuh dengan mimpi Nisa itu. Ia berusaha merebut gulungan gambar itu dari tangan Nisa dengan setengah bercanda membuat Nisa kemudian memutuskan mendekap erat gulungan kertas itu, sejenak menjulurkan lidahnya gantian menggoda Riza.
"Masih rahasia, Riz, masih belum selesai soalnya. Sabar ya, nanti kalau gambarnya sudah jadi, aku pasti tunjukkin ke kamu," sambung Nisa sambil tersenyum riang. Riza menganggukkan kepalanya bersemangat, terlebih melihat senyuman lepas Nisa yang terasa tulus.
"Ya udah, nanti biar aku yang mengurus terkait pembiayaannya, percayakan padaku sebagai jebolan fakultas ekonomi. Oke!" ujar Riza tertawa lebar meyakinkan Nisa, dibalas Nisa dengan anggukan kepalanya mantab sambil mengacungkan jempolnya dan ikut tertawa lebar.
Riza tiba-tiba terdiam, sejenak ia memandangi Nisa yang wajah penuh senyuman dan hadirnya, ternyata Riza rindukan beberapa minggu terakhir ini.
"Apa kamu kangen ketemu sama aku, Nis?"
Nisa setengah terkejut mendengarnya, meski mereka bersahabat, tapi jauh di hati Nisa, ada rasa yang ia simpan rapi buat sahabatnya itu. Nisa menyukai sahabatnya itu sejak awal mereka bersahabat, tapi ia memilih memperjuangkan perasaannya sebagai sahabat Riza. Meskipun demikian, Nisa selalu memegang peluang itu, bahwa suatu hari Riza akan merasakan perasaan yang sama terhadapnya, Riza akan menyukainya, sebelum akhirnya Nisa melepaskan keinginan itu, berhenti mengharapkan hal itu setelah sebuah kenyataan yang diketahuinya beberapa minggu yang lalu.
"Kamu habis ditolak cewek apa.... lagi kangen sama gebetan atau cewek baru kamu ya, Riz...," jawab Nisa tersenyum ringan, seolah menggoda Riza. Jauh di hatinya, Nisa berusaha meredam rasa yang masih belum bisa ia lupakan tentang sahabatnya itu meski ia berusaha sekuat tenaga menetralkannya.
Riza menatap Nisa sejenak dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Aku serius, aku tanya apa kamu kangen sama aku, Nisa," ulang Riza.
Nisa tersenyum lebih lebar, "Aku juga serius, Riz. Pertanyaan kamu benar-benar aneh. Are you okay, Riz? Apa ada sesuatu yang terjadi selama aku pergi?"
"Memangnya aneh seorang sahabat merindukan sahabatnya, Nis?" ujar Riza balik bertanya membuat Nisa terdiam memandang Riza. Nisa pun tersenyum, "Enggak aneh kok, Riz".
"Jadi kamu kangen nggak sama aku?" ulang Riza sembari tersenyum.
Nisa menatap Riza sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu, membuat Riza tertawa melihatnya.
"Nah begitu dong, kan aku jadi merasa lega dan sangaaat senang sekarang," ujar Riza, "itu artinya bukan aku aja yang kangen sama kamu, tapi kamu juga sebaliknya". Riza terlihat riang beberapa saat setelahnya membuat Nisa merasa heran dengan sikap sahabatnya itu meski di satu sisi hatinya, Nisa merasa senang saat tahu Riza juga merindukan dirinya. Andai hari ini adalah beberapa bulan sebelumnya, mungkin hati Nisa akan melambung sangat-sangat tinggi saking senangnya karena kalimat Riza itu. Sayangnya kalimat itu baru Nisa dengar hari ini, saat Nisa sudah berhenti berharap tentang perasaannya ke Riza.
Riza menghentikan langkahnya, menatap Nisa dengan tajam membuat Nisa salah tingkah meski ia tetap memutuskan untuk tetap melihat kearah sahabatnya itu. Riza terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi seolah masih mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya.
“Hmmmm,... aku baru menyadari satu hal Nisa, aku menyukai kamu, Nis. I love you Nisa,” ucap Riza dengan nada cepat dan yakin, membuat Nisa yang mendengarnya pun tertegun. “Apa aku sedang bermimpi? Atau Riza sedang berniat mengerjai sahabatnya ini?” tanya Nisa dalam hati masih menatap Riza dengan heran. Sementara itu, Riza terlihat sedang menunggu sebuah jawaban dari mulut Nisa.
“Kamu... kamu... lagi stres karena kebanyakan tugas atau salah makan ya Riz? Kamu aneh banget hari ini...,” jawab Nisa sambil tertawa kecil dan memukulkan kertas sketsanya itu pelan ke bahu Riza.
Riza tersenyum, tetap menatap Nisa tajam sambil menggelengkan kepalanya dengan yakin.
“Aku serius, Nisa. Kamu sendiri yang bilang bahwa aku harus berani dan jujur, bukan? Aku menyukai kamu, Nisa. Bukan sekedar sebagai sahabat, tapi rasa suka seorang laki-laki ke perempuan,” sambung Riza pelan tapi dengan nada tegas membuat Nisa semakin terpaku di tempatnya. “Riza menyukai aku? Perasaan aku ke Riza akhirnya terbalas?” ujar Nisa lagi di dalam hatinya. Seharusnya Nisa bahagia mendengarnya dan memang terselip bahagia di hatinya saat itu, dua tahun sejak rasa itu ada di hatinya, Riza akhirnya memiliki rasa yang sama dengannya, tapi sekarang Nisa  tak lagi mengharapkan Riza membalas perasaannya. Dia hanya ingin menyimpan perasaannya untuk Riza itu sendiri.  
“Apa kamu menyukai aku juga, Nisa?” tanya Riza menyadarkan Nisa dari lamunannya. Nisa kembali menatap Riza. Untuk sejenak Nisa hanya tersenyum tak tahu harus menjawab apa.
“Apa kamu menyukai aku juga, Nis?” ulang Riza membuat Nisa kemudian tertawa lebar ke Riza. “Kamu pasti sedang bercanda. Iya kan, Riz...”. Nisa kembali memasang wajah riangnya, berjalan santai meninggalkan Riza sambil menoleh kearah langit dan kanan kirinya seolah pertanyaan itu hanya pertanyaan yang numpang lewat dan tidak serius.
“Aku serius dan tidak sedang bercanda, Nisa,” ucap Riza tegas dan agak lantang, sambil berdiri beberapa meter dihadapan Nisa dan menghentikan langkah Nisa. Lagi-lagi Nisa hanya tersenyum tanpa mengucapkan satu kata pun.
“Aku akan ulangi pernyataan aku tadi satu kali lagi dan aku harap kamu mau menjawabnya dengan jujur, Nis. Kalau kamu tetap diam dan senyum-senyum ga jelas seperti ini, aku anggap kamu tidak menerima perasaan aku. Dan aku janji nggak akan pernah mengulang mengucapkannya lagi setelah ini,” sambung Riza serius, menatap Nisa sejenak kemudian balik membelakangi Nisa. Lagi-lagi Nisa hanya tersenyum melihat tingkah Riza saat itu, Nisa bisa melihat ada rasa kesal dan sedikit kecewa yang bercampur dengan harapan di wajah sahabatnya itu karena sikapnya. Namun, Nisa juga tidak tahu harus menjawab apa, meski hatinya ingin menjawab iya buat Riza, tapi Nisa tetap tidak bisa menerima perasaan Riza. Nisa bingung harus berkata apa.
Nisa tetap memandangi Riza yang sedang membelakanginya, ia seolah ingin mengamati dengan seksama setiap gerak gerik sahabatnya  itu yang perlahan mulai terlihat kabur di pandangan Nisa yang masih tetap dengan senyumnya.
“Kalau kamu tetap tidak menjawab kali ini, aku janji aku bakal melupakan perasaan aku ke kamu yang aneh ini dan ga akan pernah mengungkitnya lagi,” ujar Riza lagi, “aku... suka sama kamu, lebih dari sekedar sahabat, Nisa. Apa kamu juga punya perasaan yang sama?”
Kalimat Riza itu terdengar indah di telinga Nisa dan untuk kesekian kali mampu menyentuh hati Nisa. Nisa tersenyum lebih lebar memandangi Riza yang tetap membelakanginya, menungggu jawaban dari mulut Nisa.  Riza terlihat semakin kabur di pandangan Nisa ketika tiba-tiba saja Nisa merasakan seperti ada palu yang memukul kepalanya dengan keras, dan semuanya pun menjadi gelap dalam seketika.

Terdengar bunyi sesuatu terjatuh di tanah, Riza pun bergegas menoleh ke belakang mencari asal suara. Di hadapannya, Nisa terlihat terbaring tak sadarkan diri di tanah dan sketsa gambarnya pun tergeletak tak jauh darinya.
“Nisaaa...,” ujar Riza bergegas membangunkan sahabatnya itu. “Nis... kamu kenapa?” ujarnya panik sambil berulang kali menepuk pipi Nisa yang tetap terpejam meski Riza berulangkali memanggil namanya. “Nisa..., bangun Nis... sadar Nis... Kamu kenapa, Nisa?”
Riza pun meminta bantuan mahasiswa yang ada di sekitarnya mencarikan taksi untuknya membawa Nisa ke rumah sakit. 10 menit kemudian, Riza sudah berada di dalam taksi menuju rumah sakit bersama Nisa yang tak kunjung membuka matanya.

PART 2 : GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP VS 'MAUKAH KAMU MENIKAH DENGANKU?'

Dua jam berlalu, terlihat Nisa sedang terbaring di sebuah ruangan di rumah sakit dan mulai membuka matanya.
“Kamu sudah sadar Nis? Mana yang sakit, Nisa?”
Pandangan Nisa masih sangat kabur, ia tidak bisa melihat jelas laki-laki yang ada di hadapannya dan bertanya padanya dengan nada khawatir itu. Namun dari suaranya, Nisa sangat mengenali suara itu, suara Riza.
“Aku dimana, Riz?” tanya Nisa pelan, kepala dan matanya masih terasa sakit.
“Kamu di rumah sakit Nis. Tadi kamu tiba-tiba pingsan. Mana yang sakit, Nis?” tanya Riza lagi.
Nisa tersenyum, berusaha menenangkan Riza yang terdengar mengkhawatirkannya itu. “Aku gapapa, Riz. Oh iya, sketsa aku dimana ya, Riz?”
Samar di pandangan Nisa, Riza terlihat berusaha tersenyum tipis, “Gapapa gimana, kamu pingsan cukup lama, Nisa... . Sketsa kamu aman kok, Nis. Ini...” . Riza mengambilkan gulungan sketsa milik Nisa dan memperlihatkannya pada Nisa. Nisa mengambil gulungan sketsa miliknya itu dan mendekapnya sambil tersenyum lega.
Riza tersenyum melihatnya meski rasa khawatir itu lebih terlihat jelas di wajahnya.
“Aku panggilkan dokter buat memeriksa kamu ya, Nis...”. Lagi-lagi Nisa tersenyum lebar dan mengangguk pelan.
Sebelas menit kemudian terlihat seorang dokter masuk bersama Riza. Sebenarnya Nisa hanya bisa melihat dengan samar kedua orang itu, tapi dari pakaiannya yang putih dan benda yang terlihat seperti stetoskop di leher orang tersebut, Nisa bisa menduga bahwa itu pastinya dokter. Sejak sadar dari pingsannya, pandangan Nisa belum bisa pulih seperti biasa, semuanya terlihat kabur baginya.
“Dari pemeriksaan standar, baik itu tensi, suhu, dan denyut jantung, semuanya normal. Oleh karena itu, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisi Mbak Nisa,” ujar dokter berusaha menjelaskan. “Kalau boleh saya tahu, apa yang Mbak Nisa rasakan sebelum pingsan dan sekarang? Bagian mana yang sakit?” tanya dokter lagi.
Nisa terdiam sejenak sambil berusaha tersenyum kepada dokter dan juga Riza yang ada di sebelah dokter. Nisa balas menatap Riza yang sedang menatapnya itu, Nisa ragu apakah ia harus menceritakan penyakitnya di hadapan Riza. Namun, Nisa juga merasa tidak enak meminta Riza keluar saat itu.
“Sebenarnya... saya mengalami penyakit glaukoma sudut tertutup, Dokter,” ujar Nisa pelan.
“Glaukoma?” seru Riza pelan tetap memandangi Nisa, seolah meminta penjelasan yang lebih banyak tentang itu.
“Apa Mbak Nisa tahu resiko terburuknya?” tanya dokter.
Nisa memandang kearah Riza yang menunggu penjelasan sejenak, kemudian mengangguk pelan.
“Apa Mbak Nisa sudah rutin melakukan pengobatan?” lanjut dokter lagi.
“Maaf dokter, memang apa resiko terburuknya?” sela Riza terlihat penasaran, sejenak dia melihat ke Nisa seolah meminta penjelasan dari gadis itu.
“Penderita glaukoma sudut tertutup bisa sewaktu-waktu mengalami kebutaan selamanya meski sudah menjalani pengobatan. Di beberapa kasus, operasi menjadi jalan yang paling aman untuk mencegah kemungkinan itu karena kita tidak pernah tahu kapan sakit yang menyerang itu bisa menghilangkan penglihatan penderitanya. Apa Mbak Nisa sering mengalami rasa sakit seperti sekarang, sampai Mbak Nisa pingsan?”
Riza terlihat diam mematung mendengarnya. Perasaannya  campur aduk mendengarnya. Kembali ia melihat ke Nisa lama. Nisa tersenyum lebar kepada Riza.
“Sejak pertama kali serangan sakit itu saya rasakan, ini baru kali kedua saya pingsan. Saya sudah melakukan pengobatan sejak beberapa minggu yang lalu, Dok,” jawab Nisa. “Kamu tenang aja, aku baik-baik saja, Riza,” sambungnya sambil tersenyum lebih lebar ke Riza yang masih tetap diam menatapnya diantara rasa terkejutnya, seolah Nisa  ingin menenangkan laki-laki itu.
Dokter pun kemudian mengarahkan Nisa untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di bagian yang menangani penyakit mata. Dan Riza tetap saja terdiam, menyiapkan kursi roda buat diduduki Nisa dan bergegas menemani Nisa menuju bagian penyakit mata sesuai petunjuk dokter. Pandangan Nisa masih setengah kabur saat itu, meski sakit di matanya sudah jauh lebih berkurang. Nisa justru mengkhawatirkan Riza yang masih tetap setia dalam diamnya.
“Riz, kenapa kamu tiba-tiba jadi diam? Kamu marah?” ujar Nisa berusaha membuyarkan keheningan diantara keduanya. Hening, tak ada jawaban dari Riza yang terus mendorong kursi roda Nisa pelan.
“Maaf ya, Riz...,” sambung Nisa.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nis. Kamu tidak salah apa-apa. Aku cuma sedang tidak ingin bicara saja, seperti halnya kamu yang diam dan tidak menceritakan apa-apa tentang penyakit kamu ke aku,” jawab Riza pelan dan datar,  membuat Nisa merasa bersalah. Nisa tahu, ada rasa kecewa bercampur sedih dan kaget dalam nada bicara Riza itu.
Nisa sengaja tidak bercerita ke Riza tentang penyakitnya karena dia tidak ingin melihat Riza mengkhawatirkannya. Dia hanya ingin tetap berbagi senyum dan tawa bersama laki-laki yang istimewa di hatinya itu. Siapa yang menyangka bahwa serangan glaukoma itu justru terjadi tiba-tiba ketika Nisa sedang bersama Riza sore itu.
Akhirnya mereka sampai ke bagian penyakit mata dan Riza menemani Nisa masuk ke ruang pemeriksaan mata serta dengan aktifnya meminta penjelasan ke dokter specialis mata tersebut terkait penyakit Nisa. Setelah melihat kondisi mata Nisa, dokter menyarankan gadis itu menjalani operasi mata untuk mencegah ancaman kebutaan yang bisa datang sewaktu-waktu jika Nisa mengalami serangan serupa.
Nisa hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tetap tersenyum kepada dokter di hadapannya itu. “Saya memilih pengobatan biasa saja, Dok. Saya tidak mau dioperasi,” ujar Nisa lirih. Ada semacam trauma di nada bicara Nisa ketika kata operasi itu diucapkan. Sementara itu, Riza masih betah dalam diamnya kepada Nisa, hanya menatap gadis itu lama.

Setelah dokter memberikan resep obat kepada Nisa, Nisa dan Riza pun keluar dari ruangan itu masih tanpa satu kata pun ketika beberapa saat kemudian, Riza berhenti mendorong kursi roda yang diduduki Nisa dan Riza duduk di salah satu bangku tunggu yang ada di lorong rumah sakit itu dan menghadapkan Nisa dengan dirinya.
Sejenak Nisa balas menatap Riza yang masih terlihat agak kabur di pandangannya, dengan raut setengah bertanya kemudian lagi-lagi Nisa tersenyum lebar ke Riza yang masih menatapnya dengan serius. Entah kenapa Nisa tiba-tiba merindukan sebentuk senyum di bibir Riza yang saat itu tiba-tiba terasa langka dan pergi jauh, entah kemana.
Nisa kemudian tertawa memamerkan giginya sambil tangannya membuat bentuk senyuman ke Riza, berusaha membujuk Riza buat tersenyum lagi dan menghentikan gerakan diam seribu bahasanya ke dirinya. Dan... berhasil, Riza balas memamerkan giginya sambil tangannya ikutan membentuk simbol senyuman lalu tersenyum lembut kepada Nisa. Tawa pun akhirnya pecah diantara keduanya sebelum kemudian Riza kembali menatap Nisa dalam diam.
“Kenapa lagi? Jangan-jangan kamu marah gara-gara kejadian di kampus tadi, gara-gara aku diam dan senyum-senyum tidak jelas ya Riz?”
Riza menggelengkan kepalanya pelan. Saat itu, tiba-tiba Riza menyadari makna dibalik diam Nisa padanya tadi. “Apa kamu diam karena penyakit kamu, Nisa? Apa kamu diam karena tidak ingin membuat aku lebih khawatir?” ujar Riza dalam hati, tetap memandang Nisa yang terlihat sedang menunggu respon laki-laki yang berhadapan dengannya itu.
“Rizaaa...”. Panggilan Nisa sambil tersenyum lebar itu menyadarkan Riza dari monolog hatinya.
Riza kembali menggelengkan kepalanya sambil balas tersenyum lebar. “Seperti yang aku katakan tadi di kampus, aku tidak akan mengulang mengatakannya lagi, Nisa”.
Nisa balas tersenyum tipis, “Artinya kita bisa bersahabat lagi seperti biasa kan, Riz?”
Riza terdiam dan balas tersenyum tipis. "Maukah kamu menikah denganku, Nisa?"
Kini giliran Nisa yang mematung menatap Riza antara takjub dan kagetnya. Hari ini kalimat-kalimat Riza benar-benar membuat Nisa speechless. Setelah sebelumnya Riza mengagetkannya dengan pernyataan sukanya, sekarang Riza malah memintanya menjadi istrinya.
"Ini nyata atau aku sedang terlalu berhayal?" ujar Nisa dalam hati sambil bergegas mencubit tangannya sendiri dan ternyata sakit.
"Nisa... kamu dengar apa yang aku bilang barusan?" lanjut Riza.
Nisa masih menatap Riza yang terlihat sedang tersenyum dengan raut seriusnya. Nisa menganggukkan kepalanya ragu.
"Apa kamu mau menikah denganku, Nisa?" tanya Riza lagi dengan lembut, tapi tetap serius.
Nisa masih terdiam, hanya balas tersenyum lembut.
"Apa kamu baik-baik saja, Riza? Kalimat kamu benar-benar tidak biasa hari ini," ujar Nisa sambil menempelkan tangannya ke kening Riza sejenak, jangan-jangan Riza demam sehingga kalimatnya menjadi aneh seperti itu.
Riza tersenyum lebih lebar, "Aku baik-baik saja, Nis. Dan aku 100 persen sadar dengan semua kalimat aku ke kamu hari ini. Aku ingin menjadi teman hidup kamu, Nisa. Pertanyaannya, apa kamu mau menjadi teman hidup aku?"
Nisa memandangi Riza, tetap dengan senyumnya. "Aku ingin menjadi teman hidup kamu Riza, tapi aku... akuuu..tidak mau menjadi teman hidup kamu. Kamu layak mendapatkan seseorang perempuan yang lebih baik, Riz. Seseorang yang bisa membahagiakanmu dengan utuh, bukan orang yang mungkin mengalami kebutaan permanen seperti aku," ujar Nisa sambil tersenyum lebih lebar, "lagipula bukannya aku tidak masuk sebagai kriteria perempuan yang kamu sukai kalau melihat mantan-mantan kamu sebelumnya, Riz?"
Riza tersenyum mendengarnya. "Kamu memang tidak masuk kriteria itu, Nis, tapi cuma kamu yang membuatku ingin dan yakin untuk menjadikanmu sebagai teman hidup aku”. Riza terdiam sejenak. "Mungkin ada banyak perempuan yang lebih baik dari kamu Nisa, tapi kebahagiaan aku ga akan utuh tanpa kamu, Nis. Lagipula, seperti yang dokter bilang tadi, kamu mungkin sembuh Nis melalui operasi".
Kalimat Riza itu sukses membuat Nisa terharu dan berkaca-kaca, Nisa sangat tersentuh mendengarnya. Nisa tidak menyangka sahabatnya itu menjelma menjadi laki-laki yang super romantis secara tiba-tiba saat itu.
“Aku takut operasi, Riz.... aku masih trauma. Aku kehilangan Mama dan adik bungsuku di ruang operasi, Riza. Sejak keluar dari ruang operasi waktu itu, aku tidak bisa lagi melihat senyum Mamaku," jawab Nisa lirih sambil menatap Riza. Air matanya berdesakan ingin sekali keluar saat itu juga, tapi dia tidak ingin menangis di depan Riza saat itu. Meskipun demikian ada saja satu dua kali air matanya tak bisa ia cegah untuk keluar dan Nisa dengan cepat menghapusnya. Riza balas menatap Nisa dengan lembut, seolah ia ingin menenangkan Nisa. "Aku mengerti ketakutan kamu Nisa, aku janji aku bakal menemani kamu selama di ruang operasi biar kamu tidak terlalu takut. Izinkan aku menikah dengan kamu, ya...," ujar Riza sambil tersenyum lebih lebar, "apa yang terjadi sama Mama dan adik bungsu kamu itu sudah ditakdirkan Allah, Nisa, tapi bukan berarti kamu akan mengalami hal yang sama".
Nisa terdiam mendengarkan ucapan Riza itu. Nisa tahu bahwa apa yang terjadi dengan Mama dan adiknya itu adalah takdir, tapi Nisa tetap tidak bisa menghilangkan trauma yang dirasakannya itu, ketika tubuh Mama dan adiknya terbujur kaku sekeluarnya dari ruang operasi beberapa tahun lalu. Saat itu, Nisa hanya bisa menangis dipelukan kakaknya dan kehilangan itu masih tetap terasa bagi Nisa hingga sekarang tiap kali ia mengingatnya.
Tiba-tiba saja, Nisa merasakan ketakutan baru mengingat kalimat Riza. Bagaimana kalau seandainya dirinya keluar dari ruang operasi seperti Mamanya. Bagaimana dengan Riza. Tiba-tiba Nisa disergap ketakutan membayangkan Riza berada di posisinya saat itu, kehilangan seseorang yang disayangi. "Aku tidak ingin Riza mengalami seperti yang aku alami dulu," ujar Nisa dalam hati.
"Nisaaaa...," panggil Riza menyadarkan Nisa dari lamunannya.
Nisa buru-buru tersenyum lebih lebar, sejenak Nisa memandangi laki-laki itu yang terlihat tulus kepadanya, "Maafkan aku Riza, tapi aku lebih memilih pengobatan selain operasi saja. Aku tidak bisa mengalahkan ketakutan karena trauma itu, Riz. Dan maaf, aku tidak bisa menikah dengan kamu, Riza. Aku lebih nyaman kita tetap bersahabat seperti ini. Lagi pula, kalau kita menikah sekarang pun, kita masih punya tanggung jawab ke orang tua kita menyelesaikan kuliah kita dengan baik dan kita juga sama-sama belum kerja. Jadi kalaupun kita menikah, kita hanya akan menjadi beban orang tua kita, dan aku serta kamu pastinya ga mau kan?"
Riza terdiam kemudian tersenyum lagi, "It's okay, Nis kalau kamu masih trauma buat operasi, kita bisa tunggu sampai kamu berani. Dan kalaupun kamu tidak ingin operasi, aku tetap ingin menemani kamu, Nisa. Mau ya menikah sama aku? Aku janji kita akan tetap bisa menyelesaikan tanggung jawab kuliah kita dengan baik dan aku akan bekerja semampu aku untuk menafkahi kamu, Nisa". Wajah Riza terlihat serius dan yakin saat mengucapkan kalimat itu, sementara Nisa sangat tersentuh mendengarnya tapi sekaligus membuat hatinya semakin tidak ingin membuat Riza lebih khawatir tentangnya.
"Maaf, Riza...," ucap Nisa kemudian pelan, dia tetap dengan keputusannya sebelumnya.
“Mungkin kamu perlu waktu buat memikirkannya, Nis. Satu hal yang harus kamu ingat, mulai hari ini setiap hari aku akan meminta kamu untuk menjadi teman hidup aku. Aku akan menunggu sampai kamu menjawab iya, Nisa," ujar Riza sambil menganggukkan kepalanya dan tertawa kecil dengan penuh keyakinan.
"Riza...," hanya nama laki-laki itu yang keluar dari mulut Nisa, selebihnya Nisa hanya bisa diam tetap dengan senyumannya menatap Riza. Nisa tahu tidak mudah membujuk Riza tentang ini, Riza bukan orang yang mudah mengubah keputusannya.
Mereka pun memutuskan kembali menuju kamar tempat Nisa dirawat.

"Riza, aku mau pulang. Mata aku juga sudah mendingan".
"Tapi Nis, Dokter bilang sebaiknya kamu menginap semalam agar kita bisa melihat perkembangan sakit kamu," ujar Riza dengan nada dan raut khawatirnya.
"Aku sudah tidak apa-apa, Riza. Kan aku juga minum obat sesuai resep dokter, Riz. Aku tidak terlalu suka rumah sakit, Riza...," bujuk Nisa dengan tersenyum lebih lebar dan raut wajah setengah memelas.
Akhirnya Riza pun mengangguk setuju, dia tahu Nisa tidak terlalu nyaman berada di rumah sakit terlebih dengan pengalaman sedih yang pernah dialaminya itu. Setelah mengurus administrasi dan menebus obat yang diresepkan dokter sebelumnya, mereka pun akhirnya pulang.

Beberapa saat kemudian, Nisa dan Riza pun berada di dalam taksi menuju tempat kos Nisa. Baik Riza maupun Nisa duduk di kursi belakang taksi. Nisa terlihat mendekap erat gulungan sketsanya dan tas ransel Nisa menjadi pembatas diantara dirinya dan Riza.
"Terima kasih ya Riz buat semuanya. Maaf merepotkan kamu," ujar Nisa memecah hening keduanya.
Riza tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Aku tidak merasa repot, Nisa. Aku sangat peduli dan kamu juga sudah tahu bagaimana perasaan aku ke kamu".
Mereka saling menatap satu sama lain, Nisa membalas senyum Riza.
"Apa ayah kamu tahu kalau kamu sakit, Nis?"
Nisa menggelengkan kepalanya pelan, "Aku tidak ingin membuat Ayah khawatir, Riz. Lagipula serangan glaukoma ini juga jarang-jarang dan tidak parah. Aku yakin bakal baik-baik saja selama aku mengobatinya secara rutin".
Riza hanya diam mendengarnya. Ia tahu, Nisa adalah tipe perempuan yang mandiri dan tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkannya. Nisa kembali memandang ke luar jendela, sambil memeluk lebih erat gulungan sketsa itu di dadanya. "Aku akan mewujudkan mimpi aku sebelum aku mengalami resiko terburuk, buta selamanya. Aku yakin, aku pasti bisa. As long as there is a strong will, there is a way then, insyaa Allah, Nisa (ind: sepanjang ada keinginan kuat, akan ada jalan jika Allah menghendaki, Nisa)," batin Nisa sambil tersenyum optimis kemudian, berusaha menghapus ragu di hatinya.
Sementara itu, Riza yang berada di sebelah Nisa mengamati gerak-gerik gadis itu.
"Apa penyakit ini juga yang menjadi salah satu alasan kamu punya mimpi membuat taman untuk mereka yang kehilangan penglihatan, Nisa?" tanya Riza pelan dan hati-hati. Nisa menoleh kepada Riza dan tersenyum lembut padanya sembari menganggukkan kepalanya pelan.
“Saat dokter bilang kemungkinan terburuk dari penyakitku ini adalah buta selamanya dan glaukoma adalah penyakit mata nomer dua terbanyak yang menyebabkan kebutaan, aku kemudian tertarik mengamati lebih dekat mereka yang tidak bisa melihat. Mereka tidak bisa melihat keindahan, tapi aku tahu mereka bisa merasakannya dengan lebih peka. Kemudian muncul ide, aku menantang diri aku sendiri untuk membuat taman kecil yang indah yang bisa dilihat oleh mereka yang kehilangan penglihatan, bukan dengan mata tapi dengan hati melalui indera peraba salah satunya. Aku ingin mereka bisa melihat keindahan itu sama seperti mereka yang bisa melihat. Ya... bisa jadi suatu saat nanti, aku menjadi bagian dari mereka...," jelas Nisa kemudian tersenyum lebih lebar ke Riza sejenak lalu kembali menoleh kearah luar. Riza hanya menatap Nisa, ia bisa merasakan ketulusan yang berbaur rasa takut dan sedih di kalimat Nisa itu.
"Aku yakin kamu pasti bisa mewujudkan mimpi mulia kamu itu, Nis. Semangat!"
Nisa kembali menoleh kearah Riza yang terlihat tersenyum super lebar kepadanya, raut wajah Riza terlihat optimis membuat Nisa pun semakin tertular optimis. Nisa menganggukkan kepalanya sambil mengepalkan satu tangannya dengan senyum tak kalah lebar, "Semangat! Makasih ya, Riz".
"Gimana mata kamu, Nisa? Apa masih sakit? Apa sudah bisa melihat dengan jelas lagi? Jalanan lumayan macet, sebaiknya kamu tidur saja, Nisa, sekalian mengistirahatkan mata kamu," lanjut Riza lembut dengan nada khawatir yang belum hilang.
Nisa tersenyum lebih lebar kepada Riza, seolah ingin menghilangkan khawatir yang dirasakan Riza tentangnya. "Aku baik-baik saja, Riza. Aku sudah bisa melihat wajah kamu yang tampan itu dengan cukup jelas, Riz," sambung Nisa sambil tertawa dan menjulurkan lidahnya seolah menggoda Riza, membuat Riza pun ikut tertawa dengan setengah manyun.
"Emang kamu gapapa kalau aku tidur, Riz? Entar kamu malah bete sendirian menikmati kemacetan," ujar Nisa lagi dengan nada menggoda Riza.
Riza tertawa mendengarnya kemudian mengangguk pelan. "Gapapa, Nis, kan ada pak sopir yang menemani dalam kemacetan dan tidak mungkin tidur juga, he he". Nisa pun balas tertawa kecil kemudian mengangguk, "Ya sudah, aku tidur kalo begitu. Kalau pak sopirnya capek, ga ada salahnya tuh Riz kalau kamu menggantikan pak sopir buat mengemudikan taksi ini he he".
Riza pun pecah dalam tawa, mendengar kalimat penghujung Nisa yang masih mencandai dan menggodanya.

Tak berapa lama kemudian, Nisa sudah terlelap dengan tetap memegang erat gulungan sketsanya, sementara Riza yang sebelumnya asyik melihati pemandangan di luar kemudian menoleh kearah Nisa lalu memerhatikan raut wajah perempuan itu yang terlihat damai dalam tidurnya. Riza kemudian mengeluarkan jaket yang dibawanya dari ranselnya kemudian menyelimuti Nisa dengan jaketnya. Sejenak dia menyentuh gulungan sketsa mimpi Nisa itu.
"Aku janji, Nis, aku akan membantu kamu mewujudkan mimpi kamu itu, as soon as possible (ind: secepatnya). Itu bukan hanya mimpi kamu, tapi juga mimpi aku... mimpi kita, Nisa. Aku ingin melihat kamu tersenyum saat kamu bisa mewujudkan mimpi itu. Senyuman kamu itu..., senyuman yang istimewa buat aku," ujar Riza dalam hatinya sambil memandangi wajah teduh Nisa. Bahkan dalam tidurnya pun, senyuman Nisa itu terlihat istimewa dan tulus. Tiba-tiba ada air mata menetes di pipi Riza dan Riza pun buru-buru menghapusnya. Riza kembali melihat keluar, gerimis terlihat menyapa jalanan saat itu.

Tiga puluh menit kemudian, Nisa terbangun dari tidurnya dan menyadari Riza menyelimutinya dengan jaketnya. Nisa tersenyum bahagia, "Aku tahu kamu laki-laki baik, Riza. Aku ingin sekali membahagiakanmu sampai ujung usia aku, Riz. Andai saja...," batin Nisa.
"Kamu sudah bangun, Nis?"
Pertanyaan Riza itu membuat Nisa refleks menarik bibirnya membentuk senyuman yang lebih lebar lagi sambil menganggukkan kepalanya.
“Sedikit lagi kita sampai," ujar Riza tersenyum lembut ke Nisa dibalas Nisa dengan tersenyum dan mengangguk pelan.
"Nisa...," panggilan Riza itu pun membuat Riza dan Nisa berpandangan.
"Maukah kamu menikah denganku?" tanya Riza. Lagi-lagi pertanyaan Riza itu pun sukses membuat Nisa tertegun dan terdiam. Dan agaknya akan selalu seperti itu reaksi Nisa tiap kali Riza melontarkan pertanyaan luar biasa itu. "Andai aku bisa menjawab iya, Riz...," batin Nisa. Nisa kemudian tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf Riza, kamu sudah tahu jawabannya...".
Riza pun balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Aku mengerti, aku akan tetap meminta kamu dan akan menunggu sampai kamu menjawab 'iya', Nisa".
Sejenak mereka pun larut dalam diam ketika taksi yang mereka naiki sudah sampai di depan tempat kos Nisa. Nisa bergegas melipat jaket Riza yang tadi menyelimutinya saat tidur.
"Jaket kamu ini biar aku cuci dulu, ya Riz. Nanti aku kembalikan ke kamu kalau kita bertemu lagi atau kalau nggak aku titipin Ana, teman sekelas kamu," ujar Nisa sambil tersenyum lebar dan riang ke Riza dibalas dengan senyuman dan anggukan kepala Riza.
"Terima kasih banyak untuk semuanya ya, Riz," lanjut Nisa sambil menyerahkan sejumlah uang seperti yang tertera di argometer taksi. Riza hanya tersenyum menerimanya, ia tahu Nisa bukan perempuan yang suka ditraktir oleh laki-laki, bahkan meski laki-laki itu adalah Riza.
"Ya udah kamu segera masuk, biar bisa lanjut istirahat, Nis," jawab Riza dengan riang. Keduanya tertawa sejenak, setelah bertukar salam, Nisa berjalan masuk kedalam tempat kosnya. Sementara itu, Riza terlihat mengamati Nisa dari dalam taksi, sengaja menunggu sampai Nisa benar-benar masuk ke dalam tempat kosnya. Sejenak Riza mengetikkan beberapa kalimat di handphone-nya.

Nisa sudah masuk ke dalam kamarnya, begitu pun Riza sudah melanjutkan perjalanannya ketika Nisa melihat ada pesan masuk di whatsapp-nya, pesan dari Riza.
"Semoga dengan berobat rutin, kamu tidak mengalami serangan sakit seperti sore tadi lagi ya, Nis :)".
Nisa pun tersenyum dan segera mengetik balasannya. "Aamiin, makasih banyak ya, Riz. You're really my best friend (ind: Kamu benar-benar sahabat terbaik aku), Riza :D".
Terlihat di layar whatsapp Nisa, Riza is typing...
"Would you be my best friend forever and ever (ind: Maukah kamu menjadi sahabat terbaikku selamanya), Nis? Maukah Kamu Menikah Denganku?”
Nisa tersenyum haru membacanya. Kalimat Riza itu benar-benar membuat hatinya tersentuh. Hati Nisa begitu berbunga-bunga seketika hingga membuat Nisa menangis bahagia dalam sendirinya untuk sesaat. Namun di lain sisi, Nisa juga merasakan sedih karena di ia tahu benar harus menjawab apa ke Riza hingga tangis bahagia itu pun bercampur dengan tangis sedihnya.
"Maaf Riza, kamu sudah tahu jawabannya. Dan keputusan aku tetap tidak berubah. Aku yakin kamu akan mendapatkan seorang perempuan yang bisa lebih membuatmu bahagia selamanya, kamu layak mendapatkannya," ketik Nisa kemudian.
"Aku ingin sekali melihat dan menemani kamu sepanjang usiaku, Riz...," ucap Nisa lirih dan berusaha tersenyum tegar sambil melihati layar whatsapp-nya ketika beberapa saat kemudian terlihat Riza is typing... .
"Aku akan tetap meminta dan menunggu sampai kamu menjawab ‘iya', Nis".
Kalimat Riza itu pun mengakhiri percakapan diantara Nisa dan Riza saat itu. Di hari itu, tak ada lagi percakapan diantara keduanya kecuali satu pesan whatsapp dari Riza menjelang jam Nisa tidur, pesan yang sama dengan sebelumnya dan sekaligus merupakan tekad Riza, "Maukah Kamu Menikah Denganku, Nisa?"
Lagi-lagi Nisa hanya bisa tersenyum haru membacanya, meski ia kemudian memutuskan untuk tidak membalasnya, "Maaf, Riz... . Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kamu".


-Bersambung-


 Selanjutnya : BERUBAH?