Kamis, 25 Juni 2015

Senandung Sepasang Hati (Bagian 2- tamat) - Gamma Tetha

Rizky Nazar sebagai Gamma dan Anisa Rahma sebagai Tetha :)
Niatnya ingin membuat cerita pendek alias cerpen, tapi malah jadi cerita super duper panjang, ha ha. Seperti sedang menulis dialog untuk sebuah drama, ha ha.  Tapi alhamdulillaah akhirnya berhasil mencapai endingnya :). Sekali lagi, aku wujudkan rindu ini untuk kalian, Rizky dan Nisa. Semoga kalian selalu ditunjukkan yang terbaik dan sehat selalu :).

Part Sebelumnya

Gamma tersenyum lembut kearah Tetha meski kondisinya masih lemah, ia memberikan isyarat agar Tetha duduk di sebelah tempat tidurnya. "Bagaimana luka di kepala kamu, Ma? Aku benar-benar minta maaf," ujar Tetha lirih dengan balas tersenyum ke Gamma dengan dipenuhi rasa khawatir dan bersalah. Gamma tetap memandangi Tetha. "Aku cuma gegar otak ringan, Tha. Aku baik-baik saja. Kamu jangan menyalahkan diri kamu sendiri ya, Tha".
"Ma, seharusnya kamu berpikir panjang dulu sebelum melakukan hal yang bisa membahayakan diri kamu seperti tadi," jawab Tetha kemudian masih menatap Gamma. Sejenak Gamma memandangi Tetha tanpa berucap. "Melihat kamu dalam bahaya seperti tadi membuat pikiran aku mengalah kepada hati, membiarkan hati melakukan apa yang dimauinya. Pikiranku seolah memahami senandung hati aku kepada kamu, Tha," ucap Gamma di dalam hatinya dengan tetap memandangi gadis yang ada di hadapannya itu. Mereka saling tersenyum membiarkan kata membisu dalam senandung hati yang tersirat dalam pandangan.
"Makasih untuk kebaikan hati kamu, Ma. Kamu itu benar-benar orang yang baik, tetap baik dari awal kita saling mengenal," ujar Tetha masih tetap tersenyum ke Gamma. "Oh iya, ada Kak Adhit dan Kak Rani di depan, pasti mereka juga ingin melihat keadaan kamu. Aku keluar dulu, ya Ma...". Gamma menatap Tetha dalam diam sejenak kemudian mengangguk pelan dan Tetha pun bangkit dari duduknya.
"Tante, kalau ada perlu apa-apa, jangan sungkan-sungkan bilang ke Tetha ya. Tetha akan tetap disini dan menunggu di luar," ujar Tetha sembari tersenyum kepada Ibu Gamma diikuti dengan anggukan dan ucapan terima kasih dari Ibu Gamma.
Adhit dan Rani baru saja masuk ke kamar Gamma bergantian dengan Tetha ketika pihak manajemen Gamma baru tiba disana. Perempuan usia sekitar 35 tahunan itu terkejut melihat keberadaan Tetha sendirian duduk di ruang tunggu di depan kamar Gamma. "Kenapa kamu masih disini, Tha? Belum cukup kamu menimbulkan masalah buat Gamma hari ini? Selama ini Gamma berusaha agar tidak se-project lagi dengan kamu, dan hidup Gamma cukup tenang selama itu, tapi kenapa kamu mengacaukannya lagi, Tha?" Tetha berusaha tetap tersenyum dalam diamnya. Dia sadar, manajemen Gamma tidak terlalu menyukainya karena mereka menganggap kehadiran Tetha hanya membuat hidup Gamma semakin banyak masalah dan tidak tenang seperti sebelumnya. "Maaf Kak, aku sama sekali tidak ada niat mendatangkan masalah buat Gamma, apalagi membuat dia terluka. Aku... benar-benar tidak tahu kalau kami akan bertemu lagi hari ini".
Fia, pihak manajemen dari Gamma itu pun memandangi Tetha sejenak. "Maaf ya Tha, aku tidak bermaksud menyinggung kamu, hanya saja Gamma agak berubah menjadi lebih lemah sejak mengenal kamu terlebih sejak kalian beberapa kali main bersama, dan aku pikir itu tidak baik buat karier dan image Gamma. Termasuk juga tentang cewek Gamma. Hadirnya kamu sempat membuat dia merasa risih dan itu pastinya berpengaruh ke Gamma, menambah beban pikirannya. Aku harap kamu bisa mengerti, Tha," ujar Fia serius. Tetha terdiam sejenak. "Iya, aku bisa dan berusaha memahaminya, Kak... maaf kalau hadirnya Tetha justru menimbulkan masalah baru," ujar Tetha masih berusaha tetap tersenyum.
"Kalau kamu peduli sama Gamma sedikit saja, tidak seharusnya kamu disini, Tha. Kalau cewek dan fans Gamma datang, mereka bisa merasa tidak nyaman dengan keberadaan kamu disini," sambung Fia lagi. Tetha kembali terdiam. Disatu sisi dia tidak mungkin pergi meninggalkan rumah sakit karena sebab Gamma dirawat di rumah sakit adalah dirinya. Disisi lain, Tetha juga paham bahwa keberadaan dirinya di rumah sakit bisa menimbulkan masalah baru. "Tetha akan berusaha tidak menimbulkan masalah baru, Kak Fia jangan khawatir ya". Tetha baru selesai bicara saat Ibu Gamma muncul dari dalam kamar Gamma. "Fia, ayo masuk. Gammanya sudah siuman dan sudah bisa diajak ngobrol meskipun terbatas karena kepalanya masih sangat sakit". Fia menoleh sejenak ke Tetha kemudian bergegas masuk ke kamar Gamma. Sementara itu Tetha masih terdiam saat Ibu Gamma tersenyum kearahnya. "Ada yang bisa Tetha lakuin, Tante? Mungkin Tante ingin beli sesuatu untuk Gamma juga, biar Tetha belikan," ujar Tetha seraya tersenyum lembut. "Iya, Tante mau beli air mineral sama roti dan beberapa makanan juga buah, Tetha bersedia temani Tante?"
Tetha tersenyum sambil mengangguk. "Atau kalau nggak, Tante disini saja, siapa tahu Gamma memerlukan Tante biar Tetha yang beli. Biar Tetha catat apa saja yang ingin Tante beli".
"Insyaa Allah Gamma tidak apa-apa ditinggal sebentar, lagi pula ada Fia juga di dalam".
Akhirnya Tetha menemani Ibu Gamma pergi membeli makanan dan minuman. Hampir 30 menit mereka pergi ketika mereka akhirnya kembali dan sampai di depan kamar Gamma. Tetha menahan langkahnya untuk masuk ketika ia teringat kata-kata Fia kepadanya.
"Tante, maaf... sepertinya Tetha tidak bisa ikut masuk. Tetha duduk di samping kamar Gamma saja".
Rani dan Adhit sudah tidak ada lagi disana, kembali ke lokasi syuting dan Tetha juga sudah mengetahuinya karena Rani tadi sempat menghubungi Tetha. Di kamar itu kini hanya ada Fia dan Gamma.
"Kenapa, Tha? Ayo masuk saja ke dalam," ujar Ibu Gamma agak heran.
Tetha menggelengkan kepalanya pelan sambil tetap tersenyum. "Tetha tidak mau menimbulkan masalah baru buat Gamma, Tante. Sudah cukup Gamma terluka karena menolong Tetha. Kalau Tetha masuk atau duduk di ruang tunggu depan kamar ini dan nantinya ada cewek atau fans Gamma datang, takutnya malah menimbulkan tanda tanya dan kesalahpahaman baru, Tante. Tapi Tante tenang saja, kalau ada yang diperlukan, Tetha tidak akan kemana-mana, Tetha ada disini".
Ibu Gamma balas tersenyum kepada Tetha dan mengangguk bahwa beliau mengerti alasan Tetha itu.
Tetha akhirnya duduk di kursi yang ada di samping kamar Gamma sendirian. Setelah mengambil wudlu, Tetha pun memutuskan untuk mengaji dengan menggunakan aplikasi Alquran digital yang ada di HP-nya, kembali meneruskan senandung demi senandung doa untuk Gamma.
Tetha masih asyik dengan senandungnya yang ia rangkai untuk Gamma melalui ayat-ayat suci yang dibacanya, saat Ibu Gamma melihatnya. Gadis di depannya itu sedang asyik dalam bacaannya yang nyaris tanpa suara. Ibu Gamma pun tersenyum. Beliau seolah tahu untuk siapa hal itu dilakukan Tetha. Tetha kemudian sadar ada sepasang mata yang sedang mengawasinya, ia menoleh dan melihat Ibu Gamma sedang tersenyum kepadanya. "Sudah selesai mengajinya, Tha? Kalo Ibu boleh GeER, apa kamu sedang mendoakan Gamma, Nak?" Tetha tersenyum lembut. "Tetha berharap semakin banyak doa untuk Gamma, insyaa Allah Gamma bisa segera pulih, Tante. Lewat ini salah satunya Tetha bisa menebus rasa bersalah Tetha ke Gamma."
"Daripada, kamu disini sendirian, sebaiknya kamu ke dalam Nak, cuma ada Fia di dalam bersama Gamma, cewek atau fans Gamma juga belum ada yang menjenguk," ujar Ibu Gamma tiba-tiba membelai lembut rambut Tetha. Tetha terdiam sebelum kemudian kembali menggelengkan kepalanya pelan. "Tetha disini saja, Tante".
20 menit kemudian, terdengar dari tempat Tetha duduk, Fia berpamitan pergi mengurus beberapa keperluan Gamma. Tinggallah Gamma berdua dengan ibunya di dalam kamar sementara Tetha memilih tetap duduk di tempatnya.
"Bu..., Tetha sudah pergi ya?" tanya Gamma lirih sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.
"Tetha masih disini menunggui kamu, Nak. Dia duduk di ruang tunggu samping belokan kamar kamu, sambil mendoakan kamu. Ibu sudah meminta dia masuk tapi dia tidak mau, dia tidak mau menimbulkan masalah baru lagi dengan keberadaan dia disini katanya".
Gamma terdiam berpikir sejenak. Dia memahami posisi Tetha yang agak sulit, terlebih Fia tadi sempat mempermasalahkan keberadaan Tetha disana. Belum lagi saat cewek dan fans dia mungkin datang menjenguk, keberadaan Tetha justru akan semakin menjadi tanda tanya. Padahal bukan salah Tetha saat dia ada di rumah sakit. Gamma yang membuat Tetha jadi ada disana. Dan kalaupun hatinya boleh sejenak jujur tanpa ada pengingkaran, Gamma menginginkan Tetha ada disana. Bukan berarti Gamma ingin berpaling hati dari ceweknya, tapi saat Tetha didekatnya, Gamma merasa hatinya nyaman dan dibuai senandung yang menenangkan hatinya, meski hanya di satu sudut hati dan Gamma mendefinisikan itu bukan sebagai cinta.
"Apa cewek kamu bakal datang kesini, Sayang?" tanya Ibu Gamma lembut membuat Gamma tersadar dari lamunan sebentarnya. "Iya, Bu... Silva tadi sempat telpon mengkhawatirkan Gamma, mungkin agak sore dia kesini," ujar Gamma sambil tersenyum diantara sakit di bagian belakang kepalanya yang datang dan pergi.
Silva, perempuan itu yang mengisi hati Gamma sebagai pacarnya selama 2 tahun terakhir ini. Perempuan yang dicintai dan ditempatkan Gamma di dalam hatinya. Demi Silva juga, Gamma memutuskan untuk tidak mengambil project bersama Tetha lagi.Kembali Gamma teringat akan Tetha.Gamma pun menelepon Tetha. "Tha, aku mohon kamu mau masuk ke kamar, lagipula hanya ada aku dan ibuku. Kamu tidak perlu merasa khawatir".
5 menit kemudian, Tetha pun memutuskan masuk ke kamar Gamma. Lagi-lagi, dengan ragu Tetha melangkah mendekati tempat Gamma berbaring sementara Gamma seolah menunggu Tetha mendekat.
"Apa ada yang bisa aku lakuin, Ma?" tanya Tetha cemas meski berusaha memasang ekspresi netral saat melihat Gamma yang berusaha menahan rasa sakit seraya tetap menatapnya. "Kata ibu, kamu habis mendoakan aku. Terima kasih banyak ya, Tha. Doa kamu pasti berwujud dalam senandung yang indah," ucap Gamma lirih sambil tersenyum pada Tetha .
"Senandung", kembali Tetha teringat kalimat Adhit dan Rani.
"Tha, aku ingin kamu mendengarnya sekali lagi, kamu sama sekali tidak bersalah Tha, aku yang memilih luka ini tanpa kamu minta. Dan aku ingin kamu tahu, kamu tidak punya kewajiban untuk tetap disini menunggui aku hanya karena rasa bersalah dan ingin membalas budi," lanjut Gamma pelan. Tetha memandangi Gamma tanpa bersuara, hanya senyuman tulus yang ingin tetap ia jaga tiap kali Gamma melihatnya. "Kalau kamu ingin pulang, pulanglah Tha, aku tidak apa-apa".
Tetha masih memandangi Gamma, "Kamu lebih senang aku disini atau pergi, Ma? Kalau memang kamu kurang nyaman dengan keberadaan aku disini, aku akan pergi meski aku juga belum bisa pulang saat ini. Rasa bersalah aku terlalu kuat jika aku meninggalkan kamu saat ini. Luka dan sakit kamu menahan langkah aku untuk pergi, Ma. Tapi aku juga tidak ingin menambah masalah kamu, salah satu manusia pemilik hati yang baik. Tapi aku mohon izinkan aku menunggui kamu, Ma meski hanya di luar kamar".
Gamma tersenyum merasakan tulus yang ditawarkan oleh senyuman gadis yang ada didepannya itu. Hatinya tiba-tiba mulai bersenandung, senandung yang ingin menahan gadis itu untuk pergi. Tapi dalam pikirannya, membiarkan Tetha pergi adalah hal yang terbaik karena adanya Tetha menimbulkan banyak masalah dalam hidupnya, masalah yang sebenarnya bukan salah Tetha, tapi masalah itu hadir bersamaan dengan hadirnya Tetha. Tetha memandangi Gamma yang masih terdiam menatapnya, Gamma seolah larut dalam pikirannya dan Tetha pun bersiap beranjak keluar seolah dia membaca apa yang ada di pikiran Gamma tentang dirinya.
"Kamu istirahat ya Ma, jangan terlalu banyak berpikir, yang terpenting kamu segera pulih. Aku keluar dulu ya, Ma," ujar Tetha lagi-lagi dengan memperlebar senyumannya sambil menepuk lembut punggung telapak tangan Gamma sejenak.
Tetha baru beranjak pergi ketika tangan Gamma memegang lengannya, menahannya pergi. Tetha tertegun dan hendak melepaskan lengannya dari Gamma, saat ia menoleh ke Gamma yang terlihat terpejam kesakitan di bagian kepalanya. "Gamma..., kamu kenapa?" tanya Tetha. "Aku mohon jangan pergi..., " ucap Gamma lirih. Tetha memandang kearah Gamma. Gamma pun balas memandang Tetha dalam diam. Meski pikirannya ingin membiarkan Tetha pergi, tapi hatinya seperti bersenandung lebih keras meminta Tetha tetap menemaninya.
Gamma baru akan melepaskan tangannya dari lengan Tetha ketika Gamma berteriak karena kepalanya tiba-tiba terasa sangat kesakitan sehingga ia urung melakukannya. Ibu Gamma dan Tetha pun menjadi khawatir. "Biar Tetha panggilkan Dokter buat Gamma, Tante," ujar Tetha bergegas hendak pergi ketika Gamma tak juga melepaskan genggamannya di lengan Tetha. "Aku panggilkan Dokter untuk memeriksa kondisi kamu sebentar, ya Ma. Aku akan balik kesini lagi secepatnya," ujar Tetha pelan sambil tersenyum seolah berusaha menenangkan Gamma. Tetha seolah bisa membaca apa yang dimaui Gamma. Perlahan Gamma yang masih kesakitan itu melepaskan pegangannya pada Tetha.
5 menit kemudian Tetha sudah berada di depan ruang perawat jaga. Untunglah, Dokter yang menangani Gamma sedang ada disana sehingga tanpa menunggu lama, Dokter dan Tetha bergegas kembali ke kamar Gamma. Saat itu, Tetha tidak sengaja melihat kearah lain, saat dia melihat Silva, cewek Gamma berjalan dari kejauhan menuju kamar Gamma. Tetha yang berjalan cepat di samping Dokter pun meminta izin tidak ikut masuk dengan alasan tertentu sesampai mereka di depan kamar Gamma. Tetha pun kembali duduk di ruang tunggu di samping kamar Gamma. "Aku tidak mungkin masuk saat ini, lebih baik aku menunggu disini. Kehadiran aku saat ini akan membuat masalah baru buat Gamma". Tetha kembali teringat janjinya ke Gamma bahwa dia akan pergi sebentar dan akan kembali ke samping Gamma. "Maaf Ma, aku tidak bisa masuk sekarang. Tapi aku tidak pergi, aku tetap menunggui kamu disini, Ma," ujar Tetha dalam hati. Terdengar suara pintu kamar Gamma terbuka, cewek Gamma baru saja masuk ke dalam. "Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, tapi kenapa aku harus main petak umpet seperti ini. Seolah aku dan Gamma melakukan hubungan yang salah. Nggak Tha, kamu tidak berbuat salah. Kamu disini karena Gamma terluka gara-gara menolong kamu," lanjut Tetha dalam hati berdiskusi dengan dirinya sendiri.
Sementara itu di dalam kamar, Dokter sedang memeriksa kondisi Gamma ditemani ibunya dan Silva. Dokter meminta Gamma untuk lebih banyak istirahat dan tidak terlalu mengobrol banyak dengan pembesuknya. Tak ada nama Tetha disebut di dalam kamar seolah kondisi dan situasi memahami apa yang terjadi. Gamma pun hanya diam saat Tetha tidak kembali bersama Dokter meski awalnya dipenuhi tanda tanya yang pada akhirnya terjawab saat Silva datang. "Ya, mungkin tidak seharusnya aku mengizinkan hati ini menahan Tetha pergi," pikirnya sempat dalam hati diantara sakit yang dirasakan kepalanya.
Tetha masih terdiam dalam duduknya, diantara doa-doanya untuk Gamma ketika terdengar pintu kamar Gamma dibuka. Terdengar suara Ibu Gamma yang mengucapkan terima kasih ke dokter saat itu. "Semoga sakit di kepala kamu berkurang, Ma. Semoga kepala kamu tidak apa-apa," ujar Tetha dalam hati. Cinta itu datang dalam hati Tetha dengan anehnya. Saat dia merasakan rasa itu ke Gamma, dia bahkan tidak tahu dari mana datangnya. Semua mengalir begitu saja meski Tetha sadar rasa itu hanyalah sebuah rasa yang ia rasakan sendiri. Semakin lama, Tetha semakin yakin bahwa rasa itu hanya bisa tersembunyi di sudut hati melalui senandung yang kerap kali menemani hatinya, tanpa orang lain tahu tentang itu. Dan Gamma, laki-laki baik itu adalah seseorang yang selalu baik kepadanya seolah menghargai meski tak mendengar senandung hati Tetha kepadanya.
"Tetha...," terdengar suara Ibu Gamma lembut memanggil namanya menyadarkan Tetha dari diamnya. "Tante... bagaimana sakit di kepala Gamma?" tanya Tetha sontak berdiri. "Kata Dokter, Gamma perlu lebih banyak istirahat saja, tidak boleh terlalu banyak pikiran dan tidak boleh terlalu lelah sementara. Lukanya kan masih belum kering Tha". Tetha kembali dipenuhi rasa bersalah, "Sekali lagi, maafkan Tetha, Tante". Ibu Gamma tersenyum lembut sambil membelai rambut Tetha, "Berhenti menyalahkan diri sendiri, Sayang. Ini musibah". Tetha pun balas tersenyum.
"Oh ya, Tante..., apa ada yang bisa Tetha bantu?" ujar Tetha seolah siap menerima perintah. Tak lupa senyum tetap ia selipkan disana. Ibu Gamma menggelengkan kepala kemudian tersenyum, meminta Tetha duduk kembali. "Tante cuma ingin melihat keadaan kamu, Tha. Saat Dokter masuk hampir bersamaan dengan Silva, Tante sudah mengira kamu disini".
Tetha tersenyum, "Iya, Tante. Tetha tidak mungkin masuk karena ada Silva di dalam. Kalau Tetha masuk, malah akan jadi aneh dan mengganggu mereka. Biar Tetha menunggu disini saja, siapa tahu nanti Tante atau Gamma perlu sesuatu. Kalau Tante mau masuk lagi, silahkan saja". Selama hampir 30 menit Ibu Gamma menemani Tetha di ruang tunggu, mengobrol akan banyak hal-hal sederhana tentang hidup. Bahkan Ibu Gamma sempat menanyakan hubungan diantara Gamma dan Tetha yang renggang seperti yang pernah diceritakan Gamma pada beliau. "Hubungan diantara Tetha dan Gamma hanya sebatas partner main di FTV atau sinetron, Tante, tidak lebih. Kalaupun kami kemudian memutuskan untuk tidak menjadi partner lagi, itu demi kebaikan masing-masing," jelas Tetha. "Gamma juga bilang begitu, semua demi kebaikan kalian, orang-orang disekitar kalian, dan fans kalian. Tapi apa iya keputusan itu harus berhenti menjadi partner main, Tha. Bukankah itu berarti kalian memutus tali silahturrahim diantara kalian? Kecuali ada sesuatu yang lebih beralasan yang kalian sembunyikan atau tidak mungkin dijelaskan".
Tetha memandangi Ibu Gamma sejenak tetap dengan senyumnya. "Saya dan Gamma cuma sebatas partner kerja, Tante. Dan karena kami hanya partner kerja, itu sebabnya mungkin keputusan ini diambil. Selama ini Tetha berusaha ingin menempatkan partner kerja, fans, teman, dan sahabat sepertinya layaknya teman baik dan semuanya bisa berjalan beriringan dengan kehidupan kita. Tapi Tetha juga perlahan belajar Tante, dalam hidup tidak semua bisa berjalan sesuai yang kita harapkan. Ada kalanya, kita harus memilih mana yang lebih baik diantara pilihan yang tersedia. Sepertinya itu juga yang terjadi diantara Gamma dan Tetha. Baik Tetha maupun Gamma memilih untuk berhenti menjadi partner kerja karena itu membawa kebaikan yang lebih banyak buat kehidupan kita masing-masing. Partner kerja hanya teman saat kita se-project, tapi fans, teman, pacar, mereka adalah teman yang lebih nyata dan ada di kehidupan kita. Kalau dibilang memutuskan silahturrahim, Tetha dan Gamma insyaa Allah berusaha tetap baik meski kami jarang berkomunikasi atau bertemu," sambung Tetha berusaha menjelaskan lebih lanjut. Ibu Gamma mengangguk pelan sambil tersenyum lembut ke gadis di depannya itu. Beliau semakin memahami kenapa Gamma bersikap sama layaknya Tetha ke Gamma, meski disatu sisi terbelesit tanya, sebenarnya apa yang Tetha dan putranya rasakan satu sama lain saat menjauh. Karena melihat sejenak kebersamaan bersama Tetha di kamar Gamma, seolah ada ingin, ada sesuatu yang tertahan diantara keduanya, meski mereka mungkin tidak menyadarinya. Ibu Gamma kemudian kembali masuk ke kamar, tidak ingin terlalu lama meninggalkan Gamma dan Silva sendirian. Meski beliau mempercayai keduanya, beliau tetaplah seorang ibu yang pasti tidak akan bisa lepas dari rasa khawatir kepada anaknya sebagai wujud kasih sayangnya.
Jarum di arloji Tetha menunjukkan jam 04.00 sore, saat Silva meninggalkan kamar Gamma. Tetha masih setia duduk di ruang tunggu di belokan buntu sebelah kamar Gamma, seolah stand by siap menerima perintah apa saja jika Gamma atau ibu Gamma memerlukan dirinya diantara senandung doa yang tetap ia kirimkan untuk Gamma. Rasa syok atas kejadian kecelakaan tadi mulai berkurang di hati Tetha, meski rasa bersalah dan penyesalan itu masih bergelayut di pikiran dan hatinya.
Di dalam kamar, Gamma terlihat mulai memejamkan mata, setengah tertidur untuk beberapa saat diantara sakitnya ketika tiba-tiba ia teringat Tetha. "Bu, apa Tetha masih menunggui Gamma di ruang tunggu sebelah?" Ibu Gamma mengangguk pelan, "Itu sebabnya Ibu tadi agak lama meninggalkan kamu dan Silva, Ibu menemani Tetha mengobrol sejenak. Kasihan dia sendirian, seperti main petak umpet untuk bisa mencemaskan kamu". Gamma menatap Ibunya dengan lembut, "Tapi Ibu jadi semakin mengerti kenapa kalian seperti ini, keputusan yang kalian anggap paling baik diantara pilihan yang ada. Bukan tentang siapa benar dan siapa yang salah". "Menurut Ibu, apa bijak kalau Gamma meminta Tetha tetap disini menemani Gamma?" tanya Gamma pelan. Ibu Gamma tersenyum, "Ikuti kata hati kamu, Sayang. Pikiran kita mungkin adalah hal logis yang memikirkan mana yang baik dan buruk. Tapi hati membuat kita tahu apa yang kita inginkan. Meski mungkin ada kalanya nafsu itu mengotori dan menyamar di hati kita, tapi coba kamu rasakan sejenak dengan tenang, Nak".
Gamma akhirnya meminta Ibunya untuk memanggil Tetha. Perlahan Tetha mendekat kearah Gamma yang memandangnya. "Kamu tidak menepati janji kamu ke aku, Tha. Kamu bilang kamu akan segera balik, ternyata baru sekarang kamu balik," ujar Gamma lirih dan parau. Terlihat kondisi Gamma yang kelelahan saat itu. Tetha balas memandang Gamma, Tetha tersenyum lembut sambil mengangguk pelan. "Iya, maaf Ma, aku ingkar janji. Tapi kita juga tahu, ada alasan untuk itu. Aku yakin kamu pasti mengerti alasannya. Sekarang kamu tidur ya, kata dokter kamu harus banyak istirahat dan tidak boleh terlalu capek kan. Aku nyanyiin kamu lagu biar kamu cepat tidur ya". Gamma mengangguk pelan, berusaha tetap tersenyum ketika kepalanya tiba-tiba kembali sakit. Ia pejamkan matanya rapat untuk menahan rasa sakit itu, sembari mendengarkan suara Tetha yang entah kenapa berhasil membuat hatinya ikut bersenandung saat itu. Tetha, meski mereka lama tak ber-partner lagi, tapi senandung suaranya entah kenapa selalu sampai di hatinya, membuat ruang rindu itu terbuka dan menawarkan rasa bernama bahagia. "Terkadang malaikat, tak bersayap tak cemerlang tak rupawan... Namun hati ini silahkan kau adu...malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya". Bait demi bait lagu Dee itu terdengar merdu di telinga Gamma dan membelai lembut hatinya meski sakit di kepalanya menguat, membuat Gamma tidak bisa membuka matanya dan hanya terpejam untuk menahan sakitnya. Tangan Tetha menepuk-nepuk pelan punggung telapak tangan Gamma, seperti seseorang yang sedang meninabobokan anak kecil. Penggalan lagu Dee itu pun sampai di ujungnya dan Tetha masih tetap menepuk-nepuk pelan punggung tangan Gamma. Gamma masih tak bisa terlelap karena sakit dikepalanya seolah tak mengizinkannya untuk bisa tidur dan melupakan sakitnya dengan mudah. Hanya saja sejenak, Gamma merasa agak tenang saat Tetha menghiburnya. Seolah senandung rasa sakit itu terkalahkan oleh senandung Tetha untuknya. Tetha sedang menatap Gamma yang terpejam, dia merasa Gamma sepertinya belum juga terlelap saat itu. "Ma, apa kamu kesakitan dan tidak bisa tidur?" tanya Tetha pelan. Gamma berusaha membuka matanya dan melawan rasa sakitnya ketika tiba-tiba semuanya terlihat gelap olehnya.
Tiba-tiba tangan Gamma menggenggam erat telapak tangan Tetha membuat Tetha terkejut. "Tha, kenapa semuanya gelap ya, Tha. Aku nggak bisa lihat kamu dan Ibu," ujarnya mulai panik dan semakin erat menggenggam tangan Tetha. Tetha dan Ibu Gamma pun ikut panik mendengarnya. "Sayang, kamu nggak sedang bercanda kan, Nak?" tanya Ibu Gamma terlihat cemas seraya mengusap lembut rambut Gamma sambil menatap mata Gamma. "Semuanya gelap, Bu. Gamma tidak bisa melihat apa-apa," tampak Gamma terlihat semakin panik. Sementara itu, Tetha yang menggenggam tangan Gamma pun menjadi syok mengetahui kenyataan itu. Tetha berusaha menatap dari dekat ke arah mata Gamma sambil menggerakkan tangannya di depan mata Gamma persis. Tak ada respon dari Gamma saat itu terhadap gerakan tangan Tetha, membuat Tetha semakin syok. "Aku panggilkan Dokter ya, Ma. Kamu sabar ya, tunggu sebentar...," ujar Tetha segera berdiri tanpa banyak berpikir lagi ketika pegangan tangan Gamma menahan langkahnya. "Kamu janji kamu bakal balik kesini segera, ya Tha. Aku mohon temani aku," pinta Gamma lirih. "Aku pasti kembali sesegera mungkin dan nggak akan meninggalkan kamu, Ma," jawab Tetha pelan sambil berusaha menahan air matanya yang ingin keluar diantara rasa bersalah dan syok yang dirasakannya.
Dokter pun melakukan pemeriksaan. Kebutaan yang dialami Gamma adalah efek dari gegar otak ringan yang dialaminya. Namun, itu hanya bersifat sementara. Tetha masih berdiri di samping Gamma, air matanya gagal ia tahan mengetahui kondisi Gamma itu, terlebih Gamma mengalaminya karena dirinya. Ibu Gamma terlihat duduk sambil mengusap lembut rambut Gamma yang masih agak kaget dengan kondisi yang dia alami. Dokter pun memberikan obat penenang agar Gamma bisa istirahat.
Perlahan Gamma pun akhirnya terlelap sementara Tetha masih setia berdiri disamping Gamma menunaikan janjinya untuk tetap menemani Gamma. "Maafkan aku, Ma. Gara-gara aku, kamu mengalami kebutaan sementara. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku...," ujar Tetha didalam hati diantara air matanya yang makin sulit ia tahan untuk keluar sembari menatap lekat-lekat wajah Gamma yang sedang terlelap itu.
Waktu menunjukkan pukul 18.25 saat Tetha menggantikan ibu Gamma menjaga Gamma sementara beliau sholat. Tetha duduk di sebelah Gamma sambil menyenandungkan doa-doa. Tiap kali dia mengingat kebutaan Gamma, air mata Tetha selalu tak bisa ia tahan untuk keluar.
"Maafkan aku, Ma... gara-gara aku, kamu terbaring disini dan syuting hari terakhir kamu pun terhenti," ucap Tetha lirih sambil terisak dan menepuk-nepuk pelan punggung telapak tangan Gamma.
"Jangan terlalu menyalahkan diri kamu, Tha. Tante juga kaget dengan kenyataan ini, tapi seperti Dokter bilang ini hanya sementara. Dengan terapi rutin, insyaa Allah penglihatan Gamma bisa segera kembali," terdengar suara ibu Gamma sambil membelai rambut Tetha.Tetha pun segera mengusap air matanya.
"Andai Gamma tidak menolong Tetha, pasti dia bisa menyelesaikan syutingnya hari ini. Kenapa harus Gamma yang terbaring sakit Tante, harusnya Tetha yang mengalami kebutaan sementara itu. Mungkin, ini memang pertanda bahwa Gamma dan Tetha tidak bisa menjadi partner kerja lagi, Tante...," ujar Tetha berusaha menahan isaknya.
"Tha, Gamma itu orangnya cukup sensitif, dia hanya mengikuti kata hatinya saat menolong kamu, dia tidak bisa melihat kamu terluka, Nak. Mungkin dia syok dengan kebutaan sementara yang dialaminya ini, tapi Tante tahu Gamma tidak pernah menyesal menolong kamu, Tha". Tetha pun kemudian berdiri dan menyilahkan ibu Gamma untuk duduk kembali.
Gamma belum juga terbangun dari tidurnya ketika Fia, pihak manajemen Gamma memasuki kamar Gamma dan terkejut melihat Tetha masih ada disana.
Fia mendekati ibu Gamma dan menanyakan keadaan Gamma dan terkejut saat tahu bahwa Gamma mengalami kebutaan sementara. Fia pun menghibur Ibu Gamma agar bersabar dan tidak usah khawatir dengan urusan pekerjaan Gamma. Fia juga membawakan makan malam untuk Gamma dan Ibu Gamma. Fia kemudian meminta izin ke Ibu Gamma untuk berbicara dengan Tetha di luar kamar.
"Kenapa kamu masih disini Tha? Bukannya sudah aku bilang kamu itu tidak seharusnya disini. Kamu hanya menimbulkan lebih banyak masalah buat Gamma. Dan sekarang kamu lihat, Gamma mengalami kebutaan sementara. Mau tidak mau project demi project-nya harus di-cancel karena ini. Dan ini semua gara-gara kamu, Tha. Aku bisa lihat Gamma itu terlalu baik saat bersama kamu dan itu melahirkan masalah demi masalah untuk dia, itu sebabnya aku sarankan dia menjauhi kamu dan tidak menerima project apapun yang ada kaitannya dengan kamu".
Tetha terdiam dan menunduk, hatinya saat itu dipenuhi senandung rasa bersalah akan kondisi yang dialami Gamma. "Maafkan aku, Kak Fia. Maaf kalau penilaian Kakak tentang Tetha seperti itu. Maaf karena Tetha sudah membuat Gamma buta sementara. Tapi Tetha tidak mungkin meninggalkan rumah sakit ini, Gamma sakit karena Tetha, Kak".
"Tapi keberadaan kamu disini tidak diharapkan Tha, oleh cewek dan fans Gamma juga aku. Cukup Gamma yang kamu rugikan dan sakiti, jangan kamu tambah orang-orang disekitarnya. Kamu tahu, gara-gara ini Gamma mengalami kerugian secara finansial, dia sementara tidak bisa syuting dan syuting hari terakhir ini bahkan tertunda. Apa kamu belum puas, Tha?"
"Maafkan aku, Kak Fia".
"Maaf saja nggak cukup Tha, harusnya kamu juga mengganti sebagian kerugian yang Gamma tanggung".
Tetha menunduk, "Aku akan menanggung biaya pengobatan Gamma selama sakit. Dan Tetha akan memberikan sebagian penghasilan Tetha buat Gamma selama Gamma sakit. Tapi Tetha harus konsultasikan dulu berapa persentase penghasilan Tetha yang bisa Tetha berikan," ujar Tetha pelan.
"Tetha nggak perlu melakukan hal itu, Fia. Gamma sakit karena dia yang ingin menolong Tetha, jadi ini bukan salah Tetha," tiba-tiba Ibu Gamma muncul dari dalam kamar. Beliau ternyata mendengarkan percakapan Tetha dan Fia dari balik pintu kamar.
"Tapi Bu, keberadaan Tetha selalu membawa masalah buat Gamma," ujar Fia berusaha menjelaskan, "dan sekarang Gamma buta sementara gara-gara Tetha, Bu".
"Tante, apa yang dikatakan Kak Fia itu benar. Sudah seharusnya Tetha melakukan hal ini untuk semua kerugian finansial yang dialami Gamma gara-gara Tetha. Tetha ikhlas, Tante," ujar Tetha sambil tersenyum dan menggenggam tangan Ibu Gamma lembut.
Ibu Gamma menggelengkan kepalanya pelan meminta Tetha mengurungkan niatnya, tapi Tetha makin menggenggam erat tangan beliau berusaha menyakinkannya bahwa itu adalah hal yang sepantasnya dilakukan oleh Tetha.
"Fia, Ibu mohon jangan suruh Tetha pergi, setidaknya sebelum Gamma terbangun dari tidurnya," ucap Ibu Gamma.
"Tapi Bu, kehadiran Tetha di dekat Gamma akan membuat banyak masalah. Kalau Silva atau fans Gamma tahu, Ibu bisa bayangkan bagaimana jadinya. Ini malah akan membuat Gamma banyak masalah, Bu".
Tetha hanya terdiam saat itu, dia seperti terdakwa yang bersalah akan kondisi Gamma.
"Ya sudah Fi... malam ini Ibu akan bilang ke perawat, untuk malam ini biar Gamma tidak menerima kunjungan dari siapapun lagi. Tolong izinkan Tetha disini setidaknya sampai Gamma bangun, Fi. Bukannya Ibu membela Tetha dalam hal ini, tapi Ibu mengerti perasaan Tetha. Lagi pula Silva mungkin baru datang lagi besok".
Fia akhirnya mengendurkan egonya, dia kemudian menatap ke arah Tetha. "Seperti yang Ibu Gamma bilang, kamu boleh disini malam ini. Tapi tolong jangan muncul lagi esok hari. Lakukan ini setidaknya untuk kebaikan Gamma, Tha. Aku bukan benci ke kamu Tha, tapi kenyataannya keberadaan kamu di hidup Gamma cenderung menimbulkan banyak masalah buat dia".
Tetha balas memandang ke arah Fia sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.
"Oh ya, tentang bagi hasil penghasilan selama Gamma buta seperti yang kamu bilang tadi, aku tunggu kabar kamu secepatnya. Jika mungkin besok".
Tetha kembali mengangguk. Setelah bertukar nomor HP, Fia pun berpamitan ke Ibu Gamma dan kemudian meninggalkan rumah sakit. Setelah memberi tahu perawat bahwa Gamma tidak ingin menerima kunjungan untuk malam itu, Tetha dan Ibu Gamma pun kembali ke kamar dan duduk di dekat Gamma. Ibu Gamma duduk di kursi dihadapan Gamma berbaring sedangkan Tetha duduk di tempat tidur Gamma di belakang kepala Gamma yang tertidur dalam posisi miring itu.
"Tetha, kamu yakin dengan keputusan yang kamu sampaikan ke Fia tadi? Tante pikir seandainya Gamma tahu, dia pasti tidak akan setuju, Tha. Dia tulus menolong kamu, Tha".
Tetha tersenyum lembut. "Sudah seharusnya Tetha melakukan ini, Tante. Tetha minta tolong, jangan beritahu Gamma tentang ini ya".
"Tapi Nak...".
Ucapan Ibu Gamma terhenti melihat Tetha balas memandang beliau dengan wajah memelas meski berusaha tetap tersenyum. "Cuma ini yang bisa Tetha lakukan untuk mengurangi rasa bersalah Tetha selain mendoakan Gamma, Tante".
Tetha dan Ibu Gamma larut dalam doa masing-masing untuk Gamma ketika Gamma membuka matanya. "Kamu sudah bangun, Sayang?" ujar Ibu Gamma membelai lembut rambut Gamma.
"Bu, apa Tetha sudah pulang?" tanya Gamma. "Aku disini, Ma.. aku nggak akan ingkar janji lagi, bukankah kamu minta aku menemani kamu?"
Ibu Gamma meminta Tetha duduk di sebelah Gamma seolah ingin memberikan kesempatan untuk mereka bicara sementara beliau menyantap makanan yang dibawa Fia sebelumnya.
"Maafin aku ya, Ma...," Tetha berusaha menahan isakannya diantara air matanya yang tidak bisa ia tahan untuk keluar.
"Tha, ini bukan salah kamu. Aku yang ingin menolong kamu dan aku tulus melakukannya dari hati. Maafkan aku ya Tha, kalau tadi mungkin aku sempat syok saat baru tahu aku tidak bisa melihat apa-apa. Tapi aku sama sekali tidak menyalahkan kamu, Tha".
Tetha masih terdiam, karena dia tidak ingin Gamma mendengarkan isakan tangisnya karena air matanya makin deras menggenangi matanya. Tetha tidak tega melihat Gamma dalam kondisi seperti ini, apalagi semua itu setelah Gamma menolong dirinya.
"Kamu nangis Tha?" tanya Gamma. Tetha buru-buru mengusap air matanya. "Aku tidak menangis kok, Ma...," ujar Tetha berusaha ceria menjawab pertanyaan Gamma.
Gamma terdiam sejenak, mencoba meraba-raba ekspresi Tetha saat itu. "Aku tahu kamu sudah mengusap air mata kamu Tha, aku yakin kamu habis menangis, kan Tha? Aku bisa merasakannya, Tha," ucap Gamma pelan. Kini gantian balik Gamma yang khawatir kepada Tetha. Sementara itu Tetha terdiam, ia bingung harus menjawab apa kepada Gamma. Tetha pun kembali menepuk-nepuk pelan punggung tangan Gamma.
"Aku mohon jangan salahkan diri kamu ya, Tha. Kalau kamu menyalahkan diri kamu, aku akan lebih menyalahkan diri sendiri, Tha. Aku bersyukur kamu baik-baik saja Tha dan aku tidak menyesal sudah menolong kamu. Lagipula, tadi Dokter bilang kan bahwa kebutaan aku ini cuma sementara, Tha. Insyaa Allah dengan terapi rutin, aku pasti bisa melihat lagi".
"Iya, Ma...insyaa Allah kamu pasti akan segera melihat lagi. Kamu harus tetap semangat ya," sambung Tetha dengan riang dan optimis, ingin menyemangati Gamma.
Hening sejenak diantara mereka ketika kemudian Tetha kembali berucap, "Oh ya, Ma, janji aku untuk menemani kamu hanya sampai malam ini saja, kan?"
"Kenapa Tha, kamu nggak ingin menemani aku? Kamu sudah ingin pulang ya... Kalau kamu ingin pulang, silahkan pulang, Tha. Bukan suatu kewajiban buat kamu menemani aku. Dan aku tidak ingin kamu melakukan ini karena ingin membalas budi alias terpaksa. Lagi pula kita juga bukan siapa-siapa".
Tetha tersenyum lebar kearah Gamma, meski ia tahu Gamma mungkin tak bisa melihatnya, tapi seolah ia yakin Gamma bisa merasakan ketulusan senyumannya itu.
"Aku tidak pernah keberatan menemani kamu disini, Ma. Aku peduli sama kamu dan sama sekali tidak merasa terpaksa. Tapi baik aku maupun kamu juga tahu, kalau aku tetap disini, aku akan meninggalkan masalah yang lebih banyak untuk kamu, tentang Silva, fans kamu, juga manajemen kamu. Seperti keputusan kita tidak lagi menjadi partner kerja beberapa bulan ini, semua itu pasti untuk kebaikan yang lebih banyak lagi kan, Ma. Seperti yang kamu bilang tadi, kita bukan siapa-siapa Ma, hanya dua orang asing yang pernah bertemu sebagai partner kerja," ujar Tetha lembut sambil tersenyum. "Tapi, kamu tidak usah khawatir, dimana pun aku berada, aku pasti selalu mendoakan kesembuhan kamu Ma, dan kalau ternyata kondisi memungkinkan dan kamu ingin aku datang, kamu bisa hubungi aku". Hati Gamma seolah merasakan senyum tulus yang Tetha persembahkan untuk dirinya, meski matanya tak bisa melihat apa-apa. Gamma pun terdiam sejenak sebelum kemudian dia balas tersenyum lebar ke Tetha sambil mengangguk pelan. Gamma juga ingin Tetha tahu bahwa dirinya tidak pernah menyesal menolong Tetha. Tetha kemudian melanjutkan lagi senandung lagu Dee sesuai permintaan Gamma. Lagu Dee adalah salah satu lagu yang berkesan bagi keduanya, bukan karena maknanya sesuai dengan kisah mereka, tapi Gamma terbiasa mendengarkan Tetha menyenandungkan lagu itu saat mereka satu project bareng dan entah kenapa perlahan Gamma jadi menyukai lagu itu apalagi saat yang menyanyikannya adalah Tetha. Dan saat itu, Gamma tiba-tiba merasakan rindu mendengarkan Tetha menyanyikan lagu itu. Setelah Gamma kembali terlelap, Tetha pun akhirnya berpamitan pulang kepada Ibu Gamma.

Beberapa hari kedepan setelah itu, Tetha tidak pernah datang lagi menemui Gamma. Dia berusaha menepati permintaan Fia kepadanya malam itu. Tetha melakukannya demi kebaikan Gamma dan banyak orang juga mungkin demi kebaikan dirinya sendiri. Tetha hanya mencuri-curi tanya informasi tentang perkembangan kondisi Gamma.
Satu bulan berlalu, ketika entah kenapa hati Tetha begitu riuh mendesak Tetha untuk menjenguk Gamma di rumahnya. Seolah ia mendengar Gamma memintanya datang untuk menemaninya bercanda sejenak. Setelah lama menimbang-nimbang, akhirnya Tetha pun memutuskan pergi ke rumah Gamma.
Rumah Gamma terlihat lengang. Dengan setengah ragu Tetha mengetuk pintu rumah Gamma ketika Ibu Gamma yang langsung membukanya. "Tetha, akhirnya kamu datang lagi menjenguk Gamma, Nak," ujar Ibu Gamma sambil mencium kedua pipi Tetha setelah Tetha mengecup punggung tangan beliau.
Tetha kemudian duduk di ruang tamu rumah Gamma. "Bagaimana kondisi Gamma, Tante?"
"Gamma masih terus terapi, tapi akhir-akhir ini dia sering murung karena merasa dirinya tidak berguna. Dia sempat 1-2 kali menanyakan kamu, Tha, apa kamu ada datang lagi atau tidak, tapi saat Tante bilang kamu tidak datang dia hanya diam sejenak kemudian larut dalam pikirannya sendiri untuk beberapa saat".
Tetha menunduk sejenak. "Maafkan Tetha karena tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Tetha cuma berusaha memenuhi permintaan manajemen Gamma yang menurut Tetha memang baik untuk Gamma. Tapi cewek dan fans Gamma pasti setia menghibur Gamma, kan Tante?"
Ibu Gamma mengangguk pelan, "Iya beberapa kali fans Gamma datang waktu Gamma di rumah sakit dan Silva juga beberapa kali datang ke rumah menemani Gamma seperti biasa seperti saat sebelum Gamma sakit".
Tetha tersenyum kearah Ibu Gamma, "Syukurlah Tante, setidaknya Gamma tidak merasa kesepian".
"Ya sudah, sekarang Tetha langsung ke kamar Gamma saja ya. Sejak dia sering murung, dia lebih banyak diam dan menyendiri di kamar, sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaannya".
Perlahan Tetha membuka kamar Gamma, tampak Gamma sedang asyik duduk di kamar tidurnya dengan headset melekat di kepalanya. Ibu Gamma pun meninggalkan Tetha sendirian dan kembali ke dapur. Tetha membawa susu milo kaleng dingin ditangannya yang baru dibelinya di toko dekat rumah Gamma. Berusaha tanpa suara, Tetha pun mendekat ke arah Gamma sambil mengambil gitar Gamma yang tergeletak di ujung kamar Gamma.
Tetha menempelkan kaleng milo dingin itu ke pipi Gamma, membuat Gamma terkejut dan langsung melepas headsetnya. "Siapa ya?" Tetha masih saja diam meski Gamma memegang tangan Tetha dan sekaleng milo itu. Tetha kemudian tersenyum lembut sambil memandang kearah mata Gamma yang terlihat berusaha menerka-nerka orang yang ada di hadapannya.
Tetha pun meletakkan kaleng susu milo dingin itu di genggaman tangan Gamma dan kemudian Tetha mulai memetik gitar Gamma. "Lelahmu jadi lelahku juga. Bahagiamu bahagiaku pasti... ... ...," lirik lagu Malaikat Juga Tahu pun mengalun merdu di telinga Gamma membuat senyuman Gamma pun mengembang lebar saat itu juga. "Tethaaa...," ujar Gamma membuat tawa Tetha pun pecah.
"Susu milonya mau diminum nggak, Ma?" tanya Tetha dengan nada ceria. Gamma pun mengangguk pasti sambil tersenyum. Tetha membukakan tutup kaleng milo itu untuk Gamma dan Gamma pun dengan semangat segera meminumnya. Bahkan saking semangatnya, Gamma sempat tersedak, "Pelan-pelan, Ma... Ga bakal aku minta, Ma," ucap Tetha sambil menepuk-nepuk punggung Gamma dan Gamma pun tertawa.
"Aku seneng banget akhirnya kamu datang lagi, Tha". Tetha tersenyum lembut memandang kearah Gamma seolah Gamma bisa melihatnya. "Maafin aku, Ma karena aku baru datang lagi sekarang. Entah kenapa hari ini hati aku bersenandung keras sekali meminta aku menemui kamu. Mungkin karena aku sudah terlalu lama tidak menjenguk kamu, orang yang sudah menolong aku, makanya hati mengingatkan aku".
Gamma balas tersenyum lembut.
"Tapi kamu tidak kesepian pastinya ya Ma, kan ada Silva dan fans kamu yang setia menghibur kamu ya... Pastinya karena itu juga ya Ma, kamu tidak menghubungi aku dan meminta aku datang".
Gamma terdiam sejenak, kemudian kembali tersenyum "Iya, Tha... Silva dan fans aku, mereka setia menghibur aku". Padahal di dalam hati Gamma, sebenarnya ada hal yang tidak bisa diungkapkannya. Meski banyak yang menghiburnya termasuk Silva, tapi tetap saja ada yang ia rasakan kurang di dalam hatinya dan itu ternyata tentang Tetha. Tapi dia juga ragu tiap kali ingin menghubungi Tetha karena semua yang terjadi diantara mereka berdua, meski mereka bukan siapa-siapa.
"Tha, apa kamu sekarang lagi tersenyum tepat didepan mata aku?" tanya Gamma sambil tersenyum.
"Iya, Ma dan kamu juga sedang tersenyum tepat menghadap aku". Gamma makin melebarkan senyumnya. "Aku ingin membayangkan  wajah kamu sekarang, Tha. Tidak perlu sampai menyentuh wajah kamu, tapi tolong kamu gerakin tangan aku sambil menjelaskan muka kamu ya,... ".
Tetha mengambil kaleng milo yang sudah habis itu dari tangan Gamma. Tetha pun memegang tangan Gamma dan mendekatkan tangan Gamma ke mukanya. "Ini ... mata aku... ini hidung aku.. ini bibir aku yang sedang membentuk senyum lebar untuk kamu, Ma". Perlahan Tetha menggerakkan tangan Gamma beberapa centimeter dari wajah Tetha. Gamma pun tersenyum, entah kenapa hatinya bersenandung bahagia lagi saat itu, senandung yang lama tidak ia rasakan.
Mata Tetha pun berkaca-kaca melihat kondisi Gamma yang tak kunjung mampu melihat, membuat rasa bersalah itu menyeruak keras dari hatinya. Bahkan Tetha akhirnya tak mampu menahan air matanya untuk keluar, meski Tetha berusaha untuk tanpa suara agar Gamma tidak mengetahuinya.
"Sekali lagi maafin aku, Ma. Gara-gara menolong aku, kamu mengalami kebutaan meski cuma sementara. Ibu kamu bilang kamu sering murung dan jadi banyak diam akhir-akhir ini karena kamu merasa tidak berguna. Aku benar-benar minta maaf, Ma," ucap Tetha lirih.
"Tha... berapa kali aku harus bilang, aku tidak pernah menyesal menolong kamu dan tidak pernah menyalahkan kamu, Tha. Aku mungkin sering murung akhir-akhir ini, tapi lebih karena aku hampir tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa berdiam diri di rumah Tha. Tapi aku yakin, dengan terapi rutin aku pasti bisa melihat lagi. Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah ya Tha. Ini cuma sisi lemah seorang Gamma saja". Gamma kembali tersenyum ke Tetha seolah ingin menghibur Tetha. Tetha masih terdiam menatap kedua mata Gamma, air matanya semakin tidak bisa ia hentikan untuk keluar saat itu. "Thaaa... ," panggil Gamma. Tetha masih saja terdiam karena dia tidak ingin Gamma tahu dia sedang menangis saat itu.
"Kamu sedang menangis ya, Tha?" tanya Gamma dengan raut dan nada khawatir. Tetha cepat-cepat mengusap air matanya.
"Enggak kok, Ma," jawab Tetha pendek dengan suara dibuat senormal mungkin.
"Aku yakin kamu sedang menangis di depan mata aku, Tha. Hati aku bisa merasakan ada senandung sedih itu".
Tetha kembali diam, menatap Gamma  yang terlihat mencemaskannya.
"Aku baik-baik saja Tha, bukankah kamu pernah bilang bahwa aku harus tetap semangat dan yakin aku pasti bisa segera melihat lagi?"
Tetha pun tersenyum di depan Gamma, "Maafkan aku, Ma. Iya kamu benar, harus tetap semangat, kamu pasti bisa segera melihat lagi, insyaa Allah". Gamma pun kemudian tersenyum lebar seolah bisa melihat senyuman Tetha untuknya.
"Semangat, Gamma....," lanjut Tetha dengan optimis dan tersenyum lebih lebar membuat Gamma tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gamma dan Tetha sedang asyik mengobrol ketika ibu Gamma masuk. "Ma, sudah saatnya makan siang, Nak. Ini ibu bawakan makan siang kesukaan kamu," ujar Ibu Gamma lembut menghampiri Gamma dan Tetha.
"Terima kasih, Bu".
"Oh ya, Tetha sekalian makan siang yuk Nak, biar bareng-bareng sama Gamma".
"Terima kasih banyak Tante, tapi Tetha masih kenyang, soalnya tadi Tetha sarapannya agak kesiangan juga, he he".
"Iya, Tha ayo makan sekalian. Masakan ibu aku ditanggung bikin ketagihan, Tha," ujar Gamma sambil tertawa kecil. Ibu Gamma pun sangat senang melihatnya, kehadiran Tetha seperti kehadiran seorang teman yang mampu menghibur dan menghadirkan keceriaan Gamma.
"Ya sudah, kalau begitu Tetha minum dulu ya. Tante sudah buatin coklat hangat buat Tetha".
Tetha pun tersenyum kepada ibu Gamma, "Iya Tante, terima kasih banyak".
Tetha pun tetap duduk disamping Gamma, menikmati coklat buatan Ibu Gamma untuknya, sambil memperhatikan Gamma yang sedang makan siang dengan lahapnya. Ibu Gamma juga terlihat mengamati Gamma yang lahap menghabiskan makanannya. Sejak beberapa hari terakhir, baru hari ini, beliau bisa melihat Gamma kembali bersemangat. Ibu Gamma pun tersenyum bahagia melihatnya.
Ibu Gamma sudah kembali ke tempat makan ketika Gamma masih menyelesaikan makan siangnya. Terlihat beberapa kali nasi Gamma jatuh tidak pada piringnya sehingga Tetha pun membantu Gamma memunguti nasi Gamma itu tanpa suara, berusaha agar Gamma tidak menyadarinya. Beberapa menit kemudian makanan di piring Gamma sudah habis dan Gamma mencari-cari nasi yang berserakan tidak pada piringnya seperti yang biasa ia lakukan, tapi ia tidak menemukannya. "Kamu ya Tha, yang sudah mengambili nasi-nasi aku yang berserakan?" tanya Gamma. Tetha tersenyum, "Mungkin... memang tidak ada lagi nasi yang berserakan, Ma". Gamma terdiam sejenak kemudian setengah tertawa. "Nggak mungkin Tha, pasti ada, jadi kalau sekarang nggak ada, pasti kamu tersangka pengambilnya". Tetha pun tersenyum lebar seolah membalas tawa Gamma, "Iya... iya aku ngaku deh, aku tersangkanya...". Mereka pun tertawa bersama.
Mereka kemudian makan buah bersama sambil bercanda. Meski mereka hanya dua orang asing, tapi senandung diantara mereka selalu menyisakan bahagia saat mereka membaginya.
"Hmmm kalau habis makan siang, berarti saatnya kamu tidur, ya Ma. Aku nyanyiin lagu Dee lagi ya buat pengantar tidur kamu, baru aku pulang".
"Kamu ada jadwal ya Tha?"
"Hari ini aku free, Ma".
"Kalau begitu, kamu disini aja ya, ngobrol ngalor ngidul sama aku, kita berbagi cerita lucu. Aku nggak tidur siang kok, Tha. Tapi sekarang, aku mau mendengar petikan gitar kamu Tha menyanyikan lagu Dee lagi, aku kan tadi belum ikut nyanyi," ujar Gamma sambil meringis.
Tetha pun balas meringis didepan Gamma dan mulai memetik gitar Gamma menyenandungkan lagu Dee. Kali ini Gamma terlihat penuh semangat menimpali Tetha dengan suaranya sehingga mereka pun duet dadakan seketika itu, sambil ada kalanya mereka tertawa saat Gamma lupa akan liriknya dan cuma bisa berucap na na na na na saja.
Mereka sedang asyik menyenandungkan lagu Dee ketika Fia masuk ke kamar Gamma.
"Kamu ngapain lagi, Tha disini? Apa kamu tidak ingat janji kamu untuk tidak lagi muncul di hadapan Gamma demi kebaikan Gamma malam itu?" Senandung Dee Gamma dan Tetha pun langsung terhenti dan Tetha pun langsung berdiri.
"Kak Fia, kenapa Kak Fia bicara seperti itu, Kak? Tetha hanya ingin menjenguk aku, Kak. Memang salah ya?" tanya Gamma.
"Jelas salah Ma. Kamu masih ingat kan, kamu sengaja tidak mengambil project bareng Tetha lagi karena alasan yang sangat kuat. Jadi nggak seharusnya Tetha disini, Ma. Ini semua demi kebaikan kamu dan banyak orang, Ma," ujar Fia lembut tapi tegas. Gamma terdiam, disatu sisi hatinya bahagia saat Tetha menjenguknya hari itu, tapi disisi yang lain, apa yang dikatakan Fia, pihak manajemennya, pun benar adanya.
"Apa yang dikatakan Kak Fia benar, Ma. Tidak seharusnya aku ada disini. Aku dan kamu sama-sama tahu kenapa kita memutuskan tidak ber-partner lagi, demi kebaikan masing-masing dan banyak orang. Maafkan aku Kak Fia. Sebaiknya aku pulang sekarang sebelum aku mendatangkan masalah yang baru buat kamu, Ma". Gamma masih terdiam, dia ingin sekali menahan Tetha untuk tidak pergi, tapi mulutnya tertahan untuk bersuara. "Semoga kamu bisa segera melihat lagi, ya Ma. Tetap semangat," ujar Tetha sambil tersenyum sebelum ia bergegas keluar dari kamar Gamma. Gamma masih terdiam di tempatnya, ketika Fia menepuk lembut bahunya. "Sudahlah Ma, tidak usah terlalu dipikirkan lagi ya. Aku yakin kamu juga tahu ini semua demi kebaikan kamu dan banyak orang, Ma". Gamma mengangguk pelan, meski hatinya saat itu ramai, ada yang memintanya memanggil Tetha kembali. Gamma kemudian tersenyum. "Nah gitu, harus tetap tersenyum, Ma. Ini memang yang terbaik Ma. Oh iya, aku sudah cancel semua project yang tidak bisa kamu jalankan selama kamu sakit, Ma. Dan syuting hari terakhir pada waktu kamu kecelakaan, pihak PH bilang mereka akan tetap menunggu kamu sampai sembuh baru melanjutkannya.
Gamma mengangguk. "Terima kasih banyak ya, Kak Fia. Semoga dengan terapi yang rutin aku jalani, aku bisa segera melihat lagi. Suka merasa sayang juga sih, kehilangan penghasilan, he he".
"Tapi kamu nggak perlu merasa terlalu khawatir ya, Ma. Untuk mengurangi kerugian finansial yang harus kamu tanggung akibat kecelakaan itu, Tetha bersedia memberikan 25 persen dari tiap penghasilannya untuk kamu sampai kamu bisa melihat lagi".
Gamma pun sontak tertegun. "Maksud Kak Fia, Tetha memberikan sebagian penghasilannya buat aku, Kak?" tanya Gamma memastikan yang didengarnya
"Iya, Ma," jawab Fia singkat.
Gamma langsung berdiri dari duduknya. Dengan meraba-raba dia berusaha mencari jalan keluar dari kamarnya.
"Kamu mau kemana, Ma?" tanya Fia berusaha memegangi Gamma.
"Tolong jangan pegang aku, Kak. Aku ingin sendiri. Aku harus menyusul Tetha," ujar Gamma berusaha melepaskan genggaman Fia.
"Ma, tenangkan diri kamu. Tetha ikhlas memberikan sebagian penghasilannya itu buat kamu sebagai kompensasi kerugian finansial yang kamu tanggung gara-gara dirinya".
"Tapi sakit dan kebutaan sementara aku ini bukan salah Tetha, Kak Fia. Jadi Tetha nggak perlu melakukan hal itu. Aku yang ingin menolong Tetha. Lagipula kenapa Kak Fia baru bilang ke aku tentang ini," sambung Gamma dengan nada agak tinggi. Gamma kemudian lanjut meraba-meraba mencari jalan keluar. "Tetha... Tetha... kamu dimana Tha? Kita harus bicara, aku mohon kamu jangan pergi dulu Tha". Gamma tetap menolak tawaran Fia yang ingin membantunya. Gamma terus berjalan pelan-pelan sambil terus memanggil nama Tetha ketika kemudian Gamma tergelincir di tangga di depan kamarnya dan terjatuh. Kepala Gamma membentur dinding dan Fia pun terkejut dan langsung menghampiri Gamma yang tidak sadarkan diri itu.
"Gamma, bangun Ma... tolong... tolong...," dengan panik Fia pun setengah berteriak. Ibu Gamma dan Tetha pun bergegas berdatangan ke tempat Gamma tidak sadarkan diri. Ternyata, Tetha tidak langsung pulang saat itu karena Ibu Gamma menahannya sejenak untuk makan siang bersama.
"Ya Allah, Gamma kenapa, Fia?"tanya Ibu Gamma panik. "Gamma tergelincir di tangga Bu, aku sudah berusaha memegangi Gamma, tapi Gamma tetap saja menolak".
"Bangun Ma," ujar Tetha tak kalah panik sambil menepuk-nepuk pipi Gamma. Namun, Gamma tak jua kunjung sadarkan diri. Akhirnya Gamma pun dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tidak ada darah di kepala Gamma, hanya memar akibat benturan dengan dinding.
Tetha yang syok dengan apa yang dialami Gamma pun memutuskan untuk menuju musholla rumah sakit itu, untuk mendoakan dan mengaji agar tidak terjadi apa-apa pada Gamma, sementara Fia dan Ibu Gamma menemani Gamma di kamarnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi sampai Gamma memaksakan diri jalan ke bawah tanpa mau dibantu?" tanya Ibu Gamma kepada Fia. "Gamma ingin menyusul Tetha, Bu. Dia kaget saat aku beritahu bahwa Tetha bersedia memberikan 25 persen penghasilannya untuk Gamma sampai Gamma sembuh".
Ibu Gamma membelai rambut Gamma. "Seharusnya kamu tidak perlu memberitahunya, Fia. Sejak awal, Ibu juga tahu bahwa Gamma pasti tidak menyetujui ide itu".
"Fia memberitahu Gamma karena Gamma sempat bilang kalau dia menyayangkan karena harus kehilangan penghasilannya, Bu".
"Fi, Ibu mohon ke kamu tolong jangan minta Tetha pergi kali ini. Biarkan Tetha menemui Gamma ya. Jujur sejak beberapa hari terakhir Gamma selalu berwajah murung, baru hari ini Ibu melihat dia tersenyum dan tertawa lepas lagi saat Tetha datang dan menghiburnya".
Fia terdiam, ada rasa bersalah ia rasakan dengan apa yang Gamma alami baru saja. Gamma yang tanpa berpikir panjang mengejar Tetha tanpa mau menerima bantuan dari dirinya.
15 menit kemudian, perlahan mata Gamma terbuka. "Bu...," ucap Gamma pelan.
"Alhamdulillaah, kamu sudah sadar, Sayang," balas Ibu Gamma lembut sambil mengusap rambut Gamma. "Bu, Gamma tidak sedang bermimpi kan, Bu... Gamma bisa melihat Ibu lagi. Ibu dengan baju warna biru itu".
Ibu Gamma pun menangis bahagia mengetahui Gamma bisa melihat lagi. "Penglihatan kamu benar-benar sudah kembali, Nak?"
Gamma tersenyum lebar sambil mengangguk. Fia dan Ibu Gamma pun tersenyum bahagia mengetahui hal itu.
"Ma, aku minta maaf ya, " ujar Fia pelan kemudian.
Gamma terdiam sejenak lalu tersenyum. "Nggak apa-apa Kak Fia, aku tahu Kak Fia melakukan ini mungkin untuk kebaikan aku juga. Tapi sekali lagi, ini bukan salah Tetha, Kak. Aku tidak mau menerima sebagian penghasilan Tetha, Kak. Aku mohon, tolong kembalikan kepada Tetha ya. Lagi pula, sekarang aku sudah bisa melihat lagi, jadi aku bisa ambil project demi project lagi, Kak," pinta Gamma kepada Fia. Fia memandang kearah Gamma sambil mengangguk pelan.
"Bu, apa Tetha sudah pulang tadi? Gamma ingin bertemu dengan Tetha, Bu. Tadi Gamma seperti mendengar suara Tetha memanggil nama Gamma".
Ibu Gamma tersenyum ke arah Gamma. "Tetha ada disini kok Nak, dia tapi berpamitan ke musholla setelah Dokter selesai memeriksa kamu. Biar Ibu panggilkan Tetha kesini ya ".
Gamma mengangguk pelan, kepalanya masih sakit karena memar akibat terbentur dinding tadi. "Terima kasih, Bu. Tapi tolong jangan beritahu Tetha ya Bu, kalau Gamma sudah bisa melihat lagi. Gamma ingin memberi kejutan buat Tetha".
Ibu Gamma lagi-lagi tersenyum sambil mengangguk pelan.
10 Menit kemudian, Tetha memasuki kamar Gamma bersama Ibu Gamma. Perlahan Tetha mendekat ke tempat Gamma berbaring dan Ibu Gamma pun mengajak Fia untuk keluar, memberikan waktu buat Tetha dan Gamma untuk bicara.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ma. Mana yang sakit Ma? Harusnya kamu lebih hati-hati," ujar Tetha sambil menatap ke mata Gamma.
Gamma tersenyum, "Aku cuma memar biasa kok, Tha. Aku baik-baik saja," jawab Gamma memandang kearah Tetha. Tiba-tiba air mata Tetha keluar, dia teringat Gamma jatuh hari ini juga tak lepas karena dirinya. Tetha benar-benar merasa bersalah kepada Gamma. Seolah masalah datang ke Gamma saat dia ada didekatnya.
"Kamu menangis Tha? Jangan menangis Tha," ujar Gamma saat itu. "Aku baik-baik saja dan ini juga bukan salah kamu".
Tetha tertegun sejenak mendengar Gamma yang bisa membaca ekspresinya. Tetha mengusap air matanya. "Nggak kok, Ma. Aku nggak nangis," jawab Tetha sambil mengembangkan senyumnya. Meski Gamma tidak bisa melihatnya, Tetha yakin Gamma bisa merasakan senyumannya.
Gamma tersenyum lebar sambil memandang kearah Tetha, membalas senyuman Tetha kepadanya.
"Kamu nggak perlu bohong untuk menenangkan hati aku, Tha. Jelas-jelas aku melihat kalau kamu sedang menangis di depan mata aku, Tha," sambung Gamma lagi.
Tetha dipenuhi tanda tanya saat itu mendengar ucapan Gamma. "Maksud kamu, Ma?" tanyanya.
"Iya Tha, sekarang aku sudah bisa melihat lagi. Makanya aku tahu kamu sedang menangis di depanku," jelas Gamma sambil tersenyum. Sejenak, Tetha pun tertegun seolah tak percaya. "Serius Ma, kamu sudah bisa melihat lagi? Kamu nggak bercanda kan?"
Gamma tertawa kecil memandang kearah Tetha sambil mengangguk pelan. "Iya Tha, sekarang aku sudah bisa melihat lagi.
Tetha langsung mencecar Gamma beberapa pertanyaan untuk memastikan perkataan Gamma. "Ini berapa Ma? tanya Tetha sambil mengacungkan tiga jarinya. Gamma tertawa kecil, "Tiga, Tetha".
"Ini...?" lanjut Tetha sambil mengacungkan delapan jarinya. Gamma pun tergelak. "Delapan".
Tetha pun tertawa bahagia setelah ia benar-benar yakin Gamma sudah bisa kembali melihat. "Alhamdulillaah, Ma... aku senang banget, Ma". Gamma tersenyum lebar sambil tetap memandang ke arah Tetha. Tawa lepas gadis yang ada didepannya itu selalu berhasil menularkan bahagia di hatinya, membuat hatinya ikut bersenandung bahagia. "Tha, aku benar-benar minta maaf karena aku baru tahu kalau kamu memberikan sebagian penghasilan kamu buat aku selama aku sakit. Aku akan mengembalikannya Tha".
Tapi Ma, aku ikhlas kok, Ma. Sudah sewajarnya juga, karena kamu sakit juga karena aku, Ma. Jadi sudah seharusnya aku ikut menanggung kerugian finansial kamu selama kamu sakit termasuk menanggung semua biaya pengobatan kamu. Hanya ini yang bisa aku lakukan, Ma, tolong izinkan aku, ya".
Gamma menggelengkan kepalanya. "Harus berapa kali aku bilang ke kamu Tha, ini bukan salah kamu, aku yang ingin menolong kamu. Dan ini juga bukan tentang balas jasa, Tha. Jadi aku benar-benar tidak bisa menerimanya, Tha. Aku bakal kembalikan semuanya itu ke kamu, Tha". Tetha terdiam sejenak menatap Gamma, lalu Tetha pun tersenyum sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Tapi aku mohon banget, Ma. Izinkan aku untuk menanggung semua biaya pengobatan kamu. Tolong kamu mau menerimanya untuk hal itu saja, Ma". Gamma terdiam memandangi wajah Tetha yang memohon kepadanya. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya Gamma pun mengangguk, mengabulkan permohonan Tetha, "Ya sudah, aku bakal mengizinkan kamu ikut membiayai pengobatan aku, tapi aku akan kembalikan separuhnya ya. Please". Gamma pun tersenyum lebar kepada Tetha membuat Tetha menghentikan tawar menawar tentang biaya pengobatan Gamma itu. Tetha seolah memahami hati Gamma. Tetha kemudian balas tersenyum lebar kepada Gamma. Dalam sejenak mereka pun kembali larut dalam cerita-cerita lucu yang bergantian mereka bagikan satu sama lain. Saat itu, Gamma semakin menyadari ada sebuah rasa yang selama ini tak bernama tentang Tetha di hatinya. Mungkin juga ia tidak berani menamainya dengan semua hal yang terjadi. Namun Gamma tersadarkan, Tetha punya arti yang spesial di hatinya, spesial karena tidak ada yang bisa menggantikan ruang itu dan hanya Tetha yang bisa membukanya. Tetha mempunyai senandung khusus di hatinya yang mampu menularkan bahagia ke seluruh penjuru hatinya tiap kali Gamma melihat senyum dan tawa Tetha. Detik itu juga, Gamma pun mulai menamai rasanya kepada Tetha, meski ia tahu rasa itu tak boleh terungkapkan dalam kata demi kata, bahkan kepada Tetha sekalipun. Gamma ingin membiarkan waktu bicara apa yang akan terjadi nantinya karena di sisi yang lain, Gamma juga sadar adanya Silva, fans-fansnya dan orang lain yang peduli kepada dirinya.

Enam bulan berlalu, Gamma dan Tetha tak pernah bertemu lagi sejak Gamma kembali bisa melihat saat itu. Baik Gamma dan Tetha tetap setia dengan keputusannya untuk tidak menjadi partner lagi dalam project yang sama. Hingga tibalah hari itu, saat mereka dipertemukan lagi dalam satu cerita besar film tapi berbeda ruang di cerita kecilnya. Itu sebabnya juga mereka akhirnya menerima tawaran project itu. Tetha baru saja tiba di lokasi briefing ketika ia berpapasan dengan Gamma yang sepertinya juga baru datang. Mereka saling tersenyum dalam diam untuk sejenak. “Tha, apa kabar? Lama kita tidak pernah bertemu lagi sejak aku kembali bisa melihat,” ujar Gamma berusaha bersikap netral.
Tetha mengangguk pelan, “Iya ya, Ma nggak terasa kira-kira sudah setengah tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Kabar aku alhamdulillaah baik. Aku berharap kamu dan Ibu kamu juga sehat-sehat dan dalam kondisi yang baik”.
“Aku dan Ibu alhamdulillah baik-baik saja, Tha. Hmmm, meskipun kita lama tidak bertemu, tapi aku mengikuti karier kamu di TV dan melalui social media kok, Tha. Alhamdulillah karier kamu semakin menanjak dan kamu makin kebanjiran job, aku ikut senang, Tha”.
Tetha tertawa kecil. “Makasih, Ma. Ternyata kamu ngepoin aku juga, ya Ma. Tapi jujur aku juga sama, suka mengikuti perkembangan karier kamu dari TV dan social media juga. Aku bahkan termasuk orang yang setia mengikuti setiap kali kamu main di ftv atau sinetron, Ma. Mungkin karena sebenarnya aku juga sudah menjadi salah satu fans kamu kali ya he he”. Tawa kecil Gamma dan Tetha pun pecah. Mereka saling menertawakan satu sama lain yang sama-sama peduli meski tak bisa ber-partner lagi.
“Apa kamu juga mengikuti perjalanan pribadi aku, Tha?”
Tetha menatap Gamma sejenak. “Maksud kamu gosip tentang kamu?” Gamma mengangguk yang kemudian dibalas anggukan oleh Tetha satu menit kemudian.
“Berarti kamu tahu aku sudah putus dengan Silva?” tanya Gamma lagi. Tetha memandang Gamma, kemudian mengangguk. “Meski aku nggak tahu penyebab putus kalian apa, tapi semoga memang keputusan yang terbaik buat kalian ya, Ma”.
Gamma tersenyum balas memandang Tetha dalam diam beberapa saat. “Semoga saja, ya Tha. Aku cuma ingin hati aku melihat segala sesuatunya dengan lebih leluasa dan objektif, Tha. Itu sebabnya aku memutuskan untuk tidak pacaran dulu. Aku tidak ingin menyakiti Silva dan aku juga ingin tahu apa yang diinginkan oleh hati aku sebenarnya”.
Tetha kembali tersenyum sambil mengacungkan jempolnya buat Gamma.
“Kamu sendiri masih betah memutuskan tetap ngejomblo, Tha?” tanya Gamma tiba-tiba membuat Tetha sempat tertegun meski kemudian Tetha pun melebarkan senyumnya kearah Gamma. “Hmmm mungkin ada sedikit kemiripan dengan apa yang kamu bilang tadi, Ma. Aku mungkin masih memerlukan waktu yang lebih panjang untuk bisa menetapkan hati aku kepada seseorang. Seseorang yang bisa menerima rasa aku untuk bersenandung di hati dia seperti aku juga bisa menerima rasa dia untuk bersenandung di hati aku, Ma. Semoga kita sama-sama ditunjukkan yang terbaik ya, Ma,” ujar Tetha bersemangat. Gamma menatap Tetha agak lama. Dia tahu, ini mungkin belumlah waktu yang tepat buat dia mengungkapkan nama rasa buat Tetha yang ada di hatinya. Mungkin akan terlalu cepat buat Tetha untuk mengetahui apa yang dirasakan Gamma kepadanya yang Gamma sadari sejak kejadian kecelakaan itu. Meskipun disatu sisi hatinya, entah kenapa Gamma seolah yakin Tetha pun memiliki ruang untuk dirinya di hatinya. Ruang yang Tetha simpan rapi untuk Gamma meski tak pernah Tetha ungkapkan.
“Tha, menurut kamu, apa mungkin suatu hari nanti aku dan kamu saling menitipkan hati satu sama lain?” tanya Gamma lagi-lagi membuat Tetha terkejut. Mereka saling berpandangan, tanpa suara untuk sejenak. Tetha pun kemudian tersenyum, “Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, Ma. Kalau memang suatu hari nanti kamu memercayakan hati kamu ke aku, aku tetap berharap aku pun masih mempercayakan hati aku ke kamu, Ma”. Gamma pun balas tersenyum, “Mari kita biarkan waktu bicara ya, Tha”. Mereka berdua pun saling berbagi senyum berdua. Baik Gamma maupun Tetha seolah memahami senandung hati yang mereka rasakan satu sama lain saat itu, meski senandung itu masih harus tertahan di hati masing-masing untuk sementara waktu. Tetha dan Gamma ingin membiarkan hati mereka masing-masing mengartikan apa yang dimauinya dengan baik. Bukan hanya sekedar tarian nafsu yang mengotori hati sesaat, melainkan senandung hati yang sebenarnya.
“Tetha...,” terdengar suara Rani memanggilnya membuat Tetha pun bergegas menghampirinya setelah ia berpamitan kepada Gamma.
“Cieee... yang sudah lama nggak pernah ketemu dan akhirnya ketemu lagi sekarang,” goda Rani sambil mencubit lembut pipi Tetha.
“Apaan sih Kak Rani, masih saja suka menggoda Tetha soal Gamma. Memang salah ya kalau kami ngobrol?” tanya Tetha sambil tersenyum.
Rani tertawa kecil. “Nggak salah kok Tha, tapi nggak tahu kenapa, tiap kali melihat kamu dan Gamma, bawaannya Kak Rani ikut senang saja. Apalagi sekarang Gamma kan jomblo, Tha. Makin bertambah deh keinginan buat ngegodain kalian, he he”.
Tetha ikut tertawa kecil menimpali tawa Rani sambil menggelengkan kepalanya melihat Rani yang masih tetap menggodanya.
“Dengar-dengar dari sumber yang dapat dipercaya, Gamma sudah putus dari ceweknya sejak enam bulan yang lalu, Tha. Berarti sudah lama juga ya...”.
Tetha terdiam meski senyum tetap tersungging di bibirnya ke Rani. Meski Tetha tahu bahwa Gamma dan Silva sudah putus, tapi informasi dari Rani itu pun baru Tetha ketahui. Informasi itu membuat Tetha semakin menyadari maksud kalimat Gamma sebelumnya.
“Gamma, apa mungkin kamu memutuskan Silva karena kamu akhirnya mendengar senandung hati aku saat itu, Ma? Namun, aku tahu dan tetap yakin kamu adalah salah satu laki-laki baik yang tidak akan mempermainkan hati perempuan. Itu sebabnya pula kamu tetap menjaga diri kamu untuk tidak berkomunikasi dengan aku meski kamu sudah tidak berhubungan lagi dengan Silva. Seperti yang kamu bilang Ma, biar waktu yang menjawab. Saat nanti ada masanya kita memang diizinkan saling menitipkan hati satu sama lain, semoga indah, ketulusan, dan kebaikan yang akan membingkai kebersamaan kita, Ma,” ujar Tetha dalam hati.
Tetha pun kembali tersenyum lebar menatap langit yang ramai berhiaskan awan pagi itu. Dia seolah ingin membagi senandung hatinya yang terdengar riang saat itu. Senandung cinta yang mungkin masih tertahan tapi mulai memiliki ruang yang lebih terbuka untuk bisa bersemi. Dari kejauhan, Gamma pun tersenyum melihat Tetha yang tersenyum menghadap langit. Gamma pun merasakan senandung riang yang Tetha bagi kepada langit. Senandung yang serupa dengan apa yang Gamma rasakan dihatinya saat itu. Senandung hati, senandung cinta.
“Tunggu aku, Tha... tunggu hati aku memaknai apa yang diinginkannya dengan baik. Tunggu aku menempatkan beberapa hal dengan bijak. Saat waktu yang tepat itu tiba, aku akan mendatangi kamu dengan penuh keberanian, Tha. Aku akan memperdengarkan senandung hati aku secara langsung buat kamu sebagaimana aku akan bisa lebih jelas mendengar setiap senandung hati kamu. Semoga waktu itu akan segera tiba, Tha”.
Gamma dan Tetha pun tersenyum bersama memandang langit yang sama. Langit seolah menjadi pendengar bisu akan senandung sepasang hati itu yang sedang ingin membagi bahagia.

-Tamat-

Rabu, 17 Juni 2015

Volunteering, Sebuah Kerinduan


Dari beberapa tahun yang lalu, dalam hati ini terselip keinginan untuk menjadi volunteer yang baik. Kejadian Tsunami Aceh dan Gempa Jogja membuat saya menyadari bahwa ada perasaan yang sulit diungkapkan saat kita bisa melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain. Apalagi ada satu kejadian kecil yang membuat saya terkesan hingga saat ini. Masih teringat saat itu beberapa hari setelah Tsunami Aceh yang sangat memilukan. Saya melihat ada sebuah keluarga pemulung tanpa rumah (mereka hidup dan tidur di gerobak dorong mereka), mereka menaruh sebagian penghasilannya untuk membantu korban Tsunami Aceh. Saya sangat terharu melihatnya, bukan tentang nominalnya, tapi keinginan mereka untuk meringankan sesamanya yang kesusahan, meski mereka sendiri pun hidup susah. 
Kemudian memasuki dunia kerja dengan rutinitasnya, saya merasa hidup saya cukup monoton dengan pekerjaan meski disatu sisi saya bersyukur karena hampir tidak pernah kekurangan pekerjaan. Terasa lebih mudah meng-"halal"-kan dengan benar-benar gaji yang saya terima, he he (baca: tidak merasa makan gaji buta :D :D). Lalu berkenalan dengan sebuah organisasi sosial di Kota Seribu Sungai yang memberikan perhatian kepada anak-anak buruh cuci dan pelabuhan di sebuah lingkungan elit. Suatu kehormatan pernah bercanda disana, mengenal adik-adik yang jadi relawan/volunteer disana. Sedikit minder bahkan saat tahu bahwa mereka adalah bukan orang asal-asalan, ada penyiar televisi, penyiar radio, salah satu putri kalsel, model, aktivis pengajar muda, aktivis berbagai organisasi sosial, mahasiswa yang pernah ikut pertukaran pelajar internasional, pns, pelajar SMA yang peduli, dll. Mereka disatukan di satu basecamp sederhana, niatan sederhana seorang ibu, janda dari seorang wartawan yang miris melihat dua pemandangan yang bertolak belakang di wilayah sekitar tempat tinggalnya. Di satu sisi, daerah itu daerah rapi, daerah elit dengan masyarakat yang cukup berada, tapi di dalamnya atau tepatnya di pinggirannya, ada rumah-rumah petakan tempat tinggal buruh yang anak-anaknya terlantar tanpa pengawasan orang tua karena orang tuanya harus berjuang untuk kehidupan mereka. Organisasi sosial ini tidaklah besar, sangat sederhana. Para volunteer mengajarkan mengaji, melukis, bahasa inggris, berhitung, membaca, atau bermain, serta sholat berjamaah setiap Kamis, Jumat, dan Sabtu kurang lebih 1-2 jam saat menjelang Ashar. Bahkan sebagai wujud kepeduliannya, ibu itu rela memanggil mereka satu demi satu agar mereka bisa berkumpul untuk melakukan hal-hal positif. Volunteer di basecamp itu silih berganti dengan segudang kesibukannya, tapi mereka selalu ada meski bergantian. Dan saat berada bersama mereka, saya merasakan benar-benar sebagai manusia. Mereka dengan jiwa muda mereka, tapi tidak pernah merendahkan orang lain. Mereka melepas atribut segala prestasi yang mereka miliki dan lebih cenderung membagi motivasi antar volunteer. Mereka punya satu tujuan, ingin menemani adik-adik yang kurang beruntung itu agar mereka tetap merasa punya lingkungan yang peduli ke mereka. Dan satu lagi, keinginan volunteer disana adalah untuk membuat adik-adik yang hampir kehilangan kesempatan untuk sekolah bisa tetap lanjut sekolah. Sebuah keinginan sederhana dan tidak muluk, tapi terasa kebersamaannya. 

Ada kalanya adik-adik volunteer ini muncul manjanya, isengnya, galaunya, tapi saat mereka berada didepan adik-adik kecil itu, mereka menjadi kakak yang berusaha untuk mengayomi adik-adik kecil itu. Saya bukan volunteer yang sebenarnya disana, karena saya lebih kearah volunteer bebas, yang datang dan pergi sesuka hati. Saya tidak ikut mengajar, karena keinginan saya mengajar matematika bertepatan dengan hari kerja yang tidak mungkin saya tinggalkan. Saya cuma datang beberapa kali saat mereka ada acara, pawai anak, bermain bersama, buka bersama, atau semacamnya. Benar-benar volunteer yang payah yaa.. he he. Tapi mereka selalu menyambut hangat tiap kali saya ikut. Saya merasa tidak asing dan menjadi bagian mereka, meski mereka kadang agak sungkan dengan saya apalagi saat saya memilih menonton foto-foto kegiatan mereka atau saling berbagi hobbi dibandingkan menerima ajakan mereka main kartu UNO saat kami menginap di basecamp karena ada agenda sahur on the road, he he.  

Saya belajar banyak dari adik-adik itu meski saya belum menjadi volunteer yang sebenarnya. Dari para volunteer saya belajar, mereka yang "berisi" tidak merasa lebih dari yang lainnya melainkan justru ingin memberikan sesuatu kepada orang lain lebih dan lebih banyak lagi. Mereka adalah volunteer yang gaul, yang sebagian bahkan jadi idola, tapi mereka tetap menjadi manusia biasa yang tidak pongah atau merasa lebih. Dari hal-hal yang sederhana, mereka selalu menghormati yang tua meski yang tua kadang tidak selalu lebih baik dari mereka. Contohnya saya, meski saya bukan orang yang segaul mereka, sepopuler mereka, tapi mereka dengan caranya sendiri selalu membuat saya nyaman dan merasa sangat sangat dihargai. Dan dari pengalaman mereka di luar negeri yang kemudian mereka tularkan di kegiatan sosial ini, saya kemudian tersadarkan sekecil apapun kebaikan, itu bisa ditularkan. Banyak caranya, dari hal-hal kecil yang sederhana. Berbagi buku bekas misalnya, disitu saya makin tersadarkan, berbagi buku bekas mungkin sangat sederhana, tapi disatu sisi, saat buku itu dibaca oleh anak-anak di pedalaman, yang jauh dari fasilitas pendidikan yang lengkap, bisa jadi satu buku yang mereka baca akan membuat mereka jadi lebih berani bermimpi, mimpi yang lebih besar lagi.

Dari adik-adik kecil anak para buruh kasar itu, saya belajar lebih bersyukur karena mereka dengan keterbatasan kehidupan mereka tidak pernah kehilangan senyuman dan keceriaan mereka. Anak-anak kecil selalu mengingatkan kita bahwa hidup itu akan tetap indah selama kita bisa selalu melihat hal yang menyenangkan disana, meskipun diantaranya banyak juga hal yang menyedihkan atau membuat luka. 

Suatu hari saya pernah ikut para volunteer berkunjung ke sebuah sekolah di dalam pasar, dikenal dengan nama "Sekolah Bawang". Mereka membagi buku, mendampingi adik-adik yang bersekolah disana. Sekolah bawang adalah salah satu sekolah yang selalu berkesan dalam ingatan saya. Dia hanya punya satu kelas, dua ruangan yang saling bersambung, Mereka yang belajar adalah mereka dengan golongan umur yang tak terbatas, dari usia SD sampai SMA, mereka belajar dalam satu ruangan dengan buku menjadi satu untuk semua pelajaran. Bahkan ada juga yang membawa adik mereka yang kecil karena ortu mereka harus bekerja sebagai buruh pasar dan tidak ada yang menjaga adiknya. Sekolah bawang adalah perjuangan bagi anak-anak buruh pengupas bawang, anak penjaja koran, dll. Sekolah dengan guru-guru yang tangguh mengajarkan mereka hal-hal mendasar, akhlak mendasar untuk bekal kehidupan mereka yang keras. Kembali saya belajar dari sana.

Selain organisasi ini, banyak juga organisasi lain yang membuat saya sadar bahwa kebaikan itu adalah tentang saling bergerak dan menggerakkan, sekecil apapun yang bisa kita lakukan. Semakin lama, semakin saya sadar, Indonesia itu banyak sekali orang baik yang tersebar hingga pelosok. Jadi, dimana pun kita berada, selama kita tetap bergerak meski hanya dengan langkah kecil, maka kebaikan itu akan semakin menular dan menjadi budaya atau life style. Serumit dan seterbatas apapun kondisinya,  bukan mengeluh dan memprotes atau saling menyalahkan atau mencari pembenaran yang seharusnya fokus dilakukan, tapi melakukan hal baik apapun yang bisa dilakukan meski terlihat sepele. Karena kebaikan itu menular. Karena kebaikan yang besar itu bermula dari langkah-langkah kecil yang kemudian terakumulasi menjadi besar.  Ini juga yang kemudian saya pelajari di salah satu mata kuliah baru-baru ini, bahwa makin giatnya kegiatan volunteering di Indonesia adalah bukti dari eksternalitas positif pendidikan itu sendiri. Pendidikan, bukan hanya berdampak baik bagi pelaku atau mereka yang menjalani pendidikan itu sendiri, tapi lebih luas berdampak baik dan positif untuk lingkungan sekitar dan orang banyak. 

Meski mungkin menjadi volunteer yang baik masih sebatas angan dan impian bagi saya saat ini, semoga suatu saat saya bisa mewujudkan mimpi sederhana saya ini bersama seseorang yang menjadi teman hidup saya, semoga :). Bukan tentang sok baik (karena saya belum menjadi orang baik hingga saat ini he he), tapi memang sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat buat sesama. Dan sesungguhnya setiap kali kita melakukan kebaikan, maka kebaikan itu kembali ke diri kita dalam banyak rupa. Boleh dibilang, melakukan kebaikan ke orang lain itu artinya membahagiakan diri sendiri juga :). Semoga..., semoga  "ingin" itu tetap hidup dalam sanubari saya dan bisa terwujud suatu hari nanti :). Terima kasih banyak untuk semua volunteer yang membuka mata saya bahwa hidup itu juga tentang berbagi. I love you, guys wherever you are :* :)

Depok, 17 Juni 2015. 

Tiba-tiba teringat dan rindu akan mereka yang membuat orang lain "tersenyum" dengan langkah-langkah kebaikan kecil mereka :). Mereka yang tulus membagi "senyuman" untuk manusia lainnya :)


Selasa, 16 Juni 2015

Cerpen: Senandung Sepasang Hati (Rizky Nazar dan Anisa Rahma sebagai Gamma dan Tetha)

Berpaling sejenak dari Kisah Rizzar Ara, meski masih terdapat kemiripan tokoh yang berkutat di dunia akting, tapi ingin membuat sebuah alur yang ingin dituntaskan di satu titik saja. Sebuah cerpen (meski tetap panjang) untuk mendamaikan debaran aneh di hati penulis, kali ini tentang Gamma dan Tetha…

Terima kasih untuk pemain tetap dalam imajinasi ini, Anisa Rahma sebagai Tetha dan Rizky Nazar sebagai Gamma. Terima kasih masih membuat alur itu mengalir dan tergali. Cerita ini bukan tentang hidup kalian, tapi imajinasi ini memang masih tentang kalian. Belum menemukan lagi pemeran-pemeran lain untuk mewarnai cerita demi cerita di imajinasi, he he.


SENANDUNG SEPASANG  HATI

Deskripsi tokoh:
Tetha : seorang artis perempuan sekaligus pencinta desain bangunan, ramah, humble,kreatif, ceria, tegar,  penyuka musik, seseorang yang selalu melihat sesuatu dengan optimis dan positif, misterius dan sangat berhati-hati menjaga hati dan rasa.
Gamma : seorang artis laki-laki, tampan, populer, punya pesona kuat bagi perempuan, hangat dan baik dibalik sikap cool-nya,  rasional, berpikir dan bertindak simple, sangat berhati-hati menjaga image, menghargai hati perempuan, introvert dan misterius soal hati .

“Setiap hati akan menemukan pemiliknya. Karena hati akan bersenandung memanggil pasangan hatinya untuk mendekat padanya. Dua hati, dua raga yang saling bersenandung, tarik menarik…”

Tetha baru sampai di lokasi syuting ketika beberapa fans sudah menunggunya dengan membawa banyak makanan dan hadiah. Tetha memahami mungkin itu wujud kerinduan mereka padanya setelah tiga bulan ini Tetha menyepi dari dunia akting karena dirinya disibukkan dengan proyek desain pertamanya. Sejak keluar dari mobilnya, Tetha tak pernah lepas dari senyuman manisnya, seolah dia ingin menularkan bahagia bagi siapapun yang dia jumpai hari itu. Sejenak Tetha menghampiri fansnya berfoto bersama mereka dan membuka makanan dari mereka untuk dimakan bersama. Ia terima semua hadiah dari fansnya dengan ucapan terima kasih yang tak lelah ia ucapkan berkali-kali. "Kalian nggak perlu repot-repot seperti ini, kalian tetap mendukung dan mendoakan aku saja itu jauh lebih dari cukup," ujar Tetha sambil tersenyum dikelilingi fansnya. "Kangen banget, Kak,.. apalagi kakak jarang online sejak sibuk dengan proyek kakak," ujar salah satu fansnya. "Kangen lihat senyuman kamu, Tha. Biasanya kamu selalu punya cara simpel menularkan bahagia ke kita semua," ujar fans yang lainnya. "Kangen, dik lihat kamu share hal-hal lucu dan kata-kata positif di ig, fb, atau twitter kamu," ujar satunya lagi. Tetha makin bertekad untuk tersenyum lebar, seolah ingin membayar rindu yang ia tinggalkan untuk orang-orang asing maupun yang dikenalnya yang peduli dan sayang padanya yang kini ada di depannya. Setelah bercanda dan mengobrol ringan dengan fansnya, Tetha pun segera masuk ke dalam lokasi syuting yang tertutup untuk umum. Lokasi syuting…, tempat yang tak bisa dipungkiri ternyata menggoreskan rindu di hatinya. Di lokasi syuting, Tetha banyak belajar hal-hal baru, tentang kerja sama, mengontrol ego dan emosi, memahami watak orang, mendalami watak-watak karakter yang menjadi perannya, dan banyak lagi hal lainnya.
Lokasi syuting juga menyisakan jejak di hatinya, tentang seseorang yang berhasil menyusup di hatinya tanpa dia minta meski rasa itu hanya bisa dia simpan untuk dirinya sendiri.
“Tethaaa… apa kabar, say? Kangen banget bercanda dan selfie bareng kamu, say“. Terlihat perempuan usia 30-an menghampirinya dengan pelukan hangatnya. “Kak Rani… kangen banget, Kak di make up in sama kakak sambil ngobrol ngalor ngidul tentang kehidupan, he he”. Tetha membalas pelukan Rani dengan erat dan tak kalah hangat. Rani salah satu kru di lokasi syuting yang dekat dengan dirinya. Dari Rani, Tetha belajar untuk lebih menghadapi banyak hal yang tidak sesuai bayangannya dengan santai. Dari perjalanan Rani hingga di profesinya sekarang, Tetha belajar bahwa menyerah adalah kalimat terakhir yang menjadi pilihan saat semua pilihan memang benar-benar tertutup, tapi selama celah itu masih ada maka menyerah itu menjadi pantangan. Rani adalah salah satu sosok perempuan yang membalut tangguh dalam lemah lembutnya. Tetha merasa mendapatkan kakak baru ketika mengenalnya.
“Gimana proyek desain kamu, Tha? Sukses kan, say? Cerita donk,” tanya Rani menarik tangan Tetha ke salah satu sudut di lokasi syuting itu sambil menunggu waktu.
Tetha tersenyum lebar, pengalaman pertama yang nggak bisa dilupain deh, Kak. Begadang, memikirkan konsep, dan bahkan menyepi menyerap ide dari alam langsung di daerah pedalaman yang benar-benar jauh dari kata modern, menyenangkan banget he he,” cerita Tetha dengan antusias. “Tapi jujur setelah tiga bulan, benar-benar kangen sama situasi syuting begini lagi, Kak,” ujar Tetha sambil meringis.
“Oh ya, Kak Rani… hari ini Tetha disuruh datang kesini untuk briefing FTV baru Tetha katanya. Kak Rani tahu nggak, kali ini Tetha bakal dipasangkan sama siapa? Soalnya saking kangennya sama suasana syuting, pas Tetha baca garis besar cerita dan perannya, Tetha langsung oke tanpa pikir panjang,” ujar Tetha penuh semangat. Rani menggelengkan kepalanya, dia tidak punya bayangan siapa yang bakal jadi lawan main Tetha. “Project baru kamu ini, Kak Rani benar-benar nggak punya bocoran, aku aja kaget pas lihat kamu disini”.
Tetha tersenyum melihat ekspresi Rani yang ia rasakan tulus merindukannya seperti dia juga merindukan becanda dengan Rani. Mereka larut dalam cerita Tetha tentang pengalaman pertamanya dan sedikit cerita-cerita lucu yang terjadi di lokasi syuting selama Tetha break, ketika terdengar suara seseorang yang tidak asing bagi Tetha sedang menyapa kru di lokasi syuting. “Pagi, Kak, hari baru, last day dan lanjut project baru… semangat banget hari ini, ha ha”. Terdengar tawa pecah diantara suara beberapa laki-laki yang berada tak jauh dari Tetha, sementara Tetha hanya memandangi sosok tak asing itu beberapa saat. “Tha… Tetha?” panggil Rani. Setengah terkejut Tetha menoleh kearah Rani sambil tersenyum. “Sepertinya ada yang terpesona pagi ini, ya… Berdebar-debar ya, Tha?” goda Rani membuat Tetha tertawa kecil lalu sedikit manyun sambil menggelengkan kepalanya. “Apaan sih Kak Rani, cuma sedikit kaget saja, karena lama nggak pernah ketemu sama Gamma kok. Oh iya, jangan-jangan Gamma lagi syuting yang hari ini hari terakhir katanya, ya Kak?” tanya Tetha berusaha bersikap biasa saja meski hatinya tak pernah bisa disuap untuk tidak berdebar-debar setiap kali melihat Gamma.
Rani mengangguk sambil tersenyum menggoda Tetha. “Isssh, apa makna senyuman aneh itu coba, udah nggak mempan kali Kak, Gamma bukan orang yang bisa diceng-cengin kali Kak, nanti ada yang marah lagi,” jawab Tetha ringan dengan raut wajah santai. Rani masih memandangi Tetha, seolah tidak percaya gadis periang di depannya itu sudah tidak memiliki rasa kepada Gamma. Rani cukup menjadi saksi merekam perjalanan mereka yang perlahan menautkan hati demi hati diantara keduanya meski hanya dalam diam dan tanpa kata. Rani juga memahami kata itu tak mungkin terucap diantara keduanya, apalagi Gamma sudah memiliki teman perempuan yang dekat dengannya. Rani hanya bisa mengamati bagaimana bahasa hati itu bersenandung indah setiap kali Tetha dan Gamma terlibat dalam project yang sama. Meski mereka berdua tak pernah mengakuinya.
Rani mencubit lembut pipi Tetha, “Ada kalanya jujur sama diri sendiri itu, tidak salah kok Tha. Selama kita tahu batasannya, why not?” ujar Rani sembari tersenyum. Tetha menatap Rani sejenak. Tetha sadar dia selalu berusaha mengingkari perasaan itu didepan semua orang, meski dia tak pernah mengingkari perasaannya ke Gamma saat dia berteman dengan bayangannya sendiri. Tetha hanya diam tak berucap, hanya tersenyum. Dia tak ingin kebohongan itu memulai hari pertamanya kembali ke lokasi syuting meski kebohongan itu demi kebaikan. Tetha hanya tersenyum lebar, memberikan teka-teki baru kepada Rani yang ada dihadapannya. Sementara itu, dari agak jauh, Gamma terlihat mengamati sosok yang juga tak asing baginya. Sosok yang sudah lama menghilang dari pandangannya, sosok yang berusaha ia enyahkan dari pikirannya, tapi tetap saja betah mendiami salah satu sudut hatinya, di sebuah ruang tentang rindu. “Tetha… senyuman itu selalu membuat dunia terlihat berwarna dan makin indah. Apa kabarmu, Tha?” ucap Gamma dalam hati. Entah kenapa, melihat Tetha yang selalu ceria itu membuat satu bagian di hati Gamma seolah hidup dan berdansa dengan riuhnya. “Ma., ini script FTV terbaru kamu, dipelajari ya buat lusa,” ujar Kak Adhit, salah satu script writer,  menepuk bahu Gamma sambil tersenyum kecil melihat Gamma yang mencuri-curi pandangan ke Tetha. “Oh…., iya Kak. Kakak bikin kaget saja. Lawan main aku siapa, Kak di FTV terbaru? Masih dengan lawan main yang sama dengan FTV yang last day hari ini, kah Kak?” ujar Gamma dengan tampang polos sambil nyengir. Adhit yang ada di hadapan Gamma pun langsung tertawa kecil. “Fokus, Ma… baru tiga bulan nggak lihat dia sudah seperti bertahun-tahun tidak berjumpa, ha ha”. Gamma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal memasang tampang seolah tidak paham. “Tapi tenang, kangen kamu bakal terobati. Kamu bakal main bareng dan bisa melihat lebih dekat dengan puas orang yang bikin kamu senyum-senyum dan nggak berkedip mencuri-curi pandang kearahnya.” Gamma menatap setengah tertegun ke script writer yang ada dihadapannya itu, “Seriuss… aku … bakal main bareng Tetha lagi, Kak? Tapiii… “
“Tapi apa, Ma… kamu nggak mau? Hmmm mata dan ekspresi kamu tidak mengatakan begitu sepertinya”. Gamma tersenyum kecil, sejenak dia speechless, kehilangan kalimat. “Biarkan hati kamu bersenandung bahagia sejenak, Ma. Aku bisa mendengarnya meski tanpa banyak kata. Yang terpenting kamu tahu batasannya saja. Sesekali kamu perlu memberikan ruang buat diri kamu keluar dari sekedar rutinitas syuting dan menikmati syuting sebagai bagian menghibur diri sendiri” ujar Adhit menepuk bahu Gamma mantap sembari tersenyum lebar sebelum akhirnya meninggalkan Gamma dan menuju ke tempat Tetha bercanda dengan Rani.
Gamma masih terdiam di tempatnya. Kalimat yang baru didengarnya itu seolah mendapatkan dukungan dari hatinya. Iya hatinya mulai bersenandung lirih tanpa diminta. “Tapi bukannya manajemen aku sudah menyarankan aku untuk menghindari satu project dengan Tetha, bukankah hidup aku lebih tenang saat kami berjauhan?” Pertanyaan itu berputar-putar di dalam pikirannya meski di sisi lain hatinya seolah sedang mengajaknya berdansa merayakan bahagia yang menyusup saat itu.
“Tha, ini dialog kamu buat lusa. Welcome back ya Tha.. senang banget lihat kamu dan senyuman kamu itu yang membuat hari makin ceria dan penuh semangat saja, “ujar Adhit sambil tersenyum lebar. Tetha membuka-buka dialog jatah dia, ketika dia melihat nama Gamma sebagai lawan mainnya. Kali ini gantian Tetha yang speechless untuk beberapa saat. “Main dengan Gamma lagi? Bukannya beberapa bulan sebelum aku meninggalkan sejenak dunia syuting, aku sudah bertekad untuk selalu mencari alasan agar sebisa mungkin tidak satu project lagi dengan Gamma?” ujar Tetha dalam hati. “Hmmm baru tahu lawan mainnya saja sudah speechless satu sama lain, apalagi nanti kalo sudah syuting ya, pasti banyak kesan,” ujar Adhit ke Rani sambil senyum-senyum ke Tetha yang masih terdiam di tempatnya. “Tha… Tetha…, “. Suara Rani menyadarkan Tetha dari lamunannya. “Ya, Kak… maaf… Tetha…, ,” ujar Tetha setengah tertegun dan berusaha menormalkan senyumannya. Rani dan Adhit pun makin tersenyum lebar. “Anggap ini penyambutan kembali kamu ke lokasi syuting, bermain kembali dengan seseorang yang juga pernah menyambut kamu dengan istimewa beberapa tahun lalu di awal-awal karier akting kamu”. Tetha tersenyum. Rani dan Adhit pun bergantian menggoda dan bercanda dengan Tetha. Dari kejauhan, Gamma melihat canda itu dengan senyum kecilnya diantara kegalauan yang memenuhi pikirannya. “Selamat datang kembali, Tha… senang melihat kamu mewarnai lokasi dan juga salah satu sudut hati aku dengan senyuman unik kamu itu…”.
Tetha sedang asyik mengobrol dengan Adhit tentang karakter di peran barunya itu, ketika dia melihat Rani sudah kembali tenggelam dalam tugasnya, berlari-lari sepertinya hendak mengambil peralatan make up yang tertinggal di salah satu ruangan syuting. Saking terburu-burunya, Rani tidak melihat ada sebuah mobil yang mengangkut properti syuting lewat dengan agak kencang di dekatnya, apalagi dia terbiasa dengan earphone di kedua telinganya. Tetha yang melihat hal itu pun tanpa berpikir panjang berlari kearah Rani. Sementara Gamma yang masih memandangi gerak gerik Tetha pun tanpa pikir panjang juga langsung berlari kearah yang sama. “Buuuuk….”. Tetha berhasil mendorong Rani jauh dari mobil dan Tetha yang terduduk itu mendapati Gamma sedang memegang erat kedua lengan Tetha. Tetha tertegun dan berusaha melepaskan pegangan Gamma dari lengannya ketika ia melihat darah menetes dari kepala bagian belakang Gamma yang berjarak hanya beberapa centimeter di hadapan Tetha. "Ma...," ucap Tetha lirih dan terdengar khawatir sembari menatap wajah Gamma. Tak ada jawaban dari Gamma, perlahan pegangan tangan laki-laki itu pun terlepas dari lengan Tetha. Tubuh Gamma terkulai kesamping, Tetha pun langsung menangkap tubuh laki-laki itu dengan tangannya. Sontak semua kru dilokasi syuting terkejut melihat kejadian yang cukup cepat itu. Dengan sigap, Adhit dan beberapa kru segera membawa Gamma yang tak sadarkan diri itu ke rumah sakit terdekat. Tampak Rani juga ada disana. Berkali-kali Tetha memanggil-manggil nama Gamma dan mengguncang pelan tubuh Gamma. Air matanya mengalir begitu saja diantara rasa syoknya. "Ma, bangun Ma... . Kamu nggak apa-apa kan, Ma?" ujarnya lirih. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Tetha melakukan itu pada Gamma yang tidak sadarkan diri dan tersandar di sebelahnya.
20 menit kemudian, Gamma segera mendapatkan perawatan di rumah sakit. Sementara Tetha terduduk diam di depan ruang ICU. "Apakah ini pertanda seharusnya kita tetap tidak saling dekat, Ma?" ucap Tetha dalam hati, sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Ia tidak pernah ingin orang lain melihatnya dengan air mata seperti itu meski hatinya menangis deras saat itu. "Tha.. tenang Tha.... Insyaa Allah Gamma bakal baik-baik saja," ujar Rani memegang bahu Tetha berusaha menenangkannya. "Seharusnya Gamma nggak ada di dalam ICU itu, harusnya aku yang disana Kak," jawab Tetha pelan sembari berusaha tersenyum tegar meski raut wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Beberapa saat kemudian Tetha larut dalam diamnya, larut dalam doa-doanya untuk Gamma hingga kemudian Gamma keluar dari ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Dokter mengatakan luka di bagian belakang kepala Gamma menyebabkan gegar otak ringan pada Gamma, tapi kondisi Gamma tidaklah terlalu parah. Terlihat Ibu Gamma tiba di rumah sakit saat itu dan segera masuk ke ruang rawat inap Gamma. Tetha pun ikut masuk mengikuti Ibu Gamma beberapa saat kemudian. "Maafin Tetha, Tante. Semua ini salah Tetha, kalau saja Gamma tidak berlari menolong Tetha, pasti Gamma baik-baik saja. Harusnya Tetha yang terbaring disini, Tante". Entah kenapa, air mata Tetha kembali mengalir meski ia berusaha sekuat tenaga menahannya. Ibu Gamma menoleh ke arah Tetha dengan bekas darah ada di jaket yang dipakainya. Mata Ibu Gamma terlihat sembab karena mencemaskan kondisi Gamma. Ibu Gamma hanya diam memandangi Tetha yang dipenuhi raut wajah bersalah dan menyesali kecelakaan yang dialami Gamma. "Kita doakan saja, ya Nak... semoga Gamma baik-baik saja. Dokter bilang insyaa Allah Gamma akan baik-baik saja," ujar Ibu Gamma kemudian sambil tersenyum lembut. Ibu Gamma bisa melihat, gadis dihadapannya itu sedang mengalami syok dengan kejadian yang dialami anak kesayangannya itu meski gadis itu berusaha untuk tegar. "Kalau Tante mau marah ke Tetha, marah saja Tante, Tetha terima, Tetha yang salah... ungkapin saja semua kesedihan dan kecewa Tante". Ibu Gamma perlahan mendekati Tetha. Beliau pernah beberapa kali mendengar tentang gadis dihadapannya itu. Entah itu dari Gamma ataupun dari televisi atau pihak lain. Yang pernah beliau ingat, Gamma pernah mengatakan bahwa gadis ini seolah tidak punya rasa sedih. Gadis yang selalu bersemangat dan tidak mudah mengeluh apapun yang dia harus jalani di lokasi syuting. Gadis yang selalu menyisakan senyumnya kepada semua orang di tiap kesempatan. Ibu Gamma menggenggam tangan Tetha yang masih menunduk seolah pasrah apapun yang akan diperbuat Ibu Gamma padanya. "Doain Gamma, ya Nak. Insyaa Allah Gamma baik-baik saja". Tetha mengangkat kepalanya dan memandang kearah Ibu Gamma. Ibu Gamma terlihat tersenyum kearahnya diantara mata sembabnya. Tetha menghambur ke pelukan Ibu Gamma seketika. "Maafin Tetha, Tante... Ya, Gamma pasti baik-baik saja." Air mata Tetha kembali mengalir meski berusaha ia tahan, dan Ibu Gamma pun membelai lembut kepala Tetha dalam pelukannya.

Tetha pun kemudian berpamitan untuk ke musolla yang ada di rumah sakit itu dan meninggalkan Gamma berdua dengan ibunya. 10 menit kemudian, perlahan Gamma membuka matanya. "Bu...," ucapnya lirih sambil memegang kepalanya yang kesakitan.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, sayang," ujar Ibu Gamma sambil mengelus rambut Gamma.
"Tetha mana, Bu? Tetha baik-baik saja kan, Bu?" tanya Gamma pelan.
"Tetha ada disini, sayang. Dia sekarang sedang ada di musolla. Dia syok melihat kondisi kamu yang terluka setelah menolongnya".
"Bu... ini bukan salah Tetha kalau Gamma seperti ini. Gamma yang menolong Tetha tanpa dia minta. Gamma tidak berpikir panjang tadi, karena hati Gamma tidak bisa membiarkan Tetha terluka".
Ibu Gamma mengelus rambut putranya itu sambil mengangguk seraya tersenyum lembut. "Ibu tahu, Nak.. dengan melihat Tetha ibu bisa merasakannya, dia pun rela menggantikan kamu berbaring disini dibandingkan melihat kamu seperti ini".
Sementara itu, untuk sesaat Tetha terlarut dalam doa dan ibadahnya di musolla rumah sakit itu, berharap Gamma akan segera pulih. Untunglah darah Gamma hanya mengenai jaketnya sehingga dia bisa sholat dan beribadah dengan melepas jaketnya. Tetha duduk di samping Rani dan Adhit yang masih menunggui di rumah sakit. Ia hanya diam, meski ia berusaha menyembunyikan kesedihannya saat itu. "Kak, kalau kalian berdua mau balik ke lokasi syuting, silahkan saja. Biar Tetha yang menemani Gamma disini". Rani menepuk bahu Tetha. "Kita berdua akan tetap disini menemani kamu dan Gamma, Tha". Tetha tersenyum. Meski hatinya terasa sakit karena luka Gamma, tapi dia berusaha untuk tersenyum. "Jangan salahkan diri kamu, Tha... Gamma melakukan ini karena dia ingin melindungi kamu dan tidak ingin membiarkan kamu terluka," timpal Adhit. "Seharusnya Gamma tidak perlu melakukan ini, Kak... apalagi hanya untuk seorang Tetha..Diri Gamma itu terlalu berharga untuk melakukan hal seperti ini...," ujar Tetha lirih.
"Apa kamu tidak bisa mendengar senandung diantara hati kalian, Tha? Senandung itu sangat indah, bahkan aku bisa mendengarnya," ujar Adhit membuat Tetha memandang kearahnya.
"Iya Tha, Gamma melakukan ini karena dia peduli ke kamu," ujar Rani membelai lembut kepala Tetha.
Tetha terdiam memandangi kedua orang dihadapannya itu bergantian. "Senandung hati? Antara aku dan Gamma? Mana mungkin ada, sedangkan hati Gamma sudah ditempati meski hati aku mungkin bersenandung sendiri...," pikir Tetha dalam hati. Kembali pikiran Tetha teringat bagaimana Gamma berusaha melindunginya. Hatinya terdengar bersenandung, bahkan senandung itu begitu pilu terdengar oleh Tetha. Senandung tentang sakit yang Tetha rasakan tentang luka yang dialami Gamma karena dirinya. Tetha tersenyum, "Nggak, Kak... Gamma melakukan itu karena dia orang baik... ya orang baik... Bahkan sejak awal aku mengenalnya, hati aku pun bilang dia orang baik". Adhit dan Rani pun hanya membalas senyum kepada Tetha. Mereka tidak ingin mendebat Tetha saat itu karena mereka tahu dinding itu sengaja Tetha bangun dengan alasan tertentu. Alasan yang semua bermula pada keyakinan dua hati yang baik.
Tetha masih terdiam dalam doanya ketika, Ibu Gamma keluar dari ruang rawat inap mengabarkan Gamma yang sudah siuman. Ruang tunggu itu seketika dipenuhi dengan senyuman dari orang-orang yang ada disana, tak terkecuali Tetha. "Tha..., masuk Nak... Gamma mencari kamu sejak dia siuman". Tetha pun mengangguk dan perlahan masuk ke ruang rawat inap Gamma. Ragu, Tetha melangkah mendekat. 

Tetap bersambung juga akhirnya, he he.  Niatnya menyelesaikan dalam satu malam, biar semua debaran aneh di hati bisa hilang. Apa daya, tubuh berdemo meminta hak istirahatnya. Mata dan stamina menuntut berhenti dari kerja paksa si empunya diri yang masih dikejar-kejar deadline tugas, he he. Padahal imajinasi tersenyum lebar bahkan tertawa ingin membantu empunya diri menyelesaikan cerpen yang tetap saja panjang ini, he he. Bersambung segera sampai part endingnya, insyaa Allah. SEMANGAT!!!

Part Setelahnya