Rabu, 30 Desember 2015

Konstelasi Hati Bintang Buat Ara: Part 5 Bintang Mengenal Konstelasi Bernama Ara - Pertemuan

Part Sebelumnya

Ara masih memandangi Bintang yang terpejam. Dia melangkah lebih dekat lagi dengan Bintang, memayungi tubuh Bintang dari hujan. Ragu, dia menepuk bahu Bintang, membangunkannya. Bintang perlahan terbangun dari tidurnya ketika  ia mendengar suara Ara, "Kenapa kamu tidur dan bermandi hujan disini, Bin?"
Bintang menoleh ke asal suara. "Aaa.. Araa... aku sedang tidak bermimpi kan?" tanya Bintang mencubit pipinya sendiri sambil memandang lekat perempuan dihadapannya yang berdiri memayunginya. Ara tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu tidak bermimpi, Bintang. Ini aku, Ara. Justru aku yang bermimpi kamu sedang ada di danau ini dan aku berharap itu hanya mimpi. Ternyata kamu beneran ada disini, hujan-hujanan pula". Ara terdiam, ia tersadar bahwa Bintang dan dirinya hanya dua orang asing. 
"Kamu mimpiin aku disini, Ra? Karena itu kamu datang?" tanya Bintang masih menatap Ara seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa sosok di hadapannya itu nyata.
Ara mengangguk, "Aku mendengarnya Bintang, kamu menunggu aku disini. Itu sebabnya aku datang". Ara menghindari tatapan Bintang kepadanya. Ara duduk di sebelah Bintang, tetap berusaha berjarak dengan laki-laki asing itu, meminta Bintang memegangi payung yang dipegang Ara sementara Ara mengeluarkan handuk dan jaket dari tas ranselnya. 
"Cepat keringkan badan dan muka kamu yang basah, Bintang," pinta Ara sambil mengambil alih memegangi payung yang menaungi mereka berdua dari tangan Bintang sambil menyodorkan jaket dan handuk itu ke Bintang. "Maaf, aku cuma punya jaket sporty ini, semoga bisa sedikit menghangatkan tubuh kamu," lanjut Ara lagi. Bintang mengikuti perkataan Ara sambil tetap memandangi Ara. "Makasih banyak, Ara. Maaf merepotkan kamu lewat mimpi. Aku masih setengah percaya dengan apa yang terjadi diantara kita".
Ara hanya tersenyum melihati Bintang yang mengelap muka dan pakaiannya yang basah dan memakai jaket milik Ara. Bintang tampak kedinginan, terlihat bibir yang pucat itu tampak gemetar. 
"Kamu masih kedinginan, Bintang?" tanya Ara. Bintang hanya tersenyum mengambil alih memegangi payung itu lagi dari tangan Ara. Ara membuka jaketnya, "Kamu bisa pakai jaket ini biar lebih hangat," sambung Ara menyerahkan jaket yang dipakainya ke Bintang. Bintang menggelengkan kepalanya. 
"Aku tidak apa-apa, Ra. Kamu pakai kembali jaket kamu biar kamu nggak kedinginan, Ra," ujar Bintang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya ke Ara.
Ara bergegas memakai kembali jaketnya, "Kamu kedinginan Bintang, kamu butuh sesuatu yang hangat. Kita makan ronde disana, yuk. Jahe bisa menghangatkan tubuh kamu yang kedinginan, Bin," ujar Ara sambil menunjuk kearah penjual ronde yang tadi dilewatinya saat mencari Bintang.
Lagi-lagi Bintang hanya mengikuti perkataan Ara. Mereka berjalan beriringan menuju tempat tukang ronde. Sebenarnya ada banyak kata dan pertanyaan yang ingin Bintang ucapkan ke perempuan asing yang dicarinya beberapa hari terakhir ini, tapi semuanya tertahan ketika ia melihat Ara yang sibuk mengkhawatirkan dirinya yang kedinginan. Bintang hanya beberapa kali larut memandangi perempuan di sebelahnya itu, seolah masih ingin meyakinkan bahwa Ara benar-benar nyata. 
10 menit kemudian, keduanya sudah berteduh di dekat tukang ronde. Ara dengan sigap langsung memesan dua mangkok ronde buat dirinya dan Bintang kemudian menyantap ronde hangat itu dengan mengambil tempat duduk di sebelah Bintang. 
"Maaf sudah membuatmu ikut khawatir, Ra. Aku baik-baik saja, cuma sedikit kedinginan saja karena tadi ga sengaja tertidur di taman dalam hujan".
Ara hanya tersenyum sambil menikmati rondenya. 
"Aku senang akhirnya aku bisa bertemu kamu, Ra," lanjut Bintang lagi. Ara masih terdiam, tiba-tiba dia menjadi canggung terhadap laki-laki asing yang kini duduk di sebelahnya itu. Biasanya ia melihat laki-laki itu di dalam mimpinya. Tiba-tiba Ara teringat nasihat Lintang agar dirinya tidak berhubungan dengan Bintang.
"Apa benar kamu mengetahui keadaan aku sekarang lewat mimpi, Ra?" tanya Bintang mengejutkan Ara yang larut dalam pikirannya sendiri. 
Ara menoleh ke laki-laki di sebelahnya itu dan mengangguk pelan sambil tersenyum. Tiba-tiba saja ia menyadari ucapan Lintang yang mengatakan bahwa Bintang itu laki-laki yang tampan. Ara baru benar-benar menyadarinya saat ia berhadapan dengan Bintang cukup dekat.
"Ingat Ara, jaga hati dan pandangan," tiba-tiba suara hati Ara menyadarkannya. Ara menggeser tempat duduknya agak jauh dari Bintang dan hal itu membuat Bintang merasa heran. "Kenapa, Ra? Kamu takut berdekatan denganku?" tanya Bintang.
"Engg, enggak kok Bin. Oh ya, bagaimana kondisi teman kamu... ehhmmm mmm Riii... Rino ya? Apa sudah membaik?" Ara balik bertanya untuk mengurangi rasa canggungnya sembari tersenyum ke Bintang.
Bintang balas tersenyum, "Rion, Alhamdulillaah kondisi Rion sudah jauh lebih baik. Papa dan Mama Rion memutuskan membawa Rion ke rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Aku benar-benar berterima kasih kamu mendonorkan darah kamu buat Rion. Itu sangat berarti, Ra, buat Rion dan buat aku juga". 
"Aku cuma melakukan apa yang bisa aku lakukan, Bin. Kebetulan golongan darah aku sama dengan Rion. Kamu memberitahu aku dengan jelas didalam mimpi".
Bintang tersenyum makin lebar memandangi Ara membuat Ara jadi salah tingkah meski di dalam hatinya Ara merasa bahagia melihat wajah laki-laki dalam mimpinya itu beberapa kali dipenuhi dengan senyuman dan tawa, meski dari gurat wajah dan bahasa tubuhnya, laki-laki itu sedang kedinginan. 
"Sepertinya kita dipertemukan dan dipertautkan lewat mimpi, ya Ra. Jujur aku sendiri sulit untuk mempercayainya. Tapi melihat kamu datang di hadapanku sekarang, kamu mendonorkan darah kamu buat Rion padahal kita tidak saling mengenal, aku perlahan mempercayainya bahwa ini nyata".
Ara masih tersenyum memandangi Bintang. "Jujur, aku masih bingung mengartikan mimpi demi mimpi aku tentang kamu, Bintang. Hampir di semua mimpi itu, aku melihat wajah kamu yang terbalut sedih, Bin dan aku tidak tahu apa sebabnya. Bukan kali ini saja aku melihat kamu tertidur dalam hujan, beberapa minggu lalu aku bermimpi melihat kamu tertidur di sebuah balkon semacam apartemen, kamu pun tertidur dalam hujan. Apa itu hanya mimpi atau memang benar-benar terjadi, Bin?"
Bintang tertegun menatap Ara tanpa sepatah kalimat yang keluar dari mulutnya. Bintang tidak menyangka Ara pun memimpikannya saat itu, saat dimana suara Ara sempat ia dengar dalam mimpinya. 
"Sebenarnya apa yang membuat kamu sedih, Bin? Apa ada yang bisa aku lakukan untuk membantu kamu?" tanya Ara meski kemudian ia akhirnya meminta maaf ke Bintang karena merasa menyesal mengatakannya. Ara merasa lancang menanyakannya padahal dirinya baru mengenal Bintang.
Bintang tersenyum ke Ara, "Aku baik-baik saja, Ra... Maaf sudah membuat kamu bermimpi buruk gara-gara aku, ya. Mungkin aku terlalu lelah aja dengan kerjaan yang padat banget akhir-akhir ini. Maaf ya.... ". Ara tersenyum tipis sejenak kearah Bintang kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain. Sementara itu Bintang masih tetap tidak melepaskan pandangannya ke perempuan bernama Ara yang duduk disebelahnya itu. Bintang merasa bahwa Ara tidak mempercayai ucapannya barusan tapi Ara juga tidak ingin membahas dan memaksa Bintang untuk bercerita.
"Maaf kalau aku belum bisa bercerita lebih jauh tentang aku ke kamu, Ra. Aku....".
Ara kembali menoleh kepada Bintang sembari tersenyum manis, "Aku mengerti Bintang dan aku tidak akan memaksa kamu. Hmmm, tapi ada satu hal yang aku bisa paksakan ke kamu sekarang. Ayo kita makan, Bin. Biar badan kamu yang kedinginan itu ga sampai sakit. Yukkk". Ara bergegas berdiri, mengambil mangkok ronde di tangan Bintang yang sudah tidak berisi dan mengembalikannya kepada penjualnya. Bintang hanya mengamati Ara dan mengikuti Ara yang sedang membuka payungnya kembali. "Kamu mau makan apa, Bin?" tanya Ara ke Bintang. 
"Apa saja sih, Ra yang panas-panas. Tapi.... perut aku berasa nggak enak banget, Ra. Sepertinya aku masuk angin. Aku takut kalau dipaksa masuk makanan, takutnya keluar lagi," jawab Bintang balas tersenyum tipis ke Ara.
Ara memandangi Bintang sejenak, "Kalau begitu kamu tunggu disini sebentar, ya Bin. Aku ke warung di depan sana sebentar buat beli tolak angin buat kamu. Soalnya kamu harus makan, Bin. Tunggu sebentar dan jangan hujan-hujanan lagi," ujar Ara langsung berlari di tengah hujan. Bahkan Bintang yang ingin menahan Ara untuk tidak pergi pun tak sempat mencegah Ara. Bintang hanya bisa melihat Ara yang berlari kecil dengan payungnya di tengah rintik hujan malam itu. 
"Kenapa kamu begitu mencemaskan aku, Ra? Bahkan kita baru saja kenal," ujar Bintang dalam hati.
Di tempat lain, Ara pun merasa heran dengan dirinya sendiri kenapa ia begitu peduli dengan Bintang. Apa yang dilakukannya seolah refleks dilakukannya tanpa sempat berpikir terlebih dahulu. "Bagaimana kalau Bintang menyangka aku suka sama dia? Apa mungkin aku suka sama Bintang gara-gara mimpi?" tanya Ara dalam hatinya sembari mengelengkan kepalanya pelan kemudian agar pikirannya tidak berkembang tanpa arah dan kejelasan.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, Ara sudah ada di hadapan Bintang, menyodorkan sekotak tolak angin buat Bintang. 
"Kamu segera minum satu bungkus, Bin biar perut kamu enakan dan kamu bisa makan. Sisanya, kamu simpan siapa tahu kamu memerlukannya lagi nanti," ucap Ara sambil tersenyum ke Bintang yang memandanginya. Terlihat nafas Ara sedikit terengah-engah setelah berlari. 
"Terima kasih, Ra. Tapi kamu tidak perlu mencemaskan aku seperti ini. Aku laki-laki, aku yang seharusnya menjadi sosok pelindung, bukan yang dilindungi. Kamu tidak perlu membelikanku obat atau tolak angin, aku bisa membelinya sendiri," jelas Bintang sambil meneguk sebungkus tolak angin. 
Ara pun terdiam menatap Bintang dengan rasa bersalah. "Maaf Bin kalau aku lagi-lagi lancang dan sok perduli. Maaf kalau aku membuat kamu tersinggung," ujar Ara pelan. Menyadari raut wajah Ara berubah gara-gara kalimatnya barusan pun membuat Bintang merasa menyesal dan bersalah kepada perempuan di depannya yang selalu hadir berusaha menghiburnya itu. Bintang merasa egois kepada Ara, menyalahkan Ara padahal Ara hanya berusaha peduli kepadanya. 
Bintang mengambil handphone dari sakunya dan menyodorkan earphonenya ke Ara. "Coba kamu dengar sejenak lagu ini, Ra...," ucapnya pelan kepada Ara yang masih menundukkan wajahnya. Ara menatap Bintang dengan raut bertanya yang dibalas Bintang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya meminta Ara mengabulkan permintaannya itu. Dengan ragu, Ara memasang earphone yang terhubung dengan handphone Bintang di telinganya. Ara pun langsung tersenyum kembali seketika itu saat mendengarnya, membuat Bintang yang melihatnya pun merasa lega dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku selalu teringat wajah kamu yang ceria dan penuh dengan senyum tawa saat kamu menyanyikan lagu Bintang Kecil yang aku request saat itu. Dan aku mau melihat kamu selalu tersenyum seperti saat itu". Ara hanya tersenyum menatap Bintang sejenak. 
"Aku sudah sering merepotkan kamu melihat wajahku yang tanpa senyuman di dalam mimpi, tapi kamu selalu tersenyum menghibur aku. Tidak seharusnya aku menghilangkan senyuman di wajah kamu. Maaf untuk kalimatku tadi yang terkesan egois memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan perasaan kamu, Ra," sambung Bintang lagi.
Ara melepaskan earphone milik Bintang dari telinganya dan mengembalikannya ke Bintang," Kamu tidak perlu minta maaf Bintang. Wajar naluri seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah apalagi di depan perempuan, perempuan asing pula. Maaf kalau rasa peduliku terlalu berlebihan dan mengusik naluri kamu sebagai laki-laki," jawab Ara.
Bintang tersenyum lebar kearah Ara. "Aku akui itu naluri laki-laki yang ingin terlihat kuat dan bisa diandalkan terutama di mata perempuan. Tapi aku menyadari sesuatu, Ra. Lewat mimpi-mimpi yang menghubungkan kita, Tuhan mungkin ingin mengingatkan aku, sekuat apa pun laki-laki, dia butuh teman untuk berbagi. Dalam hal ini, Tuhan hadirkan kamu untuk bisa melihat sisi lemah aku. Tuhan hadirkan kamu buat menghiburku dan membuatku bisa tersenyum lagi. Aku sangat berterima kasih, Ara. Terima kasih karena kamu mau bersusah payah menemani aku dan membantu aku tersenyum lagi". 
Ara hanya memandangi Bintang yang masih tersenyum menatapnya. Ucapan Bintang barusan membuat Ara bingung untuk berkata-kata. Ara hanya bisa membalas senyuman Bintang dengan senyumannya yang tak kalah lebar, sembari bersusah payah berusaha menetralkan hatinya yang tiba-tiba merasa berbunga-bunga saat itu. Ada bisikan di hati Ara yang mengingatkannya untuk tetap menjaga hatinya lebih hati-hati tentang Bintang.
"Jadi kita makan, Ra?" tanya Bintang menyadarkan Ara dari dialog hatinya. Ara pun mengangguk, dengan sepayung berdua dan berjalan kaki, mereka berdua pun bergegas masuk ke salah satu tempat makan yang ada di sekitar taman itu.

Bintang dan Ara pun duduk berhadapan sambil menunggu pesanan mereka datang. Sejenak Ara melihati handphonenya, seolah ingin menyamarkan rasa canggungnya di hadapan Bintang. Sementara itu, Bintang masih saja tetap asyik menatap Ara. Ada banyak tanya dan kalimat yang ingin dia perbincangkan dengan Ara tapi seolah ia bingung memulainya dari mana.
"Oh iya, Ra. Aku benar-benar minta maaf sudah membuat Lintang merasa ga nyaman gara-gara teman aku yang tiba-tiba datang dan salah paham di kafe kemarin," ujar Bintang memulai lagi percakapan.
"Teman? Bukannya dia cewek kamu, Bin?" Ara balas bertanya sambil tersenyum ke Bintang.
"Kami sudah putus semalam, Ra," jawab Bintang pelan dengan senyum tertahan.
"Putus?"
Bintang mengangguk membalas Ara yang sedang menatapnya dengan ekpresi penuh tanya dan setengah terkejut. Bintang pun tersenyum lebih lebar. "Kamu tenang aja, Ra. Keputusan aku memutuskan Zetta, nama cewek itu, tidak ada hubungannya dengan kamu atau Lintang, Ra, " sambung Bintang berusaha menjelaskan ke Ara, "aku memutuskan Zetta karena aku tidak ingin membuat dia menangis karena aku lagi. Meski aku tidak berniat membuatnya menangis, tapi aku juga tidak bisa mencegahnya menangis karena aku. Aku benar-benar laki-laki yang payah, ya Ra...". Bintang tertawa kecil terdengar menertawakan diri sendiri, Ara menatap Bintang sambil tersenyum tipis. 
"Aku juga sudah membuat Lintang merasa tidak nyaman gara-gara aku ingin bertemu kamu sampai-sampai dia mencegah aku untuk bisa bertemu kamu karena takut kamu terluka karena aku. Apa Lintang tidak mencegah kamu juga, Ra agar tidak menemui aku?" tanya Bintang lagi. Ara tersenyum kepada Bintang.
"Lintang memang meminta aku untuk tidak menemui kamu dan tidak memedulikan apapun terkait kamu lagi, Bin. Bahkan dia berusaha mendekatkan aku dengan seorang laki-laki karena dia takut aku tetap peduli ke kamu dan kamu akan menyakiti aku," lanjut Ara sambil tertawa kecil mengingat apa yang dilakukan sahabatnya itu."Tapi aku percaya Lintang melakukannya karena dia sayang sama aku". 
Bintang memandangi Ara yang sedang tersenyum lebar di hadapannya.
"Hmmm mungkin Lintang benar, Ra. Mungkin seharusnya kamu tidak datang menemuiku disini. Aku sudah menyusahkan kamu karena membagi mimpi yang tidak menyenangkan itu ke kamu. Seharusnya aku tidak boleh lebih merepotkan kamu lagi di dunia nyata".
Bintang terlihat tertawa kecil kemudian tersenyum ke Ara. Ara bisa melihat ada yang tertahan dan tidak bisa terungkapkan oleh Bintang kepadanya.
"Kamu menunggu aku disini, jadi aku sudah seharusnya datang, Bin".
Lagi-lagi mereka saling berbalas senyum satu sama lain.
"Yaaa.. aku memang menunggu kamu dan ingin bertemu kamu, Ra, tapi kamu bisa saja mengabaikannya Ra, menganggapnya hanya mimpi yang numpang lewat saja. Maaf ya, Ra karena aku egois ingin bertemu kamu dan mungkin akhirnya memaksa kamu lewat mimpi untuk datang kesini".
Ara tersenyum lebar kearah Bintang yang terlihat tersenyum dengan raut menyesal. 
"Aku datang karena aku memang ingin datang, Bin. Kamu tidak memaksa aku. Aku harus datang menemui kamu karena aku pernah berjanji ke kamu di mimpi-mimpi awal tentang kamu, aku ingin membantu kamu untuk tidak bersedih lagi. Meski aku juga menyadari aku tidak berhak memaksa kamu untuk berbagi cerita denganku di dunia nyata kita yang hanya dua orang baru mengenal ini". Bintang tersenyum lebar mendengar ucapan Ara. Meski Bintang baru bertemu dan mengenal Ara, Bintang merasa nyaman bersama Ara. Bintang bisa lebih melihat ketulusan Ara melalui senyuman-senyuman yang Ara bagi kepadanya selama mereka bertemu.
"Bagaimana kalau aku ternyata akan menyakiti kamu seperti yang sudah aku lakukan ke Zetta dan Lintang, Ra? Apa kamu tidak takut aku menyakitimu?"
Ara menatap Bintang sejenak.
"Aku tidak takut Bintang, aku percaya kamu tidak punya niat untuk menyakitiku atau juga orang lain. Kamu cuma perlu seseorang menemani kamu buat tersenyum lagi," jawab Ara sambil tersenyum tulus ke Bintang seolah ia ingin meyakinkan laki-laki didepannya bahwa dia mempercayai Bintang.
"Terima kasih banyak, Ara," kali ini Bintang tertawa kearah Ara dengan penuh semangat membuat Ara pun ikut tertawa.
"Kamu harus lebih banyak tertawa dan tersenyum lepas seperti ini, Bintang. Aku merasa lega dan ikut terbawa bahagia melihatnya". Bintang pun mengangguk dan keduanya larut berbagi tawa sejenak ketika kemudian makanan mereka datang.
Untuk beberapa saat Bintang dan Ara asyik menghangatkan perut mereka dengan makanan yang dipesannya. Sesekali terdengar Bintang bertanya tentang pekerjaan Ara dan Ara pun menanyakan sebaliknya. Berusaha tanpa beban dan feel free, Ara dengan semangat menceritakan dunia kerjanya kepada Bintang sehingga Bintang pun tak canggung menceritakan tentang pekerjaannya kepada Ara termasuk tentang rasa jenuh yang menghampirinya akhir-akhir ini diantara tekanan pekerjaannya. Obrolan diantara mereka pun semakin terjalin, mereka mulai berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, termasuk tentang kesukaan dan keluarga mereka. Bintang pun menceritakan tentang neneknya ke Ara, tentang kenangannya bersama neneknya saat dirinya masih kecil termasuk kenangannya dengan lagu Bintang Kecil. 
"Oh iya, Bin. Aku melihat sebuah siluet tentang anak laki-laki kecil dan neneknya tadi saat aku memimpikan kamu. Apa itu kamu dan nenek kamu, Bin?"
Bintang menatap Ara, ia kaget mengetahui Ara juga melihat tentang siluet itu. 
"Iya, Ra. Itu aku dan nenekku. Seperti yang aku bilang tadi, kami suka menyanyi lagu anak-anak sebelum aku tidur atau saat kami bersantai melihat hujan. Nenek aku selalu menyelipkan doanya buat aku. Andai aku tidak lari karena ingin bemain hujan di jalan waktu itu, nenek aku ga akan jatuh saat menyusulku. Nenek aku...," Bintang terdiam, wajahnya berubah murung meski ia berusaha untuk tetap tersenyum.
"Jangan terlalu menyalahkan diri kamu, Bintang. Aku percaya kamu sayang sama nenek kamu dan tidak ada niat sedikit pun membuat beliau jatuh. Aku percaya nenek kamu tidak marah ke kamu, Bintang," ucap Ara pelan sembari tersenyum lembut berusaha menenangkan laki-laki dihadapannya itu.
"Seperti yang kamu bilang sebelumnya, kamu sudah berusaha menjadi laki-laki yang baik seperti yang nenek kamu inginkan. Dan aku yakin, kalau nenek kamu ada saat ini, beliau akan bangga kepadamu, Bintang. Yang terpenting kamu selalu berusaha tetap menjadi orang yang baik,.... ," lanjut Ara dengan senyum lebarnya, menyemangati Bintang yang sedang menatapnya. Bintang tersenyum lebar ke arah Ara dan mengangguk. "I will try Ra...and i'll never give up easily to be the best for her," sambung Bintang. 
Baik Bintang maupun Ara saling membagi senyum satu sama lain untuk beberapa saat. Meski Ara bisa melihat ada sedih yang berusaha Bintang sembunyikan dari wajahnya, Ara ingin Bintang bisa lebih tersenyum lagi. 
Waktu menunjukkan pukul 11.12 malam di arloji Ara, ketika mereka keluar dari tempat makan itu. Hujan sudah berhenti bercanda dengan malam menyisakan dingin bagi para menusia yang masih mendekap malam. 
"Hari sudah malam banget Bin, dan besok aku dan kamu juga harus memulai rutinitas kita dengan semangat yang selalu fresh apapun yang terjadi. Aku pamit pulang, ya Bin. Kamu juga sebaiknya pulang, Bin," ujar Ara masih berdiri di samping Bintang. 
"Aku antar kamu pulang naik motor aku, ya Ra," tawar Bintang sambil tersenyum ke Ara. 
"Terima kasih, Bin tapi aku bisa pulang naik taksi. Lagian aku yakin kamu cuma punya satu helm. Lagipula hawa malam ini juga cukup dingin Bintang, aku nggak mau kamu makin masuk angin gara-gara mengantarkan aku, apalagi setelah kamu tertidur dalam hujan tadi," jawab Ara. Bukan hanya itu alasan Ara sebenarnya menolak tawaran Bintang. Ara tidak bisa menerima tawaran itu juga karena hatinya selalu mengingatkannya untuk tetap menjaga jarak dengan Bintang. Bagaimanapun juga Ara peduli ke Bintang, Bintang tetaplah laki-laki dan Ara perempuan, ada jarak yang harus mereka jaga demi kebaikan keduanya. 
"Kalau begitu biar aku temani dan antar kamu naik taksi sampai kosan kamu ya, Ra. Aku tidak bisa membiarkan kamu pulang sendiri malam-malam begini, Ra. Sudah menjadi tugas aku sebagai laki-laki untuk menjaga kamu sebagai perempuan, aku harus memastikan kamu sampai di kosan kamu dengan baik. Baru setelah itu, aku bisa pulang ke apartemenku. Biar aku titipkan motor aku di penitipan kendaraan di sekitar sini, aku ambil besok pagi". Ara tersenyum mendengarkan perkataan Bintang yang tersenyum lembut tapi tegas kepadanya. Ara mengangguk setuju. 
15 menit kemudian, Ara dan Bintang sudah berada di dalam taksi menuju kosan Ara. Bintang sengaja memilih duduk di sebelah sopir, membiarkan Ara lebih leluasa dan nyaman duduk di kursi belakang. 
Sekali dua kali, Bintang menoleh kearah belakang sambil tersenyum ke Ara, seolah memastikan Ara merasa nyaman disana. 
"Aku baik-baik saja, Bintang. Terima kasih kamu sudah menjaga aku," ujar Ara seolah bisa membaca pikiran Bintang. Lagi-lagi mereka saling bertukar senyum, Bintang kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Sementara itu, Ara mengarahkan pandangannya ke sebelah kiri, melihati situasi malam di sepanjang perjalanan. Sesekali ia bisa melihat Bintang yang mencuri pandang mengamatinya dari kaca spion. Bintang seolah ingin lebih mengenali sosok Ara yang hadir menemaninya tanpa pernah ia duga. Tiba-tiba suara ibunya beberapa waktu lalu tentang teman hidup kembali terdengar oleh Bintang. Bintang menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum ke dirinya sendiri. "Kamu baru mengenal Ara, Bintang. Terlalu terburu-buru rasanya untuk mempertanyakan Ara sebagai teman hidup. Lagipula kamu juga baru putus dari Zetta. Ini pasti hanya pikiran aneh sesaat aja," ujar Bintang di dalam hatinya, menasihati diri sendiri.
Kembali bayangan neneknya hadir di hadapan Bintang. Neneknya yang selalu tersenyum kepadanya. Bintang kembali didekap kerinduannya akan neneknya. Bintang pun memasang sebelah earphonenya, mendengarkan kembali suara Ara menyanyikan lagu Bintang Kecil untuk mengurangi kerinduannya saat itu. "Kamu bisa memuaskan kerinduan ke nenek kamu dengan mendoakannya, Bin". Suara Ara menyadarkan Bintang dari lamunannya. Bintang tidak menyangka Ara seolah bisa membaca kerinduannya walau hanya dengan mengamatinya.
Bintang menoleh ke Ara sambil tersenyum lebar dan mengangguk. 
"Kamu benar, Ra. Akhir-akhir ini, jujur aku kangen banget sama nenek aku, kangen doa-doa beliau, nyanyian beliau, senyuman beliau, dan juga belaian sayang beliau," ujar Bintang tertawa kecil. Ada segurat ekspresi rindu berbungkus haru yang berusaha Bintang tahan di matanya.
"Bagaimana kalau kita pergi ke panti jompo, Bin? Kebetulan beberapa bulan yang lalu, aku pernah ikut penelitian kecil, bertempat di sebuah panti jompo tidak jauh dari sini. Kami berbaur dengan para lansia disana. Sekaligus memaknai dan belajar kehangatan bersama mereka disana. Dan aku merasakan kebahagiaan tersendiri saat bersama para lansia itu. Siapa tahu, dengan pergi mengunjungi mereka, kamu bisa sedikit mengobati kangen kamu terhadap nenek kamu," jelas Ara kepada Bintang yang terdiam mendengarkan idenya sambil memandangnya. 
"Panti jompo, Ra?"
Ara mengangguk pelan sambil tersenyum lebar ke Bintang. 
"Iya, kita berkunjung ke panti jompo, ngobrol dengan kakek nenek yang ada disana, membantu merawat mereka, membawakan makanan buat mereka, membantu menghibur mereka selama seharian," sambung Ara dengan penuh semangat.
Bintang masih memandangi Ara yang tampak antusias dengan idenya itu. Ada ragu yang jelas terlihat di wajah Bintang karena dia belum pernah pergi sekalipun ke tempat itu. "Apa kamu yakin kita bisa melakukannya berdua saja, Ra?"
Ara tersenyum memahami kerisauan yang dirasakan Bintang. "Setidaknya berdua jauh lebih baik dibandingkan kesana sendirian, Bin. Lagipula aku kenal dengan nenek yang bertanggung jawab mengelola panti jompo itu, beliau baik banget dan sangat hangat menerima siapa pun yang ingin berkunjung disana. Mengenal beliau, aku seperti mendapatkan satu nenek lagi," ujar Ara lagi berusaha meyakinkan Bintang.
Bintang tersenyum memandangi Ara yang tersenyum lebar penuh semangat itu dan ia pun akhirnya mengangguk menerima tawaran Ara itu. Meski ada ragu di hatinya apakah ia bisa melakukan apa yang dikatakan Ara dengan baik, entah kenapa senyuman dan semangat Ara meyakinkannya untuk ingin melakukannya. Bintang dan Ara pun memutuskan untuk mengunjungi panti jompo itu Sabtu depan saat keduanya sama-sama libur. Selama beberapa menit kemudian, Bintang dan Ara pun larut dalam diskusi ringan mereka terkait rencana mereka itu ketika kemudian taksi yang mereka naiki sudah sampai di depan kosan Ara.
"Terima kasih sudah mengantarkanku sampai depan kosan, Bin," ujar Ara sambil tersenyum lebar.
Bintang menganggukkan kepalanya pelan sembari tertawa kecil, "Sama-sama, Ra, Terima kasih kamu sudah datang menemui dan menemani aku di taman malam ini. Maaf ya sudah membuat kamu jadi khawatir".
Ara balas tertawa kecil melihat Bintang yang tersenyum lebar kepadanya.
"Aku bakal hubungi kamu lagi ya, Ra untuk membicarakan rencana kita ke panti jompo tadi. Selamat istirahat, Ara. Semoga aku tidak menyusahkan kamu lagi lewat mimpi malam ini. Senang bisa mengenal kamu, Ara," sambung Bintang diikuti dengan anggukan Ara. Bintang dan Ara pun tertawa sejenak.
"Aku juga senang mengenal kamu, Bin, apalagi bisa melihat kamu lebih banyak tersenyum malam ini. Hati-hati di jalan dan selamat istirahat juga yaaa. Sampai jumpa Sabtu depan, Bintang".
Setelah saling bertukar senyum dan salam, Ara pun bergegas masuk ke dalam kosannya dan Bintang mengamati Ara hingga Ara benar-benar masuk kedalam rumah, baru kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.


Minggu, 20 Desember 2015

Menyapa Cinta Bersama Bintang Part 2 - Bertaut Dengan Bintang

Part Sebelumnya

  PART 2 : BERTAUT DENGAN BINTANG

Sejenak, tak ada kata terucap diantara ketiganya kecuali Bintang yang berusaha menangkap kupu-kupu yang terbang didekatnya. Andromeda pun tersenyum melihat tingkah Bintang yang lucu dan bersemangat itu meski dalam diam. "Bintaaang, Kak Andro boleh nanya, nggak?"
Bintang menghentikan aktivitasnya dan langsung menatap Andromeda sambil menganggukkan kepalanya dan memamerkan giginya.
"Kenapa Bintang pake kursi roda? Bintang habis jatuh?" lanjut Andromeda.
Bintang menggelengkan kepalanya, "Bintang kurang hati-hati aja, Kak Andro. Papa dan Mama juga Kak Tari sudah sering ngingetin Bintang, lihat-lihat dulu kalau mau nyeberang atau kalo lagi di jalan, tapi Bintang lupa hari itu, habisnya ada layangan jatuh sih. Jadinya ketabrak motor deh, he he," jawab Bintang.
 "Lagian anak perempuan masih aja ngejar layangan putus," sambung Mentari. Bintang menoleh kearah Mentari seraya nyengir. Mentari pun mencubit lembut pipi Bintang seraya tersenyum, sedangkan Andromeda masih tetap cuek ke gadis bernama Mentari itu.
"Sekarang giliran Bintang nanya Kak Andro, kenapa Kak Andro sering duduk sendirian disini? Kak Andro ga punya teman?" tanya Bintang polos disambut tawa Andromeda yang mendengarnya. 
"Bintang, kan tadi Kak Andro sudah jelasin, kadang ada kalanya seseorang itu pingin menyendiri, Kak Tari juga begitu. Bintang ga boleh mudah berprasangka buruk," tegur Mentari lembut. 
"Maaf Kak Tari, tapi Kak Andro terlalu sering Bintang lihat sendiri, nggak pernah ada yang nemenin. Wajah Kak Andro juga sering kelihatan murung, mirip seperti wajah Bintang kalau temen Bintang ga mau main sama Bintang".
Andromeda lagi-lagi tertawa melihat kepolosan Bintang.
"Kak Andro punya teman, tapi Kak Andro ga pernah ngajakin mereka duduk bareng disini karena rumah mereka jauh dari sini," jelas Andromeda.
"Kak Andro kuliah?" tanya Bintang
"Iya Bintang, Kak Andro kuliah, tapi sementara ambil cuti satu tahun".
Bintang menoleh ke Mentari. "Emang kuliah sama seperti kerja ya Kak Tari, dapat jatah cuti seperti Papa Bintang di kantor?"
"Cuti saat kerja dan kuliah itu agak berbeda, Bintang. Kalau Papanya Bintang ambil cuti, itu karena kantor memberi kesempatan buat istirahat setelah Papa Bintang bekerja untuk kantornya. Nah kalo seseorang cuti kuliah, itu artinya dia sedang ada alasan penting sehingga dia nggak bisa kuliah sementara tapi tetap harus bayar uang kuliah, Bintang. Kak Andro pasti punya alasan kenapa cuti kuliah," jawab Mentari berusaha memberi pengertian yang bisa dipahami Bintang.
"Kak Tari benar, Kak Andro cuti kuliah karena Kak Andro sakit dan perlu perawatan," sambung Andromeda tersenyum dengan tingkah Bintang.
Bintang langsung memasang mimik serius. "Kak Andro sakit? Tapi kok kelihatannya sehat-sehat aja. Nggak seperti Bintang diperban di kaki dan pake kursi roda". Andromeda tak bisa menahan tawanya mendengar kepolosan gadis kecil dihadapannya itu.
Mentari yang melihatnya pun ikut tersenyum, laki-laki dingin itu terlihat hangat tiap kali ia tersenyum dan tertawa karena tingkah laku Bintang.
"Memang kamu sakit apa kalau boleh tahu?" tanya Mentari sambil berusaha tetap tersenyum. Ini untuk kali pertama, Andromeda menoleh ke Mentari dan tersenyum tipis kepadanya. Kemudian Andromeda balik menoleh kearah Bintang
"Kak Andro sakit ginjal. Ginjal itu letaknya didalam sini jadi nggak bisa diperban seperti kaki Bintang meskipun lagi sakit," ujar Andro sambil menunjukkan letak ginjal kepada Bintang sembari tertawa kecil ke Bintang yang mengangguk-anggukan kepalanya.
"Hmmm meskipun kita beda sakitnya, Bintang yakin Kak Andro juga pasti sembuh. Kata Kak Tari yang terpenting kita nggak menyerah, berobat dan berdoa. Bintang berdoa semoga Bintang dan Kak Andro sembuhnya barengan, aamiin".
Andromeda pun kembali tersenyum sambil mengaminkan.
"Kak Tari mau kan ikutan mendoakan Kak Andro biar cepat sembuh?" lanjut Bintang lagi.
Mentari tersenyum lebar kepada Bintang, "Iya, Bintang. Kak Tari berdoa semoga Bintang cepat sembuh. Kak Tari juga berdoa semoga Kak Andro segera diangkat penyakitnya. Yang penting, Bintang dan Kak Andro harus tetap semangat buat sembuh, oke," jawab Mentari penuh semangat memandang bergantian kepada Bintang dan Andromeda. Bintang menganggukkan kepalanya tak kalah semangat, sementara Andromeda hanya memandang Mentari sejenak, mengucapkan terima kasih dan kembali tersenyum melihat Bintang.
"Karena Bintang sudah membuat Kak Andro banyak tertawa dan tersenyum lagi, Kak Andro pingin menghadiahkan sesuatu buat Bintang. Bintang mau nggak kalau Kak Andro tangkepin satu kupu-kupu buat Bintang?" tanya Andro penuh semangat dan langsung dijawab teriakan mau dari Bintang sambil tertawa.
Andromeda bergegas berdiri dan mencari kupu-kupu diantara bunga-bunga yang ada di taman itu ketika Andromeda membungkuk memegangi ginjalnya karena  tiba-tiba ginjalnya terasa sakit. Mentari yang curiga pun bergegas menghampirinya. "Apa ginjal kamu sakit?" tanya Mentari. Andromeda menoleh ke Mentari yang ada di sebelahnya. "Aku nggak apa-apa, cuma sakit sedikit aja. Sudah sering seperti ini," jawab Andromeda pelan.
"Wajah kamu terlihat memucat, Dro...," sambung Mentari ikut sedikit membungkukkan badannya. "Aku baik-baik aja, Tari. Tolong kamu pegangin kupu-kupu ini dan berikan ke Bintang ya, aku takut kupu-kupu itu terlepas sebelum diterima Bintang," ujar Andromeda menyerahkan kupu-kupu yang berhasil ditangkapnya. Tangan Andromeda terlihat sedikit gemetar, tapi Mentari tahu Andromeda tidak ingin membahasnya lebih jauh. Mentari pun bergegas menghampiri Bintang sementara Andromeda terlihat berjalan agak pelan menyusulnya.
"Ini kupu-kupu dari Kak Andro buat Bintang," ujar Mentari sambil tersenyum lebar kepada Bintang, "Kak Andro sudah capek-capek menangkap kupu-kupu itu buat Bintang, Bintang jangan lupa bilang terima kasih ya". Bintang mengangguk sambil tersenyum kepada Mentari. Bintang terlihat bahagia memegang kupu-kupu hasil tangkapan Andromeda. Dengan senyuman lebarmya Bintang tak sabar menunggu Andromeda yang sedang berjalan kearahnya.
"Makasih banyak ya Kak Andro, kupu-kupunya cantik banget," ucap Bintang membuat Andromeda ikutan tersenyum.
"Kupu-kupunya cantik secantik Bintang. Karena Bintang udah bikin Kak Andro senyum dan tertawa," sambung Andromeda. Bintang tertawa kecil. "Berarti kupu-kupu ini juga secantik Kak Tari. Karena Kak Tari sudah membuat Bintang kembali tersenyum dan tertawa hari ini. Kak Andro setuju?" ujar Bintang lagi. Andromeda menoleh sejenak ke Mentari, kemudian tersenyum lebar kepada Bintang. "Iya Bintang, kupu-kupu ini cantik, secantik Bintang dan Kak Tari". Mentari tersenyum melihat Bintang yang tersenyum bergantian kepadanya dan Andromeda. "Jadi kupu-kupu cantiknya kapan mau dilepaskan lagi terbang bebas di alam?" tanya Mentari sambil membelai lembut rambut Bintang.
"Seperti yang Kak Tari pernah bilang ke Bintang, kupu-kupu itu indah saat dia dibiarkan terbang bebas. Kupu-kupu cantik, terima kasih sudah mampir yaaa..," ujar Bintang sembari melepaskan kupu-kupu di tangannya. "Aaaahhh....," tiba-tiba terdengar Andromeda setengah berteriak membuat Bintang dan Mentari terkejut. "Kak Andro marah ya karena Bintang melepas kupu-kupu pemberian Kak Andro?" tanya Bintang spontan. "Enggak, Bintang. Kak Andro setuju dengan apa yang dikatakan Kak Tari ke Bintang..., tadi Kak Andro spontan teriak aja kok," jawab Andromeda sambil tersenyum. Mentari bisa melihat, Andromeda menahan sakit itu, wajahnya juga terlihat pucat saat dia tersenyum.
"Yakin kamu baik-baik saja, Dro? Wajah kamu pucat soalnya," ujar Mentari dibalas dengan anggukan kepala oleh Andromeda. "Kak Andro kesakitan, ya?" tanya Bintang ikut khawatir. Andromeda makin melebarkan senyumnya. "Kak Andro baik-baik saja, Bintang. Cuma nyeri sedikit aja, seperti Bintang yang merasa sedikit nyeri di lukanya yang belum benar-benar kering, seperti itu juga Kak Andro merasa sedikit nyeri di ginjalnya. Iya kan, Kak Tari?" jawab Andromeda sambil menoleh dan tersenyum ke Mentari. Bintang pun menoleh ke Mentari seolah menunggu jawaban Mentari. "Iya, Bintang. Kak Andromeda nggak apa-apa, kok. Kak Tari cuma memastikan aja tadi," jawab Mentari sambil tersenyum.
"Oh iya, kalau Kak Andro pingin ketemu Bintang lagi, boleh nggak? Soalnya Kak Andro senang lihat Bintang, Bintang lucu sih bisa bikin Kak Andro tertawa".
Bintang mengangguk sambil tersenyum lebar. "Pasti boleh. Bintang juga seneng lihat Kak Andro sama Kak Tari tertawa bersama Bintang. Gimana kalo kita bertemu di taman ini setiap Senin, Rabu, dan Kamis di jam yang sama, Kak Andro?" tawar Bintang.
"Kalau Kak Andro pingin ketemu tiap hari, memangnya ga bisa?" tanya Andromeda sambil tertawa.
"Kak Tari mengajar Bintang tiga hari itu saja, Kak Andro...," balas Bintang sambil tersenyum kearah Mentari. "Kak Tari mau kan menemui Kak Andro lagi bersama Bintang?" tanya Bintang dengan memasang mimik berharap-harap cemas. Andromeda dan Mentari, yang melihat mimik Bintang, pun saling berpandangan sejenak kemudian sama-sama tertawa.
Waktu pun semakin sore, matahari tinggal menunggu setengah jam lagi sebelum terbenam. Bintang dan Mentari berpamitan pulang. Andromeda melepas keduanya dengan senyum lebar diantara sakit di ginjalnya yang makin terasa meski berusaha ia tahan.
Mentari baru selesai mengantarkan Bintang ke rumahnya ketika ia melewati taman itu lagi menuju jalur angkutan terdekat dan melihat Andromeda masih tidak beranjak dari tempatnya padahal matahari pun sudah terbenam.
"Kamu baik-baik saja, Dro?" tanya Mentari yang memutuskan menghampiri Andromeda karena ia khawatir laki-laki itu kenapa-napa. Sedikit tertegun, Andromeda menoleh keasal suara, terlihat Mentari sudah ada di sebelahnya. Ia masih terdiam menatap Mentari, ekspresinya berusaha menahan sakit.
"Ginjal kamu terasa sakit banget ya?" tanya Mentari lembut dengan raut khawatir. Andromeda mengangguk pelan.
"Dari tadi aku berusaha tahan, tapi malah makin sakit. Aku nggak kuat berdiri, Tari. Bisa tolong panggilkan taksi?" ucap Andromeda lirih.
"Iya aku bakal dapatin taksi secepatnya. Kamu tunggu disini sebentar ya," sambung Mentari. Mentari bergegas menuju jalan raya mencari taksi yang kosong. 15 menit kemudian, Mentari membantu sopir taksi memapah Andromeda kedalam taksi dan menemaninya pulang. Meski wajahnya pucat, Andromeda tetap berusaha tenang dan menahan rasa sakitnya.
"Maaf jadi ngrepotin kamu, Tari. Terima kasih sudah menolong dan menemani aku pulang," ujar Andromeda sambil tersenyum agak lama ke Mentari. Ini kali pertama Andromeda benar-benar tersenyum kepada Mentari. Mentari balas tersenyum. "Aku sama sekali tidak merasa direpotkan, Dro. Kamu sering sakit tiba-tiba seperti ini ketika sedang di taman?"
Andromeda menggelengkan kepalanya pelan. "Dua atau tiga kali mungkin termasuk hari ini. Biasanya meskipun sakit aku masih bisa bawa motor pulang dan dua kali sebelumnya aku ga kuat bawa motor sendiri, tapi aku bawa handphone, jadi bisa menghubungi orang rumah. Tapi hari ini handphone aku tertinggal di kamar, untung ada kamu, Tari. Sekali lagi, makasih ya".
Mentari menganggukkan kepalanya pelan. Andromeda terlihat kesakitan sehingga Mentari memintanya tidak lagi bicara.
20 menit kemudian, mereka akhirnya di rumah Andromeda. Rumah itu cukup besar dan asri, terlihat Andromeda berasal dari keluarga yang sangat berada. Mentari kembali membantu memapah Andromeda berjalan ketika seorang laki-laki tua menghampiri mereka dari dalam rumah dan segera mengambil alih tugas Mentari memapah Andromeda. "Mas Andro kok nggak menghubungi Pak Ahmad kalau ginjalnya sakit lagi seperti ini. Bapak kan bisa jemput," ujar laki-laki tua itu berusaha tetap tenang meskipun jelas terlihat ia mengkhawatirkan Andromeda.
"Iya, Pak maaf, handphone aku tertinggal di kamar," jawab Andromeda pelan tapi berusaha menenangkan laki-laki tua itu.
Terlihat perempuan sebaya dengan laki-laki tua itu membukakan pintu sebuah kamar di rumah itu, sepertinya kamar Andromeda.
"Bu Aisyah, tolong buatin coklat hangat ya buat teman Andro, dia yang bantu mengantarkan Andro pulang. Tolong temani dia ngobrol ya, Bu, " ujar Andro lirih ditanggapi dengan anggukan kepala perempuan tua itu.
Andromeda menoleh sejenak ke Mentari yang hanya bisa mengamati diri Andromeda dan bingung musti berbuat apa untuk membantu Andromeda. "Tari, aku tinggal istirahat di kamar dulu, maaf tidak bisa menemani kamu, sekali lagi terima kasih,"  sambung Andro berusaha tersenyum dibalas Mentari dengan senyuman dan anggukan kepala.
Mentari pun duduk di ruang tamu rumah Andromeda, segelas coklat hangat menemaninya bersama Bu Aisyah. "Makasih banyak ya, Nak Tari, sudah menemani Mas Andro pulang. Tadi kami sudah khawatir setelah Maghrib tapi Mas Andro nggak pulang-pulang, biasanya dia pulang sebelum maghrib. Pak Ahmad sudah mau nyariin, alhamdulillaah ternyata ada yang menolong Mas Andro pulang".
Mentari tersenyum. "Kalau boleh Tari tahu, Bapak dan Ibu siapanya Andromeda?"
"Kami yang membantu di rumah ini, Nak. Nama saya Aisyah dan laki-laki tadi suami saya, namanya Ahmad. Kami sudah lama bekerja dengan ortunya Mas Andro, sejak Mas Andro masih TK. Orang tua dan kakak satu satunya Mas Andro semuanya tinggal di luar negeri karena tuntutan pekerjaan, tapi Mas Andro tetap pingin tinggal dan kuliah di Indonesia. Jadinya, kami yang ditugasi menjaga Mas Andro disini, apalagi sejak Mas Andro sering sakit beberapa bulan ini, jelas Ibu Aisyah kepada Mentari.
"Memang seberapa serius sakit ginjal Andro, Bu?"
"Kedua ginjal Mas Andro sudah tidak berfungsi dengan baik, Nak Tari. Sudah beberapa bulan ini, keluarga Mas Andro mencari donor ginjal buat Mas Andro, tapi belum juga ada yang cocok. Bapak dan ibu Mas Andro pernah menawarkan satu ginjal mereka untuk diperiksa siapa tahu ada yang cocok, tapi Mas Andro dengan tegas menolaknya. Dia mengkhawatirkan kesehatan orang tuanya," lanjut Ibu Aisyah.
Terlihat Pak Ahmad menghampiri ke ruang tamu.
"Bagaimana kondisi Andro sekarang, Pak? Apa dia masih kesakitan? Apa tidak sebaiknya diperiksakan ke dokter, Pak? tanya Mentari spontan dengan cemasnya. Entah mengapa Mentari mencemaskan Andromeda seperti dia mencemaskan Bintang padahal mereka baru saling mengenal. 
"Mas Andro sekarang sudah tertidur. Dia sudah minum obat juga untuk mengurangi rasa sakitnya. Mas Andro bilang nggak mau dipanggilkan dokter, tapi barusan bapak sudah telepon dokter yang merawat sakit Mas Andro, sengaja menunggu Mas Andro tertidur dulu, insyaa Allah beliau datang satu atau dua jam lagi". 
"Kalau begitu, Mentari pamit pulang dulu," ujar Mentari hendak berdiri dari duduknya ketika kertas sketsa milik Andromeda yang tadi sengaja dipungut Mentari saat terjatuh di bangku taman, terjatuh ke lantai. Ada beberapa sketsa mimik wajah disana, Andromeda sengaja membuatnya bertahap lapis demi lapis. Di lapisan paling bawah, terlihat mimik penuh senyuman disana dan sebuah kata "HOPE ?". 
"Biar Pak Ahmad antar Nak Tari pulang ya, tadi Mas Andro berpesan seperti itu," ujar Pak Ahmad membuat Mentari mendongakkan kepalanya dari ketertegunannya sejenak.
Mentari tersenyum kepada kedua suami istri di hadapannya yang sedang tersenyum kepadanya. "Terima kasih banyak tawarannya, tapi saya bisa pulang sendiri. Jam segini angkutan masih ramai. Lagipula Andromeda dan Bu Aisyah membutuhkan Pak Ahmad disini". 
Mentari kembali memandangi kertas sketsa milik Andromeda yang masih ada di tangannya, 
"Pak Ahmad dan Bu Aisyah, apa saya boleh melihat Andro sebentar?" tanya Mentari. Pak Ahmad dan Bu Aisyah pun menyilahkan dan menemani Mentari masuk ke kamar Andromeda. Andromeda terlihat tertidur pulas meski wajahnya terlihat pucat. Melihat Andromeda saat itu, membuat Mentari teringat Bintang. 
"Tiga hari terakhir, Mas Andro sepertinya kurang tidur padahal Dokter bilang menjaga stamina Mas Andro biar tidak drop itu penting. Kami nggak tahu apa yang sedang membuat Mas Andro risau. Makanya kami khawatir saat dia ga kunjung pulang tadi," ujar Pak Ahmad. Mentari duduk di samping ranjang Andromeda, memandangi laki-laki yang sore tadi berbagi senyum tawa bersama Bintang dan dirinya itu lalu menuliskan sesuatu di kertas sketsa Andromeda di lapisan paling akhir alias bawah. 
"Harapan itu selalu ada selama kita tidak pernah menyerah berusaha dan berdoa. Kamu insyaa Allah bisa tersenyum seperti dulu lagi. Seperti hari ini, siapa yang sangka laki-laki yang dingin dan berwajah murung di taman itu akhirnya bisa tersenyum dan tertawa setelah bertemu BINTANG. Di perjalanan pulang, Bintang dengan ceria bilang, dia senang sekali akhirnya bisa melihat senyum dan tawa kamu. Bintang akan selalu menunggu melihat senyum dan tawa kamu lagi dan lagi. See you with your smile again, Dro. BINTANG AND I BELIEVE THAT YOUR HOPE WILL BE TRUE SOON, ANDROMEDA". 
Mentari letakkan kertas sketsa itu dibawah tangan Andromeda yang berada diatas dada Andromeda sembari membetulkan selimut Andromeda. Lalu Mentari pun pamit pulang.
~ Bersambung ~

CAST : Rizzar as Andromeda; Ara as Mentari; X  as Bintang
DOUBLE CAST : Rizky Nazar as Rizzar and Anisa Rahma as Ara

Part Setelahnya

Kamis, 17 Desember 2015

Konstelasi Hati Bintang Buat Ara Part 4 : Konstelasi - Bintang Mencari Ara

Part Sebelumnya

Bintang meninggalkan rumah sakit setelah papa dan mama Rion tiba. Orang tua Rion memutuskan akan memindahkan perawatan Rion ke rumah sakit yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya setelah kondisi Rion stabil. Sesampai di kantor, Bintang bergegas menyiapkan presentasinya untuk meeting selepas makan siang. Matanya masih terasa berat karena dua hari ini ia kurang tidur. Sambil menyeruput segelas kopinya, ia kembali melihati sekali lagi materinya sambil membuka-buka berkas-berkas di tas ranselnya ketika ia menyentuh kotak makanan milik Ara. Ia pandangi dan pegangi kotak makanan itu beberapa saat kemudian tersenyum tipis. "Siapa pun kamu, terima kasih Ara". Bintang bertekad akan mendatangi kafe tempat ia bertemu Ara kali pertama, sepulang kerja nanti.

Di tempat lain, Ara sedang mempelajari beberapa publikasi penelitian yang baru diterimanya. Hari itu, pengunjung perpustakaan tidak seramai biasa sehingga Ara memutuskan menggunakan waktunya untuk lebih banyak belajar. Tiba-tiba wajah laki-laki asing itu hadir kembali. Entah mengapa apa yang terjadi diantara keduanya meninggalkan kesan tersendiri di memori Ara. "Siapapun kamu, penyuka Bintang Kecil, aku harap bisa melihat kamu lebih banyak tersenyum. Aku akan berusaha membantu semampu aku meski kita tidak saling mengenal," ujar Ara dalam hati. 
"Selamat siang, Ara," suara yang tak asing itu membuat Ara tersenyum lebar kepadanya.
"Oktan... kok kamu bisa ada disini?" balas Ara sambil menyilahkan Oktan duduk. Sudah lama Ara tidak pernah bertemu Oktan. Laki-laki di depannya itu masih saja ramah dan hangat seperti saat Ara pertama mengenalnya. Oktan sedang mencari beberapa penelitian untuk data pendukung tempat kerjanya dan Oktan pun teringat Ara. Ara bergegas membantu mencarikan referensi yang mungkin berkaitan dengan data yang diperlukan Oktan. Waktu berlalu saat arloji Ara menunjukkan pukul 11.50 dan Oktan mengajak Ara untuk keluar makan siang bersama. Karena bekal makanannya sudah ia berikan untuk laki-laki di dalam mimpinya, Ara pun dengan senang hati menerima ajakan Oktan. Lagi pula sudah lama Ara tidak pernah berbincang dengan Oktan.
Ara dan Oktan duduk berhadapan saat itu. Mereka sedang menunggu makanan siap, ketika sejenak Oktan memandangi Ara. Ara yang jadi salah tingkah berusaha tersenyum seperti biasa. "Lama kita nggak ngobrol seperti ini lagi, ya Ra... apalagi setelah aku jadian sama Lintang," ujar Oktan balas tersenyum. 
"Iya... Oh iya, aku dengar dari Lintang kalo kalian sepakat menjadi teman biasa lagi, ya. Apa kamu yakin ini keputusan yang terbaik, Tan? Aku tahu kalian punya alasan kuat, tapi kamu sama Lintang itu pasangan serasi menurutku, kalian saling mengisi satu sama lain," sambung Ara sembari memberanikan diri balas menatap Oktan. Oktan terdiam masih menatap Ara, Oktan seperti sedang memikirkan kalimat Ara itu. "Apa Lintang memberitahu kamu, alasan itu Ra?" tanya Oktan ragu. Ara mengangguk pelan, "Aku tahu, Tan, tapi aku bisa lihat rasa itu tumbuh diantara kalian seiring waktu. Setelah saling jujur satu sama lain, kalian bisa melanjutkannya dengan suasana hati yang baru, Tan. Kamu sayang sama Lintang kan, Tan?"
Oktan masih terdiam memandangi Ara. Oktan seolah bingung harus menjawab apa. Hatinya seolah mendua, tapi dia tidak bisa membedakan apa yang ia rasakan untuk Ara dan Lintang. Oktan tersenyum lembut, "Menurut kamu, apa aku terlambat untuk memperjuangkan seseorang yang terpinggirkan karena dulu aku ga punya keberanian, Ra? Aku tahu aku cukup pengecut. Aku takut menyatakan sesuatu ke seseorang yang sebenarnya aku sukai dan justru melampiaskannya ke sahabatnya. Meski waktu itu sikonnya emang rumit banget, apalagi Lintang lagi rapuh waktu itu. Kamu sepertinya sengaja mundur teratur, mengambil jarak dari aku dan aku merasa menjadi laki-laki yang diandalkan bagi Lintang saat itu," jelas Oktan kepada Ara. Ara menundukkan kepalanya sejenak, Ara bingung melanjutkan kalimatnya ke Oktan saat itu ketika makanan mereka pun datang. Baik Ara dan Oktan pun membisu diantara aktivitas makan siang mereka. 
Waktu menunjukkan pukul 12.40 saat Ara dan Oktan tiba di tempat parkir tempat kerja Ara dan Oktan bersiap untuk pamit kembali ke kantornya. Sesekali Oktan berusaha memecah hening diantara dirinya dan Ara dengan mengalihkan topik pembicaraan terkait data penelitian yang diperlukan oleh kantornya. Oktan sudah menghidupkan mesin sepeda motornya, ketika Ara kemudian berucap, "Ini bukan soal terlambat atau tidak, Tan. Dulu kamu memilih Lintang karena kamu ragu dan tidak punya cukup keberanian memilih aku kemudian kamu menyesalinya. Dan sekarang kamu putus dengan Lintang karena penyesalan kamu itu. Padahal aku bisa melihat dengan jelas rasa itu semakin tumbuh diantara kalian berdua waktu demi waktu. Aku nggak mau kamu menyesal melepaskan sesuatu dengan keraguan untuk yang kedua kalinya, Tan. Jadi aku harap kamu bisa lebih berpikir dengan matang tentang kamu dan Lintang. Terlepas kamu adalah pelarian dia saat dia patah hati waktu awal kalian jadian, aku bisa lihat dengan jelas Lintang perlahan menyayangi kamu, Tan apalagi sekarang". Kalimat panjang itu pun akhirnya diputuskan Ara untuk dikatakan pada Oktan. Lagi-lagi Oktan terdiam menatap Ara sejenak kemudian ia tersenyum tipis. "Aku mengerti, Ra," jawab Oktan lirih sambil menganggukkan kepalanya pelan. Setelah mengucapkan terima kasih dan salam, Oktan perlahan menghilang dari pandangan Ara.

Siang pun berganti malam, saat Bintang mengemasi barangnya bersiap pulang. Meeting hari ini berjalan dengan cukup baik meski tidak seluruhnya seperti yang Bintang harapkan. Ada beberapa ide yang harus ia perbaiki untuk memuaskan semua pihak. Waktu di arloji Bintang menunjuk angka 7.12 ketika ada panggilan masuk di handphonenya dari Zetta. Zetta mengajak Bintang keluar, makan malam berdua. Setelah menimbang-nimbang, Bintang pun meminta maaf tidak bisa menemani Zetta selama seminggu ini dan ia meminta Zetta untuk keluar mengajak geng ceweknya untuk sementara waktu. Setelah mendengarkan tumpahan rasa kecewa Zetta kepadanya, Bintang bergegas mengarahkan motornya ke kafe tempat ia pernah bertemu dengan Ara. Malam itu, kafe cukup rame, meski tak ada pertunjukkan musik disana. Bintang langsung memesan segelas kopi toraja malam itu sembari bertanya-tanya perihal Ara kepada pegawai disana. Bintang mendapatkan informasi bahwa Ara hanya penyanyi pengganti dan hanya menyanyi sekali saja bertepatan saat Bintang pertama kali mampir di kafe tersebut. Ara menggantikan Lintang sebagai penyanyi asli yang dikontrak oleh kafe tersebut. Selain itu, Bintang juga mendapatkan informasi bahwa Ara adalah sahabat Lintang dan kemungkinan besar dari Lintang, Bintang bisa mendapatkan info tentang Ara. Sayangnya dari beberapa pegawai yang ada, Bintang tidak berhasil mendapatkan nomer handphone Ara bahkan nomer handphone Lintang sekalipun. Mereka hanya menyarankam Bintang untuk datang lebih sore karena Lintang biasanya menyanyi dari pukul 16.00 s.d. 18.00 tiap harinya disana. Sejak hari itu, Bintang selalu singgah di kafe itu sepulang dari kerjanya. Meski waktunya sudah terlalu malam tiap kali ia tiba disana, Bintang tetap memegang harapan bisa bertemu Lintang. "Aku sudah berjanji ke diriku sendiri untuk mencari dan menemui kamu, Ara. Dan aku bukan orang yang dengan mudah menyerah dan mengingkari janji," ujar Bintang tiap harinya dalam hati. Selama beberapa hari itu, baik Bintang maupun Ara tak pernah lagi berjumpa lewat mimpi. Ara pun tak bisa mendengar tekad Bintang menemuinya. Hari berganti dan Sabtu pun menjelang. Bintang kembali mendatangi kafe yang sama, kali ini lebih awal karena ia libur kerja hari itu. Ia sudah asyik dengan makanan dan minuman pesanannya ketika Lintang perform hari itu. Seusai Lintang membawakan lagu terakhirnya, tanpa membuang waktu, Bintang segera menghampiri Lintang. "Perkenalkan, namaku Bintang. Aku ingin bertemu dengan Ara. Aku dengar kamu adalah sahabat Ara, aku harap kamu bisa membantu agar kami bisa bertemu," ujar Bintang seraya tersenyum ke Lintang. "Memangnya kamu siapa sampai kamu mau ketemu sahabat aku? Apa Ara mengenal kamu?" tanya Lintang masih sedikit kaget dengan perkenalan Bintang yang tiba-tiba itu. Bintang menjelaskan bagaimana dirinya bertemu Ara di kafe itu ketika tiba-tiba Zetta masuk dan memotong pembicaraan Bintang.
"Jadi kamu sibuk dan ga punya waktu buat aku semingguan ini karena kamu mau menemui perempuan ini, Bin?" cecar Zetta kepada Bintang. Kemudian Zetta beralih memandang Lintang. "Dan siapapun kamu, kamu harus tahu kalo aku pacarnya Bintang, jadi tolong jangan godain pacar orang, paham..., " lanjut Zetta dengan nada marahnya. 
Bintang dan Lintang sama-sama terkejut dengan kehadiran Zetta yang langsung meluapkan emosinya itu. 
"Tolong tahan emosi kamu, Ta. Kamu salah paham dan tidak seharusnya marah-marah ga jelas seperti ini," ujar Bintang lembut tapi tegas berusaha menenangkan Zetta. 
"Kamu bilang aku salah paham, Bin? Kamu berubah beberapa minggu ini, ga punya waktu buat aku dan sekarang aku lihat kamu sedang menemui seorang perempuan. Aku cuma berusaha mempertahankan hubungan kita karena aku cinta sama kamu, Bin. Apa aku salah?" sambung Zetta. Tampak Zetta mengusap air matanya yang tak bisa ia tahan untuk keluar diantara rasa marahnya, membuat Bintang pun terdiam untuk sejenak.
"Aku tidak kenal siapa kamu, Bintang. Tapi dari perkataan kamu, aku mulai bisa meraba siapa kamu. Satu hal yang kamu harus tahu, Ara itu sahabat aku dan dia orang baik. Aku tidak akan membiarkan kamu atau pacar kamu ini menyakiti Ara, jadi sebaiknya kamu berhenti mencari dan ingin menemuinya," jelas Lintang dengan tegas kepada Bintang, menoleh sejenak kearah Zetta kemudian bergegas pergi. Bintang menatap kepergian Lintang tanpa berusaha menahannya. Zetta yang menangis di sebelahnya membuat Bintang hanya mampu terdiam. 
"Kenapa kamu bisa tiba-tiba muncul disini, Ta?" tanya Bintang lirih setelah memesankan segelas coklat hangat buat Zetta.
"Aku sengaja mengikuti kamu, Bin sejak kamu keluar dari apartemen kamu. Aku ingin memastikan kebenaran ucapan kamu yang tidak punya waktu buat aku akhir-akhir ini karena alasan sibuk. Kamu berubah, Bin dan kamu menyakiti hati aku," ujar Zetta menatap Bintang.
"Maaf kalau aku menyakiti kamu, Ta. Tapi tidak seharusnya kamu main labrak dan langsung marah-marah seperti tadi. Aku menemui perempuan tadi karena aku harus menemui sahabatnya. Aku harus menemui sahabatnya karena aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya karena dia sudah mendonorkan darahnya buat Rion di saat Rion sangat memerlukannya sementara persediaan darah untuk dia terbatas," jelas Bintang.
"Kamu tidak pernah menjelaskan tentang ini ke aku, Bin. Wajar kalau aku jadi salah paham. Lagipula, kamu seharusnya tidak perlu sampai nyuekin aku seperti ini hanya untuk alasan yang kamu sebutkan, Bin. Aku takut kehilangan kamu, Bin". Lagi-lagi Zetta terisak pelan, ia merasa kecewa karena Bintang menomortigakan dirinya demi pekerjaan dan sahabatnya Rion.
Bintang menatap Zetta yang sedang menangis. Satu hal yang Bintang tidak suka adalah melihat perempuan menangis terlebih menangis karena dia. Hal itu membuatnya merasa bersalah dan merasa menjadi laki-laki yang payah. Dan pada akhirnya hal itu makin membuat hati Bintang makin sunyi. "Tolong berhenti menangis, Ta. Aku minta maaf. Sebagai permintaan maaf, aku akan temani kamu ke tempat yang kamu inginkan hari ini. Biar kamu bisa tersenyum dan tertawa lagi, " lanjut Bintang seraya memberikan tissue agar Zetta mengusap air matanya. 
"Maafkan Bintang, Nek. Bintang membuat Zetta menangis. Tapi Bintang harus dan ingin bertemu perempuan bernama Ara itu, Nek. Dia menenangkan hati Bintang disaat Bintang tidak tahu bagaimana menenangkan diri Bintang sendiri," ujar Bintang dalam hati.
Bintang pun memenuhi janjinya kepada Zetta. Dia menemani Zetta kemana pun Zetta ingin pergi menghibur dirinya bersamanya. Waktu malam minggu Bintang dihabiskannya untuk menyenangkan Zetta. 

Sementara itu, di tempat lain, Lintang mendatangi tempat kos Ara sepulang dari kafe.
"Ara, aku tadi bertemu laki-laki bernama Bintang di kafe. Dia ingin menemui kamu," ucap Lintang langsung duduk dihadapan Ara dengan raut muka serius.
"Bintang?" Ara bertanya balik karena dia tidak pernah merasa punya kenalan bernama Bintang.
" Iya, Bintang. Sepertinya dia laki-laki yang pernah kamu ceritakan ke aku waktu aku baru putus dengan Oktan minggu kemarin. Laki-laki yang kamu bilang ada di hati kamu tapi kalian belum punya cerita bersama, Ra".
Ara masih terdiam memandangi Lintang. Ia masih bingung harus berkomentar apa.
"Sebagai sahabat, aku cuma mau nyaranin sebaiknya kamu tidak berharap banyak merajut cerita dengan laki-laki bernama Bintang itu, Ra. Belum apa-apa, pacarnya sudah main asal labrak di kafe, dia marah-marah ke aku padahal aku tidak mengenal Bintang. Aku nggak mau kamu sakit hati karena laki-laki itu, Ara".
Ara tersenyum, ia terharu dengan perhatian Lintang yang berusaha menjaga perasaannya. 
"Memang laki-laki bernama Bintang itu bertanya apa tentang aku, Tang?" tanya Ara sambil berusaha menenangkan Lintang dengan menepuk bahunya dan tersenyum lebih lebar.
"Dia tiba-tiba menghampiri aku dan bilang ingin minta bantuanku agar bisa bertemu kamu. Aku masih ragu menjawab apa, eh tiba-tiba pacarnya datang langsung emosi, sepertinya pacarnya sengaja mengikuti laki-laki itu. Tapi aku heran deh, dia kok bisa tahu kalau nama kamu Ara ya?"
Ara hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya ragu. 
"Pokoknya kamu harus lebih hati-hati tentang Bintang, Ra. Aku akui dia laki-laki yang cakep banget sih Ra, tapi biasanya semakin cakep laki-laki, biasanya makin bermasalah. Jadi mending kamu buru-buru keluarkan dia dari hati kamu saja, Ra sebelum terlanjur dalam. Aku lebih percaya Oktan buat menjaga hati kamu, Ra," sambung Lintang panjang lebar berusaha meyakinkan Ara diantara rasa khawatirnya terhadap sahabatnya itu .
Ara tertawa kecil mendengarnya. "Kenapa harus Oktan sih, Tang? Iya-iya aku bakal lebih hati-hati menjaga hati aku, tidak sembarangan menerima sebuah nama, tapi aku nggak mau memasukkan Oktan di dalam hitungan. Aku lebih percaya Oktan bisa menjaga hati kamu dengan baik soalnya, Tang".
"Araaaaa... kan udah aku bilang, Oktan sukanya sama kamu, Ra," teriak Lintang serius dibalas Ara dengan gelengan kepala yang tegas. "Aku tahu, tapi Oktan sudah masuk dalam daftar pengecualian buat masuk di hati aku, Lintang Sayang. Buat aku, Oktan itu pasangan yang serasi buat kamu sebaliknya kamu buat Oktan. Kalau kamu tetap maksa, aku mending bertemu sama Bintang saja deh," jawab Ara pura-pura mengancam sambil setengah tertawa. 
"Araaaa...," balas Lintang sambil memanyunkan bibirnya mendengar Ara yang menggodanya. Ara dan Lintang pun pecah dalam tawa.
"Jadi nama kamu Bintang," ujar Ara sambil tersenyum dalam hati, "jangan-jangan kamu tahu nama aku dari perawat di rumah sakit ya, Bin. Kenapa juga kamu ingin menemui aku? Dan kenapa juga pacar kamu tiba-tiba melabrak Lintang?" Ara hanya bisa menerka-nerka dalam hatinya sendiri. Ara tidak mau Lintang mencemaskannya karena Bintang, meski di satu sisi Ara tidak bisa dengan mudah melepaskan rasa pedulinya kepada Bintang.

Waktu di arloji Bintang menunjukkan pukul 24.06 saat dirinya dan Zetta baru tiba di halaman rumah Zetta. Mood Zetta terlihat kembali riang setelah selama beberapa jam menikmati kebersamaannya dengan Bintang. 
"Zetta, aku mau kita bicara serius sekarang," ujar Bintang lirih menahan Zetta masuk kedalam rumahnya.
Zetta menatap dengan raut bertanya-tanya kepada Bintang yang terlihat serius memandangnya.
"Beberapa minggu ini, aku bingung dengan diri aku sendiri, Ta dan ternyata itu menyakiti kamu. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu, Ta tapi kenyataannya aku melakukannya, bahkan hari ini aku lihat kamu menangis karena aku. Aku membenci diriku saat aku menyakiti hati perempuan baik itu disengaja maupun tidak, Ta. Oleh karenanya aku berpikir mungkin akan lebih baik kita kembali temenan biasa saja, Ta. Aku nggak mau lebih banyak menyakiti kamu, Zetta" jelas Bintang pelan tapi tegas. 
Zetta benar-benar tertegun mendengarnya, "Kamu minta kita putus, Bin? Setelah beberapa jam ini kamu buat aku tertawa dan senyum lagi?"
Bintang tetap memandangi Zetta yang mulai menangis dihadapannya, "Aku harap ini kali terakhir aku melihat kamu menangis karena aku, Ta. Aku tidak ingin melihat kamu menangis, tapi aku merasa tidak bisa menghindarkan kamu untuk tidak menangis. Aku minta maaf, Zetta".
"Apa ini ada hubungannya dengan gadis bernama Ara tadi, Bin? Apa hati kamu berpaling kepada..."
Bintang menggelengkan kepalanya tegas, memotong pertanyaan Zetta. "Ini tidak ada hubungannya dengan gadis tadi, aku bahkan tidak mengenal siapa Ara. Aku memutuskan ini karena aku merasa benar-benar menjadi pecundang buat kamu, lagi-lagi aku menyakiti hati kamu meski tanpa niatan. Aku marah sama diri aku sendiri tentang ini, Ta. Aku harap kamu bisa memahaminya. Kamu layak untuk bahagia dan terhindar dari rasa sakit, Ta. Terima kasih sudah mencintaiku, Ta. Sekali lagi aku minta maaf".
Zetta menatap Bintang dengan air matanya yang semakin deras mengalir. Meski hatinya sakit, ia bisa merasakan dan melihat Bintang jujur tentang kalimatnya itu. Zetta bisa melihat kemarahan Bintang ke dirinya sendiri, tapi Zetta tidak ingin kehilangan Bintang. Zetta terus berusaha membujuk dan merayu Bintang untuk berubah pikiran, tapi Bintang tetap dengan keputusannya. Zetta pun hanya bisa menangis menatap bayangan Bintang yang semakin menjauh.

Bintang terus melangkahkan kakinya, ia harus kembali naik taksi untuk mengambil sepeda motornya yang sengaja ia titipkan di dekat kafe tempat Lintang bekerja. Hati Bintang terasa sesak saat itu, melihat Zetta yang terus menangis dihadapannya ketika keputusan itu diambilnya, membuat ia semakin dihujam rasa bersalah, tapi Bintang tetap harus melakukannya. Melepaskan Zetta jauh lebih baik dibandingkan mempertahankan hubungan yang tidak menyisakan kenyamanan bagi keduanya. Dia lebih ingin melihat Zetta tertawa bersamanya bukannya menangis karena Zetta tidak bisa memahami dirinya. Setelah setengah jam membiarkan dirinya berjalan kaki sambil menenangkan hatinya dan kakinya mulai terasa lelah, Bintang pun memanggil taksi akhirnya. 
Jam di arloji Bintang menunjukkan pukul 02.03 pagi saat Bintang melajukan motornya pulang ke apartemen. Hujan turun meramaikan pagi itu dengan rintik-rintiknya. Bintang membuka kaca helmnya, membiarkan air hujan mengenai mukanya. Ia butuh sesuatu untuk mendinginkan dan menghibur dirinya. Wajah Ara yang tersenyum riang kala menyanyikan lagu Bintang Kecil tiba-tiba melintas di pikiran Bintang. "Ara...aku ingin sedikit saja tertular tawa ceria kamu waktu itu," ujar Bintang pelan menatap jalanan di depannya. "Aku ingin bertemu kamu, Ra...," ujar Bintang didalam hati.
Di tempat lain, Ara sayup-sayup mendengar suara Bintang lirih menyebut namanya. Bintang duduk di taman pinggir danau dekat mall tempat Ara pernah mengikuti Bintang minggu sebelumnya. 
"Pulanglah Bintang, jangan menyakiti diri kamu sendiri," ujar Ara lirih. Tiba-tiba Bintang menoleh ke dirinya, Bintang hanya diam dan tersenyum sendu menatap Ara ketika Ara kemudian terbangun dari tidurnya. Mimpi itu terasa nyata bagi Ara, senyata mimpinya tentang Bintang di rumah sakit. Ara merenungi mimpinya sejenak sebelum melanjutkan tidurnya kembali. 

Pagi yang cerah pun mengawali hari minggu selepas hujan menyapa ketika Ara bersiap-siap hendak pergi ke taman di dekat danau yang ada di mimpinya. Ara ingin memastikan mimpinya, meski ia berharap tidak akan mendapati Bintang masih terduduk di taman itu. Ara baru akan mengunci pintu kamarnya ketika ada panggilan masuk dari Lintang.
"Ara, temani aku sarapan bubur ayam di taman biasanya kita jogging bareng yuk. Aku kesepian nih seperti anak hilang, aku tunggu kamu ya," ujar Lintang tanpa jeda. Ara hanya tertawa mendengarnya. Bayangan Bintang dalam mimpinya kembali hadir, membuatnya ragu dan berpikir apakah ia harus mendatangi taman itu atau tidak, ketika kemudian ia memutuskan untuk pergi menyusul Lintang. 
"Semoga kamu tidak benar-benar berada disana, Bintang. Semoga mimpi semalam hanya sekedar mimpi seperti mimpi pertama aku tentang kamu," ujar Ara dalam hati sambil menarik nafas panjang, meyakinkan hatinya sendiri.
Waktu menunjukkan pukul 07.08 saat Ara tiba di tukang bubur langganannya dan Lintang selepas jogging bersama. Ara mencari-cari Lintang tapi tidak juga menemukan sahabatnya itu ketika sebuah suara agak mengagetkan Ara dari belakangnya.
"Kamu disini juga, Ra?"
Ara buru-buru menoleh keasal suara itu. "Oktannn, kok kamu ada disini? Bukannya rumah kamu jauh dari sini, Tan?"
Oktan tersenyum sambil mengangguk kecil, "Iya, aku kesini karena Lintang minta temani jogging sekaligus sarapan bubur ayam. Makanya, aku kesini. Lintangnya mana, Ra?"
Ara bingung menjawab apa ke Oktan karena ia pun sedang mencari Lintang ketika sebuah pesan masuk di handphone Ara. "Tolong temani Oktan sarapan dan ngobrol ya, Ra. Kasihan dia sudah datang jauh-jauh. Maaf aku harus latihan buat perform nanti sore, he he". Ara terdiam menggelengkan kepalanya, Lintang sengaja mengkondisikan Ara bertemu dengan Oktan. 
"Sepertinya Lintang tiba-tiba harus latihan sekarang buat perform nanti sore, Tan. Karena kita sudah terlanjur sama-sama disini gara-gara undangan Lintang, kita makan bubur ayam bareng aja yuk," ujar Ara sambil tersenyum disambut anggukan kepala Oktan. Ara memutuskan menemani Oktan untuk sarapan bersama karena ingin menghargai Oktan yang sudah jauh-jauh datang. Namun Ara terpaksa berbohong tentang rencana Lintang kepada Ara dan Oktan. Ara tetap punya misi kecil ingin membantu Lintang dan Oktan melihat lebih jelas perasaan satu sama lain diantara keduanya. Sepanjang makan bubur bersama, terlihat Oktan agak canggung terhadap Ara terutama setelah obrolan mereka beberapa hari sebelumnya. Meskipun demikian, Oktan berusaha menyelipkan cerita-cerita lucu untuk dibagi ke Ara untuk mencairkan suasana. Ara sangat menghargai Oktan yang selalu berusaha menemukan cara untuk tetap membuatnya nyaman dan terhibur. Meskipun demikian Ara berusaha menyelipkan cerita demi cerita lucu tentang Lintang terkait perasaan-perasaan Lintang ke Oktan dari waktu ke waktu selama Oktan dan Lintang dekat lebih dari seorang teman.

Sementara itu di taman dekat danau, Bintang tampak sedang duduk di bawah pohon tempat ia pernah bertemu sejenak dengan Ara. Ia belum juga pulang ke apartemennya dan menumpang mandi dan sholat shubuh di masjid tak jauh dari danau itu lalu kemudian kembali ke taman itu. Entah kenapa, ia seolah berharap bisa bertemu dengan Ara di tempat itu.

Waktu menunjukkan pukul 14.02 saat Lintang yang sudah bersiap di kafe menelepon Ara yang sedang bersantai menikmati hari liburnya di kamarnya, Lintang menanyakan pertemuan Ara dan Oktan tadi pagi. 
"Bagaimana sarapan bareng kamu dan Oktan tadi pagi, Ra? Sudah ada kemajuan yang positif belum? He he he," suara Lintang terdengar riang menggoda Ara.
Ara memanyunkan bibirnya, "Apaan sih, kan aku sudah bilang, say no to Oktan, Tang. Aku berharap bertemu Bintang saja deh kalau kamu tetap maksa ngecomblangin Oktan sama aku. Aku lebih ikhlas kalaupun hati aku harus sakit karena Bintang dibandingkan aku menyakiti hati sahabat aku," ucap Ara tegas.
"Araaaaa, berapa kali sih aku harus bilang..."
"Pokoknya aku nggak mau denger lagi tentang rencana kamu menjodohkan aku dengan Oktan, Tang. Keputusan aku sudah bulat dan nggak bisa diganggu gugat, titik, " potong Ara tidak membiarkan Lintang menyelesaikan kalimatnya. 
Ucapan tegas Ara membuat Lintang pun akhirnya mengalah. Lintang tahu Ara melakukannya karena Ara memahami perasaan Lintang dengan jelas. 
Tiga jam pun kemudian berlalu, Lintang baru menyelesaikan tugas menyanyinya ketika Bintang sudah berdiri di hadapannya. 
"Kamu datang lagi...," ucap Lintang datar menatap Bintang.
"Aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin sore, tapi aku minta tolong ke kamu, bantu aku bertemu Ara," ucap Bintang bersungguh-sungguh. Lintang menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, aku tidak bisa membantu kamu. Membantu kamu akan membuka kemungkinan sahabat aku, Ara, tersakiti karena kamu atau pacar kamu. Sebagai sahabat, aku harus menghindarkan Ara dari itu, sebelum kalian benar-benar saling mengenal," sambung Lintang.
"Aku memang tidak bisa menjanjikan menghindarkan Ara dari sakit, tapi aku tidak ada niat sedikit pun menyakitinya dan aku akan berusaha tidak menyakitinya. Aku hanya ingin menemuinya. Tolong bantu aku bertemu Ara sekali saja. Aku sudah berjanji ke diri sendiri untuk mencari dan menemui Ara," sambung Bintang.
Lintang mengamati laki-laki asing di hadapannya itu. Ia heran dan bertanya-tanya dalam hati kenapa laki-laki ini sangat ingin bertemu Ara. "Tolong kamu berhenti ingin menemui Ara, kalau ada pesan yang ingin kamu sampaikan, bilang saja ke aku biar aku yang meneruskannya ke Ara," sambung Lintang memberi saran ke Bintang. Bintang tetap dengan pendiriannya ingin menemui Ara sehingga Lintang pun memutuskan pergi sambil mengucapkan sekali lagi kata maaf. 

Di tempat lain, Ara baru selesai menyetrika kembali baju yang akan digunakannya esok hari ketika ia diserang rasa kantuk. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 07.46 malam, ketika Ara terlelap dengan mudah dan cepat. 
Laki-laki bernama Bintang itu kembali hadir di mimpi Ara. Lagi-lagi Bintang sedang duduk di taman dekat danau, tempat mereka pernah bertemu. Bintang hanya mengenakan celana jeans dan kaos lengan panjang dengan earphone terpasang di telinganya. Ia duduk memandangi air danau yang disapa rintik hujan malam itu. Wajah dan rambutnya pun basah tersapa hujan, tapi seulas senyum itu menghias di sudut bibirnya, seolah ia menikmati suasana di sekitarnya. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi dia terlihat sedang menunggu sesuatu yang diyakininya. 
Beberapa saat berlalu, Bintang terlihat mulai terlelap dalam duduknya. Lirih terdengar bibirnya mengucap sesuatu. "Aku akan tunggu kamu disini, Ara...". Tiba-tiba terlihat siluet seorang anak kecil sedang tertawa riang bersama seorang perempuan tua. Lagu Tik Tik Hujan terdengar merdu dari keduanya yang asyik memandangi hujan dari jendela kamar. Perempuan tua itu  meninabobokan anak laki-laki yang kepalanya ada di pangkuannya dengan mengusap rambut anak laki-laki itu penuh rasa sayang. Siluet itu semakin menghilang begitupun nyanyiannya ketika terdengar suara Bintang lirih. "Jangan pergi, Nek. Maafin Bintang, Nek. Bintang janji akan menjadi laki-laki yang lebih baik, Nek...". Terlihat Bintang masih terlelap dalam tidurnya di salah satu bangku taman di pinggir danau itu. Tubuhnya terlihat semakin basah oleh hujan meski  hujan hanya berbagi rintiknya. "Aku bukan laki-laki yang baik, tapi aku ingin menemui Ara..., " igau Bintang lirih. Ara terbangun dari tidurnya. Perasaannya tidak tenang saat itu, mimpi itu terlalu nyata bagi Ara. Tanpa pikir panjang, Ara segera mengambil handuk kering dan jaket sporty miliknya serta tak lupa payung dan memasukkannya ke tas ranselnya. Ara bergegas pergi ke taman yang ada di mimpinya, memastikan mimpinya. Hatinya khawatir melihat Bintang yang basah terkena hujan dan tetap terlelap di bangku taman itu, meski Ara tidak bisa benar-benar memastikannya kecuali setelah ia mendatangi tempat itu.

Setelah setengah jam perjalanan ditempuh Ara menggunakan angkot, akhirnya Ara turun di halte dekat mall yang berdekatan dengan taman. Gerimis masih bercanda dengan malam, setengah ragu Ara melangkah kearah taman. Ara masih berharap, mimpi itu hanya sekedar bunga tidurnya dan ia tidak akan menemukan Bintang disana. Taman tidak seramai biasa, hanya ada beberapa penjual makanan yang masih setia menjajakan makanan dengan menggunakan payung besar.  Hujan membuat peramai taman itu memilih tempat bernaung dari basah. Sepuluh menit kemudian, Ara melangkah semakin mendekati bangku taman di bawah pohon, tempat ia pernah bertemu Bintang, ketika ia melihat bayangan seseorang laki-laki sedang terlelap dalam posisi duduknya. "Bintang....," ucap Ara pelan setelah ia berdiri tepat satu meter dihadapan laki-laki itu dan benar-benar bisa melihatnya dengan jelas, wajah Bintang yang basah oleh rintik hujan. 

Bersambung

 Part Setelahnya