Sabtu, 23 Januari 2016

See You Again When The Next Blue Moon Appears : Ahsan Hasna Part 1 s.d. 3

Blue moon malam itu sangat indah. Membuat mereka bertemu disana. Pandangan yang dibuai rindu menantikan seseorang untuk mengisi hati mereka. Seseorang yang berusaha untuk ditemukan sekaligus selalu dinanti. Seseorang yang belum menjelma bahkan meski hanya dalam nama. Mereka hanya tersenyum memandangi makhluk malam yang indah diterangi sinar makhluk siang bernama matahari itu. Pandangan mereka beradu meski waktu masih menjaga mereka untuk bisa bertemu. Pandangan Ahsan dan Hasna. "Apa aku dan kamu sedang memandang bulan yang sama, seseorang tak bernama? Aku menunggumu. Semoga saat blue moon selanjutnya berbagi indahnya, aku dan kamu bisa melihatnya bersama, kita duduk bersebelahan, tersenyum bersama dan blue moon gantian memandangi kita yang saling berpandangan tanpa lagi menitipkan rindu kepadanya".

Tokoh Imajinasi : Rizky as Ahsan dan Anisa as Hasna 

PART 1 Intro : Ahsan dan Hasna
Ahsan adalah seseorang mahasiswa usia 20 tahun. Dia adalah salah satu aktivis kampus yang menjadi idola banyak perempuan. Berwajah tampan, nilai mata kuliahnya pun cemerlang, jago bermain futsal, dan aktif di sebuah wadah debat bahasa inggris di kampusnya. Selain itu, dia bersama teman-temannya aktif mengajar bahasa Inggris dan mengaji untuk adik-adik yang tinggal di daerah kumuh dekat bantaran rel yang memang menjadi binaan organisasinya. Semua pesona yang ada didirinya membuat banyak perempuan jatuh hati sekaligus penasaran kepadanya. Pasalnya, Ahsan selalu ramah, peduli dan humble kepada teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, sejak masuk kuliah, tak pernah sekalipun terdengar Ahsan menobatkan satu perempuan pun sebagai pacarnya. Meski dia bukan barisan ikhwan yang aktif di rohis kampusnya, tapi dia salah satu high quality single, sebagaimana doa orang tuanya "semoga dia menjadi laki-laki terbaik" lewat namanya, Ahsan.

Hasna, seperti doa orang tuanya lewat namanya, adalah perempuan cantik yang mandiri berusia 25 tahun. Dia sedang mengambil pendidikan masternya di bidang perencanaan perkotaan diantara kesibukannya bekerja di NGO yang peduli tentang anak-anak. Kecantikan Hasna yang terpancar dari hatinya dan semangat serta sifat cerianya, membuat beberapa laki-laki ingin mendekatinya. Meskipun demikian, laki-laki tersebut mundur teratur saat Hasna mengatakan pandangannya tentang hidup dan pilihannya untuk berkomitmen bukan hanya sekedar hubungan bersenang-senang tanpa arah. Meski heran dan sedikit trauma, Hasna tetap memegang apa yang diyakininya itu. Ia percaya bahwa Tuhan menciptakan seseorang yang tepat menjadi pasangannya, meski Hasna pun tak tahu sampai kapan ia harus menunggu. Hasna akan tetap bersabar dan berusaha tetap terlihat agar bisa ditemukan oleh dia yang belum punya nama di hatinya, kecuali nama panggilan yang diberikan Hasna di tiap doanya yaitu CINTA. Bersama CINTA dia punya satu impian sederhana, melakukan volunteering bersamanya, merajut bahagia mereka bersama dengan menjadi manusia yang berbagi manfaat. Bersama CINTA dia ingin menjadi tetap dan lebih baik bersama. Bersama CINTA dia ingin menghabiskan hidup bersamanya. 

PART 2 Blue Moon dan Pertemuan Pertama

31 Mei 2015
Ahsan sedang memandangi fenomena blue moon malam itu. Purnama kedua di bulan Mei itu memang dinantinya, sesuai perkiraan yang sudah tersebar luas di internet dan media lainnya. Ahsan selalu mengagumi purnama. Purnama membuat bintang-bintang memiliki kawan untuk menerangi langit malam meski bulan hanya meminjam cahaya matahari. Ahsan menatap takjub kebesaran Tuhan malam itu yang membuatnya ingin bercanda lama bersama langit kelam yang terang. Ahsan berdiri di pinggir jendela kamarnya yang lampunya sengaja ia padamkan ketika kemudian  handphonenya bergetar. 
"San, ini nomer Hasna, volunteer (relawan) yang akan bergabung dengan kita. Besok, tolong temui dia di stasiun jam 14.30. Perkenalkan dia dengan adik-adik dan kegiatan kita ya. I count on you, Bro. Thank you (Aku mengandalkanmu, terima kasih)". Ahsan memandangi pesan whatsapp dari Raka, koordinator mengajar di kelas bantaran rel kereta dan menyimpan kontak bernama Hasna itu. Iseng Ahsan membuka kontak itu di whatsapp ketika ia melihat seorang perempuan tersenyum manis bersama dua orang anak kecil di foto profilnya. Senyuman itu terlihat lepas dan posenya pun terlihat alami. Bibir Ahsan otomatis ikut membentuk raut senyum melihatnya. "Semoga volunteer perempuan kali ini tidak akan bermasalah seperti sebelumnya," ucap Ahsan dalam hati. Ahsan punya alasan berharap seperti itu, dia pernah mengizinkan dua cewek adik kelasnya untuk ikut menjadi volunteer selama satu hari mendampingi Ahsan, tapi hal itu justru membawa pengaruh yang kurang baik bagi adik-adik kecil di bantaran rel yang diajarnya. Kedua cewek adik kelasnya itu tidak terbiasa dengan kondisi di bantaran rel yang serba terbatas sehingga kehadiran mereka justru menyusahkan adik-adik yang belajar disana sehingga tidak bisa berkonsentrasi seperti biasa. Beberapa hari setelahnya, Ahsan baru tahu bahwa motif adik kelasnya ikut hanya ingin menarik perhatian Ahsan saja. Ahsan kembali memandangi blue moon dengan senyumnya kemudian kembali melihat ke foto profil perempuan bernama Hasna itu lalu menutupnya. Entah kenapa hatinya optimis dan mempercayai kesungguhan dan ketulusan Hasna, perempuan pemilik senyum lepas itu.
Di tempat lain, Hasna terlihat juga sedang asyik bercanda dengan blue moon dan bintang-bintang dari balik jendela kamarnya di lantai 2. Bibirnya bergantian menyunggingkan senyum dan tawa. Ada kalanya, tangannya menggoreskan kata demi kata bersama tinta bolpoinnya. 
"Ada yang bilang blue moon mencerminkan penghianatan purnama kepada siklus seharusnya dimana jika biasanya purnama hanya sekali muncul dalam satu bulan, tapi blue moon muncul sebagai purnama kedua pada bulan yang sama. Namun, bagi aku penyuka bulan purnama, blue moon adalah even istimewa dimana bulan purnama memiliki kawan di bulan yang sama," tulis Hasna sambil lirih mengucapkannya. Blue moon malam itu seolah mengingatkan Hasna bahwa meski mungkin ada banyak bulan purnama tak berkawan di tiap bulannya, akan tiba masanya purnama kedua akan muncul di bulan yang sama. Sebuah analogi yang membangkitkan semangat Hasna tentang teman hidup yang masih tak mampu Hasna lihat tapi selalu ditunggunya. Beberapa tahun ini, Hasna tak pernah berkawan seperti purnama yang tak punya kawan sesamanya di bulan yang sama. Namun Hasna percaya, akan tiba masanya blue moon akan muncul, Hasna akan menemukan seseorang untuk berkawan dalam komitmen yang Hasna impikan. Dirinya hanya perlu bersabar, tetap bersinar, dan tidak putus asa menanti seorang kawan yang tepat untuknya, teman hidup baginya, seseorang yang tetap dirindukannya di dalam hati.

Blue moon malam itu sangat indah. Membuat mereka bertemu  disana. Pandangan yang dibuai rindu menantikan seseorang untuk mengisi hati mereka. Seseorang yang berusaha untuk ditemukan sekaligus selalu dinanti. Seseorang yang belum menjelma bahkan meski hanya dalam nama. Mereka hanya tersenyum memandangi makhluk malam yang indah diterangi sinar makhluk siang bernama matahari itu. Pandangan mereka beradu meski waktu masih menjaga mereka untuk bisa bertemu. Pandangan Ahsan dan Hasna. "Apa aku dan kamu sedang memandang bulan yang sama, seseorang tak bernama? Aku menunggumu. Semoga saat blue moon selanjutnya berbagi indahnya, aku dan kamu bisa melihatnya bersama, kita duduk bersebelahan, tersenyum bersama dan blue moon gantian memandangi kita yang saling berpandangan tanpa lagi menitipkan rindu kepadanya".

Keesokan harinya, Ahsan baru keluar dari kelasnya ketika seseorang menepuk bahunya. "Buru-buru amat, Bro". Terlihat Ardi berdiri menyejajarinya. 
"Iya nich, mau pulang dulu, kan nanti sore ada jadual ngajar di kelas bantaran rel," jawab Ahsan sambil tersenyum lebar.
"Oh iya, ini hari Sabtu ya. Btw, loe udah tahu kan San, teman-teman pada ga bisa nanti sore?"
Ahsan menganggukkan kepalanya. "Iya, Raka kemarin nitip kelas ke gue, katanya ada volunteer yang mau gabung ngajar disana. Gue diminta sekalian menyambut dia sore ini mewakili dia sebagai koordinator". Ardi menganggukkan kepalanya. "Loe tuh emang cowok paket komplit ya, San, pantes aja cewek-cewek pada ngefans ke loe. Ini ada titipan kado dan surat dari beberapa fans loe," ujar Ardi sambil menyerahkan sebuah kantong plastik kepada Ahsan dan tertawa ngakak. Ahsan menerimanya dengan ekspresi bertanya-tanya. "Aku cuma menyampaikan, selanjutnya kamu yang memutuskan,"sambung Ardi dibalas Ahsan dengan anggukan sembari tertawa pasrah. Mereka berdua pun berpisah jalan. Ini memang bukan kali pertama Ahsan menerima hal-hal yang semacam itu. Ahsan tidak keberatan, seperti yang sudah-sudah ia dengan santai dan sabar membalas dengan baik surat-surat untuknya dari cewek-cewek di kampusnya, mulai dari surat pernyataan cinta, rasa kagum, atau bahkan surat iseng dan tak jelas maksudnya. Begitu pun dengan kado-kado yang diterimanya. Ahsan dengan sabar mengembalikan kado-kado itu kepada pemiliknya, meski sebagian dari mereka menolak kadonya dikembalikan sehingga Ahsan meminta izin kepada mereka untuk memberikan kado itu ke adik-adik di bantaran rel atau jika berupa makanan, ia juga membagikannya kepada teman-temannya di kampus atau organisasi. Ahsan berusaha menghargai mereka sebisa mungkin ia bisa lakukan. Namun, dari sekian banyak perempuan itu, tak satupun diantaranya menempati ruang hatinya. Ahsan seolah menikmati kesendiriannya dengan segudang aktivitasnya. Ahsan pun tak mau memberi harapan kepada satu perempuan pun tentang dirinya. "Semua akan indah pada waktunya dan aku akan berjuang saat waktu itu telah tiba," kalimat itu yang selalu Ahsan pegang untuk dirinya sendiri. 10 menit kemudian Ahsan sudah duduk manis di dalam mobil jenis sport miliknya dan ia pun bergegas pulang.
Waktu menunjukkan pukul 02.00 siang saat Hasna keluar dari kereta rel listrik (KRL). Kantor NGO tempat Hasna bekerja menugasi dia ikut menjadi volunteer (relawan) bekerja sama dengan salah satu organisasi yang bergerak di bidang pendidikan anak marjinal, salah satunya anak-anak yang hidup di bantaran rel setiap hari Rabu dan Sabtu. Selain karena tugas kantor, Hasna memang tertarik berinteraksi dengan anak-anak kecil dan belajar serta bermain bersama mereka. Hasna sudah menghubungi koordinator organisasi tersebut dan Hasna diminta menunggu di pintu keluar stasiun KRL yang berada tak jauh dari kelas mereka jam 14.30. Hasna sedang asyik mengamati kondisi pemukiman di dekat stasiun itu ketika ada yang memanggil namanya. "Mbak Hasna...". 
Seorang laki-laki asing berdiri beberapa langkah di depannya sambil tersenyum.
"Aku Ahsan, teman Raka yang mengajar di kelas bantaran rel. Maaf agak terlambat, jalanan lumayan macet tadi," ujarnya sambil melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 14.35.
Hasna tersenyum, "Tidak apa-apa, aku juga baru datang".
Ahsan dan Hasna pun berjalan beriringan. Obrolan perkenalan mereka pun berlanjut tentang siapa mereka masing-masing. Ahsan juga menjelaskan tentang gambaran kelas yang akan mereka ajar. 
"Oh iya, Ahsan, panggil aku Hasna saja," pinta Hasna sambil tersenyum.
"Memang tidak apa-apa?" balas Ahsan bertanya balik.
Hasna mengangguk." Meski aku lebih tua dari kamu, tapi aku ga ingin ada jarak antara aku dan kamu juga teman-teman kamu. Jadi tolong jangan sungkan ke aku. Di tempat aku bekerja, orang terbiasa memanggil namaku baik itu senior maupun junior aku," jelas Hasna sambil tersenyum lebih lebar memandang kearah Ahsan.
Ahsan balas memandangi Hasna sejenak dengan tersenyum makin lebar. "Oke, deal Mbak Has ups Hasna maksudnya. Untuk pertama kalinya, tawa pun pecah diantara Ahsan dan Hasna. 
Beberapa menit kemudian, setelah melewati beberapa jalan tikus, Ahsan dan Hasna pun tiba di sebuah bangunan dari kayu berukuran 5 meter × 5 meter yang difungsikan sebagai kelas. Di depan kelas terpampang sebuah tulisan dari kertas tempel "Let's be brave to have a dream". Kemudian ada tulisan berbahasa indonesia di bawahnya "(Ayo berani memiliki mimpi)". Terlihat beberapa anak kecil usia 7-12 tahun keluar menyambut kedatangan Ahsan dengan ceria dan mencium tangan Ahsan. "Mana Kak Raka dan kakak yang lainnya, Kak? Kak Ahsan datang sama siapa?" tanya seorang adik diikuti raut penasaran dan sependapat dari adik-adik yang lain.
"Nanti Kak Ahsan akan kenalin ke adik-adik. Sekarang kita sholat Ashar berjamaah dulu yuk, Kak Ahsan yang jadi imamnya. Ayo yang belum wudlu segera ambil wudlu ya".
"Sebelum kelas mulai, kami biasanya sholat Ashar berjamaah dulu, Hasna. Raka memberitahu kamu untuk membawa mukena kan?" ucap Ahsan menoleh kearah Hasna.
Hasna menggelengkan kepalanya tetap tersenyum, "Hmmm sepertinya Raka lupa memberitahu tentang ini ke aku. Tapi, kebetulan aku sedang berhalangan sholat, San. Pertemuan selanjutnya aku bakal bawa mukena biar bisa sholat bareng".
Ahsan mengangguk sambil tersenyum. "Kalau begitu aku tinggal ambil wudlu dulu, ya Na. Kamu duduk saja dulu di dalam kelas," ujar Ahsan menyilahkan dibalas Hasna dengan anggukan kepalanya.
Hasna melepas sepatu ketsnya dan duduk di bagian belakang kelas yang ada disebelah timur.
Di ruangan kelas itu tak ada bangku, hanya beberapa tikar terhampar rapi disana. Terlihat beberapa meja belajar lipat tersandar di tepi kelas itu. Beberapa sajadah tersusun rapi, beberapa adik laki-laki mengambil tempat di depan dan adik-adik perempuan mengambil tempat di belakang. Sesekali adik-adik itu melihati Hasna dan Hasna pun tersenyum lebar dan ramah kearah mereka meski dengan sedikit rasa canggung. Adik-adik itupun balas tersenyum padanya.
Hasna membuka sebuah lemari yang berisi buku diktat belajar bahasa inggris dan membacanya ketika ia melihat Ahsan masuk dan lagi-lagi tersenyum kearahnya. "Aku tinggal sholat dulu, Hasna," ucapnya dibalas anggukan Hasna sembari tersenyum.
Hasna sesekali mengamati Ahsan dan adik-adik yang sedang sholat berjamaah itu dengan tersenyum. Sudah lama dia tidak pernah melihat pemandangan semacam itu dan ia merindukannya. 
Terdengar suara Ahsan mengucapkan salam tanda selesainya sholat Ashar, adik laki-laki pun berhambur mencium tangan Ahsan. Hasna hanya tertawa kecil melihatinya.
"Oh iya, adik-adik yang perempuan, ayo salamin tangan kakak perempuan yang duduk di belakang ya," ujar Ahsan memberitahu adik-adik perempuan yang sedang asyik melipat mukena. Ahsan dan Hasna pun saling bertukar pandang dan senyuman sejenak. Dan tanpa perlu waktu lama, Hasna pun "diserbu" oleh beberapa adik perempuan yang ingin mencium tangannya. Hasna pun hanya tersenyum lebar, ia sambut tangan-tangan kecil itu dengan mengusap lembut kepala mereka. Ahsan pun ikut tersenyum lebar melihatnya.
Adik-adik itu pun mulai membuka meja belajar lipat masing-masing dan Ahsan mulai membersihkan tulisan di white board sisa mereka belajar hari rabu sebelumnya. Ahsan memanggil Hasna yang masih duduk di belakang untuk maju berdiri di sebelahnya.
"Adik-adik, hari ini Kak Raka dan kakak yang lainnya tidak bisa datang karena ada kesibukan terkait kuliah. Jadi hari ini belajar bahasa inggrisnya sama Kak Ahsan. Tapi Kak Ahsan nggak sendirian. Perkenalkan ini Kak Hasna yang akan ikut mengajar disini," ujar Ahsan sambil tersenyum ramah melirik kearah Hasna. "Ayo ucapin salam perkenalan," sambung Ahsan bersemangat.
"Good afternoon, Kak Hasna...," ucap adik-adik di kelas itu penuh semangat dan senyuman ramah.
"Good afternoon. Nice to meet you. Senang bertemu kalian semua, adik-adik," balas Hasna dengan senyum mengembang dan wajah riang.
"Welcome to our class, Kak Hasna. Thank you for joining our class. I hope you'll enjoy every moment here. Selamat datang di kelas kami, Kak Hasna. Terima kasih sudah bergabung dengan kelas ini. Semoga Kak Hasna menikmati kebersamaan disini," sambung Ahsan sambil tersenyum lebar.
"Thank you, Kak Ahsan," balas Hasna sembari tertawa kecil. 
Terlihat seorang adik usia sekitar 11 tahun mengangkat jarinya.
"Ya Ridwan," sahut Ahsan.
"Jadi Kak Hasna akan mengajar hari ini saja seperti teman cewek Kak Ahsan sebelumnya atau berlanjut seterusnya, Kak Ahsan?"
Ahsan tersenyum merasa geli mengingat insiden volunteer perempuan sebelumnya. Ahsan melirik Hasna memintanya untuk menjawab pertanyaan itu.
"Insyaa Allah Kak Hasna bakal ikut menemani adik-adik disini belajar sampai beberapa bulan kedepan," jawab Hasna dengan ramah.
Terlihat seseorang yang lain mengangkat tangannya sambil tersenyum tersipu.
"Ada apa Putri?" jawab Ahsan ke adik perempuan usia sekitar 10 tahun itu.
"Emmmmm... emmm.. apa Kak Hasna ini  ceweknya Kak Ahsan?" tanya adik bernama Putri itu agak ragu dan salah tingkah. Kontan saja pertanyaannya itu membuat teman-teman di kelas ribut dan tertawa. "Cieee Putri cemburu Kak Ahsan". Spontan Putri sambil malu-malu langsung melakukan pembelaan diri ke teman-temannya yang menggodanya.
Sementara Ahsan dan Hasna terlihat saling berpandangan. Ahsan terlihat tersenyum dan sedikit salah tingkah sedangkan Hasna terlihat sedikit bengong tapi balas tertawa kecil. Ahsan pun ikut tertawa bersama Hasna menanggapi pertanyaan lucu itu.
"Kak Ahsan sama Kak Hasna itu teman, sama seperti dengan Kak Raka, Kak Ardi dan kakak-kakak yang lain," jawab Ahsan kemudian sambil menenangkan kelas yang sempat ribut. Hasna yang berdiri di sebelah Ahsan pun ikut menganggukkan kepalanya. 
Ahsan memulai membagikan selembar kertas latihan buat adik-adik disana. Kelas itu dibagi menjadi tiga kelompok sesuai kemampuan adik-adik disana. Ahsan terlihat menjelaskan materi ke ketiga kelompok itu sementara Hasna membantu Ahsan, ia berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lain menanyai kesulitan adik-adiknya lebih dekat.
Setelah adik-adik itu selesai menjawab, Ahsan mengoreksi sementara Hasna diminta Ahsan membantu untuk menangani adik-adiknya setor hafalan bahasa inggris tentang nama-nama buah dan cara mengejanya.
Dengan penuh semangat Hasna melakukan tugasnya. Sesekali ia pun tertawa bersama adik-adik itu yang kadang suka lupa dengan hafalannya atau salah mengeja. Ahsan sesekali mengamati Hasna yang bercanda tawa dengan adik-adik yang baru dikenalnya itu. Senyuman dan tawa lepas Hasna itu membuatnya ikut tersenyum lebar dan Ahsan menyukainya.
Ahsan kemudian membahas jawaban latihan soal yang diberikan secara bergantian untuk ketiga kelompok itu, sementara Hasna lagi-lagi bertindak membantu Ahsan layaknya asisten. 
Waktu di arloji Ahsan menunjukkan pukul 17.15 ketika belajar bahasa inggris hari itu akhirnya selesai. Adik-adik itu berhamburan pulang setelah mencium tangan Ahsan dan Hasna.
Ahsan bergegas merapikan buku dan kamus bahasa inggrisnya, sementara Hasna pun memutuskan untuk membantu menghapus papan tulis sembari menunggu Ahsan. Ahsan kemudian melipat tikar bersama Hasna. Setelah semuanya rapi, mereka pun beranjak pulang menyusuri jalan yang sama dengan ketika mereka datang tadi.
Beberapa jalanan di gang terlihat sedikit tergenang. Hujan sempat mengguyur daerah itu ketika mereka sedang berada di tengah pelajaran.
Ahsan menoleh ke Hasna. Perempuan itu terlihat santai  menikmati perjalanannya sambil mengamati pemukiman yang super rapat di bantaran rel itu meski sesekali dia terlihat berjingkat menghindari genangan air agar sepatunya tidak basah.
"Kamu tidak apa-apa dengan kondisi di sekitar kelas yang seperti ini, kalo hujan becek kalo panas berdebu?" tanya Ahsan.
Hasna balas menoleh ke Ahsan sambil tersenyum, ia menggelengkan kepalanya. "Gapapa, San. Memang seperti ini fenomena di daerah perkotaan kita yang masih menjadi PeEr bersama buat dicari solusinya". 
Ahsan balas tersenyum lebar sambil mengangguk. "Kamu nggak risih dengan semua ketebatasan yang ada di lingkungan kelas kita, Na?" tanya Ahsan lagi. Ahsan seolah ingin meyakinkan hatinya yang memercayai ketulusan perempuan itu.
Hasna tertawa kecil lagi-lagi menggelengkan kepalanya. "Bukannya itu salah satu tantangan voluntarisme, San. Kita ingin mereka yang hidup dengan lingkungan penuh keterbatasan memiliki keberanian untuk menjadi lebih baik". Ahsan pun mengangguk setuju. Lagi-lagi Ahsan dan Hasna tertawa bersama.
Setelah sampai di stasiun, Ahsan dan Hasna berpisah. Mereka naik KRL yang berlainan arah.
"Sampai jumpa hari Rabu, Hasna," ujar Ahsan sambil tersenyum lebar.
"Insyaa Allah, San. Sampai bertemu lagi, balas Hasna tersenyum lebih lebar. Setelah saling berbalas salam, Hasna bergegas berlari buru-buru masuk kedalam KRL yang baru datang sementara Ahsan memandangi Hasna yang berlarian itu sambil menunggu kereta yang dinaiki Hasna berangkat dan ia bisa menyeberang di jalur KRL yang akan dinaikinya.

PART 3 Bertemu Lagi
Siang itu, Ahsan sedang asyik menikmati makan siangnya bersama dua teman laki-lakinya di kantin fakultasnya. Mereka larut dalam canda tawa ala ala cowok ketika Ahsan tiba-tiba melihat sosok Hasna masuk ke kantin, mengedarkan pandangannya mencari tempat duduk.  
"Hasna... kenapa dia bisa ada disini?" tanya Ahsan dalam hati tak habis pikir karena fakultas Ahsan dan Hasna memang berbeda.
Ahsan menghampiri Hasna.
"Hasnaaa... kok kamu bisa ada disini?"
Sapaan Ahsan yang tiba-tiba sudah berada di hadapan Hasna dengan senyum ramahnya pun membuat Hasna sedikit tertegun.
"Ahsan..., " ujar Hasna balas tersenyum, "iya kebetulan ada penelitian yang aku cari di perpustakaan fakultas ekonomi". 
"Kamu mau makan siang ya, kalau kamu nggak keberatan, gabung semeja sama aku dan teman-teman yuk," lanjut Ahsan sambil menunjuk kearah tempat duduk dia dan teman-temannya. Kantin fakultas ekonomi terlihat sangat rame siang itu, maklum alarm perut makan siang mahasiwa, pegawai, dan pengunjung fakultas  terjadual di jam yang sama. Hasna menoleh kearah yang ditunjuk oleh Ahsan. Terlihat ada dua mahasiswa laki-laki sebaya Ahsan di tempat duduk yang diperuntukkan buat empat orang itu. Untuk sejenak, Hasna bingung menjawab, ia sekali lagi mengedarkan pandangannya ke sekitar, tetap tak ia temukan satu tempat pun kosong.
"Hasnaaa... ," panggil Ahsan lagi membuat Hasna menoleh pada laki-laki yang baru dijumpainya sekali beberapa hari sebelumnya itu. Hasna tersenyum dan mengangguk, ia pun menerima ajakan Ahsan buat makan semeja siang itu. Hasna berjalan mensejajari Ahsan ketika Hasna merasa ada beberapa pasang mata yang memandang kepadanya dan kebanyakan diantaranya adalah perempuan. 
"Apa ada yang salah ya denganku, ya? Atau ini hanya perasaanku saja?" tanya Hasna dalam hati. 
Hasna berusaha tidak terlalu memikirkannya, sesekali ia beranikan diri balas menatap mereka yang memandanginya. Terlihat perempuan itu sedang berbisik dengan temannya sambil memandangi Hasna dengan aneh kemudian bergantian melihati Ahsan dengan binar kekaguman.
"Apa gara-gara aku jalan bersama Ahsan?" tanya Hasna lagi sambil menunduk ketika suara Ahsan menyadarkan Hasna dari monolognya.
"Kita sudah sampai, Hasna. Ayo duduk," terlihat Ahsan sedang tersenyum ramah menyilahkan Hasna duduk di sebelahnya.
"Terima kasih".
Ahsan langsung mengenalkan Hasna kepada dua temannya itu. 
"Kamu mau pesan apa, Hasna. Biar aku pesanin," ujar Ahsan lagi menawarkan ke Hasna. 
Hasna tersenyum lebar. "Aku bisa pesan sendiri, San," jawabnya.
"Saat ini aku adalah tuan rumah disini dan kamu adalah tamu, sudah sewajarnya aku membantumu, Na".
Hasna menggelengkan kepalanya sambil mengucapkan terima kasih. "Laki-laki yang cukup perhatian," batin Hasna sembari melirik sejenak ke Ahsan kemudian lagi-lagi tersenyum. Hasna beranjak mengitari stand makanan yang ada di kantin itu.
Ahsan masih memandangi punggung Hasna ketika suara temannya mengagetkannya.
"Ehm ehm... emang siapa sih dia, Bro.. sampe segitunya loe perhatiin dia?"
Ahsan menatap kedua temannya sambil tersenyum. "Volunteer baru yang gabung di project bantaran rel. Dia lagi ambil S2 di jurusan perencanaan perkotaan, tapi dia peduli ke anak kecil. Perasaan biasa aja perhatian aku sama dia, emang ada yang aneh?"
"Loe selalu ramah sih sama semua cewek, tapi gue ngerasanya perhatian loe ke Hasna ga seperti biasa deh. Jangan-jangan selera loe emang cewek yang lebih tua dari loe ya?" tanya teman Ahsan lagi sambil setengah ribut menggoda Ahsan. Ahsan menggelengkan kepalanya pelan sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, apalagi Hasna pun sudah datang. Ahsan tidak merasa bahwa perhatiannya ke Hasna berlebihan, tapi yang Ahsan tahu dia ingin dan suka melakukannya buat Hasna.
Lima menit kemudian, pesanan makanan Hasna pun datang. Kedua teman Ahsan terlihat cepat-cepat menghabiskan makanan dan minuman mereka, hal itu berlawanan dengan Ahsan yang justru memperlambat kecepatan makannya untuk menemani Hasna. 
"Kita duluan ya, San. Mau sholat di musalla," ujar Ardi salah satu teman Ahsan. Tanpa membuang waktu, keduanya langsung berdiri dan mengucap salam ke Ahsan dan Hasna sambil tersenyum. Sementara itu Ahsan hanya bisa bengong sejenak, merasa dikerjain oleh kedua temannya itu, sedangkan Hasna hanya bisa mengangguk dan tersenyum lebar sambil merasa sedikit canggung karena tiba-tiba ditinggalkan semeja berdua dengan Ahsan.
Kini tersisa Ahsan dan Hasna yang duduk berhadapan di meja yang sama. Sejenak mereka membisu tanpa kata, Hasna berkonsentrasi penuh menghabiskan makanannya.
"Habis makan, kamu mau ke perpus atau udah mau pulang, Na?" tanya Ahsan akhirnya memecah kesunyian. 
"Aku baru sampai, San. Berhubung perut sudah laper, jadinya ke kantin dulu baru ke perpus, he he," jawab Hasna sambil tersenyum lebar mencairkan rasa canggungnya. 
Hasna memberitahu Ahsan bahwa ini baru pertama kali dia ingin meminjam atau mencari referensi disana, makanya Hasna serba  meraba-raba kondisi dan lokasi di fakultas tempat Ahsan belajar itu. 
"Kalo kamu ga keberatan, aku bersedia menemani kamu ke perpus siapa tahu ada yang bisa aku bantu," Ahsan menawarkan bantuannya kepada Hasna.
"Emang kamu ga ada kuliah habis ini? Aku ga mau mengganggu aktivitas kamu, San," jawab Hasna.
"Aku senang kalo bisa membantu kamu kok, Na. Aku sama sekali tidak merasa terganggu dan direpotkan. Lagi pula aku ga ada kuliah lagi," sambung Ahsan dengan tersenyum tetap dengan tawarannya. Hasna pun tersenyum, "Kalau memang kamu bersedia, aku terima tawaran kamu. Hmmm lagi pula aku merasa ga berhak melarang kamu berbuat baik," jawab Hasna riang. Hasna terlihat tersenyum super lebar membuat Ahsan ikut tertawa lebar. Senyuman lepas  Hasna seperti medan magnit yang membuat Ahsan ingin ikut tersenyum saat melihatnya. 
Beberapa menit kemudian, Hasna sudah jalan berdua di sebelah Ahsan yang hari itu menjadi pemandu (guide) gratisan buat Hasna menuju ke perpustakaan fakultas. Suasana diantaranya sudah cair sehingga obrolan diantara mereka mengalir dengan sendirinya dengan tema yang sangat acak. Meskipun demikian, lagi-lagi Hasna tidak bisa cuek melihat pandangan beberapa perempuan yang berpapasan dengan mereka, pandangan yang sama ketika Hasna sedang di kantin sebelumnya.
"San... yakin gapapa kita jalan berdua seperti ini?" tanya Hasna tiba-tiba membuat Ahsan menghentikan langkahnya dan menoleh kepadanya dengan raut bertanya-tanya.
Hasna tersenyum lebar, "Dari tadi di kantin dan juga sekarang saat kita berdua, aku melihat banyak mata, kebanyakan perempuan yang memerhatikan ketika aku jalan bareng kamu. Sepertinya aku sedang berjalan dengan salah satu laki-laki yang diidolakan di fakultas ini".
Ahsan balas tersenyum, "Nggak usah terlalu dipikirkan, Na. Mungkin mereka cuma penasaran siapa kamu". 
"Lebih tepatnya penasaran apa hubungan aku dengan kamu kali, San. Siapa perempuan biasa yang dengan santai berjalan dengan laki-laki spesial ini, he he," jawab Hasna santai. Ahsan dan Hasna lagi-lagi saling berbalas senyum. 
"Hmmm... so Ahsan, as one of popular guys here, do you have a special girl friend or some special girl friends maybe? (Ind: Hmmm..., jadi Ahsan, sebagai salah satu cowok populer disini, apa kamu punya seorang teman cewek istimewa atau mungkin beberapa teman cewek istimewa?)" tanya Hasna iseng menggoda Ahsan sambil tertawa kecil. Ahsan balas tertawa entah kenapa ia selalu bersemangat membalas setiap senyuman dan tawa Hasna untuknya. Ahsan kemudian menggelengkan kepalanya saat mata keduanya beradu sejenak. 
"Aku laki-laki yang belum siap berkomitmen dengan perempuan, Hasna. Komitmen buat aku adalah sesuatu yang jauh diawang-awang," jawab Ahsan ringan. Hasna terdiam tetap menatap Ahsan sejenak. Kalimat Ahsan mengingatkan Hasna pada beberapa laki-laki yang pernah dikenalnya, tentang ketakutan mereka akan komitmen, meskipun mungkin definisi komitmen menurut Ahsan dan dirinya sepertinya berbeda. Ahsan dengan usianya yang masih relatif muda darinya mungkin menganggap sekedar pacaran adalah sebuah komitmen, sementara buat Hasna komitmen adalah menjalani sebuah hubungan dengan tujuan yang satu, menuju sebuah ikatan sakral bernama pernikahan terlepas apakah hubungan itu nantinya akan berujung di pernikahan atau sebaliknya. 
"Hasna...," panggil Ahsan terlihat bingung dan sedikit salah tingkah melihat Hasna yang sejenak diam terlihat melamun menatapnya.
Hasna tersadar dan buru-buru tersenyum lebar kepada Ahsan, "Maaf, San tiba-tiba aku merasa familiar dengan kalimat kamu tadi, he he".
"Apa ada yang salah dengan kalimatku?" tanya Ahsan penasaran.
Hasna menggelengkan kepalanya masih dengan senyumnya kemudian ia mengalihkan obrolan bertanya-tanya tentang tempat-tempat yang mereka lalui. Sejenak, Ahsan beberapa kali memandangi Hasna, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa Hasna baik-baik saja, sambil menjawab pertanyaan demi pertanyaan Hasna dengan semangat.
Tak berapa lama kemudian, mereka akhirnya sampai di perpus. Dengan sigap Ahsan membantu Hasna terkait prosedur administrasi di perpustakaan fakultasnya itu. 
"Oh iya, Na... aku mau sholat dulu di mushalla atas, apa kamu juga mau sholat?" tanya Ahsan sambil tersenyum lebar ke Hasna. Hasna pun mengangguk dan mengikuti Ahsan ke ruang sholat.
Ruang sholat terlihat sepi, hanya beberapa orang terlihat baru menyelesaikan sholatnya. 
Hasna baru menyelesaikan wudlunya dan mengeluarkan mukena dari tasnya ketika Ahsan yang ada di depannya menoleh padanya. "Kita sholat berjamaah yuk, Na," ujarnya sambil tersenyum. Hasna pun menganggukkan kepalanya dan segera memasang mukenanya, tak ingin membuat Ahsan lebih lama menunggunya. Ini kali pertama Hasna diajak sholat berjamaah berdua oleh seorang laki-laki, itu sebabnya Hasna sempat tertegun saat Ahsan mengatakannya. Seusai sholat, keduanya pun langsung mencari referensi yang Hasna cari. Ahsan dengan semangat membantu dan setia menemani Hasna. 
Waktu menunjukkan pukul 15.30 ketika Ahsan dan Hasna keluar dari perpustakaan.
"Terima kasih banyak ya San sudah baik banget menemani aku di perpus hari ini. Semoga menjadi amal baik buat kamu, ya, " ucap Hasna tersenyum lebar. 
"Sama-sama, Na. Aamiin". Ahsan dan Hasna berpisah, Ahsan menuju tempat parkir mobilnya, sedangkan Hasna bergegas berjalan ke pintu keluar. 
Hasna sedang berjalan kaki menuju stasiun kereta terdekat ketika sebuah mobil berhenti di sebelahnya.
"Hasna...,  mau bareng nggak? Kamu mau kemana?" Suara Ahsan itupun menghentikan langkah Hasna.
"Terima kasih banyak, San. Aku mau ke stasiun dekat sini, jadi aku jalan saja. Itung-itung mengurangi emisi gas karbon akibat kendaraan bermotor he he (catatan: emisi gas karbon adalah semacam polusi udara akibat produksi karbon dioksida bisa dari bahan bakar kendaraan bermotor, manusia, asap pabrik, dll)," tolak Hasna halus sambil tertawa kecil. Ahsan tergelak mendengar jawaban Hasna itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Hmmm aku sependapat dengan ide kamu itu, Na. Tapi emisi karbon yang kamu keluarkan saat jalan akan lebih banyak sepertinya daripada kalau kamu setuju bareng aku naik mobil. Satu mobil satu emisi karbon kendaraan bermotor kan berapa pun penumpangnya," ujar Ahsan sambil tersenyum lebar mencoba berargumen dengan Hasna.
Hasna terlihat berpikir sejenak. Kemudian balas tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya. "Kamu benar...". Hasna pun bergegas masuk ke mobil Ahsan dan duduk di sebelah Ahsan. Terlihat Ahsan puas dan berwajah riang karena kali ini dirinya memenangkan adu pendapat dengan Hasna. 
"Oh iya, Na. Tentang komitmen yang tadi kita obrolkan menuju perpus, aku minta maaf kalau kalimatku ada yang tidak berkenan atau mengganggu hati kamu," ujar Ahsan langsung membuka percakapan. Hasna menoleh ke Ahsan dengan sedikit tertegun karena tidak menyangka Ahsan masih mengingat-ingat obrolan itu. 
"Ga ada yang perlu dimaafkan, San. Kalimat kamu tadi cuma mengingatkan aku tentang beberapa laki-laki yang sempat dekat dan takut memiliki komitmen. Tapi aku sadar, arti komitmen buat kamu dan buat aku pasti beda, kamu masih terlalu muda". Hasna kemudian menjelaskan arti komitmen buat dia, begitupun Ahsan, dan arti tersebut menurut keduanya memang sesuai dugaan Hasna sebelumnya saat mereka sedang menuju perpustakaan. Apa yang dipikirkan Ahsan berbeda dengan apa yang dipikirkan Hasna tentang komitmen.
Ahsan sengaja mengemudikan mobilnya agak pelan karena memang jarak stasiun yang dituju Hasna tidak terlalu jauh. 
Beberapa kali, Ahsan melirik Hasna dari balik kaca spionnya. Hasna terlihat tersenyum lebar kepadanya.
"Aku yakin, kamu pasti akan menemukan laki-laki yang berani berkomitmen menuju pernikahan dengan kamu, Hasna. Tuhan menyiapkan laki-laki untuk kamu tunggu dengan sabar, Na," lanjut Ahsan sambil tersenyum lebih lebar membalas Hasna. Hasna menganggukkan kepalanya sambil mengamini kalimat Ahsan itu.
"Seperti saat blue moon menemani purnama agar tidak sendirian di bulan yang sama, aku yakin di saat yang tepat nanti seseorang istimewa itu akan datang menemani aku," sambung Hasna terdengar optimis. Ahsan menoleh sejenak kepada Hasna. Ia tertegun saat Hasna mengaitkan obrolan mereka dengan blue moon, salah satu fenomena alam yang sangat  disukai dan punya arti istimewa bagi Ahsan.
"Tapi pastinya bukan tentang blue moon yang datang sekali kemudian perlu waktu panjang untuk bisa melihatnya lagi kan Na. Cuma saat momen satu blue moon itu hadir kan?" tanya Ahsan setengah menggoda Hasna.
Hasna pun tertawa lepas sambil mengangguk. "Intinya bersabar menunggu waktu yang tepat itu tiba, he he. Mungkin waktu itu sangat langka di hidup seperti hadirnya blue moon, tapi waktu itu pasti tiba".
Ahsan dan Hasna kembali berbagi senyum sambil menganggukkan kepalanya tanda mereka sependapat.
"Meski kamu lebih muda dari aku, tapi ada kalanya aku merasa  kita tidak berjarak secara pemikiran. Kamu bisa mengimbangi aku saat kita ngobrol begini," ucap Hasna sambil tertawa kecil. 
"Kebetulan lagi kambuh sok bijaknya, Na," jawab Ahsan balas tertawa lepas. 
Tanpa sadar, mobil Ahsan sudah berada di dekat stasiun yang Hasna tuju.
Setelah mengucapkan terima kasih, Hasna bergegas keluar dari mobil Ahsan.
"Sampai jumpa hari Rabu, Hasna," ujar Ahsan. Hasna mengangguk dan mereka pun saling berbalas senyum. Setelah saling berbalas salam, Hasna pun bergegas berlari masuk ke dalam stasiun karena kereta yang akan dinaikinya akan segera datang.
Dari kejauhan Ahsan terlihat mengamati gerak gerik Hasna hingga bayangan perempuan itu menghilang. Tiba-tiba ucapan Hasna tentang mengurangi emisi karbon itu kembali muncul di pikirannya. Alasan Hasna itu masuk akal dan Ahsan juga sudah membaca dan mendengar tentang ide perlunya pengurangan emisi karbon itu baik di internet, media massa, dan dari beberapa dosen di kampusnya. Namun, karena Ahsan sudah terbiasa naik kendaraan bermotor pribadi kemana-mana, selama ini dia membuat pengecualian buat dirinya. 
Ahsan tersenyum menertawai dirinya sendiri. Ia bertekad akan lebih banyak naik alat  tranportasi umum mulai besok untuk mengurangi emisi karbon kendaraan bermotor. Bukankah kebaikan dan hal positif dimulai dari hal-hal yang kecil yang diri sendiri lakukan?

Hadirmu membuatku mengingat hal-hal yang terlupa. Hadirmu mengundang senyum dan tawa semakin akrab denganku. Hadirmu memberi warna yang berbeda... .

Part Setelahnya