Selasa, 27 Oktober 2015

Misi Peri Baik dan Kurcaci Raksasa (Superman) - Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku (AKKDKdA) Part Khusus 4 : Kita Merajut Sederhana (2)

Alur Sebelumnya Kita Merajut Sederhana (1)

Kita Merajut Sederhana (2)
Ara baru saja mengganti bajunya yang basah setelah menerobos hujan, ia sekalian mengambil wudlu karena kebetulan dirinya belum sholat Isya. Selepas menyelesaikan doa-doanya, Ara bergegas hendak bersiap tidur saat tiba-tiba ia teringat sebuah obrolan lama dengan Rizzar tentang malam jumat dan amalan surat Al Kahfi. Ara urung membuka mukenanya, dia ambil Alquran kecilnya dan i-phonenya, kemudian mulai mengaji ayat demi ayat surat tersebut. Waktu menunjukkan pukul 23.30 ketika Ara menyelesaikan surat Al Kahfinya. Ia buka chatnya dengan Kurcaci Raksasa.
"Sudah sampai rumah belum, Riz?" ketik Ara
Tak ada jawaban dari Rizzar, Ara pun memutuskan untuk bergegas berangkat tidur. "Semoga Allah selalu menjaga kamu dimana pun dan kapan pun, Riz," ujar Ara dalam hati. Tak lupa sebelum tidur, Ara mengirimkan sebuah pesan suara ke Rizzar disertai kalimat pengantar “Kamu mengingatkanku tentang ini. Aku cuma mengirimkan bacaan aku di awal-awal. Apa kamu keberatan membetulkan bacaan aku dari awal hingga akhir, Riz?”
Waktu di i-phone Ara menunjukkan pukul 05.00 pagi saat suara alarm membangunkan Ara. Ara melirik ke i-phonenya sejenak sekaligus mematikan alarm saat ia lihat ada notifikasi atas nama Kurcaci Raksasa.
“Maaf Ra, i-phone aku mati dan baru aku nyalakan. Alhamdulillaah aku sampai dengan selamat dan tidur dengan lumayan nyenyak semalam. Semoga kamu pun demikian.  Selamat beraktivitas, Peri Baik... see you soon. I cann’t wait it (ind: sampai jumpa secepatnya. Sudah tidak sabar untuk itu),” tulis Rizzar diakhiri dengan emotion senyum.
Ara tersenyum membacanya. “Alhamdulillaah, senang membacanya. Semangat buat kita semua, Kurcaci Raksasa. I wish that our journey, our little mission today will make more happiness and positive spirit for me and especially for you (ind: aku berharap bahwa perjalanan kita, misi kecil kita hari ini akan melahirkan lebih banyak kebahagiaan dan semangat positif untukku dan khususnya untukmu),” balas Ara sambil mengakhiri kalimatnya dengan emotion senyum dan semangat.
Rizzar pun membalas dengan memasang emotion tawa lebar. “Soal permintaan kamu tentang bacaan Al Kahfi kamu, tentu saja aku tidak keberatan, tapi tentunya semampuku, Peri Baik. Terima kasih juga karena Peri Baik sudah membuatku ingat akan hal-hal yang kulewatkan beberapa minggu terakhir ini karena kesibukanku”.
Ara kembali mengetik, “It’s okay, Riz, terima kasih banyak ya. Sama-sama Kurcaci Raksasa. Aku senang kita masih bisa saling mengingatkan dalam kebaikan meski kita nyaris tidak pernah berkomunikasi”.
Baik Rizzar dan Ara sama-sama tersenyum di tempat mereka masing-masing. Percakapan mereka di Jumat pagi itu pun berakhir tanpa ada yang mengakhiri, seolah saling memahami.
Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul 11.44 ketika Ara tiba di Stasiun Jakarta Kota. Ara bergegas memarkirkan mobilnya setelah ia memastikan semua barang yang mungkin diperlukan untuk misi dia bersama Rizzar sudah masuk di tas ranselnya. Saat itu Ara berpenampilan casual, hanya menggunakan celana jeans dan kaos serta menambahkan jaket pinknya. Setelah memasang topi di kepalanya dan tak lupa mengenakan masker di wajahnya yang nyaris tanpa make up itu, Ara pun bergegas menuju loket, membeli dua kartu multi trip buat dirinya dan Rizzar. Sambil menunggu Rizzar, Ara bergegas ke musholla stasiun menunggu saat Sholat Zhuhur tiba.
Waktu menunjukkan pukul 13.30 saat ada notifikasi dari Kurcaci Raksasa di i-phone Ara yang sedang menunggu Rizzar sambil menikmati segelas kopi di Starbucks Stasiun Kota.
“Peri Baik, dimana? Aku baru sampai di Stasiun Jakarta Kota, di dekat BNI Kota,” tulis Rizzar.
“Oke, tunggu sebentar, aku segera kesana, Riz. Jangan kemana-mana ya, nanti kamu hilang di stasiun lagi,” balas Ara sambil mengakhiri dengan emotion menjulurkan lidah, menggoda Rizzar.
Beberapa menit kemudian Ara pun menemukan mobil Rizzar dan menghampirinya lalu mengetuk kaca mobil Rizzar. “Selamat siang, Kurcaci Raksasa...,” ujar Ara menyapa Rizzar sambil menurunkan maskernya agar Rizzar bisa melihat senyumannya. Rizzar balas tersenyum, “Peri Baik...., pangling lihat kamu dengan penampilan seperti ini. Ayo masuk dulu ke mobil, Peri...”.
Ara tertawa kecil sambil mengangguk lalu bergegas masuk dan duduk di sebelah Rizzar.
“Masih semangat, kan Kurcaci Raksasa?” tanya Ara membuka maskernya sambil tertawa bersemangat serta seraya menyodorkan segelas coklat dingin ke Rizzar. Rizzar mengangguk sambil meringis dan segera meminum coklat dingin yang disodorkan Ara setelah sebelumnya tak lupa mengucapkan terima kasih. “Memang kita mau kemana sih, Peri Baik?” tanya Rizar lagi dengan raut penasaran.
Ara tertawa lebar melihat kelakuan Rizzar yang kehausan dan dengan super cepat menyeruput coklat dingin itu.” Misi kita hari ini adalah naik commuter line alias KRL ke Bogor kemudian balik lagi kesini, Kurcaci”.
Rizzar melebarkan bola matanya, “Panas-panas begini kita naik KRL, Peri?” Ara mengangguk sambil mengedipkan satu matanya. “Kenapa? Kurcaci Raksasa jangan-jangan takut hitam atau takut gerah ya?” goda Ara. “Belum juga mulai, wajah Kurcaci sudah berkeringat banyak soalnya, ha ha”. Rizzar pun memanyunkan bibirnya sambil kemudian tersenyum ke Ara. “Siapa juga yang takut hitam, tapi serius deh Peri. Siang ini hawanya berasa lumayan panas”.
“Hmmm, jadi Kurcaci Raksasa menyerah nih ceritanya, mau membatalkan misi siang ini?” tanya Ara.
Rizzar menggelengkan kepalanya dengan pasti sembari tertawa lebar. “Nggak lah, Peri Baik, Peri sudah berniat baik untuk mengajak dan menemani Kurcaci siang ini. Lagipula kalau pun harus berpanas-panas ria kan nggak sendiri juga alias ditemani Peri Baik. Jadi tetap berasa adem”.
“Ishh mulai deh nakalnya,” jawab Ara sambil tergelak membuat Rizzar ikut tertular buat tertawa.
“Hmm..., tapi jujur penampilan Peri Baik hari ini benar-benar beda. Sederhana, sudah siap buat menyamar, tapi... tetap cantik kok,” sambung Rizzar lagi.
Ara menggeleng-gelengkan kepalanya karena menganggap Rizzar sedang ngegombal.
“Pastinya, makin jauh dari kriteria perempuan yang ada di bayangan Superman, ya Riz...,” timpal Ara ganti meledek Rizzar.
Rizzar menatap Ara tanpa berucap apa-apa membuat Ara menjadi salah tingkah dan mengalihkan pandangannya kearah lain. “Memangnya penilaian aku tentang perempuan membuat kamu sedih, ya Peri? Memangnya Peri Baik peduli dengan penilaian aku?” tanya Rizzar dengan raut serius.
Ara menoleh kembali kearah Rizzar kemudian tersenyum. “Hal yang wajar saat laki-laki, termasuk kamu tentunya, menyukai keindahan termasuk kecantikan seorang perempuan, Riz. Kalau kamu menanyakan apakah aku peduli dengan penilaian kamu, hmmmm... anggap saja tidak, Riz. Meskipun aku menyisakan sedikit peduli, tapi ada hal  di hati aku yang meyakini bahwa aku percaya menjadi diriku sendiri, apa adanya aku. Buat aku make up adalah alat, tapi berusaha mempercantik hati jauh lebih penting meski menjaga kecantikan fisik pun tidak kalah penting”.
Rizzar tersenyum masih menatap Ara yang masih tetap tersenyum manis di hadapannya itu.
“Kamu mungkin bukan yang tercantik dalam hal fisik yang ada di bayanganku, tapi... hati kamu itu salah satu yang terindah dan mempunyai tempat yang istimewa, tidak tergantikan, di ruang hati aku, Peri...,. ucap Rizzar dalam hati. Rizzar sadar kalimat itu hanya bisa dipendamnya untuk dirinya sendiri.
“Oh ya, bagaimana kalau kita segera memulai misi kita sekarang, Riz? Soalnya kalau keburu sore, KRL bakal penuh dan sangat berdesakan, Riz”. Ucapan Ara itu pun membuyarkan keheningan sejenak diantara mereka. Rizzar mengangguk sambil tersenyum lebar. Setelah memarkir mobilnya dan mengenakan masker dan topi, Rizzar dan Ara pun bergegas masuk menunggu kedatangan KRL jurusan Stasiun Bogor.
“Btw, aku kan Superman, Peri Baik. Harusnya bukan pakai masker wajah seperti ini kalau mau menyamar, melainkan pakai topeng”. Ara tergelak, ”Beneran nih mau pakai topeng ala Superman? Sekalian saja pakai kostumnya, “ goda Ara membuat Rizzar tergelak.
“Nggak mau ah, nanti banyak yang minta foto-foto lagi,” balas Rizzar makin membuat tawa mereka mengembang.
Rizzar dan Ara sedang asyik bercanda ketika KRL jurusan Bogor tiba. Rizzar dan Ara bergegas menyusuri gerbong KRL, mencari tempat duduk untuk mereka. Hingga beberapa stasiun selanjutnya KRL pun masih terlihat lengang, Rizzar dan Ara pun asyik dalam obrolan mereka tentang bermacam manusia di sekitar mereka dan pemandangan di luar yang terlihat dari KRL.
“Kadang ada kalanya, aku itu merasa lelah banget baik di hati maupun pikiran, Riz. Tapi kemudian aku diperlihatkan hal-hal yang sederhana di sekitar yang membuat aku sadar bahwa ternyata masih banyak yang kurang beruntung dibandingkan aku. Salah satunya, lewat apa yang kita lihat di sekitar kita selama di KRL ini,” ujar Ara ke Rizzar.
Rizzar tersenyum mengangguk. “Dulu waktu aku masih tidak terlalu sibuk dengan aktivitas kerja, aku juga suka mengamati hal-hal sederhana yang ada disekitarku, Ra. Yaa meskipun dulu aku mikirnya simpel dan kekanakan, ha ha. Tapi, berarti kamu sering juga menyusuri rute KRL seperti ini, Ra?”
Ara menggelengkan kepalanya pelan dengan ekspresinya yang menunjukkan bahwa dia sedang tersenyum. “Jujur, ini yang pertama buat aku menyusuri rute KRL meskipun kalau rencana melakukan ini sudah beberapa kali terlintas di pikiran. Aku juga sudah googling rute KRL dan semua aktivitas yang terkait ini. Justru kamu yang membuat aku mantap untuk melakukannya hari ini”.
Rizzar tergelak, “Kadang kesibukan dan kecintaan kita akan duniawi membuat kita lupa akan hal-hal sederhana seperti ini, ya Ra. Aku bangga dengan pencapaian diri aku sendiri yang alhamdulillaah menurut aku sesuai dengan yang kuinginkan. Ketenaran, rizki yang buat aku lumayan cukup untuk membeli apa yang aku dan keluarga aku inginkan, dan banyak hal lainnya. Namun, ada kalanya di satu ruang hati, muncul perasaan bahwa ada sesuatu yang belum terpuaskan, tetap merasa kurang,” ujar Rizzar sambil tersenyum ke Ara yang mengangguk pelan. “ Kamu benar, tapi melihat sekitar kita, ada pejuang kehidupan yang harus berjuang lebih keras untuk bisa makan dan menghidupi keluarganya, membuat kita tersadarkan bahwa kita seharusnya bisa lebih bersyukur. Kalau kita lihat para pedagang kaki lima misalnya yang bersabar menunggu pembeli dan berpanas-panas ria dan itu pun belum tentu laku semua, kita jadi diingatkan bahwa hidup itu keras. Kalau orang-orang seperti mereka masih bisa tertawa dan tersenyum, kita jadi diingatkan bahwa cara kita memandang kehidupanlah yang akan membuat hidup kita jadi bermakna dan indah sekeras apapun kehidupan yang harus dihadapi,” ujar Ara dibalas dengan ekspresi Rizzar yang tersenyum dan mengangguk setuju.
“Kalau kita lihat rumah-rumah kumuh di luar sana, aku jadi lebih bersyukur kita bisa hidup di rumah yang lebih layak”. Ganti Ara yang sekarang mengangguk setuju.
Rizzar dan Ara terus berbagi obrolan tentang hidup ketika KRL berhenti di Stasiun Juanda. Banyak penumpang yang naik kala itu sehingga KRL pun mulai terisi lumayan penuh. Semakin banyak penumpang yang berdiri saat itu ketika Ara melihat seorang ibu tua dan cucunya sekitar 10 tahunan yang baru naik, berdiri karena tidak dapat tempat duduk.
“Riz, ayo kita berdiri dan memberikan tempat duduk kita buat nenek itu dan cucunya,” bisik Ara ke Rizzar. Rizzar menoleh ke Ara sejenak kemudian kearah yang ditunjukkan Ara. “Memangnya kamu tidak apa-apa berdiri Ra?” tanya Rizzar yang dibalas dengan anggukan pelan dari Ara yang terlihat tersenyum lebar. Ara pun bergegas memanggil dan menyilahkan  nenek dan cucu tadi untuk duduk di tempat Rizzar dan Ara sementara mereka berdua pun berdiri bersebelahan.
“Kamu nggak apa-apa kan kita berdiri seperti ini, Riz?” tanya Ara pelan.
“Aku nggak apa-apa Ra, tapi aku justru khawatir ke kamu Ra. Kamu beneran nggak apa-apa berdiri? Bagaimana kalau nanti ternyata kita harus berdiri sampai Stasiun Bogor? Masih banyak stasiun lagi yang tersisa lho, Ra”. Ara makin melebarkan senyumannya ke Rizzar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya pasti seolah ingin menenangkan Rizzar. “Aku insyaa Allah nggak apa-apa, Riz. Dibandingkan mereka, kita jauh lebih kuat secara fisik untuk berdiri, Riz”. Rizzar tersenyum memandangi Ara yang tetap ceria dan bersemangat dihadapannya itu sejenak. “Terima kasih ya, Ra. Kamu sudah mengingatkan aku kebaikan kecil ini yang nyaris aku lupa karena sudah lama tidak melakukannya”. Ara tersenyum lembut, “Sama-sama, Riz. Karena kamu juga, kita bisa naik KRL sekarang dan bisa melakukannya. Terima kasih banyak buat Kurcaci Raksasa”. Rizzar tertawa kecil. Peri Baik di hadapannya itu selalu punya cara buat menyemangati hatinya. Rizzar dan Ara asyik melihati pemandangan di luar KRL dan sekitar mereka, sesekali obrolan dan candaan saling mereka lontarkan satu sama lain. Sementara itu, KRL pun semakin dipenuhi penumpang. KRL sedang berada diantara Manggarai Tebet ketika Ara menoleh ke Rizzar yang terdiam dengan ekspresi aneh dan dipenuhi keringat di wajahnya padahal AC di dalam KRL cukup terasa.
“Kamu baik-baik saja, Riz?” tanya Ara sambil menepuk bahu Rizzar pelan. Rizzar menoleh ke Ara sambil tersenyum dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja, Ra. Cuma sedikit pusing saja, sudah beberapa hari ini suka pusing tiba-tiba. Ga tau kenapa”.
Ara pun menjadi khawatir, “Kalau begitu kita turun saja dari KRL ya? Kita balik saja ke Stasiun Kota biar kamu bisa segera istirahat di rumah”.
Rizzar memandangi Ara seraya berusaha melebarkan senyumannya seolah ingin menenangkan Ara.  “Aku nggak apa-apa Ra. Di lokasi juga kadang suka pusing tiba-tiba gini dan itu cuma sebentar kemudian bakal hilang dengan sendirinya. I’m fine, Ra”.
Ara memandangi Rizzar tanpa suara. Entah kenapa meski Rizzar berucap baik-baik saja, hatinya tidak bisa berhenti mencemaskan Rizzar. Ia ambil beberapa helai tissue dari ranselnya dan memberikannya ke Rizzar untuk menyeka keringat di wajah Rizzar, sementara Rizzar hanya terdiam menerimanya dan hanya tersenyum kecil.
“Kenapa kamu tidak bilang soal pusing kamu akhir-akhir ini, Riz. Andai aku tahu, aku tidak akan ajak kamu pergi hari ini biar kamu bisa memanfaatkan waktu libur kamu buat istirahat di rumah,” sambung Ara lirih.
Rizzar hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil berusaha melebarkan senyumannya.
“Aku menginginkan perjalanan kita kali ini, Ra. Jarang-jarang kita bisa jalan seperti ini. Dan aku ingin menyelesaikan perjalanan kita ini, Ra”.
Rizzar dan Ara saling menatap sambil melebarkan senyuman masing-masing. Wajah Ara masih saja menyiratkan rasa cemasnya akan Rizzar ketika Rizzar berbisik di dekat telinga Ara, “Wajah Peri Baik jangan cemas begitu donk, bukannya misi kali ini adalah membuat Superman menjadi lebih tangguh lagi dan makin banyak tersenyum? Kalau wajah Peri Baik seperti ini, boro-boro menjelma menjadi Superman, Kurcaci Raksasa jadi takut dan susah tersenyum”. Ara tertawa kecil mendengarnya. Ia segera berusaha menyembunyikan ekspresi cemasnya itu dan kemudian menoleh kearah Rizzar dengan wajah ceria dan senyum yang super lebar. “Kalau begini, Kurcaci masih takut nggak?” tanya Ara.
“Sudah enggak takut lagi,” Rizzar balas tersenyum dan mengedipkan matanya. Mereka kembali terdiam, pusing yang dirasakan Rizzar pun masih bergelayut di kepalanya, bahkan semakin terasa.
KRL memasuki Stasiun Kalibata saat Rizzar tiba-tiba menyenggol pelan tangan Ara. “Ra, kita turun dari KRL sebentar ya..., sepertinya aku perlu udara segar sejenak”.
Ara memandangi wajah Rizzar, wajah itu terlihat agak pucat dan dipenuhi keringat dingin.
“Kamu masih kuat jalan, Riz? Pusing banget ya?” tanya Ara dengan raut cemas.
“Aku nggak apa-apa, Ra dan masih kuat jalan pastinya. Aku cuma perlu break sebentar dari perjalanan kita ini. Cuma perlu duduk sambil menghirup udara segar saja,” sahut Rizzar lirih berusaha tetap tersenyum.
Akhirnya Ara dan Rizzar pun turun di Stasiun Pasar Minggu Baru. Meski kepalanya pusing, Rizzar tetap berusaha melindungi Ara sepanjang perjalanan itu termasuk ketika mereka berjalan kearah pintu kereta.
Mereka berdua pun duduk di salah satu kursi tunggu kosong yang ada di stasiun yang cukup lengang itu. Rizzar segera mengambil air putih di ranselnya sementara Ara segera mengeluarkan tissue dan sekotak susu coklat.
Rizzar menurunkan maskernya kebawah hidung dan segera menyeka keringat dinginnya serta meminum air putihnya. Kemudian ia meminum susu coklat pemberian Ara itu.
“Apa yang kamu rasakan, Riz? Yakin kita masih mau melanjutkan misi ini, Kurcaci?”
Rizzar memandangi Ara sambil mengangguk pelan. “Aku cuma perlu break sebentar kok, Peri Baik. Maaf membuat Peri jadi khawatir. Pusing ini juga sebentar lagi pasti hilang dan badan aku pasti enakan”.
“Apa nggak sebaiknya kamu periksa ke dokter, Kurcaci? Soalnya sudah beberapa hari ini kamu merasakan pusing yang datang dengan tiba-tiba,” tanya Ara berusaha membalut raut cemasnya dengan tenang.
“Cuma pusing biasa kok, Peri Baik. Insyaa Allah nggak apa-apa. Mungkin kurang zat besi kali, ya” balas Rizzar meringis dan tetap tersenyum.
Ara teringat sesuatu, ia segera membuka ranselnya.
“Alhamdulillaah aku bawa pil penambah darah, kamu makan roti ini dulu baru minum pilnya ya”.
Rizzar merasa heran sejenak mengetahui ternyata Ara membawa bekal yang benar-benar siap untuk berbagai kondisi.
“Sebegitu khawatirnya kah Peri Baik terhadap Kurcaci Raksasa sampai-sampai Peri bawa bekalnya komplit banget seperti ini?” tanya Rizzar sambil tersenyum.
Ara menggelengkan kepalanya pelan sambil menjulurkan lidahnya keluar. “Aku membawa ini bukan semata-mata untuk Kurcaci kok. Sekedar jaga-jaga siapa tahu diperlukan”. Ara tersenyum lebar ke Rizzar sementara Rizzar masih menatapnya.
“Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Peri Baik. Biarkan aku mengkhawatirkan kamu dan menjadi pelindungmu dengan cara aku sendiri,” ujar Rizzar dalam hati.
“Kok malah bengong, Kurcaci. Ayo segera dimakan rotinya”. Suara lembut Ara menyadarkan Rizzar. Dengan lahap Rizzar menghabiskan roti dan kemudian segera menelan pil zat besi pemberian Ara itu.
Untuk beberapa saat Ara dan Rizzar pun larut dalam diam mengamati kondisi di sekitar stasiun tempat mereka berhenti itu.  
“Lihat Peri, pemulung itu. Dia mengumpulkan barang bekas di jalan dan tempat sampah untuk dijual lagi agar bisa membawa uang untuk makan keluarganya,” ujar Rizzar memulai obrolan lagi setelah tubuhnya berasa cukup enakan.
“Iya, mereka berpanas-panas ria untuk bisa tetap makan setiap harinya. Sementara kita, meski kita juga bekerja keras dalam kehidupan kita masing-masing, setidaknya kita bisa bertanya, kita ingin makan apa hari ini bukan apakah kita bisa makan hari ini”.
Rizzar dan Ara saling memandang dan tersenyum.
“Mungkin bagi sebagian kita atau sebagian orang, pekerjaan mereka terlihat rendah, tapi jujur aku lebih menghargai mereka yang berpeluh-peluh untuk mencari rizki yang halal untuk keluarganya meski tidak seberapa dibandingkan mereka yang mengambil yang bukan haknya atau hanya sekedar menjadi peminta-minta,” sambung Ara diikuti dengan anggukan kepala Rizzar.
“Oh iya, bagaimana pusing kamu, Kurcaci? Sudah merasa enakan belum?” tanya Ara berusaha tidak menampakkan raut cemasnya dan melebarkan senyumannya.
“Alhamdulillaah sudah enakan, Peri Baik. Tapi, tunggu beberapa menit lagi ya buat meneruskan perjalanan kita ke Bogor. Masih ingin menikmati udara segar soalnya, ha ha”.
Ara tersenyum. Mereka pun kembali melanjutkan obrolannya.
“Dulu, aku selalu membayangkan bahwa Superman itu adalah super hero yang tampan, badannya atletis, pokoknya keren seperti yang ada di televisi. Tapi seiring waktu, aku jadi menyadari Peri, Superman sesungguhnya banyak di sekitar kita. Mereka, para laki-laki yang melakukan kebaikan untuk orang lain, mereka yang bekerja keras dan berjuang untuk keluarga mereka, mereka Superman sesungguhnya. Dan aku ingin menjadi bagian dari mereka, menjadi Superman yang sesungguhnya,” ujar Rizzar sambil tersenyum.
“Kamu sudah menjadi bagian dari Superman yang sesungguhnya, Kurcaci. Kamu dan kerja keras kamu, kamu yang selalu berusaha untuk melindungi dan membahagiakan keluarga kamu terutama Mama, kamu yang berusaha untuk membahagiakan orang lain, orang-orang  yang kamu sayangi dan menyayangi kamu, cewek dan fans kamu. Bahkan menurut aku selain menjadi Superman sesungguhnya, fisik kamu pun mencerminkan tokoh Superman yang ada di televisi. Kamu itu kombinasi keduanya, Superman dalam kehidupan dan Superman sosok superhero itu,” balas Ara sambil tersenyum lebar kearah Rizzar sambil mengangguk yakin. Rizzar menatap Ara dengan tersenyum, sedikit tersipu ia mendengar ucapan Ara buat dirinya itu. Entah kenapa, Peri Baik dihadapannya ini seolah tak lelah menyemangatinya untuk selalu percaya bahwa dia bisa menjadi Superman yang tangguh.
“Terima kasih karena Peri Baik selalu percaya bahwa Kurcaci Raksasa ini bisa menjadi Superman yang tangguh. Padahal saat aku menjelma menjadi Superman, aku mungkin seringkali mengabaikan keberadaan Peri Baik. Bahkan beberapa kali Peri Baik juga melihat sisi lemah aku,” balas Rizzar sambil memandang kearah Ara .  
Ara menggelengkan kepalanya, “Aku percaya sama kamu, Riz. Kamu itu bisa menjadi Superman yang tangguh. Kalaupun kamu mengabaikan aku, aku percaya bahwa kamu punya alasan melakukannya, Riz, dan aku percaya salah satu diantaranya adalah untuk kebaikan aku juga”. Ara melebarkan senyumannya kepada Rizzar, ”Dan sekali lagi, menjadi Superman yang tangguh bukan berarti kamu tidak boleh merasa lelah atau sedih atau lemah, Riz. Setangguh apapun Superman, dia tetaplah manusia”.
Rizzar melebarkan senyumannya untuk Ara dan mengangguk pelan. Untuk sesaat mereka kehilangan kalimat untuk melanjutkan obrolan diantara keduanya selain berbagi senyuman satu sama lain.
Waktu menunjukkan pukul 15.30 ketika Rizzar mengajak Ara meneruskan perjalanan mereka naik KRL ke Stasiun Bogor.
Baik Ara dan Rizzar masih mendapatkan tempat duduk bersebelahan waktu itu karena kebetulan ada beberapa orang yang turun di gerbong yang mereka naiki.
“Alhamdulillaah, masih dapat tempat duduk, ya Riz,” ucap Ara lirih berbisik ke Rizzar yang dibalas Rizzar dengan anggukan dan senyuman meski tertutup masker.
KRL berhenti di Stasiun Pasar Minggu ketika beberapa orang terlihat naik di gerbong tempat Rizzar dan Ara berada. Terlihat seorang ibu membawa balita sedang mencari tempat duduk. Ara yang melihatnya hendak memanggil beliau ketika Rizzar menyilahkan ibu itu untuk duduk di tempatnya dan Rizzar pun berdiri di depan tempat duduk Ara. Ara menarik jaket Rizzar pelan, memanggilnya dan membuat Rizzar menoleh kepadanya. “Kamu duduk saja, Riz. Biar aku saja yang berdiri,” ucap Ara tanpa suara, hanya menurunkan maskernya ke bawah mulut sejenak agar Rizzar memahami bahasa bibirnya. Rizzar tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya dan mengambil i-phone dari jaketnya.
“Kamu saja yang duduk, Peri Baik. Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Aku kan Superman, Peri,” ketik Rizzar kepada Ara.
Ara membaca pesan Rizzar itu dan tersenyum. “Tapi tadi kamu habis pusing Kurcaci, sekarang baru satu stasiun sudah berdiri lagi. Izinkan Peri Baik memberikan tempat duduknya buat Kurcaci ya,” balas Ara.
Rizzar membaca pesan Ara itu kemudian menoleh ke Ara sambil tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya pasti.
“Aku baik-baik saja, Peri,” balas Rizzar lagi dan kemudian menaruh i-phonenya kembali ke sakunya.
Ara memandangi Rizzar yang masih dengan ekspresi tersenyum kepadanya dibalik maskernya itu. Ara kemudian memutuskan berdiri disamping Rizzar membuat Rizzar pun terkejut melihatnya. “Kok kamu ikutan berdiri, Ra? Sudah kamu duduk saja sebelum ditempati orang lain. Stasiun Bogor masih jauh lho, Ra. Aku baik-baik saja kok, bukannya kamu tadi bilang bahwa kamu percaya kalau aku itu Superman tangguh?”
Kini Ara yang menggelengkan kepalanya ke Rizzar menolak untuk duduk kembali sambil tersenyum lebih lebar.
“Suatu kehormatan buat Peri Baik bisa menemani berdiri disebelah Superman yang tangguh dan cakep ini, apalagi Superman baru saja memberikan tempat duduknya buat seorang ibu dan anak balitanya. Sebuah hal kecil yang mulia apalagi kalau mengingat Superman yang baru saja pusing sebelumnya,” ucap Ara lirih di dekat Rizzar sambil menatap lembut Rizzar.
Rizzar pun tergelak mendengarnya dan kemudian balas menatap Ara dengan senyuman tersipu. Kalimat Ara yang terasa tulus itu menyentuh hatinya dengan indah, membakar semangat Rizzar untuk menjadi Superman yang lebih tangguh lagi.
“Peri  bisa aja membesarkan hal-hal yang kecil,” sambung Rizzar kemudian sambil memanyunkan bibirnya.
Ara pun mengedipkan matanya sambil tertawa kecil ke Rizzar. “Hal yang kecil menurut kita bisa jadi hal besar bagi orang lain, Riz. Dan perlu diingat, bahwa kebaikan besar pun bisa dimulai dari kebaikan-kebaikan kecil. Jadi kebaikan kecil yang kamu lakukan barusan sangat berharga di mata Peri Baik, Superman”. Lagi-lagi Rizzar tersenyum memandangi Ara yang berdiri di sebelahnya itu. “Dan alasan lain kenapa Peri ingin berdiri disebelah Superman, karena Peri ingin Superman tahu bahwa Superman tidak sendiri. Peri ingin menemani Kurcaci yang menjelma menjadi Superman ini, meski cuma sekedar menemani berdiri, he he,” sambung Ara tertawa kecil.
“Terima kasih banyak, Peri Baik...” hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Rizzar yang masih menatap Ara. Kalimat Ara membuat Rizzar kehilangan kata-kata untuk menjawabnya dengan kalimat yang lebih panjang. Ara berhasil menyentuh hatinya untuk makin tersenyum sekaligus berhasil membuatnya tenang dan damai.
Beberapa saat kemudian, Rizzar dan Ara pun menghabiskan waktu melihat pemandangan sepanjang perjalanan KRL, sambil mengamati manusia-manusia di sekitar mereka, bertukar cerita tentang nilai-nilai di kehidupan mereka, berbagi cerita aktivitas mereka dan hal-hal lucu. Ada kalanya, Rizzar tidak bisa menahan kantuknya di siang itu dan Ara pun berusaha terjaga seolah ingin menjaga Rizzar yang terpejam sejenak dalam posisi berdiri. Begitu pun sebaliknya Rizzar, Rizzar berusaha untuk menjaga Ara ketika mata Ara beberapa kali terpejam karena kantuk. Perjalanan KRL Jakarta Kota – Bogor mungkin hanya perjalanan yang sederhana bahkan sangat biasa, tapi buat Rizzar Ara perjalanan itu istimewa karena mereka jarang melakukannya. Menyusuri rute KRL itu memberikan nuansa yang berbeda dari rutinitas mereka biasanya. Mengamati manusia dan sekitar selama perjalanan KRL, membuat mereka ingat dan menyadari hal-hal sederhana yang suka terlupakan saat mereka bersentuhan dengan “kemewahan” dan kepopuleran.
Waktu menunjukkan pukul 17.10 saat Rizzar dan Ara berada dalam perjalanan mereka dari arah Bogor-Jakarta dan sampai di Stasiun Depok Baru. “Setelah stasiun ini, kita tiba di Stasiun Pondok Cina, Riz. Nanti kita turun disana ya,” ujar Ara ke Rizzar yang duduk disebelahnya. Rizzar menoleh ke Ara  dengan ekspresi bertanya-tanya. “Hmmm, memang kita mau ngapain, Ra?”
“Kita melihat matahari terbenam di danau UI, mau nggak?”
Rizzar melebarkan bola matanya sambil menatap Ara. “Oke, siapa takut... Sekalian habis itu kita Maghriban di Masjid UI ya, kan masjidnya dekat danau seingatku”. Rizzar dan Ara pun tertawa bersama.
Beberapa menit selanjutnya, Ara dan Rizzar pun asyik berjalan cepat menuju danau UI di dekat balairung itu dan mencari tempat duduk diatas rumput yang strategis untuk melihat matahari terbenam. Terlihat ada beberapa pedagang di sekitar mereka, mulai dari pedagang kopi/teh dan siomay yang menggunakan sepeda. Ada juga pedagang mainan kertas yang juga asyik menata dagangannya sambil menunggu pembelinya.
“Lihat mereka para pejuang kehidupan itu, Superman. Meski pembeli mereka belum tentu banyak, tapi mereka tetap berjuang menjual dagangan mereka. Kita jauh lebih beruntung secara materi dari mereka,” ujar Ara menyambung lagi diskusi ringan mereka akan kehidupan.
“Iya, Peri Baik benar. Apalagi bapak tua yang berjualan mainan kertas itu. Coba lihat, dagangannya masih tersisa banyak, entah siapa yang bakal membelinya kecuali orang-orang tertentu, Peri Baik”.
Ara mengamati bapak tua yang tak jauh dari tempat mereka duduk itu kemudian menoleh ke Rizzar seraya tersenyum lembut.
“Tunggu sebentar disini ya, Superman”. Ara tiba-tiba bangkit dan menghampiri bapak tua dan dagangan mainan kertasnya itu kemudian membeli 3 mainan kertas itu. Rizzar yang mengamati tingkah laku Ara tertegun pada awalnya kemudian tersenyum lebar. Terlihat Ara sedang memainkan mainan kertas di tangannya itu dengan wajah ceria serta tawa lebar sambil menatap dan menghampiri Rizzar.
“Ternyata orang-orang tertentu itu salah satunya kamu ya, Peri Baik,” ujar Rizzar lembut sambil tersenyum lebar dan mengedipkan matanya.
Ara memberikan satu mainan kertas yang dibelinya itu kepada Rizzar. “Anggap kenang-kenangan kita saat menyusuri rute KRL bersama, Superman. Meskipun kamu tidak suka, tolong jangan dibuang, disimpan aja di laci kamar kamu. Setidaknya bapak tua tadi sudah berusaha membuat mainan kertas sederhana ini,” ucap Ara ke Rizzar dengan ceria dan bersemangat.
Rizzar mengangguk pasti, “Pasti,  insyaa Allah aku simpan, Peri Baik. Salah satu pemberian dari  Peri Baik, meski mainan ini sederhana, tapi niat Peri Baik membantu bapak tua itu dengan membeli mainan kertas ini membuatnya jadi berharga”. Ara tersenyum sedikit tersipu mendengar ucapan Rizzar itu membuat Rizzar pun iseng untuk menggoda Ara. “Ehm ehm ada yang tersipu malu sepertinya”. Ara dan Rizzar pun tenggelam dalam gelak tawa. Perjalanan mereka seolah membuat baik Rizzar maupun Ara memaknai sederhana menjadi berharga dengan bermacam hal yang mereka temui di sepanjang perjalanan. Rizzar dan Ara pun kembali larut duduk melihat matahari yang mulai terbenam di ujung barat. Bias cahayanya, memantulkan indah di danau yang ada di depan mereka. Senja menyisakan tenang bagi mereka yang sejenak mau menikmatinya. Begitu pula yang dirasakan Rizzar dan Ara saat itu. Biasanya waktu senja, dihabiskan mereka untuk segudang aktivitas dan kesibukan. Apalagi Rizzar, hampir setiap harinya senja ia habiskan dengan aktivitasnya di lokasi syuting, tanpa sempat menikmatinya. Bahkan di hari libur sekalipun, ia jarang meluangkan waktunya sejenak untuk menikmati senja,  merasakan tenang bersamanya. Dan sekarang, setelah sekian lama akhirnya ia kembali menikmati senja bersama Ara, seseorang yang istimewa tapi langka untuk dirinya bisa menghabiskan waktu bersamanya.
“Can you feel the warmth of this sunset, Superman (ind: Apakah kamu bisa merasakan kehangatan matahari yang terbenam ini, Superman)?” tanya Ara tiba-tiba menoleh kearah Rizzar sambil tersenyum lembut membuat Rizzar sempat tertegun sejenak, terbangun dari lamunannya.
Rizzar mengangguk dan membalas senyuman Ara dengan lebih lebar lagi. “Hangat dan damai rasanya, Peri Baik”. Ara pun mengangguk mantap tanda setuju dengan kalimat Rizzar itu. Melihat Rizzar dengan senyuman lebarnya beberapa kali selama hari ini membuat Ara merasakan bahagia yang berlebih selain bahagia yang ia rasakan bersama senja saat itu.
Matahari pun perlahan menghilang dari pandangan mereka dan menyisakan langit yang memerah ketika Ara dan Rizzar mendengarkan adzan berkumandang dari masjid UI di dekat danau itu.
Ara dan Rizzar pun bergegas berdiri, berjalan menuju masjid itu untuk melakukan sholat maghrib.
Seusai sholat, Ara dan Rizzar kembali bertemu di beranda masjid. Mereka duduk sejenak disana.
“UI adalah salah satu universitas yang menjadi tujuan aku selepas SMA, Peri Baik. Tapi... sampai sekarang aku masih asyik menikmati karier aku. Entah masih ada harapan atau nggak aku bakal kuliah disini,” ujar Rizzar memulai perbincangan.
“Selalu ada harapan, Superman. Selama kamu masih punya tekad dan niat, aku yakin kamu pasti bisa meraih apapun yang kamu inginkan, termasuk kuliah di UI ini. Mungkin kamu masih mencari waktu yang tepat saja. Semangaaat,” balas Ara lembut sambil tersenyum kearah Rizzar.
Rizzar tersenyum melihat tulus dan rasa percaya Ara terhadap dirinya yang tergambar dari senyuman Ara. “Tapi aku pernah mencobanya dan gagal, Peri Baik..., “ lanjut Rizzar lagi.
Ara semakin tersenyum lebar kearah Rizzar dengan wajah yang lebih ceria dan bersemangat. “Kegagalan itu selangkah lebih dekat dari kesuksesan Superman, sepanjang kita tetap berusaha dan tidak menyerah”. Rizzar mengangguk pelan sambil mengepalkan tangannya tanda bersemangat, “Semangatttt, pasti bisa, dan mencari waktu yang tepat!!!!”
Ara dan Rizzar pun kembali tergelak bersama meski dengan suara lirih karena mereka sedang berada di lingkungan masjid.
Oh iya, Peri Baik. Kebetulan kita sedang di masjid, tiba-tiba aku ingat soal bacaan Al Kahfi. Andai waktunya memungkinkan, seru juga sepertinya kita bisa saling mengoreksi bacaan kita disini ya, sambil mengaji bareng,”ujar Rizzar lagi.
Ara mengangguk setuju, “Sayangnya waktunya tidak memungkinkan, Superman. Kita saling tukar rekaman suara kita saja ya buat saling mengoreksi”.
Ara dan Rizzar pun saling mengirimkan rekaman suara bacaan Al Kahfi mereka ke satu sama lain. “Mohon bantuannya, untuk mengoreksi, ya Superman yang baik. Terima kasih banyak sebelumnya,” lanjut Ara sambil sedikit membungkukkan badannya.
 Rizzar pun tertawa kecil melihat ulah Ara itu. Ia pun ganti sedikit membungkukkan badannya ke Ara, “Insyaa Allah Peri Baik. Superman juga mohon bantuan Peri Baik untuk mengoreksi bacaannya juga ya. Thank you so much before (ind: terima kasih banyak sebelumnya)“. Baik Ara dan Rizzar pun kembali tergelak. Tak lama kemudian, mereka pun bergegas menuju ke stasiun terdekat untuk meneruskan perjalanan balik mereka ke Stasiun Jakarta Kota.
KRL yang mereka naiki cukup lengang dan mereka berdua masih bisa memilih tempat duduk bersebelahan. Sepanjang perjalanan itu sesekali mereka bercanda dan berbagi cerita lucu selebihnya mereka habiskan untuk diam dalam kantuk yang menyerang bersama musik yang menemani mereka via earphone masing-masing. Rizzar melihat kearah Ara yang sedang terkantuk dengan ekspresi yang menurut Rizzar lucu ketika Ara kembali terbangun dan menyadari Rizzar yang sedang melihat kearahnya. “Kenapa kamu senyum-senyum melihatku, Riz?”
Rizzar tertawa kecil. “Muka kamu itu lucu kalau lagi menahan kantuk begitu, Ra. Kalau kamu mau tidur, kamu boleh kok Ra bersandar di bahu aku. I’m ready (ind: aku siap),” ujar Rizzar tersenyum lebar sambil menawarkan bahunya buat Ara. Bola mata Ara melebar, rasa kantuknya tiba-tiba hilang mendengar ucapan Rizzar itu. “Hmmmm mulai lagi nakalnya deh, kamu siapa dan aku siapa, pakai acara meminjamkan bahu segala...,” ucap Ara sambil memanyunkan bibirnya di balik maskernya.
“Memangnya salah ya Ra kalau aku menawarkan bahu aku agar kamu yang mengantuk itu bisa tidur?” tanya Rizzar polos tidak memahami perkataan Ara itu.
Ara menatap Rizzar sejenak, dari mata Rizzar, Ara tahu niat Rizzar meminjami bahu untuk dia bersandar itu tulus, tanpa niat apa-apa. Rizzar melakukannya karena ia menganggap hal tersebut adalah hal yang lumrah alias wajar. Ara tersenyum lebar, memandang Rizzar yang sedang menatapnya dengan raut bertanya.
“Terima kasih untuk tawaran kamu, Riz. Maaf, tapi aku tidak bisa menerimanya. Mungkin buat kamu itu adalah hal yang biasa saja, tapi buat aku bersandar di bahu laki-laki apalagi laki-laki itu adalah kamu adalah bukan hal yang biasa. Kita sudah beberapa kali melakukannya saat adegan syuting sebenarnya, tapi itu sekedar acting, bukan untuk realita. Aku harap kamu bisa memahaminya”.
Rizzar tersenyum seraya memandang lembut Ara. Perempuan ini selalu istimewa di matanya. Ara berusaha selalu menjaga diri dari dirinya meski dulu mereka sempat terlibat beberapa scene romantis karena tuntutan acting. Dan begitupun Rizzar, dia selalu ingin memuliakan perempuan istimewa ini dengan perlakuan yang terjaga. Apalagi saat rumit semakin menyapa keduanya dan membuat jarak itu semakin jauh untuk mereka. Ara seolah rela berjauhan mengambil kutub yang berbeda selama tetap bisa melihat Rizzar baik-baik saja meski dari kejauhan.
“Ya sudah, kamu kan ngantuk. Sekarang kamu tidur ya, Ra. Biar aku tetap terjaga agar bisa menjaga kamu. Aku janji, aku tidak bakal macam-macam, termasuk menyandarkan kepala kamu di bahu aku. Trust me, okay (ind: Percaya sama aku, oke)...,” sambung Rizzar lembut.
Ara tersenyum, “Kamu tidak perlu terjaga buat terus menjaga aku, Riz. Kamu sudah menjaga aku sejak tadi kita berangkat. Insyaa Allah aku baik-baik saja. Aku tahu kamu juga mengantuk, jadi lebih baik kita memanfaatkan sisa perjalanan KRL kita ini untuk tidur. Bukan hanya aku yang tidur, tapi kamu juga tidur, Riz. Lumayan buat mengistirahatkan mata dan pikiran, ya nggak?”
Rizzar menatap Ara sejenak kemudian lagi-lagi ia tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dan beberapa stasiun sisa perjalanan mereka pun mereka lalui dengan memejamkan mata sejenak.

Jam di Stasiun Jakarta Kota menunjukkan pukul 20.15 ketika Ara dan Rizzar akhirnya tiba kembali ke titik awal mereka memulai perjalanan hari Jumat itu.
“Ra, bagaimana kalau kita makan malam dulu?” tanya Rizzar ke Ara.
Ara menatap Rizzar sejenak seolah sedang berpikir sesuatu. “Kamu sudah lapar ya, Superman?” tanya Ara diikuti dengan anggukan dari Rizzar.
“Ya sudah, bagaimana kalau makannya dibungkus dan dimakan di mobil saja. Riz?”
“Memangnya kenapa, Ra? Kamu nggak mau makan bareng aku ya, Ra?”
Ara menggelengkan kepalanya pelan. “Bukan begitu, Riz. Bukannya kamu yang bilang semalam bahwa kamu tidak ingin ada kesalahpahaman baru tentang kita. Kalau kita makan di suatu tempat, kita pasti copot masker wajah, dan kita tidak pernah bisa memastikan apakah tidak akan ada orang yang mengenali aku atau kamu. Hal paling aman yang bisa dilakukan, makan di mobil. Itupun kalau kamu mau Riz. Kalau pun enggak biar kita makan malam di rumah atau di suatu tempat secara terpisah saja,” ujar Ara sambil tersenyum.
Rizzar memandangi Ara sejenak tanpa suara. Rizzar tertegun karena saat ia nyaris melupakan  dinding yang selalu ia bangun untuk Ara, justru Ara yang ganti mengingatkannya. “Tolong berhenti untuk mengkhawatirkan  aku, Peri Baik, cukup aku yang mungkin terpaksa meninggalkan sebentuk rasa sedih untukmu, tak perlu kamu ikut meninggalkan  sedih untuk diri kamu sendiri,” ujar Rizzar didalam hati. Ada rasa sakit yang ia rasakan sejenak karena ketidakberdayaannya melakukan sesuatu untuk menghindarkan sedih untuk Ara karena dirinya, terlebih saat Ara justru membantunya membangun dinding Rizzar itu dengan menomorduakan perasaannya sendiri. Rizzar pun kemudian tersenyum dan menatap lembut Ara yang sedang memandangnya dengan ekspresi bertanya-tanya. “Ya sudah, kita makan malamnya di mobil kamu ya, Peri Baik”.
Setelah membungkus makanan untuk berdua dari salah satu tempat makan cepat saji yang ada di Stasiun Jakarta Kota, Rizzar dan Ara pun bergegas berjalan menuju mobil Ara. Rizzar sengaja memilih mobil Ara karena kemungkinan salah paham itu lebih besar jika mereka ada di mobil Rizzar. Selain itu, Rizzar ingin Ara tidak perlu keluar mobil lagi setelahnya dan bisa langsung pulang. Sejenak Ara dan Rizzar larut menikmati makan malam mereka. Perjalanan mereka tak dipungkiri menyisakan lapar bagi keduanya. Lagu-lagu evergreen pun menemani mereka dari salah satu saluran radio yang menjadi kesukaan baik Rizzar maupun Ara.
 “Peri Baik, boleh tidak Superman mengajukan satu permohonan?” tanya Rizzar memulai kembali perbincangan di tengah makan malam ala Rizzar Ara. Ara yang sedang menggigit potongannya ayamnya pun menatap kearah Rizzar sambil tersenyum, “Permohonan apa Superman?”
“Aku mohon Peri Baik tidak perlu mengkhawatirkan Superman lagi. Jangan bantu Superman membangun dinding untuk Peri Baik jika itu membuat Peri jadi bersedih atau bahkan terluka. Seperti   Peri mengingatkan Superman untuk tidak makan malam bersama tadi misalnya. Izinkan aku menjadi pelindung buat Peri Baik meski dengan cara yang tidak biasa,” pinta Rizzar sambil menatap serius ke Ara. Ara menghentikan makannya dan balas menatap Rizzar sejenak kemudian tersenyum lembut kepadanya. “Aku cuma melakukan apa yang aku yakini benar dan harus aku lakukan, Riz. Kalau aku membantu Superman membangun dinding antara kita, itu karena ada sebentuk bahagia yang aku titipkan saat Superman atau Kurcaci Raksasa atau Rizzar atau kamu bahagia. Saat kamu bahagia, aku juga ikut bahagia, Riz,” ujar Ara sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar seolah ingin meyakinkan Rizzar bahwa dirinya baik-baik saja.
“Kadang bahkan aku suka bertanya-tanya sendiri buat apa dinding itu aku bangun, Peri Baik. Tapi aku tetap harus membangunnya,” sambung Rizzar pelan dan ragu. Rizzar kembali balas tersenyum melihat Ara yang masih tersenyum dengan tulusnya dihadapan Rizzar.
“Kamu punya alasan membangunnnya dan aku percaya salah satu dari banyak alasan itu adalah untuk kebaikan aku juga. Kadang melindungi seseorang tidak berarti kita bisa menghindarkannya dari rasa sakit atau sedih sama sekali, Superman. Namun aku percaya Superman sudah berusaha sebaiknya menjadi pelindung Peri meski dengan cara yang tidak biasa. Terima kasih, Superman,” lanjut Ara sambil sedikit membungkukkan badannya dan tertawa kecil membuat Rizzar pun tertular untuk ikut tergelak.
“Superman jangan khawatir, aku bukan perempuan yang lemah. Kan aku Peri dan aku ingin menjadi Peri Baik yang tangguh. Dan seperti obrolan kita di awal perjalanan tadi, apa yang kita rasakan tentang hidup bergantung bagaimana kita memandang kehidupan itu sendiri. Seperti halnya bicara soal dinding yang dibangun Superman tadi,” ujar Ara sambil tersenyum lebar kemudian melanjutkan menggigit potongan ayamnya.
Rizzar menatap Ara dan  tersenyum melihat tingkahnya. Peri Baik yang sedang dilihatnya ini adalah perempuan yang selalu berusaha membungkus sedih dalam bahagia, membungkus lemah dalam kuat, membungkus sakit dalam senyum. Bukan berarti bahwa ia tidak merasakan sedih, lemah, dan sakit itu, sebagai perempuan ia pasti merasakannya. Namun ia berusaha menjadi Peri Baik yang tangguh. Dan Rizzar berharap dirinya bisa melakukan yang lebih baik untuk menjadi pelindung bagi Ara.
Baik Rizzar dan Ara akhirnya menyelesaikan makan malam mereka dengan hening beberapa saat kemudian ketika Ara menyambung perbincangan kembali.
“Jadi seperti apa kesan Superman dengan misi alias perjalanan hari ini? Apa misi sederhana ini bisa melahirkan bahagia dan semangat positif atau jangan-jangan cuma berasa capeknya?” tanya Ara sambil tersenyum.
Rizzar balas tersenyum lebar. “Terima kasih banyak untuk misi istimewa hari ini, Peri Baik. Perjalanan kita hari ini mengingatkanku banyak hal, tentang hal baik sederhana yang tenggelam bersama kesibukan. Hati aku ikut tersenyum bahkan tertawa sepanjang perjalanan ini, saat kita merenungi dan belajar dari kehidupan di sekitar yang kita lihat termasuk tentang rasa syukur, saat kita melakukan kebaikan-kebaikan kecil di perjalanan, saat kita berbagi senyum dan tawa bersama senja atau bacaan Al Kahfi itu. Perjalanan ini membuat Kurcaci Raksasa semakin yakin dan bersemangat untuk menjadi Superman yang lebih tangguh lagi, Peri Baik. Terima kasih sudah mengajak dan menemani aku merasakan banyak kebahagiaan dan semangat positif hari ini”.
Ara masih tersenyum dan menatap Rizzar dalam diam  sejenak.
“Sama-sama, Superman. Mungkin kalau bukan karena kamu, aku belum tentu bisa mewujudkan perjalanan ini dan merasakan kebahagiaan hari ini. Terima kasih sudah melakukan misi sederhana ini bersama, Riz. Misi ini bukan hanya untuk Kurcaci Raksasa agar ia bisa menjelma menjadi Superman yang lebih tangguh lagi, melainkan juga untuk Peri agar bisa menjadi Peri Baik yang lebih tangguh lagi,” ujar Ara kemudian.
Rizzar dan Ara saling menatap satu sama lain, mereka saling berbagi senyum, seolah masing-masing ingin memberikan senyuman terindahnya untuk yang lainnya. Senyuman yang sepadan dengan senyuman demi senyuman yang mereka bagi satu sama lain sepanjang perjalanan hari ini.
 “Ya sudah Superman, sekarang sudah malam dan sebaiknya kita segera pulang dan beristirahat. Apalagi besok kamu harus syuting seharian kan,” sambung Ara.
Rizzar tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya. “Apa Peri Baik perlu pengawalan sepanjang perjalanan pulang?”
Ara menggelengkan kepalanya mantap, “Insyaa Allah aku baik-baik saja, Superman. Aku kan Peri Baik yang tangguh, jadi Superman tidak perlu terlalu khawatir”. Mereka kembali tertawa bersama.
“Oh iya, hampir lupa mengembalikan tiket multi trip punya Peri Baik,” ujar Rizzar sambil merogoh saku jaketnya dan menyerahkan tiket itu ke Ara.
“Kamu simpan saja tiket itu, Superman. Siapa tahu suatu saat nanti kamu akan menggunakannya lagi. Siapa tahu nanti kamu ingin melakukan perjalanan seperti hari ini lagi. Anggap saja, itu kenang-kenangan perjalanan hari ini dari Peri buat Superman selain mainan kertas tadi, he he”.
“Kalau suatu saat aku ingin melakukan perjalanan seperti hari ini lagi, apa Peri Baik masih mau menemani aku?” tanya Rizzar sambil tersenyum. “Insyaa Allah aku mau,” balas Ara spontan sambil tertawa kecil diikuti dengan anggukan kepalanya.
Rizzar pun ikut tergelak, “Terima kasih sekali lagi, Peri Baik. Insyaa Allah Superman akan simpan pemberian Peri dengan baik. Selamat beristirahat Peri Baik, hati-hati di sepanjang perjalanan pulang, ya”.
“Kamu juga hati-hati di perjalanan, Superman. Jangan ngebut dan tergesa-gesa ingin sampai rumah. Selamat beristirahat juga, semoga tidur nyenyak dan mimpi indah ya. Dan tetap semangat buat kita,” ujar Ara dengan wajah ceria diikuti dengan anggukan kepala dan tawa lepas Rizzar.
Rizzar keluar dari mobil Ara, tak lupa sebelum menutup kembali pintu mobil Ara, Rizzar menatap ke Ara dan membungkukkan sedikit badannya sambil tersenyum. Ganti Ara yang tertawa kecil melihat tingkah Rizzar itu dan ia pun segera balas sedikit membungkukkan badannya kearah Rizzar.
“Assalaamulaikum, Ara...,” ucap Rizzar
“Waalaikumsalam, Rizzar...,” balas Ara.
Perjalanan bersama mereka pun diakhiri dengan saling bertukar senyum dan tawa diantara keduanya.
Ara mengamati Rizzar yang berjalan menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari mobil Ara. Senyum tetap menghiasi wajah Ara. “Sampai jumpa untuk berbagi kebaikan lagi, Superman atau Kurcaci Raksasa atau Rizzar. Semoga Allah selalu menjaga kita, Riz,” ujar Ara sebelum kemudian menghidupkan mesin mobilnya
Sementara itu Rizzar yang baru masuk kedalam mobilnya pun segera memanaskan mesin mobilnya. Ia ambil mainan kertas dan tiket multi trip itu dari tas ranselnya dan memandanginya sejenak. Kemudian Rizzar pun tertawa kecil. “Bahkan hanya dengan melihat pemberian kamu ini, sudah memutar kembali ingatan tentang apa yang kita lalui hari ini, Ra. Bukan hanya menyisakan tawa di bibir aku, melainkan senyum dan tawa di hati aku. Terima kasih banyak, Ara. Semoga aku bisa menjadi Superman yang lebih tangguh bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kamu, Ra”.
Senyuman itu mewarnai hari Jumat Rizzar dan Ara. Senyuman yang terajut melalui hal-hal sederhana tapi bermakna. Senyuman saat aku dan kamu, saat kita merajut sederhana.

-  Bersambung  -

Catatan : menulis alur ini seperti melakukan perjalanan panjang. Rizzar Ara yang selalu tersenyum di sepanjang perjalanan, tapi tangan seperti sedang mencari polanya bersama imajinasi yang ada. Lega akhirnya bisa menyelesaikan alur misi sederhana ini meski ala kadarnya. Plong karena bisa menyampaikan hal-hal yang sederhana itu bersama mereka dan virus senyum dan tawa itu :). Semoga ada hal positif yang bisa diambil :). See you ... .

Kamis, 15 Oktober 2015

Quotes of Rainbow

Kalian itu pelangi, kebersamaan kalian itu menularkan dan meninggalkan energi positif di hati. Oleh karena itu pula, mengenang kalian adalah menghidupkan kalian bersama quotes positif salah satunya. Karena kalian itu indah dalam sederhana tapi langka. Akan tetapi, langka bukanlah sesuatu yang harus membuat hati tak boleh tersenyum dan tertawa. Kalian dan virus bahagia itu akan tetap tertawa dan tersenyum di salah satu ruang hati selama kita menjaganya. Dengan ini salah satunya :).

Terima kasih sekali lagi, Pelangi :).

Gambar dan quotes diambil dari banyak sumber, terima kasih banyak sebelumnya. Semoga tidak ada yang keberatan :).


Rainbow 1


Rainbow 2

Rainbow 3


Pelangi dan keikhlasan
Rainbow 4

Rainbow 5
Rainbow 6
Rainbow 7
Rainbow 8
Rainbow 9
Rainbow 10
Rainbow 11
Rainbow 12
Rainbow 13
Rainbow 14
Rainbow 15
Rainbow 16
Rainbow 17
Rainbow 18
Rainbow 19
Rainbow 20
Rainbow 21
Rainbow 22
Rainbow 23
Rainbow 24
Rainbow 25


Rainbow 26
Rainbow 27
Rainbow 28