Senin, 23 Maret 2015

Mereka dan Cerita

Tak lagi terdengar suara tawa demi tawa mereka.
Tak lagi terlihat senyuman yang tanpa sadar mereka tularkan dengan mudah dan sederhana.
Tak lagi ada kebersamaan  dan energi positif itu membagi indah dengan lepasnya.
Tak lagi ada... .

Hening pun menyapa.
"Jarak" tertawa bersuka cita berusaha menghapuskan perlahan asa
Buku mereka seolah kehabisan lembar kosongnya untuk melanjutkan cerita.
Akankah mereka memudar tanpa suara dan cerita?

Mungkin hanya kenangan yang setia berbagi tentang mereka dan mengajak mereka kembali tertawa.
Tapi sapaan hening pun memiliki banyak makna.
Hening melahirkan cerita-cerita baru tentang mereka.
Cerita mereka tanpa suara, tapi tetap ada.

Depok, 21 dan 23 Maret 2015 - Terima kasih untuk untuk energi positif yang kalian bagi, Rizky Nazar dan Anisa Rahma. Chemistry natural dan energi gabungan kalian itu indah dan sangat menular. Terima kasih untuk virus senyum dan tawa yang unik itu :). Always wish you all the best :D

Minggu, 22 Maret 2015

Hening dan Suara Kereta

Malam beranjak mengajak mata demi mata pelaku hidup untuk terpejam
Waktu terus bergulir menemani jarak yang tertempuh
Gelap memberi kontras akan cahaya di setiap gerbong kereta
Deru mesin kereta menjadi nyanyian pengantar tidur bagi penumpangnya

Sungguh unik perjalanan malam ini
Menyaksikan pemandangan demi pemadangan sekian banyak manusia dengan bermacam tingkahnya
Melihat ribuan mata terpejam, nyenyak atau hanya pengisi waktu menunggu pagi menyapa
Malam adalah saat manusia menitipkan penat dalam tidurnya.

Sayang, aku masih tetap terjaga
Entah kenapa, mata enggan terpejam seperti biasa
Malam seperti candu yang mengajak mata ini untuk merangkai imajinasi
Entahlah, mungkin hati, pikiran, dan tubuh sedang berkonspirasi menyadarkan empunya diri

Kereta masih saja menjerit meninabobokan penumpangnya
Para awak dengan setia menawarkan melakukan tugasnya untuk mata mata yang tak terpejam karena lapar atau dahaga
Gelap masih tersenyum dan tertawa menjadi penguasa
Dan pagi, pun balas tersenyum menanti gilirannya.

Jadi apa itu hening saat nyanyian mesin kereta terus mengalun
Hening itu hanyalah solidaritas gelap pada malam
Hening hanyalah diamnya para penumpang yang terbuai dalam terpejamnya
Hening hanyalah aku yang terjaga menunggu pagi tiba

Progo,8 januari 2015

Kamis, 05 Maret 2015

Menyapa Cinta Bersama Bintang - A Journey of Rizzar Ara

MENYAPA CINTA BERSAMA BINTANG 
Rizzar as Andromeda, Ara as Mentari  dan si kecil X as Bintang

Sore itu cuaca sangat cerah dan Mentari sedang menemani salah satu murid les privatnya, Bintang, berjalan-jalan di taman dekat rumahnya.
Bintang baru dua hari keluar dari rumah sakit akibat kecelakaan, tertabrak sepeda motor yang membuat tulang kakinya retak sehingga selama pemulihan, gadis berumur 10 tahun itu harus menggunakan kursi roda.
“Bintang harus tetap semangat ya, Kak Tari yakin selama kita punya semangat untuk menjadi lebih baik termasuk supaya cepet berjalan normal lagi, kita pasti bisa mewujudkannya,” ujar Mentari sambil mengusap rambut Bintang.
“Tapi Bintang malu, Kak Tari, gimana kalau nanti Bintang diledekin temen-temen Bintang di sekolah gara-gara pake kursi roda?”
“Kenapa harus malu, memang Bintang melakukan kejahatan? Nggak kan? Lagipula Kak Tari yakin, kalau teman-teman Bintang itu anak yang baik, mereka pasti mengerti kondisi Bintang yang lagi sakit. Jadi Bintang ga perlu minder, harus berani. Kan, Bintang sekolah tujuannya buat menuntut ilmu, ya kan?”
Bintang menatap Mentari yang tersenyum manis kepadanya. Kemudian ia mengangguk ragu.
“Hmmm ngangguknya kok ragu gitu? Bintang itu harusnya lebih bersyukur, Bintang masih bisa sekolah meski dalam kondisi sakit. Di luar sana, banyak anak yang kondisinya sehat nggak bisa sekolah karena harus cari uang atau ga ada biaya.. “
Bintang memajukan bibirnya seolah merenungkan kata-kata Mentari. “Iya deh, Bintang mau masuk sekolah, Kak Tari bener, Bintang kan nggak nyuri, kenapa juga harus minder. Lagian kaki Bintang nanti juga sembuh kan? “ Mentari tersenyum sambil mengusap punggung telapak tangan gadis kecil itu. “Senyummm,” lanjut Mentari sambil tertawa manis membuat Bintang pun tergelak dalam tawa.  Mereka kembali bercanda sembari menikmati suasana sore itu.
“Kak Tari, berhenti sebentar,” ujar Bintang memberi isyarat agar Mentari menghentikan mendorong kursi rodanya. “Hmmm, ada apa Bintang?” tanya Mentari lembut. “Kak Tari lihat kakak cowok yang duduk di kursi taman disana itu?” ujar Bintang sambil menunjuk ke salah satu kursi taman di depan mereka. Seorang laki-laki sepantaran dengan Tari terlihat sedang duduk diam terlihat seperti melukis atau menulis sesuatu di buku yang dia bawa tanpa peduli keadaan sekelilingnya. “Iya…, Bintang kenal sama kakak itu?”
Bintang menggelengkan kepalanya. “Kakak itu sering Bintang lihat duduk disitu sendirian. Kak, hampir setiap hari bahkan, sudah beberapa bulan ini dan Kakak itu pasti membawa buku dan pensil. Bintang jadi penasaran sama Kakak itu, Kak Tari.”
“Penasaran kenapa?” tanta Mentari. “Ya penasaran aja, soalnya Kakak itu selalu menyendiri dan cuek gitu… apa dia lagi ada masalah ya, Kak? Apa dia ga punya teman? Trus kira-kira apa ya, yang digambar sama Kakak itu? Kasihan deh, kayaknya Kakak itu kesepian, Kak Tari”.
“Terus kenapa sebelum-sebelum ini, Bintang nggak nyoba ngajakin Kakak itu kenalan, katanya udah beberapa bulan dia selalu ke taman itu?”
Bintang nyengir ke arah Mentari, “Bintang takut, Kak Tari. Lihat aja sendiri, wajah Kakak itu serem, serius banget. Meskipun Bintang atau teman-teman Bintang main-main di dekat dia, dia tetap acuh tak acuh gitu. Padahal Kakak itu sebenarnya cakep”.
“Jadi Bintang mau kenalan sama Kakak itu, nich? Ya udah yukkk Kak Tari bantuin biar Bintang bisa kenalan dengan Kakak itu…,” ujar Mentari sambil melanjutkan mendorong kursi roda Bintang mendekati bangku taman yang diduduki laki-laki itu.
“Sore…” sapa Mentari. Laki-laki itu masih asyik dengan sketsanya, seolah tidak mendengar dan peduli ada Mentari dan Bintang yang coba menyapanya. Mentari menatap laki-laki itu sejenak. Dia seperti berusaha menyelami laki-laki dingin yang ada di hadapannya ini.
“Assalaamualaikum, sore…” ulang Mentari lagi lebih ramah. “Nama aku Mentari, kebetulan murid les aku yang namanya Bintang ini pingin banget kenalan sama kamu”. Laki-laki itu menghentikan coretannya dan mendongakkan kepalanya. Di hadapannya, dia melihat seorang gadis kecil di kursi roda sedang tersenyum manis kepadanya meski disertai rasa takut juga di satu sisi. Di sebelah gadis itu, seorang gadis sepantaran dengan dia tampak juga sedang tersenyum kepadanya.
“Maaf mengganggu kamu, tapi Bintang penasaran ingin mengenal kamu, soalnya kata dia kamu itu hampir setiap hari menyendiri disini sambil membawa buku sketsa kamu..”. Laki-laki itu masih tak bersuara.. “Iya, Kak. Nama aku Bintang. Nama kakak siapa? Kalau kakak perlu teman, Bintang mau lho jadi teman Kakak biar Kakak nggak kesepian sendirian disini..” Bintang mengulurkan tangannya kearah laki-laki itu.  Laki-laki itu tampak memandangi Bintang dan kursi rodanya sebelum kemudian dia menoleh ke arah Mentari yang ada di sebelah gadis kecil itu.
“Waalaikumsalam warrahmatullaahi wabarakaatuh…, nama kakak Andromeda… panggil saja Andro, ujar Andromeda seraya menyambut tangan Bintang yang terjulur kepadanya.
“Tapi kamu salah paham adik cantik, Kak Andro nggak kesepian kok, Kak Andro memang suka menikmati sore di taman ini sendiri..”
“Boleh aku duduk di sebelah kamu, Dro?” tanya Mentari. Andromeda mengangguk pelan dan dingin ke arah Mentari.  

Cast : Anisa Rahma as Ara dan Rizky Nazar as Rizzar :)


Part Setelahnya

Senin, 02 Maret 2015

Ada Kisah Kita Diantara Kamu dan Aku - Bagian 3

Part Sebelumnya 

Bagian 2 Warni Warni Cinta di Rumah Singgah
Rizzar as Archimedes, Ara as Jingga
Reihan dan Jingga pun membahas agenda gathering rumah singgah Pelangi, tempat mereka terlibat  bersama. Reihan adalah koordinator yang kali pertama memelopori kegiatan volunteer disana. Jingga baru aktif satu tahun terakhir setelah Reihan, yang juga merupakan kakak kelas Jingga semasa di SMA, mengajaknya. Hingga saat ini, ada 3 volunteer yang aktif di rumah singgah tersebut termasuk Reihan dan Jingga.
“Jingga, sesuai kesepakatan kemarin, kita akan mengajak adik-adik rumah singgah Pelangi ke Kebun Raya Bogor, uang kas kita kira-kira  cukup nggak untuk membiayai kegiatan itu?” tanya Reihan. “Dengan hitungan kita saat pertemuan kemarin sih cukup, Kak. Tapi ada baiknya kita sesama volunteer juga mengumpulkan uang sukarela buat menambahkan sumber dana untuk acara tersebut,” ujar Jingga. “Selain itu, rencana Aldo tentang kita, para kakak volunteer ikut turun ke jalan untuk membantu adik-adik berjualan satu-dua hari perlu dipertimbangkan”.
Reihan mengangguk, “Iya aku setuju, kemarin aku dapat pertanyaan dari Iwan dan beberapa adik  yang biasanya berjualan air mineral tentang itu, apalagi katanya hari Minggu itu termasuk hari yang ramai buat mereka berjualan”.
Reihan dan Jingga pun membuat daftar apa saja yang harus dilakukan untuk mewujudkan acara gathering adik-adik di rumah singgah Pelangi.
Daftar yang harus dilakukan untuk gathering sebagai berikut:
1. mengumpulkan uang sukarela dari para kakak volunteer (menyediakan kaleng bekas untuk pengumpulan uang tersebut agar para kakak volunteer tidak ada yang merasa minder dengan donasi yang diberikan. Kaleng baru boleh dibuka setelah semua kakak volunteer memberikan donasi).
2.  setiap minggu, kakak volunteer membantu berjualan adik-adik di rumah singgah secara bergantian selama 4 minggu ke depan. Total adik asuh di rumah singgah (semua bekerja) = 14 orang dan total kakak volunteer = 3 orang. Setiap kakak volunteer mendapatkan jatah membantu berjualan 4-5 orang adik untuk bisa mengganti uang pendapatan mereka di hari saat gathering dilakukan sehingga semua adik di rumah singgah Pelangi bisa ikut di acara gathering tersebut.
“Ada lagi yang mau ditambahkan kah, Kak Rei?” tanya Jingga. Reihan terdiam sejenak seraya berpikir.
“Oh iya, kelebihan uang penghasilan dari target yang ingin diperoleh, kalo menurut Jingga ada baiknya kalo kita masukkan ke tabungan mereka masing-masing, lumayan kan Kak,” sambung Jingga. Reihan mengacungkan jempolnya menandakan setuju dengan ide bagus dari Jingga.
“BTW, kita para volunteer, semuanya siap nggak turun ke jalan membantu adik-adik berjualan, Jingga?” tanya Reihan. “Berani nggak?”
Jingga menatap Reihan sejenak sambil tersenyum. “Entahlah, Kak Rei, aku juga belum terbayang lebih lanjut. Biasanya kita palingan mendampingi mereka agar lebih berhati-hati saat berjualan di lampu merah, tanpa ikut jualan he he”.
Reihan tertawa kecil.”Kita kuatkan niat kita untuk membantu mereka saja, mudah-mudahan kita berani”. Reihan dan Jingga pun tertawa bersama sambil mengepalkan tangan tanda semangat.
“Oh ya, Ngga, aku sepertinya bakal disibukkan dengan banyak tugas kuliah minggu ini, bisa minta tolong gantiin aku ke rumah singgah hari Jumat nanti nggak? Aku ada janji mau mengajarkan matematika buat Iwan dan Budi juga Rika yang sebentar lagi mau try out. Mereka kan kelas 6 sekarang”.
Jingga terdiam sejenak. “Baik Kak Rei, nanti biar Jingga yang mengajarkan matematika ke mereka. Kebetulan Jumat Jingga memang berniat mampir ke rumah singgah sekalian beberes disana. Kebetulan tidak ada jadwal kuliah hari itu”.
Reihan kemudian menanyakan terkait konsep menabung yang mereka berusaha tanamkan buat adik-adik di rumah singgah sekitar setengah tahun lalu. Jingga yang bertanggung jawab untuk jalannya pembelajaran itu karena Jingga yang mengusulkan ide tersebut. Menanamkan konsep menyisihkan uang penghasilan pada anak-anak yang bekerja di jalanan itu susah susah gampang. Awalnya, mereka takut tertipu dan uang yang mereka tabung akan hilang seperti beberapa berita yang mereka baca di koran-koran dagangan mereka. Selain itu mereka juga tidak paham akan manfaat menabung. Perlu beberapa minggu buat Jingga dkk menanamkan pentingnya menyisihkan sebagian penghasilan ke adik-adik di rumah singgah tersebut.
Adik-adik di rumah singgah Pelangi semuanya adalah anak usia sekolah dasar yang bekerja di jalanan. Perlu perjuangan buat Reihan dkk termasuk Jingga untuk meyakinkan mereka untuk tetap bersekolah. Reihan, Jingga, dkk pun mengumpulkan uang kas untuk operasional kegiatan di rumah singgah tersebut dan juga mengumpulkan bantuan dari donatur. Mereka bertekad bahwa adik-adik yang mereka bimbing di rumah singgah tersebut tidak akan putus sekolah minimal lulus SMA. Kebanyakan pemasukan kas rumah singgah pun adalah iuran sukarela dan rutin dari para volunteer yang ada juga beberapa donatur yang ingin bergabung. Oleh karena itu pulalah, Jingga mengajarkan adik-adik di rumah singgah itu untuk menabung. Akan tetapi, meski uang kas rumah singgah dan tabungan adik-adik rumah singgah menjadi satu dalam satu rekening tabungan, Jingga membuat catatan detail pertanggungjawabannya dan membekali adik-adik itu masing-masing buku tabungan yang biasa dipakai di sekolah. Bahkan untuk memberi pemahaman  dan pengetahuan ke mereka, Jingga bergantian mengajak mereka saat dia menabung di bank.
“Oke deh Jingga…, aku ada kuliah jam 10.00, aku pergi dulu ya. Kalau ada hal-hal yang perlu dibahas lagi,  via WA aja ya, Ngga”.
“Siip. Kak Rei..., by the way, kondisi Archimedes baik-baik saja kan, Kak? Maksud aku terkait ingatan dia setelah kejadian itu…,” ujar Jingga tiba-tiba sambil tersenyum.
“Archi baik-baik saja, kok Ngga. Masih merasa bersalah? Nggak usah terlalu dipikirkan, dia punya orang-orang yang sangat sayang sama dia, belum lagi fans dia yang peduli ke dia,“ ujar Reihan sambil tertawa kecil.
“Jingga serius nih Kak, kan yang tahu Archi mengalami kecelakaan itu dokter, orang tua Archi dan kita berdua, Kak”.
Reihan tersenyum, “Archi baik-baik saja, kok. Sejak kecelakaan itu sampai hari ini, dia tidak pernah terdengar sakit dan sepengetahuanku juga sehat-sehat kok”. Jingga pun tersenyum dengan ekspresi lega, “syukurlah kalo begitu, makasih ya, Kak”. Dan Reihan pun bergegas pergi menuju kelasnya begitu pun Jingga bergegas pergi menuju perpus di fakultasnya.
            Sepulang kuliah, Jingga menghampiri Rina, seorang adik paling muda di rumah singgah yang saat itu sedang asyik berjualan air mineral dan tissue di perempatan dekat kampusnya. Jingga menemani sembari mengawasi Rina yang masih duduk di kelas 3 SD yang sibuk menjajakan dagangan di tengah lalu lintas Jakarta yang padat merayap. Saat lampu hijau menyala, Rina menghampiri Jingga yang duduk di kursi taman tepi jalan di dekat tempat dia berjualan. Jingga membawakan minuman dingin dan roti buat Rina siang itu. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, saat sebuah mobil berhenti tak jauh di tempat Jingga duduk.
“Ooo, jadi kerjaan kamu itu mengeksploitasi anak kecil untuk berjualan di jalan. Pantas tadi waktu kamu menabrak teman aku dengan seenaknya, aku merasa tidak asing dengan wajah kamu”.
Jingga mendongakkan kepalanya ke asal suara tersebut.  “Archi…,” ujar Jingga pelan dengan ekspresi terkejut. Meski pelan, ternyata Archi yang tiba-tiba berdiri di hadapannya itu bisa mendengar ucapan Jingga. “Tahu dari mana kamu nama aku?” tanya Archimedes tetap dengan nada tinggi. Jingga terdiam sejenak berusaha mencari jawaban yang masuk akal dan belum sempat menjawab ketika Archimedes melanjutkan kalimatnya,”Aaah, tidak penting kamu tahu nama aku dari mana, orang seperti kamu, pasti tipe orang yang kepo dan maunya ikut campur urusan orang lain. Kamu saja tega memanfaatkan anak-anak kecil ini menjadi mesin uang kamu apalagi cuma sekedar tahu nama aku”.
Jingga menatap mata Archi, ada rasa marah tertahan di mata Jingga saat itu. “Kamu itu, enggak ada hujan, enggak ada angin, tiba-tiba datang di hadapan aku dan menuduh aku mengeksploitasi anak? Mana boleh menuduh orang tanpa bukti seperti itu, Chi… harusnya kamu sebagai anak hukum lebih tahu etikanya”.
“Wow, kamu bahkan tahu kalau aku anak fakultas hukum… Big applause for you, cewek kepo pengeksploitasi anak. Nggak perlu kamu sok mengajari aku seolah kamu itu orang bersih,“ jawab Archimedes masih dengan nada yang semakin tinggi dengan pandangan yang semakin menantang ke arah Jingga. Jingga pun mengalihkan pandangannya sejenak. Meski ia sedang marah kepada laki-laki di hadapannya itu, entah kenapa dia tidak bisa benar-benar melepaskannya. Ada semacam hutang budi kecil tapi bernilai yang tidak bisa ia lunasi kepada Archimedes.
“Kenapa diam, kamu tertangkap basah dan tidak bisa mengelak kan?” sambung Archimedes masih tetap dengan tuduhannya.
Jingga memandang kembali ke arah Archimedes, “Kamu masih saja kekeuh dengan tuduhan tanpa dasar itu, buktinya apa?”
“Bukan kali ini saja aku melihat kamu ada di dekat anak-anak jalanan itu, bahkan barusan aku bisa melihat, adik kecil di perempatan itu memberikan uang ke kamu. Pasti uang setoran kan? Sudahlah kamu tidak perlu mengelak lagi. Aku pikir aku bakal menunggu sampai menyelesaikan studiku buat menindak orang semacam kamu ini. Tapi, aku ga akan biarkan kamu meneruskan pekerjaan kamu mengeksploitasi anak-anak itu sekarang dan seterusnya”.
Jingga menarik nafas dalam-dalam, “Kalau kamu tidak bisa mempercayai aku dan tetap yakin dengan tuduhan kamu, silahkan kamu tanya langsung saja ke adik itu, apa aku memanfaatkan mereka atau….”. “Halaaah percuma lah, aku tanya adik itu, dia pasti takut mengatakan kebenarannya. Preman seperti kamu pasti punya banyak cara membungkam mereka”, ujar Archimedes memotong ucapan Jingga.
 Jingga mulai kehilangan kesabarannya, “Kalau kamu tetap tidak bisa percaya dan tidak mau mendengarkan penjelasan aku, lebih baik kamu tanyakan saja ke Kak Reihan. Dia sekelas dengan kamu kan, Chi?”
Archi masih menatap tajam kearah Jingga. Seolah ada tanya dalam sorot matanya yang berusaha tidak dia akui. Tanpa berkata apa-apa, Archimedes pun pergi meninggalkan Jingga.
Jingga memandangi punggung Archimedes yang semakin menjauh. “Aku tahu kamu itu orang baik, Chi. Tapi menuduh tanpa dasar itu tidak seharusnya dilakukan oleh orang baik seperti kamu”.
 “Kak Jingga baik-baik saja kan? Apa cowok tadi berkata kasar ke Kakak?” Suara Rina menyadarkan Jingga dari diamnya. Jingga mengusap rambut adik kecil itu seraya tersenyum. “Kak Jingga baik-baik saja kok, Cantik”.
“Tapi Rina lihat, kakak cowok tadi kelihatan marah ke Kak Jingga makanya Rina agak takut mau menghampiri Kakak pas lagi lampu hijau. Apa kakak cowok tadi teman kampus Kak Jingga?”
Jingga masih mengusap lembut rambut Rina. “Kakak tadi cuma salah paham aja, makanya jadinya marah-marah. Kakak cowok tadi… bukan teman Kak Jingga, tapi kami memang satu kampus. Udah Rina nggak usah khawatir ya, mending kita makan roti saja yuk”.
Rina sedang asyik melahap roti yang dibawa Jingga. “Kalau kakak cowok tadi gangguin Kak Jingga lagi, teriak saja, Kak… biar Rina panggil temen-temen yang lain buat ngeroyokin Kakak itu”. Jingga tertawa kecil sambil membelai rambut Rina. “Main keroyokan itu nggak baik” ujar Jingga pelan memberikan pengertian.
            Keesokan harinya, Archimedes dan Ryo pulang kuliah bersama. Mereka melewati perempatan yang  menjadi perdebatan mereka tempo hari. “Ternyata ya, cewek yang mengeksploitasi anak jalanan kemarin itu sekampus sama kita, Ryo,” ujar Archimedes dengan geram. “Hmm tahu dari mana, Chi?”tanya Ryo penasaran.
“Kemarin dia menabrak Rhea di kampus, eh sorenya dia kepergok lagi menerima setoran dari adik pekerja jalanan yang sedang jualan. Pantas aja, wajahnya nggak asing. Tapi yaaa namanya orang kepergok, selalu berkelit”.
Ryo berpikir sejenak. “Jangan-jangan dia salah satu volunteer yang aku ceritakan tempo hari, Chi”.
“Nggak mungkin sepertinya. Memang dia kemarin minta aku buat klarifikasi ke Reihan, temen sekelas aku. Tapi aku tetep yakin dia cuma berusaha mengulur waktu aja. Yang jelas aku tidak akan membiarkan dia meneruskan kejahatannya itu”.
“Memang siapa namanya, Chi? Biar aku tanyakan ke temen fakultas aku yang jadi volunteer juga”.
Archimedes memandang ke arah Ryo. “Aku lupa menanyakan siapa namanya, tapi sepertinya kita bisa tanyakan itu sekarang langsung ke yang bersangkutan. Tuh, lihat Ryo, dia lagi beraksi dengan adik pekerja jalanan yang sama seperti kemarin,” ujar Archimedes sambil menunjuk ke arah Jingga yang asyik bercakap-cakap dengan Rina di tempat yang sama seperti hari sebelumnya. Jingga sedang asyik membantu Rina belajar berhitung ketika lampu kembali merah dan Rina berlari kecil menawarkan lagi dagangannya.
“Masih mengelak setelah kembali kepergok?”. Suara tinggi Archimedes membuat Jingga sedikit terkejut menatap Archimedes dan temannya.
“Aku bilang berhenti meminta setoran dari adik kecil itu, kalau nggak aku bakalan laporin kamu ke kampus,” sambung Archimedes.
“Aku heran sama kamu, Chi…, masih saja tetap menuduh aku. Kamu sudah menemui Kak Reihan, belum?” tanya Jingga berusaha menahan emosinya.
“Buat apa? Itu cuma alasan kamu saja, kan? Aku tetap tidak percaya sama kamu”.
Ryo berusaha menenangkan Archimedes yang semakin meninggi.
“Chi, sabar. Aku tahu kamu benci eksploitasi terhadap anak, tapi biarin cewek ini jelasin dulu. Maaf kalo teman saya ini emosi. Nama saya Ryo, kalo boleh tahu nama kamu siapa? Dan sebenarnya, apa yang kamu lakukan terhadap adik kecil itu?”
Jingga terdiam sejenak memandang bergantian ke arah Ryo dan Archimedes. “Nama aku Jingga.. aku..”
“Jangan sakiti Kak Jingga…, “ tiba-tiba terdengar teriakan Rina diikuti lemparan sebuah batu kecil mendarat tepat di dahi Archimedes.
Jingga terkejut, dahi Archimedes berdarah dan dia terlihat meringis kesakitan. Ryo pun tak kalah terkejutnya. Lemparan itu begitu tiba-tiba dan tidak terduga oleh mereka. Rina sudah bersiap akan melemparkan lagi batu ke arah Ryo ketika Jingga segera menghentikannya. “Jangan, sayang…, melukai orang lain itu tidak baik“. Rina mendekat kearah Jingga. Sementara Jingga terlihat cemas melihat dahi Archi yang berdarah.  “Kak Jingga jangan takut, Kak. Rina bakal bantu Kak Jingga ngelawan dua kakak jahat ini. “
Jingga segera membelai rambut Rina dengan lembut berusaha memberi pengertian. “Sayang, mereka nggak jahat ke Kak Jingga kok. Rina nggak boleh sakitin mereka ya.. Inget apa kata Kak Reihan minggu kemarin, kita harus saling menyayangi sesama kita”.
Rina menatap menantang Archimedes yang terlihat kesakitan. “Tapi kakak ini jahat ke Kak Jingga, dari kemarin dia selalu bentak-bentak Kak Jingga”.
Jingga berusaha memberikan pengertian lebih ke Rina bahwa Archimedes dan Ryo bukanlah orang jahat seperti yang dibayangkan Rina. Mereka hanya sedang terlibat kesalahpahaman saja. “Coba lihat itu, kasihan jidat Kak Archi jadi berdarah, Rina sekarang minta maaf ya,” ujar Jingga lembut“. Rina menggelengkan kepalanya pelan, “Tetep saja Kakak itu sudah bentak-bentak Kak Jingga seenaknya. Rina nggak mau minta maaf. Rina mau jualan lagi”. Rina bergegas berlari menuju perempatan lampu merah tanpa mengindahkan panggilan Jingga.
“Jadi, kamu itu volunteer, ya Ngga?” Pertanyaan Ryo itu, kembali mengingatkan Jingga dengan luka di dahi Archimedes. Jingga memandangi Archimedes yang terlihat menahan sakit tapi masih tetap dengan sikap “cool”-nya. “Sepertinya luka di dahi Archimedes harus segera diobati, Ryo, biar darahnya nggak keluar terus. Ada kotak P3K nggak di mobil kalian?” ujar Jingga seolah tidak mendengar pertanyaan Ryo tadi. “Ada, biar aku ambilkan dulu di mobil,” jawab Ryo yang segera berlari menuju mobil saat menyadari dahi Archimedes yang berdarah. Sementara itu, Archimedes masih terdiam  memegangi luka di dahinya dan Jingga segera mengusapkan tissue ke luka Archimedes sekaligus memberikan tissue di tangan Archimedes yang terkena darah. Archimedes menatap kearah Jingga yang terlihat khawatir. Archimedes merasa situasi yang serupa pernah dialaminya. Bahkan raut itu juga tiba-tiba seolah tidak asing baginya.
“Kamu baik-baik saja, Chi?” tanya Jingga lembut. Archimedes setengah terkejut dan terbangun dari perasaan anehnya itu. Dia melepaskan tangan Jingga dari dahinya dan mundur beberapa langkah dari Jingga. Dia kembali menatap Jingga yang masih dengan wajah cemasnya beberapa saat, ketika Ryo datang dengan kotak P3K. “Kita pergi dari sini, sekarang Ryo. Biar aku obatin luka ini di mobil saja,”ujar Archimedes dingin sambil berbalik arah meninggalkan Jingga dan menuju mobilnya.
“Aku benar-benar minta maaf, Chi. Maaf sudah membuat dahi kamu terluka. Aku yang salah sudah membiarkan Rina, itu nama adik kecil tadi, salah paham dan melempar batu mengenai dahi kamu”. Suara Jingga terdengar bernada cemas dan penuh rasa bersalah. Archimedes berbalik memandang ke arah Jingga. “Kamu takut aku memperkarakan ini ke jalur hukum?” tanya Archimedes tiba-tiba. Jingga menatap balik Archimedes sambil menggelengkan kepalanya. “Aku yakin kamu tidak akan melakukan itu, Chi. Aku.. aku cuma merasa bersalah dan cemas saja melihat kamu terluka,” ucap Jingga pelan ke Archimedes. Archimedes masih menatap mata Jingga. Tanpa mengucap satu patah kata pun, Archimedes kemudian berbalik meninggalkan Jingga.
-Cut 2-
            Syuting hari itu selesai cepat. Waktu menunjukkan pukul 18.00 saat Ara mengambil wudlu dan bergegas masuk ke ruang sholat dan dia berpapasan dengan Rizzar. Sikap Rizzar kembali dingin seperti biasa sehingga Ara ragu untuk memulai percakapan dan hanya membagi senyuman kepada Rizzar. Tempat sholat masih lengang saat itu, para kru di lokasi syuting masih sibuk membereskan segala sesuatunya. Ara menunggu waktu Maghribnya dengan melanjutkan mengaji hariannya tanpa mengeraskan suaranya, sedangkan Rizzar terlihat khusyuk di tempatnya, tidak jauh di depan tempat duduk Ara. Adzan Maghrib berkumandang saat Rizzar tiba-tiba  bangkit dari tempatnya dengan terburu-buru. Ara bisa melihat sepintas, Rizzar seperti habis menangis, dugaan itu menguat karena Ara sempat melihat bahu Rizzar saat Rizzar berusaha menahan isak tangisnya. Rizzar tak sedikitpun melihat kearah Ara, dia bergegas menuju tempat wudlu untuk mengambil wudlu sekali lagi.
“Aku tidak tahu masalah kamu, Riz.. tapi sepertinya masalah itu cukup membebani kamu. Biasanya kamu itu tipe orang yang berusaha tampil cuek apapun yang kamu hadapi, tapi kali ini sepertinya kamu tidak bisa melakukannya. Semoga kamu ditunjukkan jalan keluar yang terbaik Riz. Andai  ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membantu kamu, Riz,” ujar Ara dalam hati. Tak lama kemudian, terlihat dua kru masuk ke tempat sholat bersama dengan Rizzar. Rizzar menoleh sejenak ke Ara. Mata mereka pun bertemu dan Rizzar buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain dan Ara pun menunduk.
            Seusai sholat berjamaah, di tempat itu, masih tertinggal Rizzar dan Ara. Ara seolah bisa merasakan, hati Rizzar yang sedang sangat tidak tenang sehingga dia memutuskan menunggu Rizzar menyelesaikan doanya saat itu. Rizzar bangkit dari tempat duduknya, saat Ara menghampirinya, masih dengan menggunakan mukenanya.
“Kita ngaji bareng yuk, Riz…,” ujar Ara masih dengan senyum tulusnya.
Rizzar memandang ke Ara, ada rasa terkejut, ragu, dan tanda tanya disana. “Siapa tahu, dengan mengaji bareng, bisa membuat hati kamu menjadi lebih tenang. Bukannya aku sok tahu, tapi aku merasa kamu sedang benar-benar gelisah saat ini,” ucap Ara lembut.
Rizzar masih terdiam memandangi Ara. Ara benar, hatinya sangat gelisah saat ini, dia masih belum bisa menemukan titik cerah untuk  menghadapi masalahnya dengan kuat. Tapi di sisi  lain, Rizzar ragu karena dirinya sedang berkomitmen menjaga jarak dari Ara.
Sementara itu, Ara menunggu jawaban Rizzar tetap dengan senyuman tulusnya.
“Bagaimana, Riz? Mau nggak? Aku tahu kamu sedang menjaga jarak dari aku, jadi anggap saja aku orang asing dalam hal ini. Meski kita dua orang asing, tapi siapa tahu kalo kita mengaji bersama, itu bisa membuat rasa gelisah kamu sedikit berkurang”
Rizzar akhirnya mengangguk pelan meski ada keraguan dimatanya. “Kita mengaji disini? Tapi…, bagaimana kalau ada orang yang melihat dan salah paham tentang kita?”
Ara lagi-lagi tersenyum, kali ini setengah tertawa kecil. “Iya kita mengaji disini saja, tempat sholat ini kan agak terbuka dan wajar kalo kita mengaji disini. Kalau tentang orang salah paham, sepertinya kemungkinannya kecil, lokasi sudah sepi, yaaa  kita berpikir positif saja, niat kita ngaji itu baik, kita berdoa saja semoga kita dijauhkan dari gosip”.
Akhirnya mereka mengaji berdua. Saat itu, ketegangan diantara mereka seperti lenyap. Mereka larut dalam ibadah mereka saat itu. Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB saat mereka selesai mengaji. Mereka duduk berhadapan meski tetap berjarak.
“Gimana perasaan kamu sekarang, Riz? Agak enakan, nggak?” tanya Ara. Rizzar menatap Ara kemudian tersenyum mengangguk. “Makasih ya, Ra, kamu sudah menemani aku mengaji. Hati aku terasa sedikit ringan.”   
“Alhamdulillah kalo begitu. Aku cuma bisa bantu doa, semoga kamu ditunjukkan jalan keluar yang terbaik aja, Riz. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan saat kita diberikan masalah, insyaa Allah disitu ada  pembelajaran buat kita untuk bisa lebih baik dari sebelumnya. Semangat, Riz!” Rizzar masih menatap Ara seraya memberikan senyumannya yang lebih lebar.“Sekali lagi, makasih, Ra”.
“Perasaan dari tadi kamu mengucapkan terima kasih melulu, Riz,” ujar Ara sambil tersenyum kecil seolah mengajak bercanda Rizzar. Rizzar pun tertawa.
Rizzar tidak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjalin diantara dirinya dan Ara. Buat Rizzar, pertemanannya bersama Ara selama mereka terlibat syuting bersama terutama syuting panjang saat sinetron pertama mereka dipasangkan berdua, membuat mereka lebih saling mengenal. Banyak tawa dan cerita yang mereka telah bagi bersama, banyak waktu senggang dilokasi syuting yang mereka telah habiskan bersama. Ara telah memberikan warna sendiri dalam kehidupan Rizzar. Ara dan keceriaannya dan sikap humble serta ramahnya kepada orang lain, baik kru, sesama pemain, dan juga fansnya yang setia bergantian menemaninya di lokasi syuting. Rizzar belajar hal baru dari Ara. Rizzar belajar lebih berani menyapa fans-nya dengan lebih hangat, lebih dekat dengan mereka dengan sikap-sikap sederhana seperti yang Ara lakukan dengan fansnya. Adanya Ara membuat rasa risih dan menjaga jarak Rizzar terhadap fansnya seolah perlahan menjauh.
“Ya, sudah Riz… aku  duluan ya,” ujar Ara. Rizzar tersenyum kearah Ara. “Oh ya, Ra.. tumben Mama kamu tidak menemani kamu di lokasi syuting hari ini. Biasanya beliau selalu ada”.
Ara membalas senyum Rizzar dengan senyuman dia yang lebih lebar lagi. “Iya, kebetulan ada acara keluarga, jadinya Mama tidak bisa menemani aku syuting”. Kali ini Rizzar membalas tersenyum lebar. Dan lagi-lagi Ara melempar senyum yang lebih lebar ke Rizzar. “Oh iya, aku baru lihat, ternyata Alquran kecil kita sama ya, cuma berbeda warna saja. Kebetulan banget, ya Riz,” sambung Ara sambil memperlihatkan bagian depan Alquran kecil yang dipegangnya.
“Iya ya, Ra... aku… dapat ini sebagai hadiah dari fans”.
“Wah berarti sama, aku juga dapat ini dari fans.., hmm jangan-jangan dari fans couple kita di sinetron ya Riz”.
Ekspresi Rizzar tiba-tiba sedikit berubah. Rizzar teringat kembali dengan komitmennya menjaga jarak dari Ara setelah sinetron yang menjadikan mereka couple tamat. Ara pun melihat perubahan ekspresi Rizzar yang terlihat kembali dingin.
“Maaf, Riz… aku tidak bermaksud mengusik kamu dengan ketidaknyamanan yang terjadi terkait masalah couple kita di sinetron. Aku tahu kita harus menjaga jarak untuk meredakannya. Jangan terlalu kamu pikirkan, ya. Soal Alquran kecil kita yang sepasang ini, insyaa Allah tidak akan menambah masalah. Kita anggap saja, ini hadiah yang terpisah dari fans kamu dan fans aku, tidak ada hubungan dengan couple-couplean kita.”
Ara tiba-tiba merasa bersalah. Meski dia tahu dirinya tidak melakukan hal yang salah, tapi tiap kali dia melihat Rizzar membangun “dinding” secara tiba-tiba terhadap dirinya, Ara merasa bersalah.
“Maafin, aku ya Riz kalau aku mengusik kamu,” ujar Ara pelan dan sungguh-sungguh.
"Kamu tidak bersalah dan kamu tidak perlu minta maaf, Ra. Hanya saja, jujur aku tidak punya banyak kata tentang kita. Apa yang terjadi diantara kita terlalu rumit, dan aku tidak nyaman dengan itu semua. Hal yang paling masuk akal buat kita adalah menjaga jarak. Aku harap kamu bisa mengerti, Ra.”
Ara menatap mata Rizzar seraya tersenyum lebar dan tanpa keraguan. “Pasti, aku akan berusaha mengerti kamu, Riz. Aku hanya seseorang asing yang datang ke kehidupan seorang Rizzar baru-baru saja. Dan sebagai orang baru, aku harus tahu diri. Aku percaya, setiap kita masuk dalam kehidupan seseorang entah itu sebagai teman, sahabat, atau apapun itu, tidak seharusnya kita membuat hidup orang itu menjadi lebih buruk karena kita. Kita harus berusaha memberi warna yang positif untuk setiap orang yang kita temui. Atau… setidaknya kita memberikan warna yang netral saat situasi dan kondisi tidak memungkinkan.”
Rizzar hanya mampu menatap Ara tanpa berucap satu kata pun. Rizzar tidak tahu bagaimana dia seharusnya menjawab Ara. Hatinya  saat itu riuh, meski dia sudah memantapkan hatinya untuk menjaga jarak terhadap Ara demi cewek dan fans-nya, tapi selalu ada rasa bersalah yang menghantuinya setiap kali melihat Ara yang masih tetap menawarkan senyuman tulus kepadanya. Tak hanya itu, ada sakit yang selalu terasa, tanpa Rizzar tahu benar apa sebabnya dan berusaha diabaikannya.
“Oh ya Riz, soal rasa bersalah kamu terhadap Mama kamu, menurut pendapat aku, hal yang paling mungkin kamu lakukan untuk mendamaikan hati kamu adalah segera meminta maaf ke beliau dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang mengecewakan beliau kemudian membuktikan itu melalui tindakan kamu kedepannya. Aku yakin, Mama kamu pasti sudah memaafkan kamu sebelum kamu memintanya. Tapi permintaan maaf yang yang tulus dari kamu kepada beliau, itu menjadi kunci dari kedamaian hati kamu sendiri,” sambung Ara masih dengan senyum tulusnya.
Rizzar mengangguk seraya tersenyum dan menatap Ara. Lagi-lagi tak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibirnya saat itu. Rizzar hanya terpaku di tempatnya memandangi setiap gerak gerik Ara yang berpamitan pulang dan kemudian perlahan menghilang dari pandangannya.
Rizzar memandangi sejenak Alquran kecil yang masih dipegangnya. “Maafin aku, Ra… dan… sekali lagi terima kasih banyak”.
Cast : Rizky Nazar as Rizzar; Anisa Rahma as Ara :) :)
“Bersambung”

Part Setelahnya

Harus banyak membaca lagi, tangan dan otak makin belepotan menuangkan ide. Semangat!!! Baca baca baca…. demi paper, cerbung, puisi, tesis dan hasil karya tulis lainnya :) 

Dan tetap berusaha menulis dari hati! :)