Senin, 17 Oktober 2016

Menyapa Cinta Bersama Bintang - Part 4 : Where Are You, Kak Andro?


PART 4 : WHERE ARE YOU, KAK ANDRO?

Hari itu adalah hari kamis saat Bintang beberapa kali melihat kearah jam dinding kamarnya. Sore itu ia sudah tidak sabar bertemu dengan Andromeda setelah kemarin Rabu, Bintang dan Mentari tidak mendapati Andromeda di taman tempat mereka biasa bertemu. Ada kekecewaan di wajah Bintang saat itu, tapi Mentari berusaha memberikan pengertian kepada gadis kecil itu bahwa mungkin saja Andromeda sedang ada keperluan hingga tidak bisa mendatangi taman seperti biasa. Mentari juga mengatakan bahwa besok mereka masih bisa bertemu lagi dengan Andromeda. Bintang pun akhirnya bisa mengerti, tapi alhasil Kamis itu Bintang jadi lebih antusias dari biasanya untuk segera bertemu Andromeda di taman.
"Kak Tari... ayo buruan..., kasihan Kak Andro menunggu lama. Biar bibi nanti yang merapikannya, Kak," rengek Bintang manja kepada Mentari yang sedang merapikan buku-buku Bintang kembali ke raknya. Mentari tersenyum manis dengan tatapan menggoda ke gadis kecil itu.
"Duuuh yang semangat banget mau bertemu dengan Kak Andro. Sabar ya, Bintang... tanggung nich... sedikit lagi Kak Tari selesai," balas Mentari disambut Bintang dengan deretan gigi putihnya.
"Tadi malam, Papa sama Mama bilang kalau Bintang boleh merayakan ulang tahun Bintang hari minggu ini di rumah, Kak. Bintang mau obrolin ini sama Kak Tari dan Kak Andro di taman," sambung Bintang dengan penuh semangat.
Mentari memasang ekspresi terkejut sambil tetap tersenyum lebar ke Bintang.
"Jadi Bintang mau ultah tho...". Gadis kecil itu terlihat menganggukkan kepalanya dengan mata berbinar ceria. Mentari pun mempercepat aktivitasnya, tidak ingin membuat gadis kecil yang sedang bersemangat itu hilang mood-nya.
10 menit kemudian, Mentari dan Bintang pun keluar rumah, berangkat menuju taman.
"Kak Tari, kira-kira Kak Andro mau datang nggak ke ultah Bintang?"
"Insyaa Allah Kak Andro pasti mau, Bintang. Kan Kak Andro pernah bilang kalo Kak Andro ingin bertemu Bintang setiap hari".
Bintang tertawa, tergelak mendengarnya sambil menoleh keatas, menatap Mentari yang sedang tertawa kecil sambil mendorong kursi roda Bintang.
"Oh iya, Papa juga bilang mau ngadain syukuran di panti asuhan deket rumah pagi harinya, Kak Tari".
"Waaaah, seru. Kak Tari boleh ikutan ke panti asuhan?" ujar Mentari tersenyum lebar menatap Bintang yang mendongakkan kepalanya sambil tersenyum tak kalah lebar. Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya tanda ia sama sekali tidak keberatan.
"Nanti kita bujukin Kak Andro juga ya, Kak Tari. Biar Kak Andro ikutan juga ke panti, he he. Tapi Kak Andro mau datang aja ke rumah Bintang, Bintang sudah seneng banget".
Mentari ganti menganggukkan kepalanya sambil membelai lembut kepala gadis kecil itu.
"Kenapa ya, Kak Tari... Papa sama Mama Bintang pingin ngerayain ultah Bintang dua kali, di panti asuhan dan di rumah? Bukannya itu perlu uang lebih banyak ya, Kak?” tanya Bintang lagi.
Mentari mencubit lembut pipi Bintang sambil tertawa kecil.
Karena Papa dan Mama Bintang ingin membiasakan Bintang buat berbagi,” jawab Mentari.
Iya, Bintang tahu Kak Tari. Tapi bukannya ngerayain ultah bareng temen-temen Bintang di rumah itu juga berbagi kan Kak?
Mentari tersenyum lebar mendengar pertanyaan gadis kecil itu.
Papa dan Mama Bintang ingin Bintang berbagi bukan hanya dengan teman-teman main dan sekolah Bintang, tapi juga dengan teman-teman di panti asuhan yang tidak seberuntung Bintang punya Papa dan Mama lengkap.
Bintang mendongakkan kepalanya melihat kearah Mentari.
Papa dan Mama Bintang ingin Bintang bisa lebih belajar tentang arti bersyukur dan lebih peduli ke orang yang tidak seberuntung Bintang,” lanjut Mentari dengan senyum yang lebih lebar dibalas Bintang yang ikut tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Emang kalau kita berbagi kita ga bakal jatuh miskin, ya Kak Tari?   
"Nggak ada ceritanya berbagi membuat kita miskin, Bintang. Tuhan pasti mencukupkan kita kalau kita membantu dan berbagi apalagi dengan yang tidak seberuntung kita," jelas Mentari tersenyum lembut dibalas Bintang dengan senyum riangnya, lagi-lagi menganggukkan kepalanya.
Mentari mendorong kursi roda Bintang lebih kencang karena Bintang terlihat sudah tidak sabar bertemu Andromeda. Gadis kecil itu terdengar menyanyikan beberapa lagu anak-anak dengan riang sambil menikmati perjalanan menuju taman.
Sepuluh menit kemudian, keduanya sudah berada di areal taman ketika mereka lagi-lagi tidak mendapati sosok Andromeda di tempat biasanya mereka bertemu seperti kemarin.
"Yaaah, kok Kak Andro ga ada, Kak Tari?" tanya Bintang sambil melihat kanan dan kiri, menyapu pandangan ke sekitar tempat duduk mereka bertiga biasa bertemu.
Mentari pun melakukan hal yang sama, menengok kanan kiri mencari sosok Andromeda.
"Yaaah, kok Kak Andro nggak ada. Apa mungkin Kak Andro sudah pulang ya, Kak Tari?" lanjut Bintang dengan nada dan raut sedih dan kecewa.
"Mungkin Kak Andro sedang ada keperluan, Bintang jadinya tidak bisa ke taman beberapa waktu," jawab Mentari lembut berusaha menenangkan Bintang.
"Yaaah... gagal deh Bintang ngundang Kak Andro buat datang ke ulang tahun Bintang,"sambung Bintang lirih dengan raut sedih.
Mentari pun duduk di bangku biasanya dan menarik kursi roda Bintang lebih dekat menghadapnya. "Bintang jangan sedih ya, Kak Tari bakal cari cara buat memberitahu Kak Andro buat datang hari Minggu nanti".
Bintang menatap Mentari dalam diam. Mentari bisa melihat ada kecewa dan sedih di mata gadis kecil itu.
“Bintang jangan sedih ya, kalau Bintang sedih... Kak Tari jadi ikutan sedih,” lanjut Mentari ikut memasang wajah sedih. Bintang pun buru-buru tersenyum lebar. “Bintang ga jadi sedih, Bintang ga mau Kak Tari ikutan sedih. Bintang percaya Kak Tari akan cari cara buat memberitahu Kak Andro”. Mentari pun tersenyum lebar sambil mengusap kepala gadis kecil itu sambil menganggukkan kepalanya. Mentari pun akhirnya membawa Bintang jalan-jalan menikmati sore berkeliling taman.
Waktu menunjukkan pukul 17.10 ketika Mentari kembali tiba di taman, hendak pulang.  Ia melihati kembali tempat duduk mereka biasa bertemu Andromeda dan sekitarnya, tak ada tanda-tanda bahwa laki-laki itu datang sore itu.
“Kamu kemana Dro? Apa kamu baik-baik saja?” ucap Mentari lirih. Ada khawatir di hati gadis itu, entah kenapa. Setelah beberapa kali berpikir, Mentari pun memutuskan mendatangi rumah Andromeda.   
Adzan Maghrib terdengar berkumandang saat Mentari tiba di depan pagar rumah Andromeda, terlihat Pak Ahmad yang membantu di rumah Andromeda sedang merapikan peralatan berkebun.
“Assalaamualaikum, Pak Ahmad,” sapa Mentari tersenyum lebar menyapa laki-laki paruh baya itu.
Terdengar jawaban salam dari laki-laki itu kemudian bergegas membukakan pintu pagar. Pak Ahmad terlihat melihati Mentari, seolah mengingat-ingat wajah gadis itu.
“Nak Tari yang pernah mengantarkan Mas Andro pulang bukan?” tanya Pak Ahmad sambil tersenyum ke Mentari. Mentari  menganggukkan kepalanya.
“Alhamdulillah Pak Ahmad masih ingat saya. Maaf saya datang maghrib-maghrib begini. Apa Andro-nya ada Pak?”
Lagi-lagi Pak Ahmad tersenyum, “ Gapapa Nak. Mas Andro ada di kamarnya, Nak Tari. Kondisi Mas Andro drop dari kemarin, jadinya harus bed rest beberapa hari,” ujar Pak Ahmad sembari menyilahkan Mentari masuk ke dalam rumah
“Drop?” tanya Mentari lagi.
“Iya Nak, kemarin puncaknya. Mas Andro lemes banget dan demam tinggi, sampai-sampai buat bangun dari tempat tidur saja nggak bisa. Sepertinya ada yang dipikirkan Mas Andro tapi tidak bisa diceritakan ke kami. Mas Andro kurang istirahat dan nafsu makannya juga berkurang akhir-akhir ini meski Mas Andro selalu bilang kalau dia tidak apa-apa,” lanjut Pak Ahmad. Ada khawatir dalam nada bicaranya. Mentari hanya bisa tersenyum berempati kepada laki-laki itu.
Pak Ahmad menyilahkan Mentari duduk di ruang tamu sementara Pak Ahmad masuk ke kamar Andromeda. Terlihat Bu Aisyah, istri Pak Ahmad, menghampiri Mentari dengan senyum hangatnya, Mentari pun balas tersenyum dan bergegas menyalami tangan Bu Aisyah.
Setelah saling menanyakan kabar, Bu Aisyah pun bergegas ke dapur disaat bersamaan dengan Pak Ahmad yang keluar dari kamar Andromeda. Pak Ahmad mempersilahkan Mentari masuk ke kamar Andromeda. “Nak Tari, tolong bicara sama Mas Andro ya biar Mas Andro mau cerita apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini,” ucap Pak Ahmad lirih di depan pintu kamar Andromeda. Mentari tersenyum dan mengangguk pelan, berusaha menenangkan laki-laki itu.
Mentari pun masuk ke kamar Andromeda, laki-laki itu terlihat sedang duduk di tempat tidurnya dan tersenyum kearahnya diantara wajahnya yang masih pucat. Mentari pun tersenyum lebih lebar sembari mengucapkan salam yang langsung dibalas oleh Andromeda.
“Silahkan masuk, Tari,” ujarnya sembari menyilahkan Mentari untuk duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangnya.
“Bagaimana kondisi kamu, Dro? Apa sudah lebih baik?” tanya Mentari dibalas anggukan pelan laki-laki itu. Kondisi laki-laki itu terlihat masih lemah meski Andromeda berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
“Sudah jauh lebih baik, Tari. Aku cuma kecapekan aja. Oh iya Bintang ga ikut kesini, Tari?“
Mentari menggelengkan kepalanya. “Kalau Bintang lihat kondisi kamu sekarang, dia pasti sedih dan khawatir, Dro. Gara-gara kamu ga ada di taman kemarin dan tadi aja udah bikin Bintang jadi sedih. Itu sebabnya aku datang kesini”.
Andromeda tersenyum menganggukkan kepalanya pelan, “Kamu benar, Tari... untung Bintang ga ikut kesini. Aku ga mau dia jadi sedih karena mengkhawatirkan aku. Aku cuma pingin ngelihat dia tersenyum dan tertawa aja”.
Mentari menatap Andromeda dan tersenyum lebih lebar kepadanya. 
“Minggu ini Bintang ulang tahun, Dro. Dia berharap banget kamu bisa datang,”ujar Mentari lagi.
“Aku akan berusaha buat datang, Tari. Aku ga mau mengecewakan harapan Bintang,” jawab Andromeda pelan.
“Tapi dengan kondisi kesehatan kamu seperti ini, apa kamu bisa datang?” tanya Mentari, ada khawatir di ucapannya itu.
Andromeda pun diam, hanya tersenyum lirih kepada gadis itu kemudian larut dalam pikirannya. Laki-laki itu bahkan tak yakin apakah kondisinya akan segera membaik. Beberapa hari, matanya sulit sekali terpejam. Selain itu, meski ia berusaha memaksakan untuk makan seperti biasanya, tapi nafsu makannya tetap tak bisa seperti biasa. Andromeda berusaha untuk melawan lemahnya, tapi  seolah ia tak berdaya menghilangkan gundah di hati dan pikirannya. 
“Drooo....”.
“Ya,” jawab Andromeda tersadar dari lamunannya, menoleh kearah Mentari. Gadis itu terlihat memandanginya, seolah berusaha menyelami apa yang dipikirkan Andromeda.
“Pak Ahmad bilang ada yang mengganggu pikiran kamu akhir-akhir ini sampai kondisi kamu nge-drop. Apa ini ada hubungannya dengan obrolan terakhir kita tentang keinginan kamu melepaskan seseorang yang kamu sukai?”
Andromeda  balas menatap Mentari kemudian menundukkan pandangannya.
 “Aku tahu seharusnya aku ga boleh lemah seperti ini, Tari... tapi...”. Andromeda tak menyelesaikan kalimatnya, laki-laki itu kembali menatap Mentari dan tertawa kecil, seolah sedang menertawakan dirinya sendiri.
“Kalau memang hal itu mengganggu pikiran dan hati kamu sampai mengganggu kesehatan kamu,... aku mau membantu kamu melepaskan orang itu, aku bersedia berpura-pura menjadi cewek kamu, Dro”.
Ucapan Mentari itu pun membuat Andromeda tertegun, ia tidak menyangka gadis itu akan berubah pikiran.
“Kamu serius dengan ucapan kamu, Tari?” tanya Andromeda menatap tajam kearah Mentari.
Mentari terdiam sejenak sebelum kemudian menganggukkan kepalanya tanpa keraguan.
“Tapi aku berharap setelah kamu melepaskan dia, kamu tidak boleh lemah seperti ini lagi. Kamu harus lawan dan bisa berdamai dengan perasaan kehilangan kamu setelah melepaskannya termasuk rasa bersalah kamu ke dia,” ucap Mentari.
Andromeda terlihat berpikir beberapa saat kemudian mengangguk pelan.
Andromeda pun membicarakan rencana yang ada didalam pikirannya ke Mentari termasuk rencana tempat dia melakukan itu. Andromeda dan Mentari sepakat akan melakukannya sebelum hari Minggu. Andromeda pun saling bertukar nomer handphone dengan Mentari untuk memudahkan komunikasi selanjutnya diantara keduanya.
 “Ya udah, sekarang kamu lebih baik banyak istirahat dan jangan terlalu banyak pikiran biar kondisi kamu bisa segera pulih dan kita bisa menjalankan rencana kamu,” ujar Mentari sambil tersenyum lebar ke Andromeda, “ingat, Bintang menunggu kehadiran kamu hari Minggu nanti, Kak Andro. Kebahagiaan Bintang ga lengkap tanpa kehadiran dan doa kamu, Dro”.
Andromeda tersenyum lebih lebar sambil menganggukkan kepalanya menatap Mentari, “Iya , aku akan berusaha datang, aku tidak ingin membuat Bintang kecewa dan sedih, Tari”.
Mentari menganggukkan kepalanya, “Aku percaya itu, Dro. Aku pulang dulu ya. Cepet sehat kembali ya. Semangaaat!”
Tawa pun pecah diantara keduanya.
“Terima kasih banyak, Tari. Terima kasih untuk semuanya. Tolong jangan bilang Bintang kalau aku sakit dua hari ini ya. Bilangin juga Kak Andro minta maaf karena ga bisa datang ke taman,“ sambung Andromeda dibalas senyuman Mentari sambil menganggukkan kepalanya.
“Kamu bisa sampaikan langsung permintaan maaf kamu hari Minggu nanti, Dro. Yang penting sekarang kamu segera memulihkan kondisi kamu. Satu lagi yang harus kamu ingat, saat kamu nggak datang ke taman karena sakit, taman kehilangan satu pengunjung tetapnya, Dro,” ujar Mentari tersenyum lebih lebar dibalas senyuman yang lebih lebar dari Andromeda. Kalimat gadis itu berhasil menumbuhkan semangat di diri Andromeda untuk segera kembali sehat. Keduanya pun saling berbalas salam lalu Mentari pun berjalan keluar kamar Andromeda hendak menumpang sholat ke Bu Aisyah sebelum pulang.
Sebenarnya Mentari tidak pernah setuju dengan rencana Andromeda karena baginya kejujuran jauh tetap lebih baik dari kebohongan atau kepura-puraan. Namun melihat kondisi kesehatan Andromeda membuat gadis itu mengalah, ia setuju membantu laki-laki itu berpura-pura karena Mentari ingin mengurangi beban pikiran laki-laki itu.

“Semoga kamu bisa lebih kuat melawan sisi lemah di hati dan pikiran kamu setelahnya, Dro. Kamu berhak bahagia dan kamu pasti bisa,” ucap Mentari di dalam hatinya.

See You Again When The Next Blue Moon Appears Part 8 Katakan dan Relakan! (1)

Sebelumnya : Bara Diantara Ahsan dan Hasna



Part 8: Katakan dan Relakan ! (1)
Part 8.1. Pelangi
Beberapa minggu setelahnya, Ahsan pun menjadi tukang antar jemput yang setia buat Hasna selama pemulihan kakinya. Bukan hanya sekedar mengantar jemput dari dan ke stasiun menggunakan sepeda milik Putri, Ahsan bahkan dengan senang hati menjemput dan mengantar Hasna dari dan ke rumah atau kantor Hasna tanpa diminta, meski tanpa mobil sportnya dan tetap menggunakan moda transportasi umum. Sementara Hasna, ia pun tak menolak saat tawaran baik itu disampaikan Ahsan saat mengantarkan Hasna pulang untuk kali pertama Sabtu itu. Hasna justru merasa senang dengan perhatian laki-laki itu, meski ia tahu diantara mereka tidak ada apa-apa selain pertemanan sebagai sesama volunteer. Ahsan pun tak pernah mengatakan apa-apa tentang perasaannya kepada Hasna, kecuali sekedar candaan-candaan yang bermuatan “ngemodus” meski selalu berakhir pada diam atau tawa dan senyum yang tak bernama. Ahsan masih tetap yakin bahwa apa yang dirasakannya ke Hasna bukan rasa suka apalagi cinta :) . Waktu berlalu, sebulan setengah sudah jasa eksklusif jemput antar Ahsan spesial buat Hasna berjalan dengan rutin tiap Rabu dan Sabtu saat kaki Hasna pun sudah pulih sepenuhnya. Itu berarti bahwa Ahsan tak perlu lagi menjemput dan mengantar Hasna.
Rabu itu, arloji Hasna menunjukkan pukul 13.40 saat gadis itu sudah duduk manis didalam KRL menuju kelas bantaran rel. Sebelum makan siang, divisinya melakukan rapat koordinasi kecil tentang sebuah project baru tentang pendidikan di salah satu pedalaman Papua. Pak Ryan menugaskan Bara dan dua orang lainnya sebagai volunteer yang bertanggung jawab disana selama 6 bulan, tapi mereka perlu tim kecil untuk terlibat selama beberapa minggu sampai project mereka dipastikan berjalan “cukup” lancar. Hasna pun ditawari Pak Ryan untuk mejadi salah satu anggota tim kecil yang terdiri dari dua orang diluar tiga orang volunteer yang menetap disana. Tentu saja Hasna menerima tawaran itu dengan senang hati, itu salah satu mimpinya bisa pergi ke pedalaman dan bisa melihat lebih dekat adik-adik disana.
“Tapi Na, bagaimana dengan kelas bantaran rel ? Apa perlu kita kirimkan orang buat menggantikan kamu selama pergi?” tanya Pak Ryan setelah Hasna menjawab setuju.
Gadis itu terdiam sejenak memikirkannya, “Coba nanti saya tanyakan dulu ke teman volunteer disana baiknya bagaimana, Pak”.
Hasna menoleh kearah luar KRL, gerimis dan matahari yang malu-malu itu sedang menemani perjalanannya. Hasna tersenyum, melihat gerimis membuatnya menitipkan rindu untuk melihat pelangi.
Waktu menunjukkan pukul 14.30 saat Hasna tiba di stasiun.  Gerimis sudah berhenti bercanda menyisakan matahari. Seperti biasa, pandangan Hasna tertuju ke salah satu di pintu keluar, yaaa laki-laki itu terlihat sedang menunggunya dengan senyumannya seperti biasa.
Hasna pun balas tersenyum lebar sambil mengucap salam. Keduanya bergegas berjalan menuju kelas bantaran rel.
"Kangen juga naik sepeda Putri ya, San," ujar Hasna riang seperti biasa dengan jilbabnya sedikit berkibar ditiup angin.
"Kangen sepeda Putri atau kangen aku boncengin, Na?" balas Ahsan dengan candaan modusnya seperti biasa dengan tersenyum tak kalah lebar menggoda Hasna.
Hasna tertawa kecil. "Dua-duanya sih Kak Ahsan yang baik he he".
Keduanya pun tertawa.
"Oh iya, kalau seadainya kamu harus mengajar sendiri tanpa aku beberapa minggu, kamu ga masalah kan, San?"
Ahsan menoleh kearah Hasna. "Memangnya kamu mau pergi, Na?"
Mata Ahsan beradu sejenak dengan Hasna, tatapan serius dan penuh tanda tanya Ahsan membuat gadis itu kemudian urung berbicara. Hasna tersenyum lebar kemudian menggelengkan kepalanya pelan. Hasna teringat bagaimana reaksi aneh Ahsan waktu Bara menemaninya beberapa waktu sebelumnya. Hasna khawatir membahas project barunya ke Ahsan berujung pada perbincangan aneh tentang Bara lagi. Yaaa, Hasna tidak suka "mengusik" laki-laki di sebelahnya itu meskipun tidak ada hubungan apa-apa diantara keduanya kecuali rekan mengajar.
“Kenapa juga aku jadi berpikir kalau Ahsan bakal ngerasa risih ya?Kenapa juga aku peduli dan takut mengusik perasaan Ahsan?” batin Hasna.
“Hasna...”. Panggilan Ahsan menyadarkan Hasna dari pikirannya sendiri. Hasna lagi-lagi tersenyum lebar ke Ahsan. Laki-laki itu terlihat tidak puas dengan jawaban Hasna itu. Ahsan merasa ada yang tidak terkatakan oleh Hasna.
“Kamu ada tugas dari kantor untuk pergi keluar kota, ya Na?”
Hasna hanya terdiam dan balik menoleh kearah langit.
“Wah... ada pelangi,” ujar Hasna tersenyum lebih lebar dengan wajah riang mengalihkan perhatian Ahsan untuk ikut melihat benda yang membuat perempuan di sebelahnya itu senang seketika.
Ahsan ikut tersenyum lebar, “Memang kamu sudah lama tidak melihat pelangi, Na? Ekspresi kamu itu seperti orang yang baru pertama kali melihat pelangi he he”.
Hasna tertawa kecil kearah Ahsan. “Setiap hujan turun, aku berharap bisa melihat pelangi. Tadi di kereta aku sempat berdoa bisa melihat pelangi, eh ternyata sekarang pelanginya beneran muncul”.
Ahsan mencuri pandang ke perempuan yang kembali melihati pelangi dengan takjub itu. Melihat keriangan Hasna diantara jilbabnya yang sedikit tertiup angin itu berhasil mengalihkan perhatian Ahsan.
“Mau aku fotoin berlatar pelangi nggak?” ujar Ahsan sambil tersenyum lebar.
Hasna menoleh sejenak ke Ahsan kemudian menganggukkan kepalanya. “Boleh,” ujarnya sambil tertawa kemudian memberikan handphonenya ke Ahsan, si relawan tukang potret dadakan.
Dengan sigap dan senang hati, Ahsan mengambil gambar Hasna beberapa kali dengan berlatar pelangi sore itu. Terdengar beberapa kali suara laki-laki itu mengarahkan Hasna seperti fotografer mengarahkan modelnya dengan kata-katanya, ‘majuan dikit Na...’, ‘kurang ke kanan, Na’, ‘coba lihatnya kearah sana, Na biar candid gitu...’, dan Hasna dengan senang hati mematuhinya. Terlihat Ahsan beberapa kali senyum-senyum sendiri bahkan terlihat lebih bahagia dari objek fotonya itu (he he:)).
Sambil terus berjalan menuju kelas bantaran rel, sejenak Hasna melihati hasil jepretan Ahsan itu setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Perempuan itu terlihat senyum-senyum sendiri melihatnya.
“Suka, ga Na? Kalau kurang bagus dan mau diulang, kamu bilang aja ya he he”.
“Aku suka hasil jepretannya, San... bagusss. Sepertinya kamu punya bakat terpendam jadi fotografer deh,” jawab Hasna sambil tersenyum lebar ke Ahsan. Ahsan tertawa mendengarnya.
“Sepertinya bakat terpendamku itu baru muncul di saat-saat tertentu aja deh, Na... salah satunya saat kamu yang jadi modelnya, he he”.
Hasna balik tertawa kecil mendengar Ahsan yang menggodanya itu membuat laki-laki itu makin tertawa lepas.
“Hmmm mungkin karena kamu melakukannya sepenuh hati kali ya... kamu ingin membuat orang yang difoto senang dengan hasil jepretan kamu,” sambung Hasna dengan riang berhasil membuat laki-laki itu sedikit tersipu meski tetap berusaha menutupinya lewat tawanya.
“Kamu mau aku fotoin bersama pelangi juga, nggak?” tanya Hasna.
Keduanya lagi-lagi saling tersenyum. Ahsan terlihat ragu menjawab apa.
“Pake HP aku juga gapapa, nanti aku kirim via WA,” sambung Hasna menawarkan diri.
Ahsan berpikir sejenak kemudian tersenyum lebih lebar sambil menganggukkan kepalanya meski setengah ragu.
“Bikin biar foto aku terlihat ganteng, ya Na ha ha”.
“Siappppp Ahsan,” jawab Hasna tertawa kecil.
Hasna mengambil gambar Ahsan sebanyak tiga kali dengan pose berbeda untuk dikirim ke laki-laki itu, ‘Ahsan yang tersenyum kearahnya’, Ahsan yang tertawa lepas melihat kearah lain’, dan terakhir ‘Ahsan yang tampak belakang sedang melihat pelangi’.
Ahsan tersenyum melihati foto-foto dirinya yang dikirimi Hasna itu. Ia suka dengan hasil jepretan Hasna membuat Hasna pun ikut senang melihat raut riang laki-laki itu.
“Masih kurang ganteng ga, San?” tanya Hasna tertawa kecil menggoda Ahsan.
Ahsan tersenyum lebar, “Cukupan lah, Na. Nanti kalau terlalu ganteng, takutnya kamu jatuh suka dan ga bisa tidur ngelihatin foto aku, Na ha ha ha”.
Tawa pun pecah diantara keduanya.
“Makasih ya, Na. Aku suka fotonya,” lanjut Ahsan tersenyum kepada Hasna dibalas dengan senyuman manis dan anggukan perempuan itu.
Kehadiran pelangi di langit sore itu berhasil mengalihkan pembicaraan mereka tentang rencana kepergian Hasna yang sempat ditanyakan Ahsan dan membuat Hasna urung ingin membicarakannya dengan laki-laki yang sedang berjalan bersamanya itu. Hasna hanya tidak ingin mengusik perasaan Ahsan atau tepatnya tidak ingin mengusik perasaan dirinya sendiri (?), setidak-tidaknya “tidak” saat itu. Hasna ingin menikmati kebersamaan mereka menuju kelas bantaran rel itu, sebelum dirinya pergi selama beberapa minggu, tetap terisi oleh senyum dan tawa.

Part 8.2. Cieee, Membara Lagi
 Sepuluh menit kemudian, Ahsan dan Hasna pun akhirnya sampai di kelas bantaran rel kemudian segera bergabung dengan volunteer yang lain. Selepas sholat Ashar berjamaah, terlihat adik-adik kecil dan para kakak volunteer menyiapkan kelas mengaji sore itu. Begitu pun Ahsan dan Hasna, mereka terlihat mendiskusikan materi kelompok adik-adik yang mereka pegang berdua beberapa saat ketika Putri menghampiri keduanya.
 “Kak Hasna, bagus nggak Putri pakai jilbab ini?” tanya Putri dengan ceria memperlihatkan jilbab barunya yang mirip dengan jilbab bunga-bunga Hasna. Saat Hasna datang tadi, Putri sudah menggunakan mukena sehingga Hasna belum sempat memerhatikan Putri dengan jilbab yang sebelumnya Putri minta tolong Hasna untuk membelikannya setelah uang tabungannya terkumpul seminggu yang lalu. 
Hasna tersenyum manis kearah gadis itu. “Putri terlihat makin cantik dengan jilbab itu,” ucap Hasna sambil membantu gadis kecil itu merapikan jilbab barunya itu. Putri terlihat senang mendengar ucapan Hasna itu. Sesekali Ahsan ikut tersenyum mengamati keduanya sembari melihati materi yang akan diajarkannya hari itu.
“Kak Ahsan, Putri cocok nggak pakai jilbab yang mirip seperti punya Kak Hasna ini?” tanya Putri kali ini kepada Ahsan.
Ahsan menoleh kearah gadis kecil itu kemudian bergantian menoleh kearah Hasna yang terlihat manis dengan senyumannya. Ia tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Putri terlihat cantik... secantik Kak Hasna”. Hasna melirik kearah Ahsan sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya, laki-laki itu terlihat senang mengatakan hal itu.
“Cie cie cieee...,” ucap Putri dengan tertawa kecil membuat Ahsan dan Hasna pecah dalam tawa. Gadis kecil itu pun meninggalkan Ahsan dan Hasna, bergabung lagi dengan teman-temannya.
“Cieee Kak Ahsan udah makin berani terang-terangan nih,” celetuk pelan Ardi yang tiba-tiba sudah duduk di belakang Ahsan.
“Kamu mau digodain sama Ahsan juga, ya Ar?” tanya Hasna tertawa kecil ganti menggoda Ardi sekaligus menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba ia rasakan, entah mengapa.
“Kamu tahu aja, Na... ha ha,” jawab Ardi membuat Ahsan ikut tertawa sambil menyikut pelan Ardi yang selalu bersemangat mengompori dirinya dan Hasna
Hasna bergegas menghampiri Raka yang berdiri tak jauh dari tempat ketiganya dan sedang menyiapkan diri sebelum membuka kelas hari itu.      
 Sementara itu  Ahsan dan Ardi terlihat melanjutkan obrolan “mengisi waktu” mereka.
“Jadi kapan loe berani ngomong serius ke Hasna, Bro? Kayaknya udah cukup deh kode-kodeannya,” bisik Ardi di dekat telinga Ahsan sambil tertawa kecil. Ahsan kembali menyikut temannya yang selalu usil dan bersemangat mendorong Ahsan buat mengakhiri status jomblonya.
“Siapa juga yang suka sama Hasna? Gue tuh cuma suka aja bercanda sama Hasna,” jawab Ahsan lebih lirih  balas berbisik agar tidak terdengar siapapun kecuali Ardi.
Keduanya saling melempar senyum satu sama lain.
“Yakiiin, San? Semua orang disini juga bisa melihat perhatian loe ke Hasna itu luaaar biasa,” jawab Ardi dengan muka tengilnya dan masih tetap berbisik.
“Sok tahu loe,” sikut Ahsan ke Ardi lagi, kali ini agak keras, sambil tersenyum.
Ardi tertawa lebar kepada Ahsan lalu ganti menoleh kearah Hasna yang sedang bersama Raka.
“Hasna kalau dilihat-lihat manis juga ya. Hmmm ya udah kalau loe memang ga ada rasa sama Hasna, gue mau nyoba ngemodusin Hasna ah. Siapa tahu jodoh, he he”.
Ahsan langsung menoleh kearah Ardi. “Loe pasti bercanda,” ucap Ahsan sambil tertawa kecil.
“Nggak, kali ini gue serius. Gue baru nyadar kalau gue ngelewatin cewek semanis Hasna padahal dia ada di dekat kita. Kalau loe emang ga ada rasa sama dia, berarti mungkin gue punya kesempatan ngedeketin Hasna,” balas Ardi sambil senyum-senyum sendiri melihati Hasna.
Ahsan menatap Ardi yang duduk disebelahnya itu beberapa saat kali ini dengan wajah berubah serius, “Loe... serius, Ar?”
Ardi terlihat tetap mengamati Hasna menganggukkan kepalanya sambil tetap tersenyum, merespon pertanyaan Ahsan, membuat mimik muka Ahsan makin serius menatap laki-laki itu.
“Serius loe mau ngedekatin Hasna, Ar?”
Ardi melirik kearah Ahsan yang wajahnya mendadak berubah serius itu, dia sengaja ingin melihat perubahan mimik Ahsan  dengan melontarkan pernyataan itu.
“Kenapa wajah loe jadi serius banget gitu, Bro? Cieee cemburu ya, katanya ga ada rasa apa-apa,” sambung Ardi berbisik dengan tertawa cekikikan.
Ahsan langsung menyadari kalau dirinya sedang dikerjai. Ahsan pun ikut tertawa cekikikan, berusaha tetap menutupi rasa malunya saat itu. “Gue... gue ga cemburu, gue...gue cuma ga yakin aja sama loe,” sambung Ahsan.
“Iya... iya gue percaya, San. Tapi tenang aja, gue juga cuma bercanda soal Hasna,” jelas Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tawa yang makin menjadi tapi tetap lirih. Tawa Ahsan pun pecah. Ahsan tetap berusaha memasang tampang coolnya, tapi jauh di hatinya ia merasa sedikit lega.
Sementara itu, disaat yang bersamaan, Hasna meminta waktu bicara sejenak ke Raka sebelum kelas mengaji dimulai.
“Raka, aku dapat tugas dari kantor ke Papua selama beberapa minggu. Aku izin tidak bisa mengajar selama itu ya,” ujar Hasna.
“Wah, jauh banget, Na. Ada project baru tentang pendidikan lagi disana?”
Hasna tersenyum dan mengangguk. “Kira-kira perlu volunteer pengganti nggak selama aku di Papua? Tadi Pak Ryan, supervisorku nanyain. Kalau memang diperlukan, nanti kantorku bakal kirim orang”.
Raka masih diam dan berpikir.
“Aku yakin kalian sebenarnya tidak masalah kalau aku tidak ada, toh sebelum aku bergabung kelas ini sudah berjalan dengan baik, tapi siapa tahu kalian mau tambahan volunteer”.
Raka balas tersenyum lalu mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas, pandangannya berhenti di Ahsan yang terlihat sedang bercanda dengan Ardi.
“Hmmm sepertinya kita perlu minta pendapat Ahsan, Na. Soalnya dia yang jadi pasangan mengajar kamu selama ini”.
Raka memanggil Ahsan untuk bergabung dengan dirinya dan Hasna.
“Ada apa, Ka?” ujar Ahsan kepada Raka dan Hasna sambil tersenyum lebar.
Raka menjelaskan tentang rencana kepergian Hasna ke Papua dan tawaran Hasna terkait volunteer pengganti itu. Ahsan terlihat menoleh kearah Hasna sejenak. Ahsan baru ingat obrolan dirinya dan Hasna sebelumnya yang terhenti karena pelangi, obrolan yang tidak Hasna teruskan ke Ahsan, entah kenapa. Sementara itu, Hasna terlihat diam tetap dengan senyumnya kepada Raka dan Ahsan. Ya, obrolan ini pasti harus dilakukan meski didalam hatinya ada sedikit khawatir yang ia rasakan saat membuka obrolan tentang ini didepan Ahsan.
“Jadi gimana, San.... apa kamu perlu volunteer sementara menggantikan Hasna nemenin kamu?” tanya Raka. Ahsan menoleh kearah Hasna.
“Ga perlu, Ka,” jawab Ahsan singkat.
“Siapa tahu kamu mau request volunteer muda dan cantik biar makin semangat mengajar selama Hasna pergi,” sambung Raka mencandai Ahsan membuat Ahsan tertawa mendengarnya. Sementara Hasna terlihat menganggukkan kepalanya pelan, ikut menggoda Ahsan.
Lagi-lagi Ahsan menatap Hasna dengan senyum dan rautnya yang berubah setengah serius.
“Cuma beberapa minggu kan, Na? Setelah itu, kamu bakal mengajar lagi disini kan? Kamu ga berhenti kan jadi volunteer disini?” lanjut Ahsan.
Hasna mengangguk pelan sambil tersenyum. “Iya, aku pasti balik insyaa Allah, San”.
“Nah, karena Ahsan sudah menjawab seperti itu, berarti kita ga butuh volunteer tambahan, Na. Nanti kita bisa gantian menemani Ahsan menggantikan kamu, Na,” ujar Raka dengan senyum lebarnya, “biar dia nggak terlalu galau ga ada kamu”.
Hasna tertawa kecil sementara Ahsan tetap tersenyum tanggung, ada malu yang berusaha disembunyikan laki-laki itu.
“Apa Bara juga pergi bareng kamu ke Papua, Na?” Pertanyaan Ahsan itu membuat senyuman di wajah Hasna perlahan memudar, hatinya terusik.
Hasna kembali menatap Ahsan dan menganggukkan kepalanya pelan lalu melebarkan kembali senyumnya. “Bara volunteer inti yang menjalankan project ini selama enam bulan disana, sedangkan aku cuma membantu Bara, memastikan program itu berjalan lancar, San”.
Ahsan hanya diam menganggukkan kepalanya. Raka tersenyum tipis mendengar perbincangan diantara keduanya itu, mengungkapkan rasa menjadi hal yang mahal untuk diungkapkan bagi Ahsan dan Hasna meski sekeliling mereka jelas-jelas merasakannya. Bagi Raka, Ahsan terlihat susah payah bersikap biasa dan melebarkan senyumannya saat itu berusaha menutupi bara di dalam hatinya.
 “Jadi kamu pergi ke Papua bareng Bara?” lanjut Ahsan ingin menuntaskan keingintahuan hatinya.
Hasna tersenyum meski sedikit canggung dan lagi-lagi menganggukkan kepalanya.
“Iya aku hari minggu besok pergi bareng Bara,” jawab Hasna singkat.
“Cuma berduaan sama Bara, Na?” sambung Ahsan penasaran sambil berusaha tersenyum lebar, membuat Raka yang berada diantara keduanya pun pecah dalam tawa kecilnya.
Hasna yang masih diam pun urung hendak menjawab, Ahsan dan Hasna langsung kompak menoleh kearah Raka.
“Kamu kenapa, Ka?” tanya Ahsan heran.
“Lucu aja ngelihat kamu ngepoin Hasna tentang Bara, San. Kelihatan penasaran banget ha ha”.
 Hasna melirik kearah Ahsan, laki-laki itu terlihat sedikit salah tingkah meski berusaha bersikap biasa.

“Nggak, ... aku cuma... aku cuma pingin tahu saja. Udah deh, nggak usah diterusin mendingan kita mulai kelas mengaji aja sekarang,” ujar Ahsan berjalan kearah adik-adik yang menjadi tanggung jawabnya disusul Hasna di belakangnya. Hasna merasa pembahasan tentang Bara sebenarnya belum usai bagi Ahsan.


Part 8.3. Diam?
Pelajaran mengaji pun berjalan seperti biasa, tak banyak perbincangan diantara Ahsan dan Hasna. Seperti biasa sesekali Ahsan mencuri-curi melihat senyuman Hasna ketika mengajar, begitu pun Hasna. Bisa hampir dipastikan keduanya akan sama-sama kehilangan momen itu selama Hasna di Papua. Waktu di dinding kelas menunjukkan pukul lima sore ketika pelajaran mengaji selesai. Sebelum adik-adik pulang terlihat Raka berdiri di depan kelas ingin memberikan pengumuman.
"Oh iya adik-adik, Kak Raka minta perhatiannya sebentar sebelum pulang. Kakak mau memberitahu kalau Kak Hasna akan izin tidak bisa ikutan mengajar di kelas ini karena ada tugas di Papua. Kak Hasna dan teman-teman kantornya ada proyek membantu sebagian adik-adik di Papua, daerah bagian timur dari Indonesia, untuk bisa belajar lebih baik. Kita doakan ya, semoga Kak Hasna sehat-sehat selalu disana dan proyek belajar adik-adik di Papua bisa berjalan lancar," jelas Raka diikuti suara aamiin dari kakak-kakak volunteer dan adik-adik di kelas itu tak terkecuali Hasna. Selanjutnya Raka memimpin doa buat Hasna selama lima menit.
Setelahnya, terlihat Ridwan unjuk tangan.
"Ya Ridwan...".
"Papua kan jauh ya, Kak. Kira-kira Kak Hasna bakal kembali mengajar disini lagi nggak?"
Raka tersenyum kemudian menoleh kearah Hasna dan meminta gadis itu maju. Terdengar beberapa suara adik-adik yang masih kelas 1 dan 2 masih saling berkasak-kusuk tentang dimana Papua.
Hasna tersenyum lebar ke adik-adik yang sedang memperhatikannya di depan kelas itu.
"Insyaa Allah Kak Hasna bakal balik lagi kesini kalau proyek kelas belajar disana sudah jalan. Kak Hasna boleh kan mengajar disini lagi?" tanya Hasna riang dijawab kompak dengan kata "boleh" dari mulut adik-adik disana.
"Oh iya, Kak Hasna dengar ada yang nanya Papua itu dimana. Kak Hasna coba gambarkan di papan ya," sambung Hasna. Hasna pun menggambarkan pulau-pulau besar di Indonesia meski tidak sama bentuknya dan lebih kearah gambaran posisinya. Kemudian ia pun menjelaskan posisi Papua dan posisi adik-adik itu berada, di pulau jawa. Terlihat adik-adik itu mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan penjelasan dari Hasna. Ahsan yang duduk di barisan belakang adik-adik itu pun ikut tersenyum melihat semangat dan keriangan Hasna tiap kali mengajar itu.
"Kira-kira Kak Hasna pergi berapa lama, Kak?" tanya Putri tunjuk tangan.
"Sekitar satu bulan," jawab Hasna sambil tersenyum lebar.
"Wah... Kak Ahsan bakal kehilangan teman mengajar selama satu bulan dong. Kak Ahsan pasti sedih, Kak," sambung Putri ke Hasna membuat Hasna kehilangan kalimat sejenak sementara Ahsan menjadi seperti terdakwa yang salah tingkah. Kakak volunteer yang lain terlihat berusaha menahan tawa dan senyumnya di hadapan adik-adik itu. Hasna melihat kearah Ahsan sejenak yang terlihat bingung harus bicara apa kemudian Hasna tersenyum lebih lebar menatap Putri dan adik-adik di depannya. "Meski ga ada Kak Hasna, kan masih ada kakak-kakak yang lain buat menemani Kak Ahsan. Jadi Kak Ahsan ga bakal sedih dan kehilangan Kak Hasna, toh Kak Hasna nanti juga kembali. Iya kan, Kak Ahsan?"
Dalam seketika Ahsan menjadi pusat perhatian, mayoritas adik-adik dan juga kakak-kakak volunteer termasuk Hasna memandang kearahnya. Ahsan menatap Hasna sejenak lalu buru-buru tersenyum lebih lebar sambil menganggukkan kepalanya, "Iya, Kak Ahsan pasti baik-baik saja".
"Kak Hasna naik apa ke Papua, Kak?" tanya adik yang lainnya lagi.
"Naik pesawat," jawab Hasna tetap dengan senyum lebarnya.
"Waaah pasti seru ya, Kak. Aku belum pernah naik pesawat, kata Bapak naik pesawat itu mahaaaaal. Jangankan naik, lihat pesawat dari deket aja belum pernah he he," ujar seorang adik diikuti dengan komentar sependapat dari beberapa adik yang lain, membuat kelas kembali ramai. Ada juga yang bercerita kalau dia pernah mengantar keluarganya ke bandara dan melihat pesawat dari dekat. Hasna dan Raka yang berdiri berdekatan saling berpandangan dan tersenyum serta sedikit berbincang tentang sesuatu.
"Hmmm, jadi adik-adik mau melihat pesawat lebih dekat nih?" tanya Hasna bersemangat dijawab "mau" dari sebagian besar adik-adik itu dengan kompak dengan raut ceria dan penuh semangat.
"Ya udah, kalau begitu hari minggu nanti kita rame-rame antar Kak Hasna ke bandara, jadi adik-adik bisa melihat pesawat lebih dekat," ujar Raka dengan senyuman lebarnya dibalas senyuman riang dari adik-adik dan juga kakak-kakak volunteer yang duduk di belakang termasuk Ahsan.
"Kita mengantar Kak Hasnanya sampai dalam pesawat ya, Kak?" tanya adik bernama Lili dengan polosnya. Hasna tertawa kecil mendengarnya. "Sayangnya, pengantar tidak boleh masuk kedalam pesawat, Lili. Lili cuma bisa mengantarkan Kak Hasna sampai bandara," jelas Hasna beranjak duduk sambil membelai lembut kepala gadis kecil yang duduk di paling muka itu. Lagi-lagi bibir Ahsan ikut tersenyum melihati tingkah laku Hasna itu dari belakang. Terlepas apa yang ia rasakan terkait Bara, entah kenapa Hasna selalu mudah membuatnya ikut tersenyum.
"Ya udah sekarang adik-adik boleh pulang. Nanti hari Minggu kita naik mobil rame-rame mengantar Kak Hasna ke bandara kemudian mampir ke Monas dan makan siang disana. Oke!!!" jelas Raka bersemangat dibalas dengan anggukan kepala dari adik-adik itu serta jawaban "iya" yang tak kalah bersemangat. Setelah Raka menutup kelas dengan berdoa dan salam, adik-adik itu pun bergegas menyalami dan mencium tangan kakak-kakak volunteer bergantian kemudian meninggalkan kelas. Tersisa kakak-kakak volunteer disana melakukan rapat kecil sebelum pulang. Kelimanya duduk melingkar saling berdekatan, dan seperti sebelumnya mereka sengaja memposisikan Ahsan agar duduk bersebelahan dengan Hasna. Raka membahas tentang rencana mereka mengajak adik-adiknya berkemah sabtu dan minggu sekaligus sebagai sarana refreshing dan pembelajaran di alam terbuka yang sebelumnya dijadwalkan dua minggu lagi.
"Menurut pendapat kalian bagusnya bagaimana? Kita tetap jadwalkan dua minggu lagi atau menunggu Hasna balik dari Papua?" tanya Raka.
Hasna hanya tersenyum, gadis itu memilih ikut apapun keputusan volunteer yang lainnya.
"Kalau aku sih, tergantung jawaban Ahsan aja, Ka," jawab Ardi sambil tersenyum lebar diikuti anggukan setuju dari Bayu dan Azka sambil ikut senyum-senyum menggoda kearah Ahsan. Raka pun ikut tertawa kecil, "Jadi gimana, Kak Ahsan baiknya?"
Ahsan tersenyum melihat kelakuan teman-temannya yang semakin terang-terangan menggodanya di hadapan Hasna. Ia melirik ke perempuan yang duduk di sebelahnya itu, Hasna terlihat tersenyum agak tersipu tapi berusaha menyamarkannya memainkan pulpen yang dipegangnya. "Menurut aku lebih baik menunggu Hasna pulang dari Papua biar kakak volunteernya lengkap saat acara itu," ucap Ahsan bijak dengan senyumannya yang dibuat sebiasa mungkin diikuti dengan anggukan setuju volunteer yang lain yang masih saja senyum-senyum menggoda Ahsan.
"Jadi gimana, Kak Hasna mau nggak ditungguin kedatangannya sama Kak Ahsan eh sama kami semua maksudnya?" goda Ardi tertawa kecil membuat Hasna ikut tertawa. Hasna melirik kearah Ahsan, laki-laki itu terlihat sedang tersenyum kepadanya.
Akhirnya mereka memutuskan pelaksanaan kemah sabtu minggu akan diadakan lima minggu lagi, dengan anggapan Hasna sudah balik dari Papua saat itu. Para volunteer pun membicarakan lebih jauh rencana mengajak adik-adik jalan ke bandara hari minggu sekalian mengantar Hasna. Diputuskan bahwa Hasna akan menunggu kedatangan adik-adik itu di bandara, tidak ikut berangkat dari kelas bantaran rel mengingat Hasna harus membawa dua tas, tas baju dan tas buku buat perpustakaan keliling untuk proyek pendidikan di Papua tersebut. Para volunteer pun saling memberikan pendapat, kecuali Ahsan yang terlihat lebih banyak diam saat itu.
"Loe kenapa jadi pendiam banget, San? Sedih ya mau ditinggal Hasna pergi?" tanya Ardi sambil menyikut pelan Ahsan dan tertawa menggoda temannya itu.
"Apaan sih, Ar... dari tadi ngegodain gue melulu. Beberapa hari terakhir badan gue kadang suka lemes tiba-tiba aja, ga tau kenapa he he," balas Ahsan sambil nyengir dan tersenyum tipis.
"Kamu sakit, San?" Suara Hasna yang menyela diantara obrolan Ahsan dan Ardi itu pun membuat Ahsan tertegun dan buru-buru langsung menoleh ke perempuan yang ada di sampingnya itu sambil melebarkan senyumannya. "Aku baik-baik saja, Na. Mungkin agak kecapekan saja he he". Ada sedikit khawatir di raut wajah perempuan yang sedang saling bertatapan dengan Ahsan itu, meski Hasna berusaha membungkusnya dengan senyumannya.
"Tenang aja, Na... Ahsan sepertinya sehat-sehat aja, dia agak lesu mungkin karena mendadak galau mau ditinggal kamu agak lama he he he," goda Ardi membuat Ahsan langsung menyikut temannya itu sementara Hasna hanya tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ehm ehm," terdengar suara Azka membuat Hasna, Ahsan, dan juga Ardi langsung menoleh ke asal suara.
"Memangnya ga bisa ada volunteer tambahan kah, Na? Siapa tahu Ahsan bisa ikutan ke Papua bareng kamu, Na. Biar dia ga kepikiran kamu sama Bara disana. Sekalian juga bisa bantu-bantu jadi volunteer ngajar disana," tanya Raka membuat Ardi, Azka, dan Bayu tersenyum lebar sementara Ahsan dan Hasna tertegun sejenak mendengarnya, seperti tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulut seorang Raka.
Hasna memilih tersenyum tak menjawab ketika ia melihat raut wajah Ahsan yang berubah jadi serius.
"Udah cukup bercandanya guys. Gue ga cemburu sama Bara. Lagian ngapain juga gue cemburu? Gue...". Ahsan tidak meneruskan kalimatnya ketika matanya bertemu dengan mata Hasna yang sedang memperhatikannya bicara, ada penasaran di raut wajah perempuan itu yang ia samarkan lewat senyum tipisnya. Ahsan buru-buru tersenyum, agak canggung, ada yang mengganjal di hati laki-laki itu.
"Maaf ya, Na... teman-teman aku bercandanya kelewatan. Maaf kalau terkesan kurang menghargai kamu padahal kamu jauh lebih senior secara umur dari kami," jelas Ahsan membuat Hasna terdiam dan kembali tertegun, senyuman Hasna sejenak menghilang dari wajahnya. Kalimat Ahsan menyadarkannya bahwa dia jauh lebih tua dari Ahsan dan teman-temannya, meski ada sebuah ruang hati untuk Ahsan bernama harapan yang akhir-akhir ini terasa semakin besar dirasakan Hasna. Hasna pun buru-buru tersadar dari rasa kecewa dan sedih yang tiba-tiba menyapa hatinya dan segera melebarkan senyumannya lagi.
"Gapapa, San. Tenang aja, aku tahu kok kalo itu cuma bercanda, ... anggap aja resiko jadi volunteer cewek sendirian ya begini ini, he he. Lagipula seorang Ahsan yang populer di cewek-cewek sebayanya pasti bakal mikir berkali-kali buat beneran suka sama perempuan biasa yang lebih tua, iya kan?" jawab Hasna berusaha ceria. Ahsan balas tersenyum kali ini lebih canggung dari sebelumnya. Entah kenapa Ahsan merasa ada yang tidak biasa dengan sikap dan kalimat Hasna gara-gara ucapannya. Ardi, Raka, Bayu, dan Azka terlihat memilih diam dan tersenyum, tidak lagi meneruskan bercandaan mereka lagi. Mereka tidak ingin niatan mereka sebenarnya memancing Ahsan untuk berani mengungkapkan perasaan ke Hasna justru menyakiti gadis itu.
"Ya udah, intinya kita dan adik-adik bertemu Hasna di bandara jam sembilan pagi hari minggu. Kita mantabkan lagi nanti hari Sabtu sekalian buat memastikan berapa jumlah mobil yang diperlukan untuk membawa adik-adiknya," ujar Raka akhirnya membelokkan kembali obrolan ke pembahasan semula. Setelah menutup rapat kecil dan merapikan kelas, mereka pun pulang, termasuk Ahsan dan Hasna yang berjalan berdua menuju stasiun seperti biasa.
Hening menyapa sejak keduanya keluar dari kelas bantaran rel. Hasna terlihat melihati anak-anak yang asyik berlarian di gang-gang menuju stasiun sementara Ahsan beberapa kali hanya mencuri pandang pada Hasna, seperti canggung memulai percakapan sejak ia merasa salah bicara kepada Hasna.
"Hasna...," panggil Ahsan membuat Hasna langsung menoleh ke laki-laki itu.
"Jangan lupa bawa pil kina atau obat sakit malaria ya. Dengar-dengar dari beberapa teman yang pernah kesana, di beberapa wilayah Papua termasuk endemi malaria katanya," lanjut Ahsan berhasil menghadirkan senyuman lebar di wajah Hasna sambil ia menganggukkan kepalanya. "Iya San, Bara sudah mempersiapkan obat-obatan termasuk pil kina. Maklumlah dia sudah berpengalaman banyak keluar masuk pedalaman," jawab Hasna membuat hati Ahsan kembali terusik mendengar nama Bara kembali disebut.
"Tapi terima kasih banyak ya sudah mengingatkan," sambung Hasna melebarkan senyumannya ke laki-laki yang terdiam di sebelahnya itu berhasil membuat Ahsan kembali ikutan tersenyum seakan merasakan ketulusan gadis itu.
"Oh iya, kamu beneran baik-baik aja, San? Soalnya aku perhatiin dari sejak rapat tadi kamu kelihatan agak lesu dan lemes dibandingkan biasanya. Kalau kamu ngerasa ada yang ga beres dengan tubuh kamu, ga ada salahnya periksa ke Dokter, San" tanya Hasna kembali memastikan jawaban Ahsan saat dikelas tadi, terselip khawatir di kalimat perempuan itu.
Ahsan tersenyum, entah kenapa hatinya merasa senang mengetahui Hasna yang terdengar peduli dan khawatir kepadanya.
"Insyaa Allah aku baik-baik aja, Na. Aku janji nanti malam bakal istirahat yang cukup bahkan lebih," ujar Ahsan terdengar berusaha menghapus rasa khawatir Hasna padanya. Hasna tersenyum, menganggukkan kepalanya pelan.
"Hasna...," panggil Ahsan lagi membuat Hasna memandangi Ahsan lebih seksama. Ini kali kedua laki-laki itu memanggilnya, tidak seperti biasanya.
"Ada apa, Ahsan? Sekali lagi kamu panggil nama aku, aku kasih hadiah permen nih," ujar Hasna lagi-lagi melebarkan senyumannya. Ahsan ikut melebarkan senyumnya sejenak.
"Sepertinya aku tadi salah bicara," ucap Ahsan berhenti sejenak, sedikit ragu meneruskan kalimatnya, "aku minta maaf ya, bukan maksud aku menyinggung umur kamu yang lebih tua. Aku... aku... ".
Hasna tertawa kecil melihati Ahsan yang kebingungan mencari kata-kata yang pas itu.
"Gapapa, San. Aku maafin..., maafin aku juga kalau ada salah bicara tadi". Keduanya saling menganggukkan kepalanya, saling tersenyum lebar.
Meski sedih dan kecewa sempat mampir di hati Hasna, tapi ruangan bernama harapan yang berhasil dibangun Ahsan di hati Hasna tetap saja menyala, sekecil apapun peluangnya bagi Hasna. Hasna bertekad menunggu walau tidak juga berani terlalu berharap laki-laki itu akan berani jujur mengatakan perasaannya. Di satu sisi Hasna juga tidak yakin sepenuhnya bahwa dugaannya tentang perasaan Ahsan kepadanya itu benar adanya.
Beberapa saat kemudian, perjalanan Ahsan dan Hasna diwarnai obrolan tentang kondisi sekitar di sepanjang jalan yang mereka lalui sore itu, tak lagi membahas tentang mereka hingga akhirnya mereka tiba dan berpisah di stasiun.
Keesokan harinya, Bayu, Azka, Ardi, dan Raka terlihat berkumpul di kantin kampus, ngobrol sekaligus makan siang ketika Ahsan bergabung duduk semeja dengan mereka. Muka Ahsan terlihat lesu dan kusut, sama seperti hari sebelumnya.
"Loe baik-baik aja, Bro? Wajah loe kusut amat, San," tanya Raka yang duduk persis di hadapan Ahsan. Ahsan tersenyum, "Gue baik-baik aja, Ka".
"Jangan-jangan ada kaitannya sama kepergian Hasna ya?" tanya Ardi kembali memulai menggoda Ahsan sambil setengah tertawa. Ahsan balas tertawa kecil sambil lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
"Berapa kali aku harus bilang sih, guys. Gue dan Hasna itu cuma temen dan perasaan gue biasa aja ke dia," jelas Ahsan meski di dalam hatinya ada ragu tak bernama dirasakannya.
"Yakin loe ga ada rasa sedikit pun ke Hasna? Soalnya kita berempat disini yakin kalo loe suka sama Hasna. Perasaan loe ke Hasna itu terlihat jelas banget, San. Hasna juga sepertinya memilih menunggu loe buat jujur," ujar Bayu menambahkan.
"Intinya sebagai teman loe, kita ga pingin loe nyesel ketika nantinya Hasna terdengar jadian atau bahkan dilamar Bara sepulang dari Papua... gara-gara loe ga berani ungkapin perasaan loe ke dia," sambung Azka.
Ahsan terdiam, mencerna ucapan demi ucapan teman-temannya itu yang mendapatkan dukungan dari hatinya meski pikirannya berusaha mengelak dengan berbagai tawaran alasan.
"Oke, hati dan pikiran mari kita berdebat sendiri. Kalaupun aku suka sama Hasna dan terus terang ke Hasna, aku bahkan ga bisa menjanjikan kepastian buat Hasna, aku masih jauh dari kriteria laki-laki yang mapan. Aku tidak mau, tidak suka melihat raut sedih di wajah Hasna terlebih kalau sedih itu karena aku. Jadi yakin kamu siap benar-benar menyukai Hasna, San?" ucap Ahsan dalam hati seolah berdebat dengan dirinya sendiri beberapa saat sampai entah kenapa ia merasakan capek di tubuhnya dan terdengar suara teman-temannya yang memanggil beberapa kali namanya.
"Loe beneran baik-baik aja, San? Wajah loe kelihatan tegang campur lesu, Bro," ujar Bayu yang duduk di sebelah Ahsan menepuk bahu laki-laki itu.
"Gue baik-baik aja," jawab Ahsan melebarkan senyumannya dan memandangi satu demi satu kawan-kawan semejanya itu.
"Gue harap kita berhenti membahas Hasna ya, guys. Apapun perasaan gue, gue tahu dan yakin dengan apa yang gue putuskan. Menurut gue, ga ada yang perlu gue sampaikan ke Hasna saat ini soal rasa," sambung Ahsan disambut tatapan keempat temannya kepadanya. Keempatnya pun kemudian seolah kompak menganggukkan kepala mereka bersamaan.
"Baiklah... , kita ganti topik. Gue baru ingat dapat titipan dari seorang gadis cantik berjilbab seangkatan kita, anak jurusan sebelah buat kamu, San. Namanya Rana," ujar Ardi kembali ceria sambil menyerahkan sebuah sebuah amplop putih lengkap beserta isinya ke Ahsan.
"Ini apa, Ar?" tanya Ahsan dengan raut penasaran membolak balik amplop yang kini dipegangnya itu.
"Buka aja, San. Didalamnya juga ada fotonya kok, biar lebih jelas. Kemarin gue ragu mau ngasiin ke loe di kelas bantaran rel, gue pikir loe bakal nyatain perasaan loe ke Hasna. Ternyata nggak, ya udah gue kasih ke loe sekarang aja," lanjut Ardi dengan riangnya seperti biasa.
Ragu, Ahsan menyobek pinggiran amplop itu dan mengeluarkan selembar surat dan sebuah foto dari dalamnya kemudian melihatnya sejenak. "Ini surat apa sebenarnya sih, Ar?" tanya Ahsan lagi tetap tak membuka surat di tangannya itu.
"Surat cinta, Ahsan... siapa tahu kamu mau mencoba PeDeKaTe serius sama Rana...," jelas Ardi dengan senyum mengembang membuat Ahsan menatap tajam ke Ardi. "Emang loe pikir gue udah pingin nikah sekarang, Ar. Gue belum kepikiran soal itu, Ardi. Lagian kalau gue sudah kepikiran buat berkomitmen serius, ngapain juga gue susah payah mutusin ga ngomong jujur ke Hasna?" jelas Ahsan membuat keempat temannya itu kembali kompak menatap ke laki-laki itu.
"Loe ngomong apa barusan? Jadi maksudnya sebenarnya loe suka sama Hasna tapi loe ngerasa belum saatnya ngomong gitu?" tanya Raka penuh selidik seolah mewakili rasa penasaran dari Ardi, Bayu dan Azka.
Ahsan pun agak salah tingkah gara-gara dia kelepasan bicara. Ahsan melebarkan senyumannya meski setengah canggung. "Ehmmm maksud gue... intinya gue ga kepikiran apa-apa soal komitmen dengan perempuan manapun saat ini". Menyadari teman-temannya yang masih saja tidak puas, mencari jawaban dari Ahsan dengan menatapnya, Ahsan pun berusaha bersikap biasa dengan sengaja melihati sejenak foto perempuan bernama Rana itu. "Cantik," batin Ahsan menilai foto perempuan itu...., "sayangnya dia bukan Hasna... . Eh apaan sih Ahsan... kenapa jadi kepikiran Hasna?"
Ahsan tersadar dari pikirannya sambil menggelengkan kepalanya pelan kemudian memasukkan kembali foto dan surat itu ke amplopnya. "Gue bakal mengirimkan kembali surat ini ke Rana via pos, kalau loe ketemu sama Rana lagi, tolong bilangin permohonan maaf gue ga bisa menerimanya," ujar Ahsan diikuti dengan anggukan kepala Ardi, terlihat teman-teman Ahsan menyerah dan berhenti penasaran kepada Ahsan untuk sementara, mereka kembali asyik dengan makanan dan minuman mereka sambil bercanda.
"Loe ga pesan makan atau minum, San?" tanya Raka, menyadari dari tadi Ahsan satu-satunya yang belum memesan apa-apa.
Ahsan menggelengkan kepalanya, "Pencernaan gue bermasalah sepertinya beberapa hari ini, bawaannya jadi ga terlalu berselera he he".
"Pantesan loe kelihatan lemes, San. Mau gue temenin periksa ke dokter?" tanya Raka lagi.
Ahsan lagi-lagi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Belum perlu sepertinya, Ka. By the way, berhubung badan gue lagi berasa ga enak banget, gue cabut duluan ya... pingin buru-buru sampai rumah dan tidur". Ahsan meminta selembar amplop ke Raka yang selalu membawa cadangan amplop kosong kemana-mana kemudian menuliskan alamat gadis bernama Rana di amplop itu lalu memasukkan surat dan foto gadis itu utuh ke amplop kosong dan langsung mengelemnya. Dia berniat mengeposkan surat itu sekalian dalam perjalanan pulang. Setelah mengucapkan salam ke teman-temannya, Ahsan pun pergi menuju mobilnya. Ahsan sengaja naik mobil ke kampus setelah sekian lama dia memutuskan untuk naik kendaraan umum gara-gara kalimat Hasna hari itu. Hari ini Ahsan merasa tidak enak badan dan benar-benar kehilangan mood untuk naik kendaraan umum seperti biasanya.
Tak lama kemudian, Ahsan sudah duduk di dalam mobilnya, menyandarkan kepalanya ke kursi mobilnya. Entah kenapa, makin siang tubuhnya terasa makin lemas saja. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh nafsu makannya yang terus menurun beberapa hari terakhir ini.
Ahsan memutar playlist di mobilnya, sejenak berusaha mengumpulkan energinya untuk mengemudi pulang ketika matanya tertuju ke surat dari perempuan bernama Rana yang ia geletakkan begitu saja di dekat kaca bagian depan mobil sportnya itu. Tiba-tiba Ahsan teringat Hasna, membayangkan Hasna menulis surat seperti itu kepadanya sambil menyelipkan foto Hasna dengan senyuman khasnya itu. Ahsan tersenyum. "Andai itu kamu, Na," ujar Ahsan lirih, entah kenapa laki-laki itu sedikit tersipu membayangkannya.
"Emangnya kalau Hasna yang mengirim surat itu ke kamu, kamu berani menjawab iya, Ahsan? Yakin kamu siap berkomitmen untuk tidak mengecewakan Hasna?" Ahsan kembali berdebat dengan dirinya sendirinya ketika kemudian ada pesan masuk di whatsapp laki-laki itu dari Hasna.
"Ahsan, maaf mengganggu. Aku mau minta tolong kalau kamu tidak keberatan. Gara-gara menggambar dadakan tentang letak Papua kemarin, aku jadi ingin membelikan peta Indonesia buat adik-adik di kelas bantaran rel, biar bisa dipajang di dinding kelas. Apa kamu bisa membelikan peta itu dulu, nanti aku transfer uangnya ke kamu. Terima kasih :) :D".
Ahsan tersenyum membacanya, ketulusan Hasna selalu menyentuh hati laki-laki itu sejak kali pertama dia melihat Hasna lewat profile picture di whatsapp-nya.
Ahsan baru akan mengetik balasan buat Hasna ketika ia baru menyadari tubuhnya termasuk tangannya gemetaran saat itu. Keringat dingin memenuhi wajah dan tubuhnya dan tiba-tiba tubuhnya terasa menggigil dan terasa benar-benar tidak bertenaga. Ahsan menarik nafasnya dalam-dalam, agak kesulitan membuka daftar kontak di handphone-nya. Ahsan menelepon Raka.

Bersambung (2)