Senin, 01 Agustus 2016

See You Again When The Next Blue Moon Appears : Ahsan Hasna Part 7 Bara Diantara Ahsan dan Hasna


Part 7: Bara Diantara Ahsan dan Hasna

Sore esok harinya Hasna dijenguk oleh rekan-rekan sekantornya, membuat rumah Hasna berubah ramai dengan kedatangan mereka. Terlihat sosok Bara, salah satu rekan Hasna di divisi yang sama. "Bara, kamu kapan pulang dari Kalimantan?" sapa Hasna ramah ke laki-laki yang sepantaran dengannya itu. Bara yang duduk di hadapan Hasna membalas senyum manis perempuan itu. "Kemarin lusa aku sampai di Jakarta, Na. Kemarin aku tidak lihat kamu seharian, tadi pagi tiba-tiba dengar kabar dari Pak Ryan kalau kamu terserempet motor," jawab Bara. "Iya Hasna, pas denger kabar itu, wajah Bara langsung berubah khawatir begitu. Sepertinya ada yang tiba-tiba kangen setelah enam bulan tidak bertemu kamu," sambung Pak Ryan sambil tertawa menggoda Bara. Hasna tersenyum, sementara Bara terlihat tersenyum simpul setengah meringis sambil menggelengkan kepalanya berusaha menutupi rasa malunya. Jauh sebelum berangkat ke proyek volunteering di pedalaman Kalimantan, Bara memang sudah jatuh hati pada gadis dengan senyuman manis itu, meski ia belum berani mengungkapkan perasaannya apalagi berkomitmen serius kepada Hasna. Hasna, perempuan sederhana itu, membuat Bara masih ingin menjadi laki-laki yang lebih "gentle" dan lebih pantas untuk dicintai dan dijadikan tempat bersandar bagi Hasna. Begitu pun Hasna, sejak ia ditempatkan di satu divisi dengan Bara setahun lalu, ia selalu kagum dengan sikap Bara yang masuk sebagai kriteria laki-laki idaman di mata Hasna, meski Hasna tidak pernah terlalu membahas perasaannya lebih dalam karena Bara sepertinya masih asyik dengan dunia petualangnya dan belum berniat untuk berkomitmen dengan seorang perempuan. "Oh ya, Na... kebetulan aku kan sedang istirahat dari tugas volunteering ke luar Jawa setidaknya sampai sebulan kedepan dan aku dengar kamu lagi ikut jadi relawan di salah satu kelas bantaran rel bersama sekelompok mahasiswa ya. Selama kaki kamu belum pulih, aku bersedia menggantikan kamu mengajar, Na. Gimana?" tawar Bara lagi dengan penuh semangat. Terdengar beberapa rekan Hasna semakin bersemangat men-cie cie keduanya tapi Hasna berusaha berusaha untuk bersikap biasa saja.
"Makasih Bar, tapi insyaa Allah aku besok Sabtu udah bisa mengajar lagi kok di kelas bantaran rel. Luka aku juga tidak seberapa dan sudah mendingan, kok," jawab Hasna dengan senyuman khasnya. "Yakin, Na besok kamu sudah bisa mengajar lagi?" Hasna mengangguk pelan. Bara menatap Hasna sejenak, seolah mengecek kondisi gadis itu. Hasna masih agak kesulitan berjalan ketika dia menyambut teman-temannya itu, tapi semangat dan senyuman di wajah Hasna itu memang sama sekali tidak berubah, sama seperti biasanya."Ya udah, kalau begitu biar aku jemput kamu di rumah dan menemani kamu ke kelas bantaran rel selama kaki kamu belum pulih. Oke!" lanjut Bara masih tetap berusaha membujuk Hasna. "Sependapat dengan Bara, Na. Kamu terima aja tawaran baik dari Bara, Hasna..." sambung Pak Ryan menimpali obrolan keduanya. Selain sebagai rekan, Pak Ryan juga salah satu senior dan atasan di divisi tempat Hasna dan Bara. "Saya insyaa Allah baik-baik saja, Pak. Saya bisa ke kelas bantaran rel sendiri. Saya tidak mau merepotkan Bara," jawab Hasna tersenyum sambil menoleh bergantian ke Bara dan Pak Ryan, "lagian Bara kan baru balik ke tengah-tengah gemerlap kota dari mengajar di pedalaman, Pak. Siapa tahu Bara ingin lebih banyak menikmati hang out dengan teman-temannya. Pak Ryan langsung menoleh kearah Bara yang langsung menggelengkan kepalanya tanda ia sama sekali tidak keberatan menemani Hasna sambil meneriakkan kata "Siap" dengan semangat ke seniornya itu. "Ya sudah, sekarang kamu saya beri pilihan, Na. Kamu mau menerima tawaran Bara untuk menemani kamu atau kamu mau Bara yang menggantikan tugas kamu di kelas bantaran rel sampai kaki kamu benar-benar pulih?" lanjut Pak Ryan sambil tersenyum tapi tegas. Beberapa teman Hasna maupun Bara terlihat makin riuh menggoda keduanya. Memang seperti itu situasi kerja diantara Hasna dan teman-temannya, mereka menganggap semuanya adalah teman yang sama, tapi tetap tanpa melupakan hirarki atasan dan bawahan di organisasi tersebut.  "Aku memang mau hang out dengan teman-teman aku, Na... salah satunya dengan kamu.... Kamu kan teman aku juga. Kamu pasti ga akan menyesal, Na... aku bakal ceritain ke kamu buanyaaak pengalaman lucu aku di pedalaman" jelas Bara dengan senyum lebarnya membuat suasana perjodohan dadakan Hasna dan Bara itu makin memanas seketika. Hasna pun tak mampu menahan tawanya, melihat laki-laki yang cukup cool tapi baik di depannya itu mencoba menggombal. Hasna pun mengangguk, kemudian menoleh serius kearah Pak Ryan. "Apa boleh buat, Pak Ryan... saya mau deh ditemani Bara ke kelas bantaran rel. Lumayan kan dapat cerita lucu gratis he he. Mumpung Bara masih single juga," balas Hasna sambil tersenyum tak kalah lebar, seolah ingin menanggapi ledekan teman-temannya itu."Nah begitu dong. Siapa tahu kamu dan Bara berjodoh, Na. Kalau kalian beneran nikah, nanti biar saya carikan daerah penugasan di pedalaman Papua untuk kalian berdua, biar bisa sekalian bulan madu sambil menjadi relawan," sambung Pak Ryan membuat teman-teman Hasna serentak mengaminkan, membuat Hasna dan Bara hanya tersenyum simpul agak malu.Teman-teman kantor Hasna pun berpamitan pulang selepas makan malam bersama Hasna dan keluarga. Selepas sholat isya, Hasna pun memilih beristirahat di kamarnya sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaannya dan membaca beberapa cerita anak di handphonenya ketika ada satu pesan masuk. "Hasna, ini nomer WA aku, tolong disimpan ya. Nomer lama aku sudah ke laut gara-gara di pedalaman nggak dapat sinyal, he he. BARA". Terlihat Bara sedang bermain air bersama beberapa anak kecil di tengah sungai yang terlihat sangat bening itu menjadi foto profil laki-laki itu. "Aku berharap aku bisa ada disana bersama adik-adik itu. Pasti menyenangkan," ujar Hasna pelan sambil tersenyum simpul. Hasna selalu punya mimpi, suatu saat dia akan mendapatkan kesempatan untuk mengajar di daerah yang masih alami dan benar-benar pedalaman. Ia teringat pernah satu kali Bara mengunggah sebuah gambar dari salah satu desa tanpa listrik di pedalaman Kalimantan, beberapa anak terlihat sedang belajar dengan menggunakan api unggun kecil dan Bara menuliskan dibawah gambar itu sebuah kalimat. "Melihat wajah penuh semangat adik-adik ini untuk tahu ilmu dan pengetahuan lebih banyak itu menghadirkan kebahagiaan dan kepuasan tersendiri di dalam hati. Aku merasa beruntung pernah berada disini bersama dan menemani mereka". Kalimat itu salah satu kalimat yang melecut semangat Hasna untuk suatu saat bisa seperti Bara. Hasna sedang memandangi foto profil Bara dan adik-adik kecilnya itu sejenak ketika ia tiba-tiba teringat Ahsan. Hasna menutup foto Bara itu kemudian tersenyum dan tangannya langsung bergerak membuka foto profil Ahsan. Foto laki-laki itu masih sama, hanya statusnya yang baru Hasna sadari berubah. "Setiap manusia bisa menjadi pemberani. Kita membuat aku dan kamu berani:)". "Kita...," ujar Hasna tersenyum dan kemudian menutup aplikasi whatsapp-nya. Dua laki-laki itu punya arti spesial buat Hasna. Di keduanya, ada sosok teman hidup yang dinanti Hasna meski Hasna tidak berani benar-benar menaruh harapan bahwa teman hidupnya nanti salah satu diantara Ahsan dan Bara. Baik Ahsan maupun Bara, keduanya laki-laki baik yang pantas mendapatkan pasangan yang baik, meski disatu sisi Hasna juga tetap berusaha belajar lebih baik lagi memantaskan dirinya untuk bisa mendapatkan teman hidup yang baik. Satu hal lagi, keduanya masih asyik dengan dunianya dan belum ingin berkomitmen seperti yang Hasna pikirkan."Malam, Ahsan. Sabtu besok kamu jadi jemput aku di stasiun? Kalau ngerepotin, aku bisa ke kelas sendiri kok he he," ketik Hasna membuka lagi whatsapp-nya."Insyaa Allah jadi, Na. Aku tunggu kamu jam 14.15 di tempat biasa ya... Btw, kamu naik kereta kan? Apa perlu aku jemput ke rumah kamu? Kaki kamu kan masih luka soalnya," balas Ahsan. Hasna tersenyum, laki-laki ini selalu mencuri secuil hatinya lewat perhatiannya. "Makasih banyak Ahsan yang baik. Kita bertemu di stasiun aja :D"."Siaaaap laksanakan, Hasna :D," tulis Ahsan. Hasna tertawa kecil membaca kalimat Ahsan itu, entah kenapa bahagia itu mudah hinggap di hatinya tiap kali ia berinteraksi dengan Ahsan."See you tomorrow (ind: sampai bertemu besok), Ahsan :)". Sementara itu Ahsan yang sedang asyik mendengarkan musik di tempat tidurnya itu pun senyum-senyum sendiri untuk beberapa saat melihati percakapannya dengan Hasna sambil sekali-kali melirik foto profil Hasna. "Aku ga sabar menunggu besok, Na...," ujar Ahsan pelan tersenyum lebar kemudian meletakkan handphonenya. Tiba-tiba Ahsan kembali terngiang ledekan temen-temannya tentang sikapnya ke Hasna.  "Ngaku aja sih... Lo suka kan sama Hasna, San? Bahasa tubuh lo nggak bisa bohong, Bro," ucap Ardi tadi siang di kampus saat mereka makan siang bareng di kantin. Ahsan hanya menggelengkan kepalanya. "Nggak... perasaan gue ke Hasna biasa aja kok, gue cuma peduli aja sama dia," jawab Ahsan saat itu.  "Menyukai Hasna itu bukan suatu kesalahan kok, San. Orang lain aja bisa melihat jelas perasaan lo ke dia, jadi lo ga perlu mengelak gitu. Ga ada salahnya kok, San jujur dengan perasaan kita sendiri. Gue dan temen-temen pasti bakal support lo selama itu baik. Dan menurut gue sih Hasna baik buat lo, San," sambung Raka dengan bijaknya membuat Ahsan hanya bisa senyum-senyum dan meringis mendengarnya.Ahsan kembali membuka foto profil Hasna dan melihatinya. "Apa iya aku suka sama kamu, Na?" tanya Ahsan kemudian senyum-senyum sendiri. Kepalanya menggeleng pelan tapi entah kenapa hatinya bicara sebaliknya.
--------------------------------------------------------
Keesokan harinya, Hasna pun dijemput Bara sesuai obrolan mereka sebelumnya. Arloji Hasna menunjukkan pukul 13.00 ketika Hasna berjalan dengan agak kesulitan keluar dari rumahnya. Bara bergegas menghampiri Hasna.
“Perlu bantuan, Na? Bantuan pegangan mungkin?” tanya Bara tersenyum kepada Hasna.
Hasna balas tersenyum manis, “Makasih Bar, aku bisa sendiri kok”.
Bara tahu Hasna yang dia kenal selalu berusaha menjaga dirinya sebagai perempuan. Bara pun bergegas membukakan pintu mobil buat Hasna, hanya itu yang bisa dilakukannya untuk membantu Hasna. Terdengar ucapan terima kasih diikuti senyum manis dari Hasna dan lima menit kemudian mereka sudah berada di dalam mobil Bara menuju kelas bantaran rel.
Sepanjang perjalanan sesuai janjinya, Bara menceritakan banyak pengalaman lucunya selama mengajar di pedalaman dan Hasna terlihat sangat terkesan dan terhibur mendengarnya. Bara seolah menjadi penyambung mimpi Hasna yang belum terwujud, mengajar di pedalaman, berbagi ilmu sekaligus keriangan bersama adik-adik disana. Sebaliknya bagi Bara, melihat Hasna yang hampir tak pernah lepas dari senyum dan tawanya itu menghadirkan bahagia di hatinya.
Waktu menunjukkan pukul 14.13 saat mobil Bara akhirnya tiba di depan stasiun tempat Hasna biasanya turun ketika naik KRL. Hasna mengetikkan sebuah pesan via whatsapp di handphonenya. “Ahsan, aku sudah sampai di depan stasiun :). Kamu jadi menunggu aku di stasiun?”
“Yakin kamu gapapa jalan dari stasiun ke kelas, Na? Kaki kamu kan masih sakit,” tanya Bara sambil mengamati jalanan di dekat stasiun itu, membuat Hasna menoleh ke Bara.
Hasna mengangguk sambil tersenyum lebar, “Insyaa Allah gapapa, Bar. Letak kelas nggak terlalu jauh kok dari sini”.
Bara mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kalau begitu, aku temani kamu berjalan ke kelas ya, Na. Sekalian aku menemani kamu mengajar”.
“Kamu... mau menemani aku selama mengajar, Bar?”
Bara menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, ”Bukannya itu kesepakatan kita dengan Pak Ryan kemarin, Na? Kenapa? Kamu keberatan?”
Hasna terdiam, menatap Bara sejenak lalu tersenyum menggelengkan kepalanya pelan. Handphone Hasna bergetar, Hasna bergegas membukanya, sebuah pesan whatsapp dari Ahsan. “Aku OTW kesana. Tunggu aku ya, Na. Sekitar 5 menitan, ok...” .
Hasna tersenyum membacanya.
“Kita tunggu sebentar, ya Bar. Aku udah janjian jalan bareng salah satu volunteer soalnya. Dia lagi di perjalanan,” ujar Hasna disambut anggukan dan senyum lebar dari Bara.
Hasna dan Bara sedang mendengarkan musik di radio yang ada di mobil Bara ketika terlihat sosok Ahsan baru turun dari sepeda di pintu keluar stasiun, persis tak jauh di seberang mobil Bara. Hasna yang langsung mengenali sosok laki-laki itu pun bergegas menelpon Ahsan yang terlihat sedang membuka handphonenya.
“Assalamualaikum, Ahsan”.
“Waalaikumsalam, Hasna. Kamu dimana? Aku udah sampai di depan pintu keluar stasiun. Aku tunggu kamu di luar stasiun ya...”.
“Iya aku tahu, San. Aku sedang melihati kamu dari seberang. Aku tidak naik KRL hari ini, aku naik mobil...”.
Ahsan terlihat melihati seberang jalan tempatnya berdiri, ketika terlihat Hasna keluar dari sebuah mobil dan melambaikan tangan sambil tersenyum lebar kearahnya.
Ahsan pun balas tersenyum dan bergegas menghampiri Hasna dengan sepedanya.
Terlihat Bara pun keluar dari mobilnya dan berdiri di sebelah Hasna.
“Maaf Na, kamu jadi nungguin...,” sapa Ahsan dengan senyum lebarnya seperti biasa setelah ia melihati sekilas laki-laki yang berdiri di sebelah Hasna.
Hasna balas tersenyum lebih lebar sambil menggelengkan kepalanya, “Gapapa, San. Akunya aja yang datangnya terlalu awal he he. By the way (ind: Omong-omong), kamu dapat sepeda darimana?” Hasna perlahan berjalan mendekat dan menepuk-nepuk bantalan boncengan sepeda itu dengan riang.
“Aku pinjam punya Putri, Na... Kaki kamu kan sakit, kasihan juga kalau kamu harus jalan dari stasiun ke kelas, jadinya aku pinjam sepeda ini buat menjemput kamu sampai kaki kamu sembuh he he”.
Hasna tertawa kecil mendengarnya sambil mengucapkan terima kasih ketika beberapa saat kemudian ia sadar ada Bara disana. Hasna menoleh ke laki-laki yang juga tersenyum di sebelahnya itu memperhatikan obrolan Hasna dan Ahsan.
“Oh iya, Ahsan...kenalkan ini Bara, teman sekantor aku, salah satu volunteer tangguh di kantor aku, dia sangat tulus melakukan pekerjaannya mengajar di daerah pedalaman,” jelas Hasna bersemangat, ada raut kekaguman disana, “dan Bara... kenalkan ini Ahsan salah satu volunteer di kelas bantaran rel yang selama ini berbaik hati menemani aku dari stasiun ke kelas begitu pun ketika pulangnya”.
Ahsan dan Bara saling berjabat tangan sambil melempar senyum ke satu sama lain.
“Terima kasih sudah menjaga Hasna selama ini, Ahsan,” ujar Bara membuat Ahsan terdiam sejenak, meski tetap berusaha tetap tersenyum. Yang ada didalam pikiran Ahsan saat itu, Hasna sepertinya sosok yang istimewa bagi seorang Bara dan Bara sepertinya laki-laki yang istimewa dimata Hasna. Kekaguman Hasna tertangkap jelas oleh Ahsan saat itu.
“Ya udah Na, buruan kamu naik sepeda bareng Ahsan, biar aku susul kalian jalan kaki dari belakang,” sambung Bara tetap dengan senyum lebarnya membuat Hasna teringat keinginan Bara buat menemaninya.
Ahsan masih saja terdiam, sementara Hasna bergantian menoleh kearah Bara dan Ahsan. Entah kenapa dia merasa agak kagok seketika. Satu sisi Hasna merasa tidak enak ke Ahsan, sisi lainnya dia juga tidak enak ke Bara. “Oh iya, San. Bara ingin menemani aku mengajar di kelas bantaran rel selama kaki aku sakit, dan supervisor kami memintanya buat menemani aku...,” jelas Hasna dengan berhati-hati sambil menatap Ahsan yang masih terdiam dihadapannya.
Agak kaku, Ahsan berusaha tersenyum dan mengangguk pelan, “Oh... tentu saja Na, ga masalah...”.
Ahsan kembali menoleh kearah Bara, berusaha tersenyum meski agak kaku kepada laki-laki disebelah Hasna itu. Wajah laki-laki itu masih saja terlihat cool tapi meneduhkan, membuat hati Ahsan entah kenapa tiba-tiba tidak nyaman. Ahsan teringat hanya ada satu sepeda saat itu.
Ahsan pun berusaha menguatkan hatinya, ia berusaha tersenyum lebih lebar, “Ya udah, Na karena sepedanya cuma satu, biar Bara yang membonceng kamu pake sepeda ini ke kelas. Kamu kan tahu jalannya, biar aku nanti hubungi Raka buat menjemput aku disini”.
Hasna kembali menatap Ahsan sejenak, laki-laki itu terlihat sejenak menoleh bergantian ke Hasna dan Bara selebihnya lebih banyak mengarahkan pandangannya ke sepeda. Hasna tahu ada yang tidak biasa dibalik ucapan Ahsan itu membuat Hasna merasa... “bersalah”(?).
“Begini aja, lebih baik kamu sama Bara aja yang berboncengan sepeda menuju kelas, San. Biar aku cari ojek aja,” ujar Hasna membuat Bara dan Ahsan kompak menatap Hasna. Terlihat Hasna tersenyum lebar membalas tatapan keduanya. Ketiganya terjebak tanpa kata untuk sejenak. Bara terlihat menoleh ke Hasna dan Ahsan bergantian kemudian kembali tersenyum lebar. “Mana bisa malah aku sama Ahsan yang berboncengan sepeda, Hasna. Niat Ahsan meminjam sepeda itu buat menjemput kamu yang kakinya sedang luka biar ga capek jalan. Begitu juga niat aku, aku ingin membantu kamu selama kaki kamu luka”, jelas Bara, “jadi begini aja..., sepertinya kamu tidak perlu bantuan aku menuju kelas dan menemani kamu mengajar, Hasna. Ahsan sepertinya sudah cukup bisa diandalkan buat menemani kamu. Jadi tugas aku mengantar kamu sudah selesai. Nanti kalau kamu perlu jemputan, kabari aku saja, Na. Gimana?”
Hasna meringis kearah Bara kemudian menoleh kearah Ahsan yang tersenyum tipis. Untuk kali pertama Hasna melihat raut yang tidak biasa itu di wajah Ahsan, berusaha cuek dan cool, tapi sekaligus seperti menunggu-nunggu jawaban dari mulut Hasna saat itu.
“Aku nggak mau terlalu merepotkan kamu, Bar. Kamu kan baru pulang dari pedalaman dan aku yakin kamu lagi pingin menikmati suasana kota setelah sekian lama di pedalaman. Aku gapapa pulang sendiri,” ucap Hasna.
“Aku tidak pernah merasa direpotkan kamu, Na. Aku senang kalau bisa membantu kamu”. Jawaban Bara yang hangat dan dibalas dengan senyuman hangat Hasna itu pun membuat Ahsan makin terdiam di tempatnya. Hatinya terusik tapi Ahsan sadar dia tidak punya hak untuk merasa terusik. Hasna bukan siapa-siapa Ahsan dan Ahsan tidak punya “rasa” apa-apa ke Hasna (???).
“Kamu itu emang temen yang super baik, Bara. Ya udah nanti aku bakal kabari kamu lagi ya. Enjoy your leisure time (ind: nikmati waktu luang kamu),” lanjut Hasna sambil tertawa kecil ke Bara dibalas anggukan kepala penuh semangat dari Bara.
“Tolong jagain Hasna ya, San,” sambung Bara sambil menepuk-nepuk pelan bahu Ahsan. Ahsan menatap Bara dan tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya mantab. Sementara itu, Hasna hanya tersenyum melihati kedua laki-laki di hadapannya itu bergantian.
Lima menit kemudian, Bara pun sudah meninggalkan tempat itu, menyisakan Ahsan berdua dengan Hasna. Sejenak hening menyapa diantara keduanya.
“Bara kelihatannya laki-laki yang baik dan juga peduli banget sama kamu ya, Na,” ucap Ahsan memulai percakapan diantara keduanya. Hasna balas menatap ke Ahsan yang sedang tersenyum menatapnya. Hasna pun tersenyum, tak memberi jawaban apa-apa. Hatinya seolah bilang bahwa diam dan tidak membahas hal itu jauh lebih baik saat itu, entah kenapa.
“Oh iya, makasih banyak buat sepedanya ya, San. Aku benar-benar tersanjung kamu mau repot-repot pinjam sepeda buat menjemput aku di stasiun,”  ujar Hasna dengan raut riang mengubah topik bahasan. Ahsan yang berdiri di hadapan Hasna pun ikut tersenyum lebih lebar melihat keriangan perempuan itu. Ia menganggukkan kepalanya dengan tak kalah riang. Hasna melirik kearah arlojinya, pukul 14.45.
“Yuk segera naik, Na,” ujar Ahsan menyiapkan dirinya agar bisa menjaga keseimbangan saat Hasna naik ke boncengan sepeda. Dengan agak kesulitan Hasna naik ke boncengan sepeda itu, membuat Ahsan yang menoleh kearahnya makin fokus mengamati perempuan itu.
“Pelan-pelan saja, Na”.
“Iya, San, sabar ya he he,” jawab Hasna sambil tertawa kecil kearah Ahsan dibalas tawa hangat laki-laki itu. Dan tak perlu waktu lama, keduanya pun sudah asyik berboncengan naik sepeda menuju kelas.
“Oke Hasna, siap-siap aku bakal agak ngebut, kalau kamu kesulitan pegangan, pegang aja baju atau jaket aku, Na... gapapa kok. Kalau kamu ngerasa kurang nyaman, bilang ya”.
Lagi-lagi Hasna tersenyum, “Siaaaap, tenang aja San, aku ga bakal peluk kamu kok, bisa dimarahin Putri dan fans-fans kamu nanti ha ha,” jawab Hasna bercanda membuat Ahsan senyum-senyum sendiri di muka. Hasna merasa senang dengan perhatian-perhatian Ahsan itu, tapi ia berusaha membungkus rasa malunya lewat-lewat candaan ringannya.
“Sepeda Putri ini benar-benar nyaman banget buat boncengan, boncengannya empuk dan lumayan lebar,” sambung Hasna dengan tawa kecilnya.
“Syukurlah kalau kamu menyukainya, Na,” jawab Ahsan ikut tertawa kecil mendengar komentar Hasna ketika beberapa menit kemudian Ahsan kembali teringat tentang Bara.
“Oh iya, Na... kalau boleh tahu sebenarnya siapa sih Bara? Jangan-jangan dia calon kamu ya, Na?” tanya Ahsan berusaha tetap dengan nada bercanda tapi terdengar serius di telinga Hasna. 
Hasna terdiam sejenak lalu tersenyum.
“Calon? Andai semudah itu menemukan seseorang istimewa itu... . Seperti yang tadi aku bilang, dia itu teman kantor aku, San. Menurut penilaianku, dia salah satu laki-laki yang baik, seperti halnya juga kamu,” jawab Hasna.
“Tapi kamu tertarik kan dengan kepribadian Bara, Na? Dia juga terlihat sangat perhatian ke kamu, Na”.
Hasna hanya diam menatap punggung Ahsan. Entah kenapa pembicaraan diantara keduanya terasa aneh di mata Hasna.
“Bara itu emang dasarnya orang baik aja, San. Satu hal yang aku percaya tentang rasa, bahwa segala sesuatu itu akan indah pada waktu yang tepat. Entah itu Bara atau siapapun dia, aku masih belum punya clue, he he dan aku tidak mau memusingkannya juga,” jawab Hasna lagi tersenyum lebih lebar.
Ahsan hanya diam mendengarkan jawaban Hasna, jawaban Hasna baginya seperti teka-teki yang masih menyisakan ketidaknyamanan di hati Ahsan tentang Bara.
“Kenapa juga aku musti peduli dengan apa yang terjadi diantara Bara dan Hasna sih? Hasna dan aku kan cuma teman mengajar doank,” ucap Ahsan dalam hati. Ia sendiri heran dengan apa yang dirasakan hatinya saat itu.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua pun akhirnya tiba di depan kelas. Terlihat Putri dan beberapa adik-adik disana menghambur menghampiri keduanya. Ahsan terlihat pelan-pelan memiringkan sepedanya agar memudahkan Hasna untuk turun sementara volunteer yang lain terlihat senyum-senyum kecil melihat perhatian Ahsan itu.
“Makasih ya, Kak Ahsan sudah mau menjemput Kak Hasna,” ujar Hasna dengan senyum tulusnya ke Ahsan dibalas dengan anggukan dan senyuman lebar dari Ahsan.
“Biar Putri bantu Kak Hasna jalan ya,” ucap Putri sambil mencium tangan Hasna lalu memegangi tangan Hasna. Hasna pun mengucapkan terima kasih dengan riang dan menerima bantuan adik kecil itu. Putri menemani Hasna ke tempat wudlu kemudian masuk ke kelas. Sementara itu Ahsan mencarikan tempat untuk memarkir sepeda yang dinaikinya itu sambil tetap sembunyi-sembunyi memerhatikan gerak-gerik Hasna.
Ahsan pun bergegas mengambil wudlu karena adik-adik yang muslim dan para volunteer lain termasuk Hasna sudah bersiap untuk sholat berjamaah.
“Kak Hasna kuat sholat sambil berdiri?” tanya Putri lagi.
Hasna tersenyum lebar sambil mengangguk, “Insyaa Allah kuat, Putri. Kemarin Kak Hasna sempet sholatnya sambil duduk, tapi ini sakitnya sudah berkurang kok”.
Ahsan yang baru masuk dan mendengar obrolan itu melihat kearah Hasna sejenak,
“Kalau kaki kamu masih sakit, jangan dipaksain berdiri, Na. Apa perlu aku pinjamkan kursi biar kamu bisa sholat dengan duduk? Soalnya duduk di lantai pasti juga susah ya... .”
Hasna menggelengkan kepalanya pelan tetap dengan senyuman khasnya itu. “Makasih, Kak Ahsan. Insyaa Allah kuat kok, tadi aku sudah coba sholat Zhuhur sambil berdiri”. Mereka pun saling bertukar senyum  dan Ahsan bergegas menuju barisan laki-laki.
Beberapa menit kemudian, para volunteer dan adik-adik pun menyiapkan meja lipat dan peralatan untuk persiapan belajar bahasa inggris. Hasna, Azka, dan Ardi terlihat sudah membaur bercanda bersama adik-adik di sekitarnya, sementara Ahsan terlihat sedang mengobrol dengan Raka dan Bayu  memantabkan materi belajar hari itu.
“Sepertinya ada yang sedang kasmaran nih, Ka... sampai sebegitu perhatiannya ke Hasna,” celetuk Bayu setengah berbisik menggoda Ahsan. Ahsan hanya diam dan tersenyum tipis.
Raka balas tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya,”Sepertinya begitu, Bay ... meski Ahsan ga pernah mau mengakuinya sih”.
“Perbuatan itu bukti lebih nyata dibandingkan pernyataan, Ka...,” sambung Bayu makin tertawa lebar.
“Udah.... udah... berhenti bercanda dan ngegodainnya. Ga ada apa-apa diantara aku sama Hasna, aku peduli cuma sebatas teman aja. Lagipula... sudah ada laki-laki baik bernama Bara di kehidupan Hasna...,” jawab Ahsan datar meninggalkan Bayu dan Raka, menyisakan Bayu dan Raka yang saling berpandangan mendengarnya. Ahsan bergegas menghampiri Hasna yang merupakan rekan mengajar satu tim dengannya. Teman-teman volunteernya sengaja sepakat memasangkan Hasna setim dengan Ahsan, seolah ingin memberikan kesempatan Ahsan untuk bisa mengenal lebih dekat Hasna. Kelas bahasa inggris pun berjalan seperti biasanya, Hasna tetap mengajar dengan riang dan penuh semangat, tetap membuat Ahsan tertular dengan keriangan dan semangat perempuan itu meski sekarang ada Bara diantara keduanya. Hasna, meski ia agak kesulitan untuk duduk di tikar karena lukanya itu, tapi perempuan itu tidak terlihat sedikit pun mengeluh. Meski beberapa kali wajah Hasna terlihat menahan nyeri dan tertangkap oleh mata Ahsan, tapi senyuman perempuan itu tetap tersungging dengan tulus dan lebarnya. Pelajaran bahasa inggris per kelompok itu pun berakhir dengan hafalan tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan jalan dan arah. Dan seperti biasa, selalu ada tawa dari pelafalan adik-adik itu saat hafalan, menghadirkan bahagia diantara adik-adik dan juga kakak-kakak volunteer disana.
Waktu menunjukkan pukul 16.50 saat itu ketika adik-adik di kelas itu kembali duduk rapi tanpa melihat kelompok belajarnya. Hari itu, sengaja diadakan “games” kecil-kecilan untuk memotivasi adik-adiknya lebih tertarik belajar bahasa inggris sebagaimana hasil kesepakatan diantara kakak-kakak volunteer seminggu sebelumnya.
“Oke adik-adik, sebelum pulang kita akan main tebak kata dalam bahasa inggris. Siapa yang bisa menjawab dengan benar, dia dapat hadiah coklat dan boleh pulang,” sapa Hasna dengan riang sambil berdiri disambut dengan senyum tawa adik-adik disana membayangkan coklat yang Hasna tunjukkan ke mereka. Meski harga coklat mungkin tidak mahal, tapi jarang-jarang bagi adik-adik kecil dibantaran rel itu untuk memakannya.
Satu demi satu pertanyaan pun diberikan bergantian oleh Raka dan Hasna yang berdiri di depan papan tulis, dan satu demi satu coklat pun berpindah tangan dari Ahsan, Bayu, Ardi, dan Azka ke adik-adik kecil yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Satu demi satu adik-adik yang menjawab benar pun bergegas pulang dengan keriangan di wajah mereka setelah menyalami semua kakak volunteer yang ada hingga kemudian hanya tersisa satu adik perempuan kecil bernama Lili yang baru duduk di kelas 2 sekolah dasar. Lili terlihat menoleh ke kanan kiri, menyadari kini tinggal dirinya yang belum pulang sementara kakak-kakak volunteer terlihat sedang melihat kearahnya. Air mata Lili pun mulai keluar membuat Hasna dengan agak kesulitan bergegas duduk di hadapan adik kecil itu.
“Lili kenapa nangis?” tanya Hasna lembut tetap tersenyum lebar.
 “Habisnya Lili ga bisa jawab pertanyaan, Kak Hasna. Terus, udah ga ada lagi coklat di tangan Kak Ahsan, Kak Bayu, Kak Azka, dan Kak Ardi. Lili bodoh ya, Kak...,” jawab Lili polos dengan terisak.
Hasna mengusap lembut rambut Lili, “Lili itu nggak bodoh, Lili cuma kalah cepet menjawabnya dibanding teman-teman yang lain. Nanti kalau Lili terus belajar, Lili pasti bisa lebih cepat menjawab dari teman-teman yang lain. Ya kan, Kakak-kakak yang ganteng-ganteng?” 
Raka, Ahsan, Bayu, Ardi, dan Azka terlihat kompak menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar kearah Lili yang menatap mereka bergantian sebelum kemudian gadis kecil itu kembali menatap Hasna yang masih dengan senyum lebarnya. Gadis itu pun menganggukkan kepalanya pelan sambil mengusap air matanya.
“Dan soal coklat... tenang aja, coklatnya masih ada kok buat Lili,” sambung Hasna lembut mengeluarkan sebatang coklat dari tas ranselnya membuat Lili yang tadinya murung sedikit bersemangat, “sekarang Lili coba jawab pertanyaan dari Kak Hasna ya...”.
Lagi-lagi gadis kecil itu mengangguk meski dengan ragu.
“Apa bahasa inggrisnya harimau?”
Lili terlihat berpikir serius mengingat-ingat sambil tetap menatap Hasna yang sedang menatapnya dengan lembut sambil sesekali melirik ke coklat yang ada di tangan Hasna.
“Ada lima huruf dan huruf depannya adalah Ti atau T dan huruf belakangnya Ar atau R...,” ucap Ahsan memberikan clue ke gadis kecil itu. Ahsan pun duduk di sebelah Hasna.
“Taiger.... Ti (T) ... Ai (I)... Ji (G)... I (E)... and... Ar (R),”  jawab Lili beberapa menit kemudian disambut dengan tepuk tangan dan senyuman dari semua kakak volunteer disana. Hasna memberikan pujian “pintar” buat Lili sambil memberikan coklat ditangannya ke gadis itu membuat Lili pun tertawa lebar saking senangnya. “Thank you, Kak Hasna,” ucap Lili  spontan mencium pipi Kak Hasna dan bergegas mencium tangan semua kakak volunteer disana kemudian berpamitan pulang dengan wajah riang. Keriangan itu pun juga terlihat di wajah-wajah kakak-kakak volunteer disana, mereka lega bisa menambah keriangan di wajah-wajah adik-adik di kelas bantaran rel itu karena “games” kecil mereka.
“Thank you, Na. Ide kamu tentang games ini ternyata seru juga,” ucap Raka disambut anggukan setuju dari volunteer lainnya. Ahsan yang masih duduk di sebelah Hasna itu pun tetap diam-diam memerhatikan setiap gerak-gerak perempuan itu yang entah kenapa membuat Ahsan semakin ingin lebih dekat dengannya.
“Thank you, Kak Hasna. Great idea and you did it great (ind: Terima kasih, Kak Hasna. Ide yang bagus dan kamu melakukannya dengan baik)...,” sambung Ahsan lirih ke Hasna membuat mereka saling melempar senyum lebar satu sama lain.
“You did it great too, Kak Ahsan. We did it great together (ind: kamu juga, Kak Ahsan. Kita melakukannya dengan baik bersama),” jawab Hasna dengan riang.
 Begitupun saat Hasna kesulitan untuk berdiri dari duduknya, Ahsan yang mengenakan jaket itu buru-buru berdiri dan dengan refleks mengulurkan tangannya untuk Hasna. “Kalau kamu perlu pegangan, pegangan aja di lengan aku, Na,” ucapnya pelan. Setengah tertegun Hasna menoleh kearah Ahsan kemudian lagi-lagi tersenyum, “Terima kasih, San. Aku bisa berdiri sendiri”.
Ahsan pun balas tersenyum dan mengangguk kemudian bergegas menghampiri rekan-rekannya yang sedang merapikan kelas.
Hasna sedang menghapus papan tulis ketika Raka yang baru selesai menggulung tikar di bagian depan kelas itu menghampiri Hasna.
“Na, emang siapa sih Bara yang bikin hati Ahsan jadi membara?” tanya Raka sambil tersenyum lebar menggoda ke Hasna sementara Ahsan sedang menyiapkan sepeda buat mengantar Hasna.
Hasna langsung menoleh kearah Raka dengan raut heran, “Kamu tahu darimana nama Bara, Ka?”
“Ahsan tadi sempat menyebutkan nama itu dengan nada dingin-dingin gimana gitu,” jawab Raka dengan santai dan tetap tersenyum menggoda.
Sejenak Hasna terdiam kemudian ia kembali tersenyum, “Bara itu teman sekantor aku, Ka. Tadi dia mengantarkan aku sampai depan stasiun dan kemudian berkenalan dengan Ahsan”.
Raka dan Hasna saling berpandangan sejenak. “Diantara aku dan Bara tidak ada hubungan spesial apa-apa, kami cuma sekedar teman,.... sama saja seperti halnya aku dan Ahsan,” sambung Hasna sambil tersenyum. Raka pun mengangguk-anggukkan kepalanya pelan kemudian tersenyum lebar dan meninggalkan Hasna yang terdiam sejenak di tempatnya.
Entah mengapa, Hasna merasa ada sesuatu yang aneh hari itu tentangnya, Ahsan, dan Bara. Bukankah mereka hanya berteman biasa, tapi kenapa hatinya tidak sepenuhnya berkata demikian? Dan entah kenapa Hasna merasa tidak nyaman saat mengetahui Ahsan terusik soal Bara.
Raka, Azka, Bayu, dan Ardi pun berpamitan pulang berboncengan naik motor, menyisakan Ahsan dan Hasna juga Putri di depan kelas.
Berhubung sepeda yang dipakai buat membonceng Hasna adalah milik Putri, Ahsan perlu satu sepeda lagi untuk nanti bisa membonceng Putri ke stasiun lalu mengembalikan sepeda milik Putri itu. Itu sebabnya, Ahsan menunggu Ridwan yang sedang pulang mengambil sepeda di rumahnya.
“Aku jemput Ridwan ke rumahnya dulu, ya Na...,” ujar Ahsan kepada Hasna dibalas anggukan dan senyuman perempuan itu. “Tolong Putri temani Kak Hasna disini sebentar yaaa...,” sambung Ahsan dibalas dengan anggukan Putri.
Untuk beberapa saat, tersisa Putri dan Hasna duduk di sebuah bangku panjang yang ada di depan kelas. Putri terlihat asyik memakan coklat, hadiah dari kakak volunteer tadi.
“Makasih banyak, ya Putri sudah meminjamkan sepeda Putri yang tempat duduknya empuk itu ke Kak Ahsan buat mengantar jemput Kak Hasna,” ujar Hasna dengan riang seperti biasa.
“Sama-sama Kak Hasna. Sebenarnya Kak Ahsan yang peduli dan khawatir banget sama Kak Hasna. Sehari setelah Kak Hasna jatuh, Kak Ahsan datang ke rumah Putri dan minta izin pinjem sepeda Putri biar bisa menjemput Kak Hasna yang kakinya masih sakit. Kak Ahsan juga minta izin boleh nggak kalau boncengan sepeda Putri diganti dengan yang lebih empuk. Katanya sih biar Kak Hasna ngerasa lebih nyaman aja,” jelas Putri membuat Hasna tertegun menoleh kearah gadis kecil itu.
“Kak Ahsan melakukan itu semua?” tanya Hasna.
Putri langsung menganggukkan kepalanya, “Iya, Kak. Kak Ahsan itu sepertinya sayang deh sama Kak Hasna, waktu tahu Kak Hasna jatuh aja, Kak Ahsan kelihatan banget khawatirnya meski ga mau ngaku kalo ditanyain. Tadi aja, pas Kak Hasna memberitahu kalo Kak Hasna udah sampai di stasiun, Kak Ahsan itu langsung buru-buru aja pingin menghampiri Kak Hasna, ga pingin bikin Kak Hasna nunggu lama... sampai-sampai tadi Kak Ahsan jatuh gara-gara ga lihat ada batu agak gedhe  di depannya”.
“Kak Ahsan jatuh? Tapi Kak Ahsan gapapa  kan?” tanya Hasna khawatir.
Putri tersenyum kepada Hasna. “Cieee, Kak Hasna khawatir juga ya he he. Kak Ahsan tadi bilangnya sih gapapa dan ga lecet kok, Kak. Kak Hasna jangan khawatir ya”.
Hasna balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan. Hasna tidak pernah menyangka Ahsan akan sedemikian perhatiannya kepada dirinya. Meski Hasna tahu bahwa Ahsan itu sosok laki-laki yang memang baik, tapi dia merasa apa yang dilakukan Ahsan kepadanya itu lebih dari sekedar biasa, tapi Hasna tidak ingin terlalu mudah menyimpulkan. Hasna tidak ingin terlalu berharap apalagi Ahsan tidak pernah mengucapkan apa-apa terlebih lagi Ahsan jauh lebih muda darinya.
Selang tak berapa lama terlihat Ahsan sedang membonceng Ridwan menghampiri Hasna dan Putri. Ahsan pun bergegas mengambil sepeda buat membonceng Hasna.
“Silahkan naik pelan-pelan, Kak Hasna. Kak Ahsan siap mengantar,” ucap Ahsan sambil tersenyum kepada Hasna dibalas Hasna dengan ucapan terima kasih dan senyuman lebih lebar lagi. Pelan-pelan Ahsan mengayuh sepeda milik Putri itu dengan membonceng Hasna disusul Ridwan yang membonceng Putri tak jauh di belakang mereka.
“Oh ya, San. Sekali lagi terima kasih banyak buat semua hal yang udah kamu lakuin buat menjemput dan mengantar aku hari ini,... termasuk... memodifikasi sepeda ini jadi lebih nyaman buat aku,” ucap Hasna memulai kembali percakapan diatas sepeda, “tadi Putri cerita”.
Ahsan tersenyum mendengarnya, dia tidak menyangka Putri akan menceritakan hal itu ke Hasna meski memang Ahsan tidak pernah meminta gadis kecil itu untuk merahasiakannya juga, “Aku cuma melakukan apa yang bisa aku lakuin, Na. Kamu sudah bela-belain tetap mengajar meski kaki kamu masih sakit dan tetap penuh semangat melakukan volunteering ini, jadi kamu layak buat menerima semua ini, bahkan seharusnya lebih dari sekedar ini, Hasna. Maaf ya kalo aku cuma bisa ngelakuin ini aja, Na”.
Hasna tersenyum lebih lebar sambil satu tangannya tetap memegangi jaket Ahsan.
“Volunteering itu juga artinya belajar tentang keikhlasan, Ahsan. Apa yang kamu lakuin hari ini sudah jauh lebih dari cukup, San. Aku tersentuh, terima kasih ya,” jawab Hasna. Laki-laki yang sedang memboncengnya ini membuat retakan di hati Hasna semakin susah untuk kembali ke asal dan justru menyebabkan retakan-retakan yang lebih lebar di hati perempuan itu.
“Apa kamu senang, Na?” Pertanyaan Ahsan itu membuat Hasna menoleh memandangi Ahsan dari belakang, tersenyum dalam diam sejenak. “Sangat sangat sangaaat senang, Ahsan,” ujar Hasna agak berteriak dengan riang membuat Ahsan pun ikut tertawa lebar, “aku tambah senang karena aku bisa bersepeda bareng dengan kamu sore ini. Jarang-jarang kan bisa dapat kesempatan diboncengin laki-laki baik yang jadi idola di kampusnya he he”.
Kalimat Hasna itu pun membuat tawa Ahsan makin keras, ada malu di raut wajah laki-laki itu yang berusaha ia sembunyikan meski Hasna tidak mungkin melihatnya, malu yang bercampur bahagia. Ahsan merasa bahagia karena dia bisa menjadi salah satu alasan yang membuat Hasna bahagia.
 “Oh iya..., diantara aku dan Bara tidak ada hubungan apa-apa selain teman biasa, Ahsan...,” lanjut Hasna sejenak membuat hening diantara keduanya. Ahsan pun kemudian tersenyum tipis, “Soal itu... kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa soal Bara, Na. Itu semua kan tentang perasaan kamu dan... itu urusan kamu, Na. Itu... tidak ada hubungannya sama aku, Na”.  
Hasna tersenyum mendengar jawaban laki-laki di depannya itu.
“Aku tahu, San. Aku cuma nggak ingin ada prasangka aja dari siapapun tentang aku dan Bara karena memang ga ada apa-apa diantara kami berdua,” jawab Hasna dengan riang sambil tersenyum lebih lebar, “aku juga ga mau gara-gara prasangka, orang pikir aku sudah ada calon, padahal kan aku masih nungguin seseorang itu yang masih betah main petak umpet sampai sekarang he he”.
Jawaban Hasna itu pun membuat Ahsan lagi-lagi tertawa lepas. Ada rasa lega di hatinya mendengar penjelasan Hasna itu.  Begitu pun Hasna, ia merasa lega mendengar Ahsan yang kembali tertawa lepas saat itu.
“Seperti yang kamu tadi bilang saat berangkat, Na. Insyaa Allah semua akan indah di waktu yang tepat, Hasna. Calon kamu pasti akan keluar dari persembunyiannya kalau waktunya udah tiba,” sambung Ahsan dengan riang dan bersemangat.
“Aamiin,” jawab Hasna tak kalah riang dan semangat. Tawa pun kembali pecah diantara keduanya, bersama semilir angin dan langit sore yang cerah menemani obrolan-obrolan mereka.
Waktu menunjukkan pukul 18.04 ketika Ahsan dan Hasna akhirnya sampai di depan stasiun disusul dengan Ridwan juga Putri.
Ahsan pun mengembalikan sepeda yang dinaikinya kepada Putri. “Terima kasih banyak Putri untuk pinjaman sepedanya. Kalau Putri keberatan sama perubahan yang Kak Ahsan lakuin di sepeda Putri, Kak Ahsan janji nanti bakal balikin kondisinya seperti semula kalau kaki Kak Hasna udah sembuh ya”.
Hasna tersenyum menatap sejenak wajah laki-laki itu.
“Putri nggak keberatan kok Kak Ahsan soalnya Kak Ahsan bikin sepeda Putri jadi makin cantik dan lucu. Putri sukaaa,” jawab Putri dengan riang.
“Terima kasih sekali lagi, ya,” ujar Hasna tersenyum manis sambil mengelus lembut pipi gadis kecil itu.
Putri dan Ridwan pun segera menaiki sepeda masing-masing pulang, menyisakan Ahsan dan Hasna yang masih berdiri di tempatnya memandangi kedua adik kecil itu sampai menghilang dari pandangan keduanya.
“Oh ya, Bara jadi menjemput kamu, Na?” tanya Ahsan sambil melihati kearah seberang stasiun, siapa tahu laki-laki itu sudah menunggu Hasna dengan mobilnya.
Hasna tersenyum menatap laki-laki muda di sebelahnya itu. “Nggak, San. Aku pulang naik KRL”. Ahsan menoleh kearah Hasna yang makin melebarkan senyumannya itu kemudian ikut tersenyum tak kalah lebar.
“Bara pastinya perlu lebih menikmati waktu luangnya di ibukota sebelum ditugaskan lagi ke daerah pedalaman sekalian sambil terus mencari perempuan yang tepat untuknya. Aku ga mau terlalu menyita waktunya dengan tugas yang diberikan supervisor aku buat menemani aku selama sakit. Lagipula, seperti yang tadi Bara bilang, kamu sudah lebih dari cukup buat menemani aku,” sambung Hasna membuat laki-laki itu merasa tersanjung.
Ahsan menganggukkan kepalanya, keduanya masih tetap saling melempar senyuman satu sama lain.
“Apa kamu keberatan kalau aku menemani kamu pulang sampai rumah, Na?” tanya Ahsan agak ragu tapi sangat jelas di telinga Hasna. Tawaran Ahsan itu membuat Hasna tertegun sejenak kemudian kembali tersenyum lebih lebar sambil menganggukkan kepalanya pelan.
“Aku sama sekali tidak keberatan, tapi kamunya gapapa kalau pulang kemalaman gara-gara nganterin aku, San?”
Ahsan lagi-lagi tersenyum, “Aku justru senang kalau kamu mengizinkan aku bisa menemani kamu sampai rumah, memastikan kamu sampai dengan selamat dan baik-baik, Hasna”.
Kali ini ucapan Ahsan itu pun berhasil membuat Hasna tersipu malu, meski perempuan itu berusaha tetap menutupinya lewat senyuman lebarnya. Dan entah kenapa Ahsan pun merasakan hal yang sama seperti Hasna, ia tersipu meski juga berusaha menutupinya dengan senyum lepasnya.
“By the way, Putri bilang kalau tadi kamu jatuh dari sepeda gara-gara terburu-buru mau jemput aku ke stasiun. Benar kamu gapapa? Ada yang lecet ga? Sudah diobati belum?” tanya Hasna lagi membuat Ahsan gantian tertegun sejenak dengan kekhawatiran Hasna itu.
 “Cuma lecet dikit, kok Na. Dulu waktu masih kecil, luka lecet seperti ini sih udah jadi makanan sehari-hari aja kalo lagi naik sepeda, he he. Tenang aja, aku baik-baik saja, Hasna,” jawab Ahsan sambil tersenyum lembut ke perempuan yang sedang melihatnya itu.
Hasna pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebih lebar lagi.
“Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku,” sambung Ahsan sambil tertawa kecil, membuat Hasna pun ikut tertawa kecil sambil lagi-lagi menganggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian bergegas masuk ke stasiun, sholat maghrib disana lalu menunggu kereta selanjutnya kearah rumah Hasna tiba.

Kadang tidak mudah bagi seseorang mengartikan rasa yang ada di hatinya kemudian mengakuinya lewat kata demi kata. Mungkin perlu waktu untuk itu. Namun, bisa lebih lama menghabiskan waktu dekat dengannya meski hanya berbagi senyum dan tawa itu sudah cukup menghadirkan bahagia. Mungkin seperti itulah kita bagi Ahsan dan Hasna :).

- Bersambung -