Sebelumnya: Part 3
Kamis siang itu, Alfa menelepon Beta. Dia mengajak Beta bertemu malam harinya, berbincang sekalian makan malam sejenak. Alfa ingin melukis kebersamaan dengan sahabat dekatnya salah satunya Beta menjadi bermakna meski mereka tidak sering bertemu. Alfa pun sudah menyiapkan sebuah kado kecil buat Beta sekedar ungkapan sayang dan terima kasih sudah menjadi teman yang baik untuknya. Waktu di kamar Alfa menunjukkan pukul 17.00 ketika Alfa sedang bersiap-siap dan membalas sebuah pesan dari Beta. Alfa hendak meletakkan handphone-nya ketika hatinya menggerakkan Alfa membuka sebuah folder foto. Ada beberapa foto dirinya, Varrho, dan Beta disana. Alfa membuka setiap foto disana sambil mengingat kembali waktu saat foto itu diambil saat kemudian ia sampai di sebuah foto dirinya dan Varrho. Alfa sangat ingat Beta yang mengambil foto mereka berdua, bergantian setelah Varrho mengambil foto Alfa dan Beta. Baik Alfa dan Varrho terlihat tertawa lepas menghadap kamera setelah beberapa kali “take” dipaksa Beta.
Kamis siang itu, Alfa menelepon Beta. Dia mengajak Beta bertemu malam harinya, berbincang sekalian makan malam sejenak. Alfa ingin melukis kebersamaan dengan sahabat dekatnya salah satunya Beta menjadi bermakna meski mereka tidak sering bertemu. Alfa pun sudah menyiapkan sebuah kado kecil buat Beta sekedar ungkapan sayang dan terima kasih sudah menjadi teman yang baik untuknya. Waktu di kamar Alfa menunjukkan pukul 17.00 ketika Alfa sedang bersiap-siap dan membalas sebuah pesan dari Beta. Alfa hendak meletakkan handphone-nya ketika hatinya menggerakkan Alfa membuka sebuah folder foto. Ada beberapa foto dirinya, Varrho, dan Beta disana. Alfa membuka setiap foto disana sambil mengingat kembali waktu saat foto itu diambil saat kemudian ia sampai di sebuah foto dirinya dan Varrho. Alfa sangat ingat Beta yang mengambil foto mereka berdua, bergantian setelah Varrho mengambil foto Alfa dan Beta. Baik Alfa dan Varrho terlihat tertawa lepas menghadap kamera setelah beberapa kali “take” dipaksa Beta.
“Katanya kalian itu sahabat, ga ada
salahnya sekali-kali kalian foto bareng kali,” terngiang kalimat Beta saat itu,
tiga bulan setelah Varrho dan Alfa bersahabat. Alfa dan Varrho memang
belum pernah foto bersama terlebih Varrho memang tidak terlalu suka difoto,
berbeda 135 derajat dengan Alfa dan Beta yang doyan foto. Alhasil, canggung
menyelimuti baik Alfa maupun Varrho beberapa saat.
“Varrho... kalau senyum atau tertawa di
depan kamera yang ikhlas donk...,” kalimat Beta itu kembali teringat oleh Alfa,
menyisakan senyum di bibir Alfa. Gara-gara kalimat Beta itu, Varrho akhirnya
meminta waktu sejenak ke Beta berlatih senyum di depan kamera. Beberapa kali
Varrho dan Alfa berlatih senyum dengan menggunakan kamera depan handphone Varrho lalu menghapus semua
foto latihan itu. Alhasil tersisa satu foto dengan tawa lepas keduanya di
kamera Alfa, itupun dipilih dari puluhan foto yang diambil Beta sebelum
akhirnya yang lainnya dihapus. Alfa
tersenyum mengingat masa itu kemudian beralih ke foto selanjutnya sampai ia
tiba di sebuah foto dirinya bareng Varrho. Foto itu diambil beberapa bulan yang
lalu saat Alfa dan Varrho sedang duduk menikmati senja dari atap gedung tempat
Varrho bekerja. Hari itu, Alfa sengaja menghampiri Varrho di tempat kerjanya
karena Varrho meminta Alfa menemaninya membeli kado buat ulang tahun Gina. Sambil
menunggu waktu maghrib tiba, keduanya berbincang dan bercanda bersama
senja. Sesekali terlihat Varrho asyik dengan chat-nya bersama Gina sehingga Alfa memutuskan untuk mengisi
saat-saat itu dengan iseng foto selfie. “Dari tadi foto selfie sendiri melulu,
Fa. Kita foto selfie berdua yuk,” ujar Varrho tiba-tiba membuat Alfa sedikit
tertegun menatap Varrho sejenak.
“Kamu serius dengan kalimat barusan,
Rho?”
Varrho mengangguk sambil tersenyum dan
langsung berdiri seraya memberi isyarat ke Alfa untuk ikut berdiri. Mereka
berdiri beberapa langkah dari ujung atap gedung, dan berdiri membelakangi
matahari yang mulai terbenam. Alfa pun mengambil gambar dirinya dan Varrho
dengan menggunakan handphone Alfa
seperti keinginan Varrho meski dengan setengah bertanya akan sikap sahabatnya
itu yang diluar biasanya.
“Hmmm, not bad, senyum aku lumayan tulus kan, Fa?” tanya Varrho melihati
foto mereka berdua itu.
Alfa tertawa kecil dan mengangguk
setuju, “Buat seorang Varrho yang tidak suka selfie, foto ini sudah oke banget,
apalagi tadi tanpa latihan dan sekali jepret”. Varrho balas tertawa lebar dan
mengangguk setuju.
Alfa kembali tersenyum mengingat
kenangan itu dan beranjak ke foto selanjutnya, sebuah foto Varrho yang
diambilnya sembunyi-sembunyi masih disaat senja yang sama. Selepas foto selfie
berdua dengan Alfa, Varrho bergegas kembali duduk menghadap matahari yang tersenyum
menyudahi tugasnya hari itu. Varrho memang penyuka matahari. Alfa yang masih
berdiri di tempat mereka berfoto tadi pun mendapatkan ide untuk mengambil foto candid dari sahabatnya itu. Sebuah foto
yang memperlihatkan seorang laki-laki yang sedang menatap matahari terbenam dan
langit yang mulai memerah. Hanya itu satu-satunya foto Varrho yang dipunyai
Alfa dan buat Alfa itu sudah cukup. Lagi-lagi terngiang kalimat Beta suatu
ketika saat Alfa menginap di rumahnya dan Beta membuka folder foto di handphone Alfa, hendak men-copy foto-foto dirinya dan fotonya
bareng Alfa. “Kalau dilihat-lihat foto kalian berdua, sebenarnya kamu sama Varrho
itu serasi deh, Fa. Sayang ya dia udah punya cewek,” ujar Beta sambil mengamati
foto Alfa bersama Varrho di atap kantor Varrho itu.
“Apaan sih, Ta... aku sama Varrho itu
cuma sahabat, jadi kalaupun serasi ya sebatas sebagai sahabat aja,” jawab Alfa
sambil tersenyum ikut memandangi foto dirinya bersama Varrho itu.
“Aku serius, Alfa... di foto ini kalian
nge-blend banget. Ekspresi kalian itu
saling melengkapi satu sama lain, Fa. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi juga
sebagai laki-laki dan perempuan,” sambung Beta serius dan senyum-senyum sendiri
sambil membesarkan ukuran foto itu, membuat Alfa langsung menekan tombol panah next. “Jangan melemparkan pendapat yang
nggak-nggak, Beta. Aku sama Varrho itu cuma sahabat, titik,” ujar Alfa sambil
mencubit pipi sahabatnya itu.
Alfa tertawa kecil mengingatnya lalu buru-buru
menutup folder foto di handphone-nya
dan segera menyelesaikan ritual ganti baju serta berdandan secukupnya. Senja
terlihat samar dari jendela kamarnya. Alfa pun bergegas mengambil kamera
sakunya dan keluar ke halaman rumahnya, Alfa tiba-tiba rindu senja yang
meninggalkan beberapa kenangan indah antara dirinya dan Varrho.
Alfa pun memulai rekaman via kamera
sakunya.
“Selamat sore, Varrho dan senja... . Senja hari ini begitu mesra bercanda dengan langit yang cerah dan awan yang berarak. Aku kembali menyadari senja seringkali hadir diantara aku dan kamu serta kebersamaan kita, Rho. Saat kita bertemu pertama kali, senja pun mengukir senyum diantara kita bersama misi kemanusiaan sederhana kita, menolong seorang nenek yang terkilir menjualkan kue dagangannya. Kita juga pernah bercanda bersama senja dari atap kantor kamu. Apa kamu ingat, Rho? Hari ini aku menikmati hari menjelang senja dari tempatku sendirian tanpa kamu, Rho. Namun aku berharap semoga dibalik kaca kantor kamu, diantara aktivitas kerja kamu, kamu juga melihat senja yang sama. Kita sama-sama tersenyum melihat senja yang meneduhkan hati ini meski di tempat berbeda. Senja..., senja tiba-tiba mengingatkanku akan persahabatan kita, Rho. Senja menandai pergantian siang menjadi malam. Matahari menghilang sementara berganti bintang malam yang memberikan pemandangan yang berbeda tapi tetap indah. Senja yang indah menjadi simbol pembelajaran dari alam tentang indahnya berbagi, bintang siang terbenam meninggalkan keindahan menyambut malam sebagaimana bintang malam tersenyum indah berterima kasih kepada bintang siang. Itulah senja. Kalau diibaratkan kamu adalah bintang siang dan aku adalah bintang malam, ada kalanya kita mempunyai kepentingan, prioritas, dan sudut pandang yang tak sama, kamu menyukai dan betah akan siang, sementara aku mungkin menyukai malam. Namun, saat kita mau dan berusaha memahami satu sama lain, bicara apa yang masing-masing kita inginkan dengan baik, maka disana senja yang indah itu hadir diantara kita. Saat kamu mencoba memberitahu aku, si bintang malam, akan indahnya siang begitupun aku mencoba bercerita kepada kamu, si bintang siang, akan indahnya malam meski mungkin tidak semuanya bisa berujung dengan rasa mengerti dan senyuman. Bukankah tidak semuanya harus disamakan? Justru tetap adanya beda yang menjadikan siang dan malam itu ada mewarnai hari dengan indah. Namun, layaknya senja, diantara siang dan malam, kita akan merasakan teduh dan indah yang sama saat kita berbagi dan berusaha memahami satu sama lain, Rho. Oh iya, satu lagi senja juga menjadi pengantar yang mendinginkan hari kita selepas panas di siang hari, seperti itu pula aku selalu berharap persahabatan kita bisa mendinginkan konflik dan beda pendapat apapun yang mungkin terjadi diantara kita, Rho”.
Alfa mematikan rekaman di kamera sakunya setelah sebelumnya mengakhiri rekamannya itu dengan senyuman lebarnya untuk Varrho. Alfa ingin membuat sebuah video rekaman sederhana tentang persahabatan mereka buat Varrho. Seperti tekadnya, Alfa ingin apapun yang terjadi diantara dirinya dan Varrho nanti, keduanya bisa tetap mengenang persahabatan mereka dengan indah dan tersenyum.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 ketika
Alfa sampai di kafe tempat ia bertemu dengan Beta. Terlihat Beta sudah duduk
manis di sebuah bangku sambil menikmati segelas lemon tea.
“Udah lama, Ta?” tanya Alfa sambil
tersenyum lebar.
“Baru sepuluh menit yang lalu, Fa.
Santai aja...,” balas Beta tersenyum tak kalah lebar.
Mereka pun mulai memesan makanan.
“Apa kamu sudah berhasil memberitahu
Varrho tentang kepindahan kamu ke Bandung, Fa?”
Alfa tersenyum sambil menggelengkan
kepalanya pelan, “Varrho masih sibuk banget minggu ini, Ta, hari ini saja dia
harus lembur sampai malam. Tersisa besok kesempatan untuk mewujudkan rencana
aku, berbincang sejenak bersama Varrho, semoga bisa terwujud he he”.
Beta menatap Alfa, ada khawatir di
ekspresi Alfa yang berusaha ia balut dengan tawanya. Beta pun tersenyum,
“Bukannya kamu Minggu baru berangkat, Ta? Jadi masih ada hari Sabtu selain
besok kan, Fa”.
Alfa tersenyum lebar, lagi-lagi
menggelengkan kepalanya, “Aku nggak mau mengganggu Varrho di hari Sabtu, Ta.
Sabtu Varrho pasti dia prioritaskan buat dirinya dan Gina. Aku sebagai
sahabatnya harus bisa mengerti itu, Beta”.
“Prioritas? Kamu berusaha untuk mengerti
prioritas Varrho dan memahaminya, Fa. Apa Varrho juga melakukan hal yang sama,
berusaha mengerti kamu, perasaan kamu? Maaf ya Alfa, tapi yang aku lihat dia
beberapa kali mengabaikan perasaan kamu terlebih akhir-akhir ini. It’s okay
seperti yang kamu bilang dia punya prioritas kalau persahabatan kalian
itu di urutan kesekian, tapi bukan berarti dia boleh menyakiti dan tidak
menganggap kamu penting, Fa,” jawab Beta sambil tersenyum tipis berempati
sebagai sahabat.
“Itu pilihan, Ta dan Varrho sudah
memilih apa yang menurutnya layak diprioritaskan. Aku yakin dia tidak berniat
mencuekkan perasaan dan keberadaan aku, tapi mungkin dia terlalu percaya ke
aku, he he,” jelas Alfa balas tersenyum lebar sebelum akhirnya kembali terdiam
melihat raut serius dari Beta.
“Doakan aku dan Varrrho bisa melakukannya
besok ya, Ta. Doakan persahabatan kami bisa sehangat persahabatan kita, Ta,”
ucap Alfa kembali tersenyum lebar dengan penuh semangat. “Oh ya, daripada terbawa perasaan bicara soal aku dan Varrho, mending
kita bicara yang lain saja. By the way
aku punya hadiah buat kamu, Ta”.
Alfa menyerahkan sebuah kotak kecil ke
Beta yang terlihat terkejut dengan yang dilakukan Alfa. “Sudah lama aku nggak
pernah lagi memberi kado ke kamu kan, Ta. Terakhir tiga tahun lalu sepertinya,
pas ulang tahun kamu, he he. Anggap aja ini sekedar ungkapan terima kasih
kecil-kecilan karena udah jadi sahabat yang baik buat aku selama ini,” sambung
Alfa tersenyum lebih lebar.
Beta yang terlihat penasaran
menebak-nebak isi kado di tangannya itupun bergegas membuka kotak itu. Terlihat
sebuah pigura foto berwarna pink bertuliskan “FRIENDSHIP” yang berbentuk seperti kalendar meja yang berisi
beberapa lembar foto mereka berdua dalam bentuk antara siluet dan sketsa.
“Alfa... ini bagus banget.... Ini kamu
bikin sendiri?” tanya Beta dengan wajah berbunga-bunga melihat hadiah dari
Alfa.
Alfa tertawa kecil, “Tentu saja Beta....
tentu saja tidak mungkin he he he. Biasa, aku pakai bantuan photo editor buat melakukannya,...”.
Beta pun ikut tergelak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Semoga sketsa foto bareng kita ini bisa
tetap mendekatkan hati kita dimanapun berada,” sambung Alfa sambil tersenyum
manis ke Beta.
“Jauh dimata namun dekat di hati,” balas
Beta tersenyum tak kalah manis menyenandungkan sepenggal lirik lagu Ran. Tawa
pun kembali pecah diantara keduanya.
“Makasih banyak ya, Fa. By the way, apa kamu juga memberi hadiah
yang sama buat Varrho?” tanya Beta sambil tersenyum lebar dan mengedipkan
matanya. Alfa tersenyum memandangi sahabat perempuannya itu dalam diam.
Pertanyaan Beta itu tiba-tiba memunculkan ide baru di kepalanya.
“Ta, mau nggak nemenin aku beli sesuatu
di mall dekat sini setelah kita selesai makan? Setelahnya kita lanjut nonton
disana. Bagaimana?” pinta Alfa.
Beta mengangguk tanda setuju. “Ehm, mau
membelikan sesuatu buat Varrho ya, Fa?”
“Aku sebenarnya sedang menyiapkan sebuah
video sederhana tentang persahabatan aku dan Varrho, Ta. Sekedar buat jaga-jaga
kalau ternyata aku harus pergi sebelum sempat mewujudkan rencana aku
menghabiskan waktu sejenak bersama Varrho. Sebuah pesan yang aku ingin
sampaikan ke Varrho tentang persahabatan aku dan dia. Tapi pertanyaan kamu tadi
memberi aku ide baru, Ta...,” jelas Alfa sambil mengerdipkan matanya sambil
tersenyum, seolah sengaja menyisakan rasa penasaran buat Beta.
Baik Alfa maupun Beta pun kemudian asyik
menikmati makan malam mereka ketika sebuah panggilan dari Varrho masuk di handphone Alfa.
“Assalaamualaikum, Rho...”.
“Waalaikumsalam, Alfa. Kamu sedang apa?”
“Aku sedang makan malam bareng Beta,
Rho. Kamu sendiri sedang apa? Masih di kantor? Suara kamu terdengar serak, Rho.
Apa kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, cuma agak kecapekan
aja, Fa, don’t worry about me. Aku masih di kantor, ada beberapa kerjaan yang
harus diselesaikan sebelum pulang”.
“Tetap semangat ya, Rho dan jangan lupa
makan. Oh iya, ada apa kamu telepon?”
Sejenak hening menyapa diantara Alfa dan
Varrho, hanya terdengar helaan nafas dari keduanya.
“Ada apa, Rho?” ulang Alfa pelan.
“Nggak ada apa-apa, Fa. Aku sedang
melihati hujan dan tiba-tiba saja teringat kamu...”.
Alfa melihat kearah luar, hujan terlihat
sedang meramaikan malam itu. Entah kenapa tiba-tiba ada sedih menyapa di
hatinya.
“Aku minta maaf ya kalau aku akhir-akhir
ini kurang bisa menjaga perasaan kamu dan membuat kamu sedih, Fa. Maaf kalau
aku belum bisa mewujudkan permintaan kamu buat berbagi waktu denganku minggu
ini”.
Hening kembali menyapa diantara
keduanya. Alfa bisa mendengar jelas helaan berat nafas Varrho untuk beberapa
saat.
“Aku mengerti, Rho. Aku baik-baik saja,
jangan khawatir ya,” balas Alfa sambil tertawa kecil. Saat itu ia tidak ingin
membuat Varrho kepikiran tentang dirinya, meski di satu sisi ia ingin Varrho
bisa lebih memahami perasaannya. Entah kenapa suara Varrho malam itu membuat
Alfa menunda sejenak keinginannya.
“Ya udah, kamu nggak usah berpikir
macam-macam ya, Rho. Tentang permintaan aku, kita pikirkan lagi nanti. Sekarang
kamu selesaikan kerjaan kamu biar kamu bisa segera pulang dan istirahat. Jaga
kesehatan sesibuk apapun kamu. Oke, Pecinta Bintang?” ujar Alfa dengan semangat
dan nada ceria. Alfa ingin menularkan semangat buat sahabatnya itu sekaligus
menenangkannya.
Terdengar Varrho tertawa mendengar
kalimat Alfa,“Makasih, sesama Pecinta Bintang. See you soon, Fa”.
"See you, Rho...".
"See you, Rho...".
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar