Merajut Konstelasi - Akhir Minggu Bersama
Rabu itu, Bintang masih
tetap disibukkan dengan proyek barunya. Lagi-lagi perusahaan tempat Bintang
bekerja memercayainya sebagai salah satu tim inti proyek terbarunya tentang
desain sistem informasi di sebuah perusahaan yang menjadikan multi data
khususnya spatial data (data
keruangan) sebagai domain mereka. Dari pagi hingga malam, Bintang disibukkan
dengan pertemuan dengan client/user
(pengguna) dan rapat koordinasi dengan tim kecilnya. Waktu menunjukkan pukul
19.30 di arlojinya ketika Bintang tiba-tiba teringat rencananya bersama Ara ke
panti jompo. Bintang pun mengirim pesan via whatsapp.
"Ara, bagaimana dengan
rencana kita ke panti jompo, Sabtu ini? Kamu yakin kita berdua bisa
melakukannya dengan baik? Bintang".
Tak berapa lama kemudian, ada
balasan dari Ara.
"Insyaa Allah jadi, Bin.
Aku sudah menghubungi Nenek Fatimah yang bertanggung jawab di panti tersebut
dan beliau tidak sabar menunggu kedatangan kita. Kita pasti bisa melakukannya
berdua, Bintang. Tenang saja, kakek nenek di panti jompo insyaa Allah ramah dan
cepat akrab ke orang baru apalagi orang muda seperti kita. Semangattt :)".
Bintang yang masih duduk
bersandar di kursi kerjanya itu pun tersenyum membacanya. Ara yang seolah
berada di kutub berbeda dengannya itu justru menyempurnakan apa yang tidak
dipunyai Bintang.
"Terus kita perlu bawa
apa saja kesana, Ra? Apa saja yang perlu kita siapin?" ketik Bintang lagi.
Ara balas mengetik,
"Nenek Fatimah ada memberikan gambaran apa saja yang bisa kita bawa, alat
rajut, papan catur, roti biskuit, dan ada beberapa barang lainnya. Btw, apa
kamu punya waktu buat kita belanja barang-barang itu bersama?"
Bintang terlihat memikirkan
waktu luangnya di minggu itu.
"Gimana kalau Jumat sore
jam 18.00 aku jemput kamu di kantor, Ra? Kalo kamu tidak keberatan, beri aku
alamat kantor kamu ya :)".
Ara terdiam sambil tersenyum
membacanya. Bintang, laki-laki itu, menurutnya orang yang cukup simple, to the
point, dan tidak risih dengan orang yang baru dikenalnya dalam hal ini Ara.
"Nanti untuk bahan rajut,
aku bisa belikan di toko rajut di dekat kantor aku, Bin. Sisanya nanti baru
kita cari sama-sama ya. Oke, Jumat sore kita rencananya mau belanja
dimana?"
Bintang kembali berpikir
sejenak, ketika ia teringat tempat itu, tempat ia dua kali bertemu Ara.
"Mall di dekat taman dan
danau buatan aja, ya Ra. Aku jemput kamu, ya... ".
Ara kembali tersenyum, lalu
mengetikkan tanda setujunya sekaligus alamat lengkap kantornya.
Selepas percakapannya dengan
Ara, Bintang pun bergegas membereskan berkas-berkas pekerjaannya. Entah kenapa
hatinya merasa riang saat itu, seperti anak kecil yang merindukan neneknya dan
diajak liburan ke rumah neneknya serta tidak sabar bertemu neneknya. Bintang
pun bersiul dengan irama Bintang Kecil sepanjang perjalanannya menuju parkiran
membuat penjaga kantornya heran tapi ikut senang melihatnya.
"Wah lama tidak mendengar
siulan Mas Bintang. Kalau dari siulannya, sepertinya Mas Bintang sedang senang
nih hatinya...," ujar Pak Ali, salah satu penjaga kantor, menyapa Bintang
dengan hormat dan ramah. Bintang balas tersenyum hormat kepada penjaga kantor
yang berusia cukup tua tapi masih gagah itu. "Pak Ali bisa aja...
kebetulan hati saya sedang riang, mau mencoba hal baru soalnya he he. Saya
pulang dulu ya, Pak". Dan siulan Bintang Kecil pun menemani Bintang
sepanjang perjalanan menuju apartemennya bersama dengan suara Ara dan nyanyian Bintang Kecilnya yang direkam Bintang.
Sementara itu, Ara juga
memikirkan Bintang untuk sejenak. Ara teringat ekspresi kerinduan dan sedih
serta penyesalan di wajah Bintang saat mengingat neneknya yang sudah meninggal.
Ara suka melihat Bintang lebih banyak tersenyum dan tertawa. Itulah alasan
kenapa dia ingin membantu Bintang. Tapi Ara juga ingin melihat Bintang
menangis, ia ingin Bintang melepaskan perasaannya yang tertahan selama ini agar
Bintang bisa merasa lebih lega. Selama ini Bintang selalu berusaha tidak
menangis apapun yang ia rasakan karena Bintang tidak ingin mengecewakan
Neneknya dengan menjadi laki-laki cengeng. Padahal hal yang wajar sebenarnya
jika Bintang menangis sekali atau dua kali, karena menangis itu manusiawi, satu
tanda bahwa kita manusia biasa. Ara kemudian mendapatkan ide, ia akan
menyiapkan rencana kecil agar Bintang bisa menangis saat di panti jompo Sabtu nanti.
Jumat sore pun menjelang
ketika Ara memutuskan membawa beberapa berkas pekerjaannya untuk dikerjakan di
rumahnya. Arloji Ara menunjukkan pukul 17.45 ketika Bintang muncul di hadapan
Ara dengan senyuman manisnya sembari mengucapkan salam. Entah kenapa, jantung
Ara tiba-tiba berdebar untuk sesaat mendengarnya. "Ada yang salah dengan
aku sepertinya. Wah mulai gawat ini," batin Ara sambil tetap berusaha
bersikap netral dan balas tersenyum lebar kemudian membalas salam Bintang.
Terlihat beberapa teman kerja Ara yang lewat memandang kearah keduanya dengan
raut bertanya, tak jarang mereka tersenyum menggoda, mencandai Ara. Maklum Ara
yang dikenal cukup ramah dan supel di lingkungan tempatnya kerja setahu mereka
tak pernah terdengar menjalin hubungan dekat dengan pria sejak bekerja di
tempat itu.
"Ciee Ara akhirnya ada
yang menjemput pulang. Ditunggu ya traktirannya," ujar seorang perempuan
beberapa tahun diatas Ara. Ara buru-buru menyangkal sambil meringis salah
tingkah, "Bukan, Mbak. Kami cuma teman aja".
Ara melirik kearah Bintang,
merasa tidak enak hati dengan Bintang, tapi laki-laki itu terlihat cuek saja
hanya tersenyum tipis.
"Maaf ya Bin, teman-teman
aku emang suka bercanda. Harap dimaklumin aja ya, mungkin karena aku jomblonya
kelamaan. Aduh malah curhat he he". Wajah Ara pun merona malu karena ia
keceplosan sementara Bintang terlihat menganggukkan kepalanya sambil
menertawakan kelakuan gadis itu yang polos dimatanya. Ara pun tersenyum, entah
kenapa ia merasa bahagia tiap kali melihat Bintang tersenyum dan tertawa.
Beberapa saat kemudian,
Bintang dan Ara pun larut berbelanja barang-barang yang akan mereka bawa esok
hari ke panti jompo. Selama itu pula Ara terkesan dengan sikap Bintang yang gentle berusaha membawakan semua barang
yang mereka beli, berusaha sebisa mungkin meringankan Ara.
"Kita kan bukan majikan
dan asisten, Bintang. Jadi sini biar separuhnya aku yang bawa, Bin. Lagian
lebih cocok kamu yang jadi majikan sepertinya," ujar Ara sambil tersenyum
mengulurkan tangannya buat membantu Bintang membawa barang bawaan.
Bintang balas tersenyum,
"Santai, Ra... nanti kalau memang tangan aku sudah nggak bisa lagi
bawanya, aku pasti bilang. Lagipula, bukannya biasanya wanita itu suka dimanja,
ya Ra? "
Ara tertawa kecil sambil
menganggukkan kepalanya.
“Katanya sih begitu he he. By
the way, memangnya kamu melakukan hal semacam ini ke semua perempuan, Bin?”
“Tergantung situasi dan
kondisi, Ra. Yang pasti aku berusaha berbuat seperti itu kepada ibuku dan cewek
aku atau teman dekat aku,” jawab Bintang.
“Dan aku tidak masuk ketiga
kategori perempuan yang kamu sebutkan, Bintang,” sambung Ara dengan riang,
“jadi kamu tidak perlu merasa sungkan membagi barang bawaan kamu dengan aku”.
Bintang tersenyum sambil
menoleh sejenak ke Ara sambil mengangkat bahunya. “It’s okay, Ra. Aku ingin
melakukannya dan dengan senang hati membawa belanjaan ini”.
Keduanya pun saling melempar
tawa dalam diam.
“Cewek kamu pasti merasa
bahagia dan beruntung dengan sikap kamu yang seperti ini ya, Bin. Benar-benar gentle”.
Senyuman Bintang tertahan,
sejenak ia pandangi gadis yang berjalan di sebelahnya itu.
“Sayangnya kebahagiaan dan
keberuntungan tidak cukup bisa diukur dari sikap cowok yang mau membawakan
barang belanjaan ceweknya, Ra. Buktinya aku beberapa kali membuat cewek aku
menangis, marah dan sedih karena sikap aku,” jelas Bintang lalu terdiam menatap
kearah lain. Ara pun merasa salah
bicara.
“Kadang memang tidak mudah
menyenangkan hati seseorang, Bintang,” ujar Ara sambil tersenyum membuat
Bintang kembali menoleh ke gadis itu, “tapi setidaknya kamu sudah berusaha
melakukannya, Bin”.
Bintang tersenyum dan
mengangguk setuju.
"Oh iya, Ra, kita
sekalian makan malam dulu yuk disini. Aku sudah kelaparan nih," ujar
Bintang disambut anggukan kepala Ara yang merasakan hal yang sama. Ara menyerahkan
pilihan kepada Bintang dimana mereka akan makan.
Tak berapa lama kemudian, Ara
dan Bintang sudah duduk berhadapan di sebuah tempat makan sambil menunggu
pesanan mereka diantar.
“Oh iya, baru ingat. Malam
ini, izinkan aku menraktir kamu makan, ya,” ucap Bintang sambil tersenyum
lebar.
Ara balas tersenyum lebar
sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Kita bayar masing-masing saja,
Bin”.
Dengan setengah bercanda
Bintang tetap berusaha membujuk Ara agar diperbolehkan menraktirnya, tapi Ara
tetap saja bersemangat menolak. Meski Bintang baru mengenal gadis dihadapannya
itu, kepolosan dan senyuman tulus gadis itu membuat Bintang bisa bercanda
dengannya.
“Ya sudah, Ra. Sekarang juga
kita saling mengangkat saudara saja, kan kamu bilang kamu mau ditraktir kalau
sama saudara kamu?”
Ara lagi-lagi tertawa. “Kamu kebanyakan nonton film kungfu dan laga
mandarin sepertinya, Bin... pake acara mengangkat saudara segala. Aku sudah
merasa cukup kita jadi saudara sebangsa dan setanah air, Bin”.
Bintang ikut tertawa, “Jadi
aku boleh kan menraktir kamu?”
Ara tetap tersenyum
menggelengkan kepalanya dengan mantab.
“Hmmm, kalau begitu bagaimana
kalau kita nikah sekarang, Ra. Kan kamu juga bilang kalau kamu mau ditraktir
sama suami kamu?” tawar Bintang tiba-tiba semakin ingin menggoda Ara. Bintang
suka melihat ekspresi polos Ara saat dia mencandai gadis itu. Ara tampak
manyun, memasang ekspresi pura-pura marah untuk sejenak lalu kembali tertawa
kecil dengan sendirinya. “Ini pasti efek lapar deh, makanya kamu jadi makin
ngaco, Bin,” ujar Ara lagi-lagi disambut tawa kecil Bintang.
Dan untuk sejenak saat itu,
Bintang dan Ara seolah sudah saling mengenal lama. Mereka berbagi tawa
menertawakan kekonyolan mereka.
“Lepas banget ketawanya, Bin”.
Suara Zetta membuat tawa Bintang langsung berhenti.
Ara hanya diam mengamati
perempuan cantik yang berdiri disamping meja Ara dan Bintang itu,
bertanya-tanya siapa perempuan itu.
Zetta menatap tajam kearah Ara
kemudian balik menatap Bintang. “Baru seminggu yang lalu kamu mutusin aku dan
sekarang kamu sudah bisa tertawa lepas berdua dengan seorang cewek di tempat
makan yang sama dengan yang biasanya kamu sering ajak aku ketika dulu ketika
masih jadian”.
“Kamu salah paham, Ta. Ini
tidak seperti yang kamu bayangkan... Aku...”.
“Salah paham? Aku pikir saat
kamu mutusin aku malam itu, kamu benar-benar merasa menyesal dengan semua
masalah yang terjadi diantara kita dan tidak ada hubungannya dengan orang lain,...
tapi... sepertinya aku salah. Kamu putusin aku karena kamu ingin punya cewek
baru. Iya kan, Bin?”
Bintang menatap Zetta yang
terlihat mulai berkaca-kaca diantara tatapan marahnya. Bintang menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak berbohong, Ta. Keputusan aku memutuskan kamu tidak
ada hubungannya dengan cewek lain. Aku juga merasa sedih, Zetta, tapi aku
berusaha melepaskan semuanya”.
“Melepaskan kamu bilang? Melepaskan
aku dengan memulai hubungan dengan cewek baru maksud kamu? Aku masih belum bisa
ikhlas menerima kita putus Bintang dan aku masih bersedih untuk itu, tapi
kamu... kamu... kamu malah sudah bisa tertawa lepas dengan cewek ini. Tawa yang
sudah lama tidak pernah aku lihat dari kamu bahkan ketika kita masih belum
putus, Bin”.
Bintang terdiam, ada rasa
bersalah di hatinya kepada Zetta melihat kesedihan dan kecewa di mata gadis
itu. Meski Bintang sudah memilih putus dengan Zetta dan menurut Bintang itu
adalah keputusan yang terbaik, Bintang tidak memungkiri bahwa gadis itu pernah
ada mewarnai hatinya.
Ara yang terdiam di tempatnya
pun menjadi merasa tidak enak hati setelah tahu bahwa perempuan itu mantan
cewek Bintang.
“Maaf sebelumnya, aku Ara.
Seperti yang Bintang bilang, kamu salah paham. Aku dan Bintang makan disini
karena kebetulan kami harus membeli keperluan buat dibawa ke sebuah panti jompo.
Tidak ada hubungan spesial diantara kami,” ujar Ara berdiri dari duduknya
berusaha menjelaskan sikon diantara dirinya dan Bintang.
Zetta menatap bergantian ke
Ara dan Bintang sementara Bintang masih diam hanya menganggukkan kepalanya
pelan.
“Ara? Araaa... jadi kamu perempuan
yang dicari-cari Bintang sampai dia mengalahkan waktunya buat aku untuk bertemu
kamu sebelum aku dan Bintang putus?”
Ara tertegun mendengarnya, ia
bingung harus menjelaskan apa.
“Ara... sebaiknya kamu duduk,”
ucap Bintang, “dan Zetta..., aku sudah memberi tahu kamu alasan aku mencari Ara
waktu itu, jadi tolong jangan bawa-bawa Ara dalam hal ini. Dia tidak tahu
apa-apa”.
Zetta menatap Bintang sambil
tersenyum dan mengusap air matanya.
“Aku kecewa ke kamu, Bintang.
Kamu menyakiti hati aku”.
“Maaf Ta, aku tidak bermaksud
untuk itu. Aku benar-benar minta maaf”.
Bintang dan Zetta saling
menatap sejenak, ada penyesalan di mata Bintang dan Ara hanya bisa diam di
tempat duduknya.
Zetta pun bergegas pergi
membawa rasa kecewanya, sementara Bintang terlihat diam menundukkan kepalanya
menatap lantai. Bintang merasa kecewa dan marah ke dirinya sendiri, dia merasa
menjadi laki-laki yang brengsek karena menyakiti hati perempuan meski tanpa
niat. Ara memperhatikan gerak-gerik laki-laki yang duduk di hadapannya itu,
tangan Bintang tergenggam, berusaha menahan apa yang dirasakannya.
“Kejar dia, Bintang...,” ucap
Ara pelan membuat Bintang menoleh ke Ara.
“Buat apa, Ra? Hubungan aku
dan Zetta sudah berakhir dan aku sudah berusaha menjelaskan ke dia alasannya. Aku
memang bukan laki-laki yang baik...,” jawab Bintang pelan kemudian kembali
menundukkan kepalanya.
“Mungkin kalian perlu bicara sekali lagi,
Bintang, biar semuanya berakhir tanpa ganjalan di hati kalian masing-masing.
Dia masih salah paham ke kamu, itu artinya ada yang belum clear diantara kalian...,” sambung Ara.
Bintang hanya tersenyum tipis
menatap Ara, Ara tidak suka melihat tatapan Bintang saat itu, ada perasaan
bersalah dan sedih disana.
Ara memandang keluar, terlihat
Zetta berdiri menatap dingin kearahnya dan Bintang dari luar kaca tempat makan
itu. Tanpa berpikir panjang, Ara pun bangun dari tempat duduknya dan bergegas
mengejar Zetta tanpa sempat Bintang menahannya, disaat yang bersamaan ketika
makanan pesanan mereka diantar.
Beberapa menit kemudian, Ara
sudah berdiri di depan Zetta. Ara berusaha membantu Bintang menjelaskan segala sesuatunya ke Zetta agar
tidak ada salah paham di hati Zetta.
“Kamu merebut Bintang dari
aku, kamu yang menyebabkan aku dan Bintang putus. Jadi jangan sok baik dan muna
deh...,“ ucap Zetta kemudian menampar wajah Ara dengan tiba-tiba. Bintang yang
melihatnya dari dalam ruangan pun buru-buru lari menghampiri keduanya.
Zetta sudah pergi saat Bintang
tiba disana sementara Ara masih terdiam di tempatnya berdiri menjadi tontonan
beberapa orang yang kebetulan ada disana.
Di satu sisi Ara memang malu
mendapatkan perlakuan semacam itu di tempat umum, tapi bukan itu yang membuat
dia mematung di tempatnya. Kalimat terakhir Zettalah yang menusuk hati Ara
karena tidak pernah terlintas sedikitpun di pikirannya. Tiba-tiba ucapan
Lintang meminta Ara tidak dekat-dekat dengan Bintang agar Ara tidak sakit hati
terngiang di kepala Ara.
“Ra... . Ara..., apa kamu
baik-baik saja?” Suara Bintang dan tangan Bintang yang tiba-tiba menggenggam
tangan Ara menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
Ara menoleh ke Bintang dan
buru-buru menarik tangannya dari genggaman Bintang.
"Aku tidak memerlukan genggaman tangan kamu, Bin,” ucap Ara pelan sambil
menatap lantai di depannya membuat Bintang merasa bersalah.
“Maaf kalau aku lancang, Ra. Mana
yang sakit, Ra? Maaf banget ya... kamu jadi terbawa-bawa diantara aku dan
Zetta...”.
Ara masih diam.
“Seharusnya kamu tidak perlu
menyusul Zetta tadi karena tidak akan ada gunanya. Zetta sulit untuk
mendengarkan penjelasan dan berpikir jernih saat dia marah. Dia cenderung
membenarkan semua dugaannya,” sambung Bintang.
“Aku cuma ingin membantu
menjelaskan situasi yang sebenarnya, Bintang. Aku ingin membantu menghapus
sedih dan rasa bersalah di wajah kamu tadi, Bin”.
Ara menatap kearah Bintang
yang sedang menatapnya. Ada rasa bersalah di wajah laki-laki itu. Ara pun
buru-buru tersenyum lebar. “Maaf ya, Bin... karena aku tidak berhasil
melakukannya”.
Bintang menatap perempuan
dengan senyuman tulus di hadapannya itu, dia tidak menyangka perempuan yang
dipertemukan dengannya lewat mimpi itu begitu peduli kepadanya.
Bintang balas tersenyum lebih
lebar sambil menggelengkan kepalanya pelan, “Terima kasih banyak untuk semuanya,
Ra”.
Keduanya pun tertawa dan
kembali berjalan menuju tempat makan mereka.
“Apa tamparan Zetta sakit
banget, Ra?” tanya Bintang sambil menyantap makanannya.
Ara tersenyum lebar dan
menggelengkan kepalanya pelan sekaligus ingin menghapus raut khawatir di wajah
Bintang, “Aku nggak apa-apa, Bin. Zetta mungkin tidak bisa menahan emosinya
saja tadi. Aku berusaha memahaminya, wajar sih, perempuan memang mengedepankan
perasaannya dibandingkan logikanya”.
Bintang mengangguk pelan.
“Bin...”.
Bintang melihat kearah Ara.
“Keputusan kamu mengakhiri
hubungan kamu dengan Zetta nggak ada hubungannya dengan aku kan? Soalnya tadi
Zetta bilang...”.
Bintang buru-buru
menggelengkan kepalanya dengan raut serius.
“Seperti yang pernah aku
bilang, itu tidak ada hubungannya dengan kamu. Zetta cuma menyimpulkan sendiri
berdasarkan prasangkanya. Mungkin karena momen putusnya aku dan Zetta bersamaan
dengan waktu aku mencari-cari kamu, Ra. Aku... memutuskan Zetta karena aku
tidak ingin melihatnya lebih banyak bersedih dan marah karena aku. Beberapa
minggu terakhir ini, kami sering berkonflik tapi disaat yang sama aku pun
sedang berkonflik dengan diri aku sendiri dan aku masih bingung bagaimana
menyelesaikannya”.
Ara tersenyum ke Bintang,
ingin berempati dan sekaligus menyemangati Bintang.
“Kita tidak akan diuji diluar
batas kemampuan kita, Bintang. Aku yakin kamu pasti bisa melaluinya dengan
baik, Bin”.
Lagi-lagi Bintang tersenyum
lebar, kalimat gadis yang baru dikenalnya itu menenangkan dan memberi semangat
padanya.
“Apa kamu masih mencintai
Zetta, Bin? Apa kamu masih memegang harapan bisa kembali bersama dengan Zetta?”
tanya Ara sambil melahap mie goreng seafood
yang jadi menu favoritnya.
“Menghapus seratus persen
perasaan kita ke seseorang itu pastinya perlu waktu, tapi aku sudah melepaskan
perasaanku, Ra. Aku tidak menyesal dengan keputusan aku, satu-satunya
penyesalan tentang Zetta adalah karena aku
masih membuatnya sedih dan menangis. Aku merasa menjadi laki-laki yang
payah karenanya”.
Ara menatap Bintang yang
sedang menatapnya. Ara tersenyum lebar kepada laki-laki itu, “Semangat Bintang.
Kadang kita tidak bisa menghindarkan seseorang terluka karena kita, tapi yang
terpenting kita sudah berusaha menjaga hati orang lain agar tidak terluka oleh
kita, apapun yang terjadi pada akhirnya”.
Bintang tertawa kecil dan
menganggukkan kepalanya.
Selepas menghabiskan makanan
mereka, Bintang pun langsung mengantarkan Ara pulang ke tempat kosnya.
Sabtu pagi itu, Ara sudah
duduk manis di depan tempat kosnya menunggu kedatangan Bintang setelah Ara
beradu pendapat dengan Bintang saat Bintang mengantarkannya pulang semalam dan
akhirnya Ara menyetujui usul Bintang. Ara mengusulkan pada Bintang agar mereka
naik taksi ke panti jompo, tapi Bintang lebih memilih mereka naik mobil Bintang
agar lebih efisien dan tidak ribet apalagi mereka membawa beberapa kantong
barang untuk kakek nenek di panti jompo tersebut.
Waktu di panti jompo
menunjukkan pukul 09.00 saat Bintang dan Ara baru tiba. Dengan kompak mereka
berdua menurunkan barang-barang bawaan dari mobil Bintang. Seorang perempuan
tua, usia 60an terlihat keluar dari rumah menyambut mereka dengan senyuman
hangatnya.
"Nek Fatimah... ,"
sapa Ara bergegas menaruh beberapa kantong plastik yang dibawanya di beranda
panti dan menghampiri perempuan tua itu dan mencium tangannya.
Perempuan itu langsung memeluk
Ara dan mencium kedua pipi kemudian kening Ara lembut sembari tersenyum ramah.
"Kamu terlihat kurusan dibanding beberapa bulan lalu kamu dan teman-teman
kesini, Sayang" ujar beliau sambil mencubit pelan pipi Ara yang sedang
tersenyum lebar.
"Oh ya, Nek... kenalkan,
ini Bintang, teman yang Ara ceritakan ke Nenek di telepon kemarin. Bintang...,
kenalin beliau Nenek Fatimah yang aku ceritakan kemarin," ujar Ara
mengenalkan Bintang yang berdiri di sebelahnya.
Bintang tersenyum, menjulurkan
tangannya dan langsung mencium punggung tangan Nenek Fatimah dan Nenek Fatimah
mengusap lembut sejenak rambut Bintang yang sedang menunduk itu kemudian
mencium ujung keningnya. Apa yang dilakukan Nenek Fatimah pun mengingatkan
Bintang sejenak pada neneknya. Ada rindu yang menyeruak saat itu di hati
Bintang.
"Selamat datang di panti
jompo ini, Bintang. Nenek berharap semoga ada kebahagiaan yang bisa dibagi dari
kakek nenek di panti ini buat Bintang. Makasih ya, Nak sudah mau berkunjung
kesini," sambung Nenek Fatimah tersenyum ramah.
"Bintang yang harusnya berterima
kasih ke Nenek yang sudah menyambut hangat Bintang disini," jawab Bintang
balas tersenyum, ada sedikit haru yang tertahan di tatapan Bintang itu dan
teramati oleh Ara.
"Aku ingin sekali melihat
kamu bisa melepaskan apa yang kamu rasakan, Bin," ujar Ara di dalam hati.
Ara kemudian bergegas membawa
kantong-kantong plastik itu ke ruang tamu panti jompo, sedangkan Bintang
menurunkan sisa kantong plastik di mobilnya. Setelah semua barang diturunkan,
Bintang dan Ara pun duduk di ruang tamu, menikmati teh hangat dan pisang goreng
yang dihidangkan Nenek Fatimah. Sementara Nenek Fatimah mengambil sesuatu di
dapur, tersisa Bintang dan Ara di ruang tamu tersebut, sedangkan kakek dan
nenek penghuni panti terlihat duduk-duduk di ruang tengah dengan bermacam
aktivasnya
Nenek Fatimah mengenalkan
keduanya kepada kakek dan nenek yang ada di ruangan bersama itu kemudian
meninggalkan Bintang dan Ara ke dapur.
“Ayo Bintang kita berbaur bersama
kakek dan nenek disini”. Suara Ara menyadarkan Bintang yang masih berdiri
mematung dengan rasa kagoknya. Ara terlihat tersenyum manis kearahnya dan entah
kenapa senyuman gadis itu mampu menghapus keraguan di hati Bintang. Bintang pun
mengangguk pelan sambil balas tersenyum.
Ara mengajak Bintang ke tempat
Nenek Hamidah yang sedang asyik dengan aktivitas merajutnya. Ara ingin Bintang
bisa meluapkan kerinduannya kepada neneknya dan Nenek Hamidah adalah salah satu
orang yang menurut Ara sesuai untuk bisa menghibur Bintang. Nenek Hamidah
selain ramah dan suka mengobrol dengan orang lain juga jago bercerita dan hobby
bernyanyi. Ada satu lagi sebenarnya nenek yang mirip dengan beliau, namanya
Nenek Fatma. Namun, sejak mereka datang ke panti hari ini, Ara belum juga
melihat sosok beliau.
“Assalaaamualaikum, Nenek
Hamidah. Masih ingat nggak sama Ara, Nek?”
Nenek Hamidah terlihat
menghentikan aktivitas merajutnya, menjawab salam dan memandangi Ara sambil
mengingat-ingat gadis itu yang tadi sempat disebutkan namanya oleh Nenek
Fatimah.
“Ara... Ara yang beberapa
bulan lalu pernah main disini beberapa hari bukan?”
Ara tertawa kecil sambil
menganggukkan kepalanya.
Nenek Hamidah langsung
merentangkan kedua tangannya kepada Ara dan tanpa ragu Ara pun langsung memeluk
beliau.
“Senang bisa melihat kamu
disini lagi, Nak. Akhir-akhir ini jarang sekali panti ini kedatangan tamu”.
“Ara juga senang banget bisa
melihat Nenek Hamidah sehat”.
Nenek Hamidah terlihat memeluk
erat Ara sejenak kemudian mencium kedua pipi dan kening Ara. Ara mengingatkan
beliau ke cucunya yang sudah lama tidak dilihatnya. Nenek Hamidah punya satu
anak perempuan, anak dan cucu beliau dibawa menantunya tinggal di luar negeri
dan jarang sekali pulang ke Indonesia. Beliau terakhir melihat cucu beliau dua tahun yang lalu. Nenek Hamidah tidak ingin meninggalkan Indonesia, itu
sebabnya, beliau memilih tinggal di panti jompo tersebut.
Ara tersenyum manja ke Nenek
Hamidah sementara Bintang terlihat khusyu’ memperhatikan keduanya. Bibir
Bintang tersenyum. Bayangan neneknya yang memeluknya kembali hadir membuat
rindu menyeruak di hatinya, ada semacam “iri” ingin mendapatkan pelukan yang
sama.
Ara menoleh kearah Bintang
sambil mengenalkan Bintang ke Nenek Hamidah dengan ceria ketika terdengar
sebuah panggilan.
“Cu, ayo temanin Kakek main
menyusun kata dari mainan yang cucu bawa hari ini...”. Bintang dan Ara pun
menoleh keasal suara, terlihat seorang kakek duduk tak jauh dari tempat mereka
melambaikan tangannya ke Bintang, mengajak Bintang menemani beliau bermain scrabble baru yang dibawa Ara dan
Bintang.
“Ehmmm, siap, Kek...,” jawab
Bintang.
Bintang menoleh kearah Ara,
keduanya saling tersenyum.
“Nama kakek itu siapa ya, Ra?
Aku lupa tadi waktu Nek Fatimah menyebutkan nama-nama kakek dan nenek disini”.
“Beliau Kakek Ali,” ujar Nenek
Hamidah bantu menjawab. Bintang tersenyum menatap Nenek Hamidah sejenak
kemudian meraih tangan beliau dan mencium punggung tangan nenek itu.
“Bintang kesana dulu, ya
Nek...,” ujar Bintang dibalas anggukan kepala dari Nenek Hamidah.
Bintang kemudian menoleh ke
Ara.
“Apa kamu mau disini menemani
Nenek Hamidah, Bin? Biar aku yang menemani Kakek Ali bermain,” ujar Ara
menawarkan diri untuk menggantikan Bintang. Ara merasa Bintang lebih memerlukan
kehangatan seorang nenek untuk mengurangi kerinduannya kepada neneknya.
“It’s okay, Ra. Kamu disini saja,
biar aku yang menemani Kakek Ali. Laki-laki sama laki-laki, perempuan sama
perempuan, he he”. Meski bibir Bintang tersenyum, ada ragu di suara Bintang
karena ini suatu hal yang baru buatnya dan Ara seolah bisa merasakannya. Ara
tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya. “Semangat, Bintang. Kamu pasti
bisa melakukannya,” sambung Ara sambil mengepalkan tangannya dibalas dengan
anggukan kepala Bintang yang juga tersenyum tak kalah lebar.
Untuk beberapa saat, mereka
akhirnya larut dalam aktivitas masing-masing. Ara belajar merajut sekaligus
menjahit bersama Nenek Hamidah sementara Bintang terlihat serius bermain scrabble bersama Kakek Ali.
Ara terlihat asyik belajar
membuat rajutan kecil untuk gantungan kunci
dengan bimbingan Nenek Hamidah yang asyik merajut syal ketika kemudian Nenek
Hamidah terlihat menghentikan aktivitasnya dan mengeluarkan selembar kain
berbentuk sapu tangan polos warna biru muda dari keranjangnya.
“Nenek punya satu lembar sapu
tangan polos, Ra... biar Nenek tulis dan jahitkan nama kamu di sapu tangan ini
sebagai kenang-kenangan dari Nenek ya...”.
Ara tersenyum senang ketika
Ara tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Nek..., Ara senang banget
dapat kenang-kenangan dari Nenek, tapi... “.
“Tapi apa, Ra?”
“Boleh tidak kalau Ara minta
Nenek menuliskan nama Bintang di sapu tangan itu?” pinta Ara pelan.
Nenek Hamidah tersenyum lebar
ke Ara kemudian menoleh kearah Bintang duduk.
“Hmmm, Bintang... apa Bintang
itu cowok Ara sampai Ara memperlakukan dia dengan istimewa seperti ini?” tanya
Nenek Hamidah setengah menggoda Ara.
Ara tersipu sambil
menggelengkan kepalanya beberapa kali kemudian melirik kearah Bintang sejenak.
“Bukan Nek, Bintang itu teman
Ara, salah satu alasan utama Ara dan Bintang mengunjungi panti hari ini karena
Bintang sedang kangen sama neneknya. Dibandingkan Ara, sepertinya Bintang lebih
memerlukan kenang-kenangan Nenek Hamidah dibandingkan Ara. Ara ingin membantu
Bintang lebih banyak tersenyum, Nek dan Ara yakin kenang-kenangan dari Nenek Hamidah
pasti bisa membuat Bintang merasa senang”.
Nenek Hamidah tersenyum
memandangi Ara yang juga tersenyum lebar kemudian menganggukkan kepalanya tanda
mengerti niat Ara.
“Memangnya cuma Bintang yang
kangen neneknya? Ara nggak kangen sama nenek Ara?” tanya Nenek Hamidah lembut.
“Ara juga kangen pastinya sama
nenek Ara, tapi dibanding Bintang, Ara jauh lebih beruntung. Nenek Ara masih
hidup dan sehat, sementara nenek Bintang sudah meninggal saat Bintang masih
kecil...”.
Nenek Hamidah kembali menoleh
kearah Bintang, memandanginya sejenak lalu mulai mengukirkan dengan telaten kata
“BINTANG” menggunakan tulisan latinnya yang indah dimata Ara. Kemudian Nenek
Hamidah mulai menjahit di tulisan yang beliau ukir di atas sapu tangan itu
sementara Ara terlihat tersenyum senang memperhatikan gerakan tangan Nenek
Hamidah.
“Tulisan Nenek Hamidah cantik,
Bintang pasti suka menerima sapu tangan spesial dari Nenek”.
Nenek Hamidah memandangi Ara
dengan senyuman teduhnya.
“Cantik dan spesial itu
relatif, Ra. Yang paling penting adalah ketulusan kita saat membuatnya. Itu
sebabnya setiap kali Nenek membuatkan sesuatu untuk seseorang, Nenek berusaha
tersenyum dan menjaga ketulusan di hati Nenek sambil menyelipkan doa dan
harapan baik buatnya. Nenek berharap ketulusan dan doa itu akan sampai buat
penerimanya”.
Ara menganggukkan kepalanya
pelan sambil tersenyum bersama Nenek Hamidah. Jahitan di ukiran huruf itu baru
sampai di huruf N ketika Nenek Hamidah menghentikan gerakan tangannya.
“Sekarang coba Ara yang
lanjutin ya menjahit nama Bintang...,” ujar Nenek Hamidah sambil menyerahkan
sapu tangan dan jarum jahit itu ke Ara.
Ara sedikit tertegun, “Tapi
Nek, Bintang kan kangennya sama neneknya, dia pasti lebih senang kalau
seandainya pemberian itu buatan Nenek dibandingkan buatan Ara...”.
Lagi-lagi Nenek Hamidah
tersenyum. “Nenek tahu, Ra... Nenek sudah berusaha menuliskan nama BINTANG
seindah mungkin dan juga menjahit di huruf B, I, dan N. Sekarang giliran Ara
menyelesaikan huruf-huruf selanjutnya. Bukannya Ara juga ingin membantu membuat
Bintang senang?”
Ara mengangguk pelan sambil
tersenyum.
“Kalau begitu Ara lanjutkan
jahitan Nenek di sapu tangan buat Bintang itu biar Ara juga bisa mendoakan dan
memberikan ketulusan buat Bintang”.
Ara pun meletakkan rajutan
gantungan kunci buatannya dan mulai melanjutkan jahitan Nenek Hamidah di sapu
tangan buat Bintang itu. Seperti nasihat Nenek Hamidah, Ara berusaha menjaga
ketulusannya saat melakukannya sambil mengucapkan harapannya buat Bintang di
dalam hati.
“Semoga kamu bisa lebih
bahagia dalam kehidupan kamu dan tidak sedih lagi, Bintang”.
Ara sedang menikmati
menyelesaikan menjahit nama BINTANG di sapu tangan sementara Nenek Hamidah
melanjutkan rajutannya sambil sesekali tersenyum memandang kearah Ara ketika
terdengar suara Kakek Ali.
“Sudah berapa kali putaran
kita bermain menyusun huruf ini, tapi Kakek selalu kalah, Cu,” ujar Kakek Ali
dengan raut sedikit sedih.
Terlihat Bintang hanya bisa
tersenyum prihatin sambil berusaha menyemangati Kakek Ali yang ada di
hadapannya itu.
Ara yang melihat kearah
keduanya pun menghentikan aktivitasnya sejenak dan berjalan mendekati Bintang
dan Kakek Ali.
“Kenapa Kek, kok wajah Kakek
terlihat sedih begitu?” tanya Ara sambil tersenyum lembut.
“Iya Cu, Kakek dari tadi main
tapi tidak pernah menang,” jawab Kakek Ali pelan.
“Boleh Ara pinjam Bintang
sebentar, Kek? Ada yang mau Ara bicarakan,” sambung Ara dibalas anggukan
kepala Kakek Ali.
Ara mengajak Bintang duduk di
ruang tamu.
“Ada apa, Ra?”
Ara tersenyum, “Bintang...
ingat, kita sekarang sedang di panti jompo bukan di kantor. Kamu ga perlu
terlalu serius main scrabble-nya
kali, Bin”.
Bintang meringis sambil
menganggukkan kepalanya.
“Tujuan kita kesini menemani
dan menghibur kakek nenek disini dengan harapan bisa mengobati kerinduan kamu
ke nenek kamu. Jadi nggak ada salahnya sekali-kali membiarkan Kakek Ali menang
di permainan itu, Bin. Apa kamu nggak kasihan melihat beliau beraut sedih
begitu?”
Bintang menganggukkan kepala
dengan wajah merasa bersalah. “Iya, Ra. Maaf aku terlalu bermain serius. Payah
banget aku yaaa...”.
Ara menggelengkan kepalanya
pelan sambil tersenyum lebih lebar ingin tetap menyemangati Bintang dan tidak
membuat laki-laki itu merasa kecil hati. “You did it well (Ind: Kamu melakukannya dengan
baik), Bin... cuma terlalu serius aja. Mungkin karena ini pengalaman
pertama kamu ke tempat seperti ini. Tapi aku percaya kamu bisa melakukannya,”
ujar Ara dengan bersemangat.
“Aku akan berusaha lebih baik
lagi, Ra. Makasih sudah diingatkan, Ra”. Keduanya pun tertawa dan bergegas
kembali ke tempat mereka semula. Ara melanjutkan menjahitnya sambil sesekali
terlihat mengamati kearah Bintang dan Kakek Ali. Beberapa kali wajah Kakek Ali
terlihat puas dan senang karena akhirnya beliau berhasil memenangkan permainan.
Begitu pun wajah Bintang yang terlihat bersemangat dan tersenyum lebih senang
justru ketika dia mengalami kekalahan. Ara pun ikut senang melihatnya.
Waktu menunjukkan pukul 11.00 ketika Ara sudah
menyelesaikan jahitan di sapu tangan buat Bintang itu dan kembali melanjutkan
rajutan gantungan kuncinya. Sementara itu Bintang sudah berganti teman bermain.
Kali ini Bintang terlihat serius bermain catur dengan Kakek Rahman.
Beberapa saat kemudian
permainan catur putaran pertama pun berakhir dengan senyuman kemenangan di
wajah Kakek Rahman ketika Nenek Fatimah memberitahukan sudah saatnya makan siang.
Para kakek dan nenek pun
berkumpul memutari meja makan dengan beberapa perawat siap melayani mereka yang
memerlukan bantuan. Nenek Fatimah sengaja mengumpulkan kakek nenek itu untuk
makan bersama sekaligus menghargai kedatangan Bintang dan Ara yang sengaja
menanggung pengeluaran untuk makan siang di panti saat itu. Nenek Fatimah
terlihat sengaja memasakkan Bintang dan Ara menu spesial buatan tangannya
sendiri. Selepas makan siang, sebagian kakek dan nenek kembali ke kamar
masing-masing untuk istirahat siang, sementara sebagian terlihat kembali ke
ruang tengah melanjutkan aktivitasnya termasuk Kakek Rahman dan Nenek Hamidah.
Ara membantu Nenek Fatimah membereskan meja makan dan Bintang pun mengikuti
tiap tingkah laku Ara.
“Sudah, Ra... biar nanti Mbak
yang membantu disini yang mencuci piring dan gelas bekas makan siang tadi. Ara
dan Bintang sebaiknya sholat lalu kembali ke ruang tengah dan main lagi sama
kakek nenek yang tidak tidur siang. Nenek juga bakal menyusul kesana,” ujar
Nenek Fatimah sambil tersenyum dan menepuk pelan bahu Ara.
“Nggak apa-apa, Nek biar Ara
dan Bintang membantu mencuci piring dan gelas. Lagipula nggak banyak juga,
sebentar juga selesai. Selepas sholat di musholla sebelah, kami berdua bakal ke
ruang tengah lagi,” jawab Ara tersenyum lebar diikuti anggukan setuju dari
Bintang.
Nenek Fatimah pun meninggalkan keduanya
menyisakan Bintang dan Ara di dapur.
“Kalau kamu mau sholat, sholat
aja Bin. Aku bisa melakukannya sendiri kok. Bukannya kamu ada janji dengan
Kakek Rahman buat melanjutkan permainan catur kalian?” ujar Ara sambil
tersenyum menatap kearah Bintang yang berdiri di sebelahnya.
Bintang balas tersenyum.
“Nggak apa-apa, Ra. Kakek Rahman bilang mau mengaji dulu sehabis sholat
katanya. Aku ingin membantu kamu disini
baru kita sholatnya bareng aja, sekalian berjamaah biar pahalanya gedhe he he”.
Ara menganggukkan kepalanya
sambil membalas Bintang yang tertawa kecil kepadanya.
“Ya udah, aku bagian yang nyabunin, kamu yang membilas ya...”.
Ara dan Bintang bersemangat
melakukan “tugas” kecilnya masing-masing, sesekali Ara tersenyum menoleh kearah
Bintang yang terlihat serius membilas gelas dan piring yang sudah disabun Ara.
Ara mengoleskan busa yang ada
sabunnya itu ke hidung Bintang sambil tertawa kecil dan seketika itu
membuyarkan wajah serius Bintang.
“Araaaa..., busa itu kan
kotor...,” teriak Bintang manyun, pura-pura marah. Ara malah tertawa cekikikan.
“Kan tugas kami membilas, Bin.
Jadi hidung kamu tinggal dibilas aja, udah beres dan kembali bersih”.
Bintang pun ikut tertawa.
“Emang kamu pikir hidung aku gelas kotor...”.
Keduanya pun pecah dalam tawa.
“Lagian kamu membilas piring
aja serius banget, Bintang...,” sambung Ara membuat Bintang makin tertawa lepas
dan Ara senang melihatnya.
“Kenaaaa...,” teriak Bintang
balas mengoleskan sabun ke hidung Ara dengan tangannya sambil tersenyum puas.
“Bintanggg, sembarangan
colek-colek. Hidung aku kan jadinya ikutan kotor,” ucap Ara tetap tersenyum.
Bintang segera meminta maaf,
menyadari kelancangannya menyentuh hidung perempuan itu meski dia tidak menyesal
tentang sabunnya.
“Kan tinggal dibilas, Ra. Sini
biar aku bilas, kan itu tugas aku he he,” sambung Bintang menggoda Ara dibalas
Ara tertawa kecil sambil menjulurkan lidahnya, “Kamu aneh, Bin. Mana ada
laki-laki cakep seperti kamu modusin perempuan biasa seperti aku”. Lagi-lagi
tawa pecah diantara keduanya.
Tak lama, semua cucian pun
akhirnya selesai disabun. Sambil menunggu Bintang selesai membilas, Ara
meremas-remas busa yang penuh dengan sabun itu kemudian membuat gelembung dari
sabun dan meniupkannya kearah Bintang sambil tersenyum riang ke laki-laki di
sebelahnya. Bintang terlihat senang dengan perbuatan Ara itu, kembali
mengingatkan Bintang apa yang suka dilakukannya saat mandi waktu dirinya masih
kecil, membuat gelembung sabun.
Segera setelah semua selesai
dibilas, Bintang merebut busa dari tangan Ara dan melakukan hal yang sama
dengan yang Ara lakukan. Akhirnya Bintang dan Ara pun bermain gelembung sabun.
Ada kalanya mereka saling berlomba membuat gelembung yang paling besar. Tawa
dan senyum lepas pun menghiasi wajah mereka beberapa saat.
“Ternyata tidak susah membuat
kamu tersenyum lepas Bintang. Bahkan cukup dengan gelembung sabun pun kamu bisa
tertawa,” batin Ara.
Bintang menatap Ara sejenak
masih dengan senyum lebarnya, “Makasih banyak ya, Ra untuk semua yang sudah
kamu lakukan”. Ara menganggukkan kepalanya pelan, tersenyum tak kalah
lebar. “Sama-sama, Bintang”.
Selepas Ara mengeringkan
tempat cucian piring, keduanya pun bergegas menuju musholla dan sholat
berjamaah. Hanya ada mereka berdua di musholla itu.
Ara sedang melipat kembali
mukena yang dipakainya ketika Bintang terlihat tersenyum memperhatikan
sekaligus menunggunya.
“Sudah lama aku tidak pernah
menjadi imam saat sholat, Ra. Terima kasih ya sudah mau menjadi makmum aku hari
ini”.
Ara membalas senyum Bintang,
tak ingin kalah tulus dari laki-laki itu.
“Masih ada satu waktu sholat
lagi Bin buat kita mengulanginya, sholat berjamaah lagi”. Keduanya pun
sama-sama menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebih lebar.
Beberapa menit kemudian, Ara
kembali bergabung dengan Nenek Hamidah melanjutkan belajar merajut sekaligus berbincang
dengan beliau sementara Bintang pun kembali serius bermain catur dengan Kakek
Rahman.
Sampai tiga kali permainan
catur, Kakek Rahman terlihat tersenyum puas karena selalu menang dari Bintang.
Bintang terlihat tersenyum dengan raut sedikit sedih. Ia tidak puas dengan
dirinya sendiri yang tidak bisa menang di permainan itu satu kali pun.
“Jangan sedih, Bintang. Dengan
banyak belajar dan latihan, Bintang pasti bisa menang lain kali,” ucap Kakek
Rahman berusaha menghibur Bintang dengan menepuk-nepuk bahunya.
Ara pun tersenyum menatap
keduanya kemudian mendekat kearah Bintang. “Kakek Rahman ini memang jago banget
main catur, Bin. Beliau itu waktu mudanya sering juara main catur di kampungnya
tiap kali lomba 17 agustusan, ya Kek...,” ujar Ara tersenyum ke Kakek Rahman
kemudian menoleh ke Bintang dan tersenyum kepadanya. Bintang balas tersenyum
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Berarti Bintang beruntung ya Kek
bisa belajar dari Kakek Rahman selama permainan ini. Bintang akan belajar lagi
biar bisa lebih jago main caturnya,” ujar Bintang dengan semangat. Ketiganya
pun tersenyum, Kakek Rahman terlihat menepuk-nepuk bahu Bintang dan kemudian
menoleh bergantian kearah Ara dan Bintang. “Bukan hanya belajar lagi tentang
bermain catur biar lebih jago, Cu,... tapi juga terus belajar menjadi lebih
baik dalam kehidupan ini”.
“Iya, Kek. Makasih sudah
mengingatkan Ara dan Bintang yang masih muda dan suka labil ini,” jawab Ara
sambil tersenyum lembut kearah Kakek Rahman diikuti anggukan kepala Bintang
yang tersenyum kepada Ara.
Waktu di jam dinding panti jompo
menunjukkan pukul 15.30 ketika Ara dan Bintang baru selesai sholat berjamaah
dan kembali ke ruang tengah. Di ruang tengah tersisa Nenek Fatimah dan suara
mesin jahitnya, sementara kakek dan nenek yang lain beristirahat di kamarnya
masing-masing.
Ara mengajak Bintang mengambil
kursi dan duduk di hadapan Nenek Fatimah.
“Oh ya Nek, Ara baru ingat,
kok Ara tidak melihat Nenek Fatma ya seharian ini? Biasanya beliau selalu suka
menyanyi dan mengajarkan lagu-lagu perjuangan ke Ara dulu”.
Nenek Fatimah menghentikan
aktivitas menjahitnya kemudian tersenyum, “Nenek Fatma sudah meninggal, Sayang.
Beliau meninggal dalam tidurnya sebulan lalu”.
Ara terdiam, ia merasa
kehilangan mendengarnya. Ara teringat bagaimana Nenek Fatma yang selalu
terlihat ceria dan bersemangat di usianya yang sudah senja beberapa bulan
sebelumnya. Saat itu beberapa kali Nenek Fatma menghadirkan keriangan dengan
mengajak penghuni panti jompo yang lain bernyanyi bersama.
“Sejak beliau meninggal, panti
ini terasa lebih sepi. Ara jangan lupa mendoakan Nenek Fatma ya, Nak”.
Ara tersenyum dan mengangguk,
ada beberapa butir air mata menetes di pipi Ara. Nenek Fatimah menghampiri Ara
dan memeluknya sambil mengusap
rambutnya. Ara balas memeluk erat Nenek
Fatimah. Tiba-tiba ia teringat Bintang. Sebelumnya, Ara berharap Bintang bisa
bertemu dengan Nenek Fatma karena Ara yakin keceriaan Nenek Fatma bisa
melepaskan rindu yang tertahan di hati Bintang buat Neneknya. Ara menoleh ke
laki-laki yang duduk disebelahnya itu, Bintang terlihat sedang tersenyum
berempati kepadanya. Ada perasaan sedih yang menyusup di hati Bintang di saat
yang sama, mengingatkan Bintang akan rasa kehilangan Bintang tentang neneknya.
Ara pun tersenyum lebih lebar.
“Seperti yang Nenek Fatimah bilang barusan, meski Nenek Fatma sudah meninggal,
tapi kita bisa tetap mendoakannya. Beliau akan selalu hidup di hati. Begitupun
Nenek kamu Bintang, selama kamu mendoakan Nenek kamu, Nenek kamu akan selalu
dekat dan hidup di hati kamu, Bin,” ujar Ara seolah membaca kesedihan yang
terlihat di mata Bintang.
Bintang mengangguk pelan
berusaha tetap tersenyum.
“Ara benar, Nak. Meski Nenek
Bintang sudah meninggal lama, tapi Bintang bisa terus mendoakan beliau. Itu
salah satu tanda sayang Bintang buat Nenek,” sambung Nenek Fatimah. Bintang
lagi-lagi mengangguk pelan. Nenek Fatimah ganti menghampiri Bintang dan
memberikan pelukan ke laki-laki yang duduk di sebelah Ara dan mengusap-usap
rambut Bintang, membuat rindu di hati Bintang makin terasa. Dulu, neneknya
sering melakukan hal yang sama. “Selama Bintang berusaha menjadi orang baik,
Nenek Fatimah yakin Nenek Bintang pasti tersenyum bangga kepada Bintang”.
“Iya, Nek...”. Bintang makin
menenggelamkan kepalanya dalam pelukan Nenek Fatimah yang berdiri di
sebelahnya. Mata Bintang berkaca-kaca tapi dia berusaha menahannya untuk tidak
keluar.
Ara melihatnya, ia tahu
Bintang berusaha sekuat mungkin meredam perasaan rindunya itu di dalam hati.
“Kalau kamu ingin menangis, nggak ada salahnya sekali-kali menangis, Bin...,”
batin Ara.
Waktu menunjukkan pukul 15.45,
Bintang dan Ara pun bersiap-siap pulang.
“Oh iya, Ra. Tadi Nenek
Hamidah bilang kalau beliau menunggu kamu dan Bintang di kamarnya sebelum
kalian pulang,” ucap Nenek Fatimah.
Ara pun mengajak Bintang masuk
ke kamar Nenek Hamidah.
“Sini masuk, Nak...,” ucap
Nenek Hamidah yang terlihat sedang merajut di tempat tidurnya.
Keduanya masuk, Ara duduk
dipinggir ranjang sementara Bintang duduk di kursi menghadap Nenek Hamidah.
“Terima kasih sudah datang
kemari hari ini, Nak. Nenek ada kenang-kenangan buat kalian”. Bintang dan Ara
pun terlihat tersenyum penasaran sekaligus bersemangat. Nenek Hamidah
mengeluarkan sebuah bros rajutan berbentuk kucing bertuliskan ARA.
“Waaaah, ini bagus banget,
Nek. Ara suka banget, terima kasih
banyak ya Nek”. Ara pun langsung memasangkan bros rajutan itu di bajunya sambil
tersenyum ceria membuat Nenek Hamidah juga Bintang ikut merasa bahagia. Nenek
Hamidah pun memeluk Ara dan mencium kening gadis itu. “Terima kasih karena Ara
sudah mengobati kerinduan Nenek ke cucu nenek yang tinggal jauh dari sini,”
ucap Nenek Hamidah lembut kemudian mencium kedua pipi Ara.
“Sama-sama, Nek. Ara juga
seneng banget bisa menemani dan dipeluk Nenek hari ini”.
Bintang tersenyum mengamati
keduanya. Ia pun ingin mendapatkan pelukan hangat dari Nenek Hamidah seperti
saat neneknya memeluk dirinya waktu kecil dulu.
“Nah sekarang giliran
kenang-kenangan buat Bintang”. Suara Nenek Hamidah membuat Bintang tersenyum lebih
lebar. Nenek Hamidah menyerahkan sebuah sapu tangan bertuliskan BINTANG.
“Tulisannya bagus banget, Nek.
Terima kasih,” ujar Bintang dengan wajah
ceria menerima sapu tangan itu.
“Yang menulis tulisan itu
memang Nenek, tapi yang menjahitnya Nenek dan Ara,” sambung Nenek Hamidah
membuat Bintang langsung menoleh ke Ara dan tersenyum padanya.
“Meski sapu tangan ini
sederhana, tapi ada selipan doa dari Nenek Hamidah juga Ara saat kita membuat
ini. Semoga Bintang lebih banyak tersenyum dan bahagia di kehidupan kamu ya,
Nak”.
Bintang mengamini doa untuknya
itu lalu mengucapkan terima kasih bergantian kepada Nenek Hamidah dan juga Ara.
Gadis itu terlihat tersenyum tulus kepadanya.
“Oh iya, Ara harus menemui
Nenek Fatimah. Aku keluar dulu sebentar, ya Bin...”.
Ara bergegas keluar kamar
menyisakan Bintang bersama Nenek Hamidah.
“Boleh Nenek memeluk Bintang?”
tanya Nenek Hamidah sambil tersenyum teduh.
Bintang mengangguk dan segera menenggelamkan
dirinya kedalam pelukan Nenek Hamidah seperti dulu saat neneknya memeluk
dirinya.
Nenek Hamidah mengusap lembut
rambut Bintang membuat Bintang kembali ke masa kecilnya. Ia merasa dipeluk oleh
neneknya.
“Boleh Nenek menyanyikan satu
lagu buat Bintang?” tanya Nenek Hamidah lagi.
“Boleh, Nek...”.
Nenek Hamidah pun menyanyikan
lagu Bintang Kecil buat Bintang sambil mengusap-usap rambut Bintang, membuat
air mata Bintang makin berdesakan ingin keluar. Ia merasakan rindu yang sangat
dalam akan neneknya dan bayangan dirinya bersama neneknya pun hadir di
pikirannya.
Meskipun demikian, tak ada air
mata Bintang yang keluar, mata Bintang berkaca-kaca tapi Bintang berusaha
menahannya sekuat tenaga agar tidak menangis.
Ara melihat semua itu, ia
sengaja mengintip dari pintu kamar Nenek Hamidah. Sebelumnya Ara sengaja meminta
Nenek Hamidah untuk melakukan hal itu agar Bintang bisa melepaskan
kerinduannya. Ara menceritakan dengan rinci tentang kerinduan Bintang akan
neneknya kepada Nenek Hamidah. Namun Bintang tetap berusaha menahan dirinya
untuk tidak menangis dan itu justru membuat Bintang terlihat lebih
“tersiksa”.
“Aku tahu kamu ingin menangis,
Bin. Menangislah Bintang biar kamu merasa lebih lega,” batin Ara dengan mata
berkaca-kaca memandangi Bintang dari kejauhan. Ara ikut merasa sedih melihat
Bintang yang tetap menahan rasa rindu ke neneknya itu.
Lagu Bintang Kecil dari Nenek
Hamidah pun berakhir, Nenek Hamidah mengecup ubun-ubun Bintang dengan penuh
kasih sayang. “Tetap jadi manusia yang baik, Bintang,” ucap beliau dibalas
anggukan pelan dari Bintang yang kehilangan kata-kata dengan apa yang dilakukan
Nenek Hamidah saat itu. Untuk beberapa saat, Nenek Hamidah membiarkan saja
Bintang yang masih betah dalam pelukannya, beliau seolah bisa merasakan rindu
yang Bintang rasakan kepada neneknya sebagaimana rindu yang beliau rasakan
kepada cucunya.
“Terima kasih banyak, Nek,”
ucap Bintang akhirnya kembali duduk ke tempatnya semula setelah dia sudah bisa
menata perasaannya lebih baik.
“Apa Nenek bisa sedikit
mengobati kangen Bintang ke nenek Bintang?” tanya Nenek Hamidah sambil
tersenyum lembut ke Bintang.
Bintang balas tersenyum sambil
mengangguk.
Ara pun memutuskan kembali
masuk ke kamar Nenek Hamidah dengan memasang wajah ceria seperti semula untuk
berpamitan.
“Nek..., Bintang dan Ara pamit
pulang dulu ya,” sambung Bintang sambil menyalami Nenek Hamidah dan mencium
punggung tangannya. Nenek Hamidah pun balas mengecup kening Bintang. Ara pun
melakukan hal yang sama, mencium punggung tangan Nenek Hamidah dibalas kecupan
di kedua pipi dan kening dari Nenek Hamidah. Tak lupa, Ara membisikkan terima
kasih untuk semua yang Nenek Hamidah lakukan buat Bintang. Setelah berpamitan
dengan Nenek Fatimah, keduanya pun pulang.
Waktu menunjukkan pukul 16.30 saat Bintang dan Ara sudah berada di mobil Bintang dalam perjalanan menuju
tempat kos Ara.
“Terima kasih buat hari ini,
ya Ra...”.
Ara menoleh kearah Bintang
sambil tersenyum, “Sama-sama, Bin. Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa kamu
menyesal datang ke panti jompo tadi?”
Bintang menggelengkan
kepalanya. “Aku sama sekali tidak menyesal dan aku merasakan beruntung bisa
main dan berjumpa dengan kakek dan nenek disana. Ada kebahagiaan tersendiri di
dalam hati aku saat ini setelah apa yang kita lakukan disana seperti yang
pernah kamu bilang, Ra”.
Ara dan Bintang saling
melempar senyuman lebarnya.
“Apa kerinduan kamu ke nenek
kamu terobati, Bin?”
Bintang menatap Ara sejenak lalu
menganggukkan kepalanya.
“Saat Nenek Hamidah dan Nenek
Fatimah memeluk aku tadi, aku merasa seperti dipeluk nenek aku, Ra. Pelukan itu
terasa sangat hangat dan tulus mirip seperti pelukan nenek aku meskipun
pastinya tidak persis sama”.
Ara tersenyum memandangi
Bintang yang sedang fokus mengemudi di sebelahnya. Ada senyuman di bibir
Bintang saat itu.
“Aku yakin nenek kamu pasti
bangga ke kamu, Bin. Kamu sudah berusaha menjadi yang terbaik buat nenek kamu,”
ujar Ara ceria ketika mobil Bintang berhenti di perempatan karena lampu merah.
Bintang menoleh ke gadis
disebelahnya itu, lagi-lagi ia tersenyum kepada Ara. Ara bisa merasakan ada
yang tertahan di hati Bintang saat itu, sebuah bagian rindu dan rasa bersalah
kepada neneknya yang tidak bisa ia lepaskan.
Setelahnya tak banyak obrolan
diantara keduanya hingga akhirnya mereka tiba di depan tempat kos Ara.
“Oh iya, tadi kan aku belajar
merajut ke Nenek Hamidah dan aku punya sesuatu buat kamu, Bin, “ ujar Ara
sambil mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya dan menyerahkan ke Bintang.
Sebuah gantungan kunci. Bintang tersenyum lebar mengucapkan terima kasih lalu
mencermati gantungan kunci itu. Ada bentuk senyum, hati, dan bintang tersusun
dari atas ke bawah diantara rajutan penghubungnya. Ara sengaja membelinya
beberapa hari sebelumnya di toko pernak pernik rajutan kemudian merajut
ketiganya menjadi bentuk gantungan kunci.
“Semoga kamu bisa lebih banyak
tersenyum dari hati, Bintang...,” ucap Ara menjelaskan pesan dibalik gantungan
kunci itu dengan riang.
Bintang tertawa kecil,
tersentuh dengan apa yang dilakukan Ara buatnya. Gadis ini baru dikenalnya,
tapi dia hadir dengan ketulusannya ingin membantu Bintang untuk bisa lebih
banyak tersenyum lagi dengan segala rasa lelah, sunyi, kosong, dan sedih yang
sering menghampiri hatinya akhir-akhir ini.
“Kamu sudah ikut merajut nama
aku di sapu tangan dari Nenek Hamidah sekarang kamu membuatkan gantungan kunci
buat menyemangati aku sementara aku tidak membuatkan kamu apa-apa, Ra. Bahkan
kamu tidak mengizinkan aku buat sekedar menraktir kamu,” ucap Bintang merasa
tidak enak hati.
“Nggak usah dipikirkan, Bin.
Kebetulan aja aku yang belajar merajut ke Nenek Hamidah tadi karena kamu harus
menemani Kakek Ali dan Kakek Rahman main scrabble
dan catur. Mungkin kalau posisi kita dibalik, kamu akan melakukan hal yang sama
buat aku, he he,” sambung Ara sambil tersenyum.
Bintang memandangi Ara sejenak
lalu kembali tersenyum. Gadis dihadapannya ini hadir kedalam kehidupan Bintang
dengan uniknya tanpa pernah ia sangka, berawal dari bertemu di dalam mimpi
kemudian menjelma dalam kehidupan nyata dan Ara menawarkan “genggaman” hangat menemani
Bintang.
“Ya udah, terima kasih sekali
lagi buat semuanya, Bintang. Hati-hati di jalan ya,” ujar Ara dengan wajah
riang membuka pintu mobil hendak turun.
“Sama-sama, Ra. Oh iya, apa
kita bisa bertemu lagi?”
Ara terdiam sejenak menatap
Bintang kemudian tersenyum. “Hmmm kita lihat saja nanti,” ujar Ara dengan wajah
polosnya sambil tertawa kecil membuat Bintang pun ikut tertawa sambil menganggukkan
kepalanya.
“By the way baru ingat, kotak
makan kamu kan masih ada di aku, Ra dan aku harus mengembalikannya ke kamu. Itu
artinya... kita bisa bertemu lagi sepertinya, Ra” sambung Bintang dengan senyum
lebarnya dibalas Ara dengan senyuman tak kalah lebar sambil mengangguk-anggukan
kepalanya. Ara pun turun dari mobil Bintang.
“Bintang...,” panggil Ara tiba-tiba saat dia
akan menutup pintu mobil Bintang.
“Ya...”.
“Kamu harus memaafkan diri
kamu tentang kecelakaan yang dialami nenek kamu, Bin. Itu bukan salah kamu,
Bintang. Kamu harus bisa melepaskan rasa bersalah itu dan juga kerinduan kamu
yang tertahan buat nenek kamu agar hati kamu bisa lebih terasa lega, Bintang”.
Bintang terdiam mendengarnya,
gadis itu lagi-lagi bisa meraba apa yang dirasakannya. Ia menatap Ara sejenak
kemudian menundukkan kepalanya sebelum akhirnya kembali menatap Ara. Bintang
tersenyum, “Mungkin aku masih perlu waktu, Ra....”.
Ara balas tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya, “Aku yakin kamu pasti bisa”.
Bintang mengangguk, “Iya..., terima
kasih banyak ya, Ra...”. Setelah saling bertukar senyum lebar dan salam, Ara
pun bergegas masuk ke tempat kosnya.
Bintang mengambil sesuatu dari
tas ranselnya, kotak makan milik Ara. Bintang sengaja tidak jadi
mengembalikannya hari itu karena dia berharap masih bisa bertemu lagi dengan
Ara.
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar