Jumat, 20 Mei 2016

Konstelasi Hati BINTANG Buat ARA - Part 6: Merajut Konstelasi - Akhir Minggu Bersama

Part Sebelumnya

Merajut Konstelasi - Akhir Minggu Bersama

Rabu itu, Bintang masih tetap disibukkan dengan proyek barunya. Lagi-lagi perusahaan tempat Bintang bekerja memercayainya sebagai salah satu tim inti proyek terbarunya tentang desain sistem informasi di sebuah perusahaan yang menjadikan multi data khususnya spatial data (data keruangan) sebagai domain mereka. Dari pagi hingga malam, Bintang disibukkan dengan pertemuan dengan client/user (pengguna) dan rapat koordinasi dengan tim kecilnya. Waktu menunjukkan pukul 19.30 di arlojinya ketika Bintang tiba-tiba teringat rencananya bersama Ara ke panti jompo. Bintang pun mengirim pesan via whatsapp.

"Ara, bagaimana dengan rencana kita ke panti jompo, Sabtu ini? Kamu yakin kita berdua bisa melakukannya dengan baik? Bintang".
Tak berapa lama kemudian, ada balasan dari Ara.
"Insyaa Allah jadi, Bin. Aku sudah menghubungi Nenek Fatimah yang bertanggung jawab di panti tersebut dan beliau tidak sabar menunggu kedatangan kita. Kita pasti bisa melakukannya berdua, Bintang. Tenang saja, kakek nenek di panti jompo insyaa Allah ramah dan cepat akrab ke orang baru apalagi orang muda seperti kita. Semangattt :)".
Bintang yang masih duduk bersandar di kursi kerjanya itu pun tersenyum membacanya. Ara yang seolah berada di kutub berbeda dengannya itu justru menyempurnakan apa yang tidak dipunyai Bintang.
"Terus kita perlu bawa apa saja kesana, Ra? Apa saja yang perlu kita siapin?" ketik Bintang lagi.
Ara balas mengetik, "Nenek Fatimah ada memberikan gambaran apa saja yang bisa kita bawa, alat rajut, papan catur, roti biskuit, dan ada beberapa barang lainnya. Btw, apa kamu punya waktu buat kita belanja barang-barang itu bersama?"
Bintang terlihat memikirkan waktu luangnya di minggu itu.
"Gimana kalau Jumat sore jam 18.00 aku jemput kamu di kantor, Ra? Kalo kamu tidak keberatan, beri aku alamat kantor kamu ya :)".
Ara terdiam sambil tersenyum membacanya. Bintang, laki-laki itu, menurutnya orang yang cukup simple, to the point, dan tidak risih dengan orang yang baru dikenalnya dalam hal ini Ara.
"Nanti untuk bahan rajut, aku bisa belikan di toko rajut di dekat kantor aku, Bin. Sisanya nanti baru kita cari sama-sama ya. Oke, Jumat sore kita rencananya mau belanja dimana?"
Bintang kembali berpikir sejenak, ketika ia teringat tempat itu, tempat ia dua kali bertemu Ara.
"Mall di dekat taman dan danau buatan aja, ya Ra. Aku jemput kamu, ya... ".
Ara kembali tersenyum, lalu mengetikkan tanda setujunya sekaligus alamat lengkap kantornya.
Selepas percakapannya dengan Ara, Bintang pun bergegas membereskan berkas-berkas pekerjaannya. Entah kenapa hatinya merasa riang saat itu, seperti anak kecil yang merindukan neneknya dan diajak liburan ke rumah neneknya serta tidak sabar bertemu neneknya. Bintang pun bersiul dengan irama Bintang Kecil sepanjang perjalanannya menuju parkiran membuat penjaga kantornya heran tapi ikut senang melihatnya.
"Wah lama tidak mendengar siulan Mas Bintang. Kalau dari siulannya, sepertinya Mas Bintang sedang senang nih hatinya...," ujar Pak Ali, salah satu penjaga kantor, menyapa Bintang dengan hormat dan ramah. Bintang balas tersenyum hormat kepada penjaga kantor yang berusia cukup tua tapi masih gagah itu. "Pak Ali bisa aja... kebetulan hati saya sedang riang, mau mencoba hal baru soalnya he he. Saya pulang dulu ya, Pak". Dan siulan Bintang Kecil pun menemani Bintang sepanjang perjalanan menuju apartemennya bersama dengan suara Ara dan nyanyian Bintang Kecilnya yang direkam Bintang.
Sementara itu, Ara juga memikirkan Bintang untuk sejenak. Ara teringat ekspresi kerinduan dan sedih serta penyesalan di wajah Bintang saat mengingat neneknya yang sudah meninggal. Ara suka melihat Bintang lebih banyak tersenyum dan tertawa. Itulah alasan kenapa dia ingin membantu Bintang. Tapi Ara juga ingin melihat Bintang menangis, ia ingin Bintang melepaskan perasaannya yang tertahan selama ini agar Bintang bisa merasa lebih lega. Selama ini Bintang selalu berusaha tidak menangis apapun yang ia rasakan karena Bintang tidak ingin mengecewakan Neneknya dengan menjadi laki-laki cengeng. Padahal hal yang wajar sebenarnya jika Bintang menangis sekali atau dua kali, karena menangis itu manusiawi, satu tanda bahwa kita manusia biasa. Ara kemudian mendapatkan ide, ia akan menyiapkan rencana kecil agar Bintang bisa menangis saat di panti jompo Sabtu nanti.
Jumat sore pun menjelang ketika Ara memutuskan membawa beberapa berkas pekerjaannya untuk dikerjakan di rumahnya. Arloji Ara menunjukkan pukul 17.45 ketika Bintang muncul di hadapan Ara dengan senyuman manisnya sembari mengucapkan salam. Entah kenapa, jantung Ara tiba-tiba berdebar untuk sesaat mendengarnya. "Ada yang salah dengan aku sepertinya. Wah mulai gawat ini," batin Ara sambil tetap berusaha bersikap netral dan balas tersenyum lebar kemudian membalas salam Bintang. Terlihat beberapa teman kerja Ara yang lewat memandang kearah keduanya dengan raut bertanya, tak jarang mereka tersenyum menggoda, mencandai Ara. Maklum Ara yang dikenal cukup ramah dan supel di lingkungan tempatnya kerja setahu mereka tak pernah terdengar menjalin hubungan dekat dengan pria sejak bekerja di tempat itu.
"Ciee Ara akhirnya ada yang menjemput pulang. Ditunggu ya traktirannya," ujar seorang perempuan beberapa tahun diatas Ara. Ara buru-buru menyangkal sambil meringis salah tingkah, "Bukan, Mbak. Kami cuma teman aja".
Ara melirik kearah Bintang, merasa tidak enak hati dengan Bintang, tapi laki-laki itu terlihat cuek saja hanya tersenyum tipis.
"Maaf ya Bin, teman-teman aku emang suka bercanda. Harap dimaklumin aja ya, mungkin karena aku jomblonya kelamaan. Aduh malah curhat he he". Wajah Ara pun merona malu karena ia keceplosan sementara Bintang terlihat menganggukkan kepalanya sambil menertawakan kelakuan gadis itu yang polos dimatanya. Ara pun tersenyum, entah kenapa ia merasa bahagia tiap kali melihat Bintang tersenyum dan tertawa.
Beberapa saat kemudian, Bintang dan Ara pun larut berbelanja barang-barang yang akan mereka bawa esok hari ke panti jompo. Selama itu pula Ara terkesan dengan sikap Bintang yang gentle berusaha membawakan semua barang yang mereka beli, berusaha sebisa mungkin meringankan Ara.
"Kita kan bukan majikan dan asisten, Bintang. Jadi sini biar separuhnya aku yang bawa, Bin. Lagian lebih cocok kamu yang jadi majikan sepertinya," ujar Ara sambil tersenyum mengulurkan tangannya buat membantu Bintang membawa barang bawaan.
Bintang balas tersenyum, "Santai, Ra... nanti kalau memang tangan aku sudah nggak bisa lagi bawanya, aku pasti bilang. Lagipula, bukannya biasanya wanita itu suka dimanja, ya Ra? "
Ara tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya.
“Katanya sih begitu he he. By the way, memangnya kamu melakukan hal semacam ini ke semua perempuan, Bin?”
“Tergantung situasi dan kondisi, Ra. Yang pasti aku berusaha berbuat seperti itu kepada ibuku dan cewek aku atau teman dekat aku,” jawab Bintang.
“Dan aku tidak masuk ketiga kategori perempuan yang kamu sebutkan, Bintang,” sambung Ara dengan riang, “jadi kamu tidak perlu merasa sungkan membagi barang bawaan kamu dengan aku”.
Bintang tersenyum sambil menoleh sejenak ke Ara sambil mengangkat bahunya. “It’s okay, Ra. Aku ingin melakukannya dan dengan senang hati membawa belanjaan ini”.
Keduanya pun saling melempar tawa dalam diam.
“Cewek kamu pasti merasa bahagia dan beruntung dengan sikap kamu yang seperti ini ya, Bin. Benar-benar gentle”.
Senyuman Bintang tertahan, sejenak ia pandangi gadis yang berjalan di sebelahnya itu.
“Sayangnya kebahagiaan dan keberuntungan tidak cukup bisa diukur dari sikap cowok yang mau membawakan barang belanjaan ceweknya, Ra. Buktinya aku beberapa kali membuat cewek aku menangis, marah dan sedih karena sikap aku,” jelas Bintang lalu terdiam menatap kearah lain.  Ara pun merasa salah bicara.
“Kadang memang tidak mudah menyenangkan hati seseorang, Bintang,” ujar Ara sambil tersenyum membuat Bintang kembali menoleh ke gadis itu, “tapi setidaknya kamu sudah berusaha melakukannya, Bin”.
Bintang tersenyum dan mengangguk setuju.
"Oh iya, Ra, kita sekalian makan malam dulu yuk disini. Aku sudah kelaparan nih," ujar Bintang disambut anggukan kepala Ara yang merasakan hal yang sama. Ara menyerahkan pilihan kepada Bintang dimana mereka akan makan.
Tak berapa lama kemudian, Ara dan Bintang sudah duduk berhadapan di sebuah tempat makan sambil menunggu pesanan mereka diantar.
“Oh iya, baru ingat. Malam ini, izinkan aku menraktir kamu makan, ya,” ucap Bintang sambil tersenyum lebar.
Ara balas tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Kita bayar masing-masing saja, Bin”.
Dengan setengah bercanda Bintang tetap berusaha membujuk Ara agar diperbolehkan menraktirnya, tapi Ara tetap saja bersemangat menolak. Meski Bintang baru mengenal gadis dihadapannya itu, kepolosan dan senyuman tulus gadis itu membuat Bintang bisa bercanda dengannya.
“Ya sudah, Ra. Sekarang juga kita saling mengangkat saudara saja, kan kamu bilang kamu mau ditraktir kalau sama saudara kamu?”
Ara lagi-lagi tertawa.  “Kamu kebanyakan nonton film kungfu dan laga mandarin sepertinya, Bin... pake acara mengangkat saudara segala. Aku sudah merasa cukup kita jadi saudara sebangsa dan setanah air, Bin”.
Bintang ikut tertawa, “Jadi aku boleh kan menraktir kamu?”
Ara tetap tersenyum menggelengkan kepalanya dengan mantab.
“Hmmm, kalau begitu bagaimana kalau kita nikah sekarang, Ra. Kan kamu juga bilang kalau kamu mau ditraktir sama suami kamu?” tawar Bintang tiba-tiba semakin ingin menggoda Ara. Bintang suka melihat ekspresi polos Ara saat dia mencandai gadis itu. Ara tampak manyun, memasang ekspresi pura-pura marah untuk sejenak lalu kembali tertawa kecil dengan sendirinya. “Ini pasti efek lapar deh, makanya kamu jadi makin ngaco, Bin,” ujar Ara lagi-lagi disambut tawa kecil Bintang.
Dan untuk sejenak saat itu, Bintang dan Ara seolah sudah saling mengenal lama. Mereka berbagi tawa menertawakan kekonyolan mereka.

“Lepas banget ketawanya, Bin”. Suara Zetta membuat tawa Bintang langsung berhenti.
Ara hanya diam mengamati perempuan cantik yang berdiri disamping meja Ara dan Bintang itu, bertanya-tanya siapa perempuan itu.
Zetta menatap tajam kearah Ara kemudian balik menatap Bintang. “Baru seminggu yang lalu kamu mutusin aku dan sekarang kamu sudah bisa tertawa lepas berdua dengan seorang cewek di tempat makan yang sama dengan yang biasanya kamu sering ajak aku ketika dulu ketika masih jadian”.
“Kamu salah paham, Ta. Ini tidak seperti yang kamu bayangkan... Aku...”.
“Salah paham? Aku pikir saat kamu mutusin aku malam itu, kamu benar-benar merasa menyesal dengan semua masalah yang terjadi diantara kita dan tidak ada hubungannya dengan orang lain,... tapi... sepertinya aku salah. Kamu putusin aku karena kamu ingin punya cewek baru. Iya kan, Bin?”
Bintang menatap Zetta yang terlihat mulai berkaca-kaca diantara tatapan marahnya. Bintang menggelengkan kepalanya. “Aku tidak berbohong, Ta. Keputusan aku memutuskan kamu tidak ada hubungannya dengan cewek lain. Aku juga merasa sedih, Zetta, tapi aku berusaha melepaskan semuanya”.
“Melepaskan kamu bilang? Melepaskan aku dengan memulai hubungan dengan cewek baru maksud kamu? Aku masih belum bisa ikhlas menerima kita putus Bintang dan aku masih bersedih untuk itu, tapi kamu... kamu... kamu malah sudah bisa tertawa lepas dengan cewek ini. Tawa yang sudah lama tidak pernah aku lihat dari kamu bahkan ketika kita masih belum putus, Bin”.
Bintang terdiam, ada rasa bersalah di hatinya kepada Zetta melihat kesedihan dan kecewa di mata gadis itu. Meski Bintang sudah memilih putus dengan Zetta dan menurut Bintang itu adalah keputusan yang terbaik, Bintang tidak memungkiri bahwa gadis itu pernah ada mewarnai hatinya.
Ara yang terdiam di tempatnya pun menjadi merasa tidak enak hati setelah tahu bahwa perempuan itu mantan cewek Bintang.   
“Maaf sebelumnya, aku Ara. Seperti yang Bintang bilang, kamu salah paham. Aku dan Bintang makan disini karena kebetulan kami harus membeli keperluan buat dibawa ke sebuah panti jompo. Tidak ada hubungan spesial diantara kami,” ujar Ara berdiri dari duduknya berusaha menjelaskan sikon diantara dirinya dan Bintang.
Zetta menatap bergantian ke Ara dan Bintang sementara Bintang masih diam hanya menganggukkan kepalanya pelan.
“Ara? Araaa... jadi kamu perempuan yang dicari-cari Bintang sampai dia mengalahkan waktunya buat aku untuk bertemu kamu sebelum aku dan Bintang putus?”
Ara tertegun mendengarnya, ia bingung harus menjelaskan apa.
“Ara... sebaiknya kamu duduk,” ucap Bintang, “dan Zetta..., aku sudah memberi tahu kamu alasan aku mencari Ara waktu itu, jadi tolong jangan bawa-bawa Ara dalam hal ini. Dia tidak tahu apa-apa”.
Zetta menatap Bintang sambil tersenyum dan mengusap air matanya.
“Aku kecewa ke kamu, Bintang. Kamu menyakiti hati aku”.
“Maaf Ta, aku tidak bermaksud untuk itu. Aku benar-benar minta maaf”.    
Bintang dan Zetta saling menatap sejenak, ada penyesalan di mata Bintang dan Ara hanya bisa diam di tempat duduknya.
Zetta pun bergegas pergi membawa rasa kecewanya, sementara Bintang terlihat diam menundukkan kepalanya menatap lantai. Bintang merasa kecewa dan marah ke dirinya sendiri, dia merasa menjadi laki-laki yang brengsek karena menyakiti hati perempuan meski tanpa niat. Ara memperhatikan gerak-gerik laki-laki yang duduk di hadapannya itu, tangan Bintang tergenggam, berusaha menahan apa yang dirasakannya.
“Kejar dia, Bintang...,” ucap Ara pelan membuat Bintang menoleh ke Ara.
“Buat apa, Ra? Hubungan aku dan Zetta sudah berakhir dan aku sudah berusaha menjelaskan ke dia alasannya. Aku memang bukan laki-laki yang baik...,” jawab Bintang pelan kemudian kembali menundukkan kepalanya.
“Mungkin kalian perlu bicara sekali lagi, Bintang, biar semuanya berakhir tanpa ganjalan di hati kalian masing-masing. Dia masih salah paham ke kamu, itu artinya ada yang belum clear diantara kalian...,” sambung Ara.
Bintang hanya tersenyum tipis menatap Ara, Ara tidak suka melihat tatapan Bintang saat itu, ada perasaan bersalah dan sedih disana.
Ara memandang keluar, terlihat Zetta berdiri menatap dingin kearahnya dan Bintang dari luar kaca tempat makan itu. Tanpa berpikir panjang, Ara pun bangun dari tempat duduknya dan bergegas mengejar Zetta tanpa sempat Bintang menahannya, disaat yang bersamaan ketika makanan pesanan mereka diantar.
Beberapa menit kemudian, Ara sudah berdiri di depan Zetta. Ara berusaha membantu Bintang  menjelaskan segala sesuatunya ke Zetta agar tidak ada salah paham di hati Zetta.
“Kamu merebut Bintang dari aku, kamu yang menyebabkan aku dan Bintang putus. Jadi jangan sok baik dan muna deh...,“ ucap Zetta kemudian menampar wajah Ara dengan tiba-tiba. Bintang yang melihatnya dari dalam ruangan pun buru-buru lari menghampiri keduanya.
Zetta sudah pergi saat Bintang tiba disana sementara Ara masih terdiam di tempatnya berdiri menjadi tontonan beberapa orang yang kebetulan ada disana.
Di satu sisi Ara memang malu mendapatkan perlakuan semacam itu di tempat umum, tapi bukan itu yang membuat dia mematung di tempatnya. Kalimat terakhir Zettalah yang menusuk hati Ara karena tidak pernah terlintas sedikitpun di pikirannya. Tiba-tiba ucapan Lintang meminta Ara tidak dekat-dekat dengan Bintang agar Ara tidak sakit hati terngiang di kepala Ara.
“Ra... . Ara..., apa kamu baik-baik saja?” Suara Bintang dan tangan Bintang yang tiba-tiba menggenggam tangan Ara menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
Ara menoleh ke Bintang dan buru-buru menarik tangannya dari genggaman Bintang.
"Aku tidak memerlukan genggaman tangan kamu, Bin,” ucap Ara pelan sambil menatap lantai di depannya membuat Bintang merasa bersalah.
“Maaf kalau aku lancang, Ra. Mana yang sakit, Ra? Maaf banget ya... kamu jadi terbawa-bawa diantara aku dan Zetta...”.
Ara masih diam.
“Seharusnya kamu tidak perlu menyusul Zetta tadi karena tidak akan ada gunanya. Zetta sulit untuk mendengarkan penjelasan dan berpikir jernih saat dia marah. Dia cenderung membenarkan semua dugaannya,” sambung Bintang.
“Aku cuma ingin membantu menjelaskan situasi yang sebenarnya, Bintang. Aku ingin membantu menghapus sedih dan rasa bersalah di wajah kamu tadi, Bin”.
Ara menatap kearah Bintang yang sedang menatapnya. Ada rasa bersalah di wajah laki-laki itu. Ara pun buru-buru tersenyum lebar. “Maaf ya, Bin... karena aku tidak berhasil melakukannya”.
Bintang menatap perempuan dengan senyuman tulus di hadapannya itu, dia tidak menyangka perempuan yang dipertemukan dengannya lewat mimpi itu begitu peduli kepadanya.
Bintang balas tersenyum lebih lebar sambil menggelengkan kepalanya pelan, “Terima kasih banyak untuk semuanya, Ra”.
Keduanya pun tertawa dan kembali berjalan menuju tempat makan mereka.
“Apa tamparan Zetta sakit banget, Ra?” tanya Bintang sambil menyantap makanannya.
Ara tersenyum lebar dan menggelengkan kepalanya pelan sekaligus ingin menghapus raut khawatir di wajah Bintang, “Aku nggak apa-apa, Bin. Zetta mungkin tidak bisa menahan emosinya saja tadi. Aku berusaha memahaminya, wajar sih, perempuan memang mengedepankan perasaannya dibandingkan logikanya”.
Bintang mengangguk pelan.
“Bin...”.
Bintang melihat kearah Ara.
“Keputusan kamu mengakhiri hubungan kamu dengan Zetta nggak ada hubungannya dengan aku kan? Soalnya tadi Zetta bilang...”.
Bintang buru-buru menggelengkan kepalanya dengan raut serius.
“Seperti yang pernah aku bilang, itu tidak ada hubungannya dengan kamu. Zetta cuma menyimpulkan sendiri berdasarkan prasangkanya. Mungkin karena momen putusnya aku dan Zetta bersamaan dengan waktu aku mencari-cari kamu, Ra. Aku... memutuskan Zetta karena aku tidak ingin melihatnya lebih banyak bersedih dan marah karena aku. Beberapa minggu terakhir ini, kami sering berkonflik tapi disaat yang sama aku pun sedang berkonflik dengan diri aku sendiri dan aku masih bingung bagaimana menyelesaikannya”.  
Ara tersenyum ke Bintang, ingin berempati dan sekaligus menyemangati Bintang.
“Kita tidak akan diuji diluar batas kemampuan kita, Bintang. Aku yakin kamu pasti bisa melaluinya dengan baik, Bin”.
Lagi-lagi Bintang tersenyum lebar, kalimat gadis yang baru dikenalnya itu menenangkan dan memberi semangat padanya.
“Apa kamu masih mencintai Zetta, Bin? Apa kamu masih memegang harapan bisa kembali bersama dengan Zetta?” tanya Ara sambil melahap mie goreng seafood yang jadi menu favoritnya.
“Menghapus seratus persen perasaan kita ke seseorang itu pastinya perlu waktu, tapi aku sudah melepaskan perasaanku, Ra. Aku tidak menyesal dengan keputusan aku, satu-satunya penyesalan tentang Zetta adalah karena aku  masih membuatnya sedih dan menangis. Aku merasa menjadi laki-laki yang payah karenanya”.
Ara menatap Bintang yang sedang menatapnya. Ara tersenyum lebar kepada laki-laki itu, “Semangat Bintang. Kadang kita tidak bisa menghindarkan seseorang terluka karena kita, tapi yang terpenting kita sudah berusaha menjaga hati orang lain agar tidak terluka oleh kita, apapun yang terjadi pada akhirnya”.
Bintang tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya.
Selepas menghabiskan makanan mereka, Bintang pun langsung mengantarkan Ara pulang ke tempat kosnya.       

Sabtu pagi itu, Ara sudah duduk manis di depan tempat kosnya menunggu kedatangan Bintang setelah Ara beradu pendapat dengan Bintang saat Bintang mengantarkannya pulang semalam dan akhirnya Ara menyetujui usul Bintang. Ara mengusulkan pada Bintang agar mereka naik taksi ke panti jompo, tapi Bintang lebih memilih mereka naik mobil Bintang agar lebih efisien dan tidak ribet apalagi mereka membawa beberapa kantong barang untuk kakek nenek di panti jompo tersebut.
Waktu di panti jompo menunjukkan pukul 09.00 saat Bintang dan Ara baru tiba. Dengan kompak mereka berdua menurunkan barang-barang bawaan dari mobil Bintang. Seorang perempuan tua, usia 60an terlihat keluar dari rumah menyambut mereka dengan senyuman hangatnya.
"Nek Fatimah... ," sapa Ara bergegas menaruh beberapa kantong plastik yang dibawanya di beranda panti dan menghampiri perempuan tua itu dan mencium tangannya.
Perempuan itu langsung memeluk Ara dan mencium kedua pipi kemudian kening Ara lembut sembari tersenyum ramah. "Kamu terlihat kurusan dibanding beberapa bulan lalu kamu dan teman-teman kesini, Sayang" ujar beliau sambil mencubit pelan pipi Ara yang sedang tersenyum lebar.
"Oh ya, Nek... kenalkan, ini Bintang, teman yang Ara ceritakan ke Nenek di telepon kemarin. Bintang..., kenalin beliau Nenek Fatimah yang aku ceritakan kemarin," ujar Ara mengenalkan Bintang yang berdiri di sebelahnya.
Bintang tersenyum, menjulurkan tangannya dan langsung mencium punggung tangan Nenek Fatimah dan Nenek Fatimah mengusap lembut sejenak rambut Bintang yang sedang menunduk itu kemudian mencium ujung keningnya. Apa yang dilakukan Nenek Fatimah pun mengingatkan Bintang sejenak pada neneknya. Ada rindu yang menyeruak saat itu di hati Bintang.
"Selamat datang di panti jompo ini, Bintang. Nenek berharap semoga ada kebahagiaan yang bisa dibagi dari kakek nenek di panti ini buat Bintang. Makasih ya, Nak sudah mau berkunjung kesini," sambung Nenek Fatimah tersenyum ramah.
"Bintang yang harusnya berterima kasih ke Nenek yang sudah menyambut hangat Bintang disini," jawab Bintang balas tersenyum, ada sedikit haru yang tertahan di tatapan Bintang itu dan teramati oleh Ara.
"Aku ingin sekali melihat kamu bisa melepaskan apa yang kamu rasakan, Bin," ujar Ara di dalam hati.
Ara kemudian bergegas membawa kantong-kantong plastik itu ke ruang tamu panti jompo, sedangkan Bintang menurunkan sisa kantong plastik di mobilnya. Setelah semua barang diturunkan, Bintang dan Ara pun duduk di ruang tamu, menikmati teh hangat dan pisang goreng yang dihidangkan Nenek Fatimah. Sementara Nenek Fatimah mengambil sesuatu di dapur, tersisa Bintang dan Ara di ruang tamu tersebut, sedangkan kakek dan nenek penghuni panti terlihat duduk-duduk di ruang tengah dengan bermacam aktivasnya

Nenek Fatimah mengenalkan keduanya kepada kakek dan nenek yang ada di ruangan bersama itu kemudian meninggalkan Bintang dan Ara ke dapur.
“Ayo Bintang kita berbaur bersama kakek dan nenek disini”. Suara Ara menyadarkan Bintang yang masih berdiri mematung dengan rasa kagoknya. Ara terlihat tersenyum manis kearahnya dan entah kenapa senyuman gadis itu mampu menghapus keraguan di hati Bintang. Bintang pun mengangguk pelan sambil balas tersenyum.
Ara mengajak Bintang ke tempat Nenek Hamidah yang sedang asyik dengan aktivitas merajutnya. Ara ingin Bintang bisa meluapkan kerinduannya kepada neneknya dan Nenek Hamidah adalah salah satu orang yang menurut Ara sesuai untuk bisa menghibur Bintang. Nenek Hamidah selain ramah dan suka mengobrol dengan orang lain juga jago bercerita dan hobby bernyanyi. Ada satu lagi sebenarnya nenek yang mirip dengan beliau, namanya Nenek Fatma. Namun, sejak mereka datang ke panti hari ini, Ara belum juga melihat sosok beliau.
“Assalaaamualaikum, Nenek Hamidah. Masih ingat nggak sama Ara, Nek?”
Nenek Hamidah terlihat menghentikan aktivitas merajutnya, menjawab salam dan memandangi Ara sambil mengingat-ingat gadis itu yang tadi sempat disebutkan namanya oleh Nenek Fatimah.
“Ara... Ara yang beberapa bulan lalu pernah main disini beberapa hari bukan?”
Ara tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya.
Nenek Hamidah langsung merentangkan kedua tangannya kepada Ara dan tanpa ragu Ara pun langsung memeluk beliau.
“Senang bisa melihat kamu disini lagi, Nak. Akhir-akhir ini jarang sekali panti ini kedatangan tamu”.
“Ara juga senang banget bisa melihat Nenek Hamidah sehat”.
Nenek Hamidah terlihat memeluk erat Ara sejenak kemudian mencium kedua pipi dan kening Ara. Ara mengingatkan beliau ke cucunya yang sudah lama tidak dilihatnya. Nenek Hamidah punya satu anak perempuan, anak dan cucu beliau dibawa menantunya tinggal di luar negeri dan jarang sekali pulang ke Indonesia. Beliau terakhir melihat cucu beliau dua tahun yang lalu. Nenek Hamidah tidak ingin meninggalkan Indonesia, itu sebabnya, beliau memilih tinggal di panti jompo tersebut.
Ara tersenyum manja ke Nenek Hamidah sementara Bintang terlihat khusyu’ memperhatikan keduanya. Bibir Bintang tersenyum. Bayangan neneknya yang memeluknya kembali hadir membuat rindu menyeruak di hatinya, ada semacam “iri” ingin mendapatkan pelukan yang sama.
Ara menoleh kearah Bintang sambil mengenalkan Bintang ke Nenek Hamidah dengan ceria ketika terdengar sebuah panggilan.
“Cu, ayo temanin Kakek main menyusun kata dari mainan yang cucu bawa hari ini...”. Bintang dan Ara pun menoleh keasal suara, terlihat seorang kakek duduk tak jauh dari tempat mereka melambaikan tangannya ke Bintang, mengajak Bintang menemani beliau bermain scrabble baru yang dibawa Ara dan Bintang.
“Ehmmm, siap, Kek...,” jawab Bintang.
Bintang menoleh kearah Ara, keduanya saling tersenyum.
“Nama kakek itu siapa ya, Ra? Aku lupa tadi waktu Nek Fatimah menyebutkan nama-nama kakek dan nenek disini”.
“Beliau Kakek Ali,” ujar Nenek Hamidah bantu menjawab. Bintang tersenyum menatap Nenek Hamidah sejenak kemudian meraih tangan beliau dan mencium punggung tangan nenek itu.
“Bintang kesana dulu, ya Nek...,” ujar Bintang dibalas anggukan kepala dari Nenek Hamidah.
Bintang kemudian menoleh ke Ara.
“Apa kamu mau disini menemani Nenek Hamidah, Bin? Biar aku yang menemani Kakek Ali bermain,” ujar Ara menawarkan diri untuk menggantikan Bintang. Ara merasa Bintang lebih memerlukan kehangatan seorang nenek untuk mengurangi kerinduannya kepada neneknya.  
“It’s okay, Ra. Kamu disini saja, biar aku yang menemani Kakek Ali. Laki-laki sama laki-laki, perempuan sama perempuan, he he”. Meski bibir Bintang tersenyum, ada ragu di suara Bintang karena ini suatu hal yang baru buatnya dan Ara seolah bisa merasakannya. Ara tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya. “Semangat, Bintang. Kamu pasti bisa melakukannya,” sambung Ara sambil mengepalkan tangannya dibalas dengan anggukan kepala Bintang yang juga tersenyum tak kalah lebar.
Untuk beberapa saat, mereka akhirnya larut dalam aktivitas masing-masing. Ara belajar merajut sekaligus menjahit bersama Nenek Hamidah sementara Bintang terlihat serius bermain scrabble bersama Kakek Ali.    
Ara terlihat asyik belajar membuat rajutan kecil untuk gantungan kunci dengan bimbingan Nenek Hamidah yang asyik merajut syal ketika kemudian Nenek Hamidah terlihat menghentikan aktivitasnya dan mengeluarkan selembar kain berbentuk sapu tangan polos warna biru muda dari keranjangnya.
“Nenek punya satu lembar sapu tangan polos, Ra... biar Nenek tulis dan jahitkan nama kamu di sapu tangan ini sebagai kenang-kenangan dari Nenek ya...”.
Ara tersenyum senang ketika Ara tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Nek..., Ara senang banget dapat kenang-kenangan dari Nenek, tapi... “.
“Tapi apa, Ra?”
“Boleh tidak kalau Ara minta Nenek menuliskan nama Bintang di sapu tangan itu?” pinta Ara pelan.
Nenek Hamidah tersenyum lebar ke Ara kemudian menoleh kearah Bintang duduk.
“Hmmm, Bintang... apa Bintang itu cowok Ara sampai Ara memperlakukan dia dengan istimewa seperti ini?” tanya Nenek Hamidah setengah menggoda Ara.
Ara tersipu sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali kemudian melirik kearah Bintang sejenak.
“Bukan Nek, Bintang itu teman Ara, salah satu alasan utama Ara dan Bintang mengunjungi panti hari ini karena Bintang sedang kangen sama neneknya. Dibandingkan Ara, sepertinya Bintang lebih memerlukan kenang-kenangan Nenek Hamidah dibandingkan Ara. Ara ingin membantu Bintang lebih banyak tersenyum, Nek dan Ara yakin kenang-kenangan dari Nenek Hamidah pasti bisa membuat Bintang merasa senang”.
Nenek Hamidah tersenyum memandangi Ara yang juga tersenyum lebar kemudian menganggukkan kepalanya tanda mengerti niat Ara.
“Memangnya cuma Bintang yang kangen neneknya? Ara nggak kangen sama nenek Ara?” tanya Nenek Hamidah lembut.
“Ara juga kangen pastinya sama nenek Ara, tapi dibanding Bintang, Ara jauh lebih beruntung. Nenek Ara masih hidup dan sehat, sementara nenek Bintang sudah meninggal saat Bintang masih kecil...”.
Nenek Hamidah kembali menoleh kearah Bintang, memandanginya sejenak lalu mulai mengukirkan dengan telaten kata “BINTANG” menggunakan tulisan latinnya yang indah dimata Ara. Kemudian Nenek Hamidah mulai menjahit di tulisan yang beliau ukir di atas sapu tangan itu sementara Ara terlihat tersenyum senang memperhatikan gerakan tangan Nenek Hamidah.
“Tulisan Nenek Hamidah cantik, Bintang pasti suka menerima sapu tangan spesial dari Nenek”.
Nenek Hamidah memandangi Ara dengan senyuman teduhnya.
“Cantik dan spesial itu relatif, Ra. Yang paling penting adalah ketulusan kita saat membuatnya. Itu sebabnya setiap kali Nenek membuatkan sesuatu untuk seseorang, Nenek berusaha tersenyum dan menjaga ketulusan di hati Nenek sambil menyelipkan doa dan harapan baik buatnya. Nenek berharap ketulusan dan doa itu akan sampai buat penerimanya”.
Ara menganggukkan kepalanya pelan sambil tersenyum bersama Nenek Hamidah. Jahitan di ukiran huruf itu baru sampai di huruf N ketika Nenek Hamidah menghentikan gerakan tangannya.
“Sekarang coba Ara yang lanjutin ya menjahit nama Bintang...,” ujar Nenek Hamidah sambil menyerahkan sapu tangan dan jarum jahit itu ke Ara.
Ara sedikit tertegun, “Tapi Nek, Bintang kan kangennya sama neneknya, dia pasti lebih senang kalau seandainya pemberian itu buatan Nenek dibandingkan buatan Ara...”.
Lagi-lagi Nenek Hamidah tersenyum. “Nenek tahu, Ra... Nenek sudah berusaha menuliskan nama BINTANG seindah mungkin dan juga menjahit di huruf B, I, dan N. Sekarang giliran Ara menyelesaikan huruf-huruf selanjutnya. Bukannya Ara juga ingin membantu membuat Bintang senang?”
Ara mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Kalau begitu Ara lanjutkan jahitan Nenek di sapu tangan buat Bintang itu biar Ara juga bisa mendoakan dan memberikan ketulusan buat Bintang”.
Ara pun meletakkan rajutan gantungan kunci buatannya dan mulai melanjutkan jahitan Nenek Hamidah di sapu tangan buat Bintang itu. Seperti nasihat Nenek Hamidah, Ara berusaha menjaga ketulusannya saat melakukannya sambil mengucapkan harapannya buat Bintang di dalam hati.
“Semoga kamu bisa lebih bahagia dalam kehidupan kamu dan tidak sedih lagi, Bintang”.
Ara sedang menikmati menyelesaikan menjahit nama BINTANG di sapu tangan sementara Nenek Hamidah melanjutkan rajutannya sambil sesekali tersenyum memandang kearah Ara ketika terdengar suara Kakek Ali.
“Sudah berapa kali putaran kita bermain menyusun huruf ini, tapi Kakek selalu kalah, Cu,” ujar Kakek Ali dengan raut sedikit sedih.
Terlihat Bintang hanya bisa tersenyum prihatin sambil berusaha menyemangati Kakek Ali yang ada di hadapannya itu.
Ara yang melihat kearah keduanya pun menghentikan aktivitasnya sejenak dan berjalan mendekati Bintang dan Kakek Ali.
“Kenapa Kek, kok wajah Kakek terlihat sedih begitu?” tanya Ara sambil tersenyum lembut.
“Iya Cu, Kakek dari tadi main tapi tidak pernah menang,” jawab Kakek Ali pelan.
“Boleh Ara pinjam Bintang sebentar, Kek? Ada yang mau Ara bicarakan,” sambung Ara dibalas anggukan kepala Kakek Ali.
Ara mengajak Bintang duduk di ruang tamu.
“Ada apa, Ra?”
Ara tersenyum, “Bintang... ingat, kita sekarang sedang di panti jompo bukan di kantor. Kamu ga perlu terlalu serius main scrabble-nya kali, Bin”.
Bintang meringis sambil menganggukkan kepalanya.
“Tujuan kita kesini menemani dan menghibur kakek nenek disini dengan harapan bisa mengobati kerinduan kamu ke nenek kamu. Jadi nggak ada salahnya sekali-kali membiarkan Kakek Ali menang di permainan itu, Bin. Apa kamu nggak kasihan melihat beliau beraut sedih begitu?”
Bintang menganggukkan kepala dengan wajah merasa bersalah. “Iya, Ra. Maaf aku terlalu bermain serius. Payah banget aku yaaa...”.
Ara menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum lebih lebar ingin tetap menyemangati Bintang dan tidak membuat laki-laki itu merasa kecil hati. “You did it well (Ind: Kamu melakukannya dengan baik), Bin... cuma terlalu serius aja. Mungkin karena ini pengalaman pertama kamu ke tempat seperti ini. Tapi aku percaya kamu bisa melakukannya,” ujar Ara dengan bersemangat.
“Aku akan berusaha lebih baik lagi, Ra. Makasih sudah diingatkan, Ra”. Keduanya pun tertawa dan bergegas kembali ke tempat mereka semula. Ara melanjutkan menjahitnya sambil sesekali terlihat mengamati kearah Bintang dan Kakek Ali. Beberapa kali wajah Kakek Ali terlihat puas dan senang karena akhirnya beliau berhasil memenangkan permainan. Begitu pun wajah Bintang yang terlihat bersemangat dan tersenyum lebih senang justru ketika dia mengalami kekalahan. Ara pun ikut senang melihatnya.
Waktu menunjukkan pukul 11.00 ketika Ara sudah menyelesaikan jahitan di sapu tangan buat Bintang itu dan kembali melanjutkan rajutan gantungan kuncinya. Sementara itu Bintang sudah berganti teman bermain. Kali ini Bintang terlihat serius bermain catur dengan Kakek Rahman.
Beberapa saat kemudian permainan catur putaran pertama pun berakhir dengan senyuman kemenangan di wajah Kakek Rahman ketika Nenek Fatimah memberitahukan sudah saatnya makan siang.
Para kakek dan nenek pun berkumpul memutari meja makan dengan beberapa perawat siap melayani mereka yang memerlukan bantuan. Nenek Fatimah sengaja mengumpulkan kakek nenek itu untuk makan bersama sekaligus menghargai kedatangan Bintang dan Ara yang sengaja menanggung pengeluaran untuk makan siang di panti saat itu. Nenek Fatimah terlihat sengaja memasakkan Bintang dan Ara menu spesial buatan tangannya sendiri. Selepas makan siang, sebagian kakek dan nenek kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat siang, sementara sebagian terlihat kembali ke ruang tengah melanjutkan aktivitasnya termasuk Kakek Rahman dan Nenek Hamidah. Ara membantu Nenek Fatimah membereskan meja makan dan Bintang pun mengikuti tiap tingkah laku Ara.
“Sudah, Ra... biar nanti Mbak yang membantu disini yang mencuci piring dan gelas bekas makan siang tadi. Ara dan Bintang sebaiknya sholat lalu kembali ke ruang tengah dan main lagi sama kakek nenek yang tidak tidur siang. Nenek juga bakal menyusul kesana,” ujar Nenek Fatimah sambil tersenyum dan menepuk pelan bahu Ara.
“Nggak apa-apa, Nek biar Ara dan Bintang membantu mencuci piring dan gelas. Lagipula nggak banyak juga, sebentar juga selesai. Selepas sholat di musholla sebelah, kami berdua bakal ke ruang tengah lagi,” jawab Ara tersenyum lebar diikuti anggukan setuju dari Bintang.
 Nenek Fatimah pun meninggalkan keduanya menyisakan Bintang dan Ara di dapur.
“Kalau kamu mau sholat, sholat aja Bin. Aku bisa melakukannya sendiri kok. Bukannya kamu ada janji dengan Kakek Rahman buat melanjutkan permainan catur kalian?” ujar Ara sambil tersenyum menatap kearah Bintang yang berdiri di sebelahnya.
Bintang balas tersenyum. “Nggak apa-apa, Ra. Kakek Rahman bilang mau mengaji dulu sehabis sholat katanya.  Aku ingin membantu kamu disini baru kita sholatnya bareng aja, sekalian berjamaah biar pahalanya gedhe he he”.
Ara menganggukkan kepalanya sambil membalas Bintang yang tertawa kecil kepadanya.
“Ya udah, aku bagian yang  nyabunin, kamu yang  membilas ya...”.
Ara dan Bintang bersemangat melakukan “tugas” kecilnya masing-masing, sesekali Ara tersenyum menoleh kearah Bintang yang terlihat serius membilas gelas dan piring yang sudah disabun Ara.
Ara mengoleskan busa yang ada sabunnya itu ke hidung Bintang sambil tertawa kecil dan seketika itu membuyarkan wajah serius Bintang.
“Araaaa..., busa itu kan kotor...,” teriak Bintang manyun, pura-pura marah. Ara malah tertawa cekikikan.
“Kan tugas kami membilas, Bin. Jadi hidung kamu tinggal dibilas aja, udah beres dan kembali bersih”.
Bintang pun ikut tertawa. “Emang kamu pikir hidung aku gelas kotor...”.
Keduanya pun pecah dalam tawa.
“Lagian kamu membilas piring aja serius banget, Bintang...,” sambung Ara membuat Bintang makin tertawa lepas dan Ara senang melihatnya.
“Kenaaaa...,” teriak Bintang balas mengoleskan sabun ke hidung Ara dengan tangannya sambil tersenyum puas.
“Bintanggg, sembarangan colek-colek. Hidung aku kan jadinya ikutan kotor,” ucap Ara tetap tersenyum.
Bintang segera meminta maaf, menyadari kelancangannya menyentuh hidung perempuan itu meski dia tidak menyesal tentang sabunnya.
“Kan tinggal dibilas, Ra. Sini biar aku bilas, kan itu tugas aku he he,” sambung Bintang menggoda Ara dibalas Ara tertawa kecil sambil menjulurkan lidahnya, “Kamu aneh, Bin. Mana ada laki-laki cakep seperti kamu modusin perempuan biasa seperti aku”. Lagi-lagi tawa pecah diantara keduanya.
Tak lama, semua cucian pun akhirnya selesai disabun. Sambil menunggu Bintang selesai membilas, Ara meremas-remas busa yang penuh dengan sabun itu kemudian membuat gelembung dari sabun dan meniupkannya kearah Bintang sambil tersenyum riang ke laki-laki di sebelahnya. Bintang terlihat senang dengan perbuatan Ara itu, kembali mengingatkan Bintang apa yang suka dilakukannya saat mandi waktu dirinya masih kecil, membuat gelembung sabun.
Segera setelah semua selesai dibilas, Bintang merebut busa dari tangan Ara dan melakukan hal yang sama dengan yang Ara lakukan. Akhirnya Bintang dan Ara pun bermain gelembung sabun. Ada kalanya mereka saling berlomba membuat gelembung yang paling besar. Tawa dan senyum lepas pun menghiasi wajah mereka beberapa saat.
“Ternyata tidak susah membuat kamu tersenyum lepas Bintang. Bahkan cukup dengan gelembung sabun pun kamu bisa tertawa,” batin Ara.
Bintang menatap Ara sejenak masih dengan senyum lebarnya, “Makasih banyak ya, Ra untuk semua yang sudah kamu lakukan”. Ara menganggukkan kepalanya pelan, tersenyum tak kalah lebar.  “Sama-sama, Bintang”.
Selepas Ara mengeringkan tempat cucian piring, keduanya pun bergegas menuju musholla dan sholat berjamaah. Hanya ada mereka berdua di musholla itu.
Ara sedang melipat kembali mukena yang dipakainya ketika Bintang terlihat tersenyum memperhatikan sekaligus menunggunya.
“Sudah lama aku tidak pernah menjadi imam saat sholat, Ra. Terima kasih ya sudah mau menjadi makmum aku hari ini”.
Ara membalas senyum Bintang, tak ingin kalah tulus dari laki-laki itu.
“Masih ada satu waktu sholat lagi Bin buat kita mengulanginya, sholat berjamaah lagi”. Keduanya pun sama-sama menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebih lebar.
Beberapa menit kemudian, Ara kembali bergabung dengan Nenek Hamidah melanjutkan belajar merajut sekaligus berbincang dengan beliau sementara Bintang pun kembali serius bermain catur dengan Kakek Rahman.
Sampai tiga kali permainan catur, Kakek Rahman terlihat tersenyum puas karena selalu menang dari Bintang. Bintang terlihat tersenyum dengan raut sedikit sedih. Ia tidak puas dengan dirinya sendiri yang tidak bisa menang di permainan itu satu kali pun.
“Jangan sedih, Bintang. Dengan banyak belajar dan latihan, Bintang pasti bisa menang lain kali,” ucap Kakek Rahman berusaha menghibur Bintang dengan menepuk-nepuk bahunya.
Ara pun tersenyum menatap keduanya kemudian mendekat kearah Bintang. “Kakek Rahman ini memang jago banget main catur, Bin. Beliau itu waktu mudanya sering juara main catur di kampungnya tiap kali lomba 17 agustusan, ya Kek...,” ujar Ara tersenyum ke Kakek Rahman kemudian menoleh ke Bintang dan tersenyum kepadanya. Bintang balas tersenyum mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Berarti Bintang beruntung ya Kek bisa belajar dari Kakek Rahman selama permainan ini. Bintang akan belajar lagi biar bisa lebih jago main caturnya,” ujar Bintang dengan semangat. Ketiganya pun tersenyum, Kakek Rahman terlihat menepuk-nepuk bahu Bintang dan kemudian menoleh bergantian kearah Ara dan Bintang. “Bukan hanya belajar lagi tentang bermain catur biar lebih jago, Cu,... tapi juga terus belajar menjadi lebih baik dalam kehidupan ini”.
“Iya, Kek. Makasih sudah mengingatkan Ara dan Bintang yang masih muda dan suka labil ini,” jawab Ara sambil tersenyum lembut kearah Kakek Rahman diikuti anggukan kepala Bintang yang tersenyum kepada Ara.

Waktu di jam dinding panti jompo menunjukkan pukul 15.30 ketika Ara dan Bintang baru selesai sholat berjamaah dan kembali ke ruang tengah. Di ruang tengah tersisa Nenek Fatimah dan suara mesin jahitnya, sementara kakek dan nenek yang lain beristirahat di kamarnya masing-masing.
Ara mengajak Bintang mengambil kursi dan duduk di hadapan Nenek Fatimah.
“Oh ya Nek, Ara baru ingat, kok Ara tidak melihat Nenek Fatma ya seharian ini? Biasanya beliau selalu suka menyanyi dan mengajarkan lagu-lagu perjuangan ke Ara dulu”.
Nenek Fatimah menghentikan aktivitas menjahitnya kemudian tersenyum, “Nenek Fatma sudah meninggal, Sayang. Beliau meninggal dalam tidurnya sebulan lalu”.
Ara terdiam, ia merasa kehilangan mendengarnya. Ara teringat bagaimana Nenek Fatma yang selalu terlihat ceria dan bersemangat di usianya yang sudah senja beberapa bulan sebelumnya. Saat itu beberapa kali Nenek Fatma menghadirkan keriangan dengan mengajak penghuni panti jompo yang lain bernyanyi bersama.
“Sejak beliau meninggal, panti ini terasa lebih sepi. Ara jangan lupa mendoakan Nenek Fatma ya, Nak”.
Ara tersenyum dan mengangguk, ada beberapa butir air mata menetes di pipi Ara. Nenek Fatimah menghampiri Ara dan memeluknya sambil  mengusap rambutnya.  Ara balas memeluk erat Nenek Fatimah. Tiba-tiba ia teringat Bintang. Sebelumnya, Ara berharap Bintang bisa bertemu dengan Nenek Fatma karena Ara yakin keceriaan Nenek Fatma bisa melepaskan rindu yang tertahan di hati Bintang buat Neneknya. Ara menoleh ke laki-laki yang duduk disebelahnya itu, Bintang terlihat sedang tersenyum berempati kepadanya. Ada perasaan sedih yang menyusup di hati Bintang di saat yang sama, mengingatkan Bintang akan rasa kehilangan Bintang tentang neneknya.
Ara pun tersenyum lebih lebar. “Seperti yang Nenek Fatimah bilang barusan, meski Nenek Fatma sudah meninggal, tapi kita bisa tetap mendoakannya. Beliau akan selalu hidup di hati. Begitupun Nenek kamu Bintang, selama kamu mendoakan Nenek kamu, Nenek kamu akan selalu dekat dan hidup di hati kamu, Bin,” ujar Ara seolah membaca kesedihan yang terlihat di mata Bintang.
Bintang mengangguk pelan berusaha tetap tersenyum.
“Ara benar, Nak. Meski Nenek Bintang sudah meninggal lama, tapi Bintang bisa terus mendoakan beliau. Itu salah satu tanda sayang Bintang buat Nenek,” sambung Nenek Fatimah. Bintang lagi-lagi mengangguk pelan. Nenek Fatimah ganti menghampiri Bintang dan memberikan pelukan ke laki-laki yang duduk di sebelah Ara dan mengusap-usap rambut Bintang, membuat rindu di hati Bintang makin terasa. Dulu, neneknya sering melakukan hal yang sama. “Selama Bintang berusaha menjadi orang baik, Nenek Fatimah yakin Nenek Bintang pasti tersenyum bangga kepada Bintang”. 
“Iya, Nek...”. Bintang makin menenggelamkan kepalanya dalam pelukan Nenek Fatimah yang berdiri di sebelahnya. Mata Bintang berkaca-kaca tapi dia berusaha menahannya untuk tidak keluar.
Ara melihatnya, ia tahu Bintang berusaha sekuat mungkin meredam perasaan rindunya itu di dalam hati. “Kalau kamu ingin menangis, nggak ada salahnya sekali-kali menangis, Bin...,” batin Ara.

Waktu menunjukkan pukul 15.45, Bintang dan Ara pun bersiap-siap pulang.
“Oh iya, Ra. Tadi Nenek Hamidah bilang kalau beliau menunggu kamu dan Bintang di kamarnya sebelum kalian pulang,” ucap Nenek Fatimah.
Ara pun mengajak Bintang masuk ke kamar Nenek Hamidah.
“Sini masuk, Nak...,” ucap Nenek Hamidah yang terlihat sedang merajut di tempat tidurnya.
Keduanya masuk, Ara duduk dipinggir ranjang sementara Bintang duduk di kursi menghadap Nenek Hamidah.
“Terima kasih sudah datang kemari hari ini, Nak. Nenek ada kenang-kenangan buat kalian”. Bintang dan Ara pun terlihat tersenyum penasaran sekaligus bersemangat. Nenek Hamidah mengeluarkan sebuah bros rajutan berbentuk kucing bertuliskan ARA.
“Waaaah, ini bagus banget, Nek. Ara suka banget,  terima kasih banyak ya Nek”. Ara pun langsung memasangkan bros rajutan itu di bajunya sambil tersenyum ceria membuat Nenek Hamidah juga Bintang ikut merasa bahagia. Nenek Hamidah pun memeluk Ara dan mencium kening gadis itu. “Terima kasih karena Ara sudah mengobati kerinduan Nenek ke cucu nenek yang tinggal jauh dari sini,” ucap Nenek Hamidah lembut kemudian mencium kedua pipi Ara.
“Sama-sama, Nek. Ara juga seneng banget bisa menemani dan dipeluk Nenek hari ini”.
Bintang tersenyum mengamati keduanya. Ia pun ingin mendapatkan pelukan hangat dari Nenek Hamidah seperti saat neneknya memeluk dirinya waktu kecil dulu.
“Nah sekarang giliran kenang-kenangan buat Bintang”. Suara Nenek Hamidah membuat Bintang tersenyum lebih lebar. Nenek Hamidah menyerahkan sebuah sapu tangan bertuliskan BINTANG.
“Tulisannya bagus banget, Nek. Terima kasih,” ujar Bintang  dengan wajah ceria menerima sapu tangan itu.
“Yang menulis tulisan itu memang Nenek, tapi yang menjahitnya Nenek dan Ara,” sambung Nenek Hamidah membuat Bintang langsung menoleh ke Ara dan tersenyum padanya.
“Meski sapu tangan ini sederhana, tapi ada selipan doa dari Nenek Hamidah juga Ara saat kita membuat ini. Semoga Bintang lebih banyak tersenyum dan bahagia di kehidupan kamu ya, Nak”.
Bintang mengamini doa untuknya itu lalu mengucapkan terima kasih bergantian kepada Nenek Hamidah dan juga Ara. Gadis itu terlihat tersenyum tulus kepadanya.
“Oh iya, Ara harus menemui Nenek Fatimah. Aku keluar dulu sebentar, ya Bin...”.
Ara bergegas keluar kamar menyisakan Bintang bersama Nenek Hamidah.
“Boleh Nenek memeluk Bintang?” tanya Nenek Hamidah sambil tersenyum teduh.
Bintang mengangguk dan segera menenggelamkan dirinya kedalam pelukan Nenek Hamidah seperti dulu saat neneknya memeluk dirinya.
Nenek Hamidah mengusap lembut rambut Bintang membuat Bintang kembali ke masa kecilnya. Ia merasa dipeluk oleh neneknya.
“Boleh Nenek menyanyikan satu lagu buat Bintang?” tanya Nenek Hamidah lagi.
“Boleh, Nek...”.
Nenek Hamidah pun menyanyikan lagu Bintang Kecil buat Bintang sambil mengusap-usap rambut Bintang, membuat air mata Bintang makin berdesakan ingin keluar. Ia merasakan rindu yang sangat dalam akan neneknya dan bayangan dirinya bersama neneknya pun hadir di pikirannya.
Meskipun demikian, tak ada air mata Bintang yang keluar, mata Bintang berkaca-kaca tapi Bintang berusaha menahannya sekuat tenaga agar tidak menangis.
Ara melihat semua itu, ia sengaja mengintip dari pintu kamar Nenek Hamidah. Sebelumnya Ara sengaja meminta Nenek Hamidah untuk melakukan hal itu agar Bintang bisa melepaskan kerinduannya. Ara menceritakan dengan rinci tentang kerinduan Bintang akan neneknya kepada Nenek Hamidah. Namun Bintang tetap berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis dan itu justru membuat Bintang terlihat lebih “tersiksa”.   
“Aku tahu kamu ingin menangis, Bin. Menangislah Bintang biar kamu merasa lebih lega,” batin Ara dengan mata berkaca-kaca memandangi Bintang dari kejauhan. Ara ikut merasa sedih melihat Bintang yang tetap menahan rasa rindu ke neneknya itu.
Lagu Bintang Kecil dari Nenek Hamidah pun berakhir, Nenek Hamidah mengecup ubun-ubun Bintang dengan penuh kasih sayang. “Tetap jadi manusia yang baik, Bintang,” ucap beliau dibalas anggukan pelan dari Bintang yang kehilangan kata-kata dengan apa yang dilakukan Nenek Hamidah saat itu. Untuk beberapa saat, Nenek Hamidah membiarkan saja Bintang yang masih betah dalam pelukannya, beliau seolah bisa merasakan rindu yang Bintang rasakan kepada neneknya sebagaimana rindu yang beliau rasakan kepada cucunya.
“Terima kasih banyak, Nek,” ucap Bintang akhirnya kembali duduk ke tempatnya semula setelah dia sudah bisa menata perasaannya lebih baik.
“Apa Nenek bisa sedikit mengobati kangen Bintang ke nenek Bintang?” tanya Nenek Hamidah sambil tersenyum lembut ke Bintang.
Bintang balas tersenyum sambil mengangguk.
Ara pun memutuskan kembali masuk ke kamar Nenek Hamidah dengan memasang wajah ceria seperti semula untuk berpamitan.
“Nek..., Bintang dan Ara pamit pulang dulu ya,” sambung Bintang sambil menyalami Nenek Hamidah dan mencium punggung tangannya. Nenek Hamidah pun balas mengecup kening Bintang. Ara pun melakukan hal yang sama, mencium punggung tangan Nenek Hamidah dibalas kecupan di kedua pipi dan kening dari Nenek Hamidah. Tak lupa, Ara membisikkan terima kasih untuk semua yang Nenek Hamidah lakukan buat Bintang. Setelah berpamitan dengan Nenek Fatimah, keduanya pun pulang.

Waktu menunjukkan pukul 16.30 saat Bintang dan Ara sudah berada di mobil Bintang dalam perjalanan menuju tempat kos Ara.
“Terima kasih buat hari ini, ya Ra...”.
Ara menoleh kearah Bintang sambil tersenyum, “Sama-sama, Bin. Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa kamu menyesal datang ke panti jompo tadi?”
Bintang menggelengkan kepalanya. “Aku sama sekali tidak menyesal dan aku merasakan beruntung bisa main dan berjumpa dengan kakek dan nenek disana. Ada kebahagiaan tersendiri di dalam hati aku saat ini setelah apa yang kita lakukan disana seperti yang pernah kamu bilang, Ra”.
Ara dan Bintang saling melempar senyuman lebarnya.
“Apa kerinduan kamu ke nenek kamu terobati, Bin?”
Bintang menatap Ara sejenak lalu menganggukkan kepalanya.
“Saat Nenek Hamidah dan Nenek Fatimah memeluk aku tadi, aku merasa seperti dipeluk nenek aku, Ra. Pelukan itu terasa sangat hangat dan tulus mirip seperti pelukan nenek aku meskipun pastinya tidak persis sama”.
Ara tersenyum memandangi Bintang yang sedang fokus mengemudi di sebelahnya. Ada senyuman di bibir Bintang saat itu.
“Aku yakin nenek kamu pasti bangga ke kamu, Bin. Kamu sudah berusaha menjadi yang terbaik buat nenek kamu,” ujar Ara ceria ketika mobil Bintang berhenti di perempatan karena lampu merah.
Bintang menoleh ke gadis disebelahnya itu, lagi-lagi ia tersenyum kepada Ara. Ara bisa merasakan ada yang tertahan di hati Bintang saat itu, sebuah bagian rindu dan rasa bersalah kepada neneknya yang tidak bisa ia lepaskan.
Setelahnya tak banyak obrolan diantara keduanya hingga akhirnya mereka tiba di depan tempat kos Ara. 
“Oh iya, tadi kan aku belajar merajut ke Nenek Hamidah dan aku punya sesuatu buat kamu, Bin, “ ujar Ara sambil mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya dan menyerahkan ke Bintang. Sebuah gantungan kunci. Bintang tersenyum lebar mengucapkan terima kasih lalu mencermati gantungan kunci itu. Ada bentuk senyum, hati, dan bintang tersusun dari atas ke bawah diantara rajutan penghubungnya. Ara sengaja membelinya beberapa hari sebelumnya di toko pernak pernik rajutan kemudian merajut ketiganya menjadi bentuk gantungan kunci.
“Semoga kamu bisa lebih banyak tersenyum dari hati, Bintang...,” ucap Ara menjelaskan pesan dibalik gantungan kunci itu dengan riang.
Bintang tertawa kecil, tersentuh dengan apa yang dilakukan Ara buatnya. Gadis ini baru dikenalnya, tapi dia hadir dengan ketulusannya ingin membantu Bintang untuk bisa lebih banyak tersenyum lagi dengan segala rasa lelah, sunyi, kosong, dan sedih yang sering menghampiri hatinya akhir-akhir ini.
“Kamu sudah ikut merajut nama aku di sapu tangan dari Nenek Hamidah sekarang kamu membuatkan gantungan kunci buat menyemangati aku sementara aku tidak membuatkan kamu apa-apa, Ra. Bahkan kamu tidak mengizinkan aku buat sekedar menraktir kamu,” ucap Bintang merasa tidak enak hati.
“Nggak usah dipikirkan, Bin. Kebetulan aja aku yang belajar merajut ke Nenek Hamidah tadi karena kamu harus menemani Kakek Ali dan Kakek Rahman main scrabble dan catur. Mungkin kalau posisi kita dibalik, kamu akan melakukan hal yang sama buat aku, he he,” sambung Ara sambil tersenyum.
Bintang memandangi Ara sejenak lalu kembali tersenyum. Gadis dihadapannya ini hadir kedalam kehidupan Bintang dengan uniknya tanpa pernah ia sangka, berawal dari bertemu di dalam mimpi kemudian menjelma dalam kehidupan nyata dan Ara menawarkan “genggaman” hangat menemani Bintang.
“Ya udah, terima kasih sekali lagi buat semuanya, Bintang. Hati-hati di jalan ya,” ujar Ara dengan wajah riang membuka pintu mobil hendak turun.
“Sama-sama, Ra. Oh iya, apa kita bisa bertemu lagi?”
Ara terdiam sejenak menatap Bintang kemudian tersenyum. “Hmmm kita lihat saja nanti,” ujar Ara dengan wajah polosnya sambil tertawa kecil membuat Bintang pun ikut tertawa sambil menganggukkan kepalanya.
“By the way baru ingat, kotak makan kamu kan masih ada di aku, Ra dan aku harus mengembalikannya ke kamu. Itu artinya... kita bisa bertemu lagi sepertinya, Ra” sambung Bintang dengan senyum lebarnya dibalas Ara dengan senyuman tak kalah lebar sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Ara pun turun dari mobil Bintang.
 “Bintang...,” panggil Ara tiba-tiba saat dia akan menutup pintu mobil Bintang.
“Ya...”.
“Kamu harus memaafkan diri kamu tentang kecelakaan yang dialami nenek kamu, Bin. Itu bukan salah kamu, Bintang. Kamu harus bisa melepaskan rasa bersalah itu dan juga kerinduan kamu yang tertahan buat nenek kamu agar hati kamu bisa lebih terasa lega, Bintang”.
Bintang terdiam mendengarnya, gadis itu lagi-lagi bisa meraba apa yang dirasakannya. Ia menatap Ara sejenak kemudian menundukkan kepalanya sebelum akhirnya kembali menatap Ara. Bintang tersenyum, “Mungkin aku masih perlu waktu, Ra....”.
Ara balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “Aku yakin kamu pasti bisa”.
Bintang mengangguk, “Iya..., terima kasih banyak ya, Ra...”. Setelah saling bertukar senyum lebar dan salam, Ara pun bergegas masuk ke tempat kosnya.
Bintang mengambil sesuatu dari tas ranselnya, kotak makan milik Ara. Bintang sengaja tidak jadi mengembalikannya hari itu karena dia berharap masih bisa bertemu lagi dengan Ara.

-Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar