Selasa, 19 April 2016

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 3

Sebelumnya : Part 1 dan 2 

PART 3 BERUBAH?

Hampir sebulan setelah kejadian Nisa pingsan, Riza dan Nisa tidak pernah bertemu lagi. Hanya saja, tiap hari, Riza rutin meminta dengan setia kepada Nisa untuk mau menjadi teman hidupnya, dengan kalimat luar biasanya "Maukah Menikah Denganku?",  minimal tiga kali sehari. Selain itu, beberapa kali Riza juga menanyakan kesehatan mata Nisa, memastikan Nisa baik-baik saja.
Pagi itu, Nisa baru saja selesai berpakaian dan berdandan minimalis, saat ada pesan masuk di handphone-nya. "Pagi Nisa. Maukah Kamu Menikah Denganku?" tulis Riza disana. Nisa tersenyum haru seperti biasa tiap kali membacanya, sekaligus sedih karena ia tidak bisa menjawab iya. Nisa membuka satu halaman di diarynya yang ia beri nama 'Kalimat Ajaib dari Laki-laki Luar Biasa' dan menuliskan disana 'Proposal ke-102, tanggal 23 Mei 2015, jam 7:12 - Komen : I'm always happy, reading Riza's magical sentence. It's touching my heart so much (Ind: Aku selalu bahagia membaca kalimat ajaib Riza. Itu sangat menyentuh hatiku). Tidak bisa menjawab iya kepada kamu adalah rasa sedih dan sesal yang harus dipilih, Riz. Semoga kita ditunjukkan yang terbaik ya :)'. Nisa pun menutup dan menyimpan diarynya kembali dan bergegas berangkat ke kampus. Ada kuliah jam 9.00 di jadwal Nisa. Baru saja Nisa mengunci pintu kamarnya ketika Ana, teman sekelas Riza yang satu kos dengan Nisa terlihat juga akan berangkat ke kampus. "Ada kuliah pagi, Nis?" sapa Ana dibalas anggukan Nisa dengan senyum riangnya seperti biasa. "Ada kuliah jam 9. Kamu sendiri, Na?" ujar Nisa balik bertanya. "Ada kuliah jam 11 sih, tapi mau ke perpus, he he," jawab Ana sambil nyengir. Nisa pun berangkat ke kampus bareng Ana, apalagi fakultas mereka memang berdampingan.
"Oh ya, Nis, kamu deket sama Riza kan?" tanya Ana.
"Hmmm lumayan sih, Na. Emang kenapa?" ujar Nisa sambil tersenyum.
"Kamu ngerasa ada yang berubah ga dari Riza, Nis beberapa minggu ini? Dia lagi ada masalah ya?"
Nisa menoleh ke Ana. "Berubah?" Nisa terdiam sejenak. "Meski kami cukup dekat, tapi jujur aku hampir sebulanan ini tidak pernah bertemu, Riza he he. Kami jarang ketemuan apalagi akhir-akhir ini. Emang Riza berubah seperti apa, Na?" lanjut Nisa bertanya penasaran.
"Riza sekarang berubah jadi cowok yang super dingin ke cewek. Emang sih dia cowok yang cool dari dulu dan itu yang bikin banyak cewek klepek-klepek, tapi Riza yang sekarang benar-benar beku alias dingin, Nis. Udah gitu, Riza beberapa kali terlambat masuk kelas dan kelihatan ngantuk di kelas, padahal biasanya ga segitunya. Denger-denger dari gosip yang beredar, dia kerja katanya".
Nisa memandangi Ana, sedikit tertegun mendengarnya. Belum satu bulan mereka tidak pernah bertemu lagi, tapi sudah banyak yang terjadi pada Riza. Padahal tiap hari dia menerima pesan whatsapp dari Riza, seolah tidak ada yang berubah dengan laki-laki luar biasanya itu.
"Bukannya Riza itu anak tunggal dari keluarga yang cukup mampu ya, Nis?" tanya Ana dijawab anggukan kepala dari Nisa, '"terus ngapain dia pontang panting kerja ya, Nis? Apa Riza sedang ada masalah?"
Nisa menggelengkan kepalanya. "Jujur aku ga tau, Na. Riza ga cerita apa-apa. Waktu terakhir aku ketemu Riza hampir sebulan yang lalu, dia belum kerja dan biasa aja kelihatannya, Na".
Percakapan mereka pun menggantung ketika ada teman sekelas Nisa yang bergabung jalan bersama Nisa dan Ana, mereka pun beralih obrolan ke topik yang lain. Beberapa saat kemudian, tak terasa mereka sudah sampai di fakultas Nisa yang letaknya sebelum fakultas Ana dan juga Riza. Sebelum berpisah, Nisa sejenak menahan langkah Ana.
"Na, hari ini kalian kuliah sampai jam berapa?" tanya Nisa sambil tersenyum.
"Kami ada kuliah sampai jam 4 hari ini, Nis. Kenapa?"
"Aku mau menemui Riza, Na. Kami perlu bicara sepertinya tentang semua yang kamu ceritakan tadi, Na".
Ana mengangguk mengerti, setelah Nisa mengucapkan terima kasih ke Ana dan mereka saling berbalas salam, Nisa dan Ana bergegas ke fakultas masing-masing.
Nisa berjalan menyusuri jalan menuju kelasnya ketika ia justru kepikiran tentang laki-laki luar biasanya itu. "Ada apa dengan kamu, Riz? Apa kamu sedang ada masalah keluarga? Apa kamu bekerja setelah obrolan kita tentang menikah di rumah sakit waktu itu? Apa benar kamu berubah, Riza?" tanya Nisa di dalam hatinya ketika terdengar handphone-nya bergetar.
1 pesan dari Riza
"Hai My BFF and ever :).  'Maukah Kamu Menikah Denganku?'"
Sejenak Nisa hanya tersenyum haru memandangi pesan itu, ia tidak mengetikkan satu huruf pun sebagai balasannya. Namun, jika Ana bilang Riza berubah menjadi laki-laki yang dingin, entah kenapa Nisa justru merasa kata-kata Riza sangat menghangatkan hatinya, terlebih sejak hari itu saat Riza tiba-tiba menyatakan perasaannya dan kemudian melamarnya.

Waktu menunjukkan pukul 15.30 di arloji Nisa saat Nisa berjalan menuju kelas Riza dari perpus fakultas Nisa. Sebenarnya, kuliah Nisa sudah selesai sampai jam 11.30 hari itu, tapi Nisa sengaja menunggu jam 4 sore di perpus sambil belajar materi buat Ujian Akhir Semesternya.
Nisa sudah sampai di depan kelas Riza, setelah Nisa bertanya lebih jelas ke Ana via whatsapp, dan ia pun duduk di depan kelas Riza. Beberapa menit kemudian, terlihat dosen yang mengajar Riza keluar dari kelas diikuti mahasiswanya. Nisa berdiri mengamati tiap mahasiswa yang keluar ketika kemudian ia melihat Riza yang keluar dengan terburu-buru melintas di depan Nisa tanpa menyadari kehadiran Nisa.
"Riza," panggil Nisa membuat Riza menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara yang sangat dikenali telinganya.
"Nisa..., kok kamu ada disini?" tanya Riza heran.
Nisa masih tetap tersenyum, "Boleh kita bicara sebentar, Riz?"
Riza terdiam sejenak menatap Nisa. Nisa bisa melihat rasa lelah di wajah laki-laki itu.
"Maaf, Nis tapi aku buru-buru. Kita bicara lain kali ya," jawab Riza hendak membalikkan badannya ketika ia kemudian kembali menoleh ke Nisa. "Apa kamu ingin bicara terkait dengan sakit glaukoma kamu, Nis? Apa mata kamu masih sering sakit? tanya Riza, terselip rasa khawatir di suaranya.
Nisa buru-buru melebarkan senyumannya sambil menggelengkan kepalanya. "Mata aku baik-baik aja, Riz," ujar Nisa dengan nada riang, seolah ingin menenangkan Riza.
Riza menganggukkan kepalanya, ada rasa lega disana. "Ya udah, aku pergi dulu, Nis".
"Riza...,  aku ingin bicara sama kamu sebentar, please..," pinta Nisa.
Mereka pun akhirnya duduk di salah satu bangku yang ada disana.
"Kamu mau bicara tentang apa, Nis?" tanya Riza datar.
Nisa menoleh sejenak kearah Riza yang terlihat memandang lurus ke depan, entah apa yang dilihatnya. "Aku dengar sekarang kamu kerja ya, Riz?"
Riza melihat kearah Nisa, sejenak menatapnya dalam diam, kemudian menganggukkan kepalanya.
"Apa gara-gara itu akhir-akhir ini kamu beberapa kali terlambat masuk dan mengantuk di dalam kelas?" tanya Nisa lagi dengan hati-hati. Riza menatap tajam Nisa, masih tetap diam dan lagi-lagi hanya menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu lagi ada masalah sampai-sampai kamu pontang panting kerja seperti ini?" sambung Nisa dijawab gelengan kepala dari Riza.
"Terus kenapa kamu memaksa diri kamu dengan keras seperti ini? Buat apa, Riz?"
Riza masih memilih diam sementara Nisa terlihat memerhatikan laki-laki itu.
"Apa kamu masih ingat, kamu pernah bilang ingin membuat oang tua kamu bangga dan tersenyum saat wisuda nanti ketika kamu dipanggil dengan gelar cumlaude kamu? Kamu bilang itu salah satu bentuk tanggung jawab kamu buat mereka sebelum kamu melakukan pembuktian sebenarnya, menerapkan ilmu kamu di dunia kerja dengan baik," ujar Nisa panjang lebar, berhasil membuat Riza menoleh kepada Nisa dan mereka saling berpandangan. Riza tiba-tiba ingat momen lama itu, ketika dirinya dan Nisa bercanda suatu ketika dan  mereka saling berjanji akan mempertanggungjawabkan kuliah mereka ke orang tua masing-masing dengan baik. Saat itu, keduanya sempat berdiskusi bahwa gelar cumlaude bukan penentu kesuksesan orang dan keduanya pun setuju, sampai kemudian satu kalimat Nisa membuat mereka bertekad untuk cumlaude. "Aku cuma ingin memberikan bonus kecil senyuman dan bahagia buat orang tua aku dengan gelar cumlaude itu, Riz. Ga ada salahnya kan berusaha meraihnya...,anggap aja sebagai bonus dari bentuk tanggung jawab kita ke orang tua kita," ucap Nisa dengan senyumnya yang optimis.
"Riza...," panggil Nisa menyadarkan Riza dari flashback-nya.
"Aku masih ingat dan akan berusaha buat tetap menyelesaikan tanggung jawab aku dengan baik, Nis," ujar Riza pelan. Mereka kembali berpandangan sejenak.
"Kita masih sahabat kan, Riz? Jadi kamu bisa cerita ke aku tentang apa saja, Riz. Siapa tahu ada yang bisa aku bantu, Riza".
"Aku baik-baik saja, Nis. Aku hanya ingin belajar lebih mandiri. Bekerja adalah pilihan yang aku ambil dan aku sadar resikonya. Tapi aku punya mimpi dan untuk mewujudkannya aku perlu bekerja, sambung Riza.
Mimpi? Mimpi apa sampai kamu harus berjuang seperti ini, Riz? tanya Nisa membuat Riza terdiam sejenak menatap gadis di sebelahnya itu.
 Suatu saat kamu akan tahu mimpi aku, tapi sekarang aku belum bisa membaginya dengan kamu, Nis. Seperti halnya kamu yang belum bisa memperlihatkan sketsa yang jadi mimpi kamu, lanjut Riza kemudian beranjak berdiri dari duduknya. Ya udah, lebih baik kamu pulang, Nisa. Aku harus pergi sekarang, pamit Riza meninggalkan Nisa setelah mengucapkan salam padanya. Nisa yang masih duduk di tempatnya memandangi Riza hingga bayangan Riza hilang dari pandangannya. Riza yang baru bicara dengan Nisa memang terkesan dingin, baik sikap maupun kata-katanya, membuat Nisa bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Riza. "Kenapa kamu memilih diam seribu bahasa, Riz? Apa benar kamu berubah?" batin Nisa ragu. Nisa kembali membuka percakapannya dengan Riza di whatsapp, membaca ulang kalimat-kalimat ajaib Riza untuknya ketika terdengar suara Ana memanggilnya.
"Nisa, Rizaaa... Rizaaa...," ujar Ana dengan ekspresi panik menghampirinya.
"Riza kenapa?" jawab Nisa balik bertanya ikutan panik.
"Riza jatuh dari sepeda motornya, Nis. Pas dia baru keluar dari parkiran ada sepeda motor yang tiba-tiba memotong jalan di belokan. Riza berusaha menghindari tabrakan dengan motor itu, jadinya dia jatuh dari sepeda motornya," jelas Ana, "tapi Riza gapapa, cuma luka di kakinya karena sempat terseret dan dia lagi dikerumunin beberapa teman di pinggir jalan mau keluar fakultas".
Nisa merasa sedikit lega mendengar kalimat terakhir Ana itu, meski hatinya tetap diselimuti rasa khawatir dan penasaran dengan kondisi Riza. Tanpa membuang waktu, Nisa pun bergegas menghampiri Riza.
Terlihat Riza masih terduduk di pinggir jalan dengan sepeda motornya ada di depannya ditemani dua orang laki-laki, sepertinya teman sekelas Riza.
"Riza apa kamu baik-baik saja?" tanya Nisa dengan nada khawatir sambil mengamati Riza. Riza langsung menoleh dan bergegas berdiri menghadap Nisa. Nisa langsung fokus melihati bagian bawah celana Riza yang sobek dan terlihat ada luka berdarah disana.
"Kaki kamu luka dan harus segera diobati, Riz. Aku temani kamu ke dokter ya?" sambung Nisa.
Riza menatap wajah Nisa yang terlihat khawatir itu kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik saja kok, Nis, cuma luka kecil aja, " jawab Riza. Nisa tersenyum, "Ya udah, kalau begitu aku obati luka kamu, ya...". Lagi-lagi Riza menggelengkan kepalanya, "Ga perlu, Nis. Aku harus berangkat kerja sekarang, biar lukanya aku obatin di tempat kerja aja nanti".
Mereka saling berpandangan sejenak.
"Tapi Riz, ... luka kaki kamu itu harus segera dibersihkan dan diobati. Biar aku obati luka kamu ya," ujar Nisa lagi. Pandangan Nisa lagi-lagi fokus ke luka di kaki Riza sementara Riza hanya diam memandangi Nisa.
"Kamu ga perlu khawatir, Nis. Aku gapapa. Aku janji bakal obatin luka aku nanti sesampai di tempat kerja. Percaya sama aku," ujar Riza tegas membuat Nisa menatap Riza. Sejenak Nisa terdiam, tiba-tiba ia merasa canggung kepada laki-laki di hadapannya itu, tidak seperti biasanya ketika ia bercanda dengan sahabatnya itu. Riza seolah sengaja berjarak dengannya hari itu.
"Ya udah kalau memang kamu maunya begitu, Riz. Hati-hati aja di perjalanan ke tempat kerja ya," ucap Nisa akhirnya sambil balas tersenyum lebar meski sedikit tertahan. Riza menganggukkan kepalanya pelan dan Nisa pun membalikkan badannya berjalan menjauh dari Riza. Riza terlihat mengamati punggung Nisa yang makin jauh itu dalam diam, tiba-tiba ada rasa bersalah menyusup di hatinya atas sikapnya barusan ke gadis itu. Terdengar suara teman Riza, meminta Riza menuruti kalimat Nisa buat mengobati lukanya sebelum pergi ke tempat kerja. Sementara itu, Nisa larut dalam pikirannya yang menemani langkah kakinya. "Aku tidak bisa memahami sikap kamu hari ini, Riz, tapi aku memercayaimu, Riza," ujarnya dalam hati.

"Apa tawaran kamu mengobati lukaku  masih berlaku, Nisa?"
Suara Riza yang tiba-tiba itu mengejutkan Nisa yang larut dalam diamnya. Nisa pun menoleh, terlihat Riza sudah berjalan di sebelahnya sambil menuntun sepeda motornya dan melihat kearahnya. Nisa tersenyum lebar sambil mengangguk, "Tentu saja, Riz". Riza balas tersenyum lebih lebar. Mereka pun mencari tempat duduk buat mengobati luka Riza.
"Kamu tunggu disini bentar ya, Nis. Biar aku pinjam kotak P3K di ruang mahasiswa," ujar Riza sambil memarkir sepeda motornya.
Nisa buru-buru menahan langkah Riza. "Kaki kamu kan lagi luka, Riz. Biar aku saja yang pinjam, kebetulan itu masih ada Ana juga. Kamu tunggu disini bentar ya, " ujar Nisa sambil tersenyum lalu bergegas berlari menghampiri Ana, meminjam kotak P3K buat  mengobati luka Riza. Riza hanya mengamati tingkah laku Nisa itu dengan tersenyum. Beberapa menit kemudian Nisa sudah berada di hadapan Riza dan langsung bergegas mengobati Riza.
"Aku bersihkan dulu luka kamu dengan air mineral ya, Riz," ucap Nisa sambil tersenyum dibalas Riza dengan anggukan kepala dan senyuman tak kalah lebar. Dengan telaten Nisa membersihkan luka Riza dengan kapas dan air. Kemudian, Nisa mengambil cairan alkohol dari kotak P3K yang dipinjamnya. "Ini akan sedikit perih, tahan ya, Riz," lanjut Nisa lagi sambil menatap Riza sejenak dan tertawa kecil ke Riza. Lagi-lagi Riza mengangguk dan ikutan tertawa. Dengan lebih pelan-pelan Nisa menekan lembut luka Riza dengan kapas yang sudah diolesi alkohol itu. Terlihat Riza sesekali meringis menahan perih sambil berusaha tertawa kecil saat Nisa melihat kearahnya, seolah ingin meyakinkan Nisa dia baik-baik saja. Melihat ekspresi Riza itu pun membuat Nisa meniup-niup pelan luka Riza sambil terus mengoleskan alkohol buat membersihkan luka Riza, seolah ingin mengurangi perih yang dirasakan Riza.
Riza pun tersenyum melihat perhatian  dan ketelatenan Nisa itu.
Nisa kemudian mengoleskan betadine pelan-pelan di luka Riza sambil tetap meniup pelan luka Riza lalu bergegas memasang perban di kaki Riza yang terluka itu.
"Nah lukanya sudah selesai diobati, Riz," ucap Nisa pelan sambil tersenyum lebar ke Riza, "gimana... sakitnya sudah berkurang ga, Riz?"
Riza menganggukkan kepalanya sambil tertawa kecil, "Makasih ya, Nis. Maaf sudah menyusahkan kamu, he he". Nisa pun balas tertawa sambil merapikan isi kotak P3K itu seperti semula. Nisa pun meninggalkan Riza sejenak, mengembalikan kotak P3K yang dipinjamnya dan membuang kapas kotor ke tempat sampah.
"Minum dulu, Riz...," ujar Nisa beberapa saat kemudian menyerahkan sebotol air mineral ukuran tanggung ke Riza dan Riza pun bergegas menghabiskannya.
"Yakin kamu tetap masuk kerja hari ini, Riz? Apa kamu ga bisa minta izin, Riz?" tanya Nisa hati-hati.
Riza memandang kearah Nisa dan tersenyum. "Aku baik-baik saja, Nisa. Lagi pula kan luka aku udah kamu obatin," jawab Riza dengan bersemangat. Nisa balas tertawa sambil mengangguk pelan. Nisa senang karena Riza tak lagi sedingin sebelumnya.
"Nisa...," panggil Riza membuat gadis itu menoleh kepadanya.
"Ya," jawab Nisa.
"Maaf ya kalo sikap aku terlalu dingin hari ini," ujar Riza lagi. Nisa tersenyum.
"Gapapa, Riz..., yaaa meski aku ga terlalu suka sih karena sahabat aku jadi mahal senyumnya, he he," balas Nisa dengan nada riang sambil menggoda Riza, "memang kamu kenapa sebenarnya, Riza?"
Riza tertawa memamerkan giginya sambil mengucap maaf.
"Sejak aku meminta seseorang jadi teman hidup, ada yang aneh di hati aku. Aku ingin menjaga hati aku buat dia, tapi sikap aku jadi terbawa dingin deh he he. Habisnya gadis itu belum juga menjawab iya sih padahal udah satu bulan aku meminta berkali-kali ke dia," jelas Riza lalu memanyunkan bibirnya.
Nisa tersenyum. "Kamu juga sih, Riz... udah tahu jawaban gadis itu apa, tetap aja meminta hal yang sama. Jadi negatif begini kan dampaknya buat kamu, jadi super dingin. Sudah, berhenti saja melamar gadis itu, lebih baik kamu berjuang untuk gadis yang lebih baik, Riza. Kamu layak buat dapat teman hidup yang lebih baik. Percaya sama aku".
Riza balas menatap Nisa, terdiam sejenak melihat senyuman di wajah Nisa lalu balas tersenyum lebar. "Aku selalu percaya sama kamu, Nisa, itu sebabnya aku ga akan menyerah mendapatkan jawaban iya dari kamu". Nisa menarik senyumnya lebih lebar kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Andai aku bisa menjawab iya, Riz...," ucap Nisa di dalam hatinya sambil bibirnya tersenyum menatap awan yang berarak sore itu.
"Oh iya, apa alasan kamu bekerja ada hubungannya sama aku, Riz?" tanya Nisa hati-hati tetap dengan senyum lebarnya.
Riza menatap Nisa sejenak.
"Aku kerja karena aku ingin menjadi seseorang yang bertanggung jawab buat kamu dan aku ingin membantu kamu mewujudkan mimpi kamu, Nis," batin Riza.
Riza pun tersenyum lalu ikutan menoleh ke awan-awan di atas mereka. "Kan aku sudah bilang, aku kerja karena aku punya mimpi tapi aku belum bisa menceritakannya ke kamu sekarang, Nisa," Riza menoleh kembali kearah Nisa, "yang terpenting aku harap kamu tetap percaya ke aku, Nis. Aku akui kuliah aku agak kacau sejak aku memutuskan kerja, agak susah mengatur  waktu dan tenaga, tapi aku akan berusaha lebih baik biar kerja dan kuliah bisa berjalan baik berdampingan. Aku janji, Nis akan berusaha bertanggung jawab dengan baik di keduanya". Nisa tersenyum lebih lebar kearah Riza sambil menganggukkan kepalanya, "Apapun alasannya, aku percaya sama kamu, Riz. Kamu pasti bisa, Riza. Semangat dan berjuang, Riza!" Keduanya pun saling tertawa.
Riza pun berpamitan berangkat kerja sekali lagi ke Nisa, hanya saja kali ini dengan senyum mengembang di wajah keduanya.

Tiga puluh menit kemudian, Nisa sedang asyik bersantai di kamarnya sambil melanjutkan sketsanya ketika sebuah pesan dari Riza masuk di whatsapp-nya.
"Lapor... pasien bernama Riza sudah tiba dengan selamat di tempat kerja :).
Hmmm, kira-kira perawat baik tadi mau ga menikah dengan laki-laki bernama Riza yang kakinya tadi diperban?"
Nisa tersenyum membacanya.
"Laporan diterima. Hati-hati di tempat kerja, jangan lupa makan dan istirahat ya.
Hmmm soal perawat baik tadi... hmmm lupakan saja. Dia tidak cukup baik buat Riza. Dia itu sebenarnya pasien yang menjadi perawat dadakan dalam kondisi darurat aja :)," ketik Nisa. Tak ada balasan dari Riza, Nisa pun teringat sesuatu hal yang sempat terlintas di pikirannya dalam perjalanan pulangnya dari kampus tadi.
Nisa mengetuk pintu kamar Ana dan beberapa saat sudah duduk santai di tempat tidur Ana. Nisa meminta bantuan Ana agar mau meminjamkan catatan, buku, dan meng-copy materi perkuliahan Ana yang sekaligus juga materi perkuliahan Riza. Ya..., Nisa bertekad membantu membuatkan rangkuman materi kuliah buat Riza apalagi sekitar dua minggu lagi mereka akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Nisa tahu Riza sedang berjuang untuk bisa meraih hasil yang baik di keduanya, yaitu tentang kuliah dan pekerjaannya, dan Nisa ingin membantu Riza semampunya.
Setelah meng-copy  bahan kuliah Ana dan Riza kedalam flashdisk dan meminjam beberapa catatan Ana yang sangat berbaik hati memahami niatan Nisa, Nisa pun bergegas membuat catatan-catatan kecil yang mudah Riza bawa kemana-mana.
Waktu sudah berlalu tiga jam ketika mata Nisa terasa lelah, Nisa pun memutuskan mengistirahatkan matanya setelah makan malam dan meminum obatnya. Nisa berniat tidur dulu, sebelum bangun lagi dan belajar untuk materi ujiannya sendiri.
Mata Nisa hampir terpejam ketika sebuah pesan lagi-lagi masuk ke handphone-nya, dari Riza.
"Nisa, Maukah Kamu Menikah Denganku? Aku akan tetap menunggu sampai kamu menjawab iya, Nis :)".


Nisa tersenyum haru membacanya, selalu seperti itu hatinya, tersentuh, saat laki-laki luar biasanya menuliskan kalimat ajaib itu lagi dan lagi. Seperti biasanya, Nisa tidak membalas pesan itu. Ada sebutir air mata menetes di pipinya diantara senyumnya, "Biar waktu yang menunjukkan semuanya, Riz. Semoga kita sama-sama ditunjukkan yang terbaik, Riza". 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar