Kamis, 17 Desember 2015

Konstelasi Hati Bintang Buat Ara Part 4 : Konstelasi - Bintang Mencari Ara

Part Sebelumnya

Bintang meninggalkan rumah sakit setelah papa dan mama Rion tiba. Orang tua Rion memutuskan akan memindahkan perawatan Rion ke rumah sakit yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya setelah kondisi Rion stabil. Sesampai di kantor, Bintang bergegas menyiapkan presentasinya untuk meeting selepas makan siang. Matanya masih terasa berat karena dua hari ini ia kurang tidur. Sambil menyeruput segelas kopinya, ia kembali melihati sekali lagi materinya sambil membuka-buka berkas-berkas di tas ranselnya ketika ia menyentuh kotak makanan milik Ara. Ia pandangi dan pegangi kotak makanan itu beberapa saat kemudian tersenyum tipis. "Siapa pun kamu, terima kasih Ara". Bintang bertekad akan mendatangi kafe tempat ia bertemu Ara kali pertama, sepulang kerja nanti.

Di tempat lain, Ara sedang mempelajari beberapa publikasi penelitian yang baru diterimanya. Hari itu, pengunjung perpustakaan tidak seramai biasa sehingga Ara memutuskan menggunakan waktunya untuk lebih banyak belajar. Tiba-tiba wajah laki-laki asing itu hadir kembali. Entah mengapa apa yang terjadi diantara keduanya meninggalkan kesan tersendiri di memori Ara. "Siapapun kamu, penyuka Bintang Kecil, aku harap bisa melihat kamu lebih banyak tersenyum. Aku akan berusaha membantu semampu aku meski kita tidak saling mengenal," ujar Ara dalam hati. 
"Selamat siang, Ara," suara yang tak asing itu membuat Ara tersenyum lebar kepadanya.
"Oktan... kok kamu bisa ada disini?" balas Ara sambil menyilahkan Oktan duduk. Sudah lama Ara tidak pernah bertemu Oktan. Laki-laki di depannya itu masih saja ramah dan hangat seperti saat Ara pertama mengenalnya. Oktan sedang mencari beberapa penelitian untuk data pendukung tempat kerjanya dan Oktan pun teringat Ara. Ara bergegas membantu mencarikan referensi yang mungkin berkaitan dengan data yang diperlukan Oktan. Waktu berlalu saat arloji Ara menunjukkan pukul 11.50 dan Oktan mengajak Ara untuk keluar makan siang bersama. Karena bekal makanannya sudah ia berikan untuk laki-laki di dalam mimpinya, Ara pun dengan senang hati menerima ajakan Oktan. Lagi pula sudah lama Ara tidak pernah berbincang dengan Oktan.
Ara dan Oktan duduk berhadapan saat itu. Mereka sedang menunggu makanan siap, ketika sejenak Oktan memandangi Ara. Ara yang jadi salah tingkah berusaha tersenyum seperti biasa. "Lama kita nggak ngobrol seperti ini lagi, ya Ra... apalagi setelah aku jadian sama Lintang," ujar Oktan balas tersenyum. 
"Iya... Oh iya, aku dengar dari Lintang kalo kalian sepakat menjadi teman biasa lagi, ya. Apa kamu yakin ini keputusan yang terbaik, Tan? Aku tahu kalian punya alasan kuat, tapi kamu sama Lintang itu pasangan serasi menurutku, kalian saling mengisi satu sama lain," sambung Ara sembari memberanikan diri balas menatap Oktan. Oktan terdiam masih menatap Ara, Oktan seperti sedang memikirkan kalimat Ara itu. "Apa Lintang memberitahu kamu, alasan itu Ra?" tanya Oktan ragu. Ara mengangguk pelan, "Aku tahu, Tan, tapi aku bisa lihat rasa itu tumbuh diantara kalian seiring waktu. Setelah saling jujur satu sama lain, kalian bisa melanjutkannya dengan suasana hati yang baru, Tan. Kamu sayang sama Lintang kan, Tan?"
Oktan masih terdiam memandangi Ara. Oktan seolah bingung harus menjawab apa. Hatinya seolah mendua, tapi dia tidak bisa membedakan apa yang ia rasakan untuk Ara dan Lintang. Oktan tersenyum lembut, "Menurut kamu, apa aku terlambat untuk memperjuangkan seseorang yang terpinggirkan karena dulu aku ga punya keberanian, Ra? Aku tahu aku cukup pengecut. Aku takut menyatakan sesuatu ke seseorang yang sebenarnya aku sukai dan justru melampiaskannya ke sahabatnya. Meski waktu itu sikonnya emang rumit banget, apalagi Lintang lagi rapuh waktu itu. Kamu sepertinya sengaja mundur teratur, mengambil jarak dari aku dan aku merasa menjadi laki-laki yang diandalkan bagi Lintang saat itu," jelas Oktan kepada Ara. Ara menundukkan kepalanya sejenak, Ara bingung melanjutkan kalimatnya ke Oktan saat itu ketika makanan mereka pun datang. Baik Ara dan Oktan pun membisu diantara aktivitas makan siang mereka. 
Waktu menunjukkan pukul 12.40 saat Ara dan Oktan tiba di tempat parkir tempat kerja Ara dan Oktan bersiap untuk pamit kembali ke kantornya. Sesekali Oktan berusaha memecah hening diantara dirinya dan Ara dengan mengalihkan topik pembicaraan terkait data penelitian yang diperlukan oleh kantornya. Oktan sudah menghidupkan mesin sepeda motornya, ketika Ara kemudian berucap, "Ini bukan soal terlambat atau tidak, Tan. Dulu kamu memilih Lintang karena kamu ragu dan tidak punya cukup keberanian memilih aku kemudian kamu menyesalinya. Dan sekarang kamu putus dengan Lintang karena penyesalan kamu itu. Padahal aku bisa melihat dengan jelas rasa itu semakin tumbuh diantara kalian berdua waktu demi waktu. Aku nggak mau kamu menyesal melepaskan sesuatu dengan keraguan untuk yang kedua kalinya, Tan. Jadi aku harap kamu bisa lebih berpikir dengan matang tentang kamu dan Lintang. Terlepas kamu adalah pelarian dia saat dia patah hati waktu awal kalian jadian, aku bisa lihat dengan jelas Lintang perlahan menyayangi kamu, Tan apalagi sekarang". Kalimat panjang itu pun akhirnya diputuskan Ara untuk dikatakan pada Oktan. Lagi-lagi Oktan terdiam menatap Ara sejenak kemudian ia tersenyum tipis. "Aku mengerti, Ra," jawab Oktan lirih sambil menganggukkan kepalanya pelan. Setelah mengucapkan terima kasih dan salam, Oktan perlahan menghilang dari pandangan Ara.

Siang pun berganti malam, saat Bintang mengemasi barangnya bersiap pulang. Meeting hari ini berjalan dengan cukup baik meski tidak seluruhnya seperti yang Bintang harapkan. Ada beberapa ide yang harus ia perbaiki untuk memuaskan semua pihak. Waktu di arloji Bintang menunjuk angka 7.12 ketika ada panggilan masuk di handphonenya dari Zetta. Zetta mengajak Bintang keluar, makan malam berdua. Setelah menimbang-nimbang, Bintang pun meminta maaf tidak bisa menemani Zetta selama seminggu ini dan ia meminta Zetta untuk keluar mengajak geng ceweknya untuk sementara waktu. Setelah mendengarkan tumpahan rasa kecewa Zetta kepadanya, Bintang bergegas mengarahkan motornya ke kafe tempat ia pernah bertemu dengan Ara. Malam itu, kafe cukup rame, meski tak ada pertunjukkan musik disana. Bintang langsung memesan segelas kopi toraja malam itu sembari bertanya-tanya perihal Ara kepada pegawai disana. Bintang mendapatkan informasi bahwa Ara hanya penyanyi pengganti dan hanya menyanyi sekali saja bertepatan saat Bintang pertama kali mampir di kafe tersebut. Ara menggantikan Lintang sebagai penyanyi asli yang dikontrak oleh kafe tersebut. Selain itu, Bintang juga mendapatkan informasi bahwa Ara adalah sahabat Lintang dan kemungkinan besar dari Lintang, Bintang bisa mendapatkan info tentang Ara. Sayangnya dari beberapa pegawai yang ada, Bintang tidak berhasil mendapatkan nomer handphone Ara bahkan nomer handphone Lintang sekalipun. Mereka hanya menyarankam Bintang untuk datang lebih sore karena Lintang biasanya menyanyi dari pukul 16.00 s.d. 18.00 tiap harinya disana. Sejak hari itu, Bintang selalu singgah di kafe itu sepulang dari kerjanya. Meski waktunya sudah terlalu malam tiap kali ia tiba disana, Bintang tetap memegang harapan bisa bertemu Lintang. "Aku sudah berjanji ke diriku sendiri untuk mencari dan menemui kamu, Ara. Dan aku bukan orang yang dengan mudah menyerah dan mengingkari janji," ujar Bintang tiap harinya dalam hati. Selama beberapa hari itu, baik Bintang maupun Ara tak pernah lagi berjumpa lewat mimpi. Ara pun tak bisa mendengar tekad Bintang menemuinya. Hari berganti dan Sabtu pun menjelang. Bintang kembali mendatangi kafe yang sama, kali ini lebih awal karena ia libur kerja hari itu. Ia sudah asyik dengan makanan dan minuman pesanannya ketika Lintang perform hari itu. Seusai Lintang membawakan lagu terakhirnya, tanpa membuang waktu, Bintang segera menghampiri Lintang. "Perkenalkan, namaku Bintang. Aku ingin bertemu dengan Ara. Aku dengar kamu adalah sahabat Ara, aku harap kamu bisa membantu agar kami bisa bertemu," ujar Bintang seraya tersenyum ke Lintang. "Memangnya kamu siapa sampai kamu mau ketemu sahabat aku? Apa Ara mengenal kamu?" tanya Lintang masih sedikit kaget dengan perkenalan Bintang yang tiba-tiba itu. Bintang menjelaskan bagaimana dirinya bertemu Ara di kafe itu ketika tiba-tiba Zetta masuk dan memotong pembicaraan Bintang.
"Jadi kamu sibuk dan ga punya waktu buat aku semingguan ini karena kamu mau menemui perempuan ini, Bin?" cecar Zetta kepada Bintang. Kemudian Zetta beralih memandang Lintang. "Dan siapapun kamu, kamu harus tahu kalo aku pacarnya Bintang, jadi tolong jangan godain pacar orang, paham..., " lanjut Zetta dengan nada marahnya. 
Bintang dan Lintang sama-sama terkejut dengan kehadiran Zetta yang langsung meluapkan emosinya itu. 
"Tolong tahan emosi kamu, Ta. Kamu salah paham dan tidak seharusnya marah-marah ga jelas seperti ini," ujar Bintang lembut tapi tegas berusaha menenangkan Zetta. 
"Kamu bilang aku salah paham, Bin? Kamu berubah beberapa minggu ini, ga punya waktu buat aku dan sekarang aku lihat kamu sedang menemui seorang perempuan. Aku cuma berusaha mempertahankan hubungan kita karena aku cinta sama kamu, Bin. Apa aku salah?" sambung Zetta. Tampak Zetta mengusap air matanya yang tak bisa ia tahan untuk keluar diantara rasa marahnya, membuat Bintang pun terdiam untuk sejenak.
"Aku tidak kenal siapa kamu, Bintang. Tapi dari perkataan kamu, aku mulai bisa meraba siapa kamu. Satu hal yang kamu harus tahu, Ara itu sahabat aku dan dia orang baik. Aku tidak akan membiarkan kamu atau pacar kamu ini menyakiti Ara, jadi sebaiknya kamu berhenti mencari dan ingin menemuinya," jelas Lintang dengan tegas kepada Bintang, menoleh sejenak kearah Zetta kemudian bergegas pergi. Bintang menatap kepergian Lintang tanpa berusaha menahannya. Zetta yang menangis di sebelahnya membuat Bintang hanya mampu terdiam. 
"Kenapa kamu bisa tiba-tiba muncul disini, Ta?" tanya Bintang lirih setelah memesankan segelas coklat hangat buat Zetta.
"Aku sengaja mengikuti kamu, Bin sejak kamu keluar dari apartemen kamu. Aku ingin memastikan kebenaran ucapan kamu yang tidak punya waktu buat aku akhir-akhir ini karena alasan sibuk. Kamu berubah, Bin dan kamu menyakiti hati aku," ujar Zetta menatap Bintang.
"Maaf kalau aku menyakiti kamu, Ta. Tapi tidak seharusnya kamu main labrak dan langsung marah-marah seperti tadi. Aku menemui perempuan tadi karena aku harus menemui sahabatnya. Aku harus menemui sahabatnya karena aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya karena dia sudah mendonorkan darahnya buat Rion di saat Rion sangat memerlukannya sementara persediaan darah untuk dia terbatas," jelas Bintang.
"Kamu tidak pernah menjelaskan tentang ini ke aku, Bin. Wajar kalau aku jadi salah paham. Lagipula, kamu seharusnya tidak perlu sampai nyuekin aku seperti ini hanya untuk alasan yang kamu sebutkan, Bin. Aku takut kehilangan kamu, Bin". Lagi-lagi Zetta terisak pelan, ia merasa kecewa karena Bintang menomortigakan dirinya demi pekerjaan dan sahabatnya Rion.
Bintang menatap Zetta yang sedang menangis. Satu hal yang Bintang tidak suka adalah melihat perempuan menangis terlebih menangis karena dia. Hal itu membuatnya merasa bersalah dan merasa menjadi laki-laki yang payah. Dan pada akhirnya hal itu makin membuat hati Bintang makin sunyi. "Tolong berhenti menangis, Ta. Aku minta maaf. Sebagai permintaan maaf, aku akan temani kamu ke tempat yang kamu inginkan hari ini. Biar kamu bisa tersenyum dan tertawa lagi, " lanjut Bintang seraya memberikan tissue agar Zetta mengusap air matanya. 
"Maafkan Bintang, Nek. Bintang membuat Zetta menangis. Tapi Bintang harus dan ingin bertemu perempuan bernama Ara itu, Nek. Dia menenangkan hati Bintang disaat Bintang tidak tahu bagaimana menenangkan diri Bintang sendiri," ujar Bintang dalam hati.
Bintang pun memenuhi janjinya kepada Zetta. Dia menemani Zetta kemana pun Zetta ingin pergi menghibur dirinya bersamanya. Waktu malam minggu Bintang dihabiskannya untuk menyenangkan Zetta. 

Sementara itu, di tempat lain, Lintang mendatangi tempat kos Ara sepulang dari kafe.
"Ara, aku tadi bertemu laki-laki bernama Bintang di kafe. Dia ingin menemui kamu," ucap Lintang langsung duduk dihadapan Ara dengan raut muka serius.
"Bintang?" Ara bertanya balik karena dia tidak pernah merasa punya kenalan bernama Bintang.
" Iya, Bintang. Sepertinya dia laki-laki yang pernah kamu ceritakan ke aku waktu aku baru putus dengan Oktan minggu kemarin. Laki-laki yang kamu bilang ada di hati kamu tapi kalian belum punya cerita bersama, Ra".
Ara masih terdiam memandangi Lintang. Ia masih bingung harus berkomentar apa.
"Sebagai sahabat, aku cuma mau nyaranin sebaiknya kamu tidak berharap banyak merajut cerita dengan laki-laki bernama Bintang itu, Ra. Belum apa-apa, pacarnya sudah main asal labrak di kafe, dia marah-marah ke aku padahal aku tidak mengenal Bintang. Aku nggak mau kamu sakit hati karena laki-laki itu, Ara".
Ara tersenyum, ia terharu dengan perhatian Lintang yang berusaha menjaga perasaannya. 
"Memang laki-laki bernama Bintang itu bertanya apa tentang aku, Tang?" tanya Ara sambil berusaha menenangkan Lintang dengan menepuk bahunya dan tersenyum lebih lebar.
"Dia tiba-tiba menghampiri aku dan bilang ingin minta bantuanku agar bisa bertemu kamu. Aku masih ragu menjawab apa, eh tiba-tiba pacarnya datang langsung emosi, sepertinya pacarnya sengaja mengikuti laki-laki itu. Tapi aku heran deh, dia kok bisa tahu kalau nama kamu Ara ya?"
Ara hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya ragu. 
"Pokoknya kamu harus lebih hati-hati tentang Bintang, Ra. Aku akui dia laki-laki yang cakep banget sih Ra, tapi biasanya semakin cakep laki-laki, biasanya makin bermasalah. Jadi mending kamu buru-buru keluarkan dia dari hati kamu saja, Ra sebelum terlanjur dalam. Aku lebih percaya Oktan buat menjaga hati kamu, Ra," sambung Lintang panjang lebar berusaha meyakinkan Ara diantara rasa khawatirnya terhadap sahabatnya itu .
Ara tertawa kecil mendengarnya. "Kenapa harus Oktan sih, Tang? Iya-iya aku bakal lebih hati-hati menjaga hati aku, tidak sembarangan menerima sebuah nama, tapi aku nggak mau memasukkan Oktan di dalam hitungan. Aku lebih percaya Oktan bisa menjaga hati kamu dengan baik soalnya, Tang".
"Araaaaa... kan udah aku bilang, Oktan sukanya sama kamu, Ra," teriak Lintang serius dibalas Ara dengan gelengan kepala yang tegas. "Aku tahu, tapi Oktan sudah masuk dalam daftar pengecualian buat masuk di hati aku, Lintang Sayang. Buat aku, Oktan itu pasangan yang serasi buat kamu sebaliknya kamu buat Oktan. Kalau kamu tetap maksa, aku mending bertemu sama Bintang saja deh," jawab Ara pura-pura mengancam sambil setengah tertawa. 
"Araaaa...," balas Lintang sambil memanyunkan bibirnya mendengar Ara yang menggodanya. Ara dan Lintang pun pecah dalam tawa.
"Jadi nama kamu Bintang," ujar Ara sambil tersenyum dalam hati, "jangan-jangan kamu tahu nama aku dari perawat di rumah sakit ya, Bin. Kenapa juga kamu ingin menemui aku? Dan kenapa juga pacar kamu tiba-tiba melabrak Lintang?" Ara hanya bisa menerka-nerka dalam hatinya sendiri. Ara tidak mau Lintang mencemaskannya karena Bintang, meski di satu sisi Ara tidak bisa dengan mudah melepaskan rasa pedulinya kepada Bintang.

Waktu di arloji Bintang menunjukkan pukul 24.06 saat dirinya dan Zetta baru tiba di halaman rumah Zetta. Mood Zetta terlihat kembali riang setelah selama beberapa jam menikmati kebersamaannya dengan Bintang. 
"Zetta, aku mau kita bicara serius sekarang," ujar Bintang lirih menahan Zetta masuk kedalam rumahnya.
Zetta menatap dengan raut bertanya-tanya kepada Bintang yang terlihat serius memandangnya.
"Beberapa minggu ini, aku bingung dengan diri aku sendiri, Ta dan ternyata itu menyakiti kamu. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu, Ta tapi kenyataannya aku melakukannya, bahkan hari ini aku lihat kamu menangis karena aku. Aku membenci diriku saat aku menyakiti hati perempuan baik itu disengaja maupun tidak, Ta. Oleh karenanya aku berpikir mungkin akan lebih baik kita kembali temenan biasa saja, Ta. Aku nggak mau lebih banyak menyakiti kamu, Zetta" jelas Bintang pelan tapi tegas. 
Zetta benar-benar tertegun mendengarnya, "Kamu minta kita putus, Bin? Setelah beberapa jam ini kamu buat aku tertawa dan senyum lagi?"
Bintang tetap memandangi Zetta yang mulai menangis dihadapannya, "Aku harap ini kali terakhir aku melihat kamu menangis karena aku, Ta. Aku tidak ingin melihat kamu menangis, tapi aku merasa tidak bisa menghindarkan kamu untuk tidak menangis. Aku minta maaf, Zetta".
"Apa ini ada hubungannya dengan gadis bernama Ara tadi, Bin? Apa hati kamu berpaling kepada..."
Bintang menggelengkan kepalanya tegas, memotong pertanyaan Zetta. "Ini tidak ada hubungannya dengan gadis tadi, aku bahkan tidak mengenal siapa Ara. Aku memutuskan ini karena aku merasa benar-benar menjadi pecundang buat kamu, lagi-lagi aku menyakiti hati kamu meski tanpa niatan. Aku marah sama diri aku sendiri tentang ini, Ta. Aku harap kamu bisa memahaminya. Kamu layak untuk bahagia dan terhindar dari rasa sakit, Ta. Terima kasih sudah mencintaiku, Ta. Sekali lagi aku minta maaf".
Zetta menatap Bintang dengan air matanya yang semakin deras mengalir. Meski hatinya sakit, ia bisa merasakan dan melihat Bintang jujur tentang kalimatnya itu. Zetta bisa melihat kemarahan Bintang ke dirinya sendiri, tapi Zetta tidak ingin kehilangan Bintang. Zetta terus berusaha membujuk dan merayu Bintang untuk berubah pikiran, tapi Bintang tetap dengan keputusannya. Zetta pun hanya bisa menangis menatap bayangan Bintang yang semakin menjauh.

Bintang terus melangkahkan kakinya, ia harus kembali naik taksi untuk mengambil sepeda motornya yang sengaja ia titipkan di dekat kafe tempat Lintang bekerja. Hati Bintang terasa sesak saat itu, melihat Zetta yang terus menangis dihadapannya ketika keputusan itu diambilnya, membuat ia semakin dihujam rasa bersalah, tapi Bintang tetap harus melakukannya. Melepaskan Zetta jauh lebih baik dibandingkan mempertahankan hubungan yang tidak menyisakan kenyamanan bagi keduanya. Dia lebih ingin melihat Zetta tertawa bersamanya bukannya menangis karena Zetta tidak bisa memahami dirinya. Setelah setengah jam membiarkan dirinya berjalan kaki sambil menenangkan hatinya dan kakinya mulai terasa lelah, Bintang pun memanggil taksi akhirnya. 
Jam di arloji Bintang menunjukkan pukul 02.03 pagi saat Bintang melajukan motornya pulang ke apartemen. Hujan turun meramaikan pagi itu dengan rintik-rintiknya. Bintang membuka kaca helmnya, membiarkan air hujan mengenai mukanya. Ia butuh sesuatu untuk mendinginkan dan menghibur dirinya. Wajah Ara yang tersenyum riang kala menyanyikan lagu Bintang Kecil tiba-tiba melintas di pikiran Bintang. "Ara...aku ingin sedikit saja tertular tawa ceria kamu waktu itu," ujar Bintang pelan menatap jalanan di depannya. "Aku ingin bertemu kamu, Ra...," ujar Bintang didalam hati.
Di tempat lain, Ara sayup-sayup mendengar suara Bintang lirih menyebut namanya. Bintang duduk di taman pinggir danau dekat mall tempat Ara pernah mengikuti Bintang minggu sebelumnya. 
"Pulanglah Bintang, jangan menyakiti diri kamu sendiri," ujar Ara lirih. Tiba-tiba Bintang menoleh ke dirinya, Bintang hanya diam dan tersenyum sendu menatap Ara ketika Ara kemudian terbangun dari tidurnya. Mimpi itu terasa nyata bagi Ara, senyata mimpinya tentang Bintang di rumah sakit. Ara merenungi mimpinya sejenak sebelum melanjutkan tidurnya kembali. 

Pagi yang cerah pun mengawali hari minggu selepas hujan menyapa ketika Ara bersiap-siap hendak pergi ke taman di dekat danau yang ada di mimpinya. Ara ingin memastikan mimpinya, meski ia berharap tidak akan mendapati Bintang masih terduduk di taman itu. Ara baru akan mengunci pintu kamarnya ketika ada panggilan masuk dari Lintang.
"Ara, temani aku sarapan bubur ayam di taman biasanya kita jogging bareng yuk. Aku kesepian nih seperti anak hilang, aku tunggu kamu ya," ujar Lintang tanpa jeda. Ara hanya tertawa mendengarnya. Bayangan Bintang dalam mimpinya kembali hadir, membuatnya ragu dan berpikir apakah ia harus mendatangi taman itu atau tidak, ketika kemudian ia memutuskan untuk pergi menyusul Lintang. 
"Semoga kamu tidak benar-benar berada disana, Bintang. Semoga mimpi semalam hanya sekedar mimpi seperti mimpi pertama aku tentang kamu," ujar Ara dalam hati sambil menarik nafas panjang, meyakinkan hatinya sendiri.
Waktu menunjukkan pukul 07.08 saat Ara tiba di tukang bubur langganannya dan Lintang selepas jogging bersama. Ara mencari-cari Lintang tapi tidak juga menemukan sahabatnya itu ketika sebuah suara agak mengagetkan Ara dari belakangnya.
"Kamu disini juga, Ra?"
Ara buru-buru menoleh keasal suara itu. "Oktannn, kok kamu ada disini? Bukannya rumah kamu jauh dari sini, Tan?"
Oktan tersenyum sambil mengangguk kecil, "Iya, aku kesini karena Lintang minta temani jogging sekaligus sarapan bubur ayam. Makanya, aku kesini. Lintangnya mana, Ra?"
Ara bingung menjawab apa ke Oktan karena ia pun sedang mencari Lintang ketika sebuah pesan masuk di handphone Ara. "Tolong temani Oktan sarapan dan ngobrol ya, Ra. Kasihan dia sudah datang jauh-jauh. Maaf aku harus latihan buat perform nanti sore, he he". Ara terdiam menggelengkan kepalanya, Lintang sengaja mengkondisikan Ara bertemu dengan Oktan. 
"Sepertinya Lintang tiba-tiba harus latihan sekarang buat perform nanti sore, Tan. Karena kita sudah terlanjur sama-sama disini gara-gara undangan Lintang, kita makan bubur ayam bareng aja yuk," ujar Ara sambil tersenyum disambut anggukan kepala Oktan. Ara memutuskan menemani Oktan untuk sarapan bersama karena ingin menghargai Oktan yang sudah jauh-jauh datang. Namun Ara terpaksa berbohong tentang rencana Lintang kepada Ara dan Oktan. Ara tetap punya misi kecil ingin membantu Lintang dan Oktan melihat lebih jelas perasaan satu sama lain diantara keduanya. Sepanjang makan bubur bersama, terlihat Oktan agak canggung terhadap Ara terutama setelah obrolan mereka beberapa hari sebelumnya. Meskipun demikian, Oktan berusaha menyelipkan cerita-cerita lucu untuk dibagi ke Ara untuk mencairkan suasana. Ara sangat menghargai Oktan yang selalu berusaha menemukan cara untuk tetap membuatnya nyaman dan terhibur. Meskipun demikian Ara berusaha menyelipkan cerita demi cerita lucu tentang Lintang terkait perasaan-perasaan Lintang ke Oktan dari waktu ke waktu selama Oktan dan Lintang dekat lebih dari seorang teman.

Sementara itu di taman dekat danau, Bintang tampak sedang duduk di bawah pohon tempat ia pernah bertemu sejenak dengan Ara. Ia belum juga pulang ke apartemennya dan menumpang mandi dan sholat shubuh di masjid tak jauh dari danau itu lalu kemudian kembali ke taman itu. Entah kenapa, ia seolah berharap bisa bertemu dengan Ara di tempat itu.

Waktu menunjukkan pukul 14.02 saat Lintang yang sudah bersiap di kafe menelepon Ara yang sedang bersantai menikmati hari liburnya di kamarnya, Lintang menanyakan pertemuan Ara dan Oktan tadi pagi. 
"Bagaimana sarapan bareng kamu dan Oktan tadi pagi, Ra? Sudah ada kemajuan yang positif belum? He he he," suara Lintang terdengar riang menggoda Ara.
Ara memanyunkan bibirnya, "Apaan sih, kan aku sudah bilang, say no to Oktan, Tang. Aku berharap bertemu Bintang saja deh kalau kamu tetap maksa ngecomblangin Oktan sama aku. Aku lebih ikhlas kalaupun hati aku harus sakit karena Bintang dibandingkan aku menyakiti hati sahabat aku," ucap Ara tegas.
"Araaaaa, berapa kali sih aku harus bilang..."
"Pokoknya aku nggak mau denger lagi tentang rencana kamu menjodohkan aku dengan Oktan, Tang. Keputusan aku sudah bulat dan nggak bisa diganggu gugat, titik, " potong Ara tidak membiarkan Lintang menyelesaikan kalimatnya. 
Ucapan tegas Ara membuat Lintang pun akhirnya mengalah. Lintang tahu Ara melakukannya karena Ara memahami perasaan Lintang dengan jelas. 
Tiga jam pun kemudian berlalu, Lintang baru menyelesaikan tugas menyanyinya ketika Bintang sudah berdiri di hadapannya. 
"Kamu datang lagi...," ucap Lintang datar menatap Bintang.
"Aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin sore, tapi aku minta tolong ke kamu, bantu aku bertemu Ara," ucap Bintang bersungguh-sungguh. Lintang menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, aku tidak bisa membantu kamu. Membantu kamu akan membuka kemungkinan sahabat aku, Ara, tersakiti karena kamu atau pacar kamu. Sebagai sahabat, aku harus menghindarkan Ara dari itu, sebelum kalian benar-benar saling mengenal," sambung Lintang.
"Aku memang tidak bisa menjanjikan menghindarkan Ara dari sakit, tapi aku tidak ada niat sedikit pun menyakitinya dan aku akan berusaha tidak menyakitinya. Aku hanya ingin menemuinya. Tolong bantu aku bertemu Ara sekali saja. Aku sudah berjanji ke diri sendiri untuk mencari dan menemui Ara," sambung Bintang.
Lintang mengamati laki-laki asing di hadapannya itu. Ia heran dan bertanya-tanya dalam hati kenapa laki-laki ini sangat ingin bertemu Ara. "Tolong kamu berhenti ingin menemui Ara, kalau ada pesan yang ingin kamu sampaikan, bilang saja ke aku biar aku yang meneruskannya ke Ara," sambung Lintang memberi saran ke Bintang. Bintang tetap dengan pendiriannya ingin menemui Ara sehingga Lintang pun memutuskan pergi sambil mengucapkan sekali lagi kata maaf. 

Di tempat lain, Ara baru selesai menyetrika kembali baju yang akan digunakannya esok hari ketika ia diserang rasa kantuk. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 07.46 malam, ketika Ara terlelap dengan mudah dan cepat. 
Laki-laki bernama Bintang itu kembali hadir di mimpi Ara. Lagi-lagi Bintang sedang duduk di taman dekat danau, tempat mereka pernah bertemu. Bintang hanya mengenakan celana jeans dan kaos lengan panjang dengan earphone terpasang di telinganya. Ia duduk memandangi air danau yang disapa rintik hujan malam itu. Wajah dan rambutnya pun basah tersapa hujan, tapi seulas senyum itu menghias di sudut bibirnya, seolah ia menikmati suasana di sekitarnya. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi dia terlihat sedang menunggu sesuatu yang diyakininya. 
Beberapa saat berlalu, Bintang terlihat mulai terlelap dalam duduknya. Lirih terdengar bibirnya mengucap sesuatu. "Aku akan tunggu kamu disini, Ara...". Tiba-tiba terlihat siluet seorang anak kecil sedang tertawa riang bersama seorang perempuan tua. Lagu Tik Tik Hujan terdengar merdu dari keduanya yang asyik memandangi hujan dari jendela kamar. Perempuan tua itu  meninabobokan anak laki-laki yang kepalanya ada di pangkuannya dengan mengusap rambut anak laki-laki itu penuh rasa sayang. Siluet itu semakin menghilang begitupun nyanyiannya ketika terdengar suara Bintang lirih. "Jangan pergi, Nek. Maafin Bintang, Nek. Bintang janji akan menjadi laki-laki yang lebih baik, Nek...". Terlihat Bintang masih terlelap dalam tidurnya di salah satu bangku taman di pinggir danau itu. Tubuhnya terlihat semakin basah oleh hujan meski  hujan hanya berbagi rintiknya. "Aku bukan laki-laki yang baik, tapi aku ingin menemui Ara..., " igau Bintang lirih. Ara terbangun dari tidurnya. Perasaannya tidak tenang saat itu, mimpi itu terlalu nyata bagi Ara. Tanpa pikir panjang, Ara segera mengambil handuk kering dan jaket sporty miliknya serta tak lupa payung dan memasukkannya ke tas ranselnya. Ara bergegas pergi ke taman yang ada di mimpinya, memastikan mimpinya. Hatinya khawatir melihat Bintang yang basah terkena hujan dan tetap terlelap di bangku taman itu, meski Ara tidak bisa benar-benar memastikannya kecuali setelah ia mendatangi tempat itu.

Setelah setengah jam perjalanan ditempuh Ara menggunakan angkot, akhirnya Ara turun di halte dekat mall yang berdekatan dengan taman. Gerimis masih bercanda dengan malam, setengah ragu Ara melangkah kearah taman. Ara masih berharap, mimpi itu hanya sekedar bunga tidurnya dan ia tidak akan menemukan Bintang disana. Taman tidak seramai biasa, hanya ada beberapa penjual makanan yang masih setia menjajakan makanan dengan menggunakan payung besar.  Hujan membuat peramai taman itu memilih tempat bernaung dari basah. Sepuluh menit kemudian, Ara melangkah semakin mendekati bangku taman di bawah pohon, tempat ia pernah bertemu Bintang, ketika ia melihat bayangan seseorang laki-laki sedang terlelap dalam posisi duduknya. "Bintang....," ucap Ara pelan setelah ia berdiri tepat satu meter dihadapan laki-laki itu dan benar-benar bisa melihatnya dengan jelas, wajah Bintang yang basah oleh rintik hujan. 

Bersambung

 Part Setelahnya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar