Rabu, 30 Desember 2015

Konstelasi Hati Bintang Buat Ara: Part 5 Bintang Mengenal Konstelasi Bernama Ara - Pertemuan

Part Sebelumnya

Ara masih memandangi Bintang yang terpejam. Dia melangkah lebih dekat lagi dengan Bintang, memayungi tubuh Bintang dari hujan. Ragu, dia menepuk bahu Bintang, membangunkannya. Bintang perlahan terbangun dari tidurnya ketika  ia mendengar suara Ara, "Kenapa kamu tidur dan bermandi hujan disini, Bin?"
Bintang menoleh ke asal suara. "Aaa.. Araa... aku sedang tidak bermimpi kan?" tanya Bintang mencubit pipinya sendiri sambil memandang lekat perempuan dihadapannya yang berdiri memayunginya. Ara tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu tidak bermimpi, Bintang. Ini aku, Ara. Justru aku yang bermimpi kamu sedang ada di danau ini dan aku berharap itu hanya mimpi. Ternyata kamu beneran ada disini, hujan-hujanan pula". Ara terdiam, ia tersadar bahwa Bintang dan dirinya hanya dua orang asing. 
"Kamu mimpiin aku disini, Ra? Karena itu kamu datang?" tanya Bintang masih menatap Ara seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa sosok di hadapannya itu nyata.
Ara mengangguk, "Aku mendengarnya Bintang, kamu menunggu aku disini. Itu sebabnya aku datang". Ara menghindari tatapan Bintang kepadanya. Ara duduk di sebelah Bintang, tetap berusaha berjarak dengan laki-laki asing itu, meminta Bintang memegangi payung yang dipegang Ara sementara Ara mengeluarkan handuk dan jaket dari tas ranselnya. 
"Cepat keringkan badan dan muka kamu yang basah, Bintang," pinta Ara sambil mengambil alih memegangi payung yang menaungi mereka berdua dari tangan Bintang sambil menyodorkan jaket dan handuk itu ke Bintang. "Maaf, aku cuma punya jaket sporty ini, semoga bisa sedikit menghangatkan tubuh kamu," lanjut Ara lagi. Bintang mengikuti perkataan Ara sambil tetap memandangi Ara. "Makasih banyak, Ara. Maaf merepotkan kamu lewat mimpi. Aku masih setengah percaya dengan apa yang terjadi diantara kita".
Ara hanya tersenyum melihati Bintang yang mengelap muka dan pakaiannya yang basah dan memakai jaket milik Ara. Bintang tampak kedinginan, terlihat bibir yang pucat itu tampak gemetar. 
"Kamu masih kedinginan, Bintang?" tanya Ara. Bintang hanya tersenyum mengambil alih memegangi payung itu lagi dari tangan Ara. Ara membuka jaketnya, "Kamu bisa pakai jaket ini biar lebih hangat," sambung Ara menyerahkan jaket yang dipakainya ke Bintang. Bintang menggelengkan kepalanya. 
"Aku tidak apa-apa, Ra. Kamu pakai kembali jaket kamu biar kamu nggak kedinginan, Ra," ujar Bintang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya ke Ara.
Ara bergegas memakai kembali jaketnya, "Kamu kedinginan Bintang, kamu butuh sesuatu yang hangat. Kita makan ronde disana, yuk. Jahe bisa menghangatkan tubuh kamu yang kedinginan, Bin," ujar Ara sambil menunjuk kearah penjual ronde yang tadi dilewatinya saat mencari Bintang.
Lagi-lagi Bintang hanya mengikuti perkataan Ara. Mereka berjalan beriringan menuju tempat tukang ronde. Sebenarnya ada banyak kata dan pertanyaan yang ingin Bintang ucapkan ke perempuan asing yang dicarinya beberapa hari terakhir ini, tapi semuanya tertahan ketika ia melihat Ara yang sibuk mengkhawatirkan dirinya yang kedinginan. Bintang hanya beberapa kali larut memandangi perempuan di sebelahnya itu, seolah masih ingin meyakinkan bahwa Ara benar-benar nyata. 
10 menit kemudian, keduanya sudah berteduh di dekat tukang ronde. Ara dengan sigap langsung memesan dua mangkok ronde buat dirinya dan Bintang kemudian menyantap ronde hangat itu dengan mengambil tempat duduk di sebelah Bintang. 
"Maaf sudah membuatmu ikut khawatir, Ra. Aku baik-baik saja, cuma sedikit kedinginan saja karena tadi ga sengaja tertidur di taman dalam hujan".
Ara hanya tersenyum sambil menikmati rondenya. 
"Aku senang akhirnya aku bisa bertemu kamu, Ra," lanjut Bintang lagi. Ara masih terdiam, tiba-tiba dia menjadi canggung terhadap laki-laki asing yang kini duduk di sebelahnya itu. Biasanya ia melihat laki-laki itu di dalam mimpinya. Tiba-tiba Ara teringat nasihat Lintang agar dirinya tidak berhubungan dengan Bintang.
"Apa benar kamu mengetahui keadaan aku sekarang lewat mimpi, Ra?" tanya Bintang mengejutkan Ara yang larut dalam pikirannya sendiri. 
Ara menoleh ke laki-laki di sebelahnya itu dan mengangguk pelan sambil tersenyum. Tiba-tiba saja ia menyadari ucapan Lintang yang mengatakan bahwa Bintang itu laki-laki yang tampan. Ara baru benar-benar menyadarinya saat ia berhadapan dengan Bintang cukup dekat.
"Ingat Ara, jaga hati dan pandangan," tiba-tiba suara hati Ara menyadarkannya. Ara menggeser tempat duduknya agak jauh dari Bintang dan hal itu membuat Bintang merasa heran. "Kenapa, Ra? Kamu takut berdekatan denganku?" tanya Bintang.
"Engg, enggak kok Bin. Oh ya, bagaimana kondisi teman kamu... ehhmmm mmm Riii... Rino ya? Apa sudah membaik?" Ara balik bertanya untuk mengurangi rasa canggungnya sembari tersenyum ke Bintang.
Bintang balas tersenyum, "Rion, Alhamdulillaah kondisi Rion sudah jauh lebih baik. Papa dan Mama Rion memutuskan membawa Rion ke rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Aku benar-benar berterima kasih kamu mendonorkan darah kamu buat Rion. Itu sangat berarti, Ra, buat Rion dan buat aku juga". 
"Aku cuma melakukan apa yang bisa aku lakukan, Bin. Kebetulan golongan darah aku sama dengan Rion. Kamu memberitahu aku dengan jelas didalam mimpi".
Bintang tersenyum makin lebar memandangi Ara membuat Ara jadi salah tingkah meski di dalam hatinya Ara merasa bahagia melihat wajah laki-laki dalam mimpinya itu beberapa kali dipenuhi dengan senyuman dan tawa, meski dari gurat wajah dan bahasa tubuhnya, laki-laki itu sedang kedinginan. 
"Sepertinya kita dipertemukan dan dipertautkan lewat mimpi, ya Ra. Jujur aku sendiri sulit untuk mempercayainya. Tapi melihat kamu datang di hadapanku sekarang, kamu mendonorkan darah kamu buat Rion padahal kita tidak saling mengenal, aku perlahan mempercayainya bahwa ini nyata".
Ara masih tersenyum memandangi Bintang. "Jujur, aku masih bingung mengartikan mimpi demi mimpi aku tentang kamu, Bintang. Hampir di semua mimpi itu, aku melihat wajah kamu yang terbalut sedih, Bin dan aku tidak tahu apa sebabnya. Bukan kali ini saja aku melihat kamu tertidur dalam hujan, beberapa minggu lalu aku bermimpi melihat kamu tertidur di sebuah balkon semacam apartemen, kamu pun tertidur dalam hujan. Apa itu hanya mimpi atau memang benar-benar terjadi, Bin?"
Bintang tertegun menatap Ara tanpa sepatah kalimat yang keluar dari mulutnya. Bintang tidak menyangka Ara pun memimpikannya saat itu, saat dimana suara Ara sempat ia dengar dalam mimpinya. 
"Sebenarnya apa yang membuat kamu sedih, Bin? Apa ada yang bisa aku lakukan untuk membantu kamu?" tanya Ara meski kemudian ia akhirnya meminta maaf ke Bintang karena merasa menyesal mengatakannya. Ara merasa lancang menanyakannya padahal dirinya baru mengenal Bintang.
Bintang tersenyum ke Ara, "Aku baik-baik saja, Ra... Maaf sudah membuat kamu bermimpi buruk gara-gara aku, ya. Mungkin aku terlalu lelah aja dengan kerjaan yang padat banget akhir-akhir ini. Maaf ya.... ". Ara tersenyum tipis sejenak kearah Bintang kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain. Sementara itu Bintang masih tetap tidak melepaskan pandangannya ke perempuan bernama Ara yang duduk disebelahnya itu. Bintang merasa bahwa Ara tidak mempercayai ucapannya barusan tapi Ara juga tidak ingin membahas dan memaksa Bintang untuk bercerita.
"Maaf kalau aku belum bisa bercerita lebih jauh tentang aku ke kamu, Ra. Aku....".
Ara kembali menoleh kepada Bintang sembari tersenyum manis, "Aku mengerti Bintang dan aku tidak akan memaksa kamu. Hmmm, tapi ada satu hal yang aku bisa paksakan ke kamu sekarang. Ayo kita makan, Bin. Biar badan kamu yang kedinginan itu ga sampai sakit. Yukkk". Ara bergegas berdiri, mengambil mangkok ronde di tangan Bintang yang sudah tidak berisi dan mengembalikannya kepada penjualnya. Bintang hanya mengamati Ara dan mengikuti Ara yang sedang membuka payungnya kembali. "Kamu mau makan apa, Bin?" tanya Ara ke Bintang. 
"Apa saja sih, Ra yang panas-panas. Tapi.... perut aku berasa nggak enak banget, Ra. Sepertinya aku masuk angin. Aku takut kalau dipaksa masuk makanan, takutnya keluar lagi," jawab Bintang balas tersenyum tipis ke Ara.
Ara memandangi Bintang sejenak, "Kalau begitu kamu tunggu disini sebentar, ya Bin. Aku ke warung di depan sana sebentar buat beli tolak angin buat kamu. Soalnya kamu harus makan, Bin. Tunggu sebentar dan jangan hujan-hujanan lagi," ujar Ara langsung berlari di tengah hujan. Bahkan Bintang yang ingin menahan Ara untuk tidak pergi pun tak sempat mencegah Ara. Bintang hanya bisa melihat Ara yang berlari kecil dengan payungnya di tengah rintik hujan malam itu. 
"Kenapa kamu begitu mencemaskan aku, Ra? Bahkan kita baru saja kenal," ujar Bintang dalam hati.
Di tempat lain, Ara pun merasa heran dengan dirinya sendiri kenapa ia begitu peduli dengan Bintang. Apa yang dilakukannya seolah refleks dilakukannya tanpa sempat berpikir terlebih dahulu. "Bagaimana kalau Bintang menyangka aku suka sama dia? Apa mungkin aku suka sama Bintang gara-gara mimpi?" tanya Ara dalam hatinya sembari mengelengkan kepalanya pelan kemudian agar pikirannya tidak berkembang tanpa arah dan kejelasan.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, Ara sudah ada di hadapan Bintang, menyodorkan sekotak tolak angin buat Bintang. 
"Kamu segera minum satu bungkus, Bin biar perut kamu enakan dan kamu bisa makan. Sisanya, kamu simpan siapa tahu kamu memerlukannya lagi nanti," ucap Ara sambil tersenyum ke Bintang yang memandanginya. Terlihat nafas Ara sedikit terengah-engah setelah berlari. 
"Terima kasih, Ra. Tapi kamu tidak perlu mencemaskan aku seperti ini. Aku laki-laki, aku yang seharusnya menjadi sosok pelindung, bukan yang dilindungi. Kamu tidak perlu membelikanku obat atau tolak angin, aku bisa membelinya sendiri," jelas Bintang sambil meneguk sebungkus tolak angin. 
Ara pun terdiam menatap Bintang dengan rasa bersalah. "Maaf Bin kalau aku lagi-lagi lancang dan sok perduli. Maaf kalau aku membuat kamu tersinggung," ujar Ara pelan. Menyadari raut wajah Ara berubah gara-gara kalimatnya barusan pun membuat Bintang merasa menyesal dan bersalah kepada perempuan di depannya yang selalu hadir berusaha menghiburnya itu. Bintang merasa egois kepada Ara, menyalahkan Ara padahal Ara hanya berusaha peduli kepadanya. 
Bintang mengambil handphone dari sakunya dan menyodorkan earphonenya ke Ara. "Coba kamu dengar sejenak lagu ini, Ra...," ucapnya pelan kepada Ara yang masih menundukkan wajahnya. Ara menatap Bintang dengan raut bertanya yang dibalas Bintang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya meminta Ara mengabulkan permintaannya itu. Dengan ragu, Ara memasang earphone yang terhubung dengan handphone Bintang di telinganya. Ara pun langsung tersenyum kembali seketika itu saat mendengarnya, membuat Bintang yang melihatnya pun merasa lega dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku selalu teringat wajah kamu yang ceria dan penuh dengan senyum tawa saat kamu menyanyikan lagu Bintang Kecil yang aku request saat itu. Dan aku mau melihat kamu selalu tersenyum seperti saat itu". Ara hanya tersenyum menatap Bintang sejenak. 
"Aku sudah sering merepotkan kamu melihat wajahku yang tanpa senyuman di dalam mimpi, tapi kamu selalu tersenyum menghibur aku. Tidak seharusnya aku menghilangkan senyuman di wajah kamu. Maaf untuk kalimatku tadi yang terkesan egois memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan perasaan kamu, Ra," sambung Bintang lagi.
Ara melepaskan earphone milik Bintang dari telinganya dan mengembalikannya ke Bintang," Kamu tidak perlu minta maaf Bintang. Wajar naluri seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah apalagi di depan perempuan, perempuan asing pula. Maaf kalau rasa peduliku terlalu berlebihan dan mengusik naluri kamu sebagai laki-laki," jawab Ara.
Bintang tersenyum lebar kearah Ara. "Aku akui itu naluri laki-laki yang ingin terlihat kuat dan bisa diandalkan terutama di mata perempuan. Tapi aku menyadari sesuatu, Ra. Lewat mimpi-mimpi yang menghubungkan kita, Tuhan mungkin ingin mengingatkan aku, sekuat apa pun laki-laki, dia butuh teman untuk berbagi. Dalam hal ini, Tuhan hadirkan kamu untuk bisa melihat sisi lemah aku. Tuhan hadirkan kamu buat menghiburku dan membuatku bisa tersenyum lagi. Aku sangat berterima kasih, Ara. Terima kasih karena kamu mau bersusah payah menemani aku dan membantu aku tersenyum lagi". 
Ara hanya memandangi Bintang yang masih tersenyum menatapnya. Ucapan Bintang barusan membuat Ara bingung untuk berkata-kata. Ara hanya bisa membalas senyuman Bintang dengan senyumannya yang tak kalah lebar, sembari bersusah payah berusaha menetralkan hatinya yang tiba-tiba merasa berbunga-bunga saat itu. Ada bisikan di hati Ara yang mengingatkannya untuk tetap menjaga hatinya lebih hati-hati tentang Bintang.
"Jadi kita makan, Ra?" tanya Bintang menyadarkan Ara dari dialog hatinya. Ara pun mengangguk, dengan sepayung berdua dan berjalan kaki, mereka berdua pun bergegas masuk ke salah satu tempat makan yang ada di sekitar taman itu.

Bintang dan Ara pun duduk berhadapan sambil menunggu pesanan mereka datang. Sejenak Ara melihati handphonenya, seolah ingin menyamarkan rasa canggungnya di hadapan Bintang. Sementara itu, Bintang masih saja tetap asyik menatap Ara. Ada banyak tanya dan kalimat yang ingin dia perbincangkan dengan Ara tapi seolah ia bingung memulainya dari mana.
"Oh iya, Ra. Aku benar-benar minta maaf sudah membuat Lintang merasa ga nyaman gara-gara teman aku yang tiba-tiba datang dan salah paham di kafe kemarin," ujar Bintang memulai lagi percakapan.
"Teman? Bukannya dia cewek kamu, Bin?" Ara balas bertanya sambil tersenyum ke Bintang.
"Kami sudah putus semalam, Ra," jawab Bintang pelan dengan senyum tertahan.
"Putus?"
Bintang mengangguk membalas Ara yang sedang menatapnya dengan ekpresi penuh tanya dan setengah terkejut. Bintang pun tersenyum lebih lebar. "Kamu tenang aja, Ra. Keputusan aku memutuskan Zetta, nama cewek itu, tidak ada hubungannya dengan kamu atau Lintang, Ra, " sambung Bintang berusaha menjelaskan ke Ara, "aku memutuskan Zetta karena aku tidak ingin membuat dia menangis karena aku lagi. Meski aku tidak berniat membuatnya menangis, tapi aku juga tidak bisa mencegahnya menangis karena aku. Aku benar-benar laki-laki yang payah, ya Ra...". Bintang tertawa kecil terdengar menertawakan diri sendiri, Ara menatap Bintang sambil tersenyum tipis. 
"Aku juga sudah membuat Lintang merasa tidak nyaman gara-gara aku ingin bertemu kamu sampai-sampai dia mencegah aku untuk bisa bertemu kamu karena takut kamu terluka karena aku. Apa Lintang tidak mencegah kamu juga, Ra agar tidak menemui aku?" tanya Bintang lagi. Ara tersenyum kepada Bintang.
"Lintang memang meminta aku untuk tidak menemui kamu dan tidak memedulikan apapun terkait kamu lagi, Bin. Bahkan dia berusaha mendekatkan aku dengan seorang laki-laki karena dia takut aku tetap peduli ke kamu dan kamu akan menyakiti aku," lanjut Ara sambil tertawa kecil mengingat apa yang dilakukan sahabatnya itu."Tapi aku percaya Lintang melakukannya karena dia sayang sama aku". 
Bintang memandangi Ara yang sedang tersenyum lebar di hadapannya.
"Hmmm mungkin Lintang benar, Ra. Mungkin seharusnya kamu tidak datang menemuiku disini. Aku sudah menyusahkan kamu karena membagi mimpi yang tidak menyenangkan itu ke kamu. Seharusnya aku tidak boleh lebih merepotkan kamu lagi di dunia nyata".
Bintang terlihat tertawa kecil kemudian tersenyum ke Ara. Ara bisa melihat ada yang tertahan dan tidak bisa terungkapkan oleh Bintang kepadanya.
"Kamu menunggu aku disini, jadi aku sudah seharusnya datang, Bin".
Lagi-lagi mereka saling berbalas senyum satu sama lain.
"Yaaa.. aku memang menunggu kamu dan ingin bertemu kamu, Ra, tapi kamu bisa saja mengabaikannya Ra, menganggapnya hanya mimpi yang numpang lewat saja. Maaf ya, Ra karena aku egois ingin bertemu kamu dan mungkin akhirnya memaksa kamu lewat mimpi untuk datang kesini".
Ara tersenyum lebar kearah Bintang yang terlihat tersenyum dengan raut menyesal. 
"Aku datang karena aku memang ingin datang, Bin. Kamu tidak memaksa aku. Aku harus datang menemui kamu karena aku pernah berjanji ke kamu di mimpi-mimpi awal tentang kamu, aku ingin membantu kamu untuk tidak bersedih lagi. Meski aku juga menyadari aku tidak berhak memaksa kamu untuk berbagi cerita denganku di dunia nyata kita yang hanya dua orang baru mengenal ini". Bintang tersenyum lebar mendengar ucapan Ara. Meski Bintang baru bertemu dan mengenal Ara, Bintang merasa nyaman bersama Ara. Bintang bisa lebih melihat ketulusan Ara melalui senyuman-senyuman yang Ara bagi kepadanya selama mereka bertemu.
"Bagaimana kalau aku ternyata akan menyakiti kamu seperti yang sudah aku lakukan ke Zetta dan Lintang, Ra? Apa kamu tidak takut aku menyakitimu?"
Ara menatap Bintang sejenak.
"Aku tidak takut Bintang, aku percaya kamu tidak punya niat untuk menyakitiku atau juga orang lain. Kamu cuma perlu seseorang menemani kamu buat tersenyum lagi," jawab Ara sambil tersenyum tulus ke Bintang seolah ia ingin meyakinkan laki-laki didepannya bahwa dia mempercayai Bintang.
"Terima kasih banyak, Ara," kali ini Bintang tertawa kearah Ara dengan penuh semangat membuat Ara pun ikut tertawa.
"Kamu harus lebih banyak tertawa dan tersenyum lepas seperti ini, Bintang. Aku merasa lega dan ikut terbawa bahagia melihatnya". Bintang pun mengangguk dan keduanya larut berbagi tawa sejenak ketika kemudian makanan mereka datang.
Untuk beberapa saat Bintang dan Ara asyik menghangatkan perut mereka dengan makanan yang dipesannya. Sesekali terdengar Bintang bertanya tentang pekerjaan Ara dan Ara pun menanyakan sebaliknya. Berusaha tanpa beban dan feel free, Ara dengan semangat menceritakan dunia kerjanya kepada Bintang sehingga Bintang pun tak canggung menceritakan tentang pekerjaannya kepada Ara termasuk tentang rasa jenuh yang menghampirinya akhir-akhir ini diantara tekanan pekerjaannya. Obrolan diantara mereka pun semakin terjalin, mereka mulai berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, termasuk tentang kesukaan dan keluarga mereka. Bintang pun menceritakan tentang neneknya ke Ara, tentang kenangannya bersama neneknya saat dirinya masih kecil termasuk kenangannya dengan lagu Bintang Kecil. 
"Oh iya, Bin. Aku melihat sebuah siluet tentang anak laki-laki kecil dan neneknya tadi saat aku memimpikan kamu. Apa itu kamu dan nenek kamu, Bin?"
Bintang menatap Ara, ia kaget mengetahui Ara juga melihat tentang siluet itu. 
"Iya, Ra. Itu aku dan nenekku. Seperti yang aku bilang tadi, kami suka menyanyi lagu anak-anak sebelum aku tidur atau saat kami bersantai melihat hujan. Nenek aku selalu menyelipkan doanya buat aku. Andai aku tidak lari karena ingin bemain hujan di jalan waktu itu, nenek aku ga akan jatuh saat menyusulku. Nenek aku...," Bintang terdiam, wajahnya berubah murung meski ia berusaha untuk tetap tersenyum.
"Jangan terlalu menyalahkan diri kamu, Bintang. Aku percaya kamu sayang sama nenek kamu dan tidak ada niat sedikit pun membuat beliau jatuh. Aku percaya nenek kamu tidak marah ke kamu, Bintang," ucap Ara pelan sembari tersenyum lembut berusaha menenangkan laki-laki dihadapannya itu.
"Seperti yang kamu bilang sebelumnya, kamu sudah berusaha menjadi laki-laki yang baik seperti yang nenek kamu inginkan. Dan aku yakin, kalau nenek kamu ada saat ini, beliau akan bangga kepadamu, Bintang. Yang terpenting kamu selalu berusaha tetap menjadi orang yang baik,.... ," lanjut Ara dengan senyum lebarnya, menyemangati Bintang yang sedang menatapnya. Bintang tersenyum lebar ke arah Ara dan mengangguk. "I will try Ra...and i'll never give up easily to be the best for her," sambung Bintang. 
Baik Bintang maupun Ara saling membagi senyum satu sama lain untuk beberapa saat. Meski Ara bisa melihat ada sedih yang berusaha Bintang sembunyikan dari wajahnya, Ara ingin Bintang bisa lebih tersenyum lagi. 
Waktu menunjukkan pukul 11.12 malam di arloji Ara, ketika mereka keluar dari tempat makan itu. Hujan sudah berhenti bercanda dengan malam menyisakan dingin bagi para menusia yang masih mendekap malam. 
"Hari sudah malam banget Bin, dan besok aku dan kamu juga harus memulai rutinitas kita dengan semangat yang selalu fresh apapun yang terjadi. Aku pamit pulang, ya Bin. Kamu juga sebaiknya pulang, Bin," ujar Ara masih berdiri di samping Bintang. 
"Aku antar kamu pulang naik motor aku, ya Ra," tawar Bintang sambil tersenyum ke Ara. 
"Terima kasih, Bin tapi aku bisa pulang naik taksi. Lagian aku yakin kamu cuma punya satu helm. Lagipula hawa malam ini juga cukup dingin Bintang, aku nggak mau kamu makin masuk angin gara-gara mengantarkan aku, apalagi setelah kamu tertidur dalam hujan tadi," jawab Ara. Bukan hanya itu alasan Ara sebenarnya menolak tawaran Bintang. Ara tidak bisa menerima tawaran itu juga karena hatinya selalu mengingatkannya untuk tetap menjaga jarak dengan Bintang. Bagaimanapun juga Ara peduli ke Bintang, Bintang tetaplah laki-laki dan Ara perempuan, ada jarak yang harus mereka jaga demi kebaikan keduanya. 
"Kalau begitu biar aku temani dan antar kamu naik taksi sampai kosan kamu ya, Ra. Aku tidak bisa membiarkan kamu pulang sendiri malam-malam begini, Ra. Sudah menjadi tugas aku sebagai laki-laki untuk menjaga kamu sebagai perempuan, aku harus memastikan kamu sampai di kosan kamu dengan baik. Baru setelah itu, aku bisa pulang ke apartemenku. Biar aku titipkan motor aku di penitipan kendaraan di sekitar sini, aku ambil besok pagi". Ara tersenyum mendengarkan perkataan Bintang yang tersenyum lembut tapi tegas kepadanya. Ara mengangguk setuju. 
15 menit kemudian, Ara dan Bintang sudah berada di dalam taksi menuju kosan Ara. Bintang sengaja memilih duduk di sebelah sopir, membiarkan Ara lebih leluasa dan nyaman duduk di kursi belakang. 
Sekali dua kali, Bintang menoleh kearah belakang sambil tersenyum ke Ara, seolah memastikan Ara merasa nyaman disana. 
"Aku baik-baik saja, Bintang. Terima kasih kamu sudah menjaga aku," ujar Ara seolah bisa membaca pikiran Bintang. Lagi-lagi mereka saling bertukar senyum, Bintang kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Sementara itu, Ara mengarahkan pandangannya ke sebelah kiri, melihati situasi malam di sepanjang perjalanan. Sesekali ia bisa melihat Bintang yang mencuri pandang mengamatinya dari kaca spion. Bintang seolah ingin lebih mengenali sosok Ara yang hadir menemaninya tanpa pernah ia duga. Tiba-tiba suara ibunya beberapa waktu lalu tentang teman hidup kembali terdengar oleh Bintang. Bintang menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum ke dirinya sendiri. "Kamu baru mengenal Ara, Bintang. Terlalu terburu-buru rasanya untuk mempertanyakan Ara sebagai teman hidup. Lagipula kamu juga baru putus dari Zetta. Ini pasti hanya pikiran aneh sesaat aja," ujar Bintang di dalam hatinya, menasihati diri sendiri.
Kembali bayangan neneknya hadir di hadapan Bintang. Neneknya yang selalu tersenyum kepadanya. Bintang kembali didekap kerinduannya akan neneknya. Bintang pun memasang sebelah earphonenya, mendengarkan kembali suara Ara menyanyikan lagu Bintang Kecil untuk mengurangi kerinduannya saat itu. "Kamu bisa memuaskan kerinduan ke nenek kamu dengan mendoakannya, Bin". Suara Ara menyadarkan Bintang dari lamunannya. Bintang tidak menyangka Ara seolah bisa membaca kerinduannya walau hanya dengan mengamatinya.
Bintang menoleh ke Ara sambil tersenyum lebar dan mengangguk. 
"Kamu benar, Ra. Akhir-akhir ini, jujur aku kangen banget sama nenek aku, kangen doa-doa beliau, nyanyian beliau, senyuman beliau, dan juga belaian sayang beliau," ujar Bintang tertawa kecil. Ada segurat ekspresi rindu berbungkus haru yang berusaha Bintang tahan di matanya.
"Bagaimana kalau kita pergi ke panti jompo, Bin? Kebetulan beberapa bulan yang lalu, aku pernah ikut penelitian kecil, bertempat di sebuah panti jompo tidak jauh dari sini. Kami berbaur dengan para lansia disana. Sekaligus memaknai dan belajar kehangatan bersama mereka disana. Dan aku merasakan kebahagiaan tersendiri saat bersama para lansia itu. Siapa tahu, dengan pergi mengunjungi mereka, kamu bisa sedikit mengobati kangen kamu terhadap nenek kamu," jelas Ara kepada Bintang yang terdiam mendengarkan idenya sambil memandangnya. 
"Panti jompo, Ra?"
Ara mengangguk pelan sambil tersenyum lebar ke Bintang. 
"Iya, kita berkunjung ke panti jompo, ngobrol dengan kakek nenek yang ada disana, membantu merawat mereka, membawakan makanan buat mereka, membantu menghibur mereka selama seharian," sambung Ara dengan penuh semangat.
Bintang masih memandangi Ara yang tampak antusias dengan idenya itu. Ada ragu yang jelas terlihat di wajah Bintang karena dia belum pernah pergi sekalipun ke tempat itu. "Apa kamu yakin kita bisa melakukannya berdua saja, Ra?"
Ara tersenyum memahami kerisauan yang dirasakan Bintang. "Setidaknya berdua jauh lebih baik dibandingkan kesana sendirian, Bin. Lagipula aku kenal dengan nenek yang bertanggung jawab mengelola panti jompo itu, beliau baik banget dan sangat hangat menerima siapa pun yang ingin berkunjung disana. Mengenal beliau, aku seperti mendapatkan satu nenek lagi," ujar Ara lagi berusaha meyakinkan Bintang.
Bintang tersenyum memandangi Ara yang tersenyum lebar penuh semangat itu dan ia pun akhirnya mengangguk menerima tawaran Ara itu. Meski ada ragu di hatinya apakah ia bisa melakukan apa yang dikatakan Ara dengan baik, entah kenapa senyuman dan semangat Ara meyakinkannya untuk ingin melakukannya. Bintang dan Ara pun memutuskan untuk mengunjungi panti jompo itu Sabtu depan saat keduanya sama-sama libur. Selama beberapa menit kemudian, Bintang dan Ara pun larut dalam diskusi ringan mereka terkait rencana mereka itu ketika kemudian taksi yang mereka naiki sudah sampai di depan kosan Ara.
"Terima kasih sudah mengantarkanku sampai depan kosan, Bin," ujar Ara sambil tersenyum lebar.
Bintang menganggukkan kepalanya pelan sembari tertawa kecil, "Sama-sama, Ra, Terima kasih kamu sudah datang menemui dan menemani aku di taman malam ini. Maaf ya sudah membuat kamu jadi khawatir".
Ara balas tertawa kecil melihat Bintang yang tersenyum lebar kepadanya.
"Aku bakal hubungi kamu lagi ya, Ra untuk membicarakan rencana kita ke panti jompo tadi. Selamat istirahat, Ara. Semoga aku tidak menyusahkan kamu lagi lewat mimpi malam ini. Senang bisa mengenal kamu, Ara," sambung Bintang diikuti dengan anggukan Ara. Bintang dan Ara pun tertawa sejenak.
"Aku juga senang mengenal kamu, Bin, apalagi bisa melihat kamu lebih banyak tersenyum malam ini. Hati-hati di jalan dan selamat istirahat juga yaaa. Sampai jumpa Sabtu depan, Bintang".
Setelah saling bertukar senyum dan salam, Ara pun bergegas masuk ke dalam kosannya dan Bintang mengamati Ara hingga Ara benar-benar masuk kedalam rumah, baru kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar