Sabtu malam itu,
Ara menginap di tempat kos Lintang setelah dari siang hingga jam delapan malam,
Ara menemani Lintang di tempat kerjanya. Seminggu pun berlalu sejak Bintang dan
Ara menghabiskan waktu ke panti jompo, sejak itu pula tak ada komunikasi
diantara keduanya meski sekedar lewat mimpi. Waktu pun sudah sangat larut,
menunjuk ke angka setengah sebelas malam ketika Ara dan Lintang sama-sama sudah
terlelap dalam tidurnya. Malam itu Ara kembali bermimpi. Ia melihat sosok
Bintang sedang dipukuli oleh tiga orang dan Bintang yang berusaha memberi
perlawanan terlihat tidak berdaya karena jumlah lawan yang tak seimbang. Tak
ada seorang pun tampak membantu Bintang saat itu, Bintang seolah hanya bisa
menerima ketika pukulan demi pukulan itu mendarat di tubuhnya.
"Tolong
jangan pukul lagi... tolong hentikan... tolong tolong... tolong...,"
terdengar suara Ara, membuat Lintang yang tertidur disebelah Ara terbangun
kemudian bergegas membangunkan Ara yang terlihat panik dalam tidurnya.
"Bintanggg...,"
ucap Ara lirih ketika ia terbangun dari tidurnya. Lintang terlihat sedang
menatap agak cemas dan setengah bertanya-tanya kearahnya.
"Kamu mimpi
buruk, Ra?"
Ara memandangi sahabatnya itu sejenak lalu mengangguk pelan. Ara mengatur
nafasnya perlahan, tak ada satu kalimat keluar dari mulutnya. Bayangan Bintang
di mimpinya membuat Ara buru-buru mengambil handphonenya yang ia letakkan di
bawah bantalnya.
“Bintang, apa kamu baik-baik
saja?” ketik Ara.
Sementara itu Lintang hanya mengamati setiap gerak-gerik Ara, seolah
menunggu sahabatnya itu sedikit lebih tenang untuk ia melanjutkan
pertanyaannya.
Ara masih menatap layar
handphonenya. ”Semoga kamu baik-baik
saja, Bin,” ujarnya di dalam hati ketika handphone Ara bergetar. Ada panggilan
dari Bintang, Ara buru-buru mengangkatnya, rasa khawatir yang dirasakannya itu
membuat Ara melupakan rasa malunya ke laki-laki itu.
“Assalaamualaikum, Bintang...,” ucap Ara.
“Waalaikumsalam. Raaa...”. Suara Bintang terdengar lirih dan parau
seperti menahan sakit.
“Ya...”, jawab Ara singkat, ia seolah menunggu Bintang untuk bicara
meski kekhawatiran gadis itu makin menjadi.
“Ra..., aku habis dikeroyok orang di taman dekat tempat kita pernah
bertemu. Aku...”.
“Jadi apa yang aku lihat di mimpi itu beneran terjadi. Aku segera
kesana, Bin,” jawab Ara memotong ucapan Bintang sebelumnya.
“Tapi Ra..., kamu perempuan dan
ini sudah sangat malam, Ra,” ujar Bintang.
“Kamu tenang aja, Bin. Aku bakal minta tolong teman aku buat menemani
aku kesana”.
“Makasih. Aku bakal tunggu kamu,” jawab Bintang mengakhiri percakapan
diantara keduanya.
Ara menatap kearah Lintang.
“Bintang habis dikeroyok orang, dia butuh bantuan buat nganterin dia
ke rumah sakit dan balik ke rumahnya, Tang. Aku harus kesana, apa kamu mau
menemani aku?”
“Dikeroyok, kok bisa? Memangnya kondisi Bintang parah Ra? Dia nggak
bisa minta tolong ke orang-orang di sekitar sana?” tanya Lintang.
“Bintang nggak bicara banyak, Tang.
Dan aku lupa menanyakan kondisi Bintang dan kemungkinan dia bisa meminta
bantuan orang-orang di sekitar taman itu. Tapi... dari yang aku lihat di mimpi,
Bintang sepertinya perlu bantuan, Tang...,” jawab Ara.
“Jadi tadi itu kamu panik dalam tidur karena kamu mimpi Bintang dan
lihat dia dikeroyok?”
Ara mengangguk pelan. Lintang tak lagi menanyai sahabatnya itu. Meski
ia tidak terlalu suka Ara berhubungan dengan Bintang, tapi sebagai sahabat,
Lintang memahami apa yang dirasakan Ara saat itu. Tanpa mengulur waktu, Lintang
bergegas menelepon tukang ojek langganannya di pangkalan depan kompleks tempat
kos-nya.
“Makasih banyak ya, Tang. Kamu itu benar-benar sahabat yang baiiik
banget,” ucap Ara tersenyum ke Lintang sambil mereka bersiap-siap.
Lintang balas tersenyum lebih lebar diantara rasa kantuknya. “Karena
aku tahu sahabat aku ini orang yang baik dan tulus”. Keduanya pun tertawa.
45 menit kemudian, Ara dan Lintang pun akhirnya sampai di taman itu.
Tak banyak orang yang masih menghuni taman di malam itu. Ara pun bergegas
mencari keberadaan Bintang ditemani Lintang.
Ara baru akan menelepon Bintang ketika ia melihat seseorang sedang
terduduk setengah meringkuk sambil memegangi perutnya di salah satu bangku tak
jauh dari tempat Ara bertemu Bintang sebelumnya di taman itu.
“Bintang, “ panggil Ara setelah ia melihat lebih jelas.
“Kamu datang, Ra,” jawab Bintang lirih berusaha tersenyum dan
menegakkan tubuhnya untuk duduk sambil memandangi Ara dan Lintang.
Terlihat luka lebam di wajah laki-laki itu.
“Kamu kesini berdua sama Lintang, Ra? Aku pikir kamu bakal ajak teman
laki-laki. Beresiko dan tidak aman perempuan seperti kalian keluar rumah
malam-malam begini, Ra" sambung Bintang justru terdengar gantian khawatir.
Ara tersenyum dan duduk di sebelah Bintang.
"Ini bukan waktunya kamu mengkhawatirkan aku dan Lintang. Gimana
kondisi kamu, Bin?"
"Cuma lebam-lebam aja, Ra. Untungnya mereka mabuknya agak parah
dan ga bawa senjata tajam, jadinya
akhirnya aku bisa melarikan diri dan sembunyi sampai mereka pergi, Ra. Sekarang tolong temani aku pulang
ya".
Ara mengangguk. "Iya, aku dan Lintang bakal temani kamu pulang
setelah kita bawa kamu ke rumah sakit, Bin".
"Tapi Ra aku bisa kompres lebam-lebam aku sendiri...," jawab
Bintang dengan ekspresi berusaha menahan sakit ketika matanya bertemu dengan
mata Ara. Gadis itu terlihat mengkhawatirkannya sehingga Bintang pun memutuskan
mengikuti ucapan gadis itu.
Bintang terlihat kesulitan untuk berdiri apalagi berjalan hingga Ara
dan Lintang pun membantu memapah Bintang berjalan menuju taksi yang sebelumnya
dipesan oleh Lintang. Ketiganya bergegas menuju ke rumah sakit terdekat yang
searah dengan tempat tinggal Bintang. Lintang sengaja memilih duduk di sebelah
sopir menyisakan Ara yang menemani Bintang di bangku belakang. Bintang terlihat
duduk agak meringkuk kesakitan sambil memegangi perutnya.
"Sakit ya, Bin? Maaf aku lama datangnya," ujar Ara dengan
nada sedikit khawatir.
"Gapapa, Ra. Terima kasih karena kamu mau datang. Maaf udah
mengganggu istirahat kamu juga Lintang," sambung Bintang merasa tidak enak
ke kedua gadis itu.
Baik Ara maupun Lintang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum
kearah Bintang.
"Btw, kok kamu bisa sampai dikeroyok, Bin?" tanya Lintang.
"Aku lagi menghabiskan waktu duduk di taman melihati bintang-bintang
yang lagi terang ketika pas mau pulang tiba-tiba aku lihat ada tiga orang mabuk
malah mau menyiksa kucing. Aku berusaha nolongin kucing itu, eh malah jadinya
dikeroyok he he". Bintang terlihat berusaha tertawa sambil meringis
kesakitan.
"Sudah, jangan cerita lagi, Bintang... aku tahu kamu lagi
kesakitan. Sebaiknya kamu coba pejamin mata kamu aja, biar sakitnya ga terlalu
terasa," sambung Ara yang diiyakan oleh Lintang. Bintang tersenyum
menganggukkan kepalanya pelan. Ia mengambil earphone dari saku jaketnya dan
kemudian memejamkan matanya sambil memutar lagu di handphonenya. Sayup terdengar
di telinga Ara yang duduk di sebelah Bintang, laki-laki itu sedang mendengarkan
suara Ara dengan nyanyian bintang kecilnya. Ara pun tersenyum.
Dua puluh menit kemudian, mereka pun tiba di rumah sakit dan
memeriksakan kondisi Bintang disana sebelum akhirnya pulang ke apartemen
Bintang. Ara ingin memastikan bahwa kondisi laki-laki itu baik-baik saja, tidak
ada luka dalam atau hal serius dialami laki-laki itu. Sepanjang perjalanan dari
rumah sakit dan apartemen Bintang tak banyak percakapan diantara mereka,
kecuali Bintang yang beberapa kali memberikan petunjuk arah kepada sopir taksi
yang mereka naiki.
Waktu di arloji Ara menunjukkan lewat pukul satu malam ketika mereka
tiba di depan apartemen Bintang. Seorang satpam terlihat buru-buru menghampiri
Ara dan Lintang yang membantu memapah Bintang.
"Mas Bintang kenapa?" tanya satpam itu, menggantikan Ara dan
Lintang untuk membantu Bintang berjalan. Bintang pun menjelaskan apa yang dialaminya
sambil mereka berjalan menuju kamar Bintang yang berada di lantai 7 sekaligus
mengenalkan Ara dan Lintang kepada satpam apartemen itu.
Lima belas kemudian, tinggallah Bintang, Ara, dan Lintang sedang duduk
di ruang tamu apartemen Bintang selepas satpam berpamitan kepada ketiganya.
Apartemen laki-laki itu cukup luas, ada ruang tamu, dapur sekaligus meja makan,
kamar mandi, dan dua kamar serta balkon disana.
"Ini sudah dini hari, Ra. Sebaiknya kalian tinggal disini dulu,
besok pagi biar aku antar kalian pulang. Kondisi aku insyaa Allah sudah enakan
besok pagi," ucap Bintang membuat Ara dan Lintang saling berpandangan.
Meski kalimat Bintang ada benarnya, ada ragu di hati Ara untuk bermalam di
apartemen Bintang walau ia berdua dengan Lintang, terlebih Bintang laki-laki.
Namun, Ara juga tidak tega meninggalkan Bintang dalam kondisi seperti itu,
siapa tahu laki-laki itu perlu pertolongannya.
"Sebaiknya kamu sekarang istirahat di kamar kamu, Bin.... biar
kondisi kamu segera membaik," ujar Ara tak memberi jawaban apa-apa untuk
tawaran Bintang itu. Ara dan Lintang pun membantu memapah Bintang untuk
berbaring di kamarnya.
"Aku sudah gapapa, kalian istirahat saja di kamar Rion, Ra. Dia
masih lama balik lagi kesini".
"Kamu ga perlu khawatirkan aku dan Lintang, Bin. Kita bisa aja
tidur di ruang tamu. Sekarang ijinin aku kompres lebam-lebam kamu ya,"
sambung Ara sambil tersenyum lebar.
Bintang pun memandangi Ara sejenak. Meski ia baru mengenal gadis itu,
entah kenapa dia merasa nyaman bersamanya sekaligus memercayainya. Sebenarnya
Bintang berniat mengompres sendiri luka memarnya. Namun mendengar tawaran Ara
itu membuat Bintang pun mengangguk pelan. Ia memberi tahu Ara letak batu es dan
juga kain untuk mengompres. Bintang juga memersilahkan Ara dan Lintang untuk
tidak perlu sungkan di apartemennya termasuk kalau keduanya ingin menonton tv atau
membuat minuman atau mengambil makanan yang ada disana. Beberapa menit
kemudian, Ara pun sibuk mengompres luka lebam di tangan dan wajah Bintang
sementara Bintang terlihat masih memegangi perutnya yang masih sakit.
"Perut kamu masih berasa sakit banget ya, Bin?" tanya Ara
dijawab anggukan pelan Bintang. Ara pun mengambil sebotol kaca air es di
lemari es Bintang kemudian menaruhnya persis diatas perut Bintang, membiarkan
Bintang memegangi botol itu.
Lintang terlihat membawakan Bintang segelas coklat panas serta segelas air putih dan meletakkannya di meja sebelah tempat tidur Bintang.
"Makasih banyak buat semuanya," ucap Bintang tersenyum ke
Ara dan Lintang dibalas senyuman yang lebih lebar dari keduanya. Ara pun
membantu Bintang meminum coklat buatan Lintang kemudian melanjutkan mengompres
lebam Bintang dengan es batu sementara Lintang terlihat duduk menemani Ara.
"Jadi kamu bermimpi aku dikeroyok, Ra?" tanya Bintang. Ara menatap Bintang yang
sedang menatapnya kemudian ia mengangguk pelan.
"Ara sampai teriak minta tolong didalam tidurnya, Bin, "
jelas Lintang.
Bintang lagi-lagi menatap Ara, membuat gadis itu tiba-tiba salah
tingkah dan memilih menatap ke luka-luka memar laki-laki itu sembari
mengompresnya.
"Maaf sudah membuat kamu ikut khawatir, Ra. Maaf karena kamu jadi
melihat sisi lemah aku yang tidak menyenangkan untuk dilihat," sambung
Bintang. Ara tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan.
"Sebaiknya sekarang kamu tidur, Bintang". Pandangan Ara pun
bertemu dengan mata sayu laki-laki yang mengangguk kepadanya itu.
"Kamu dan Lintang juga sebaiknya tidur, Ra. Kalau perlu selimut,
ambil saja di lemari atau pake selimut di kamar Rion juga bebas saja".
Ara mengangguk. "Iya, aku dan Lintang akan tidur setelah kamu
tidur, Bin," jawab Ara dibalas senyuman Bintang. Laki-laki itu pun mulai
memejamkan matanya ketika Ara tiba-tiba teringat sesuatu.
"Bin, hampir lupa kamu belum minum obat penurun demamnya. Minum
dulu ya, " ujar Ara pelan. Suhu badan Bintang memang naik setelah tubuhnya
dipukuli, lumayan panas saat Ara mengompres luka lebamnya.
Mata Bintang kembali terbuka, lagi-lagi ia tersenyum ke Ara. "Aku
baik-baik saja, Ra. Besok pagi juga demamnya bakal turun sendiri".
Bintang kembali terpejam, Ara pun menyelimuti tubuh Bintang sebelum
kemudian ia dan Lintang keluar dari kamar Bintang. Lintang langsung berbaring
di sofa ruang tamu Bintang yang berbentuk huruf L itu sementara Ara masih
terduduk disisi satunya, memandangi tiap sudut apartemen laki-laki itu. Dimata Ara, kehidupan Bintang cukup mapan,
tapi entah kenapa kemapanan dan semua kelebihan laki-laki itu tak bisa
“membeli” kebahagiaan di hati Bintang. Ara hendak ke dapur, ingin membuat
minuman hangat dan ingin menawari Lintang ketika ia lihat sahabatnya itu sudah
terlelap.
“Kamu pasti kecapekan ya, Tang. Maaf jadi ngerepotin kamu, padahal
nanti sore kamu harus kerja lagi” ujar Ara lirih merasa bersalah ke sahabatnya
itu.
Ara hendak mengambilkan selimut untuk Lintang di lemari Bintang ketika
ia lihat laki-laki itu menggigil dalam tidurnya. Ragu, Ara mendekati
Bintang dan menempelkan punggung telapak tangannya ke kening Bintang, suhu
badan Bintang lebih panas dari sebelumnya. Ara pun segera mengambil
air dan mencuci handuk kecil untuk kembali mengompres Bintang setelah
sebelumnya tak lupa ia menyelimuti Lintang.
Ara kembali duduk di sebelah Bintang dan mengompres kening laki-laki
yang menggigil itu, ketika Bintang tiba-tiba membuka matanya dan menatap Ara.
“Kamu belum tidur, Ra?” tanyanya sambil tersenyum lirih.
Ara balas tersenyum lebih lebar,
“Kamu menggigil, Bintang..., badan kamu panas banget jadi aku kompres kening
kamu. Kamu minum dulu obat penurun demamnya, ya”. Bintang menganggukkan
kepalanya pelan. Setelah Ara membantu Bintang meminum obatnya, laki-laki itu
kembali tertidur.
Waktu menunjukkan hampir jam tiga pagi dan Ara masih duduk di sebelah
Bintang, beberapa kali mengganti kompres di kening Bintang yang masih panas itu
ketika ia mendengar Bintang mengigau dalam demamnya. “Nek... Bintang kangen
sama Nenek... jangan tinggalin Bintang, Nek... maafin Bintang, Nek...”.
Ara berusaha menenangkan Bintang yang terpejam itu. “Aku tahu kamu
kangen sama Nenek kamu, Bin, tapi kamu harus mengikhlaskan kepergian beliau dan
berhenti menyalahkan diri kamu, Bin. Meski Nenek kamu sudah tiada, beliau dan
kasih sayang beliau akan selalu hidup di hati kamu”.
Bintang masih tetap mengigau memanggil neneknya, membuat Ara teringat
sesuatu. Ara mengambil handphone berikut earphone Bintang yang tergeletak di
atas meja di dekat tempat tidur Bintang ketika ia melihat foto hitam putih di
sebuah figura, anak kecil dan juga seorang perempuan tua sedang tersenyum. “Ini
pasti Bintang dan neneknya,” ujar Ara tersenyum lembut menyentuh gambar di
figura itu ketika ia kembali mendengar Bintang lirih memanggil-manggil
neneknya.
Ara membuka handphone Bintang dan mencari daftar putar musik Bintang
ketika ia melihat sebuah judul lagu, “Bintang Kecil-Ara”, dan memutarnya pelan.
Ara tersenyum mendengarkan suaranya sendiri yang direkam oleh Bintang itu. Ara
pun mengatur daftar musik di handphone Bintang agar lagu itu bisa diputar
berulang-ulang kemudian perlahan-lahan memasangkan earphone ke kedua telinga
Bintang dan memutarkan lagu itu untuk Bintang. Ara tidak ingin membuat Bintang
terbangun dan ia pun berharap lagu itu bisa membuat Bintang lebih tenang. Sesuai dugaan, Bintang tak lagi terdengar
memanggil neneknya setelah lagu itu diputarkan Ara. Ara tersenyum lega
melihatnya.
Waktu menunjukkan pukul 04.49 ketika Bintang membuka matanya, bangun
dari tidurnya, ketika lagu Bintang Kecil masih mengalun di telinganya dan ia
melihat Ara sedang tertidur duduk di sebelah tempat tidurnya.
“Kamu yang memutarkan lagu ini
di telinga aku ya, Ra?” batin Bintang sambil tersenyum kearah Ara dan
mematikan pemutar musiknya lalu meletakkan kembali handphonenya di meja. Handuk
kompresan itu masih menempel di keningnya meski demamnya sudah lumayan turun.
Bintang hendak menyelimuti Ara dengan selimutnya ketika gadis itu tiba-tiba
terbangun.
“Kamu bangun, Bintang? Maaf aku ketiduran,” ucap Ara sambil melirik ke
arlojinya dan mengucek-ucek matanya.
Bintang tersenyum ke Ara, “Gapapa, Ra. Aku yang seharusnya minta maaf
karena sudah membuat kamu ngejagain aku semalaman. Maaf merepotkan kamu, Ra”.
Ara balas tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya. “Gimana
demam kamu, Bin? Terakhir aku terjaga, seingatku kamu udah nggak menggigil lagi.
Apa luka memar kamu masih terasa sakit?”.
“Aku udah ngerasa enakan kok, Ra”.
Ara menempelkan punggung telapak tangan Ara ke kening Bintang, suhu
badan laki-laki itu masih hangat tapi tidak lagi panas seperti sebelumnya.
“Oh iya, Lintang tidur dimana jadinya, Ra?”
“Lintang tidur di sofa ruang tamu, Bin”.
Bintang menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ara hendak membereskan
baskom berisi air kompresan dan handuk kecil ke dapur ketika ia melihat lagi
foto hitam putih Bintang dan neneknya itu, Ara pun memegangi foto itu.
“Ini foto kamu dan nenek kamu ya, Bin?” tanya Ara tersenyum lembut
kepada Bintang.
Bintang menatap foto yang dipegang Ara itu kemudian tersenyum dan
menganggukkan kepalanya.
“Kamu lucu banget disini, Bin. Nenek kamu juga
terlihat cantik dan sangat penyayang banget kelihatannya ya,” sambung Ara
menoleh kearah Bintang.
Bintang menganggukkan kepalanya sambil tersenyum,
membalas senyum Ara kepadanya. Bintang mengambil figura yang dipegang Ara
tersebut kemudian menatap foto itu agak lama dalam diam, membuat Ara yang
memandangi laki-laki itu ikut merasakan kerinduan Bintang saat itu.
“Dua minggu lagi, aku rencananya mau mengunjungi
Nenek aku di daerah Puncak. Apa kamu mau ikut, Bintang?” tanya Ara akhirnya
menawari Bintang meski ada ragu di hatinya mengajak laki-laki asing menemui
neneknya. Ara hanya berpikir siapa tahu Nenek Ara yang ceria ke siapa saja itu
bisa mengobati rasa kangen Bintang ke neneknya. Ara ingin Bintang bisa
melepaskan perasaan Bintang tentang neneknya yang selama ini masih tetap
tertahan di hati Bintang.
Bintang balas menatap kearah Ara yang tersenyum
kepadanya.
“Nenek aku itu orangnya rame dan cepat akrab ke
siapa aja, siapa tahu bisa mengobati rasa kangen kamu,” sambung Ara menjelaskan
niatannya itu.
Terlihat Bintang sedang berpikir sejenak akan
tawaran Ara itu ketika kemudian ia menganggukkan kepalanya pelan.
“Kalau kamu ga keberatan aku ikut, aku mau, Ra...,”
jawab Bintang tersenyum lebih lebar. Ara pun menganggukkan kepalanya, ikut
tersenyum lebih lebar.
“Gimana kalau kita ke tempat Nenek kamu naik mobil
aku, Ra?” usul Bintang kemudian.
Ara tersenyum sambil menatap sejenak laki-laki itu
kemudian menggelengkan kepalanya.
“Aku tetap naik bis aja kesana, Bin. Kalau kamu mau
naik mobil kamu, terserah saja, nanti biar aku berikan rute dan alamatnya ke
kamu,” jawab Ara. Meski Ara ingin membantu Bintang untuk melepaskan perasaannya
dengan menemui Nenek Ara, tapi Ara dan Bintang tetap sepasang laki-laki dan
perempuan. Ara merasa risih kalau dia
pergi berduaan dengan laki-laki itu naik mobil Bintang ke rumah Neneknya, meski
tujuan mereka sama.
Bintang
menatap Ara sejenak kemudian tersenyum seolah memahami rasa risih gadis itu
atas usulannya, “Kalau gitu, aku naik bis bareng kamu aja, Ra”. Keduanya pun
saling berbalas senyum lebih lebar satu sama lain.
“Oh iya, Bin... aku mau numpang sholat, arah
kiblatnya kemana ya?” tanya Ara melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul
05.05.
Bintang pun mengambilkan sajadah miliknya dan
memberikannya ke Ara sambil menunjukkan arah kiblat ke gadis itu.
“Atau kamu mau duluan sholatnya, Bin?” tanya Ara.
“Kamu duluan aja, Ra. Aku mau mandi dulu soalnya,
biar agak segeran he he. Udah kamu wudlu dan sholat aja, Ra. Biar aku yang
membawa baskom kompresan ini ke dapur ya”.
Ara baru menyelesaikan wudlunya dan Bintang baru
keluar dari kamarnya hendak mandi ketika keduanya berpapasan.
“Kamu nggak bangunin Lintang, Ra?” tanya Bintang.
“Biarin aja Lintang tidur lebih lama, Bin. Dia pasti kecapekan. Lagipula dia sedang
nggak sholat juga,” jawab Ara melirihkan suaranya diikuti anggukan Bintang.
“Aku sudah mengganggu istirahat kamu dan Lintang, ya
Ra... Maaf ya,” sambung Bintang merasa bersalah.
“Berhenti menyalahkan diri kamu, Bintang. Kamu ga
pernah memaksa aku melakukan ini semua, aku melakukannya dengan sukarela. Dan
Lintang, aku tahu dia melakukannya dengan sukarela karena dia sahabat yang
baik,” jawab Ara tersenyum kearah Bintang kemudian memandangi Lintang yang
masih lelap dalam tidurnya.
Beberapa menit kemudian, Bintang baru selesai mandi
dan berwudlu ketika ia melihat Ara yang masih mengenakan mukenanya sedang duduk
di sebelah Lintang dan asyik mengaji dengan suara lirih menggunakan aplikasi
Alquran di handphonenya. Bintang hanya tersenyum melihatnya kemudian segera
masuk ke kamarnya untuk segera sholat.
Lima belas menit kemudian, Bintang terlihat sedang
mengintip dari kamarnya, melihat Ara yang sedang membetulkan selimut Lintang
dan memasukkan kembali mukenanya ke dalam tasnya. Sudah lima menit laki-laki
itu berdiri dan mengintip disana, mengamati Ara. Bintang kadang merasa heran
kenapa gadis itu sangat baik kepadanya dan entah kenapa dirinya pun semakin
merasa nyaman menerima kebaikan gadis itu. Padahal mereka baru saja saling
mengenal.
“Kamu dan Lintang mau sarapan apa, Ra?” tanya
Bintang memelankan suaranya agar Lintang tidak terbangun.
“Terserah aja, Bin. Kita olah yang ada di dapur
kamu saja,” jawab Ara pelan sambil tersenyum lebar dibalas anggukan Bintang
dengan senyuman yang tak kalah lebar. Bintang dan Ara pun bergegas menuju
dapur. Ada beberapa butir telur di lemari es Bintang dan sebungkus roti tawar
di meja makan beserta mentega dan selai coklat.
“Kita bikin roti bakar sama telur orak-arik aja, ya
Ra,” tawar Bintang dibalas anggukan kepala Ara yang terlihat ceria pagi itu.
“Udah, kamu duduk aja, Bin menunggu
sarapannya jadi, kan kondisi kamu baru pulih. Lagipula menunya kan sederhana,
aku bisa aja kok,” sambung Ara tertawa kecil.
Bintang pun menuruti perkataan Ara, ia duduk
menghadap meja makan minimalis di dapurnya itu sambil memerhatikan gerak-gerik
Ara. Ara terlihat sedang menyiapkan tiga gelas untuk membuat minuman buat
dirinya, Bintang, dan Lintang
“Kamu mau minum apa?” tanya Ara.
“Kopi susu, Ra...,” jawab Bintang sambil
mengeluarkan susu cair dari lemari es dan menaruhnya di sebelah Ara sambil
memberikan mug yang biasanya ia gunakan ke Ara.
“Kopinya satu sendok takar, gulanya dua sendok, dan
susu cairnya seperempat mug,” sambung Bintang tertawa kecil diikuti tawa Ara.
Ara pun meracik minuman pesanan laki-laki itu sambil menyeduh teh untuk dirinya
dan Lintang, sementara Bintang kembali duduk ke tempatnya.
“Tadi aku lihat kamu sedang mengaji, Ra. Sedang
mengaji harian ya, Ra?” tanya Bintang menatap Ara yang berdiri membelakanginya.
Ara tersenyum tanpa menoleh, “Nggak... tadi aku
membaca satu surat aja, Bin. Aku berdoa semoga makin banyak kebaikan dan
kebahagiaan buat kamu di tempat ini, layaknya apartemen kamu yang indah ini”.
Ara menaruh minuman Bintang di hadapan Bintang yang
mengucapkan terima kasih kepadanya, menyadari laki-laki itu sedang menatap
kearahnya.
Ara tersenyum lebar kepadanya, “Dengan semua hal
yang kamu miliki, seharusnya kamu bisa lebih bahagia, Bintang”.
Bintang balas tersenyum dan menganggukkan
kepalanya. “Sayangnya tidak semua bisa dibeli dengan uang dan kemapanan, Ra”.
Ara mengambil tehnya dan Lintang, menaruhnya di
meja makan kemudian duduk tak jauh dari Bintang. “Kamu benar, kadang saat kita
meraih kemapanan, kita menukar kebahagiaan-kebahagiaan kecil dengannya. Tapi aku
yakin kita bisa meraih lagi kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu jika kita mau,
Bin,” sambung Ara sambil tersenyum riang kepada Bintang. Gadis itu kembali melanjutkan
aktivitasnya membuat telur orak-arik, sementara laki-laki bernama Bintang itu
masih tetap mengamatinya sambil menyeruput kopi susunya.
Ara menaruh tiga piring berisi telur orak–arik itu
ke meja makan kemudian kembali duduk di dekat Bintang, hendak menyiapkan
membuat roti bakar.
“Kalau kamu pastinya roti rasa selai coklat, ya
Bin?” tanya Ara dengan semangat, ia teringat Bintang pernah bercerita kepadanya
tentang kesukaannya akan coklat.
Bintang mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Oh iya Ra, bicara tentang roti, kotak makan kamu masih di aku, tapi aku taruh
di kantor,” ujar Bintang sambil meringis.
Ara tertawa kecil, “Gapapa, Bintang. Kamu bisa
mengembalikannya lain kali”.
“Kalau kamu sama Lintang mau roti isi coklat juga,
Ra?” ujar Bintang balik bertanya.
“Kami roti sama mentega aja,” jawab Ara balas
tersenyum.
Ara terlihat mengolesi roti dengan selai coklat
buat Bintang, sementara Bintang ikut mengolesi roti dengan mentega buat Ara dan
Lintang.
“Terima kasih buat semua kebaikan kamu, Ra. Jujur
aku suka bertanya, kenapa kamu baik banget ke aku, Ra...,” ujar Bintang menatap
kearah Ara.
Ara tersenyum, menatap sejenak mata laki-laki itu
kemudian memilih menatap roti-roti di hadapannya itu karena hatinya tiba-tiba
merasa deg-deg-an kala itu, entah kenapa.
“Aku sendiri ga tau kenapa aku peduli ke kamu
seperti ini, Bintang. Aku... aku cuma mengikuti kata hati aku aja. Aku berharap
bisa membantu kamu lebih bahagia dan lebih banyak tersenyum, Bintang. Aku berharap semoga apa yang aku lakukan tidak
berlebihan ya,” sambung Ara sambil mengolesi mentega disisi luar dua roti yang
sudah diberikan coklat dan mentega di tengahnya itu. Bintang masih tetap
menatap perempuan itu. Dirinya sendiri pun bingung dengan semua yang terjadi
diantara keduanya, dua orang asing yang perlahan-lahan mendekat dengan
kejadian-kejadian yang tak pernah dibayangkan Bintang sebelumnya. Anehnya,
Bintang memercayai ketulusan gadis itu, meski belum banyak yang ia tahu
tentangnya.
“Aku percaya
kalau kamu itu orang baik, Ra. Tuhan mempertemukan aku dengan kamu mungkin
karena kamu bisa menyeimbangkan aku, membantu aku menjadi manusia yang lebih
banyak tersenyum, lebih banyak bersyukur dan lebih baik lagi,” sambung Bintang
membuat Ara tertegun dan menoleh kearah laki-laki itu.
“Emmm...,emmm maksud aku sebagai teman, Ra,” jelas
Bintang sambil tersenyum lebih lebar membuat Ara pun balas tersenyum canggung
dan menganggukkan kepalanya pelan.
Ara pun berdiri, memasukkan roti ke alat pemanggang
roti milik Bintang.
“Oh iya, apa kabarnya kamu dan mantan cewek kamu
Bin? Apa hubungan pertemanan kalian sudah kembali baik?” tanya Ara berusaha
mencairkan suasana diantara dirinya dan Bintang.
“Aku belum pernah bertemu dan berkomunikasi lagi
dengan Zetta setelah kejadian di mall waktu itu, Ra... . Kamu sendiri, apa kamu
pernah punya seseorang laki-laki yang istimewa di hati kamu, Ra?”
Ara tersenyum sambil menyusun roti yang matang itu
di piring.
“Dulu aku pernah menyukai seseorang, teman kecil
aku waktu SD. Kami bersahabat, sampai kemudian aku menyadari ada perasaan yang
lain ke dia waktu aku dan dia duduk di kelas 3 SMP dan kami beda sekolah. Dia
itu orang yang selalu ingin membuat aku tertawa dan tersenyum apapun
situasinya. Tujuh tahun kami bersahabat, tiga tahun aku menyadari perasaan suka
aku ke dia, sampai kemudian dia pergi selamanya, tanpa mengijinkan aku tahu
tentang penyakitnya kecuali saat terakhir dia mau pergi”. Gadis itu
menghentikan ceritanya, terdengar ia menarik nafasnya dalam-dalam seolah ingin
menata perasaannya yang seolah kembali kepada kenangannya tentang cinta
pertamanya. Sementara itu, Bintang terlihat memandangi punggung gadis itu.
Ara meletakkan piring yang berisi roti bakar itu ke
piring masing-masing. Bintang terlihat mengamati gadis itu. “Maaf, aku tidak
bermaksud membuat kamu jadi sedih, Ra,” ujar Bintang pelan.
Ara tersenyum lebar dan menggelengkan kepalanya
pelan. “Aku sudah mengikhlaskan kepergian dia, Bin. Buat aku, dia akan selalu
hidup di hati dan kenangan aku, salah satu laki-laki baik yang pernah Tuhan
hadirkan dalam kehidupan aku. Kita harus hidup untuk masa sekarang dan masa
depan, Bintang. Mendoakannya adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan buat dia,
tapi aku juga yakin Tuhan menyiapkan seseorang laki-laki baik sebagai teman
hidup aku di waktu yang tepat”.
Bintang tersenyum tak kalah lebar, senyuman
perempuan ini membuat Bintang menyadari bahwa kebahagiaan itu sederhana,
termasuk saat kita bisa mengikhlaskan kesedihan dan lebih banyak berprasangka
baik kepada Tuhan.
“Sarapan sudah siap, aku bangunin Lintang dulu
ya,”ujar Ara diikuti anggukan Bintang.
Sepuluh menit kemudian, ketiganya pun sedang asyik
mengobrol santai sambil menikmati sarapan di meja makan.
“Sekali lagi maaf ya Lintang untuk kejadian di kafe
dulu waktu mantan pacar aku tiba-tiba ngelabrak kamu,” ujar Bintang kembali
meminta maaf. Bintang merasa perlu mengulanginya lagi karena permintaan maafnya
masih terasa belum tuntas buat Lintang.
Lintang tersenyum sambil menyantap roti bakarnya.
“Aku sudah memaafkannya, Bin. Aku cuma ga ingin kamu menyakiti Ara, itu aja,”
ujar Lintang sambil menatap serius ke laki-laki itu kemudian tersenyum kearah
Ara yang balas tersenyum kepada Lintang.
Bintang menganggukkan kepalanya pelan, seolah
berjanji dia akan berusaha untuk tidak menyakiti sahabat Lintang itu.
“Habis sarapan, biar aku antar kalian pulang ya.
Terima kasih dan maaf sekali lagi karena udah merepotkan dan mengganggu waktu
istirahat kalian berdua,” ujar Bintang tersenyum kepada Ara dan Lintang.
“Berapa kali harus aku katakan Bintang, ga ada yang
perlu dimaafkan. Lagipula namanya juga musibah, ga ada yang tahu kapan
terjadinya, Bin,” jawab Ara yang langsung diiyakan oleh Lintang.
“Tapi lain kali, kalau kamu mau bertindak meskipun
itu niatnya baik, kamu juga harus memperhitungkan kemampuan kamu, jangan membahayakan
diri sendiri. Lain kali lebih hati-hati ya,” lanjut Ara sambil tersenyum lebih
lebar dibalas anggukan kepala dari Bintang.
Setelah Ara dan Lintang mencuci piring dan gelas
serta perkakas kotor di dapur Bintang dan Bintang membersihkan meja makan,
Bintang pun mengantarkan keduanya pulang ke tempat kos masing-masing.
Tak banyak perbincangan diantara ketiganya kecuali
membahas tentang musik yang sedang diputar di mobil Bintang. Bintang
mengantarkan Lintang terlebih dahulu baru kemudian mengantarkan Ara.
Sepanjang perjalanan menuju tempat kos Ara,
keduanya pun kembali membahas rencana mereka pergi ke rumah Nenek Ara.
“Beneran gapapa, Ra kalau aku ikut ke rumah Nenek
kamu? Jangan-jangan aku malah mengganggu liburan kamu,” tanya Bintang.
Ara tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya,
“Gapapa, Bintang. Nanti di tempat Nenek aku, kita bisa bakar jagung dan ubi
malam-malamnya, Bin he he. Kita berangkatnya Sabtu pagi dan pulang Minggu siang
dari sana”.
Bintang tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya
melihat keriangan dan semangat gadis yang duduk disebelahnya itu.
“Kira-kira aku perlu bawain apa buat Nenek kamu,
Ra?” tanya Bintang bersemangat membuat Ara langsung menoleh kearah laki-laki
yang sedang fokus menyetir itu dan Ara pun tertawa kecil.
“Ga usah bawain apa-apa, Bin. Biar aku aja yang
beliin kue bolu buat Nenek. Kamu bawa diri aja, he he”.
“Masak aku ga bawa apa-apa, Ra? Kan aku udah
ngegangguin kebersamaan kamu sama Nenek kamu, Ra,” ujar Bintang lagi.
Ara lagi-lagi tersenyum, “Beneran Bintang... kamu
ga perlu bawa apa-apa buat Nenek aku. Kalo kamu bawa sesuatu, yang ada ntar
Nenek aku mengira kamu ada udang di balik rempeyek sama cucunya ini”. Ucapan
Ara itu pun membuat keduanya pecah dalam tawa seketika, terlihat Bintang
mengangguk-anggukan kepalanya sementara Ara tertawa melihati laki-laki itu. Ara
suka melihat Bintang lebih banyak tertawa seperti itu.
Tak lama kemudian mereka pun akhirnya tiba di depan
tempas kos Ara. Ara hendak membuka pintu mobil Bintang ketika Bintang
memanggilnya. Ia pun menoleh kearah Bintang yang terlihat tersenyum dan
menatapnya.
“Semalam... kamu memasangkan earphone dan
memutarkan lagu Bintang Kecil di telinga aku, ya?” tanya Bintang membuat Ara
terdiam sejenak kemudian menganggukkan kepalanya pelan.
“Dini hari
tadi kamu demam menggigil dan mengigau memanggil-manggil Nenek kamu, Bin. Itu
sebabnya aku putarkan lagu itu di telinga kamu. Maaf kalau aku lancang,” jawab
Ara pelan menundukkan kepalanya, tiba-tiba ia merasa tidak enak hati ke
Bintang. Sejenak hening menyapa diantara keduanya.
“Terima kasih banyak, Ra. Terima kasih karena kamu
sudah menjadi teman yang baik, yang memahami aku di saat-saat lemah aku,” ucap
Bintang membuat gadis itu menatap kembali Bintang dan tersenyum kepadanya.
“Aku berharap lain kali aku bisa melakukan hal yang
sama buat kamu, Ra. Aku berharap bisa menjadi teman yang baik di saat-saat
lemah atau sedih kamu,” sambung laki-laki itu sambil tersenyum tak kalah lebar
ke Ara, membuat Ara menganggukkan pelan kepalanya sambil tetap tersenyum. Entah
kenapa hati Ara terasa berdetak lebih cepat seketika itu, Ara berusaha
cepat-cepat menetralkannya dan bergegas membuka pintu mobil Bintang.
“Sampai bertemu lagi, Bin,” ujar Ara tersenyum
sambil keluar dari mobil Bintang dibalas anggukan kepala dan senyuman lebar
Bintang. Setelah saling berbalas salam, Bintang pun perlahan melajukan
mobilnya, bergerak menjauh dari Ara yang masih berdiri di tempatnya turun tadi
dan masih melihati kearahnya. “Sampai bertemu lagi dan lagi, Ara...,” ucap
Bintang lirih sambil tersenyum melihati Ara dari kaca spionnya.
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar