Tiga hari
berlalu sejak Nisa membuat rangkuman materi kuliah untuk Riza. Tiap satu
catatan materi selesai, Nisa segera menitipkan catatan-catatan buat Riza itu
lewat Ana. Riza pun masih setia dengan kalimat luar biasanya buat Nisa, ‘Maukah Kamu Menikah Denganku?’, membuat
Nisa makin tersentuh dengan kegigihan laki-laki itu. Di satu sisi, apa yang
dilakukan laki-laki itu membuat Nisa makin tidak ingin membebani sekaligus
tidak ingin membuat Riza sedih karenanya. Itu sebabnya, tiap kali Riza
mengirimkan kalimat istimewa itu, Nisa hanya membalas dengan kalimat yang bermakna sama.
“Terima kasih untuk kegigihan kamu Riz, aku
benar-benar tersentuh. Maaf, jawaban aku masih sama seperti sebelumnya. Apapun
itu, kamu harus tetap semangat menyelesaikan tanggung jawab kuliah kamu dengan
baik ya. Tetap semangat kuliah sambil kerja, Riza. You are the strong one :)”.
Mengetahui Nisa yang membuatkan rangkuman-rangkuman materi kuliah untuknya, membuat Riza semakin mantab untuk memperjuangkan perasaannya kepada Nisa. Riza semakin yakin bahwa sebenarnya Nisa punya perasaan yang sama kepada Riza. Riza hanya perlu kesabaran dan kegigihan untuk mengubah penolakan demi penolakan gadis itu terhadap lamarannya agar berubah menjadi jawaban ‘iya’, Riza hanya perlu waktu.
Mengetahui Nisa yang membuatkan rangkuman-rangkuman materi kuliah untuknya, membuat Riza semakin mantab untuk memperjuangkan perasaannya kepada Nisa. Riza semakin yakin bahwa sebenarnya Nisa punya perasaan yang sama kepada Riza. Riza hanya perlu kesabaran dan kegigihan untuk mengubah penolakan demi penolakan gadis itu terhadap lamarannya agar berubah menjadi jawaban ‘iya’, Riza hanya perlu waktu.
Catatan-catatan
kecil Nisa untuknya itu pun hampir selalu dibawa Riza kemana-mana, menjadi
salah satu semangat Riza untuk bisa menjalani kedua tanggung jawabnya, kuliah
dan kerja, dengan baik.
Minggu itu
adalah minggu ujian baik bagi Riza maupun Nisa. Keduanya sama-sama disibukkan
dengan belajar untuk ujian. Meski demikian, tiap hari Riza tetap setia dengan
kalimat ajaibnya buat Nisa ‘Maukah Kamu
Menikah Denganku?’ ditambahi dengan beberapa tambahan kalimat semangat.
Rabu di minggu itu, Nisa baru saja tiba di tempat kosnya ketika ia berpapasan
dengan Ana yang terlihat bersiap-siap berangkat ke kampus.
“Ujian
siang, Na?” tanya Nisa tersenyum kepada Ana, dibalas dengan anggukan dan
senyuman penuh semangat dari Ana.
“Oh iya,
kamu pernah bertemu Riza lagi ga Nis?” tanya Ana sambil menalikan sepatunya.
“Enggak,
emangnya ada apa dengan Riza, Na?” ucap Nisa balas bertanya.
“Tuh anak kelihatan capek banget dan ngantuk
di ruang ujian, bahkan kemarin dia nyaris ga bisa ujian karena telat masuk.
Untung masih ditoleransi sama dosen yang ngejaga. Dia masih kerja sore sampai
pagi ya?” sambung Ana sambil menatap Nisa yang juga sedang menatap kearahnya.
Nisa
menganggukkan kepalanya pelan. “Tapi... dia selalu masuk dan ga pernah absen
kan, Na?”
“Setahu aku
sih, dia selalu masuk meski dengan kondisi yang seringkali terlihat lelah itu.
Cuma kadang Riza suka jadi bahan perbincangan temen-temen cewek di kelas, pada
bingung kenapa Riza jadi berubah drastis gitu”.
Nisa hanya
tersenyum, ia paham tidak mudah pastinya bagi Riza mengubah siklus
kesehariannya setelah memutuskan bekerja.
“Kalian
hari ini ujian jam berapa, Na?”
“Jam dua
sampai jam empat sore, Nis. Kamu mau nemuin Riza ya?” tanya Ana tersenyum
setengah menggoda Nisa.
Nisa pun
tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Tempat
ujian aku sama Riza di kelas yang dulu kamu nunggu Riza, Nis. Ya udah aku
berangkat dulu, ya Nis”.
“Semangat
Ana, good luck yaaa”.
Nisa
bergegas membuka pintu kamarnya dan segera menyantap makan siang yang dibelinya
dan sholat kemudian bergegas berangkat ke kampus lagi. Arloji di tangannya
menunjukkan pukul 13.30 saat itu.
15 menit
kemudian, Nisa sudah duduk manis di bangku yang berada tak jauh dari kelas
tempat Riza ujian, bak seorang detektif yang sedang melakukan pengamatan.
Terlihat beberapa teman sekelas Riza ramai memasuki ruang ujian, tapi sejak
Nisa datang ia tak juga melihat sosok Riza diantara orang-orang yang masuk
ruangan itu. Nisa melirik kearah arlojinya, pukul 13.52, delapan menit lagi
sebelum ujian Riza dimulai hari itu. “Semoga
saja Riza sudah ada di dalam,” batin Nisa ketika terlihat seseorang berlari
terburu-buru lewat di depannya kemudian bergegas masuk ke kelas tersebut dan
ternyata itu Riza. Penampilan laki-laki itu sekilas terlihat agak awut-awutan.
“Pasti ga mudah menjalani dua tanggung jawab dengan baik, ya Riz. Semangat
Riza, good luck!” ucap Nisa lirih sambil tersenyum seolah ia sedang bicara
dihadapan Riza.
Tiga puluh
menit kemudian, Nisa terlihat berjalan mengintip lewat kaca di pintu kelas
tempat Riza ujian, ingin melihat sekilas keberadaan laki-laki istimewanya itu
ketika pandangannya tertuju di bangku pojok depan yang berseberangan dengan
pintu masuk. Riza terlihat serius mengerjakan ujiannya, beberapa kali terlihat
Riza menutup mulutnya karena menguap sambil terus menuliskan jawabannya di
lembar ujian.
“Pasti kamu kurang tidur, ya Riz,” batin Nisa
kemudian kembali duduk di bangku tunggu. Nisa pun membuka-buka catatannya. Esok
hari, ada dua ujian yang harus dijalani Nisa, ujian teori dan praktik. Ujian
praktiknya tentang sketsa sudah dicicil Nisa sebagian, oleh karenanya Nisa
memanfaatkan waktunya untuk belajar buat ujian teorinya. Waktu di arloji Nisa
menunjukkan pukul 15.00, Nisa bergegas melangkah ke kantin fakultas ekonomi dan
membeli dua gelas kopi buat dirinya dan Riza. Beberapa saat kemudian Nisa kembali
duduk di bangku semula sambil menunggu Riza keluar dari ruang ujian. Nisa
mengambil HP di tas ranselnya kemudian menuliskan sebuah pesan via whattsapp buat Riza berharap Riza akan
membacanya.
“Selesai ujian, tolong temuin aku sebentar di
bangku tunggu di dekat ruang ujian kamu ya, Riz. Ada yang mau aku omongin:)”.
45 menit
kemudian, terlihat beberapa orang keluar dari ruang ujian Riza, Nisa terlihat
mengamati satu per satu wajah-wajah itu, tidak ingin pandangannya sampai
melewatkan Riza. Semakin mendekati jam empat sore, makin banyak mahasiswa/i
yang keluar dari ruangan ujian, termasuk juga Ana.
“Kok Riza belum keluar juga ya? Semoga kamu
sukses menyelesaikan ujian kamu hari ini, Riz,” batin Nisa.
Lima menit
kemudian, terlihat laki-laki yang ditunggunya itu keluar dari ruang ujian dan
bergegas berjalan menuju parkiran, Nisa pun bergegas menghampiri Riza.
“Gimana
ujiannya, Riz...?” tanya Nisa membuat Riza langsung mendongakkan pandangannya
menatap gadis yang sedang membawa 2 gelas kopi di depannya.
“Nisa...
kok kamu ada disini?”
Nisa
tersenyum lebar. “Aku sengaja nungguin kamu keluar dari ruang ujian, ini aku
bawain kopi buat kamu,” lanjut Nisa sambil menyodorkan segelas kopi ke Riza.
Laki-laki
itu balas tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih kemudian langsung
meminum beberapa teguk kopi di tangannya.
“Kamu tahu
aja kalau aku lagi ngantuk banget, Nis,” ujar Riza sambil mengucek-ngucek
matanya.
“Ya taulah,
orang aku mondar-mandir beberapa kali di depan kelas kamu dan ngelihatin kamu
beberapa kali nguap di pojok depan, Riz,” jawab Nisa dengan tawa kecilnya
membuat Riza menoleh setengah tertegun kearahnya.
“Jangan
bilang kalau kamu sengaja mengawasi aku selama ujian tadi, Nis?” tanya Riza
tersenyum dengan pandangan penasaran ke Nisa. Nisa menganggukkan kepalanya
sambil meringis.
“Iya, he
he. Tadi kebetulan aku berpapasan dengan Ana di kosan, dia cerita kalau kamu
terlihat capek banget dan kemarin bahkan terlambat masuk ruang ujian. Aku jadi
penasaran pingin tahu langsung kondisi kamu, Riz. Makanya aku tungguin kamu
selama ujian”.
Riza balas
meringis meski tetap dengan mata sayunya itu, “Iya nich, ternyata ga mudah
mengatur waktu antara kuliah dan kerja sekaligus, Nis. Aku masih suka keteteran
sampai sekarang apalagi dengan tugas bertumpuk-tumpuk gitu”.
Nisa
menatap Riza sejenak, keduanya saling tersenyum.
“Aku yakin
kamu pasti bisa melakukan keduanya dengan baik, Riza. Kamu cuma perlu waktu
buat menyesuaikan ritme kehidupan kamu saja,” lanjut Nisa penuh semangat sambil
melebarkan senyumannya, membuat laki-laki itu pun tertawa dan menganggukkan
kepalanya.
“By the
way, makasih ya sekali lagi untuk rangkuman materi yang kamu buat untuk aku,
Nis”.
“Emangnya
berguna, Riz?”
Riza
menganggukkan kepalanya sambil kembali meneguk kopinya. Dia membuka tas
ranselnya dan memperlihatkan lembaran-lembaran kertas A4 yang sudah dilipat
kecil-kecil berisi tulisan tangan Nisa. “Sangat amat membantu aku yang
belajarnya agak kacau akhir-akhir ini, Nis. Kamu benar-benar calon temen hidup
aku yang baik hati dan setia, Nisa. Nikah yuk, Nis,” ujar Riza terdengar mantap
menatap Nisa dengan tersenyum. Nisa tertegun mendengar kalimat terakhir Riza
itu, sejenak hening menyapa diantara keduanya. Nisa pun menundukkan
pandangannya sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Maaf,
Riza. Kamu sudah tahu jawabannya. Kamu layak mendapatkan perempuan yang lebih
baik, Riz. Kita lebih baik berteman baik saja ya,” jawab Nisa kembali menatap
sejenak Riza sambil berusaha tersenyum riang kemudian mengalihkan pandangannya
kearah lain.
Riza tak
bergeming, tetap tersenyum menatap gadis di depannya itu.
“Aku paham
kalau kamu masih belum bisa menjawab ‘iya’, Nisa... dan aku tidak akan menyerah
meminta sampai kamu menjawab ‘iya’ Nis”.
Kalimat Riza itu lagi-lagi berhasil membuat
Nisa tersentuh haru tapi gadis itu berusaha keras menata perasaannya agar tetap
bersikap biasa dan tidak berkaca-kaca mendengar kesungguhan laki-laki itu. Nisa
pun memberanikan menatap Riza dan tersenyum sejenak tanpa berkata apa-apa.
“Oh iya, gimana
kondisi mata kamu, Nis? Apa pernah sakit lagi?” tanya Riza mengalihkan pembicaraan.
“Mata aku
baik-baik saja, Riz,” jawab Nisa kembali tersenyum lebar.
“Alhamdulillaah
kalau begitu. Oh ya, besok kamu ada ujian nggak, Nis?” lanjut Riza lagi.
“Besok aku
ada dua jadwal ujian, teori dan praktik, dari jam sepuluh pagi sampai jam tiga
sore dipotong ishoma he he. Kamu sendiri, Riz?”
“Aku ada
ujian jam sembilan pagi sampai jam sebelas. Semangat buat kitaaa,” jawab Riza
mengepalkan tangannya sambil tersenyum tak kalah lebar. Lagi-lagi Riza beberapa
kali menguap meski segelas kopi sudah ludes diminumnya.
“Habis ini
kamu langsung pergi ke tempat kerja Riz?”
Riza
menganggukkan kepalanya pelan sambil mengucek-ucek matanya yang masih saja
terasa berat. Nisa mengamati gerak-gerik laki-laki itu.
“Jangan
terlalu memaksakan diri kamu, Riza. Apa kamu tidak bisa minta keringanan selama
minggu ujian, Riz?”
Riza
menggelengkan kepalanya pelan sambil berusaha tersenyum lebar. “Aku gapapa kok,
Nis. Percaya sama aku ya”.
Nisa menatap
sejenak kearah Riza, ia bisa melihat kesungguhan di mata dan senyum teduh
laki-laki itu. Nisa pun balas tersenyum lebar.
“Memangnya
kamu masuk jam berapa, Riz?”
“Jam tujuh,
Nis”.
Nisa melirik ke arloji di tangannya, jam
16.21.
“Itu
artinya kamu bisa mejemin mata kamu sejam sepertinya, Riz. Habis maghrib baru
kamu berangkat kerja. Kamu kelihatan ngantuk banget gitu, bahaya kalau
dipaksain naik motor”.
Riza
menatap Nisa yang terlihat sedikit khawatir menatapnya. Riza pun tersenyum
seolah ingin menenangkan gadis itu.
“Iya nih,
ga tau kenapa mata berasa berat banget, perasaan udah habis segelas kopi, kok
nggak mempan ya he he... Btw, maksud kamu aku tidur disini, Nis?”
Nisa
tertawa mendengarnya.
“Ya nggak
lah, Riz. Kalau kamu tidur disini, ntar orang bakal aneh ngelihat kita, Riz.
Kita ke perpus aja, kamu bisa tidur sebentar di ruang belajar 24 jam, Riz”.
Riza balas
tertawa kecil sambil mengangguk setuju.
“Itu
artinya kamu nemenin aku, Nis? Emangnya kamu gapapa, kan besok kamu ada dua
ujian?” tanya Riza.
“Iya, aku
temenin kamu, Riza. Takutnya kamu kebablasan tidur sampai malam, ga ada yang
bangunin. Jadi kamu tidur, aku disebelah kamu sambil belajar buat ujian teori
aku. Tenang aja, aku bawa bahan-bahan buat ujian teori besok kok, Riz”.
Lagi-lagi
Riza menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebih lebar.
“Ya udah,
kita sekarang sholat Ashar dulu yuk, baru ke ruang belajar 24 jam,” sambung
Nisa. Keduanya pun bergegas menuju ke musholla. Selepas sholat, Nisa meminta
Riza menungguinya sejenak untuk membeli sesuatu.
“Ini kopi
buat diminum setelah kamu bangun tidur nanti, Riz,” ucap Nisa dengan riang
sambil menyodorkan segelas kopi dan sebotol air mineral ke Riza kemudian
memasukkan sebotol air mineral untuk dirinya sendiri ke dalam tas ranselnya.
Laki-laki itu pun tersenyum lebar mengucapkan terima kasih. Riza semakin
bersemangat untuk mendapatkan jawaban ‘iya’ dari Nisa.
Sepuluh
menit kemudian, Riza dan Nisa akhirnya sudah duduk di salah satu meja di ruang
belajar 24 jam. Satu meja belajar itu memang diperuntukkan untuk dua orang. Tak
perlu banyak waktu, Riza pun langsung terlelap dengan posisi duduk dan
kepalanya ditumpukan diatas kedua tangannya, diatas meja belajar. Di
sebelahnya, Nisa terlihat asyik membolak-balik lembar demi lembar bahan ujian
teorinya besok. Sesekali Nisa melirik kearah Riza yang terpejam menghadap
kearahnya. Wajah laki-laki itu terlihat lelah dan bulu di janggutnya terlihat
sedikit lebat, sepertinya tak sempat tercukur sejak hari pertama ujian.
Meskipun demikian, Nisa bisa melihat ada semangat di diri Riza sekacau apapun
perubahan ritme hidupnya, membuat Nisa percaya bahwa laki-laki itu yakin dan
tahu apa yang ingin diraihnya. Nisa tersenyum memandangi sejenak wajah
laki-laki di sebelahnya itu.
“Aku percaya kamu pasti bisa melakukan tanggung jawab kamu dengan baik, Riza. Perempuan yang menjadi teman hidup kamu nantinya pastilah perempuan yang sangat beruntung, Riz. Kamu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku,” batin Nisa menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan kembali belajarnya.
“Aku percaya kamu pasti bisa melakukan tanggung jawab kamu dengan baik, Riza. Perempuan yang menjadi teman hidup kamu nantinya pastilah perempuan yang sangat beruntung, Riz. Kamu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku,” batin Nisa menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan kembali belajarnya.
Malam itu, waktu menunjukkan pukul 21.11 ketika Nisa sedang asyik mengerjakan sketsa yang menjadi bahan ujian praktiknya esok hari. Tiba-tiba mata dan kepala Nisa kembali terasa sakit. Beberapa hari terakhir, beberapa kali Nisa merasakan sakit di mata dan kepalanya, meski dia berusaha tidak terlalu merasakannya. Seperti biasa dia pun segera meminum obatnya dan segera memejamkan matanya sejenak agar rasa sakit itu cepat berkurang. Nisa sengaja tidak menceritakan sakit yang dirasakannya kepada Riza, dia tidak ingin menambah beban pikiran dan membuat khawatir laki-laki itu. Nisa sedang memegangi kepala dan bagian di sekitar matanya yang terasa sakit itu ketika handphonenya bergetar.
Nisa meraih
handphonenya, ada pesan masuk di whattsapp-nya dari Riza.
“Selamat malam Nisa, maaf aku baru baca pesan
kamu tadi :D.
Kamu masih belajar atau sudah tidur? Cukup
istirahat ya, Nis biar besok fresh mengerjakan ujian teori dan praktiknya.
Btw, Nisa.. maukah kamu menikah denganku? :D :D
Aku akan selalu menunggu jawaban kamu:)”.
Nisa
tersenyum membaca pesan dari Riza itu diantara sakit di mata dan kepalanya yang
belum juga hilang.
“Aku masih mengerjakan sketsa buat ujian praktik
aku besok, Riz. Kamu sudah belajar buat ujian besok belum? Sudah makan malam
belum?” ketik Nisa.
“Ini baru mulai baca-baca materi ujian dari
rangkuman kamu, Nis. Mumpung ada waktu luang setelah satu kerjaan beres. Udah
makan juga barusan. Kamu sendiri jangan lupa makan ya, Nis,” ketik Riza.
Nisa pun
balas mengetik, “Aku juga udah makan tadi,
langsung setelah sampai di kos, Riz. Ya udah kamu met bekerja sambil belajar
ya. Ingat, jangan terlalu memaksakan diri kamu:)”.
“Siap :),” ketik Riza.
Nisa pun
lagi-lagi tersenyum membaca percakapannya malam itu dengan Riza. Ia kembali
teringat, kejadian sore tadi saat dirinya menemani laki-laki itu di ruang
belajar 24 jam. Nisa beberapa kali melihati wajah Riza yang terlelap, ia ingin
merekam ekspresi demi ekspresi laki-laki itu jika kemungkinan buruk dari
penyakitnya itu suatu saat akhirnya terjadi. Saking gemas melihat Riza yang
terlihat agak brewok dan awut-awutan, Nisa bahkan iseng mengambil foto Riza
yang sedang terlelap itu.
Nisa pun
membuka folder foto di handphonenya, ia pun kembali senyum-senyum sendiri dan
kemudian mengirimkan foto Riza itu via whatsapp
dengan caption “Btw hampir kelupaan,
kalau nanti ada waktu luang, jangan lupa cukur rambut dan brewok kamu ya Riz,
he he he”.
“Waaaah, kamu iseng banget ngambil gambar aku pas
tidur Nisaaa, untung aja ekspresi tidurku lagi bagus ha ha. Iya... iya nanti
setelah ujian selesai aku janji bakal cukur, Nis he he,” ketik Riza dibalas
Nisa dengan emotion senyum dan
tertawa lebar.
“Btw, soal lamaranku, apa sudah ada jawaban yang
berbeda dari kamu, Nisa?:)” ketik Riza lagi.
“Maaf Riza..., jawaban aku masih tidak berubah.
Maaf yaaa...”. Jawaban dari Nisa itu pun mengakhiri percakapan keduanya.
Riza
kembali membaca materi ujiannya besok dan Nisa pun bergegas melanjutkan
mengerjakan sketsanya agar tidak banyak penyempurnaan yang dilakukan saat di
kelas besok. Sakit kepala dan mata Nisa masih tetap terasa meski sedikit
berkurang.
Malam pun
semakin larut, saat Nisa kembali merasakan sakit di mata dan kepalanya makin menjadi dan
pandangannya mulai kabur, membuat Nisa akhirnya menggulung sketsa ujian praktiknya
dan memasukkan kembali ke tempatnya. Perut Nisa terasa sedikit mual, membuat
gadis itu pun meneguk kembali obatnya. Nisa tahu benar, salah satu gejala yang
bisa dirasakan oleh penderita glaukoma sudut tertutup, sakit di mata dan
kepalanya itu bisa menyebabkan perutnya terasa mual. Nisa pun mengambil
gulungan sketsa taman impiannya dan mendekap gulungan itu sambil membaringkan
tubuhnya di tempat tidurnya.
“Aku yakin
aku pasti bisa sembuh. Dan kalaupun aku harus mengalami kebutaan permanen, aku
akan menyelesaikan sketsa yang jadi misi aku ini. Aku pasti bisa. Semangat Nisa
menghadapi hari esok dan esoknya lagi,” ucap Nisa lirih dan tersenyum lebar
sambil memejamkan matanya diantara sakit yang makin dirasakannya. Doa pun
terucap pelan dari bibir Nisa sebelum akhirnya gadis itu terlelap dalam
tidurnya.
Waktu
merangkak naik, pagi pun menjelang. Alarm jam beker Nisa pun berdering saat
waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi. Nisa membuka matanya, rasa sakit
itu sudah jauh berkurang dibandingkan sebelum tidur meski tetap saja terasa.
Nisa meraih
handphonenya yang ia geletakkan di meja belajar, hendak men-charge baterainya ketika ia lihat ada tiga
pesan dari Riza, tertanda pukul 23.36, waktu-waktu dimana Nisa merasakan sakit
yang makin menjadi sebelum akhirnya terlelap.
“Nis, kamu baik-baik aja, kan? Sakit mata kamu
tidak kambuh kan, Nis?
Ga tau kenapa perasaan aku tiba-tiba mendadak ga
enak dan aku langsung kepikiran kamu.
Semoga aja ini cuma akunya aja yang sedang
terlalu baper alias kebawa perasaan”.
Pesan kedua
Riza tertanda pukul 00.10, “Nisa...”.
Sementara pesan ketiga Riza tertanda pukul 01.00, “Nis...”.
Nisa
tersenyum haru membacanya. Nisa sedikit tertegun, entah kenapa laki-laki itu
seolah bisa ikut merasakan saat dirinya kesakitan tadi malam.
Nisa pun
bergegas mengetik, “Maaf aku sudah tidur
pulas semalam. Aku baik-baik saja, Riz. Mungkin kamu terlalu banyak pikiran aja
jadinya terlalu kebawa perasaan. Semangat buat ujian hari ini ya. Good luck for
us!!! :D :D”.
“Maaf ya,
Riz kalau aku tidak berterus terang ke kamu, tapi aku insyaa Allah baik-baik
saja,” ucap Nisa lirih kemudian meletakkan handphonenya lalu bergegas
melanjutkan belajar untuk ujian teorinya.
Waktu
menunjukkan pukul 07.00 pagi saat ada pesan masuk kembali di handphone Nisa
dari Riza.
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, Nis. Iya
mungkin aku terlalu baper bin laper kali ya he he. Selamat berjuang di ujian
hari ini, Nis!
Ups... satu agenda rutin hampir terlupa. Jadi....
maukah kamu menikah denganku, Nisa? :D”
Nisa pun
hanya tersenyum membacanya, memutuskan tidak menjawabnya. Ia mengambil buku
hariannya kemudian menuliskan di halaman 'Kalimat Ajaib dari Laki-laki Luar
Biasa', ‘Proposal ke 141, 4 Juni 2015: pukul 07.00, komen: terima kasih karena
kamu masih tetap teguh memperjuangkan perasaan aku, Riza. Aku merasa sangat
sangat sangat bahagia dan tersentuh meski tidak bisa menjawab iya. Semoga Tuhan
menunjukkan seseorang yang terbaik dan memberikan kebahagiaan untuk mewarnai
hari-hari kamu, Riz’. Nisa pun mengembalikan buku hariannya ke tempat
semula dan bergegas melanjutkan belajarnya. Sementara itu di tempat kerjanya,
Riza sedang bersiap-siap untuk pulang sebelum berangkat kembali ke kampus. Riza
terlihat beberapa kali melihati layar handphonenya, berharap akan ada balasan
dari perempuan istimewanya itu meski ia tidak terlalu banyak berharap. Ia
sadar, Nisa masih kokoh dengan pendirian untuk menolak lamarannya.
Waktu
menunjukkan pukul 09.00 ketika Nisa siap-siap berangkat menuju kampus,
memastikan tidak ada peralatan dan bahan-bahan untuk keperluan ujian hari ini
yang tertinggal. Nisa meraih handphonenya yang baterainya sudah terisi penuh
itu ketika kepalanya dan matanya kembali terasa sakit, membuat Nisa langsung
terduduk di ranjangnya.
“Aku pasti
bisa mengalahkan rasa sakit ini. Berikan hamba kekuatan Tuhan untuk bisa
menyelesaikan ujian hamba dengan baik,” ucap Nisa lirih sembari masih memegangi
kepalanya. Ia pun menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, seolah ingin
mengumpulkan tekadnya untuk bisa melawan rasa sakit yang ia rasakan. Ia ambil
sebungkus roti yang sengaja ia jadikan stok makanan kemudian memakannya lalu
menelan obatnya. Setelah beberapa menit kemudian, saat rasa sakitnya mulai
reda, Nisa pun berangkat ke kampus.
“Bismillaah...
semoga diberikan kekuatan untuk menghadapi hari ini dengan baik,” ucap Nisa
dengan tersenyum yakin, “semangat Nisaaa!”.
Waktu
menunjukkan pukul 10.00 ketika ujian teori Nisa dimulai. Sejam lebih dahulu,
Riza juga sedang mengerjakan ujiannya di tempat yang berbeda. Riza bertekad
akan gantian memberi kejutan menemui Nisa di fakultas gadis itu selepas Nisa
menyelesaikan ujian praktiknya. Riza ingin membalas perhatian kecil Nisa sehari
sebelumnya. Sebelumnya, Riza memang
tidak pernah mengunjungi Nisa di fakultas gadis itu, terlebih sebelumnya saat
Riza beberapa kali masih sibuk dengan petualangan hatinya. Riza dan Nisa
biasanya bertemu di taman terbuka hijau yang ada di kampus itu, itu pun tidak
terlalu sering. Hari Kamis itu, penampilan Riza terlihat lebih rapi
dibandingkan beberapa hari sebelumnya. Riza seolah kembali ke penampilannya
yang dikenal sebagai salah satu cowok berpredikat cool di fakultasnya.
Sementara itu, waktu terus berjalan dan Nisa terlihat serius mengerjakan ujian
teorinya hingga waktu ujian selesai. Beberapa kali, Nisa memegangi kepala dan
bagian pelipis matanya ketika sakit itu kembali ia rasakan meski ia tetap
berusaha fokus mengerjakan ujiannya.
Waktu
menunjukkan pukul 13.00 saat itu ketika Nisa mulai mengerjakan ujian
praktiknya. Sebelumnya saat istirahat tak lupa ia meminum obatnya, berharap
bisa membuat pergi rasa sakit di mata dan kepalanya. Gadis itu terlihat serius
menyelesaikan gambar sketsa yang jadi materi ujiannya. Sementara itu selepas
sholat dan makan siang, Riza yang mengisi waktu
luangnya untuk belajar materi ujian esok hari di taman yang ada di
fakultas Nisa pun bergegas menuju ke depan kelas tempat Nisa ujian setelah dia
menjadi ala-ala detektif mencari tahu dimana ruang ujian Nisa sebelumnya. Ia
lirik arlojinya, jam 14.03, sekitar satu jam lagi sebelum waktu ujian Nisa
selesai. Riza pun memilih duduk tak jauh dari depan ruang ujian Nisa sambil
mengamati pintu ruangan itu kalau-kalau Nisa keluar. Ia sengaja tidak
memberitahu Nisa via whatsapp kalau
ada disana. Di dalam ruang ujian, Nisa masih tetap berusaha menyelesaikan
sketsanya dengan sebaik mungkin ketika keringat dinginnya makin banyak keluar
dan Nisa berusaha mengelapnya dengan tissue. Nisa sudah berusaha mengabaikan
dan menahan rasa sakit di kepala dan matanya, tapi sakit itu makin lama justru
makin terasa, pandangannya pun mulai kabur. Mual itu pun makin menjadi
dirasakannya hingga akhirnya gadis itu memutuskan mengumpulkan sketsanya ke
penjaga ujian di depan kelas setelah ia berjuang keras untuk buru-buru
menyelesaikannya sejak ujian dimulai.
“Kamu nggak boleh pingsan disini, Nisa. Kamu
pasti kuat jalan pulang ke kos,” batin Nisa melangkah pelan keluar dari ruang
ujian. Wajah gadis itu terlihat memucat. Nisa pun berjalan pelan kearah toilet
berusaha menahan rasa mual dan sakitnya. Di saat bersamaan Riza menghampiri
Nisa sejak ia melihat gadis itu keluar dari ruang ujian setelah sebelumnya
sempat heran karena gadis itu keluar dari ruang ujian lebih awal. Lorong
fakultas teknik itu terlihat agak sepi, hanya beberapa orang terlihat berlalu
lalang. Riza baru akan memanggil Nisa, hendak memberi kejutan buat gadis itu
ketika ia baru menyadari ada yang tidak biasa dengan Nisa. Gadis itu
terlihat... pucat(?).
“Apa kamu sakit, Nis? Atau ini cuma aku yang
terbawa perasaan seperti tadi?” batin Riza. Riza pun akhirnya memutuskan
mengikuti Nisa beberapa langkah di belakangnya. Nisa terlihat masuk ke toilet
dan Riza pun memutuskan menunggunya persis di dinding disamping tulisan toilet
itu. Di dalam toilet, tak ada satu pun
orang saat itu disana, Nisa buru-buru
masuk ke satu bilik dan gadis itu pun langsung muntah beberapa kali selama
beberapa menit di dalamnya. Tiap kali Nisa muntah, itu juga berarti sakit di
kepala dan matanya pun makin menjadi, tapi Nisa tidak ingin menyerah, ia tetap
berusaha menahan sakitnya, tidak ingin pingsan di kampus.
“Aku ga boleh pingsan disini, aku harus bisa
menguatkan diri aku sampai di kos,” batin Nisa sambil masih terduduk jongkok didalam
toilet setelah membersihkan muntahannya. Pandangannya semakin kabur dibandingkan
sebelumnya. Gadis itu terlihat beberapa kali menarik nafas dalam-dalam berusaha
menguatkan dirinya sendiri lalu kemudian dengan susah payah berdiri.
Keseimbangan badannya pun mulai agak hilang karena sakit di kepala dan matanya
makin menjadi, tapi Nisa bertekad ke dirinya sendiri bahwa dia harus kuat.
Sementara itu, Riza yang berdiri di dekat dinding depan toilet terlihat
khawatir karena Nisa tidak kunjung keluar dari toilet, padahal 15 menit sudah
gadis itu didalam ketika kemudian Nisa terlihat keluar dan berjalan pelan
kearah berlawanan dari tempat Riza berdiri tanpa menyadari keberadaan laki-laki
itu.
“Nisa...,”
panggil Riza pelan membuat Nisa menghentikan langkahnya. Nisa sangat mengenali
suara itu. “Kenapa Riza bisa ada disini?”
batinnya. Nisa sengaja memegang dinding di sebelahnya, menyamarkan keseimbangan
tubuhnya yang mulai sedikit hilang.
“Apa kamu
sakit, Nis? Wajah kamu terlihat pucat gitu dan kamu keluar dari ruang ujian
lebih awal banget,” tanya Riza terdengar khawatir. Nisa masih membelakangi
Riza, Nisa lagi-lagi mengelap keringat dingin di wajahnya dengan tangannya
sambil menarik nafas dalam-dalam. Nisa tidak ingin Riza tahu kondisinya saat
itu. Nisa pun kemudian membalikkan badannya menghadap Riza dengan senyuman
lebarnya yang susah payah diupayakannya untuk laki-laki itu, ingin menghapuskan
rasa khawatir laki-laki itu. “Aku baik-baik aja, Riz... . Wajah aku terlihat
pucet sepertinya karena kehabisan energi setelah berjuang di dua ujian hari ini.
Capeeek he he”. Nisa berusaha tetap berusaha tersenyum lebih lebar dan riang
meski disisi lain dia berusaha menyembunyikan dan menahan sakit yang makin
menjadi. Bahkan Nisa tidak bisa melihat dengan jelas wajah Riza yang terlihat
kabur di pandangannya. Samar Nisa hanya bisa melihat sepertinya Riza sedang
tertawa kecil mendengar jawabannya.
“Beneran
kan kamu nggak apa-apa, Nis?” tanya Riza lagi, laki-laki terdengar ragu melihat
wajah Nisa yang pucat itu.
Nisa
menganggukkan kepalanya pelan. “Oh iya, kamu kok tumben kemari, Riz? Ada apa?”
lanjut Nisa tetap berusaha tersenyum sambil tangannya kanannya memegang erat
dinding di sebelahnya dan tangan kirinya ia kepalkan erat di belakang tubuhnya
berusaha mengalihkan rasa sakitnya.
“Aku mau
menraktir kamu makan sore ini, Nis. Kemarin kan kamu udah beliin aku kopi dan
nungguin aku ujian sampai nungguin aku tidur di ruang belajar. Jadi sekarang
gantian. Yaa sekalian soalnya kan aku juga belum sempat menraktir kamu setelah
menerima gaji pertama aku. Mau yaaa?” ucap Riza dengan senyum lebarnya.
Saat itu
tersenyum terasa sulit untuk dilakukan Nisa karena ia sangat ingin berteriak
sakit karena sakit kepala dan matanya semakin tak tertahan lagi membuat Nisa
hampir menyerah. Namun Nisa tetap berusaha tersenyum, “Sorry banget, Riz. Ada
yang harus aku kerjain sekarang. Traktirannya lain kali aja, ya... Aku pulang
dulu ya”. Riza pun mengangguk pelan, memandangi gerak-gerik Nisa. Dengan sisa
tenaganya, Nisa berusaha segera menjauh dari Riza, dia tidak ingin insiden
pingsan sebelumnya terjadi lagi saat dia bersama Riza. Namun manusia hanya bisa
berusaha dan berencana, Nisa baru melangkah empat langkah ketika lagi-lagi
kepalanya seperti dipukul palu besar membuat pandangannya yang kabur itu
berubah menjadi gelap seketika.
“Nisa...
Nisa kamu kenapa, Nis? Bangun Nis,” ucap Riza panik melihat wajah Nisa yang
sangat pucat dan terlihat kesakitan. Kejadian itu terjadi lagi, meski kali ini
saat tubuh Nisa terkulai, Riza menahan tubuh gadis itu. Dengan meminta pertolongan ke mahasiswa yang saat itu lewat
disana, Riza pun membawa Nisa ke rumah sakit menggunakan taksi.
Hampir dua
setengah jam sejak Nisa pingsan, gadis itu belum juga membuka matanya. Riza
terlihat duduk di sebelah tempat tidur Nisa, menunggui Nisa dengan raut
khawatir yang tidak bisa disembunyikannya. Laki-laki itu hampir tak pernah
sekalipun meninggalkan Nisa kecuali untuk sholat.
“Kenapa
kamu nggak bilang sama aku kalau kamu sakit, Nis?” ujar Riza lirih melihati
wajah perempuan berjilbab bunga-bunga yang terpejam dan pucat itu. Dokter mata
sempat memeriksa kondisi Nisa atas permintaan Riza yang menjelaskan penyakit
glaukoma Nisa. Beberapa menit kemudian, Nisa terlihat perlahan sadar dan
membuka matanya. Kepala dan matanya masih terasa sakit dan pandangannya pun
masih kabur.
“Kamu sudah
sadar Nis? Mana yang sakit, Nis? Apa mata kamu masih sakit?”
Nisa sangat
mengenali suara laki-laki yang terdengar sangat cemas itu. Riza, kekhawatiran
laki-laki itu sama sekali tak berubah seperti saat dirinya pingsan sebelumnya.
Nisa menoleh ke tempat laki-laki itu duduk, seolah menatapnya meski ia tidak
bisa melihat wajah Riza dengan jelas. Nisa tersenyum lebar, ingin mengusir
pergi kekhawatiran laki-laki itu untuknya.
“Maaf ya
Riz, aku pingsan lagi ya... . Aku baik-baik aja, Riza, cuma sedikit sakit di
kepala dan mata aja, berasa kepukul palu he he,” ujar gadis itu berusaha
tertawa.
Riza hanya
terdiam, ia tahu gadis itu hanya ingin menenangkannya.
“Kenapa
kamu tidak mau membagi sakit kamu dan memilih menanggungnya sendiri, Nis? Kamu
tahu perasaanku ke kamu, itu sebabnya aku ingin menikah dengan kamu. Aku ingin
kamu membagi sakit dan sedih kamu dengan aku, Nis”.
Kalimat
Riza itu lagi-lagi berhasil menyentuh hati Nisa. Dia bisa merasakan ketulusan
laki-laki itu.
Nisa
kembali berusaha tersenyum lebih lebar diantara sakit yang ia rasakan merambat
kembali di kepala dan matanya. “Tapi aku lebih suka membagi tawa dan senyum aku
bersama kamu, Riza”.
Riza balas
tersenyum lebih lebar kearah gadis itu.
“Apa kepala
dan mata kamu masih sakit, Nis? Apa pandangan kamu masih kabur? Tolong jawab
dengan jujur kali ini, Nis,” sambung Riza.
Nisa tersenyum
lirih dan mengangguk pelan, “Tenang, Riz. Aku bakal baik-baik saja insyaa
Allah”.
“Ya udah
kamu istirahat aja lagi, ya,” lanjut Riza lagi-lagi dibalas anggukan pelan
Nisa.
Nisa
memejamkan matanya sejenak, seolah ingin mengusir pergi sakit di kepala dan
matanya, tapi sakit itu justru kembali terasa. Nisa tiba-tiba kembali merasa
mual, tapi Nisa berusaha menahannya, ia tidak ingin muntah di hadapan Riza.
“Riz, bisa
tolong ambilkan kantong plastik di ransel aku?” ucap Nisa pelan menatap Riza
yang masih terlihat kabur di matanya.
“Kantong
plastik? Buat apa, Nis?”
“Please,
Riz...,” ujar Nisa tetap berusaha tersenyum tanpa menjelaskan apa-apa.
Riza pun
bergegas membuka tas ransel Nisa yang ia letakkan di meja di belakang tempatnya
duduk, mencari kantong plastik yang diminta Nisa. Ada obat-obatan di dalam tas
itu selain bahan kuliah Nisa juga satu pak kantong plastik. Sejak Nisa tahu
bahwa dia bisa mengalami mual dan muntah akibat penyakit glaukomanya itu, Nisa
selalu membawa kantong plastik kemanapun ia pergi.
Riza yang
sebenarnya masih bertanya-tanya tentang kantong plastik itu pun memilih diam,
hanya memenuhi permintaan Nisa.
“Ini
kantong plastiknya, Nis. Kamu perlu berapa?” tanya Riza kembali duduk di dekat
Nisa. Gadis itu terlihat terpejam seperti menahan sakit membuat Riza yang baru
menyadarinya pun panik. “Kamu kenapa Nisa? Kamu merasa kesakitan?”
Nisa menggelengkan kepalanya pelan, susah
payah ia mencoba membuka matanya dan tersenyum ke laki-laki yang terdengar
panik itu.
“Tolong
doublein kantong plastiknya ya, Riz dan aku mohon kamu keluar dari kamar
sebentar ya,” ucap Nisa lirih. Susah payah ia menahan cairan di perutnya itu
tidak keluar saat Riza masih di sebelahnya.
Riza makin
bertanya-tanya dengan permintaan Nisa itu.
“Tapi untuk
apa kantong plastik ini Nisa? Dan aku ga mau keluar, aku mau menemani kamu, Nis,”
tanya Riza menyerahkan kantong plastik itu ke tangan Nisa.
“Perut aku
mual banget. Aku ga mau kamu melihat aku muntah, Riza. Jadi tolong kamu keluar
ya,” sambung Nisa lirih, cairan di perutnya itu terasa di kerongkongannya dan
Nisa tetap berusaha menahannya tidak keluar sebelum Riza pergi.
Riza
langsung mengambil kembali kantong plastik di tangan Nisa itu dan memeganginya,
mendekatkannya di dekat mulut Nisa.
“Aku ga
akan keluar dari sini, Nis. Kalau kamu mau muntah, muntahin aja. Biar aku yang
bantu memegangi kantong plastik ini buat kamu,” ucap Riza tegas tapi tetap
terdengar khawatir bahkan lebih khawatir di telinga Nisa. Saat itu, kondisi
Nisa sudah tidak memungkinkan dirinya untuk berdebat dengan Riza karena cairan
perutnya sudah tidak bisa lagi ditahan untuk keluar. Gadis itu kembali muntah
beberapa kali selama beberapa menit. Riza ikut merasa tersiksa melihat Nisa seperti itu.
Wajah Riza pun terlihat panik meski dia tidak berkata apa-apa. Riza tidak tahu bahwa setiap
kali Nisa muntah, rasa sakit yang dirasakan Nisa justru bertambah dan makin
menyiksa gadis itu.
“Enakan ga,
Nis? Apa perut kamu masih mual? Apa kepala dan mata kamu sakit, Nis?” Riza
memberondong Nisa dengan beberapa pertanyaan sekaligus saking paniknya saat
Nisa berhenti muntah. Riza mengusapkan tisu ke mulut Nisa kemudian mengusapkan tisu ke keringat dingin di wajah Nisa. Nisa hanya diam, tak menjawab. Gadis itu
terbaring dengan mata terpejam dan ekspresi kesakitan. Kepala dan matanya
terasa sakit luar biasa hingga ia tidak bisa merespon pertanyaan Riza itu. Riza
tetap mendekatkan kantong plastik itu di mulut Nisa. Muntahan gadis itu tak
banyak, lebih kearah cairan karena tanpa Riza tahu isi perut Nisa sudah
terkuras ketika Nisa muntah di toilet kampusnya sebelumnya.
“Nisa,”
panggil Riza sambil menggoyang pelan bahu Nisa, ia sangat khawatir Nisa kembali
pingsan dan terjadi apa-apa ke gadis itu. Nisa tetap tak menjawab, nafas gadis itu
naik turun menahan sakit di mata dan kepalanya ketika kemudian ia kembali
memuntahkan cairan bening beberapa detik sebelum akhirnya terkulai lemas dan
benar-benar kehilangan kesadarannya.
“Nis...
Nisa...bangun Nis...”. Riza pun bertambah panik melihat Nisa yang semakin pucat
pasi itu, ia pun segera mencari pertolongan dokter dan perawat.
Arloji Riza
menunjukkan pukul 19.04 ketika Nisa kembali membuka matanya. Jarum cairan infus
masih terpasang di tangannya dan Riza terlihat masih menemaninya, duduk di
sebelah tempat tidurnya memandangi Nisa.
“Alhamdulillah
kamu sudah sadar, Nis. Apa kamu bisa melihat aku? Apa kamu masih merasa mual?
Apa mata dan kepala kamu masih sakit banget?” tanya Riza terdengar sangat
khawatir.
Nisa
tersenyum lebar kearah laki-laki itu.
“Sekarang
sudah jauh berasa enakan, Riz. Kepala dan mata aku udah hampir ga sakit lagi,
dan udah nggak mual lagi,” jawab Nisa berusaha riang, “aku juga bisa melihat
kamu meski masih agak kabur, Riz”. Pandangan gadis itu masih sedikit kabur,
tapi sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Aku tadi
pingsan lagi ya, Riz?” tanya Nisa merasa bersalah ke laki-laki itu.
Riza
menganggukkan kepalanya. “Tadi kamu benar-benar membuat aku merasa khawatir,
Nis. Aku takut terjadi apa-apa dengan kamu”.
“Maaf ya,
Riz udah bikin kamu jadi khawatir,” sambung Nisa.
Riza
tersenyum lebih lebar, ia tidak ingin Nisa merasa bersalah kepadanya.
“Kamu tidak
perlu minta maaf, Nis. Kamu tidak pernah meminta aku buat mengkhawatirkan kamu.
Aku yang mau karena kamu perempuan yang sangat berarti buat aku. Aku lega karena
sekarang kamu sudah jauh lebih baik”.
Nisa
melebarkan senyumannya, ucapan Riza membuat hati Nisa sangat tersentuh.
“Tadi
dokter bilang kalau operasi mata sepertinya menjadi jalan yang terbaik buat
menyembuhkan penyakit glaukoma kamu, Nis. Dokter khawatir, serangan glaukoma
yang terjadi ke kamu lebih dari sekali sehari ini bahkan kamu sampai pingsan
dua kali dan muntah-muntah parah seperti tadi itu membuat peluang kamu
kehilangan penglihatan permanen lebih besar, Nis,” ujar Riza tetap terdengar
sangat mengkhawatirkan Nisa.
Nisa diam
menatap Riza yang masih terlihat agak kabur itu kemudian tersenyum sambil
menggelengkan kepalanya pelan.
“Aku takut
operasi, Riz. Aku ga mau operasi. Aku akan tetap berobat jalan aja”.
“Aku akan
temani kamu di ruang operasi biar kamu tidak merasa takut, Nis. Kamu mau ya
menikah sama aku, Nis?” tanya Riza lembut tapi penuh kesungguhan sambil menatap
lembut Nisa.
“Aku ingin sekali membahagiakan kamu seumur hidup
aku, Riza. Tapi aku takut aku tidak bisa melakukannya,” batin Nisa sambil
menunduk. Nisa kembali tersenyum ke Riza, lagi-lagi menggelengkan kepalanya
pelan. “Maaf, Riz, jawabanku tetap sama. Dan aku tetap memilih berobat jalan di
luar operasi saja”.
Riza balas
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan.
“Aku paham
dan ga akan memaksa, Nisa... mungkin kamu masih perlu waktu untuk berpikir
tentang lamaran aku dan juga tentang operasi. It’s okay, yang pasti aku ga akan
menyerah untuk terus meminta kamu tentang dua hal itu”.
Nisa hanya
diam dan balas tersenyum.
“Oh iya,
Nis apa ga sebaiknya kamu memberitahu kondisi kamu ini ke ayah kamu?” tanya
Riza.
Nisa
menggelengkan kepalanya tanpa keraguan. “Aku ga mau bikin ayah aku khawatir dan
cemas, Riz. Aku baik-baik saja dan insyaa Allah aku ga akan mudah menyerah
karena penyakit ini. Aku akan terus berobat jalan dan berdoa. Kalau akhir-akhir
ini beberapa kali serangan itu kambuh, mungkin karena kecapekan ujian aja, Riz,”
jelas Nisa dengan senyum lebar dan bersemangat.
Riza balas
tersenyum simpul. “Emangnya ayah kamu ga bakal curiga kalau kamu perlu uang
lebih buat biaya pengobatan kamu, Nis?”
Nisa
menggelengkan kepalanya pelan. “Sampai sekarang sih, alhamdulillah nggak
curiga. Soalnya untuk pengobatan ini aku menyisihkan sebagian dari jatah uang
makan aku selain juga dari honor-honor part time ikut ngebantuin desain
proyeknya temen sejak setahun terakhir ini he he”. Jawaban Nisa itu membuat
Riza makin kagum dengan kemandirian perempuan yang ada didekatnya, tapi sempat
terlewatkan olehnya.
“Oh iya,
bicara kamu kecapekan gara-gara ujian... jangan-jangan kamu sakit juga gara-gara
bikinin aku rangkuman ya, Nis?” tanya Riza tiba-tiba ingat dan langsung merasa
bersalah membuat Nisa tertawa mendengarnya, gadis itu ingin meyakinkan Riza bahwa Riza bukan salah satu penyebab yang memicu sakitnya.
“Nggak lah
Riz... jangan baper deh...,” goda Nisa tertawa makin lebar membuat Riza pun
akhirnya ikutan tertawa.
“Tapi kamu
harus janji satu hal, Nis. Kalau kamu ngerasa sakit kapan pun itu, tolong
jangan sembunyiin sakit kamu dari aku. Kamu harus bilang ke aku, izinin aku
untuk tahu, Nis. Janjiiii,” ujar Riza sambil mengarahkan jari kelingkingnya ke
Nisa.
Nisa
tersenyum melihati sejenak Riza kemudian menggelengkan kepalanya, “Aku nggak
bisa berjanji soal itu, Riz. Aku ga mau”.
“Tapi kan
kita sahabat, Nis. Sudah seharusnya kan berbagi suka dan duka. Kamu aja ngepoin
dan perhatian kalau aku lagi ada masalah, masak aku ga boleh melakukan hal yang
sama, Nis?”
Nisa tetap
menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. “Ini pengecualian, Riza”.
Riza memanyunkan bibirnya kecewa. “Please,
Nis...,” ucapnya sambil berusaha melingkarkan jari kelingkingnya ke jari
kelingking Nisa, tapi Nisa buru menyembunyikan telapak tangannya di belakang
badannya. Nisa tetap menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil membuat Riza
akhirnya menyerah.
Nisa
kemudian melihat kearah arlojinya, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
“Wah sudah
jam setengah delapan. Bukannya kamu harus masuk kerja ya, Riz?” tanya Nisa
sedikit panik dan hendak duduk dari posisi terbaring, tapi segera dicegah Riza.
“Ettt udah,
Nis.... jangan duduk dulu, kamu itu harus banyak istirahat dan berbaring,”
ujarnya. Masih ada nada khawatir disana.
Nisa pun
hanya menurut, tak jadi duduk. “Tapi kamu telat berangkat kerja jadinya
gara-gara menunggui aku disini, Riz...”.
Riza
tersenyum kepada gadis itu. “Aku udah izin tidak masuk hari ini karena harus
ngejagain keluarga yang sakit kok, Nis”.
“Emang
gapapa, Riz? Takutnya kamu nanti dinilai kurang bagus lagi,” sambung Nisa cemas.
“Kamu
tenang aja, Nisa. Semuanya akan baik-baik aja, baru kali ini juga aku izin ga
masuk kok, Nis,” jelas Riza tersenyum lebar berusaha menenangkan Nisa.
“Lagi pula
aku ga mungkin berangkat kerja dan ninggalin kamu sendiri, kan kamu alasan
kenapa aku kerja, Nis,” sambung Riza lirih keceplosan di akhir-akhir kalimatnya membuat
Nisa menatap serius kearahnya.
“Jadi
alasan kamu bekerja dan memaksakan diri kamu sendiri akhir-akhir ini, itu aku,
Riz?”
“Eh, bukan
Nis... maksud aku, aku bekerja ingin belajar jadi calon suami yang baik buat
istri aku kelak dan siapa tahu itu kamu he he”. Riza berusaha tetap tersenyum
lebar ke Nisa. Riza sengaja mencari alasan lain yang tetap masuk nalar untuk
menjawab pertanyaan Nisa itu sambil setengah bercanda. Riza belum ingin Nisa tahu
bahwa alasan utama dirinya bekerja karena memang ia ingin membantu Nisa mewujudkan
taman impian gadis itu selain dia juga ingin membuktikan ke Nisa bahwa dirinya
siap bertanggung jawab menikahinya.
Nisa tetap
menatap tajam kearah Riza sambil mengucek-ucek matanya, ingin sekali ia bisa melihat
jelas ekspresi Riza saat itu.
“Kamu
kenapa Nis? Mata kamu sakit lagi?” tanya Riza langsung terdengar kembali
khawatir membuat Nisa langsung buru-buru
tersenyum lebar dan menggelengkan kepalanya.
“Nggak...
mata aku nggak sakit, Riz. Aku mengucek mata aku karena pandangan aku masih
kabur, jadinya aku ga bisa melihat jelas kamu. Padahal aku pingin lihat dengan
jelas ekspresi kamu sekarang, lagi jujur, serius atau nggak“.
Riza
menarik nafas lega dan ikutan tersenyum lebih lebar.
“Ooo, soal
alasan kerja tadi ya, Nis? Intinya aku mau belajar jadi pemimpin rumah tangga
yang bertanggung jawab buat teman hidup aku nanti siapapun dia”, sambung Riza, “jadi...
kamu mau nggak menikah sama aku biar kamu jadi teman hidup orang seperti aku he
he”.
Lagi-lagi
Nisa hanya diam dan tersenyum kearah Riza. Ingin sekali ia menemani Riza
sepanjang hidupnya andai ia terbebas dari ancaman kebutaan permanen yang
sewaktu-waku bisa dialaminya dan andai ia bisa mengalahkan
ketakutan-ketakutannya tentang operasi. Riza pun tersenyum lebih lebar melihat
gadis di hadapannya itu. Riza tahu dirinya mempertanyakan sesuatu yang sudah ia
tahu jawabannya meski tetap saja ia menaruh harapan akan mendapatkan jawaban
yang berbeda.
"Ya
udah, lebih baik sekarang kamu tidur dan mengistirahatkan mata kamu lagi, Nis.
Dokter bilang kamu perlu lebih banyak istirahat selain obat untuk mengurangi
peluang mata dan kepala kamu sakit lagi, Nis,” jelas Riza.
“Aku sudah merasa
enakan, Riz. Aku mau pulang,” pinta Nisa.
Riza
menggelengkan kepalanya.
“Lagi pula
besok aku ada ujian jam dua siang, Riz. Kamu memangnya besok ga ada jadwal
ujian?” sambung Nisa.
“Aku bisa
mintakan surat keterangan sakit dari dokter dan rumah sakit, Nis biar kamu bisa
ikut ujian susulan, Nis”.
Nisa menggelengkan
kepalanya.
“Aku ga mau
ikut ujian susulan, Riz. Lagi pula aku udah baik-baik aja, Riz,” ucap Nisa
sambil tersenyum lebar, meyakinkan laki-laki itu bahwa kondisinya sudah jauh membaik
.
“Pandangan
kamu kan masih kabur, Nis. Lagi pula infus kamu juga belum habis tuh, sayang
kan. Kamu istirahat dulu ya sejam dua jam disini. Nanti kalau setelah kamu
bangun pandangan kamu udah jelas lagi, aku janji bakal antar kamu pulang ke
tempat kos. Yaaa”.
Nisa pun
akhirnya tersenyum dan mengangguk setuju
“By the
way, kamu belum jawab, kamu besok ada ujian ga?” tanya Nisa lagi.
“Ada,”
jawab Riza singkat.
“Jam
berapa?”
“Jam
sembilan, tapi kamu tenang aja, Nis. Aku tadi siang udah nyicil belajar sambil
nungguin kamu keluar ruang ujian. Dan sekarang disini aku juga bisa belajar
sambil nungguin kamu tidur sejam dua jam,” sambung Riza bersemangat dan
tersenyum lebar sambil mengeluarkan bahan ujiannya untuk esok termasuk
rangkuman yang sudah dibuat Nisa untuknya dan menunjukkan ke Nisa. Gadis itu
pun tertawa dan menganggukkan kepalanya.
“Ya udah
cepat tidur dan istirahatin lagi mata kamu, Nis, biar nanti kalau kamu bangun,
kamu juga bisa ngomentari perbedaan di penampilan aku hari ini he he,” sambung
Riza sambil tertawa kecil.
“Perbedaan
penampilan?” tanya Nisa ikut tertawa kecil dengan ekspresi penasaran.
“Iya... aku
udah penuhi permintaan kamu semalam”.
“Permintaan
aku? Permintaan yang mana sih Riz?”
Riza makin
tertawa melihat Nisa yang terlihat makin penasaran dengan rautnya yang lucu itu.
“Iyaaa...
aku udah cukur, cukur jenggot dan rambut, Nis he he”.
Tawa Nisa
pun pecah. “Pantesan aja, aku ngerasa ada yang beda sama bentuk rambut kamu samar-samar. Tapi bukannya kamu bilang mau
cukur setelah ujian ya, Riz?”
Kali ini
Riza yang tertawa kecil. “Iya sih..., tapi tadi malam tiba-tiba muncul ide
pingin bikin kejutan datang ke fakultas kamu, nraktir kamu dan dengan
penampilan yang kamu pingin lihat. Kebetulan ada waktu juga tadi pagi buat
cukur”.
Nisa
menganggukkan kepalanya tak henti tertawa kearah Riza. “Ya udah, kalau gitu
sekarang aku tidur dulu biar nanti bangun-bangun aku bisa pulang ke kos dan lihat
penampilan baru kamu. Udah ga sabar nih he he”. Keduanya pun sejenak pecah
dalam tawa.
Tak perlu
waktu lama, Nisa terlihat terlelap dalam tidurnya, sementara Riza larut membaca
bahan-bahan ujiannya di sebelah Nisa. Seolah kejadian kemarin berputar dan
bergantian dengan kejadian hari ini. Kemarin Nisa menjaga Riza yang tertidur sambil
belajar dan hari ini sebaliknya. Sesekali Riza terlihat mengamati wajah teduh
gadis berjilbab yang sedang terlelap itu.
“Seberapa kuat kamu menolak lamaran aku, aku akan
tetap mendekat dan meminta kamu untuk menjadi teman hidup aku, Nis. Aku akan
selalu berusaha ada untuk kamu, Nisa. Aku akan menemani kamu menghadapi
ketakutan dan sakit kamu, membantu mewujudkan mimpi kamu, dan juga menjaga kamu
semampuku, Nisa,” batin Riza sembari tersenyum lembut kearah Nisa kemudian kembali
fokus belajar materi untuk ujian esok harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar