
YOU ARE THE ONE
"Maukah Kamu Menikah Denganku?"
Rizky sebagai Riza
Anisa sebagai Nisa
Dear : Riza (laki-laki luar biasa).
“Melihat
dan menemanimu adalah mimpi sepanjang usiaku. Aku ingin mencintai dan
membahagiakanmu hingga akhir waktu” – Nisa.
Dear : Nisa (my best friend forever and ever).
“Mimpimu,
membuatku ingin mewujudkannya. Takutmu, membuatku ingin meniadakannya.
Senyummu, membuatku ingin selalu menghadirkannya. Hadirmu, membuatku ingin
selalu menghabiskan hidupku bersamanya” – Riza.
PART 1 AKU MENYUKAIMU, TAPI....
Hari itu adalah hari yang sangat bahagia bagi Nisa,
seorang perempuan sederhana yang mencintai dengan sederhana dan dicintai dalam
sederhana oleh Riza. Riza..., laki-laki itu terlihat gagah dalam balutan kemeja
putih dan jas hitamnya, suaranya lantang dan penuh keyakinan saat ayah Nisa
menyerahkan putri bungsunya itu kepadanya melalui ijab kabul yang diucapkan
saat itu. Hatinya merasa lega dan dipenuhi rasa syukur karena akhirnya ia
menjadi teman hidup sekaligus pelindung sah Nisa, perempuan cantik yang
sekarang duduk di sebelahnya, setelah ribuan kali ia berusaha meminta Nisa
menjadi pasangan hidupnya. Nisa, perempuan cantik dalam balutan gaun putih itu
terlihat terharu dan bahagia, sesekali air mata jatuh dari mata cantiknya itu.
Kini ia bukan lagi seorang gadis yang berada dalam tanggung jawab ayah
tercintanya lagi, kini ia makmum bagi laki-laki tampan pemberani yang duduk di
sebelahnya dan terlihat tak kalah bahagia. Laki-laki itu... laki-laki yang
mencintainya dengan caranya yang luar biasa, laki-laki yang seharusnya layak
mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik darinya, tapi tidak menyerah
meyakinkan dia sebagai teman hidupnya.
Beberapa bulan
sebelumnya...
Sore itu, dua orang sahabat, laki-laki dan perempuan,
terlihat sedang berjalan beriringan selepas kelas masing-masing usai menuju
sebuah ruang terbuka hijau yang ada di kampus mereka. Sesekali canda tawa
terdengar diantara keduanya yang hampir satu bulan tak sempat bertemu karena
kesibukan kuliah mereka. Perempuan itu bernama Nisa, seorang mahasiswi jurusan
arsitektur yang sedang menjalani dua semester akhirnya yang tersisa dan baru
menyelesaikan tugas praktiknya sedangkan laki-laki itu bernama Riza, seorang
mahasiswa jurusan ekonomi pembangunan di semester yang sama yang disibukkan
dengan bertumpuk-tumpuk tugasnya. Mereka sengaja mengatur waktu untuk bisa
bertemu hari itu.
"Ini buat kamu, Riz," ujar Nisa tersenyum
sambil menyerahkan sebuah tas kertas ke Riza.
Riza terdiam memandang Nisa dengan ekspresi
bertanya-tanya menunggu penjelasan lebih lanjut dari gadis itu.
"Bulan kemarin kamu berulang tahun kan, Riz.
Anggap aja ini kado kecil dari aku," sambung Nisa sambil tersenyum lebih
lebar, "semoga selalu ditunjukkan yang terbaik, Riz...., maaf kalau
terlambat ya, he he".
Riza balas tersenyum lebar sambil mengucapkan terima
kasih dan bergegas melihat kado kecil dari Nisa itu. Ternyata sebuah tempat
pensil dari bahan tembikar.
"Kebetulan di tempat praktik kemarin, kita ada
diberi waktu main sehari di tempat kerajinan tembikar di daerah sana, jadi
sekalian aja aku buatin tempat pensil buat kamu. Tapi maaf kalau hasilnya
seadanya ya, " sambung Nisa tertawa kecil membuat Riza ikut tertawa.
"Bagus kok, Nis. Makasih sudah membuatkan ini
buat aku ya," ujar Riza dengan wajah riang sambil mengamati lebih seksama
tempat pensil buatan tangan Nisa itu.
"Be a good person,
always be brave and honest " .
(ind: “Menjadi orang baik, selalu berani dan jujur”.)
Riza membaca tulisan yang terukir di tempat pensil itu
kemudian tersenyum sendiri tetap memandangi tulisan Nisa itu, membuat Nisa ikut
tersenyum melihat Riza. Ia merasa lega karena Riza menyukai kado sederhana
darinya itu.
"Be brave and honest, Riz...," ujar Riza
dalam hati ke dirinya sendiri. Riza melihat kearah Nisa dan balas tersenyum,
lalu melirik ke sebuah gulungan kertas yang dipegang Nisa.
"Ituuuu.... kado buat aku juga bukan?" tanya
Riza tertawa kecil menggoda Nisa. Nisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya
membuat Riza sejenak tersenyum melihat tingkah Nisa yang terlihat lucu
dimatanya.
"Hmmm itu sketsa gambar apa memangnya, Nis?"
tanya Riza penasaran menunjuk ke gulungan kertas yang dipegang Nisa.
Gadis bernama Nisa itu
pun tersenyum lebar, "Ini.... mimpi aku, Riz".
"Mimpi kamu? Mimpi apa, kok kamu tidak pernah
cerita?" tanya Riza lagi makin penasaran.
Nisa tersenyum makin lebar. "Aku punya mimpi,
suatu hari nanti, aku ingin membuat taman kecil yang indah yang bisa dinikmati
oleh mereka yang kehilangan penglihatan," ujar Nisa bersemangat.
Riza tersenyum mendengarnya, ia tersentuh dengan mimpi
Nisa itu. Ia berusaha merebut gulungan gambar itu dari tangan Nisa dengan
setengah bercanda membuat Nisa kemudian memutuskan mendekap erat gulungan
kertas itu, sejenak menjulurkan lidahnya gantian menggoda Riza.
"Masih rahasia, Riz, masih belum selesai soalnya.
Sabar ya, nanti kalau gambarnya sudah jadi, aku pasti tunjukkin ke kamu,"
sambung Nisa sambil tersenyum riang. Riza menganggukkan kepalanya bersemangat,
terlebih melihat senyuman lepas Nisa yang terasa tulus.
"Ya udah, nanti biar aku yang mengurus terkait
pembiayaannya, percayakan padaku sebagai jebolan fakultas ekonomi. Oke!"
ujar Riza tertawa lebar meyakinkan Nisa, dibalas Nisa dengan anggukan kepalanya
mantab sambil mengacungkan jempolnya dan ikut tertawa lebar.
Riza tiba-tiba
terdiam, sejenak ia memandangi Nisa yang wajah penuh senyuman dan hadirnya,
ternyata Riza rindukan beberapa minggu terakhir ini.
"Apa kamu kangen ketemu sama aku, Nis?"
Nisa setengah terkejut mendengarnya, meski mereka
bersahabat, tapi jauh di hati Nisa, ada rasa yang ia simpan rapi buat
sahabatnya itu. Nisa menyukai sahabatnya itu sejak awal mereka bersahabat, tapi
ia memilih memperjuangkan perasaannya sebagai sahabat Riza. Meskipun demikian,
Nisa selalu memegang peluang itu, bahwa suatu hari Riza akan merasakan perasaan
yang sama terhadapnya, Riza akan menyukainya, sebelum akhirnya Nisa melepaskan
keinginan itu, berhenti mengharapkan hal itu setelah sebuah kenyataan yang
diketahuinya beberapa minggu yang lalu.
"Kamu habis ditolak cewek apa.... lagi kangen
sama gebetan atau cewek baru kamu ya, Riz...," jawab Nisa tersenyum
ringan, seolah menggoda Riza. Jauh di hatinya, Nisa berusaha meredam rasa yang
masih belum bisa ia lupakan tentang sahabatnya itu meski ia berusaha sekuat
tenaga menetralkannya.
Riza menatap Nisa sejenak dan menggelengkan kepalanya
beberapa kali.
"Aku serius, aku tanya apa kamu kangen sama aku,
Nisa," ulang Riza.
Nisa tersenyum lebih lebar, "Aku juga serius,
Riz. Pertanyaan kamu benar-benar aneh. Are
you okay, Riz? Apa ada sesuatu yang terjadi selama aku pergi?"
"Memangnya aneh seorang sahabat merindukan
sahabatnya, Nis?" ujar Riza balik bertanya membuat Nisa terdiam memandang
Riza. Nisa pun tersenyum, "Enggak aneh kok, Riz".
"Jadi kamu kangen nggak sama aku?" ulang
Riza sembari tersenyum.
Nisa menatap Riza sejenak, kemudian menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum malu, membuat Riza tertawa melihatnya.
"Nah begitu dong, kan aku jadi merasa lega dan
sangaaat senang sekarang," ujar Riza, "itu artinya bukan aku aja yang
kangen sama kamu, tapi kamu juga sebaliknya". Riza terlihat riang beberapa
saat setelahnya membuat Nisa merasa heran dengan sikap sahabatnya itu meski di
satu sisi hatinya, Nisa merasa senang saat tahu Riza juga merindukan dirinya.
Andai hari ini adalah beberapa bulan sebelumnya, mungkin hati Nisa akan
melambung sangat-sangat tinggi saking senangnya karena kalimat Riza itu.
Sayangnya kalimat itu baru Nisa dengar hari ini, saat Nisa sudah berhenti berharap
tentang perasaannya ke Riza.
Riza menghentikan langkahnya, menatap Nisa dengan
tajam membuat Nisa salah tingkah meski ia tetap memutuskan untuk tetap melihat
kearah sahabatnya itu. Riza terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi seolah
masih mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya.
“Hmmmm,... aku baru menyadari satu hal Nisa, aku
menyukai kamu, Nis. I love you Nisa,”
ucap Riza dengan nada cepat dan yakin, membuat Nisa yang mendengarnya pun
tertegun. “Apa aku sedang bermimpi? Atau Riza sedang berniat mengerjai
sahabatnya ini?” tanya Nisa dalam hati masih menatap Riza dengan heran.
Sementara itu, Riza terlihat sedang menunggu sebuah jawaban dari mulut Nisa.
“Kamu... kamu... lagi stres karena kebanyakan tugas
atau salah makan ya Riz? Kamu aneh banget hari ini...,” jawab Nisa sambil
tertawa kecil dan memukulkan kertas sketsanya itu pelan ke bahu Riza.
Riza tersenyum, tetap menatap Nisa tajam sambil
menggelengkan kepalanya dengan yakin.
“Aku serius, Nisa. Kamu sendiri yang bilang bahwa aku
harus berani dan jujur, bukan? Aku menyukai kamu, Nisa. Bukan sekedar sebagai
sahabat, tapi rasa suka seorang laki-laki ke perempuan,” sambung Riza pelan
tapi dengan nada tegas membuat Nisa semakin terpaku di tempatnya. “Riza
menyukai aku? Perasaan aku ke Riza akhirnya terbalas?” ujar Nisa lagi di dalam
hatinya. Seharusnya Nisa bahagia mendengarnya dan memang terselip bahagia di
hatinya saat itu, dua tahun sejak rasa itu ada di hatinya, Riza akhirnya memiliki
rasa yang sama dengannya, tapi sekarang Nisa tak lagi mengharapkan Riza
membalas perasaannya. Dia hanya ingin menyimpan perasaannya untuk Riza itu
sendiri.
“Apa kamu menyukai aku juga, Nisa?” tanya Riza
menyadarkan Nisa dari lamunannya. Nisa kembali menatap Riza. Untuk sejenak Nisa
hanya tersenyum tak tahu harus menjawab apa.
“Apa kamu menyukai aku juga, Nis?” ulang Riza membuat
Nisa kemudian tertawa lebar ke Riza. “Kamu pasti sedang bercanda. Iya kan,
Riz...”. Nisa kembali memasang wajah riangnya, berjalan santai meninggalkan
Riza sambil menoleh kearah langit dan kanan kirinya seolah pertanyaan itu hanya
pertanyaan yang numpang lewat dan tidak serius.
“Aku serius dan tidak sedang bercanda, Nisa,” ucap
Riza tegas dan agak lantang, sambil berdiri beberapa meter dihadapan Nisa dan
menghentikan langkah Nisa. Lagi-lagi Nisa hanya tersenyum tanpa mengucapkan
satu kata pun.
“Aku akan ulangi pernyataan aku tadi satu kali lagi
dan aku harap kamu mau menjawabnya dengan jujur, Nis. Kalau kamu tetap diam dan
senyum-senyum ga jelas seperti ini, aku anggap kamu tidak menerima perasaan
aku. Dan aku janji nggak akan pernah mengulang mengucapkannya lagi setelah
ini,” sambung Riza serius, menatap Nisa sejenak kemudian balik membelakangi
Nisa. Lagi-lagi Nisa hanya tersenyum melihat tingkah Riza saat itu, Nisa bisa
melihat ada rasa kesal dan sedikit kecewa yang bercampur dengan harapan di
wajah sahabatnya itu karena sikapnya. Namun, Nisa juga tidak tahu harus
menjawab apa, meski hatinya ingin menjawab iya buat Riza, tapi Nisa tetap tidak
bisa menerima perasaan Riza. Nisa bingung harus berkata apa.
Nisa tetap memandangi Riza yang sedang
membelakanginya, ia seolah ingin mengamati dengan seksama setiap gerak gerik
sahabatnya itu yang perlahan mulai terlihat kabur di pandangan Nisa yang
masih tetap dengan senyumnya.
“Kalau kamu tetap tidak menjawab kali ini, aku janji
aku bakal melupakan perasaan aku ke kamu yang aneh ini dan ga akan pernah
mengungkitnya lagi,” ujar Riza lagi, “aku... suka sama kamu, lebih dari sekedar
sahabat, Nisa. Apa kamu juga punya perasaan yang sama?”
Kalimat Riza itu terdengar indah di telinga Nisa dan
untuk kesekian kali mampu menyentuh hati Nisa. Nisa tersenyum lebih lebar
memandangi Riza yang tetap membelakanginya, menungggu jawaban dari mulut Nisa. Riza
terlihat semakin kabur di pandangan Nisa ketika tiba-tiba saja Nisa merasakan
seperti ada palu yang memukul kepalanya dengan keras, dan semuanya pun menjadi
gelap dalam seketika.
Terdengar bunyi sesuatu terjatuh di tanah, Riza pun
bergegas menoleh ke belakang mencari asal suara. Di hadapannya, Nisa terlihat
terbaring tak sadarkan diri di tanah dan sketsa gambarnya pun tergeletak tak
jauh darinya.
“Nisaaa...,” ujar Riza bergegas membangunkan
sahabatnya itu. “Nis... kamu kenapa?” ujarnya panik sambil berulang kali
menepuk pipi Nisa yang tetap terpejam meski Riza berulangkali memanggil
namanya. “Nisa..., bangun Nis... sadar Nis... Kamu kenapa, Nisa?”
Riza pun meminta bantuan mahasiswa yang ada di
sekitarnya mencarikan taksi untuknya membawa Nisa ke rumah sakit. 10 menit
kemudian, Riza sudah berada di dalam taksi menuju rumah sakit bersama Nisa yang
tak kunjung membuka matanya.
PART 2 : GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP VS 'MAUKAH KAMU
MENIKAH DENGANKU?'
Dua jam berlalu, terlihat Nisa sedang terbaring di
sebuah ruangan di rumah sakit dan mulai membuka matanya.
“Kamu sudah sadar Nis?
Mana yang sakit, Nisa?”
Pandangan Nisa masih sangat kabur, ia tidak bisa
melihat jelas laki-laki yang ada di hadapannya dan bertanya padanya dengan nada
khawatir itu. Namun dari suaranya, Nisa sangat mengenali suara itu, suara Riza.
“Aku dimana, Riz?” tanya Nisa pelan, kepala dan
matanya masih terasa sakit.
“Kamu di rumah sakit Nis. Tadi kamu tiba-tiba pingsan.
Mana yang sakit, Nis?” tanya Riza lagi.
Nisa tersenyum, berusaha menenangkan Riza yang
terdengar mengkhawatirkannya itu. “Aku gapapa, Riz. Oh iya, sketsa aku dimana
ya, Riz?”
Samar di pandangan Nisa, Riza terlihat berusaha
tersenyum tipis, “Gapapa gimana, kamu pingsan cukup lama, Nisa... . Sketsa kamu
aman kok, Nis. Ini...” . Riza mengambilkan gulungan sketsa milik Nisa dan
memperlihatkannya pada Nisa. Nisa mengambil gulungan sketsa miliknya itu dan
mendekapnya sambil tersenyum lega.
Riza tersenyum melihatnya meski rasa khawatir itu
lebih terlihat jelas di wajahnya.
“Aku panggilkan dokter buat memeriksa kamu ya,
Nis...”. Lagi-lagi Nisa tersenyum lebar dan mengangguk pelan.
Sebelas menit kemudian terlihat seorang dokter masuk
bersama Riza. Sebenarnya Nisa hanya bisa melihat dengan samar kedua orang itu,
tapi dari pakaiannya yang putih dan benda yang terlihat seperti stetoskop di
leher orang tersebut, Nisa bisa menduga bahwa itu pastinya dokter. Sejak sadar
dari pingsannya, pandangan Nisa belum bisa pulih seperti biasa, semuanya
terlihat kabur baginya.
“Dari pemeriksaan standar, baik itu tensi, suhu, dan
denyut jantung, semuanya normal. Oleh karena itu, mungkin perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kondisi Mbak Nisa,” ujar dokter
berusaha menjelaskan. “Kalau boleh saya tahu, apa yang Mbak Nisa rasakan
sebelum pingsan dan sekarang? Bagian mana yang sakit?” tanya dokter lagi.
Nisa terdiam sejenak sambil berusaha tersenyum kepada
dokter dan juga Riza yang ada di sebelah dokter. Nisa balas menatap Riza yang
sedang menatapnya itu, Nisa ragu apakah ia harus menceritakan penyakitnya di
hadapan Riza. Namun, Nisa juga merasa tidak enak meminta Riza keluar saat itu.
“Sebenarnya... saya mengalami penyakit glaukoma sudut
tertutup, Dokter,” ujar Nisa pelan.
“Glaukoma?” seru Riza pelan tetap memandangi Nisa,
seolah meminta penjelasan yang lebih banyak tentang itu.
“Apa Mbak Nisa tahu resiko terburuknya?” tanya dokter.
Nisa memandang kearah Riza yang menunggu penjelasan
sejenak, kemudian mengangguk pelan.
“Apa Mbak Nisa sudah
rutin melakukan pengobatan?” lanjut dokter lagi.
“Maaf dokter, memang apa resiko terburuknya?” sela
Riza terlihat penasaran, sejenak dia melihat ke Nisa seolah meminta penjelasan
dari gadis itu.
“Penderita glaukoma sudut tertutup bisa sewaktu-waktu
mengalami kebutaan selamanya meski sudah menjalani pengobatan. Di beberapa
kasus, operasi menjadi jalan yang paling aman untuk mencegah kemungkinan itu
karena kita tidak pernah tahu kapan sakit yang menyerang itu bisa menghilangkan
penglihatan penderitanya. Apa Mbak Nisa sering mengalami rasa sakit seperti
sekarang, sampai Mbak Nisa pingsan?”
Riza terlihat diam mematung mendengarnya. Perasaannya
campur aduk mendengarnya. Kembali ia melihat ke Nisa lama. Nisa tersenyum
lebar kepada Riza.
“Sejak pertama kali serangan sakit itu saya rasakan,
ini baru kali kedua saya pingsan. Saya sudah melakukan pengobatan sejak
beberapa minggu yang lalu, Dok,” jawab Nisa. “Kamu tenang aja, aku baik-baik
saja, Riza,” sambungnya sambil tersenyum lebih lebar ke Riza yang masih tetap
diam menatapnya diantara rasa terkejutnya, seolah Nisa ingin menenangkan
laki-laki itu.
Dokter pun kemudian mengarahkan Nisa untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut di bagian yang menangani penyakit mata. Dan Riza tetap
saja terdiam, menyiapkan kursi roda buat diduduki Nisa dan bergegas menemani
Nisa menuju bagian penyakit mata sesuai petunjuk dokter. Pandangan Nisa masih
setengah kabur saat itu, meski sakit di matanya sudah jauh lebih berkurang.
Nisa justru mengkhawatirkan Riza yang masih tetap setia dalam diamnya.
“Riz, kenapa kamu tiba-tiba jadi diam? Kamu marah?”
ujar Nisa berusaha membuyarkan keheningan diantara keduanya. Hening, tak ada
jawaban dari Riza yang terus mendorong kursi roda Nisa pelan.
“Maaf ya, Riz...,”
sambung Nisa.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nis. Kamu tidak salah
apa-apa. Aku cuma sedang tidak ingin bicara saja, seperti halnya kamu yang diam
dan tidak menceritakan apa-apa tentang penyakit kamu ke aku,” jawab Riza pelan
dan datar, membuat Nisa merasa bersalah. Nisa tahu, ada rasa kecewa
bercampur sedih dan kaget dalam nada bicara Riza itu.
Nisa sengaja tidak bercerita ke Riza tentang
penyakitnya karena dia tidak ingin melihat Riza mengkhawatirkannya. Dia hanya
ingin tetap berbagi senyum dan tawa bersama laki-laki yang istimewa di hatinya
itu. Siapa yang menyangka bahwa serangan glaukoma itu justru terjadi tiba-tiba
ketika Nisa sedang bersama Riza sore itu.
Akhirnya mereka sampai ke bagian penyakit mata dan
Riza menemani Nisa masuk ke ruang pemeriksaan mata serta dengan aktifnya
meminta penjelasan ke dokter specialis mata tersebut terkait penyakit Nisa.
Setelah melihat kondisi mata Nisa, dokter menyarankan gadis itu menjalani
operasi mata untuk mencegah ancaman kebutaan yang bisa datang sewaktu-waktu
jika Nisa mengalami serangan serupa.
Nisa hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tetap
tersenyum kepada dokter di hadapannya itu. “Saya memilih pengobatan biasa saja,
Dok. Saya tidak mau dioperasi,” ujar Nisa lirih. Ada semacam trauma di nada
bicara Nisa ketika kata operasi itu diucapkan. Sementara itu, Riza masih betah
dalam diamnya kepada Nisa, hanya menatap gadis itu lama.
Setelah dokter memberikan resep obat kepada Nisa, Nisa
dan Riza pun keluar dari ruangan itu masih tanpa satu kata pun ketika beberapa
saat kemudian, Riza berhenti mendorong kursi roda yang diduduki Nisa dan Riza
duduk di salah satu bangku tunggu yang ada di lorong rumah sakit itu dan
menghadapkan Nisa dengan dirinya.
Sejenak Nisa balas menatap Riza yang masih terlihat
agak kabur di pandangannya, dengan raut setengah bertanya kemudian lagi-lagi
Nisa tersenyum lebar ke Riza yang masih menatapnya dengan serius. Entah kenapa
Nisa tiba-tiba merindukan sebentuk senyum di bibir Riza yang saat itu tiba-tiba
terasa langka dan pergi jauh, entah kemana.
Nisa kemudian tertawa memamerkan giginya sambil
tangannya membuat bentuk senyuman ke Riza, berusaha membujuk Riza buat
tersenyum lagi dan menghentikan gerakan diam seribu bahasanya ke dirinya.
Dan... berhasil, Riza balas memamerkan giginya sambil tangannya ikutan membentuk
simbol senyuman lalu tersenyum lembut kepada Nisa. Tawa pun akhirnya pecah
diantara keduanya sebelum kemudian Riza kembali menatap Nisa dalam diam.
“Kenapa lagi? Jangan-jangan kamu marah gara-gara
kejadian di kampus tadi, gara-gara aku diam dan senyum-senyum tidak jelas ya
Riz?”
Riza menggelengkan kepalanya pelan. Saat itu,
tiba-tiba Riza menyadari makna dibalik diam Nisa padanya tadi. “Apa kamu diam
karena penyakit kamu, Nisa? Apa kamu diam karena tidak ingin membuat aku lebih
khawatir?” ujar Riza dalam hati, tetap memandang Nisa yang terlihat sedang
menunggu respon laki-laki yang berhadapan dengannya itu.
“Rizaaa...”. Panggilan Nisa sambil tersenyum lebar itu
menyadarkan Riza dari monolog hatinya.
Riza kembali menggelengkan kepalanya sambil balas tersenyum
lebar. “Seperti yang aku katakan tadi di kampus, aku tidak akan mengulang
mengatakannya lagi, Nisa”.
Nisa balas tersenyum tipis, “Artinya kita bisa
bersahabat lagi seperti biasa kan, Riz?”
Riza terdiam dan balas tersenyum tipis. "Maukah
kamu menikah denganku, Nisa?"
Kini giliran Nisa yang mematung menatap Riza antara
takjub dan kagetnya. Hari ini kalimat-kalimat Riza benar-benar membuat Nisa speechless. Setelah sebelumnya Riza
mengagetkannya dengan pernyataan sukanya, sekarang Riza malah memintanya
menjadi istrinya.
"Ini nyata atau aku sedang terlalu
berhayal?" ujar Nisa dalam hati sambil bergegas mencubit tangannya sendiri
dan ternyata sakit.
"Nisa... kamu
dengar apa yang aku bilang barusan?" lanjut Riza.
Nisa masih menatap Riza yang terlihat sedang tersenyum
dengan raut seriusnya. Nisa menganggukkan kepalanya ragu.
"Apa kamu mau menikah denganku, Nisa?" tanya
Riza lagi dengan lembut, tapi tetap serius.
Nisa masih terdiam, hanya balas tersenyum lembut.
"Apa kamu baik-baik saja, Riza? Kalimat kamu
benar-benar tidak biasa hari ini," ujar Nisa sambil menempelkan tangannya
ke kening Riza sejenak, jangan-jangan Riza demam sehingga kalimatnya menjadi
aneh seperti itu.
Riza tersenyum lebih lebar, "Aku baik-baik saja,
Nis. Dan aku 100 persen sadar dengan semua kalimat aku ke kamu hari ini. Aku
ingin menjadi teman hidup kamu, Nisa. Pertanyaannya, apa kamu mau menjadi teman
hidup aku?"
Nisa memandangi Riza, tetap dengan senyumnya.
"Aku ingin menjadi teman hidup kamu Riza, tapi aku... akuuu..tidak mau
menjadi teman hidup kamu. Kamu layak mendapatkan seseorang perempuan yang lebih
baik, Riz. Seseorang yang bisa membahagiakanmu dengan utuh, bukan orang yang
mungkin mengalami kebutaan permanen seperti aku," ujar Nisa sambil
tersenyum lebih lebar, "lagipula bukannya aku tidak masuk sebagai kriteria
perempuan yang kamu sukai kalau melihat mantan-mantan kamu sebelumnya,
Riz?"
Riza tersenyum mendengarnya. "Kamu memang tidak
masuk kriteria itu, Nis, tapi cuma kamu yang membuatku ingin dan yakin untuk
menjadikanmu sebagai teman hidup aku”. Riza terdiam sejenak. "Mungkin ada
banyak perempuan yang lebih baik dari kamu Nisa, tapi kebahagiaan aku ga akan
utuh tanpa kamu, Nis. Lagipula, seperti yang dokter bilang tadi, kamu mungkin
sembuh Nis melalui operasi".
Kalimat Riza itu sukses membuat Nisa terharu dan
berkaca-kaca, Nisa sangat tersentuh mendengarnya. Nisa tidak menyangka
sahabatnya itu menjelma menjadi laki-laki yang super romantis secara tiba-tiba
saat itu.
“Aku takut operasi, Riz.... aku masih trauma. Aku
kehilangan Mama dan adik bungsuku di ruang operasi, Riza. Sejak keluar dari
ruang operasi waktu itu, aku tidak bisa lagi melihat senyum Mamaku," jawab
Nisa lirih sambil menatap Riza. Air matanya berdesakan ingin sekali keluar saat
itu juga, tapi dia tidak ingin menangis di depan Riza saat itu. Meskipun
demikian ada saja satu dua kali air matanya tak bisa ia cegah untuk keluar dan
Nisa dengan cepat menghapusnya. Riza balas menatap Nisa dengan lembut, seolah
ia ingin menenangkan Nisa. "Aku mengerti ketakutan kamu Nisa, aku janji
aku bakal menemani kamu selama di ruang operasi biar kamu tidak terlalu takut.
Izinkan aku menikah dengan kamu, ya...," ujar Riza sambil tersenyum lebih
lebar, "apa yang terjadi sama Mama dan adik bungsu kamu itu sudah
ditakdirkan Allah, Nisa, tapi bukan berarti kamu akan mengalami hal yang
sama".
Nisa terdiam mendengarkan ucapan Riza itu. Nisa tahu
bahwa apa yang terjadi dengan Mama dan adiknya itu adalah takdir, tapi Nisa
tetap tidak bisa menghilangkan trauma yang dirasakannya itu, ketika tubuh Mama
dan adiknya terbujur kaku sekeluarnya dari ruang operasi beberapa tahun lalu.
Saat itu, Nisa hanya bisa menangis dipelukan kakaknya dan kehilangan itu masih
tetap terasa bagi Nisa hingga sekarang tiap kali ia mengingatnya.
Tiba-tiba saja, Nisa merasakan ketakutan baru
mengingat kalimat Riza. Bagaimana kalau seandainya dirinya keluar dari ruang
operasi seperti Mamanya. Bagaimana dengan Riza. Tiba-tiba Nisa disergap
ketakutan membayangkan Riza berada di posisinya saat itu, kehilangan seseorang
yang disayangi. "Aku tidak ingin Riza mengalami seperti yang aku alami
dulu," ujar Nisa dalam hati.
"Nisaaaa...," panggil Riza menyadarkan Nisa
dari lamunannya.
Nisa buru-buru tersenyum lebih lebar, sejenak Nisa
memandangi laki-laki itu yang terlihat tulus kepadanya, "Maafkan aku Riza,
tapi aku lebih memilih pengobatan selain operasi saja. Aku tidak bisa
mengalahkan ketakutan karena trauma itu, Riz. Dan maaf, aku tidak bisa menikah
dengan kamu, Riza. Aku lebih nyaman kita tetap bersahabat seperti ini. Lagi
pula, kalau kita menikah sekarang pun, kita masih punya tanggung jawab ke orang
tua kita menyelesaikan kuliah kita dengan baik dan kita juga sama-sama belum
kerja. Jadi kalaupun kita menikah, kita hanya akan menjadi beban orang tua
kita, dan aku serta kamu pastinya ga mau kan?"
Riza terdiam kemudian tersenyum lagi, "It's okay,
Nis kalau kamu masih trauma buat operasi, kita bisa tunggu sampai kamu berani.
Dan kalaupun kamu tidak ingin operasi, aku tetap ingin menemani kamu, Nisa. Mau
ya menikah sama aku? Aku janji kita akan tetap bisa menyelesaikan tanggung
jawab kuliah kita dengan baik dan aku akan bekerja semampu aku untuk menafkahi
kamu, Nisa". Wajah Riza terlihat serius dan yakin saat mengucapkan kalimat
itu, sementara Nisa sangat tersentuh mendengarnya tapi sekaligus membuat
hatinya semakin tidak ingin membuat Riza lebih khawatir tentangnya.
"Maaf, Riza...," ucap Nisa kemudian pelan,
dia tetap dengan keputusannya sebelumnya.
“Mungkin kamu perlu waktu buat memikirkannya, Nis. Satu
hal yang harus kamu ingat, mulai hari ini setiap hari aku akan meminta kamu
untuk menjadi teman hidup aku. Aku akan menunggu sampai kamu menjawab iya,
Nisa," ujar Riza sambil menganggukkan kepalanya dan tertawa kecil dengan
penuh keyakinan.
"Riza...," hanya nama laki-laki itu yang
keluar dari mulut Nisa, selebihnya Nisa hanya bisa diam tetap dengan
senyumannya menatap Riza. Nisa tahu tidak mudah membujuk Riza tentang ini, Riza
bukan orang yang mudah mengubah keputusannya.
Mereka pun memutuskan kembali menuju kamar tempat Nisa
dirawat.
"Riza, aku mau pulang. Mata aku juga sudah
mendingan".
"Tapi Nis, Dokter bilang sebaiknya kamu menginap
semalam agar kita bisa melihat perkembangan sakit kamu," ujar Riza dengan
nada dan raut khawatirnya.
"Aku sudah tidak apa-apa, Riza. Kan aku juga
minum obat sesuai resep dokter, Riz. Aku tidak terlalu suka rumah sakit,
Riza...," bujuk Nisa dengan tersenyum lebih lebar dan raut wajah setengah
memelas.
Akhirnya Riza pun mengangguk setuju, dia tahu Nisa
tidak terlalu nyaman berada di rumah sakit terlebih dengan pengalaman sedih
yang pernah dialaminya itu. Setelah mengurus administrasi dan menebus obat yang
diresepkan dokter sebelumnya, mereka pun akhirnya pulang.
Beberapa saat kemudian, Nisa dan Riza pun berada di
dalam taksi menuju tempat kos Nisa. Baik Riza maupun Nisa duduk di kursi
belakang taksi. Nisa terlihat mendekap erat gulungan sketsanya dan tas ransel
Nisa menjadi pembatas diantara dirinya dan Riza.
"Terima kasih ya Riz buat semuanya. Maaf
merepotkan kamu," ujar Nisa memecah hening keduanya.
Riza tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Aku
tidak merasa repot, Nisa. Aku sangat peduli dan kamu juga sudah tahu bagaimana
perasaan aku ke kamu".
Mereka saling menatap satu sama lain, Nisa membalas
senyum Riza.
"Apa ayah kamu tahu kalau kamu sakit, Nis?"
Nisa menggelengkan kepalanya pelan, "Aku tidak
ingin membuat Ayah khawatir, Riz. Lagipula serangan glaukoma ini juga
jarang-jarang dan tidak parah. Aku yakin bakal baik-baik saja selama aku
mengobatinya secara rutin".
Riza hanya diam mendengarnya. Ia tahu, Nisa adalah
tipe perempuan yang mandiri dan tidak ingin membuat orang lain
mengkhawatirkannya. Nisa kembali memandang ke luar jendela, sambil memeluk
lebih erat gulungan sketsa itu di dadanya. "Aku akan mewujudkan mimpi aku
sebelum aku mengalami resiko terburuk, buta selamanya. Aku yakin, aku pasti
bisa. As long as there is a strong will,
there is a way then, insyaa Allah, Nisa (ind: sepanjang ada keinginan kuat, akan ada jalan jika Allah
menghendaki, Nisa)," batin Nisa sambil tersenyum optimis kemudian,
berusaha menghapus ragu di hatinya.
Sementara itu, Riza yang berada di sebelah Nisa
mengamati gerak-gerik gadis itu.
"Apa penyakit ini juga yang menjadi salah satu
alasan kamu punya mimpi membuat taman untuk mereka yang kehilangan penglihatan,
Nisa?" tanya Riza pelan dan hati-hati. Nisa menoleh kepada Riza dan
tersenyum lembut padanya sembari menganggukkan kepalanya pelan.
“Saat dokter bilang kemungkinan terburuk dari
penyakitku ini adalah buta selamanya dan glaukoma adalah penyakit mata nomer
dua terbanyak yang menyebabkan kebutaan, aku kemudian tertarik mengamati lebih
dekat mereka yang tidak bisa melihat. Mereka tidak bisa melihat keindahan, tapi
aku tahu mereka bisa merasakannya dengan lebih peka. Kemudian muncul ide, aku
menantang diri aku sendiri untuk membuat taman kecil yang indah yang bisa
dilihat oleh mereka yang kehilangan penglihatan, bukan dengan mata tapi dengan
hati melalui indera peraba salah satunya. Aku ingin mereka bisa melihat
keindahan itu sama seperti mereka yang bisa melihat. Ya... bisa jadi suatu saat
nanti, aku menjadi bagian dari mereka...," jelas Nisa kemudian tersenyum
lebih lebar ke Riza sejenak lalu kembali menoleh kearah luar. Riza hanya
menatap Nisa, ia bisa merasakan ketulusan yang berbaur rasa takut dan sedih di
kalimat Nisa itu.
"Aku yakin kamu pasti bisa mewujudkan mimpi mulia
kamu itu, Nis. Semangat!"
Nisa kembali menoleh kearah Riza yang terlihat
tersenyum super lebar kepadanya, raut wajah Riza terlihat optimis membuat Nisa
pun semakin tertular optimis. Nisa menganggukkan kepalanya sambil mengepalkan
satu tangannya dengan senyum tak kalah lebar, "Semangat! Makasih ya,
Riz".
"Gimana mata kamu, Nisa? Apa masih sakit? Apa
sudah bisa melihat dengan jelas lagi? Jalanan lumayan macet, sebaiknya kamu
tidur saja, Nisa, sekalian mengistirahatkan mata kamu," lanjut Riza lembut
dengan nada khawatir yang belum hilang.
Nisa tersenyum lebih lebar kepada Riza, seolah ingin
menghilangkan khawatir yang dirasakan Riza tentangnya. "Aku baik-baik
saja, Riza. Aku sudah bisa melihat wajah kamu yang tampan itu dengan cukup
jelas, Riz," sambung Nisa sambil tertawa dan menjulurkan lidahnya seolah
menggoda Riza, membuat Riza pun ikut tertawa dengan setengah manyun.
"Emang kamu gapapa kalau aku tidur, Riz? Entar
kamu malah bete sendirian menikmati kemacetan," ujar Nisa lagi dengan nada
menggoda Riza.
Riza tertawa mendengarnya kemudian mengangguk pelan.
"Gapapa, Nis, kan ada pak sopir yang menemani dalam kemacetan dan tidak
mungkin tidur juga, he he". Nisa pun balas tertawa kecil kemudian
mengangguk, "Ya sudah, aku tidur kalo begitu. Kalau pak sopirnya capek, ga
ada salahnya tuh Riz kalau kamu menggantikan pak sopir buat mengemudikan taksi
ini he he".
Riza pun pecah dalam tawa, mendengar kalimat
penghujung Nisa yang masih mencandai dan menggodanya.
Tak berapa lama kemudian, Nisa sudah terlelap dengan
tetap memegang erat gulungan sketsanya, sementara Riza yang sebelumnya asyik
melihati pemandangan di luar kemudian menoleh kearah Nisa lalu memerhatikan
raut wajah perempuan itu yang terlihat damai dalam tidurnya. Riza kemudian
mengeluarkan jaket yang dibawanya dari ranselnya kemudian menyelimuti Nisa
dengan jaketnya. Sejenak dia menyentuh gulungan sketsa mimpi Nisa itu.
"Aku janji, Nis, aku akan membantu kamu
mewujudkan mimpi kamu itu, as soon as
possible (ind: secepatnya). Itu
bukan hanya mimpi kamu, tapi juga mimpi aku... mimpi kita, Nisa. Aku ingin
melihat kamu tersenyum saat kamu bisa mewujudkan mimpi itu. Senyuman kamu
itu..., senyuman yang istimewa buat aku," ujar Riza dalam hatinya sambil
memandangi wajah teduh Nisa. Bahkan dalam tidurnya pun, senyuman Nisa itu
terlihat istimewa dan tulus. Tiba-tiba ada air mata menetes di pipi Riza dan
Riza pun buru-buru menghapusnya. Riza kembali melihat keluar, gerimis terlihat
menyapa jalanan saat itu.
Tiga puluh menit kemudian, Nisa terbangun dari
tidurnya dan menyadari Riza menyelimutinya dengan jaketnya. Nisa tersenyum
bahagia, "Aku tahu kamu laki-laki baik, Riza. Aku ingin sekali
membahagiakanmu sampai ujung usia aku, Riz. Andai saja...," batin Nisa.
"Kamu sudah
bangun, Nis?"
Pertanyaan Riza itu membuat Nisa refleks menarik
bibirnya membentuk senyuman yang lebih lebar lagi sambil menganggukkan
kepalanya.
“Sedikit lagi kita sampai," ujar Riza tersenyum
lembut ke Nisa dibalas Nisa dengan tersenyum dan mengangguk pelan.
"Nisa...," panggilan Riza itu pun membuat
Riza dan Nisa berpandangan.
"Maukah kamu menikah denganku?" tanya Riza.
Lagi-lagi pertanyaan Riza itu pun sukses membuat Nisa tertegun dan terdiam. Dan
agaknya akan selalu seperti itu reaksi Nisa tiap kali Riza melontarkan
pertanyaan luar biasa itu. "Andai aku bisa menjawab iya, Riz...,"
batin Nisa. Nisa kemudian tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan,
"Maaf Riza, kamu sudah tahu jawabannya...".
Riza pun balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Aku mengerti, aku akan tetap meminta kamu dan akan menunggu sampai kamu
menjawab 'iya', Nisa".
Sejenak mereka pun larut dalam diam ketika taksi yang
mereka naiki sudah sampai di depan tempat kos Nisa. Nisa bergegas melipat jaket
Riza yang tadi menyelimutinya saat tidur.
"Jaket kamu ini biar aku cuci dulu, ya Riz. Nanti
aku kembalikan ke kamu kalau kita bertemu lagi atau kalau nggak aku titipin
Ana, teman sekelas kamu," ujar Nisa sambil tersenyum lebar dan riang ke
Riza dibalas dengan senyuman dan anggukan kepala Riza.
"Terima kasih banyak untuk semuanya ya,
Riz," lanjut Nisa sambil menyerahkan sejumlah uang seperti yang tertera di
argometer taksi. Riza hanya tersenyum menerimanya, ia tahu Nisa bukan perempuan
yang suka ditraktir oleh laki-laki, bahkan meski laki-laki itu adalah Riza.
"Ya udah kamu segera masuk, biar bisa lanjut
istirahat, Nis," jawab Riza dengan riang. Keduanya tertawa sejenak,
setelah bertukar salam, Nisa berjalan masuk kedalam tempat kosnya. Sementara
itu, Riza terlihat mengamati Nisa dari dalam taksi, sengaja menunggu sampai
Nisa benar-benar masuk ke dalam tempat kosnya. Sejenak Riza mengetikkan
beberapa kalimat di handphone-nya.
Nisa sudah masuk ke dalam kamarnya, begitu pun Riza
sudah melanjutkan perjalanannya ketika Nisa melihat ada pesan masuk di whatsapp-nya, pesan dari Riza.
"Semoga dengan berobat rutin, kamu tidak
mengalami serangan sakit seperti sore tadi lagi ya, Nis :)".
Nisa pun tersenyum dan segera mengetik balasannya.
"Aamiin, makasih banyak ya, Riz. You're
really my best friend (ind: Kamu
benar-benar sahabat terbaik aku), Riza :D".
Terlihat di layar whatsapp
Nisa, Riza is typing...
"Would you
be my best friend forever and ever (ind:
Maukah kamu menjadi sahabat terbaikku selamanya), Nis? Maukah Kamu Menikah
Denganku?”
Nisa tersenyum haru membacanya. Kalimat Riza itu
benar-benar membuat hatinya tersentuh. Hati Nisa begitu berbunga-bunga seketika
hingga membuat Nisa menangis bahagia dalam sendirinya untuk sesaat. Namun di
lain sisi, Nisa juga merasakan sedih karena di ia tahu benar harus menjawab apa
ke Riza hingga tangis bahagia itu pun bercampur dengan tangis sedihnya.
"Maaf Riza, kamu sudah tahu jawabannya. Dan
keputusan aku tetap tidak berubah. Aku yakin kamu akan mendapatkan seorang
perempuan yang bisa lebih membuatmu bahagia selamanya, kamu layak
mendapatkannya," ketik Nisa kemudian.
"Aku ingin sekali melihat dan menemani kamu
sepanjang usiaku, Riz...," ucap Nisa lirih dan berusaha tersenyum tegar
sambil melihati layar whatsapp-nya
ketika beberapa saat kemudian terlihat Riza is
typing... .
"Aku akan tetap meminta dan menunggu sampai kamu
menjawab ‘iya', Nis".
Kalimat Riza itu pun mengakhiri percakapan diantara
Nisa dan Riza saat itu. Di hari itu, tak ada lagi percakapan diantara keduanya
kecuali satu pesan whatsapp dari Riza
menjelang jam Nisa tidur, pesan yang sama dengan sebelumnya dan sekaligus
merupakan tekad Riza, "Maukah Kamu Menikah Denganku, Nisa?"
Lagi-lagi Nisa hanya bisa tersenyum haru membacanya,
meski ia kemudian memutuskan untuk tidak membalasnya, "Maaf, Riz... .
Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kamu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar