Rabu, 17 Juni 2015

Volunteering, Sebuah Kerinduan


Dari beberapa tahun yang lalu, dalam hati ini terselip keinginan untuk menjadi volunteer yang baik. Kejadian Tsunami Aceh dan Gempa Jogja membuat saya menyadari bahwa ada perasaan yang sulit diungkapkan saat kita bisa melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain. Apalagi ada satu kejadian kecil yang membuat saya terkesan hingga saat ini. Masih teringat saat itu beberapa hari setelah Tsunami Aceh yang sangat memilukan. Saya melihat ada sebuah keluarga pemulung tanpa rumah (mereka hidup dan tidur di gerobak dorong mereka), mereka menaruh sebagian penghasilannya untuk membantu korban Tsunami Aceh. Saya sangat terharu melihatnya, bukan tentang nominalnya, tapi keinginan mereka untuk meringankan sesamanya yang kesusahan, meski mereka sendiri pun hidup susah. 
Kemudian memasuki dunia kerja dengan rutinitasnya, saya merasa hidup saya cukup monoton dengan pekerjaan meski disatu sisi saya bersyukur karena hampir tidak pernah kekurangan pekerjaan. Terasa lebih mudah meng-"halal"-kan dengan benar-benar gaji yang saya terima, he he (baca: tidak merasa makan gaji buta :D :D). Lalu berkenalan dengan sebuah organisasi sosial di Kota Seribu Sungai yang memberikan perhatian kepada anak-anak buruh cuci dan pelabuhan di sebuah lingkungan elit. Suatu kehormatan pernah bercanda disana, mengenal adik-adik yang jadi relawan/volunteer disana. Sedikit minder bahkan saat tahu bahwa mereka adalah bukan orang asal-asalan, ada penyiar televisi, penyiar radio, salah satu putri kalsel, model, aktivis pengajar muda, aktivis berbagai organisasi sosial, mahasiswa yang pernah ikut pertukaran pelajar internasional, pns, pelajar SMA yang peduli, dll. Mereka disatukan di satu basecamp sederhana, niatan sederhana seorang ibu, janda dari seorang wartawan yang miris melihat dua pemandangan yang bertolak belakang di wilayah sekitar tempat tinggalnya. Di satu sisi, daerah itu daerah rapi, daerah elit dengan masyarakat yang cukup berada, tapi di dalamnya atau tepatnya di pinggirannya, ada rumah-rumah petakan tempat tinggal buruh yang anak-anaknya terlantar tanpa pengawasan orang tua karena orang tuanya harus berjuang untuk kehidupan mereka. Organisasi sosial ini tidaklah besar, sangat sederhana. Para volunteer mengajarkan mengaji, melukis, bahasa inggris, berhitung, membaca, atau bermain, serta sholat berjamaah setiap Kamis, Jumat, dan Sabtu kurang lebih 1-2 jam saat menjelang Ashar. Bahkan sebagai wujud kepeduliannya, ibu itu rela memanggil mereka satu demi satu agar mereka bisa berkumpul untuk melakukan hal-hal positif. Volunteer di basecamp itu silih berganti dengan segudang kesibukannya, tapi mereka selalu ada meski bergantian. Dan saat berada bersama mereka, saya merasakan benar-benar sebagai manusia. Mereka dengan jiwa muda mereka, tapi tidak pernah merendahkan orang lain. Mereka melepas atribut segala prestasi yang mereka miliki dan lebih cenderung membagi motivasi antar volunteer. Mereka punya satu tujuan, ingin menemani adik-adik yang kurang beruntung itu agar mereka tetap merasa punya lingkungan yang peduli ke mereka. Dan satu lagi, keinginan volunteer disana adalah untuk membuat adik-adik yang hampir kehilangan kesempatan untuk sekolah bisa tetap lanjut sekolah. Sebuah keinginan sederhana dan tidak muluk, tapi terasa kebersamaannya. 

Ada kalanya adik-adik volunteer ini muncul manjanya, isengnya, galaunya, tapi saat mereka berada didepan adik-adik kecil itu, mereka menjadi kakak yang berusaha untuk mengayomi adik-adik kecil itu. Saya bukan volunteer yang sebenarnya disana, karena saya lebih kearah volunteer bebas, yang datang dan pergi sesuka hati. Saya tidak ikut mengajar, karena keinginan saya mengajar matematika bertepatan dengan hari kerja yang tidak mungkin saya tinggalkan. Saya cuma datang beberapa kali saat mereka ada acara, pawai anak, bermain bersama, buka bersama, atau semacamnya. Benar-benar volunteer yang payah yaa.. he he. Tapi mereka selalu menyambut hangat tiap kali saya ikut. Saya merasa tidak asing dan menjadi bagian mereka, meski mereka kadang agak sungkan dengan saya apalagi saat saya memilih menonton foto-foto kegiatan mereka atau saling berbagi hobbi dibandingkan menerima ajakan mereka main kartu UNO saat kami menginap di basecamp karena ada agenda sahur on the road, he he.  

Saya belajar banyak dari adik-adik itu meski saya belum menjadi volunteer yang sebenarnya. Dari para volunteer saya belajar, mereka yang "berisi" tidak merasa lebih dari yang lainnya melainkan justru ingin memberikan sesuatu kepada orang lain lebih dan lebih banyak lagi. Mereka adalah volunteer yang gaul, yang sebagian bahkan jadi idola, tapi mereka tetap menjadi manusia biasa yang tidak pongah atau merasa lebih. Dari hal-hal yang sederhana, mereka selalu menghormati yang tua meski yang tua kadang tidak selalu lebih baik dari mereka. Contohnya saya, meski saya bukan orang yang segaul mereka, sepopuler mereka, tapi mereka dengan caranya sendiri selalu membuat saya nyaman dan merasa sangat sangat dihargai. Dan dari pengalaman mereka di luar negeri yang kemudian mereka tularkan di kegiatan sosial ini, saya kemudian tersadarkan sekecil apapun kebaikan, itu bisa ditularkan. Banyak caranya, dari hal-hal kecil yang sederhana. Berbagi buku bekas misalnya, disitu saya makin tersadarkan, berbagi buku bekas mungkin sangat sederhana, tapi disatu sisi, saat buku itu dibaca oleh anak-anak di pedalaman, yang jauh dari fasilitas pendidikan yang lengkap, bisa jadi satu buku yang mereka baca akan membuat mereka jadi lebih berani bermimpi, mimpi yang lebih besar lagi.

Dari adik-adik kecil anak para buruh kasar itu, saya belajar lebih bersyukur karena mereka dengan keterbatasan kehidupan mereka tidak pernah kehilangan senyuman dan keceriaan mereka. Anak-anak kecil selalu mengingatkan kita bahwa hidup itu akan tetap indah selama kita bisa selalu melihat hal yang menyenangkan disana, meskipun diantaranya banyak juga hal yang menyedihkan atau membuat luka. 

Suatu hari saya pernah ikut para volunteer berkunjung ke sebuah sekolah di dalam pasar, dikenal dengan nama "Sekolah Bawang". Mereka membagi buku, mendampingi adik-adik yang bersekolah disana. Sekolah bawang adalah salah satu sekolah yang selalu berkesan dalam ingatan saya. Dia hanya punya satu kelas, dua ruangan yang saling bersambung, Mereka yang belajar adalah mereka dengan golongan umur yang tak terbatas, dari usia SD sampai SMA, mereka belajar dalam satu ruangan dengan buku menjadi satu untuk semua pelajaran. Bahkan ada juga yang membawa adik mereka yang kecil karena ortu mereka harus bekerja sebagai buruh pasar dan tidak ada yang menjaga adiknya. Sekolah bawang adalah perjuangan bagi anak-anak buruh pengupas bawang, anak penjaja koran, dll. Sekolah dengan guru-guru yang tangguh mengajarkan mereka hal-hal mendasar, akhlak mendasar untuk bekal kehidupan mereka yang keras. Kembali saya belajar dari sana.

Selain organisasi ini, banyak juga organisasi lain yang membuat saya sadar bahwa kebaikan itu adalah tentang saling bergerak dan menggerakkan, sekecil apapun yang bisa kita lakukan. Semakin lama, semakin saya sadar, Indonesia itu banyak sekali orang baik yang tersebar hingga pelosok. Jadi, dimana pun kita berada, selama kita tetap bergerak meski hanya dengan langkah kecil, maka kebaikan itu akan semakin menular dan menjadi budaya atau life style. Serumit dan seterbatas apapun kondisinya,  bukan mengeluh dan memprotes atau saling menyalahkan atau mencari pembenaran yang seharusnya fokus dilakukan, tapi melakukan hal baik apapun yang bisa dilakukan meski terlihat sepele. Karena kebaikan itu menular. Karena kebaikan yang besar itu bermula dari langkah-langkah kecil yang kemudian terakumulasi menjadi besar.  Ini juga yang kemudian saya pelajari di salah satu mata kuliah baru-baru ini, bahwa makin giatnya kegiatan volunteering di Indonesia adalah bukti dari eksternalitas positif pendidikan itu sendiri. Pendidikan, bukan hanya berdampak baik bagi pelaku atau mereka yang menjalani pendidikan itu sendiri, tapi lebih luas berdampak baik dan positif untuk lingkungan sekitar dan orang banyak. 

Meski mungkin menjadi volunteer yang baik masih sebatas angan dan impian bagi saya saat ini, semoga suatu saat saya bisa mewujudkan mimpi sederhana saya ini bersama seseorang yang menjadi teman hidup saya, semoga :). Bukan tentang sok baik (karena saya belum menjadi orang baik hingga saat ini he he), tapi memang sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat buat sesama. Dan sesungguhnya setiap kali kita melakukan kebaikan, maka kebaikan itu kembali ke diri kita dalam banyak rupa. Boleh dibilang, melakukan kebaikan ke orang lain itu artinya membahagiakan diri sendiri juga :). Semoga..., semoga  "ingin" itu tetap hidup dalam sanubari saya dan bisa terwujud suatu hari nanti :). Terima kasih banyak untuk semua volunteer yang membuka mata saya bahwa hidup itu juga tentang berbagi. I love you, guys wherever you are :* :)

Depok, 17 Juni 2015. 

Tiba-tiba teringat dan rindu akan mereka yang membuat orang lain "tersenyum" dengan langkah-langkah kebaikan kecil mereka :). Mereka yang tulus membagi "senyuman" untuk manusia lainnya :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar