Selasa, 17 Oktober 2017

YOU ARE THE ONE: "Maukah Kamu Menikah Denganku?" - Part 8.2

PART 8.2 : YES, I DO

"Waalaikumsalam warrahmatullah, Om Riza," jawab Nisa sambil membahasakan Nuna agar ikut menjawab salam sementara Nuna justru sudah asyik melambaikan tangannya ke Riza 

Waktu di arloji Riza menunjukkan pukul 13.00 saat ia dan orang tuanya tiba di rumah sakit kemudian mencari kamar Nisa dirawat. Dua laki-laki dan satu balita terlihat duduk di depan ruangan yang tertulis pada kertas dari Ana yang dipegang Riza. Setengah menduga dan ragu, Riza mengenalkan dirinya.
"Selamat siang. Apa benar ini kamar Nisa?"
Kedua laki-laki itu berdiri. Laki-laki yang lebih muda diantara keduanya mengiyakan sementara laki-laki yang lebih tua hanya tersenyum menganggukkan kepalanya.
"Saya... Riza, teman Nisa dan beliau kedua orang tua saya," ucap Riza sambil menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki paruh baya itu, sepertinya laki-laki itu ayah Nisa. Riza sekilas mengingatnya karena pernah melihat foto keluarga Nisa di instagram gadis itu.
Kedua orang tua Riza pun berbincang dengan ayah Nisa tentang kondisi gadis itu sementara kakak ipar Nisa langsung mengajak Riza untuk masuk ke ruang perawatan. Riza disambut oleh Nina, kakak perempuan Nisa, keduanya pun saling berkenalan singkat. Perempuan itu mengantarkannya mendekat ke tempat Nisa berbaring.
Riza melangkah menghampiri Nisa tanpa sekalipun pandangannya berpindah ke arah lain, laki-laki itu terus menatap Nisa yang terpejam dengan wajah pucatnya.
Gadis itu tak lagi menggunakan kebaya pink-nya, sudah berganti baju rumah sakit termasuk jilbabnya. Masih terlihat bekas riasan di wajah Nisa.
"Apa Nisa belum juga sadar dari pingsannya, Kak?" tanya Riza pelan akhirnya menoleh ke kakak Nisa yang ada di sisi sebelah kanan Nisa, berseberangan dengan Riza.
"Nisa sudah siuman lebih dari satu jam yang lalu, tapi dokter meminta Nisa banyak istirahat karena matanya masih terasa sakit dan pandangannya juga masih kabur".
"Jadi Nisa baru sadar setelah sekitar enam jam pingsan, Kak?" tanya Riza, terdengar jelas nada khawatir di suara laki-laki itu, lagi-lagi Riza fokus melihati Nisa.
"Sekitar jam sembilan Nisa sempat sadar hampir satu jam, tapi... kemudian dia kesakitan dan muntah lalu pingsan lagi".
Riza menatap sendu gadis yang terbaring di hadapannya itu. Riza kembali teringat ketika Nisa dua kali pingsan saat ujian semester, raut kesakitan Nisa saat itu terbayang jelas di pikirannya.
"Apa dokter sudah memberitahu penyakit Nisa, Kak?"
Lagi-lagi perempuan di hadapannya itu mengangguk. "Bahkan Nisa sendiri pun sudah menceritakan penyakitnya ke Ayah dan kami sesaat setelah dia sadar. Dia merasa bersalah karena mengecewakan kami yang sudah jauh-jauh datang tapi justru tidak bisa melihatnya wisuda karena sakitnya. Padahal itu sama sekali bukan salah Nisa, tapi memang sudah jalannya".
Riza menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu tahu tentang sakit Nisa?"
Riza menganggukkan kepalanya pelan, mata laki-laki itu sedikit berkaca-kaca meski ia berusaha menyembunyikannya dari kakak Nisa.
"Apa aku boleh menemani Nisa sebentar disini, Kak?"
"Tentu saja," jawab kakak Nisa tersenyum lembut ke Riza seolah ia bisa menerka apa yang terjadi diantara adiknya dan laki-laki itu. Setelah membelai lembut sejenak kepala Nisa, perempuan itu bergegas menjauh,menunggui mereka di sofa yang terletak dekat pintu kamar.
Riza baru duduk di sebelah Nisa ketika gadis itu perlahan membuka matanya.
"Kamu bangun, Nis," sapa Riza lirih tersenyum ke Nisa.
Nisa balas tersenyum lebar menyadari keberadaan Riza di hadapannya meski pandangannya masih agak kabur. Gurat tampan laki-laki luar biasanya dalam balutan setelan wisudanya itu tetap terlihat."Riza...".
"Gimana kondisi kamu, Nis? Apa mata kamu masih sakit?"
"Sudah jauh lebih enakan, Riz," jawab Nisa buru-buru melebarkan senyumannya ingin menghapus rasa khawatir di wajah laki-laki itu, "Oh iya, gimana tadi wisudanya? Selamat ya Riz akhirnya kamu jadi sarjana ekonomi".
Riza tersenyum simpul, "Selamat juga buat kamu sudah jadi sarjana arsitektur, Nis".
Nisa menganggukkan kepalanya riang sambil mengucapkan terima kasih.
"Cuma aku ngerasa ada yang kurang, Riz karena aku nggak cumlaude. Padahal aku ingin memberikan bonus kecil itu buat orang tuaku," lanjut Nisa dengan raut sedikit kecewa meski tetap ia balut senyuman.
Riza tersenyum kearah Nisa, "Yang terpenting kita sudah berusaha menyelesaikan tanggung jawab kita dengan baik, Nis. Semoga ilmu yang kita peroleh bisa bermanfaat serta menambah kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan kita".
"Aamiin aamiin aamiin," balas Nisa tersenyum lebih lebar, "Tapi aku ikut senang buat kamu, Riz karena kamu berhasil mendapatkan predikat cumlaude. Apalagi mengingat perjuangan kamu kuliah sambil kerja beberapa bulan ini. Bukan hanya orang tua dan fans-fans kamu yang bangga pastinya, aku juga bangga sama kamu, Riza. Selamat ya".
Riza tertawa kecil mendengarnya.
"Makasih banyak, Nisa... tapi tetap saja wisuda hari ini buat aku kurang lengkap tanpa kamu".
Nisa tersenyum. "Maaf ya Riz, aku mengacaukan rencana kamu hari ini". 
Riza tersenyum lalu mengeluarkan bungkusan pink dari tas ranselnya.
"Ini hadiah wisuda buat kamu, Nis... semoga kamu suka ya".
Nisa tersenyum senang menerimanya, gadis itu duduk dari posisi tidurnya, ekspresinya penasaran dan tak sabar ingin membuka pemberian laki-laki itu.
Sebuah baju terusan berwarna dasar biru tua dilengkapi outer bermotif songket lengan panjang berwarna kombinasi biru lebih muda dan pink plus jilbab warna biru muda berhasil membuat Nisa jatuh hati dengan pilihan Riza itu.
"Bajunya cantik banget, Riz....," ucap Nisa tersenyum lebar kearah Riza.
"Kamu suka, Nisa?"
Nisa menganggukkan kepalanya dengan raut senang membuat Riza merasa jauh lebih senang sekaligus lega karena ia tidak salah memilih hadiah.
"Makasih banyak ya. Hmmm, pasti mahal ya, Riz?" sambung Nisa dengan raut berubah serius. Setahu gadis itu, harga baju semacam itu tidaklah murah.
Riza tersenyum lebar menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau kamu menghamburkan hasil kerja keras kamu buat sesuatu yang tidak terlalu penting, Riz...".
"Nisaaa..., menurut aku kado buat kamu itu sesuatu yang penting. Kamu perempuan yang istimewa dalam kehidupanku selain Mamaku, Nis. Lagi pula...". Kalimat Riza terhenti, lagi-lagi laki-laki itu hampir saja keceplosan bilang bahwa Nisa salah satu motivasi utama dia bekerja. Riza merasa belum saatnya dia jujur tentang itu ke Nisa, ia berniat mengatakan semuanya setelah ia berhasil menikahi Nisa.
Di hadapannya, Nisa tersipu mendengarnya, kalimat Riza itu membuat gadis itu bahagia sekaligus merasa bersalah.
Nisa membuka kartu ucapan dari Riza di kado itu sementara laki-laki itu memperhatikannya.

"Semoga menjadi arsitek yang sukses dan bermanfaat untuk kebaikan, Nisa :).
Seperti kamu yang selalu menemukan alasan menyukai dunia arsitektur, aku juga selalu menemukan alasan untuk menyukai kamu dan memperjuangkan jawaban 'iya' dari kamu.
Aku sangat berharap kamu bersedia menemani aku, menjadi arsitek dalam kehidupan rumah tangga kita.
Maukah kamu menikah denganku, Nisa? :)
                                                                                                  -Riza-
                                                                            <yang menunggu jawaban 'iya'>"

Nisa tersenyum membacanya, kalimat Riza membuat hatinya terasa hangat dan berbunga-bunga. Mata Nisa pun berkaca-kaca meski ia berusaha menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya ke penulis surat itu.
"Jadi apa jawaban kamu, Nis?" tanya Riza membuat Nisa salah tingkah dan bingung menjawab apa. Nisa hanya tersenyum balas menatap Riza tanpa kata. Laki-laki itu terlihat menunggu jawaban darinya.
"Oh iya, Riz ... aku kan janji mau memperlihatkan pertama kalinya ke kamu sketsa taman buat mereka yang tidak bisa melihat. Tolong ambilkan gulungan sketsa dan tas tanganku disitu ya," ujar Nisa melebarkan senyumannya, mengalihkan topik bahasan keduanya yang belum bisa dijawabnya.
Riza pun balas tersenyum lebar, berusaha memahami gadis itu dan bergegas memenuhi permintaan Nisa.
Lima menit kemudian, Riza kembali duduk di sebelah Nisa sambil memegang sketsa Nisa dan menyerahkan tas tangan gadis itu ke empunya.
"Makasih, Riz. Sekarang kamu boleh lihat sketsa taman itu, Riza... aku mau tahu pendapat kamu juga," ujar Nisa dengan raut riangnya.
Riza mengangguk, dengan tak kalah riang laki-laki itu membuka gulungan sketsa buatan Nisa itu, project spesial Nisa yang menjadikan Riza bertekad membantu Nisa mewujudkannya meski Riza belum mengatakannya ke gadis itu.
"Gimana menurut kamu, Riz?"
"Hmmm... bagus... bagus banget... dan aku yakin taman ini akan jadi taman yang indah saat diwujudkan dalam nyata, Nis," jawab Riza, "meski aku ga paham soal sketsa beginian... tapi aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, ketulusan kamu di tiap goresannya, Nisa".
Nisa tersipu mendengar ucapan Riza itu..., laki-laki itu selalu memercayai kemampuannya dan tulus menyemangatinya.
"Terima kasih untuk semuanya ya, Riz. Aku juga udah bikin versi autocad-nya. Meski aku juga belum tahu dan masih memikirkan gimana caranya mewujudkan mimpi aku ini. Pastinya butuh banyak dana he he".
Riza tersenyum lebih lebar. "Aku percaya Tuhan akan memberi jalan selama kita percaya bahwa kita bisa mewujudkan mimpi kita, Nis... insyaa Allah kamu pasti bisa mewujudkannya".
"Aamiin". Nisa tersenyum simpul menganggukkan kepalanya.
"Dan aku ingin menemani dan membantu kamu mewujudkan mimpi kamu, Nis...," sambung Riza di dalam hatinya.
"Jujur... kadang aku takut... gimana kalau ternyata aku kehilangan penglihatan sebelum bisa mewujudkan impian aku ini, Riz".
Riza menatap gadis itu dengan tetap tersenyum.
"Kamu harus optimis kalau kamu bakal sembuh, Nisa. Aku yakin kamu bisa mewujudkannya".
Nisa balas tersenyum, entah kenapa ucapan Riza itu mampu menenangkan hatinya.
Nisa mengambil sesuatu dari tas tangannya lalu menyerahkannya ke Riza sembari tersenyum lebar .
"Apa ini?" tanya Riza balas tersenyum tak kalah lebar dengan raut penasaran memandangi bungkusan biru itu.
"Kamu buka aja...," jawab Nisa.
Riza menggoncang-goncang pelan hadiah itu di dekat telinganya seolah menerka-nerka isinya, sengaja menggoda gadis itu dan berhasil menghadirkan gelak tawa Nisa yang melihatinya.
"Hati-hati... awas meledak lho," sahut Nisa balas meledek Riza, membuat laki-laki itu terkekeh di tempatnya.
Sebuah arloji pria terlihat rapi di dalam kotaknya beserta sepucuk surat cinta eh surat ucapan dari Nisa (he he).
"Tolong jangan dilihat harganya, ya Riz. Maaf kalau hadiah aku nggak mahal he he...tapi aku berharap semoga hadiah ini bermanfaat buat kamu," ujar Nisa sementara Riza membuka kertas ucapan dari Nisa.
"Selamat menjadi sarjana ekonomi, Riza. Semoga sukses di karier dan kehidupan kamu.
Mungkin ada banyak sarjana ekonomi, tapi tidak semuanya baik. Semoga kamu bisa menjadi bagian dari mereka yang baik, amanah dan bermanfaat untuk kebaikan. Aku percaya kamu bisa :).
Tantangan terbesar bagi masing-masing kita adalah mengalahkan diri sendiri, termasuk rasa sombong atau merasa cepat puas. Semoga di tahap kehidupan selanjutnya, kamu tetap jadi Riza yang rendah hati tapi juga tidak pernah berhenti belajar.
Lihatlah keatas saat kamu butuh motivasi, tapi tetap melihat kebawah untuk bersyukur :). Menyentuh langit tapi tetap menginjak bumi :D.
Semangat, Riza!
Ps. Tolong doakan aku juga. Makasih :).

Salam hangat,
Nisa"
Riza tersenyum membacanya. Ia langsung memakai arloji pemberian Nisa itu dan menyimpan arloji lamanya di dalam tasnya lalu menunjukkan pergelangan tangannya ke Nisa dengan raut riangnya.
"Makasih ya, Nis...".
"You're welcome, Riz. Beberapa bulan terakhir ini kamu berjuang buat membagi waktu kamu buat kuliah dan kerja. Aku salut dan bangga, Riz. Aku harap arloji ini bisa ikut menemani kamu melewati waktu demi waktu ke depannya meski mungkin hanya sesekali sebagai cadangan he he," ucap Nisa dengan riang diantara mukanya yang masih pucat.
Riza mengangguk pelan lalu tersenyum agak lebar.
"Dengan senang hati aku ditemeni arloji dari kamu, Nis... tapi... aku berharapnya kamu menemani aku sepanjang usia aku sampai Tuhan memisahkan kita, Nisa... . Maukah kamu menikah denganku, Nis?"
Kalimat Riza itu pun menghadirkan hening di kamar rawat itu. Nisa terlihat tertegun tanpa mengeluarkan satu kata pun sementara raut muka Riza terlihat serius diantara senyumannya. Sesekali Nisa memberanikan balas menatap sejenak Riza, terlihat kesungguhan laki-laki itu disana.
"Aku ingin menjadi imam kamu, Nis. Aku ingin menemani kamu dalam senang dan sedih. Aku ingin menemani kamu saat operasi mata kamu nanti, menghapus ketakutan kamu. Aku ingin menemani kamu mewujudkan impian kamu. Aku ingin kita belajar baik bersama sepanjang hidup kita, Nisa".
Riza mengeluarkan sebuah cincin yang tak asing bagi Nisa, cincin yang pernah dilihat dan dipilihnya sebagai salah satu dari tiga permintaan Riza kepadanya.
"Bismillaah... . Would you be my best friend forever and ever, Nisa?" ucap Riza lagi, berhasil membuat Nisa makin terdiam di tempatnya. Apa yang jadi dugaan Nisa sebelumnya menjadi nyata, laki-laki itu benar-benar melamarnya. Bahagia itu hadir menyatu dengan rasa sedih yang sekaligus menyapa di hati Nisa.
"Nisa...," panggil Riza lagi menyadarkan Nisa dari diamnya. Beberapa bulir air mata lolos mengalir dari sudut mata gadis itu tanpa bisa Nisa cegah dan Nisa buru-buru menghapusnya.
"Maaf... .... aku... tetap nggak bisa, Riz. Kamu berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik," terdengar Nisa menarik nafasnya dalam-dalam dua kali, "Lagipula... aku... aku... aku masih ingin kerja dulu dan... aku belum ingin menikah. Lebih baik kamu perjuangkan perempuan yang lebih pantas buat kamu, Riz... dan aku rasa seseorang itu bukan aku. Tolong berhenti untuk memintaku menikah dengan kamu ya".
Nisa terlihat menunduk dalam posisi duduk di tempat tidurnya, ada saja air mata yang tetap lolos keluar tanpa ia minta. Meski Nisa sadar dengan apa yang harus ia katakan Riza, tapi disaat bersamaan hatinya terasa sakit karena kegigihan Riza yang tak pernah surut itu justru membuat perasaan dan keyakinan Nisa ke Riza semakin dalam.
Beberapa kali Nisa terlihat buru-buru menghapus air mata yang tak bisa dicegahnya dan Riza mengamati setiap gerak gadis itu dengan tetap menyodorkan cincin itu di hadapan Nisa. Pandangan mata keduanya beradu sejenak, pandangan penuh harap dari Riza dan pandangan penuh rasa bersalah dari Nisa.
"Maaf, Riza...," sambung Nisa kemudian berusaha tersenyum ke laki-laki itu. Ada satu ekspresi yang sama di raut keduanya, ada sedih terukir disana.
Riza akhirnya menggengam cincin di telapak tangannya yang terlihat agak bergetar itu. Giliran laki-laki itu menarik nafasnya dalam-dalam beberapa kali.
"Aku mengerti, Nis... maaf malah bikin kamu nangis dan mengganggu kamu dengan permintaan ini disaat kamu lagi sakit begini," ucap Riza lirih, "Tapi... terlepas apapun jawaban kamu, aku ingin kamu berkenalan dengan orang tua aku, Nis. Kamu mau kan?"
Nisa menatap sejenak Riza lalu berusaha melebarkan senyumannya ke Riza seraya mengangguk pelan, ada sendu dan rasa bersalah disana. Laki-laki itu pun balas tersenyum lebar, meski dengan susah payah ia melakukannya.
Dengan langkah agak gontai, Riza pun melangkah keluar kamar, hanya terlihat Mamanya sedang duduk sendirian di kursi depan ruangan itu.
"Papa sama Ayah dan Kakak Nisa kemana, Ma? Kok Mama sendirian?" tanya Riza lirih kemudian duduk di sebelah Mamanya.
"Mereka lagi sholat sekalian makan siang".
"Mama nggak ikut?"
"Mama sekalian minta dibungkusin saja, sekalian buat kamu, Nisa dan kakaknya di dalam. Lagipula Mama sengaja nggak ikut, takut kamu nyari. Mama sholatnya bareng kamu saja, Nak".
Riza mengangguk pelan. Sebagai seorang ibu, Mama Riza bisa melihat ada yang tidak biasa di raut putranya itu. "Kamu kenapa, Nak... wajah kamu kelihatan murung gitu? Kondisi Nisa gimana?"
Riza menarik nafasnya dalam-dalam lalu bergegas tersenyum lirih kearah Mamanya. "Alhamdulillaah, Ma.. Nisa sudah baikan meski masih pucat dan butuh banyak istirahat".
Terdengar ucapan syukur dan kelegaan dari mulut Mama Riza.
"Oh ya, Ma. Seperti yang Riza bilang, Riza mau kenalkan Mama ke Nisa. Sekarang Mama masuk dan bicara sama Nisa, ya".
Mama Riza tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia sudah tak sabar berkenalan dengan perempuan yang punya tempat istimewa di hati putra kesayangannya itu selain dirinya.
Keduanya baru akan masuk ke kamar rawat Nisa ketika Riza tiba-tiba berubah pikiran.
"Riza disini saja, Ma. Mama saja yang masuk dan bicara sama Nisa ya," ucap Riza lirih.
"Kenapa, Nak?"
"Riza sudah bikin Nisa nangis tadi, Ma gara-gara Riza minta Nisa menikah sama Riza. Nisa masih tetap dengan keputusannya tidak mau menikah dengan Riza. Satu sisi Riza berusaha memahami Nisa, tapi Riza juga butuh waktu buat menenangkan diri, Ma".
Mama Riza mengusap bahu putranya itu penuh sayang.
"Riza titip cincin ini ya, Ma," lanjut Riza menyerahkan kotak cincin itu ke Mamanya, meminta Mamanya untuk menyimpankan cincin untuk Nisa itu.
"Mama mengerti, Sayang. Ya sudah, kalau begitu sekarang lebih baik kamu ambil wudlu dan sholat di musholla. Adukan apa yang kamu rasakan ke Tuhan dan meminta kepada-Nya. Insyaa Allah hati kamu lebih tenang dan insyaa Allah ada jalan keluar yang terbaik. Biar Mama numpang sholat di kamar Nisa saja".
Riza mengangguk pelan dan beranjak ke musholla.
Lima menit kemudian, Mama Riza sudah duduk di sebelah Nisa. Sikap hangat yang dimiliki masing-masing meniadakan jarak dan mengakrabkan keduanya dengan cepat. Perbincangan keduanya dimulai dengan membicarakan kesehatan Nisa, jalannya wisuda hari itu, Mama Riza bercerita tentang Riza dan keluarganya begitu pun Nisa bercerita tentang keluarganya termasuk trauma Nisa tentang operasi.
Sejak Mama Riza masuk ke kamar tanpa Riza, Nisa sempat bertanya dalam hati kemana laki-laki itu yang akhirnya terjawab saat Mama Riza memberitahunya tanpa diminta .
"Dari sejak lulus sidang, Riza semangat banget cerita soal Nisa, pingin ngenalin Nisa ke Tante," cerita Mama Riza duduk di pinggir tempat tidur Nisa dengan raut teduh dan bersemangatnya. Nisa terlihat tersipu diantara senyuman lebarnya.
"Riza bilang kalau Nisa itu perempuan yang istimewa di hatinya selain Mamanya," lanjut Mama Riza melebarkan senyumannya membuat wajah Nisa makin bersemu merah.
"Nisa mau kan menikah sama Riza, Nak?"
Pertanyaan Mama Riza itu langsung hadirkan sendu diantara senyuman Nisa. Gadis itu bingung menjawab apa. Bagaimana mungkin Nisa tega mengatakan 'tidak' kepada perempuan teristimewa dari laki-laki luar biasanya itu.
"Dari cara Riza bercerita tentang Nisa apalagi setelah Tante berkenalan dengan Nisa, Tante percaya Nisa bisa membuat Riza bahagia dan insyaa Allah begitupun Riza akan melakukan hal yang sama," sambung Mama Riza seraya menggenggam tangan Nisa. Genggaman itu terasa hangat dan menghangatkan hati Nisa.
Nisa tersenyum lebar. "Nisa tidak meragukan Riza, Tante... buat Nisa, Riza itu laki-laki yang luar biasa. Siapa pun yang mendapatkan hati Riza, dia perempuan yang sangat beruntung dan pasti bahagia. Tapi..., Nisa merasa tidak pantas buat Riza, Tante apalagi dengan kondisi sakit Nisa ini. Riza berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik, yang jauh lebih bisa membahagiakan Riza".
Mama Riza menepuk-nepuk lembut tangan Nisa yang masih dipegangnya sambil tersenyum memandangi Nisa.
"Tante ingat Riza kelihatan bahagia dan bersemangat banget waktu dia memilihkan baju hadiah wisuda buat Nisa dan menunjukkan cincin yang katanya bakal buat Nisa". Mama Riza mengeluarkan kotak cincin itu dari tasnya, memandanginya sekaligus menunjukkannya ke Nisa.
"Tapi barusan Tante melihat hal sebaliknya, Riza terlihat murung terlebih saat melihat cincin spesialnya ini".
Nisa terdiam di tempatnya, ia merasa semakin bersalah ke laki-laki itu.
"Mungkin Tante memang sulit netral saat bicara tentang Riza karena seorang ibu pasti akan berada disisi anaknya. Tapi, sebagai Mama Riza, Tante bisa melihat saat Riza bicara tentang kamu, disana bukan hanya ada perasaan cinta melainkan ada tanggung jawab yang sudah siap diambil Riza buat Nisa, Nak".
Nisa balas tersenyum, menatap lama kemudian perlahan memberanikan memegang cincin milik Riza itu. Sekelebat cerita dibalik cincin itu kembali memutar di memory Nisa.
"Menikah itu bukan berarti mencari seseorang yang selalu membuat kita bahagia, Nak... tapi seseorang yang kita yakini buat menghadapi kehidupan bersama-sama, bersama berjuang dalam ikatan suci, bersama membangun rasa bahagia, bersama membalut rasa sedih, bersama menghadapi masa sulit, bersama belajar menjadi lebih baik, bersama belajar tentang satu sama lain dan bersama dalam banyak hal lainnya termasuk bersama membangun sekaligus memupuk cinta. Riza yakin perempuan itu adalah kamu, Nak".
Sebulir air mata kembali terlepas mengalir di sudut mata Nisa dan lagi-lagi buru-buru dihapusnya.
"Dan Tante percaya insyaa Allah Nisa bisa menjadi teman hidup yang baik buat Riza".
Lagi-lagi Nisa tersenyum, kali ini balas menggenggam tangan Mama Riza.
"Nisa mau menikah dengan Riza, Tante... tapi... setelah Nisa menjalani operasi mata".
"Bukannya Nisa ga mau operasi karena trauma, Nak? Apa Nisa berubah pikiran?"
Nisa terdiam sejenak, rasa takut kembali kuat menggelayuti pikiran dan perasaan Nisa. Bayangan Mama dan adiknya yang meninggal di meja operasi itu kembali datang membuat gadis itu memejamkan matanya sejenak.
"Nisa," panggil Mama Riza sembari mengusap lembut kepala gadis itu membuat Nisa menoleh kearah perempuan itu.
"Nisa akan berusaha mengalahkan rasa takut Nisa demi Ayah dan Riza, Tante". Mama Riza menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pelukan itu begitu hangat dan dirindukan Nisa seperti layaknya pelukan Mama Nisa.
"Makasih banyak ya, Nak... Tante yakin Nisa insyaa Allah akan sembuh dan semuanya akan baik-baik saja".
Sementara itu, Riza masih terduduk di musholla dengan pikiran mengembara. Laki-laki itu sudah 'bicara' dengan Penciptanya. Sebelumnya pikirannya dipenuhi momen saat Nisa menolaknya. Namun, kali ini Riza kembali teringat momen ia bersama Nisa saat mereka tersenyum bersama, Nisa yang selalu hadir dengan semangatnya termasuk buat Riza, keceriaan juga perhatian Nisa yang sederhana tapi indah bagi Riza bahkan sejak sebelum Riza menyadari perasaannya ke Nisa. Penggalan ingatan itu perlahan mengembalikan keyakinannya untuk memperjuangkan Nisa. Riza yakin Nisa punya perasaan yang sama dengannya. Nisa, gadis itu selalu menghadirkan tenang tiap kali Riza mengingatnya.
Seperti yang dibilang Mamanya, mengadu ke Tuhan berhasil menenangkannya, mengembalikan semangat dan kembali meneguhkan Riza tentang Nisa sekaligus mengusir pergi rasa tidak nyaman dan sedih yang sempat hadir di hatinya.
"Aku percaya ini hanya tentang waktu yang tepat, Nisa dan aku insyaa Allah ga akan menyerah," ucap Riza tersenyum sambil memandangi arloji pemberian Nisa di pergelangan tangannya.
Riza melihati layar handphone-nya, ada SMS dari Mamanya.
"Riz, kalau sudah selesai sholat dan menenangkan diri, tolong kamu datang ke kamar rawat Nisa ya. Ada yang perlu kalian bicarakan berdua, Nak".
Ragu, laki-laki itu masuk ke kamar rawat Nisa. Gadis itu terlihat sudah menunggunya. Riza tak bicara melainkan memilih duduk di kursi menghadap Nisa.
"Aku senang bisa berkenalan dan ngobrol dengan Mama kamu, Riz. Mama kamu juga barusan mengenalkan Papa kamu ke aku," ucap Nisa tersenyum lebar membuat Riza balas tersenyum menatap Nisa sejenak. Sejenak, ada canggung yang tiba-tiba hadir membuat hanya deru nafas keduanya yang saling bicara.
Nisa mengeluarkan sesuatu dari balik selimutnya.
"Apa ajakan kamu masih berlaku, Riz?" tanya Nisa sambil menunjukkan cincin milik Riza itu ke pemiliknya.
Riza tertegun mengetahui cincin yang ia titipkan ke mamanya itu berada di tangan Nisa. Laki-laki itu balas menatap Nisa dengan ekpresi bertanya-tanya.
"Aku mau menikah sama kamu kalau ajakan kamu masih berlaku buat aku," sambung Nisa tersenyum lebih lebar.
"Kamu... kamu nggak sedang bercanda kan, Nis? Aku nggak salah dengar kan?"
Lagi-lagi Nisa balas tersenyum kemudian mengetikkan sesuatu di handphone-nya sementara Riza masih tertegun melihati gadis itu.
"Aku mau jadi teman hidup kamu, Riz. Aku mau jadi arsitek dalam rumah tangga bersama kamu. Aku mau menikah sama kamu, Riza :)".
Nisa meminta Riza membuka handphone-nya, membaca pesan dari Nisa.
"Aku sengaja menulis pesan itu biar kamu yakin dengan apa yang kamu dengar. Kamu sama sekali nggak salah dengar, Riz. Sekarang pertanyaannya, apa ajakan Riza masih berlaku buat seorang Nisa?"
Raut laki-laki itu berubah seolah mendung langsung terusir dari wajahnya seperti dulu saat Nisa mengabulkan tiga permintaannya. Bahkan kali ini terlihat lebih bahagia. Laki-laki itu tersipu dan senyum-senyum sendiri untuk sejenak masih menatap layar handphone-nya. Giliran Nisa tersenyum melihati tingkah Riza.
"Aku bukan laki-laki yang mudah menyerah memperjuangkan sesuatu yang aku yakini, Nis. Ajakan aku buat kamu masih tidak berubah, Nisa :).
Maukah kamu menikah denganku? Would you be my best friend forever and ever, Nisa? :)"
"Aku sengaja mengetikkannya juga biar kamu yakin kalau ajakan aku masih sama, Nisa," ucap Riza akhirnya bicara sambil tersenyum ekstra lebar kearah gadis itu.
Nisa pun tersipu, ia tiba-tiba malu bahkan untuk memberikan jawaban langsung ke laki-laki itu.
"Apa kamu mau menikah denganku, Nisa?"
Nisa memberanikan menatap sejenak Riza yang sedang melihat serius kearahnya. Gadis itu balas tersenyum lalu menganggukkan kepalanya pelan.
"Yes, I do, Riza".
Nisa pun menjelaskan ke Riza bahwa ia memutuskan akan melakukan operasi mata dan ia mau menikah dengan Riza setelah operasinya berhasil.
"Baik kamu memutuskan operasi atau tidak, aku tetap ingin menikahi kamu Nisa. Aku tetap ingin jadi imam dan teman hidup kamu, Nis. Aku nggak mau kamu terlalu memaksakan diri".
Nisa tersenyum, "Aku memang bakal memaksakan diri buat berani melawan trauma aku soal operasi, Riz. Tapi aku akan berusaha melakukannya demi orang-orang yang meyayangi aku dan juga buat kebaikan diri aku sendiri. Semoga semuanya akan berjalan dengan baik". Ada rasa takut terselip di nada bicara Nisa di ujung kalimat itu.
"Insyaa Allah semuanya akan baik-baik saja, Nisa. Ada keluarga kamu dan juga aku yang akan menemani dan mendoakan kamu, Nis," jawab Riza sambil tersenyum ke gadis itu, "Dan pastinya ada Tuhan yang akan menemani dan menjaga kamu. Dengan kuasa-NYA, DIA akan menghilangkan rasa takut yang kamu rasakan, Nis".
Nisa balas tersenyum, lagi-lagi kalimat Riza berhasil menenangkan perasaannya.
Nisa menyerahkan cincin itu ke Riza.
"Jadi kapan aku bisa menyematkan cincin ini di jari manis kamu, Nis?" tanya Riza bersemangat dengan senyuman super lebarnya.
"Nanti setelah akad aja ya, Riz. Setelah kita jadi halal satu sama lain," jawab Nisa balas tersenyum tak kalah lebar.
Riza menganggukkan kepalanya.
"Tapi aku boleh kan meng-khitbah alias melamar kamu secepatnya, Nis... biar kamu nggak bisa dilamar laki-laki lain sampai akad tiba".
Nisa tertawa mendengarnya.
"Kebalik kali Riz.. yang ada harusnya aku yang khawatir, kan kamu yang banyak fans ceweknya he he".
Riza tergelak mendengarnya.
"Oh iya, bicara soal melamar, emangnya kamu sudah berkenalan sama Ayah aku?"
"He he... tadi cuma salaman sama nyebutin nama aja ke beliau pas mau jenguk kamu".
Nisa tertawa kecil.
"Ya udah nanti aku kenalkan kamu dengan laki-laki istimewaku itu biar kamu bisa melamar aku dengan benar di hadapan beliau".
Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Oh iya, kondisi mata kamu gimana sekarang, Nis? Masih sakit? Apa pandangan kamu masih kabur?"
"Alhamdulillaah sudah enakan, Riz... barusan tadi aku udah minta pulang ke dokternya he he. Hari ini aku sudah membuat keluarga aku nggak bisa menyaksikan prosesi wisuda aku padahal mereka datang buat itu. Setidaknya aku ingin foto wisuda bareng mereka hari ini".
"Aku juga belum foto wisuda bareng orang tuaku sih. Tadi setelah Ana ngasih tahu kondisi kamu, kami langsung kemari. Tapi aku sudah pesan mau foto wisuda hari ini di salah satu studio dekat kampus. Gimana kalau kita fotonya barengan aja?" tawar Riza penuh semangat.
"Memangnya nggak apa-apa, Riz?"
"Gapapa, Nis... biar sekalian kita bisa foto bareng, Nisa he he".
Nisa tertawa mendengarnya.
Setelah keduanya menghabiskan makan siangnya dan Nisa akhirnya diizinkan dokter pulang, kedua keluarga itu pun bergegas menuju studio foto.
Sebelumnya, Nisa kembali mengenakan baju kebayanya dan mengenakan make up dibantu kakaknya dan Mama Riza.
Di studio foto, Riza dan Nisa berfoto wisuda dengan keluarga masing-masing, diawali dari Riza kemudian dilanjutkan Nisa. Gadis itu terlihat makin cantik dalam balutan kebaya pink dan make up naturalnya. Begitu pun Riza terlihat tampan dengan setelan tuxedo-nya. Jawaban 'iya' dari Nisa hari itu pun membuat wajah laki-laki itu makin berseri, menambah ketampanannya.
"Masih ada satu jatah foto lagi. Gimana kalo kita foto bareng berdua, Nis?" tanya Riza menghampiri Nisa yang baru selesai berfoto.
"Foto studio berduaan sama kamu? Nggak ah, Riz... malu tahu," bisik Nisa, lagi-lagi Riza berhasil membuat wajahnya memerah tanpa diminta.
Riza terkekeh, "Anggap aja salah satu foto pre wedding".
"Bilang ke Ayah aku dan lamar aku dulu baru aku mau foto bareng berdua sama kamu di studio," jawab Nisa balas tertawa menggoda Riza, membuat Riza kembali terkekeh.
Akhirnya pose foto terakhir diputuskan foto bersama Riza, Nisa, dan keluarga keduanya.
Setelah 'pemotretan' selesai, Nisa bergegas mencium tangan orang tua Riza begitu pun Riza terhadap Ayah dan keluaga Nisa. Kedua keluarga menuju mobil masing-masing.
Nisa sedang menggendong keponakannya di luar mobil sambil sesekali bercanda dengan ayah dan keponakannya, menunggu kakaknya yang sedang membeli sesuatu di minimarket dekat studio foto itu, ketika Riza menghampirinya.
"Riza...," ucap Nisa.
Ayah Nisa pun menoleh kearah laki-laki muda itu.
Riza tersenyum kepada beliau sementara Nisa bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Riza.
"Om..., maaf kalau tadi saya belum mengenalkan diri dengan rinci ke Om. Saya bukan hanya teman Nisa, Om. Saya... saya ingin melamar Nisa sebagai calon istri saya," jelas laki-laki muda itu dengan intonasi yang susah payah ditatanya agar setenang mungkin. Nisa terlihat tertegun mendengar pernyataan Riza itu karena laki-laki itu memutuskan mengutarakan niatnya sebelum Nisa sempat membicarakan hal itu dengan ayahnya sebagaimana janjinya ke Riza sebelumnya. Sementara itu, Ayah Nisa melihati keduanya bergantian. Hening sejenak diantara ketiganya, kecuali suara Nuna yang terlihat menyanyi 'Pelangi Pelangi' dengan nada bebasnya. Riza dan Nisa melihati kearah Ayah Nisa.
Ayah Nisa tersenyum bergantian kearah keduanya.
"Sebagai Ayah dari pihak perempuan, Om akan menunggu laki-laki baik dan pemberani yang akan melamar Nisa. Kalau kamu memang serius dengan Nisa, Om tunggu kedatangan kamu dan orang tua di rumah, Nak," jawab Ayah Nisa.
Nisa terlihat tersipu diantara senyumannya. Begitu pun Riza balas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya kemudian berpamitan ke Ayah Nisa ketika tiba-tiba Nuna merengek dengan tangan minta digendong Riza.
"Nuna mau digendong Om Riza?" tanya Nisa tertawa kecil sambil mencium pipi gembul ponakannya itu.
Nuna terlihat tertawa lucu sambil menganggukkan kepalanya, membuat Riza pun langsung mengulurkan tangannya. Dan seketika pun keduanya akrab, Riza mengajak Nuna menyanyi 'Pelangi Pelangi lagi, membuat Nisa tertawa melihatnya.
"Nuna sayang, Om Riza mau pulang tuh, sudah ditungguin Mama dan Papa Om Riza. Ayo Nuna ikut Tante Nisa lagi ya," jelas Nisa sambil menunjukkan ke Nuna mobil keluarga Riza berusaha memberi pengertian ke keponakannya itu.
"Om Riza janji, kapan-kapan kita main lagi ya insyaa Allah," sambung Riza tersenyum lebar ke Nuna.
Laki-laki itu mengeluarkan handphone-nya dan mengajak Nuna foto bareng dirinya sementara Nisa terlihat tersenyum melihati keduanya.
"Ayo kamu sekalian ikut foto bareng aku dan Nuna, Nis," ujar Riza dengan senyum lebarnya. Jadilah mereka foto bertiga dengan pose 'smile' setelah beberapa kali pengambilan dengan gaya sulit tertebak ala Nuna.
Setelah dibujuk, Nuna pun akhirnya menurut dan mau kembali digendong Nisa.
"Ayo Nuna salim dulu ke Om Riza," ucap Nisa lagi langsung diikuti gerakan Nuna mencium tangan Riza. Setengah gemas, laki-laki itu pun mencium kedua pipi keponakan Nisa itu.
"Btw, Tantenya Nuna nggak mau cium tangan juga ke Om Riza nih?" goda Riza dengan suara lirih membuat Nisa tergelak.
"Mau, tapi nanti setelah akad insyaa Allah he he," jawab Nisa membuat tawa pecah diantara keduanya.
"Assalaamualaikum, Nuna dan Tante Nisa," ucap Riza dengan senyum lebarnya.
"Waalaikumsalam warrahmatullah, Om Riza," jawab Nisa sambil membahasakan Nuna agar ikut menjawab salam sementara Nuna justru sudah asyik melambaikan tangannya ke Riza.
 
~ Bersambung ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar