Hampir sebulan setelah
kejadian Nisa pingsan, Riza dan Nisa tidak pernah bertemu lagi. Hanya saja,
tiap hari, Riza rutin meminta dengan setia kepada Nisa untuk mau menjadi teman
hidupnya, dengan kalimat luar biasanya "Maukah Menikah
Denganku?", minimal tiga kali
sehari. Selain itu, beberapa kali Riza juga menanyakan kesehatan mata Nisa,
memastikan Nisa baik-baik saja.
Pagi itu, Nisa baru saja
selesai berpakaian dan berdandan minimalis, saat ada pesan masuk di handphone-nya.
"Pagi Nisa. Maukah Kamu Menikah Denganku?" tulis Riza disana. Nisa
tersenyum haru seperti biasa tiap kali membacanya, sekaligus sedih karena ia
tidak bisa menjawab iya. Nisa membuka satu halaman di diarynya yang ia beri
nama 'Kalimat Ajaib dari Laki-laki Luar Biasa' dan menuliskan disana 'Proposal
ke-102, tanggal 23 Mei 2015, jam 7:12 - Komen : I'm always happy, reading
Riza's magical sentence. It's touching my heart so much (Ind: Aku selalu bahagia
membaca kalimat ajaib Riza. Itu sangat menyentuh hatiku). Tidak bisa menjawab
iya kepada kamu adalah rasa sedih dan sesal yang harus dipilih, Riz. Semoga
kita ditunjukkan yang terbaik ya :)'. Nisa pun menutup dan menyimpan diarynya
kembali dan bergegas berangkat ke kampus. Ada kuliah jam 9.00 di jadwal Nisa.
Baru saja Nisa mengunci pintu kamarnya ketika Ana, teman sekelas Riza yang satu
kos dengan Nisa terlihat juga akan berangkat ke kampus. "Ada kuliah pagi,
Nis?" sapa Ana dibalas anggukan Nisa dengan senyum riangnya seperti biasa.
"Ada kuliah jam 9. Kamu sendiri, Na?" ujar Nisa balik bertanya.
"Ada kuliah jam 11 sih, tapi mau ke perpus, he he," jawab Ana sambil
nyengir. Nisa pun berangkat ke kampus bareng Ana, apalagi fakultas mereka
memang berdampingan.
"Oh ya, Nis, kamu
deket sama Riza kan?" tanya Ana.
"Hmmm lumayan sih,
Na. Emang kenapa?" ujar Nisa sambil tersenyum.
"Kamu ngerasa ada
yang berubah ga dari Riza, Nis beberapa minggu ini? Dia lagi ada masalah
ya?"
Nisa menoleh ke Ana.
"Berubah?" Nisa terdiam sejenak. "Meski kami cukup dekat, tapi
jujur aku hampir sebulanan ini tidak pernah bertemu, Riza he he. Kami jarang
ketemuan apalagi akhir-akhir ini. Emang Riza berubah seperti apa, Na?"
lanjut Nisa bertanya penasaran.
"Riza sekarang
berubah jadi cowok yang super dingin ke cewek. Emang sih dia cowok yang cool
dari dulu dan itu yang bikin banyak cewek klepek-klepek, tapi Riza yang
sekarang benar-benar beku alias dingin, Nis. Udah gitu, Riza beberapa kali
terlambat masuk kelas dan kelihatan ngantuk di kelas, padahal biasanya ga segitunya.
Denger-denger dari gosip yang beredar, dia kerja katanya".
Nisa memandangi Ana,
sedikit tertegun mendengarnya. Belum satu bulan mereka tidak pernah bertemu
lagi, tapi sudah banyak yang terjadi pada Riza. Padahal tiap hari dia menerima
pesan whatsapp dari Riza, seolah tidak ada yang berubah dengan laki-laki
luar biasanya itu.
"Bukannya Riza itu
anak tunggal dari keluarga yang cukup mampu ya, Nis?" tanya Ana dijawab
anggukan kepala dari Nisa, '"terus ngapain dia pontang panting kerja ya,
Nis? Apa Riza sedang ada masalah?"
Nisa menggelengkan
kepalanya. "Jujur aku ga tau, Na. Riza ga cerita apa-apa. Waktu terakhir
aku ketemu Riza hampir sebulan yang lalu, dia belum kerja dan biasa aja
kelihatannya, Na".
Percakapan mereka pun
menggantung ketika ada teman sekelas Nisa yang bergabung jalan bersama Nisa dan
Ana, mereka pun beralih obrolan ke topik yang lain. Beberapa saat kemudian, tak
terasa mereka sudah sampai di fakultas Nisa yang letaknya sebelum fakultas Ana
dan juga Riza. Sebelum berpisah, Nisa sejenak menahan langkah Ana.
"Na, hari ini kalian
kuliah sampai jam berapa?" tanya Nisa sambil tersenyum.
"Kami ada kuliah
sampai jam 4 hari ini, Nis. Kenapa?"
"Aku mau menemui
Riza, Na. Kami perlu bicara sepertinya tentang semua yang kamu ceritakan tadi,
Na".
Ana mengangguk mengerti,
setelah Nisa mengucapkan terima kasih ke Ana dan mereka saling berbalas salam,
Nisa dan Ana bergegas ke fakultas masing-masing.
Nisa berjalan menyusuri
jalan menuju kelasnya ketika ia justru kepikiran tentang laki-laki luar biasanya
itu. "Ada apa dengan kamu, Riz? Apa kamu sedang ada masalah keluarga? Apa
kamu bekerja setelah obrolan kita tentang menikah di rumah sakit waktu itu? Apa
benar kamu berubah, Riza?" tanya Nisa di dalam hatinya ketika terdengar handphone-nya
bergetar.
1 pesan dari Riza
"Hai My BFF and ever
:). 'Maukah Kamu Menikah
Denganku?'"
Sejenak Nisa hanya
tersenyum haru memandangi pesan itu, ia tidak mengetikkan satu huruf pun
sebagai balasannya. Namun, jika Ana bilang Riza berubah menjadi laki-laki yang
dingin, entah kenapa Nisa justru merasa kata-kata Riza sangat menghangatkan
hatinya, terlebih sejak hari itu saat Riza tiba-tiba menyatakan perasaannya dan
kemudian melamarnya.
Waktu menunjukkan pukul
15.30 di arloji Nisa saat Nisa berjalan menuju kelas Riza dari perpus fakultas
Nisa. Sebenarnya, kuliah Nisa sudah selesai sampai jam 11.30 hari itu, tapi
Nisa sengaja menunggu jam 4 sore di perpus sambil belajar materi buat Ujian
Akhir Semesternya.
Nisa sudah sampai di
depan kelas Riza, setelah Nisa bertanya lebih jelas ke Ana via whatsapp,
dan ia pun duduk di depan kelas Riza. Beberapa menit kemudian, terlihat dosen
yang mengajar Riza keluar dari kelas diikuti mahasiswanya. Nisa berdiri
mengamati tiap mahasiswa yang keluar ketika kemudian ia melihat Riza yang
keluar dengan terburu-buru melintas di depan Nisa tanpa menyadari kehadiran
Nisa.
"Riza," panggil
Nisa membuat Riza menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara yang sangat
dikenali telinganya.
"Nisa..., kok kamu
ada disini?" tanya Riza heran.
Nisa masih tetap tersenyum,
"Boleh kita bicara sebentar, Riz?"
Riza terdiam sejenak
menatap Nisa. Nisa bisa melihat rasa lelah di wajah laki-laki itu.
"Maaf, Nis tapi aku
buru-buru. Kita bicara lain kali ya," jawab Riza hendak membalikkan
badannya ketika ia kemudian kembali menoleh ke Nisa. "Apa kamu ingin
bicara terkait dengan sakit glaukoma kamu, Nis? Apa mata kamu masih sering
sakit? tanya Riza, terselip rasa khawatir di suaranya.
Nisa buru-buru melebarkan
senyumannya sambil menggelengkan kepalanya. "Mata aku baik-baik aja,
Riz," ujar Nisa dengan nada riang, seolah ingin menenangkan Riza.
Riza menganggukkan
kepalanya, ada rasa lega disana. "Ya udah, aku pergi dulu, Nis".
"Riza..., aku ingin bicara sama kamu sebentar, please..,"
pinta Nisa.
Mereka pun akhirnya duduk
di salah satu bangku yang ada disana.
"Kamu mau bicara
tentang apa, Nis?" tanya Riza datar.
Nisa menoleh sejenak
kearah Riza yang terlihat memandang lurus ke depan, entah apa yang dilihatnya.
"Aku dengar sekarang kamu kerja ya, Riz?"
Riza melihat kearah Nisa,
sejenak menatapnya dalam diam, kemudian menganggukkan kepalanya.
"Apa gara-gara itu
akhir-akhir ini kamu beberapa kali terlambat masuk dan mengantuk di dalam
kelas?" tanya Nisa lagi dengan hati-hati. Riza menatap tajam Nisa, masih
tetap diam dan lagi-lagi hanya menganggukkan kepalanya.
"Apa kamu lagi ada
masalah sampai-sampai kamu pontang panting kerja seperti ini?" sambung
Nisa dijawab gelengan kepala dari Riza.
"Terus kenapa kamu
memaksa diri kamu dengan keras seperti ini? Buat apa, Riz?"
Riza masih memilih diam
sementara Nisa terlihat memerhatikan laki-laki itu.
"Apa kamu masih
ingat, kamu pernah bilang ingin membuat oang tua kamu bangga dan tersenyum saat
wisuda nanti ketika kamu dipanggil dengan gelar cumlaude kamu? Kamu
bilang itu salah satu bentuk tanggung jawab kamu buat mereka sebelum kamu
melakukan pembuktian sebenarnya, menerapkan ilmu kamu di dunia kerja dengan
baik," ujar Nisa panjang lebar, berhasil membuat Riza menoleh kepada Nisa
dan mereka saling berpandangan. Riza tiba-tiba ingat momen lama itu, ketika
dirinya dan Nisa bercanda suatu ketika dan
mereka saling berjanji akan mempertanggungjawabkan kuliah mereka ke
orang tua masing-masing dengan baik. Saat itu, keduanya sempat berdiskusi bahwa
gelar cumlaude bukan penentu kesuksesan orang dan keduanya pun setuju,
sampai kemudian satu kalimat Nisa membuat mereka bertekad untuk cumlaude.
"Aku cuma ingin memberikan bonus kecil senyuman dan bahagia buat orang tua
aku dengan gelar cumlaude itu, Riz. Ga ada salahnya kan berusaha
meraihnya...,anggap aja sebagai bonus dari bentuk tanggung jawab kita ke orang
tua kita," ucap Nisa dengan senyumnya yang optimis.
"Riza...,"
panggil Nisa menyadarkan Riza dari flashback-nya.
"Aku masih ingat dan
akan berusaha buat tetap menyelesaikan tanggung jawab aku dengan baik,
Nis," ujar Riza pelan. Mereka kembali berpandangan sejenak.
"Kita masih sahabat
kan, Riz? Jadi kamu bisa cerita ke aku tentang apa saja, Riz. Siapa tahu ada
yang bisa aku bantu, Riza".
"Aku baik-baik saja,
Nis. Aku hanya ingin belajar lebih mandiri. Bekerja adalah pilihan yang aku
ambil dan aku sadar resikonya. Tapi aku punya mimpi dan untuk mewujudkannya aku
perlu bekerja, sambung Riza.
Mimpi? Mimpi apa sampai kamu harus berjuang seperti ini,
Riz? tanya Nisa membuat Riza terdiam sejenak menatap gadis di
sebelahnya itu.
Suatu saat kamu akan tahu
mimpi aku, tapi sekarang aku belum bisa membaginya dengan kamu, Nis. Seperti
halnya kamu yang belum bisa memperlihatkan sketsa yang jadi mimpi kamu, lanjut Riza kemudian beranjak berdiri dari duduknya. Ya udah, lebih baik kamu pulang, Nisa. Aku harus pergi
sekarang, pamit Riza meninggalkan Nisa setelah mengucapkan salam
padanya. Nisa yang masih duduk di tempatnya memandangi Riza hingga bayangan
Riza hilang dari pandangannya. Riza yang baru bicara dengan Nisa memang terkesan
dingin, baik sikap maupun kata-katanya, membuat Nisa bertanya-tanya apa yang
sebenarnya terjadi dengan Riza. "Kenapa kamu memilih diam seribu bahasa, Riz?
Apa benar kamu berubah?" batin Nisa ragu. Nisa kembali membuka percakapannya
dengan Riza di whatsapp, membaca ulang kalimat-kalimat ajaib Riza untuknya
ketika terdengar suara Ana memanggilnya.
"Nisa, Rizaaa...
Rizaaa...," ujar Ana dengan ekspresi panik menghampirinya.
"Riza kenapa?" jawab
Nisa balik bertanya ikutan panik.
"Riza jatuh dari
sepeda motornya, Nis. Pas dia baru keluar dari parkiran ada sepeda motor yang
tiba-tiba memotong jalan di belokan. Riza berusaha menghindari tabrakan dengan
motor itu, jadinya dia jatuh dari sepeda motornya," jelas Ana, "tapi
Riza gapapa, cuma luka di kakinya karena sempat terseret dan dia lagi
dikerumunin beberapa teman di pinggir jalan mau keluar fakultas".
Nisa merasa sedikit lega
mendengar kalimat terakhir Ana itu, meski hatinya tetap diselimuti rasa
khawatir dan penasaran dengan kondisi Riza. Tanpa membuang waktu, Nisa pun
bergegas menghampiri Riza.
Terlihat Riza masih
terduduk di pinggir jalan dengan sepeda motornya ada di depannya ditemani dua
orang laki-laki, sepertinya teman sekelas Riza.
"Riza apa kamu
baik-baik saja?" tanya Nisa dengan nada khawatir sambil mengamati Riza.
Riza langsung menoleh dan bergegas berdiri menghadap Nisa. Nisa langsung fokus
melihati bagian bawah celana Riza yang sobek dan terlihat ada luka berdarah
disana.
"Kaki kamu luka dan
harus segera diobati, Riz. Aku temani kamu ke dokter ya?" sambung Nisa.
Riza menatap wajah Nisa
yang terlihat khawatir itu kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik saja
kok, Nis, cuma luka kecil aja, " jawab Riza. Nisa tersenyum, "Ya
udah, kalau begitu aku obati luka kamu, ya...". Lagi-lagi Riza menggelengkan
kepalanya, "Ga perlu, Nis. Aku harus berangkat kerja sekarang, biar
lukanya aku obatin di tempat kerja aja nanti".
Mereka saling
berpandangan sejenak.
"Tapi Riz, ... luka
kaki kamu itu harus segera dibersihkan dan diobati. Biar aku obati luka kamu
ya," ujar Nisa lagi. Pandangan Nisa lagi-lagi fokus ke luka di kaki Riza
sementara Riza hanya diam memandangi Nisa.
"Kamu ga perlu
khawatir, Nis. Aku gapapa. Aku janji bakal obatin luka aku nanti sesampai di
tempat kerja. Percaya sama aku," ujar Riza tegas membuat Nisa menatap
Riza. Sejenak Nisa terdiam, tiba-tiba ia
merasa canggung kepada laki-laki di hadapannya itu, tidak seperti biasanya ketika
ia bercanda dengan sahabatnya itu. Riza seolah sengaja berjarak dengannya hari
itu.
"Ya udah kalau
memang kamu maunya begitu, Riz. Hati-hati aja di perjalanan ke tempat kerja ya,"
ucap Nisa akhirnya sambil balas tersenyum lebar meski sedikit tertahan. Riza menganggukkan
kepalanya pelan dan Nisa pun membalikkan badannya berjalan menjauh dari Riza. Riza
terlihat mengamati punggung Nisa yang makin jauh itu dalam diam, tiba-tiba ada
rasa bersalah menyusup di hatinya atas sikapnya barusan ke gadis itu. Terdengar
suara teman Riza, meminta Riza menuruti kalimat Nisa buat mengobati lukanya
sebelum pergi ke tempat kerja. Sementara itu, Nisa larut dalam pikirannya yang
menemani langkah kakinya. "Aku tidak bisa memahami sikap kamu hari ini,
Riz, tapi aku memercayaimu, Riza," ujarnya dalam hati.
"Apa tawaran kamu
mengobati lukaku masih berlaku, Nisa?"
Suara Riza yang tiba-tiba
itu mengejutkan Nisa yang larut dalam diamnya. Nisa pun menoleh, terlihat Riza
sudah berjalan di sebelahnya sambil menuntun sepeda motornya dan melihat
kearahnya. Nisa tersenyum lebar sambil mengangguk, "Tentu saja, Riz".
Riza balas tersenyum lebih lebar. Mereka pun mencari tempat duduk buat mengobati
luka Riza.
"Kamu tunggu disini
bentar ya, Nis. Biar aku pinjam kotak P3K di ruang mahasiswa," ujar Riza
sambil memarkir sepeda motornya.
Nisa buru-buru menahan langkah
Riza. "Kaki kamu kan lagi luka, Riz. Biar aku saja yang pinjam, kebetulan itu
masih ada Ana juga. Kamu tunggu disini bentar ya, " ujar Nisa sambil
tersenyum lalu bergegas berlari menghampiri Ana, meminjam kotak P3K buat mengobati luka Riza. Riza hanya mengamati
tingkah laku Nisa itu dengan tersenyum. Beberapa menit kemudian Nisa sudah
berada di hadapan Riza dan langsung bergegas mengobati Riza.
"Aku bersihkan dulu
luka kamu dengan air mineral ya, Riz," ucap Nisa sambil tersenyum dibalas
Riza dengan anggukan kepala dan senyuman tak kalah lebar. Dengan telaten
Nisa membersihkan luka Riza dengan kapas dan air. Kemudian, Nisa mengambil cairan
alkohol dari kotak P3K yang dipinjamnya. "Ini akan sedikit perih, tahan
ya, Riz," lanjut Nisa lagi sambil menatap Riza sejenak dan tertawa kecil
ke Riza. Lagi-lagi Riza mengangguk dan ikutan tertawa. Dengan lebih pelan-pelan
Nisa menekan lembut luka Riza dengan kapas yang sudah diolesi alkohol itu.
Terlihat Riza sesekali meringis menahan perih sambil berusaha tertawa kecil
saat Nisa melihat kearahnya, seolah ingin meyakinkan Nisa dia baik-baik saja. Melihat
ekspresi Riza itu pun membuat Nisa meniup-niup pelan luka Riza sambil terus mengoleskan
alkohol buat membersihkan luka Riza, seolah ingin mengurangi perih yang
dirasakan Riza.
Riza pun tersenyum
melihat perhatian dan ketelatenan
Nisa itu.
Nisa kemudian mengoleskan
betadine pelan-pelan di luka Riza sambil tetap meniup pelan luka Riza lalu
bergegas memasang perban di kaki Riza yang terluka itu.
"Nah lukanya sudah
selesai diobati, Riz," ucap Nisa pelan sambil tersenyum lebar ke Riza,
"gimana... sakitnya sudah berkurang ga, Riz?"
Riza menganggukkan kepalanya
sambil tertawa kecil, "Makasih ya, Nis. Maaf sudah menyusahkan kamu, he he".
Nisa pun balas tertawa sambil merapikan isi kotak P3K itu seperti semula. Nisa pun
meninggalkan Riza sejenak, mengembalikan kotak P3K yang dipinjamnya dan
membuang kapas kotor ke tempat sampah.
"Minum dulu, Riz...,"
ujar Nisa beberapa saat kemudian menyerahkan sebotol air mineral ukuran
tanggung ke Riza dan Riza pun bergegas menghabiskannya.
"Yakin kamu tetap
masuk kerja hari ini, Riz? Apa kamu ga bisa minta izin, Riz?" tanya Nisa
hati-hati.
Riza memandang kearah
Nisa dan tersenyum. "Aku baik-baik saja, Nisa. Lagi pula kan luka aku udah
kamu obatin," jawab Riza dengan bersemangat. Nisa balas tertawa sambil
mengangguk pelan. Nisa senang karena Riza tak lagi sedingin sebelumnya.
"Nisa...," panggil
Riza membuat gadis itu menoleh kepadanya.
"Ya," jawab
Nisa.
"Maaf ya kalo sikap
aku terlalu dingin hari ini," ujar Riza lagi. Nisa tersenyum.
"Gapapa, Riz..., yaaa
meski aku ga terlalu suka sih karena sahabat aku jadi mahal senyumnya, he he,"
balas Nisa dengan nada riang sambil menggoda Riza, "memang kamu kenapa
sebenarnya, Riza?"
Riza tertawa memamerkan
giginya sambil mengucap maaf.
"Sejak aku meminta
seseorang jadi teman hidup, ada yang aneh di hati aku. Aku ingin menjaga hati
aku buat dia, tapi sikap aku jadi terbawa dingin deh he he. Habisnya gadis itu
belum juga menjawab iya sih padahal udah satu bulan aku meminta berkali-kali ke
dia," jelas Riza lalu memanyunkan bibirnya.
Nisa tersenyum. "Kamu
juga sih, Riz... udah tahu jawaban gadis itu apa, tetap aja meminta hal yang
sama. Jadi negatif begini kan dampaknya buat kamu, jadi super dingin. Sudah, berhenti
saja melamar gadis itu, lebih baik kamu berjuang untuk gadis yang lebih baik,
Riza. Kamu layak buat dapat teman hidup yang lebih baik. Percaya sama aku".
Riza balas menatap Nisa,
terdiam sejenak melihat senyuman di wajah Nisa lalu balas tersenyum lebar.
"Aku selalu percaya sama kamu, Nisa, itu sebabnya aku ga akan menyerah mendapatkan
jawaban iya dari kamu". Nisa menarik senyumnya lebih lebar kemudian
mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Andai aku bisa
menjawab iya, Riz...," ucap Nisa di dalam hatinya sambil bibirnya tersenyum
menatap awan yang berarak sore itu.
"Oh iya, apa alasan kamu
bekerja ada hubungannya sama aku, Riz?" tanya Nisa hati-hati tetap dengan
senyum lebarnya.
Riza menatap Nisa sejenak.
"Aku kerja karena
aku ingin menjadi seseorang yang bertanggung jawab buat kamu dan aku ingin membantu
kamu mewujudkan mimpi kamu, Nis," batin Riza.
Riza pun tersenyum lalu
ikutan menoleh ke awan-awan di atas mereka. "Kan aku sudah bilang, aku
kerja karena aku punya mimpi tapi aku belum bisa menceritakannya ke kamu
sekarang, Nisa," Riza menoleh kembali kearah Nisa, "yang terpenting
aku harap kamu tetap percaya ke aku, Nis. Aku akui kuliah aku agak kacau sejak
aku memutuskan kerja, agak susah mengatur waktu dan tenaga, tapi aku akan berusaha lebih
baik biar kerja dan kuliah bisa berjalan baik berdampingan. Aku janji, Nis akan
berusaha bertanggung jawab dengan baik di keduanya". Nisa tersenyum lebih lebar
kearah Riza sambil menganggukkan kepalanya, "Apapun alasannya, aku percaya
sama kamu, Riz. Kamu pasti bisa, Riza. Semangat dan berjuang, Riza!" Keduanya
pun saling tertawa.
Riza pun berpamitan
berangkat kerja sekali lagi ke Nisa, hanya saja kali ini dengan senyum
mengembang di wajah keduanya.
Tiga puluh menit kemudian,
Nisa sedang asyik bersantai di kamarnya sambil melanjutkan sketsanya ketika
sebuah pesan dari Riza masuk di whatsapp-nya.
"Lapor... pasien
bernama Riza sudah tiba dengan selamat di tempat kerja :).
Hmmm, kira-kira perawat
baik tadi mau ga menikah dengan laki-laki bernama Riza yang kakinya tadi diperban?"
Nisa tersenyum
membacanya.
"Laporan diterima.
Hati-hati di tempat kerja, jangan lupa makan dan istirahat ya.
Hmmm soal perawat baik
tadi... hmmm lupakan saja. Dia tidak cukup baik buat Riza. Dia itu sebenarnya
pasien yang menjadi perawat dadakan dalam kondisi darurat aja :)," ketik
Nisa. Tak ada balasan dari Riza, Nisa pun teringat sesuatu hal yang sempat terlintas
di pikirannya dalam perjalanan pulangnya dari kampus tadi.
Nisa mengetuk pintu kamar
Ana dan beberapa saat sudah duduk santai di tempat tidur Ana. Nisa meminta
bantuan Ana agar mau meminjamkan catatan, buku, dan meng-copy materi
perkuliahan Ana yang sekaligus juga materi perkuliahan Riza. Ya..., Nisa bertekad
membantu membuatkan rangkuman materi kuliah buat Riza apalagi sekitar dua minggu
lagi mereka akan menghadapi Ujian Akhir Semester. Nisa tahu Riza sedang
berjuang untuk bisa meraih hasil yang baik di keduanya, yaitu tentang kuliah
dan pekerjaannya, dan Nisa ingin membantu Riza semampunya.
Setelah meng-copy bahan kuliah Ana dan Riza kedalam flashdisk
dan meminjam beberapa catatan Ana yang sangat berbaik hati memahami niatan Nisa,
Nisa pun bergegas membuat catatan-catatan kecil yang mudah Riza bawa kemana-mana.
Waktu sudah berlalu tiga
jam ketika mata Nisa terasa lelah, Nisa pun memutuskan mengistirahatkan matanya
setelah makan malam dan meminum obatnya. Nisa berniat tidur dulu, sebelum
bangun lagi dan belajar untuk materi ujiannya sendiri.
Mata Nisa hampir terpejam
ketika sebuah pesan lagi-lagi masuk ke handphone-nya, dari Riza.
"Nisa, Maukah Kamu
Menikah Denganku? Aku akan tetap menunggu sampai kamu menjawab iya, Nis :)".
Nisa tersenyum haru
membacanya, selalu seperti itu hatinya, tersentuh, saat laki-laki luar biasanya
menuliskan kalimat ajaib itu lagi dan lagi. Seperti biasanya, Nisa tidak membalas
pesan itu. Ada sebutir air mata menetes di pipinya diantara senyumnya,
"Biar waktu yang menunjukkan semuanya, Riz. Semoga kita sama-sama ditunjukkan
yang terbaik, Riza".