Sebelumnya : Bara Diantara Ahsan dan Hasna
Part 8: Katakan dan Relakan ! (1)
Part 8.1. Pelangi
Beberapa minggu setelahnya, Ahsan pun menjadi
tukang antar jemput yang setia buat Hasna selama pemulihan kakinya. Bukan hanya
sekedar mengantar jemput dari dan ke stasiun menggunakan sepeda milik Putri,
Ahsan bahkan dengan senang hati menjemput dan mengantar Hasna dari dan ke rumah
atau kantor Hasna tanpa diminta, meski tanpa mobil sportnya dan tetap
menggunakan moda transportasi umum. Sementara Hasna, ia pun tak menolak saat
tawaran baik itu disampaikan Ahsan saat mengantarkan Hasna pulang untuk kali
pertama Sabtu itu. Hasna justru merasa senang dengan perhatian laki-laki itu,
meski ia tahu diantara mereka tidak ada apa-apa selain pertemanan sebagai
sesama volunteer. Ahsan pun tak pernah mengatakan apa-apa tentang perasaannya
kepada Hasna, kecuali sekedar candaan-candaan yang bermuatan “ngemodus” meski
selalu berakhir pada diam atau tawa dan senyum yang tak bernama. Ahsan masih
tetap yakin bahwa apa yang dirasakannya ke Hasna bukan rasa suka apalagi cinta
:) . Waktu berlalu, sebulan setengah sudah jasa eksklusif jemput antar Ahsan
spesial buat Hasna berjalan dengan rutin tiap Rabu dan Sabtu saat kaki Hasna
pun sudah pulih sepenuhnya. Itu berarti bahwa Ahsan tak perlu lagi menjemput
dan mengantar Hasna.
Rabu itu, arloji Hasna menunjukkan pukul 13.40
saat gadis itu sudah duduk manis didalam KRL menuju kelas bantaran rel. Sebelum
makan siang, divisinya melakukan rapat koordinasi kecil tentang sebuah project
baru tentang pendidikan di salah satu pedalaman Papua. Pak Ryan menugaskan Bara
dan dua orang lainnya sebagai volunteer yang bertanggung jawab disana selama 6
bulan, tapi mereka perlu tim kecil untuk terlibat selama beberapa minggu sampai
project mereka dipastikan berjalan “cukup” lancar. Hasna pun ditawari Pak Ryan
untuk mejadi salah satu anggota tim kecil yang terdiri dari dua orang diluar
tiga orang volunteer yang menetap disana. Tentu saja Hasna menerima tawaran itu
dengan senang hati, itu salah satu mimpinya bisa pergi ke pedalaman dan bisa
melihat lebih dekat adik-adik disana.
“Tapi Na, bagaimana dengan kelas bantaran rel ?
Apa perlu kita kirimkan orang buat menggantikan kamu selama pergi?” tanya Pak
Ryan setelah Hasna menjawab setuju.
Gadis itu terdiam sejenak memikirkannya, “Coba
nanti saya tanyakan dulu ke teman volunteer disana baiknya bagaimana, Pak”.
Hasna menoleh kearah luar KRL, gerimis dan
matahari yang malu-malu itu sedang menemani perjalanannya. Hasna tersenyum,
melihat gerimis membuatnya menitipkan rindu untuk melihat pelangi.
Waktu menunjukkan pukul 14.30 saat Hasna tiba di
stasiun. Gerimis sudah berhenti bercanda
menyisakan matahari. Seperti biasa, pandangan Hasna tertuju ke salah satu di
pintu keluar, yaaa laki-laki itu terlihat sedang menunggunya dengan senyumannya
seperti biasa.
Hasna pun balas tersenyum lebar sambil mengucap
salam. Keduanya bergegas berjalan menuju kelas bantaran rel.
"Kangen juga naik sepeda Putri ya,
San," ujar Hasna riang seperti biasa dengan jilbabnya sedikit berkibar
ditiup angin.
"Kangen sepeda Putri atau kangen aku
boncengin, Na?" balas Ahsan dengan candaan modusnya seperti biasa dengan
tersenyum tak kalah lebar menggoda Hasna.
Hasna tertawa kecil. "Dua-duanya sih Kak
Ahsan yang baik he he".
Keduanya pun tertawa.
"Oh iya, kalau seadainya kamu harus mengajar
sendiri tanpa aku beberapa minggu, kamu ga masalah kan, San?"
Ahsan menoleh kearah Hasna. "Memangnya kamu
mau pergi, Na?"
Mata Ahsan beradu sejenak dengan Hasna, tatapan
serius dan penuh tanda tanya Ahsan membuat gadis itu kemudian urung berbicara.
Hasna tersenyum lebar kemudian menggelengkan kepalanya pelan. Hasna teringat
bagaimana reaksi aneh Ahsan waktu Bara menemaninya beberapa waktu sebelumnya.
Hasna khawatir membahas project barunya ke Ahsan berujung pada perbincangan
aneh tentang Bara lagi. Yaaa, Hasna tidak suka "mengusik" laki-laki
di sebelahnya itu meskipun tidak ada hubungan apa-apa diantara keduanya kecuali
rekan mengajar.
“Kenapa juga aku
jadi berpikir kalau Ahsan bakal ngerasa risih ya?Kenapa juga aku peduli dan
takut mengusik perasaan Ahsan?” batin Hasna.
“Hasna...”. Panggilan Ahsan menyadarkan Hasna
dari pikirannya sendiri. Hasna lagi-lagi tersenyum lebar ke Ahsan. Laki-laki
itu terlihat tidak puas dengan jawaban Hasna itu. Ahsan merasa ada yang tidak
terkatakan oleh Hasna.
“Kamu ada tugas dari kantor untuk pergi keluar
kota, ya Na?”
Hasna hanya terdiam dan balik menoleh kearah
langit.
“Wah... ada pelangi,” ujar Hasna tersenyum lebih
lebar dengan wajah riang mengalihkan perhatian Ahsan untuk ikut melihat benda
yang membuat perempuan di sebelahnya itu senang seketika.
Ahsan ikut tersenyum lebar, “Memang kamu sudah
lama tidak melihat pelangi, Na? Ekspresi kamu itu seperti orang yang baru
pertama kali melihat pelangi he he”.
Hasna tertawa kecil kearah Ahsan. “Setiap hujan
turun, aku berharap bisa melihat pelangi. Tadi di kereta aku sempat berdoa bisa
melihat pelangi, eh ternyata sekarang pelanginya beneran muncul”.
Ahsan mencuri pandang ke perempuan yang kembali
melihati pelangi dengan takjub itu. Melihat keriangan Hasna diantara jilbabnya
yang sedikit tertiup angin itu berhasil mengalihkan perhatian Ahsan.
“Mau aku fotoin berlatar pelangi nggak?” ujar
Ahsan sambil tersenyum lebar.
Hasna menoleh sejenak ke Ahsan kemudian
menganggukkan kepalanya. “Boleh,” ujarnya sambil tertawa kemudian memberikan
handphonenya ke Ahsan, si relawan tukang potret dadakan.
Dengan sigap dan senang hati, Ahsan mengambil
gambar Hasna beberapa kali dengan berlatar pelangi sore itu. Terdengar beberapa
kali suara laki-laki itu mengarahkan Hasna seperti fotografer mengarahkan
modelnya dengan kata-katanya, ‘majuan dikit Na...’, ‘kurang ke kanan, Na’,
‘coba lihatnya kearah sana, Na biar candid gitu...’, dan Hasna dengan senang
hati mematuhinya. Terlihat Ahsan beberapa kali senyum-senyum sendiri bahkan
terlihat lebih bahagia dari objek fotonya itu (he he:)).
Sambil terus berjalan menuju kelas bantaran rel,
sejenak Hasna melihati hasil jepretan Ahsan itu setelah sebelumnya mengucapkan
terima kasih. Perempuan itu terlihat senyum-senyum sendiri melihatnya.
“Suka, ga Na? Kalau kurang bagus dan mau diulang,
kamu bilang aja ya he he”.
“Aku suka hasil jepretannya, San... bagusss.
Sepertinya kamu punya bakat terpendam jadi fotografer deh,” jawab Hasna sambil
tersenyum lebar ke Ahsan. Ahsan tertawa mendengarnya.
“Sepertinya bakat terpendamku itu baru muncul di
saat-saat tertentu aja deh, Na... salah satunya saat kamu yang jadi modelnya,
he he”.
Hasna balik tertawa kecil mendengar Ahsan yang
menggodanya itu membuat laki-laki itu makin tertawa lepas.
“Hmmm mungkin karena kamu melakukannya sepenuh
hati kali ya... kamu ingin membuat orang yang difoto senang dengan hasil
jepretan kamu,” sambung Hasna dengan riang berhasil membuat laki-laki itu
sedikit tersipu meski tetap berusaha menutupinya lewat tawanya.
“Kamu mau aku fotoin bersama pelangi juga,
nggak?” tanya Hasna.
Keduanya lagi-lagi saling tersenyum. Ahsan
terlihat ragu menjawab apa.
“Pake HP aku juga gapapa, nanti aku kirim via
WA,” sambung Hasna menawarkan diri.
Ahsan berpikir sejenak kemudian tersenyum lebih
lebar sambil menganggukkan kepalanya meski setengah ragu.
“Bikin biar foto aku terlihat ganteng, ya Na ha
ha”.
“Siappppp Ahsan,” jawab Hasna tertawa kecil.
Hasna mengambil gambar Ahsan sebanyak tiga kali
dengan pose berbeda untuk dikirim ke laki-laki itu, ‘Ahsan yang tersenyum kearahnya’,
Ahsan yang tertawa lepas melihat kearah lain’, dan terakhir ‘Ahsan yang tampak
belakang sedang melihat pelangi’.
Ahsan tersenyum melihati foto-foto dirinya yang
dikirimi Hasna itu. Ia suka dengan hasil jepretan Hasna membuat Hasna pun ikut
senang melihat raut riang laki-laki itu.
“Masih kurang ganteng ga, San?” tanya Hasna
tertawa kecil menggoda Ahsan.
Ahsan tersenyum lebar, “Cukupan lah, Na. Nanti
kalau terlalu ganteng, takutnya kamu jatuh suka dan ga bisa tidur ngelihatin
foto aku, Na ha ha ha”.
Tawa pun pecah diantara keduanya.
“Makasih ya, Na. Aku suka fotonya,” lanjut Ahsan
tersenyum kepada Hasna dibalas dengan senyuman manis dan anggukan perempuan
itu.
Kehadiran pelangi di langit sore itu berhasil
mengalihkan pembicaraan mereka tentang rencana kepergian Hasna yang sempat
ditanyakan Ahsan dan membuat Hasna urung ingin membicarakannya dengan laki-laki
yang sedang berjalan bersamanya itu. Hasna hanya tidak ingin mengusik perasaan
Ahsan atau tepatnya tidak ingin mengusik perasaan dirinya sendiri (?),
setidak-tidaknya “tidak” saat itu. Hasna ingin menikmati kebersamaan mereka
menuju kelas bantaran rel itu, sebelum dirinya pergi selama beberapa minggu,
tetap terisi oleh senyum dan tawa.
Part 8.2. Cieee, Membara Lagi
Sepuluh
menit kemudian, Ahsan dan Hasna pun akhirnya sampai di kelas bantaran rel
kemudian segera bergabung dengan volunteer yang lain. Selepas sholat Ashar
berjamaah, terlihat adik-adik kecil dan para kakak volunteer menyiapkan kelas
mengaji sore itu. Begitu pun Ahsan dan Hasna, mereka terlihat mendiskusikan
materi kelompok adik-adik yang mereka pegang berdua beberapa saat ketika Putri
menghampiri keduanya.
“Kak
Hasna, bagus nggak Putri pakai jilbab ini?” tanya Putri dengan ceria
memperlihatkan jilbab barunya yang mirip dengan jilbab bunga-bunga Hasna. Saat
Hasna datang tadi, Putri sudah menggunakan mukena sehingga Hasna belum sempat
memerhatikan Putri dengan jilbab yang sebelumnya Putri minta tolong Hasna untuk
membelikannya setelah uang tabungannya terkumpul seminggu yang lalu.
Hasna tersenyum manis kearah gadis itu. “Putri
terlihat makin cantik dengan jilbab itu,” ucap Hasna sambil membantu gadis
kecil itu merapikan jilbab barunya itu. Putri terlihat senang mendengar ucapan
Hasna itu. Sesekali Ahsan ikut tersenyum mengamati keduanya sembari melihati
materi yang akan diajarkannya hari itu.
“Kak Ahsan, Putri cocok nggak pakai jilbab yang
mirip seperti punya Kak Hasna ini?” tanya Putri kali ini kepada Ahsan.
Ahsan menoleh kearah gadis kecil itu kemudian
bergantian menoleh kearah Hasna yang terlihat manis dengan senyumannya. Ia
tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Putri terlihat cantik... secantik Kak
Hasna”. Hasna melirik kearah Ahsan sambil tersenyum dan menggelengkan
kepalanya, laki-laki itu terlihat senang mengatakan hal itu.
“Cie cie cieee...,” ucap Putri dengan tertawa
kecil membuat Ahsan dan Hasna pecah dalam tawa. Gadis kecil itu pun
meninggalkan Ahsan dan Hasna, bergabung lagi dengan teman-temannya.
“Cieee Kak Ahsan udah makin berani
terang-terangan nih,” celetuk pelan Ardi yang tiba-tiba sudah duduk di belakang
Ahsan.
“Kamu mau digodain sama Ahsan juga, ya Ar?” tanya
Hasna tertawa kecil ganti menggoda Ardi sekaligus menyembunyikan rasa malu yang
tiba-tiba ia rasakan, entah mengapa.
“Kamu tahu aja, Na... ha ha,” jawab Ardi membuat
Ahsan ikut tertawa sambil menyikut pelan Ardi yang selalu bersemangat
mengompori dirinya dan Hasna
Hasna bergegas menghampiri Raka yang berdiri tak
jauh dari tempat ketiganya dan sedang menyiapkan diri sebelum membuka kelas
hari itu.
Sementara
itu Ahsan dan Ardi terlihat melanjutkan
obrolan “mengisi waktu” mereka.
“Jadi kapan loe berani ngomong serius ke Hasna,
Bro? Kayaknya udah cukup deh kode-kodeannya,” bisik Ardi di dekat telinga Ahsan
sambil tertawa kecil. Ahsan kembali menyikut temannya yang selalu usil dan
bersemangat mendorong Ahsan buat mengakhiri status jomblonya.
“Siapa juga yang suka sama Hasna? Gue tuh cuma
suka aja bercanda sama Hasna,” jawab Ahsan lebih lirih balas berbisik agar tidak terdengar siapapun
kecuali Ardi.
Keduanya saling melempar senyum satu sama lain.
“Yakiiin, San? Semua orang disini juga bisa
melihat perhatian loe ke Hasna itu luaaar biasa,” jawab Ardi dengan muka
tengilnya dan masih tetap berbisik.
“Sok tahu loe,” sikut Ahsan ke Ardi lagi, kali
ini agak keras, sambil tersenyum.
Ardi tertawa lebar kepada Ahsan lalu ganti
menoleh kearah Hasna yang sedang bersama Raka.
“Hasna kalau dilihat-lihat manis juga ya. Hmmm ya
udah kalau loe memang ga ada rasa sama Hasna, gue mau nyoba ngemodusin Hasna
ah. Siapa tahu jodoh, he he”.
Ahsan langsung menoleh kearah Ardi. “Loe pasti
bercanda,” ucap Ahsan sambil tertawa kecil.
“Nggak, kali ini gue serius. Gue baru nyadar
kalau gue ngelewatin cewek semanis Hasna padahal dia ada di dekat kita. Kalau
loe emang ga ada rasa sama dia, berarti mungkin gue punya kesempatan ngedeketin
Hasna,” balas Ardi sambil senyum-senyum sendiri melihati Hasna.
Ahsan menatap Ardi yang duduk disebelahnya itu
beberapa saat kali ini dengan wajah berubah serius, “Loe... serius, Ar?”
Ardi terlihat tetap mengamati Hasna menganggukkan
kepalanya sambil tetap tersenyum, merespon pertanyaan Ahsan, membuat mimik muka
Ahsan makin serius menatap laki-laki itu.
“Serius loe mau ngedekatin Hasna, Ar?”
Ardi melirik kearah Ahsan yang wajahnya mendadak
berubah serius itu, dia sengaja ingin melihat perubahan mimik Ahsan dengan melontarkan pernyataan itu.
“Kenapa wajah loe jadi serius banget gitu, Bro?
Cieee cemburu ya, katanya ga ada rasa apa-apa,” sambung Ardi berbisik dengan
tertawa cekikikan.
Ahsan langsung menyadari kalau dirinya sedang
dikerjai. Ahsan pun ikut tertawa cekikikan, berusaha tetap menutupi rasa
malunya saat itu. “Gue... gue ga cemburu, gue...gue cuma ga yakin aja sama
loe,” sambung Ahsan.
“Iya... iya gue percaya, San. Tapi tenang aja,
gue juga cuma bercanda soal Hasna,” jelas Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya
dengan tawa yang makin menjadi tapi tetap lirih. Tawa Ahsan pun pecah. Ahsan
tetap berusaha memasang tampang coolnya, tapi jauh di hatinya ia merasa sedikit
lega.
Sementara itu, disaat yang bersamaan, Hasna
meminta waktu bicara sejenak ke Raka sebelum kelas mengaji dimulai.
“Raka, aku dapat tugas dari kantor ke Papua
selama beberapa minggu. Aku izin tidak bisa mengajar selama itu ya,” ujar
Hasna.
“Wah, jauh banget, Na. Ada project baru tentang
pendidikan lagi disana?”
Hasna tersenyum dan mengangguk. “Kira-kira perlu
volunteer pengganti nggak selama aku di Papua? Tadi Pak Ryan, supervisorku
nanyain. Kalau memang diperlukan, nanti kantorku bakal kirim orang”.
Raka masih diam dan berpikir.
“Aku yakin kalian sebenarnya tidak masalah kalau
aku tidak ada, toh sebelum aku bergabung kelas ini sudah berjalan dengan baik,
tapi siapa tahu kalian mau tambahan volunteer”.
Raka balas tersenyum lalu mengedarkan
pandangannya ke penjuru kelas, pandangannya berhenti di Ahsan yang terlihat
sedang bercanda dengan Ardi.
“Hmmm sepertinya kita perlu minta pendapat Ahsan,
Na. Soalnya dia yang jadi pasangan mengajar kamu selama ini”.
Raka memanggil Ahsan untuk bergabung dengan
dirinya dan Hasna.
“Ada apa, Ka?” ujar Ahsan kepada Raka dan Hasna
sambil tersenyum lebar.
Raka menjelaskan tentang rencana kepergian Hasna
ke Papua dan tawaran Hasna terkait volunteer pengganti itu. Ahsan terlihat
menoleh kearah Hasna sejenak. Ahsan baru ingat obrolan dirinya dan Hasna
sebelumnya yang terhenti karena pelangi, obrolan yang tidak Hasna teruskan ke
Ahsan, entah kenapa. Sementara itu, Hasna terlihat diam tetap dengan senyumnya
kepada Raka dan Ahsan. Ya, obrolan ini pasti harus dilakukan meski didalam
hatinya ada sedikit khawatir yang ia rasakan saat membuka obrolan tentang ini
didepan Ahsan.
“Jadi gimana, San.... apa kamu perlu volunteer
sementara menggantikan Hasna nemenin kamu?” tanya Raka. Ahsan menoleh kearah
Hasna.
“Ga perlu, Ka,” jawab Ahsan singkat.
“Siapa tahu kamu mau request volunteer muda dan
cantik biar makin semangat mengajar selama Hasna pergi,” sambung Raka mencandai
Ahsan membuat Ahsan tertawa mendengarnya. Sementara Hasna terlihat
menganggukkan kepalanya pelan, ikut menggoda Ahsan.
Lagi-lagi Ahsan menatap Hasna dengan senyum dan
rautnya yang berubah setengah serius.
“Cuma beberapa minggu kan, Na? Setelah itu, kamu
bakal mengajar lagi disini kan? Kamu ga berhenti kan jadi volunteer disini?”
lanjut Ahsan.
Hasna mengangguk pelan sambil tersenyum. “Iya,
aku pasti balik insyaa Allah, San”.
“Nah, karena Ahsan sudah menjawab seperti itu,
berarti kita ga butuh volunteer tambahan, Na. Nanti kita bisa gantian menemani
Ahsan menggantikan kamu, Na,” ujar Raka dengan senyum lebarnya, “biar dia nggak
terlalu galau ga ada kamu”.
Hasna tertawa kecil sementara Ahsan tetap
tersenyum tanggung, ada malu yang berusaha disembunyikan laki-laki itu.
“Apa Bara juga pergi bareng kamu ke Papua, Na?”
Pertanyaan Ahsan itu membuat senyuman di wajah Hasna perlahan memudar, hatinya
terusik.
Hasna kembali menatap Ahsan dan menganggukkan
kepalanya pelan lalu melebarkan kembali senyumnya. “Bara volunteer inti yang
menjalankan project ini selama enam bulan disana, sedangkan aku cuma membantu
Bara, memastikan program itu berjalan lancar, San”.
Ahsan hanya diam menganggukkan kepalanya. Raka
tersenyum tipis mendengar perbincangan diantara keduanya itu, mengungkapkan
rasa menjadi hal yang mahal untuk diungkapkan bagi Ahsan dan Hasna meski
sekeliling mereka jelas-jelas merasakannya. Bagi Raka, Ahsan terlihat susah payah
bersikap biasa dan melebarkan senyumannya saat itu berusaha menutupi bara di
dalam hatinya.
“Jadi kamu
pergi ke Papua bareng Bara?” lanjut Ahsan ingin menuntaskan keingintahuan
hatinya.
Hasna tersenyum meski sedikit canggung dan
lagi-lagi menganggukkan kepalanya.
“Iya aku hari minggu besok pergi bareng Bara,”
jawab Hasna singkat.
“Cuma berduaan sama Bara, Na?” sambung Ahsan
penasaran sambil berusaha tersenyum lebar, membuat Raka yang berada diantara
keduanya pun pecah dalam tawa kecilnya.
Hasna yang masih diam pun urung hendak menjawab,
Ahsan dan Hasna langsung kompak menoleh kearah Raka.
“Kamu kenapa, Ka?” tanya Ahsan heran.
“Lucu aja ngelihat kamu ngepoin Hasna tentang
Bara, San. Kelihatan penasaran banget ha ha”.
Hasna
melirik kearah Ahsan, laki-laki itu terlihat sedikit salah tingkah meski
berusaha bersikap biasa.
“Nggak, ... aku cuma... aku cuma pingin tahu
saja. Udah deh, nggak usah diterusin mendingan kita mulai kelas mengaji aja
sekarang,” ujar Ahsan berjalan kearah adik-adik yang menjadi tanggung jawabnya
disusul Hasna di belakangnya. Hasna merasa pembahasan tentang Bara sebenarnya
belum usai bagi Ahsan.
Pelajaran mengaji pun
berjalan seperti biasa, tak banyak perbincangan diantara Ahsan dan
Hasna. Seperti biasa sesekali Ahsan mencuri-curi melihat senyuman Hasna
ketika mengajar, begitu pun Hasna. Bisa hampir dipastikan keduanya akan
sama-sama kehilangan momen itu selama Hasna di Papua. Waktu di dinding
kelas menunjukkan pukul lima sore ketika pelajaran mengaji selesai.
Sebelum adik-adik pulang terlihat Raka berdiri di depan kelas ingin
memberikan pengumuman.
"Oh iya adik-adik, Kak
Raka minta perhatiannya sebentar sebelum pulang. Kakak mau memberitahu
kalau Kak Hasna akan izin tidak bisa ikutan mengajar di kelas ini karena
ada tugas di Papua. Kak Hasna dan teman-teman kantornya ada proyek
membantu sebagian adik-adik di Papua, daerah bagian timur dari
Indonesia, untuk bisa belajar lebih baik. Kita doakan ya, semoga Kak
Hasna sehat-sehat selalu disana dan proyek belajar adik-adik di Papua
bisa berjalan lancar," jelas Raka diikuti suara aamiin dari kakak-kakak
volunteer dan adik-adik di kelas itu tak terkecuali Hasna. Selanjutnya
Raka memimpin doa buat Hasna selama lima menit.
Setelahnya, terlihat Ridwan unjuk tangan.
"Ya Ridwan...".
"Papua kan jauh ya, Kak. Kira-kira Kak Hasna bakal kembali mengajar disini lagi nggak?"
Raka tersenyum kemudian
menoleh kearah Hasna dan meminta gadis itu maju. Terdengar beberapa
suara adik-adik yang masih kelas 1 dan 2 masih saling berkasak-kusuk
tentang dimana Papua.
Hasna tersenyum lebar ke adik-adik yang sedang memperhatikannya di depan kelas itu.
"Insyaa Allah Kak Hasna
bakal balik lagi kesini kalau proyek kelas belajar disana sudah jalan.
Kak Hasna boleh kan mengajar disini lagi?" tanya Hasna riang dijawab
kompak dengan kata "boleh" dari mulut adik-adik disana.
"Oh iya, Kak Hasna
dengar ada yang nanya Papua itu dimana. Kak Hasna coba gambarkan di
papan ya," sambung Hasna. Hasna pun menggambarkan pulau-pulau besar di
Indonesia meski tidak sama bentuknya dan lebih kearah gambaran
posisinya. Kemudian ia pun menjelaskan posisi Papua dan posisi adik-adik
itu berada, di pulau jawa. Terlihat adik-adik itu mengangguk-anggukkan
kepala mendengarkan penjelasan dari Hasna. Ahsan yang duduk di barisan
belakang adik-adik itu pun ikut tersenyum melihat semangat dan keriangan
Hasna tiap kali mengajar itu.
"Kira-kira Kak Hasna pergi berapa lama, Kak?" tanya Putri tunjuk tangan.
"Sekitar satu bulan," jawab Hasna sambil tersenyum lebar.
"Wah... Kak Ahsan bakal
kehilangan teman mengajar selama satu bulan dong. Kak Ahsan pasti sedih,
Kak," sambung Putri ke Hasna membuat Hasna kehilangan kalimat sejenak
sementara Ahsan menjadi seperti terdakwa yang salah tingkah. Kakak
volunteer yang lain terlihat berusaha menahan tawa dan senyumnya di
hadapan adik-adik itu. Hasna melihat kearah Ahsan sejenak yang terlihat
bingung harus bicara apa kemudian Hasna tersenyum lebih lebar menatap
Putri dan adik-adik di depannya. "Meski ga ada Kak Hasna, kan masih ada
kakak-kakak yang lain buat menemani Kak Ahsan. Jadi Kak Ahsan ga bakal
sedih dan kehilangan Kak Hasna, toh Kak Hasna nanti juga kembali. Iya
kan, Kak Ahsan?"
Dalam seketika Ahsan
menjadi pusat perhatian, mayoritas adik-adik dan juga kakak-kakak
volunteer termasuk Hasna memandang kearahnya. Ahsan menatap Hasna
sejenak lalu buru-buru tersenyum lebih lebar sambil menganggukkan
kepalanya, "Iya, Kak Ahsan pasti baik-baik saja".
"Kak Hasna naik apa ke Papua, Kak?" tanya adik yang lainnya lagi.
"Naik pesawat," jawab Hasna tetap dengan senyum lebarnya.
"Waaah pasti seru ya,
Kak. Aku belum pernah naik pesawat, kata Bapak naik pesawat itu
mahaaaaal. Jangankan naik, lihat pesawat dari deket aja belum pernah he
he," ujar seorang adik diikuti dengan komentar sependapat dari beberapa
adik yang lain, membuat kelas kembali ramai. Ada juga yang bercerita
kalau dia pernah mengantar keluarganya ke bandara dan melihat pesawat
dari dekat. Hasna dan Raka yang berdiri berdekatan saling berpandangan
dan tersenyum serta sedikit berbincang tentang sesuatu.
"Hmmm, jadi adik-adik
mau melihat pesawat lebih dekat nih?" tanya Hasna bersemangat dijawab
"mau" dari sebagian besar adik-adik itu dengan kompak dengan raut ceria
dan penuh semangat.
"Ya udah, kalau begitu
hari minggu nanti kita rame-rame antar Kak Hasna ke bandara, jadi
adik-adik bisa melihat pesawat lebih dekat," ujar Raka dengan senyuman
lebarnya dibalas senyuman riang dari adik-adik dan juga kakak-kakak
volunteer yang duduk di belakang termasuk Ahsan.
"Kita mengantar Kak
Hasnanya sampai dalam pesawat ya, Kak?" tanya adik bernama Lili dengan
polosnya. Hasna tertawa kecil mendengarnya. "Sayangnya, pengantar tidak
boleh masuk kedalam pesawat, Lili. Lili cuma bisa mengantarkan Kak Hasna
sampai bandara," jelas Hasna beranjak duduk sambil membelai lembut
kepala gadis kecil yang duduk di paling muka itu. Lagi-lagi bibir Ahsan
ikut tersenyum melihati tingkah laku Hasna itu dari belakang. Terlepas
apa yang ia rasakan terkait Bara, entah kenapa Hasna selalu mudah
membuatnya ikut tersenyum.
"Ya udah sekarang
adik-adik boleh pulang. Nanti hari Minggu kita naik mobil rame-rame
mengantar Kak Hasna ke bandara kemudian mampir ke Monas dan makan siang
disana. Oke!!!" jelas Raka bersemangat dibalas dengan anggukan kepala
dari adik-adik itu serta jawaban "iya" yang tak kalah bersemangat.
Setelah Raka menutup kelas dengan berdoa dan salam, adik-adik itu pun
bergegas menyalami dan mencium tangan kakak-kakak volunteer bergantian
kemudian meninggalkan kelas. Tersisa kakak-kakak volunteer disana
melakukan rapat kecil sebelum pulang. Kelimanya duduk melingkar saling
berdekatan, dan seperti sebelumnya mereka sengaja memposisikan Ahsan
agar duduk bersebelahan dengan Hasna. Raka membahas tentang rencana
mereka mengajak adik-adiknya berkemah sabtu dan minggu sekaligus sebagai
sarana refreshing dan pembelajaran di alam terbuka yang sebelumnya
dijadwalkan dua minggu lagi.
"Menurut pendapat kalian
bagusnya bagaimana? Kita tetap jadwalkan dua minggu lagi atau menunggu
Hasna balik dari Papua?" tanya Raka.
Hasna hanya tersenyum, gadis itu memilih ikut apapun keputusan volunteer yang lainnya.
"Kalau aku sih,
tergantung jawaban Ahsan aja, Ka," jawab Ardi sambil tersenyum lebar
diikuti anggukan setuju dari Bayu dan Azka sambil ikut senyum-senyum
menggoda kearah Ahsan. Raka pun ikut tertawa kecil, "Jadi gimana, Kak
Ahsan baiknya?"
Ahsan tersenyum melihat
kelakuan teman-temannya yang semakin terang-terangan menggodanya di
hadapan Hasna. Ia melirik ke perempuan yang duduk di sebelahnya itu,
Hasna terlihat tersenyum agak tersipu tapi berusaha menyamarkannya
memainkan pulpen yang dipegangnya. "Menurut aku lebih baik menunggu
Hasna pulang dari Papua biar kakak volunteernya lengkap saat acara itu,"
ucap Ahsan bijak dengan senyumannya yang dibuat sebiasa mungkin diikuti
dengan anggukan setuju volunteer yang lain yang masih saja
senyum-senyum menggoda Ahsan.
"Jadi gimana, Kak Hasna
mau nggak ditungguin kedatangannya sama Kak Ahsan eh sama kami semua
maksudnya?" goda Ardi tertawa kecil membuat Hasna ikut tertawa. Hasna
melirik kearah Ahsan, laki-laki itu terlihat sedang tersenyum kepadanya.
Akhirnya mereka memutuskan pelaksanaan kemah sabtu minggu akan
diadakan lima minggu lagi, dengan anggapan Hasna sudah balik dari Papua
saat itu. Para volunteer pun membicarakan lebih jauh rencana mengajak
adik-adik jalan ke bandara hari minggu sekalian mengantar Hasna.
Diputuskan bahwa Hasna akan menunggu kedatangan adik-adik itu di
bandara, tidak ikut berangkat dari kelas bantaran rel mengingat Hasna
harus membawa dua tas, tas baju dan tas buku buat perpustakaan keliling
untuk proyek pendidikan di Papua tersebut. Para volunteer pun saling
memberikan pendapat, kecuali Ahsan yang terlihat lebih banyak diam saat
itu.
"Loe kenapa jadi pendiam
banget, San? Sedih ya mau ditinggal Hasna pergi?" tanya Ardi sambil
menyikut pelan Ahsan dan tertawa menggoda temannya itu.
"Apaan sih, Ar... dari
tadi ngegodain gue melulu. Beberapa hari terakhir badan gue kadang suka
lemes tiba-tiba aja, ga tau kenapa he he," balas Ahsan sambil nyengir
dan tersenyum tipis.
"Kamu sakit, San?" Suara
Hasna yang menyela diantara obrolan Ahsan dan Ardi itu pun membuat
Ahsan tertegun dan buru-buru langsung menoleh ke perempuan yang ada di
sampingnya itu sambil melebarkan senyumannya. "Aku baik-baik saja, Na.
Mungkin agak kecapekan saja he he". Ada sedikit khawatir di raut wajah
perempuan yang sedang saling bertatapan dengan Ahsan itu, meski Hasna
berusaha membungkusnya dengan senyumannya.
"Tenang aja, Na... Ahsan
sepertinya sehat-sehat aja, dia agak lesu mungkin karena mendadak galau
mau ditinggal kamu agak lama he he he," goda Ardi membuat Ahsan
langsung menyikut temannya itu sementara Hasna hanya tersenyum lebar
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ehm ehm," terdengar suara Azka membuat Hasna, Ahsan, dan juga Ardi langsung menoleh ke asal suara.
"Memangnya ga bisa ada
volunteer tambahan kah, Na? Siapa tahu Ahsan bisa ikutan ke Papua bareng
kamu, Na. Biar dia ga kepikiran kamu sama Bara disana. Sekalian juga
bisa bantu-bantu jadi volunteer ngajar disana," tanya Raka membuat Ardi,
Azka, dan Bayu tersenyum lebar sementara Ahsan dan Hasna tertegun
sejenak mendengarnya, seperti tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar
dari mulut seorang Raka.
Hasna memilih tersenyum tak menjawab ketika ia melihat raut wajah Ahsan yang berubah jadi serius.
"Udah cukup bercandanya
guys. Gue ga cemburu sama Bara. Lagian ngapain juga gue cemburu?
Gue...". Ahsan tidak meneruskan kalimatnya ketika matanya bertemu dengan
mata Hasna yang sedang memperhatikannya bicara, ada penasaran di raut
wajah perempuan itu yang ia samarkan lewat senyum tipisnya. Ahsan
buru-buru tersenyum, agak canggung, ada yang mengganjal di hati
laki-laki itu.
"Maaf ya, Na...
teman-teman aku bercandanya kelewatan. Maaf kalau terkesan kurang
menghargai kamu padahal kamu jauh lebih senior secara umur dari kami,"
jelas Ahsan membuat Hasna terdiam dan kembali tertegun, senyuman Hasna
sejenak menghilang dari wajahnya. Kalimat Ahsan menyadarkannya bahwa dia
jauh lebih tua dari Ahsan dan teman-temannya, meski ada sebuah ruang
hati untuk Ahsan bernama harapan yang akhir-akhir ini terasa semakin
besar dirasakan Hasna. Hasna pun buru-buru tersadar dari rasa kecewa dan
sedih yang tiba-tiba menyapa hatinya dan segera melebarkan senyumannya
lagi.
"Gapapa, San. Tenang
aja, aku tahu kok kalo itu cuma bercanda, ... anggap aja resiko jadi
volunteer cewek sendirian ya begini ini, he he. Lagipula seorang Ahsan
yang populer di cewek-cewek sebayanya pasti bakal mikir berkali-kali
buat beneran suka sama perempuan biasa yang lebih tua, iya kan?" jawab
Hasna berusaha ceria. Ahsan balas tersenyum kali ini lebih canggung dari
sebelumnya. Entah kenapa Ahsan merasa ada yang tidak biasa dengan sikap
dan kalimat Hasna gara-gara ucapannya. Ardi, Raka, Bayu, dan Azka
terlihat memilih diam dan tersenyum, tidak lagi meneruskan bercandaan
mereka lagi. Mereka tidak ingin niatan mereka sebenarnya memancing Ahsan
untuk berani mengungkapkan perasaan ke Hasna justru menyakiti gadis
itu.
"Ya udah, intinya kita
dan adik-adik bertemu Hasna di bandara jam sembilan pagi hari minggu.
Kita mantabkan lagi nanti hari Sabtu sekalian buat memastikan berapa
jumlah mobil yang diperlukan untuk membawa adik-adiknya," ujar Raka
akhirnya membelokkan kembali obrolan ke pembahasan semula. Setelah
menutup rapat kecil dan merapikan kelas, mereka pun pulang, termasuk
Ahsan dan Hasna yang berjalan berdua menuju stasiun seperti biasa.
Hening menyapa sejak
keduanya keluar dari kelas bantaran rel. Hasna terlihat melihati
anak-anak yang asyik berlarian di gang-gang menuju stasiun sementara
Ahsan beberapa kali hanya mencuri pandang pada Hasna, seperti canggung
memulai percakapan sejak ia merasa salah bicara kepada Hasna.
"Hasna...," panggil Ahsan membuat Hasna langsung menoleh ke laki-laki itu.
"Jangan lupa bawa pil
kina atau obat sakit malaria ya. Dengar-dengar dari beberapa teman yang
pernah kesana, di beberapa wilayah Papua termasuk endemi malaria
katanya," lanjut Ahsan berhasil menghadirkan senyuman lebar di wajah
Hasna sambil ia menganggukkan kepalanya. "Iya San, Bara sudah
mempersiapkan obat-obatan termasuk pil kina. Maklumlah dia sudah
berpengalaman banyak keluar masuk pedalaman," jawab Hasna membuat hati
Ahsan kembali terusik mendengar nama Bara kembali disebut.
"Tapi terima kasih
banyak ya sudah mengingatkan," sambung Hasna melebarkan senyumannya ke
laki-laki yang terdiam di sebelahnya itu berhasil membuat Ahsan kembali
ikutan tersenyum seakan merasakan ketulusan gadis itu.
"Oh iya, kamu beneran
baik-baik aja, San? Soalnya aku perhatiin dari sejak rapat tadi kamu
kelihatan agak lesu dan lemes dibandingkan biasanya. Kalau kamu ngerasa
ada yang ga beres dengan tubuh kamu, ga ada salahnya periksa ke Dokter,
San" tanya Hasna kembali memastikan jawaban Ahsan saat dikelas tadi,
terselip khawatir di kalimat perempuan itu.
Ahsan tersenyum, entah kenapa hatinya merasa senang mengetahui Hasna yang terdengar peduli dan khawatir kepadanya.
"Insyaa Allah aku
baik-baik aja, Na. Aku janji nanti malam bakal istirahat yang cukup
bahkan lebih," ujar Ahsan terdengar berusaha menghapus rasa khawatir
Hasna padanya. Hasna tersenyum, menganggukkan kepalanya pelan.
"Hasna...," panggil
Ahsan lagi membuat Hasna memandangi Ahsan lebih seksama. Ini kali kedua
laki-laki itu memanggilnya, tidak seperti biasanya.
"Ada apa, Ahsan? Sekali
lagi kamu panggil nama aku, aku kasih hadiah permen nih," ujar Hasna
lagi-lagi melebarkan senyumannya. Ahsan ikut melebarkan senyumnya
sejenak.
"Sepertinya aku tadi
salah bicara," ucap Ahsan berhenti sejenak, sedikit ragu meneruskan
kalimatnya, "aku minta maaf ya, bukan maksud aku menyinggung umur kamu
yang lebih tua. Aku... aku... ".
Hasna tertawa kecil melihati Ahsan yang kebingungan mencari kata-kata yang pas itu.
"Gapapa, San. Aku
maafin..., maafin aku juga kalau ada salah bicara tadi". Keduanya saling
menganggukkan kepalanya, saling tersenyum lebar.
Meski sedih dan kecewa
sempat mampir di hati Hasna, tapi ruangan bernama harapan yang berhasil
dibangun Ahsan di hati Hasna tetap saja menyala, sekecil apapun
peluangnya bagi Hasna. Hasna bertekad menunggu walau tidak juga berani
terlalu berharap laki-laki itu akan berani jujur mengatakan perasaannya.
Di satu sisi Hasna juga tidak yakin sepenuhnya bahwa dugaannya tentang
perasaan Ahsan kepadanya itu benar adanya.
Beberapa saat kemudian,
perjalanan Ahsan dan Hasna diwarnai obrolan tentang kondisi sekitar di
sepanjang jalan yang mereka lalui sore itu, tak lagi membahas tentang
mereka hingga akhirnya mereka tiba dan berpisah di stasiun.
Keesokan harinya, Bayu,
Azka, Ardi, dan Raka terlihat berkumpul di kantin kampus, ngobrol
sekaligus makan siang ketika Ahsan bergabung duduk semeja dengan mereka.
Muka Ahsan terlihat lesu dan kusut, sama seperti hari sebelumnya.
"Loe baik-baik aja, Bro?
Wajah loe kusut amat, San," tanya Raka yang duduk persis di hadapan
Ahsan. Ahsan tersenyum, "Gue baik-baik aja, Ka".
"Jangan-jangan ada
kaitannya sama kepergian Hasna ya?" tanya Ardi kembali memulai menggoda
Ahsan sambil setengah tertawa. Ahsan balas tertawa kecil sambil
lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
"Berapa kali aku harus
bilang sih, guys. Gue dan Hasna itu cuma temen dan perasaan gue biasa
aja ke dia," jelas Ahsan meski di dalam hatinya ada ragu tak bernama
dirasakannya.
"Yakin loe ga ada rasa
sedikit pun ke Hasna? Soalnya kita berempat disini yakin kalo loe suka
sama Hasna. Perasaan loe ke Hasna itu terlihat jelas banget, San. Hasna
juga sepertinya memilih menunggu loe buat jujur," ujar Bayu menambahkan.
"Intinya sebagai teman
loe, kita ga pingin loe nyesel ketika nantinya Hasna terdengar jadian
atau bahkan dilamar Bara sepulang dari Papua... gara-gara loe ga berani
ungkapin perasaan loe ke dia," sambung Azka.
Ahsan terdiam, mencerna
ucapan demi ucapan teman-temannya itu yang mendapatkan dukungan dari
hatinya meski pikirannya berusaha mengelak dengan berbagai tawaran
alasan.
"Oke, hati dan
pikiran mari kita berdebat sendiri. Kalaupun aku suka sama Hasna dan
terus terang ke Hasna, aku bahkan ga bisa menjanjikan kepastian buat
Hasna, aku masih jauh dari kriteria laki-laki yang mapan. Aku tidak mau,
tidak suka melihat raut sedih di wajah Hasna terlebih kalau sedih itu
karena aku. Jadi yakin kamu siap benar-benar menyukai Hasna, San?" ucap
Ahsan dalam hati seolah berdebat dengan dirinya sendiri beberapa saat
sampai entah kenapa ia merasakan capek di tubuhnya dan terdengar suara
teman-temannya yang memanggil beberapa kali namanya.
"Loe beneran baik-baik
aja, San? Wajah loe kelihatan tegang campur lesu, Bro," ujar Bayu yang
duduk di sebelah Ahsan menepuk bahu laki-laki itu.
"Gue baik-baik aja," jawab Ahsan melebarkan senyumannya dan memandangi satu demi satu kawan-kawan semejanya itu.
"Gue harap kita berhenti
membahas Hasna ya, guys. Apapun perasaan gue, gue tahu dan yakin dengan
apa yang gue putuskan. Menurut gue, ga ada yang perlu gue sampaikan ke
Hasna saat ini soal rasa," sambung Ahsan disambut tatapan keempat
temannya kepadanya. Keempatnya pun kemudian seolah kompak menganggukkan
kepala mereka bersamaan.
"Baiklah... , kita ganti
topik. Gue baru ingat dapat titipan dari seorang gadis cantik berjilbab
seangkatan kita, anak jurusan sebelah buat kamu, San. Namanya Rana,"
ujar Ardi kembali ceria sambil menyerahkan sebuah sebuah amplop putih
lengkap beserta isinya ke Ahsan.
"Ini apa, Ar?" tanya Ahsan dengan raut penasaran membolak balik amplop yang kini dipegangnya itu.
"Buka aja, San.
Didalamnya juga ada fotonya kok, biar lebih jelas. Kemarin gue ragu mau
ngasiin ke loe di kelas bantaran rel, gue pikir loe bakal nyatain
perasaan loe ke Hasna. Ternyata nggak, ya udah gue kasih ke loe sekarang
aja," lanjut Ardi dengan riangnya seperti biasa.
Ragu, Ahsan menyobek
pinggiran amplop itu dan mengeluarkan selembar surat dan sebuah foto
dari dalamnya kemudian melihatnya sejenak. "Ini surat apa sebenarnya
sih, Ar?" tanya Ahsan lagi tetap tak membuka surat di tangannya itu.
"Surat cinta, Ahsan...
siapa tahu kamu mau mencoba PeDeKaTe serius sama Rana...," jelas Ardi
dengan senyum mengembang membuat Ahsan menatap tajam ke Ardi. "Emang loe
pikir gue udah pingin nikah sekarang, Ar. Gue belum kepikiran soal itu,
Ardi. Lagian kalau gue sudah kepikiran buat berkomitmen serius, ngapain
juga gue susah payah mutusin ga ngomong jujur ke Hasna?" jelas Ahsan
membuat keempat temannya itu kembali kompak menatap ke laki-laki itu.
"Loe ngomong apa
barusan? Jadi maksudnya sebenarnya loe suka sama Hasna tapi loe ngerasa
belum saatnya ngomong gitu?" tanya Raka penuh selidik seolah mewakili
rasa penasaran dari Ardi, Bayu dan Azka.
Ahsan pun agak salah
tingkah gara-gara dia kelepasan bicara. Ahsan melebarkan senyumannya
meski setengah canggung. "Ehmmm maksud gue... intinya gue ga kepikiran
apa-apa soal komitmen dengan perempuan manapun saat ini". Menyadari
teman-temannya yang masih saja tidak puas, mencari jawaban dari Ahsan
dengan menatapnya, Ahsan pun berusaha bersikap biasa dengan sengaja
melihati sejenak foto perempuan bernama Rana itu. "Cantik," batin Ahsan menilai foto perempuan itu...., "sayangnya dia bukan Hasna... . Eh apaan sih Ahsan... kenapa jadi kepikiran Hasna?"
Ahsan tersadar dari
pikirannya sambil menggelengkan kepalanya pelan kemudian memasukkan
kembali foto dan surat itu ke amplopnya. "Gue bakal mengirimkan kembali
surat ini ke Rana via pos, kalau loe ketemu sama Rana lagi, tolong
bilangin permohonan maaf gue ga bisa menerimanya," ujar Ahsan diikuti
dengan anggukan kepala Ardi, terlihat teman-teman Ahsan menyerah dan
berhenti penasaran kepada Ahsan untuk sementara, mereka kembali asyik
dengan makanan dan minuman mereka sambil bercanda.
"Loe ga pesan makan atau minum, San?" tanya Raka, menyadari dari tadi Ahsan satu-satunya yang belum memesan apa-apa.
Ahsan menggelengkan
kepalanya, "Pencernaan gue bermasalah sepertinya beberapa hari ini,
bawaannya jadi ga terlalu berselera he he".
"Pantesan loe kelihatan lemes, San. Mau gue temenin periksa ke dokter?" tanya Raka lagi.
Ahsan lagi-lagi
menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Belum perlu sepertinya,
Ka. By the way, berhubung badan gue lagi berasa ga enak banget, gue
cabut duluan ya... pingin buru-buru sampai rumah dan tidur". Ahsan
meminta selembar amplop ke Raka yang selalu membawa cadangan amplop
kosong kemana-mana kemudian menuliskan alamat gadis bernama Rana di
amplop itu lalu memasukkan surat dan foto gadis itu utuh ke amplop
kosong dan langsung mengelemnya. Dia berniat mengeposkan surat itu
sekalian dalam perjalanan pulang. Setelah mengucapkan salam ke
teman-temannya, Ahsan pun pergi menuju mobilnya. Ahsan sengaja naik
mobil ke kampus setelah sekian lama dia memutuskan untuk naik kendaraan
umum gara-gara kalimat Hasna hari itu. Hari ini Ahsan merasa tidak enak
badan dan benar-benar kehilangan mood untuk naik kendaraan umum seperti
biasanya.
Tak lama kemudian, Ahsan
sudah duduk di dalam mobilnya, menyandarkan kepalanya ke kursi
mobilnya. Entah kenapa, makin siang tubuhnya terasa makin lemas saja.
Bisa jadi hal itu disebabkan oleh nafsu makannya yang terus menurun
beberapa hari terakhir ini.
Ahsan memutar playlist
di mobilnya, sejenak berusaha mengumpulkan energinya untuk mengemudi
pulang ketika matanya tertuju ke surat dari perempuan bernama Rana yang
ia geletakkan begitu saja di dekat kaca bagian depan mobil sportnya itu.
Tiba-tiba Ahsan teringat Hasna, membayangkan Hasna menulis surat
seperti itu kepadanya sambil menyelipkan foto Hasna dengan senyuman
khasnya itu. Ahsan tersenyum. "Andai itu kamu, Na," ujar Ahsan lirih,
entah kenapa laki-laki itu sedikit tersipu membayangkannya.
"Emangnya kalau Hasna
yang mengirim surat itu ke kamu, kamu berani menjawab iya, Ahsan? Yakin
kamu siap berkomitmen untuk tidak mengecewakan Hasna?" Ahsan kembali berdebat dengan dirinya sendirinya ketika kemudian ada pesan masuk di whatsapp laki-laki itu dari Hasna.
"Ahsan, maaf mengganggu. Aku mau minta tolong kalau kamu tidak keberatan. Gara-gara
menggambar dadakan tentang letak Papua kemarin, aku jadi ingin
membelikan peta Indonesia buat adik-adik di kelas bantaran rel, biar
bisa dipajang di dinding kelas. Apa kamu bisa membelikan peta itu dulu,
nanti aku transfer uangnya ke kamu. Terima kasih :) :D".
Ahsan tersenyum membacanya, ketulusan Hasna selalu menyentuh hati laki-laki itu sejak kali pertama dia melihat Hasna lewat profile picture di whatsapp-nya.
Ahsan baru akan mengetik
balasan buat Hasna ketika ia baru menyadari tubuhnya termasuk tangannya
gemetaran saat itu. Keringat dingin memenuhi wajah dan tubuhnya dan
tiba-tiba tubuhnya terasa menggigil dan terasa benar-benar tidak
bertenaga. Ahsan menarik nafasnya dalam-dalam, agak kesulitan membuka
daftar kontak di handphone-nya. Ahsan menelepon Raka.
Bersambung (2)