Alur Sebelumnya Kita Merajut Sederhana (1)
Kita Merajut Sederhana (2)
Ara baru saja mengganti bajunya yang basah setelah menerobos hujan, ia sekalian mengambil wudlu karena kebetulan dirinya belum sholat Isya. Selepas menyelesaikan doa-doanya, Ara bergegas hendak bersiap tidur saat tiba-tiba ia teringat sebuah obrolan lama dengan Rizzar tentang malam jumat dan amalan surat Al Kahfi. Ara urung membuka mukenanya, dia ambil Alquran kecilnya dan i-phonenya, kemudian mulai mengaji ayat demi ayat surat tersebut. Waktu menunjukkan pukul 23.30 ketika Ara menyelesaikan surat Al Kahfinya. Ia buka chatnya dengan Kurcaci Raksasa.
Ara baru saja mengganti bajunya yang basah setelah menerobos hujan, ia sekalian mengambil wudlu karena kebetulan dirinya belum sholat Isya. Selepas menyelesaikan doa-doanya, Ara bergegas hendak bersiap tidur saat tiba-tiba ia teringat sebuah obrolan lama dengan Rizzar tentang malam jumat dan amalan surat Al Kahfi. Ara urung membuka mukenanya, dia ambil Alquran kecilnya dan i-phonenya, kemudian mulai mengaji ayat demi ayat surat tersebut. Waktu menunjukkan pukul 23.30 ketika Ara menyelesaikan surat Al Kahfinya. Ia buka chatnya dengan Kurcaci Raksasa.
"Sudah sampai rumah belum, Riz?" ketik Ara
Tak ada jawaban dari Rizzar, Ara pun memutuskan untuk bergegas
berangkat tidur. "Semoga Allah selalu menjaga kamu dimana pun dan kapan
pun, Riz," ujar Ara dalam hati. Tak lupa sebelum tidur, Ara mengirimkan
sebuah pesan suara ke Rizzar disertai kalimat pengantar “Kamu mengingatkanku
tentang ini. Aku cuma mengirimkan bacaan aku di awal-awal. Apa kamu keberatan
membetulkan bacaan aku dari awal hingga akhir, Riz?”
Waktu di i-phone Ara menunjukkan pukul 05.00 pagi saat suara alarm
membangunkan Ara. Ara melirik ke i-phonenya sejenak sekaligus mematikan alarm
saat ia lihat ada notifikasi atas nama Kurcaci Raksasa.
“Maaf Ra, i-phone aku mati dan baru aku nyalakan. Alhamdulillaah
aku sampai dengan selamat dan tidur dengan lumayan nyenyak semalam. Semoga kamu
pun demikian. Selamat beraktivitas, Peri
Baik... see you soon. I cann’t wait it (ind: sampai jumpa secepatnya. Sudah tidak
sabar untuk itu),” tulis Rizzar diakhiri dengan emotion senyum.
Ara tersenyum membacanya. “Alhamdulillaah, senang membacanya.
Semangat buat kita semua, Kurcaci Raksasa. I wish that our journey, our little
mission today will make more happiness and positive spirit for me and
especially for you (ind: aku berharap bahwa perjalanan kita, misi kecil kita
hari ini akan melahirkan lebih banyak kebahagiaan dan semangat positif untukku
dan khususnya untukmu),” balas Ara sambil mengakhiri kalimatnya dengan emotion
senyum dan semangat.
Rizzar pun membalas dengan memasang emotion tawa lebar. “Soal
permintaan kamu tentang bacaan Al Kahfi kamu, tentu saja aku tidak keberatan,
tapi tentunya semampuku, Peri Baik. Terima kasih juga karena Peri Baik sudah
membuatku ingat akan hal-hal yang kulewatkan beberapa minggu terakhir ini
karena kesibukanku”.
Ara kembali mengetik, “It’s okay, Riz, terima kasih banyak ya.
Sama-sama Kurcaci Raksasa. Aku senang kita masih bisa saling mengingatkan dalam
kebaikan meski kita nyaris tidak pernah berkomunikasi”.
Baik Rizzar dan Ara sama-sama tersenyum di tempat mereka
masing-masing. Percakapan mereka di Jumat pagi itu pun berakhir tanpa ada yang
mengakhiri, seolah saling memahami.
Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul 11.44 ketika Ara tiba di
Stasiun Jakarta Kota. Ara bergegas memarkirkan mobilnya setelah ia memastikan
semua barang yang mungkin diperlukan untuk misi dia bersama Rizzar sudah masuk
di tas ranselnya. Saat itu Ara berpenampilan casual, hanya menggunakan celana
jeans dan kaos serta menambahkan jaket pinknya. Setelah memasang topi di
kepalanya dan tak lupa mengenakan masker di wajahnya yang nyaris tanpa make up
itu, Ara pun bergegas menuju loket, membeli dua kartu multi trip buat dirinya
dan Rizzar. Sambil menunggu Rizzar, Ara bergegas ke musholla stasiun menunggu
saat Sholat Zhuhur tiba.
Waktu menunjukkan pukul 13.30 saat ada notifikasi dari Kurcaci
Raksasa di i-phone Ara yang sedang menunggu Rizzar sambil menikmati segelas kopi
di Starbucks Stasiun Kota.
“Peri Baik, dimana? Aku baru sampai di Stasiun Jakarta Kota, di
dekat BNI Kota,” tulis Rizzar.
“Oke, tunggu sebentar, aku segera kesana, Riz. Jangan kemana-mana
ya, nanti kamu hilang di stasiun lagi,” balas Ara sambil mengakhiri dengan
emotion menjulurkan lidah, menggoda Rizzar.
Beberapa menit kemudian Ara pun menemukan mobil Rizzar dan
menghampirinya lalu mengetuk kaca mobil Rizzar. “Selamat siang, Kurcaci
Raksasa...,” ujar Ara menyapa Rizzar sambil menurunkan maskernya agar Rizzar
bisa melihat senyumannya. Rizzar
balas tersenyum, “Peri Baik...., pangling lihat kamu dengan penampilan seperti
ini. Ayo masuk dulu ke mobil, Peri...”.
Ara tertawa kecil sambil mengangguk lalu bergegas masuk dan duduk
di sebelah Rizzar.
“Masih semangat, kan Kurcaci Raksasa?” tanya Ara membuka maskernya
sambil tertawa bersemangat serta seraya menyodorkan segelas coklat dingin ke
Rizzar. Rizzar mengangguk sambil meringis dan segera meminum coklat dingin yang
disodorkan Ara setelah sebelumnya tak lupa mengucapkan terima kasih. “Memang
kita mau kemana sih, Peri Baik?” tanya Rizar lagi dengan raut penasaran.
Ara tertawa lebar melihat kelakuan Rizzar yang kehausan dan dengan
super cepat menyeruput coklat dingin itu.” Misi kita hari ini adalah naik
commuter line alias KRL ke Bogor kemudian balik lagi kesini, Kurcaci”.
Rizzar melebarkan bola matanya, “Panas-panas begini kita naik KRL,
Peri?” Ara mengangguk sambil mengedipkan satu matanya. “Kenapa? Kurcaci Raksasa
jangan-jangan takut hitam atau takut gerah ya?” goda Ara. “Belum juga mulai,
wajah Kurcaci sudah berkeringat banyak soalnya, ha ha”. Rizzar pun memanyunkan
bibirnya sambil kemudian tersenyum ke Ara. “Siapa juga yang takut hitam, tapi
serius deh Peri. Siang ini hawanya berasa lumayan panas”.
“Hmmm, jadi Kurcaci Raksasa menyerah nih ceritanya, mau
membatalkan misi siang ini?” tanya Ara.
Rizzar menggelengkan kepalanya dengan pasti sembari tertawa lebar.
“Nggak lah, Peri Baik, Peri sudah berniat baik untuk mengajak dan menemani
Kurcaci siang ini. Lagipula kalau pun harus berpanas-panas ria kan nggak sendiri
juga alias ditemani Peri Baik. Jadi tetap berasa adem”.
“Ishh mulai deh nakalnya,” jawab Ara sambil tergelak membuat
Rizzar ikut tertular buat tertawa.
“Hmm..., tapi jujur penampilan Peri Baik hari ini benar-benar
beda. Sederhana, sudah siap buat menyamar, tapi... tetap cantik kok,” sambung
Rizzar lagi.
Ara menggeleng-gelengkan kepalanya karena menganggap Rizzar sedang
ngegombal.
“Pastinya, makin jauh dari kriteria perempuan yang ada di bayangan
Superman, ya Riz...,” timpal Ara ganti meledek Rizzar.
Rizzar menatap Ara tanpa berucap apa-apa membuat Ara menjadi salah
tingkah dan mengalihkan pandangannya kearah lain. “Memangnya penilaian aku
tentang perempuan membuat kamu sedih, ya Peri? Memangnya Peri Baik peduli
dengan penilaian aku?” tanya Rizzar dengan raut serius.
Ara menoleh kembali kearah Rizzar kemudian tersenyum. “Hal yang
wajar saat laki-laki, termasuk kamu tentunya, menyukai keindahan termasuk
kecantikan seorang perempuan, Riz. Kalau kamu menanyakan apakah aku peduli
dengan penilaian kamu, hmmmm... anggap saja tidak, Riz. Meskipun aku menyisakan
sedikit peduli, tapi ada hal di hati aku
yang meyakini bahwa aku percaya menjadi diriku sendiri, apa adanya aku. Buat
aku make up adalah alat, tapi berusaha mempercantik hati jauh lebih penting
meski menjaga kecantikan fisik pun tidak kalah penting”.
Rizzar tersenyum masih menatap Ara yang masih tetap tersenyum
manis di hadapannya itu.
“Kamu mungkin bukan yang tercantik dalam hal fisik yang ada di
bayanganku, tapi... hati kamu itu salah satu yang terindah dan mempunyai tempat
yang istimewa, tidak tergantikan, di ruang hati aku, Peri...,. ucap Rizzar
dalam hati. Rizzar sadar kalimat itu hanya bisa dipendamnya untuk dirinya
sendiri.
“Oh ya, bagaimana kalau kita segera memulai misi kita sekarang,
Riz? Soalnya kalau keburu sore, KRL bakal penuh dan sangat berdesakan, Riz”.
Ucapan Ara itu pun membuyarkan keheningan sejenak diantara mereka. Rizzar
mengangguk sambil tersenyum lebar. Setelah memarkir mobilnya dan mengenakan
masker dan topi, Rizzar dan Ara pun bergegas masuk menunggu kedatangan KRL
jurusan Stasiun Bogor.
“Btw, aku kan Superman, Peri Baik. Harusnya bukan pakai masker
wajah seperti ini kalau mau menyamar, melainkan pakai topeng”. Ara tergelak, ”Beneran
nih mau pakai topeng ala Superman? Sekalian saja pakai kostumnya, “ goda Ara
membuat Rizzar tergelak.
“Nggak mau ah, nanti banyak yang minta foto-foto lagi,” balas
Rizzar makin membuat tawa mereka mengembang.
Rizzar dan Ara sedang asyik bercanda ketika KRL jurusan Bogor
tiba. Rizzar dan Ara bergegas menyusuri gerbong KRL, mencari tempat duduk untuk
mereka. Hingga beberapa stasiun selanjutnya KRL pun masih terlihat lengang,
Rizzar dan Ara pun asyik dalam obrolan mereka tentang bermacam manusia di
sekitar mereka dan pemandangan di luar yang terlihat dari KRL.
“Kadang ada kalanya, aku itu merasa lelah banget baik di hati
maupun pikiran, Riz. Tapi kemudian aku diperlihatkan hal-hal yang sederhana di
sekitar yang membuat aku sadar bahwa ternyata masih banyak yang kurang
beruntung dibandingkan aku. Salah satunya, lewat apa yang kita lihat di sekitar
kita selama di KRL ini,” ujar Ara ke Rizzar.
Rizzar tersenyum mengangguk. “Dulu waktu aku masih tidak terlalu
sibuk dengan aktivitas kerja, aku juga suka mengamati hal-hal sederhana yang
ada disekitarku, Ra. Yaa meskipun dulu aku mikirnya simpel dan kekanakan,
ha ha. Tapi, berarti kamu sering juga menyusuri rute KRL seperti ini, Ra?”
Ara menggelengkan kepalanya pelan dengan ekspresinya yang
menunjukkan bahwa dia sedang tersenyum. “Jujur, ini yang pertama buat aku
menyusuri rute KRL meskipun kalau rencana melakukan ini sudah beberapa kali
terlintas di pikiran. Aku juga sudah googling rute KRL dan semua aktivitas yang
terkait ini. Justru kamu yang membuat aku mantap untuk melakukannya hari ini”.
Rizzar tergelak, “Kadang kesibukan dan kecintaan kita akan duniawi
membuat kita lupa akan hal-hal sederhana seperti ini, ya Ra. Aku bangga
dengan pencapaian diri aku sendiri yang alhamdulillaah menurut aku sesuai
dengan yang kuinginkan. Ketenaran, rizki yang buat aku lumayan cukup untuk
membeli apa yang aku dan keluarga aku inginkan, dan banyak hal lainnya. Namun, ada
kalanya di satu ruang hati, muncul perasaan bahwa ada sesuatu yang belum
terpuaskan, tetap merasa kurang,” ujar Rizzar sambil tersenyum ke Ara yang
mengangguk pelan. “ Kamu benar, tapi melihat sekitar kita, ada pejuang
kehidupan yang harus berjuang lebih keras untuk bisa makan dan menghidupi
keluarganya, membuat kita tersadarkan bahwa kita seharusnya bisa lebih
bersyukur. Kalau kita lihat para pedagang kaki lima misalnya yang bersabar
menunggu pembeli dan berpanas-panas ria dan itu pun belum tentu laku semua,
kita jadi diingatkan bahwa hidup itu keras. Kalau orang-orang seperti mereka
masih bisa tertawa dan tersenyum, kita jadi diingatkan bahwa cara kita
memandang kehidupanlah yang akan membuat hidup kita jadi bermakna dan indah
sekeras apapun kehidupan yang harus dihadapi,” ujar Ara dibalas dengan ekspresi
Rizzar yang tersenyum dan mengangguk setuju.
“Kalau kita lihat rumah-rumah kumuh di luar sana, aku jadi lebih
bersyukur kita bisa hidup di rumah yang lebih layak”. Ganti Ara yang sekarang
mengangguk setuju.
Rizzar dan Ara terus berbagi obrolan tentang hidup ketika KRL
berhenti di Stasiun Juanda. Banyak penumpang yang naik kala itu sehingga KRL
pun mulai terisi lumayan penuh. Semakin banyak penumpang yang berdiri saat itu
ketika Ara melihat seorang ibu tua dan cucunya sekitar 10 tahunan yang baru
naik, berdiri karena tidak dapat tempat duduk.
“Riz, ayo kita berdiri dan memberikan tempat duduk kita buat nenek
itu dan cucunya,” bisik Ara ke Rizzar. Rizzar menoleh ke Ara sejenak kemudian
kearah yang ditunjukkan Ara. “Memangnya kamu tidak apa-apa berdiri Ra?” tanya
Rizzar yang dibalas dengan anggukan pelan dari Ara yang terlihat tersenyum
lebar. Ara pun bergegas memanggil dan menyilahkan nenek dan cucu tadi untuk duduk di tempat
Rizzar dan Ara sementara mereka berdua pun berdiri bersebelahan.
“Kamu nggak apa-apa kan kita berdiri seperti ini, Riz?” tanya Ara
pelan.
“Aku nggak apa-apa Ra, tapi aku justru khawatir ke kamu Ra. Kamu
beneran nggak apa-apa berdiri? Bagaimana kalau nanti ternyata kita harus berdiri
sampai Stasiun Bogor? Masih banyak stasiun lagi yang tersisa lho, Ra”. Ara
makin melebarkan senyumannya ke Rizzar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
pasti seolah ingin menenangkan Rizzar. “Aku insyaa Allah nggak apa-apa, Riz.
Dibandingkan mereka, kita jauh lebih kuat secara fisik untuk berdiri, Riz”.
Rizzar tersenyum memandangi Ara yang tetap ceria dan bersemangat dihadapannya
itu sejenak. “Terima kasih ya, Ra. Kamu sudah mengingatkan aku kebaikan kecil
ini yang nyaris aku lupa karena sudah lama tidak melakukannya”. Ara tersenyum
lembut, “Sama-sama, Riz. Karena kamu juga, kita bisa naik KRL sekarang dan bisa
melakukannya. Terima kasih banyak buat Kurcaci Raksasa”. Rizzar tertawa kecil.
Peri Baik di hadapannya itu selalu punya cara buat menyemangati hatinya. Rizzar dan
Ara asyik melihati pemandangan di luar KRL dan sekitar mereka, sesekali obrolan
dan candaan saling mereka lontarkan satu sama lain. Sementara itu, KRL pun
semakin dipenuhi penumpang. KRL sedang berada diantara Manggarai Tebet ketika
Ara menoleh ke Rizzar yang terdiam dengan ekspresi aneh dan dipenuhi keringat
di wajahnya padahal AC di dalam KRL cukup terasa.
“Kamu baik-baik saja, Riz?” tanya Ara sambil menepuk bahu Rizzar
pelan. Rizzar menoleh ke Ara sambil tersenyum dan mengangguk pelan. “Aku
baik-baik saja, Ra. Cuma sedikit pusing saja, sudah beberapa hari ini suka
pusing tiba-tiba. Ga tau kenapa”.
Ara pun menjadi khawatir, “Kalau begitu kita turun saja dari KRL
ya? Kita balik saja ke Stasiun Kota biar kamu bisa segera istirahat di rumah”.
Rizzar memandangi Ara seraya berusaha melebarkan senyumannya
seolah ingin menenangkan Ara. “Aku nggak
apa-apa Ra. Di lokasi juga kadang suka pusing tiba-tiba gini dan itu cuma
sebentar kemudian bakal hilang dengan sendirinya. I’m fine, Ra”.
Ara memandangi Rizzar tanpa suara. Entah kenapa meski Rizzar
berucap baik-baik saja, hatinya tidak bisa berhenti mencemaskan Rizzar. Ia
ambil beberapa helai tissue dari ranselnya dan memberikannya ke Rizzar untuk
menyeka keringat di wajah Rizzar, sementara Rizzar hanya terdiam menerimanya
dan hanya tersenyum kecil.
“Kenapa kamu tidak bilang soal pusing kamu akhir-akhir ini, Riz.
Andai aku tahu, aku tidak akan ajak kamu pergi hari ini biar kamu bisa
memanfaatkan waktu libur kamu buat istirahat di rumah,” sambung Ara lirih.
Rizzar hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil berusaha
melebarkan senyumannya.
“Aku menginginkan perjalanan kita kali ini, Ra. Jarang-jarang kita
bisa jalan seperti ini. Dan aku ingin menyelesaikan perjalanan kita ini, Ra”.
Rizzar dan Ara saling menatap sambil melebarkan senyuman
masing-masing. Wajah Ara masih saja menyiratkan rasa cemasnya akan Rizzar
ketika Rizzar berbisik di dekat telinga Ara, “Wajah Peri Baik jangan cemas
begitu donk, bukannya misi kali ini adalah membuat Superman menjadi lebih
tangguh lagi dan makin banyak tersenyum? Kalau wajah Peri Baik seperti ini,
boro-boro menjelma menjadi Superman, Kurcaci Raksasa jadi takut dan susah
tersenyum”. Ara tertawa kecil mendengarnya. Ia segera berusaha menyembunyikan
ekspresi cemasnya itu dan kemudian menoleh kearah Rizzar dengan wajah ceria dan
senyum yang super lebar. “Kalau begini, Kurcaci masih takut nggak?” tanya Ara.
“Sudah enggak takut lagi,” Rizzar balas tersenyum dan mengedipkan
matanya. Mereka kembali terdiam, pusing yang dirasakan Rizzar pun masih
bergelayut di kepalanya, bahkan semakin terasa.
KRL memasuki Stasiun Kalibata saat Rizzar tiba-tiba menyenggol
pelan tangan Ara. “Ra, kita turun dari KRL sebentar ya..., sepertinya aku perlu
udara segar sejenak”.
Ara memandangi wajah Rizzar, wajah itu terlihat agak pucat dan
dipenuhi keringat dingin.
“Kamu masih kuat jalan, Riz? Pusing banget ya?” tanya Ara dengan
raut cemas.
“Aku nggak apa-apa, Ra dan masih kuat jalan pastinya. Aku cuma perlu break
sebentar dari perjalanan kita ini. Cuma perlu duduk sambil menghirup udara segar
saja,” sahut Rizzar lirih berusaha tetap tersenyum.
Akhirnya Ara dan Rizzar pun turun di Stasiun Pasar Minggu Baru.
Meski kepalanya pusing, Rizzar tetap berusaha melindungi Ara sepanjang
perjalanan itu termasuk ketika mereka berjalan kearah pintu kereta.
Mereka berdua pun duduk di salah satu kursi tunggu kosong yang ada
di stasiun yang cukup lengang itu. Rizzar segera mengambil air putih di
ranselnya sementara Ara segera mengeluarkan tissue dan sekotak susu coklat.
Rizzar menurunkan maskernya kebawah hidung dan segera menyeka
keringat dinginnya serta meminum air putihnya. Kemudian ia meminum susu coklat
pemberian Ara itu.
“Apa yang kamu rasakan, Riz? Yakin kita masih mau melanjutkan misi
ini, Kurcaci?”
Rizzar memandangi Ara sambil mengangguk pelan. “Aku cuma perlu
break sebentar kok, Peri Baik. Maaf membuat Peri jadi khawatir. Pusing ini juga
sebentar lagi pasti hilang dan badan aku pasti enakan”.
“Apa nggak sebaiknya kamu periksa ke dokter, Kurcaci? Soalnya
sudah beberapa hari ini kamu merasakan pusing yang datang dengan tiba-tiba,” tanya Ara
berusaha membalut raut cemasnya dengan tenang.
“Cuma pusing biasa kok, Peri Baik. Insyaa Allah nggak apa-apa.
Mungkin kurang zat besi kali, ya” balas Rizzar meringis dan tetap tersenyum.
Ara teringat sesuatu, ia segera membuka ranselnya.
“Alhamdulillaah aku bawa pil penambah darah, kamu makan roti ini
dulu baru minum pilnya ya”.
Rizzar merasa heran sejenak mengetahui ternyata Ara membawa bekal
yang benar-benar siap untuk berbagai kondisi.
“Sebegitu khawatirnya kah Peri Baik terhadap Kurcaci Raksasa
sampai-sampai Peri bawa bekalnya komplit banget seperti ini?” tanya Rizzar
sambil tersenyum.
Ara menggelengkan kepalanya pelan sambil menjulurkan lidahnya
keluar. “Aku membawa ini bukan semata-mata untuk Kurcaci kok. Sekedar jaga-jaga
siapa tahu diperlukan”. Ara tersenyum lebar ke Rizzar sementara Rizzar masih
menatapnya.
“Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Peri Baik. Biarkan aku
mengkhawatirkan kamu dan menjadi pelindungmu dengan cara aku sendiri,” ujar
Rizzar dalam hati.
“Kok malah bengong, Kurcaci. Ayo segera dimakan rotinya”. Suara
lembut Ara menyadarkan Rizzar. Dengan lahap Rizzar menghabiskan roti dan
kemudian segera menelan pil zat besi pemberian Ara itu.
Untuk beberapa saat Ara dan Rizzar pun larut dalam diam mengamati
kondisi di sekitar stasiun tempat mereka berhenti itu.
“Lihat Peri, pemulung itu. Dia mengumpulkan barang bekas di jalan
dan tempat sampah untuk dijual lagi agar bisa membawa uang untuk makan
keluarganya,” ujar Rizzar memulai obrolan lagi setelah tubuhnya berasa cukup
enakan.
“Iya, mereka berpanas-panas ria untuk bisa tetap makan setiap
harinya. Sementara kita, meski kita juga bekerja keras dalam kehidupan kita
masing-masing, setidaknya kita bisa bertanya, kita ingin makan apa hari ini
bukan apakah kita bisa makan hari ini”.
Rizzar dan Ara saling memandang dan tersenyum.
“Mungkin bagi sebagian kita atau sebagian orang, pekerjaan mereka
terlihat rendah, tapi jujur aku lebih menghargai mereka yang berpeluh-peluh
untuk mencari rizki yang halal untuk keluarganya meski tidak seberapa
dibandingkan mereka yang mengambil yang bukan haknya atau hanya sekedar menjadi
peminta-minta,” sambung Ara diikuti dengan anggukan kepala Rizzar.
“Oh iya, bagaimana pusing kamu, Kurcaci? Sudah merasa enakan
belum?” tanya Ara berusaha tidak menampakkan raut cemasnya dan melebarkan
senyumannya.
“Alhamdulillaah sudah enakan, Peri Baik. Tapi, tunggu beberapa
menit lagi ya buat meneruskan perjalanan kita ke Bogor. Masih ingin menikmati
udara segar soalnya, ha ha”.
Ara tersenyum. Mereka pun kembali melanjutkan obrolannya.
“Dulu, aku selalu membayangkan bahwa Superman itu adalah super
hero yang tampan, badannya atletis, pokoknya keren seperti yang ada di
televisi. Tapi seiring waktu, aku jadi menyadari Peri, Superman sesungguhnya
banyak di sekitar kita. Mereka, para laki-laki yang melakukan kebaikan untuk
orang lain, mereka yang bekerja keras dan berjuang untuk keluarga mereka,
mereka Superman sesungguhnya. Dan aku ingin menjadi bagian dari mereka, menjadi
Superman yang sesungguhnya,” ujar Rizzar sambil tersenyum.
“Kamu sudah menjadi bagian dari Superman yang sesungguhnya,
Kurcaci. Kamu dan kerja keras kamu, kamu yang selalu berusaha untuk melindungi
dan membahagiakan keluarga kamu terutama Mama, kamu yang berusaha untuk membahagiakan
orang lain, orang-orang yang kamu
sayangi dan menyayangi kamu, cewek dan fans kamu. Bahkan menurut aku selain
menjadi Superman sesungguhnya, fisik kamu pun mencerminkan tokoh Superman yang
ada di televisi. Kamu itu kombinasi keduanya, Superman dalam kehidupan dan
Superman sosok superhero itu,” balas Ara sambil tersenyum lebar kearah Rizzar
sambil mengangguk yakin. Rizzar menatap Ara dengan tersenyum, sedikit tersipu
ia mendengar ucapan Ara buat dirinya itu. Entah kenapa, Peri Baik dihadapannya
ini seolah tak lelah menyemangatinya untuk selalu percaya bahwa dia bisa
menjadi Superman yang tangguh.
“Terima kasih karena Peri Baik selalu percaya bahwa Kurcaci
Raksasa ini bisa menjadi Superman yang tangguh. Padahal saat aku menjelma
menjadi Superman, aku mungkin seringkali mengabaikan keberadaan Peri Baik.
Bahkan beberapa kali Peri Baik juga melihat sisi lemah aku,” balas Rizzar
sambil memandang kearah Ara .
Ara menggelengkan kepalanya, “Aku percaya sama kamu, Riz. Kamu itu
bisa menjadi Superman yang tangguh. Kalaupun kamu mengabaikan aku, aku percaya
bahwa kamu punya alasan melakukannya, Riz, dan aku percaya salah satu
diantaranya adalah untuk kebaikan aku juga”. Ara melebarkan senyumannya kepada
Rizzar, ”Dan sekali lagi, menjadi Superman yang tangguh bukan berarti kamu
tidak boleh merasa lelah atau sedih atau lemah, Riz. Setangguh apapun Superman,
dia tetaplah manusia”.
Rizzar melebarkan senyumannya untuk Ara dan mengangguk pelan.
Untuk sesaat mereka kehilangan kalimat untuk melanjutkan obrolan diantara
keduanya selain berbagi senyuman satu sama lain.
Waktu menunjukkan pukul 15.30 ketika Rizzar mengajak Ara
meneruskan perjalanan mereka naik KRL ke Stasiun Bogor.
Baik Ara dan Rizzar masih mendapatkan tempat duduk bersebelahan
waktu itu karena kebetulan ada beberapa orang yang turun di gerbong yang mereka
naiki.
“Alhamdulillaah, masih dapat tempat duduk, ya Riz,” ucap Ara lirih
berbisik ke Rizzar yang dibalas Rizzar dengan anggukan dan senyuman meski
tertutup masker.
KRL berhenti di Stasiun Pasar Minggu ketika beberapa orang
terlihat naik di gerbong tempat Rizzar dan Ara berada. Terlihat seorang ibu
membawa balita sedang mencari tempat duduk. Ara yang melihatnya hendak
memanggil beliau ketika Rizzar menyilahkan ibu itu untuk duduk di tempatnya dan
Rizzar pun berdiri di depan tempat duduk Ara. Ara menarik jaket Rizzar pelan,
memanggilnya dan membuat Rizzar menoleh kepadanya. “Kamu duduk saja, Riz. Biar
aku saja yang berdiri,” ucap Ara tanpa suara, hanya menurunkan maskernya ke
bawah mulut sejenak agar Rizzar memahami bahasa bibirnya. Rizzar tersenyum
lebar sambil menggelengkan kepalanya dan mengambil i-phone dari jaketnya.
“Kamu saja yang duduk, Peri Baik. Aku baik-baik saja. Jangan
khawatirkan aku. Aku kan Superman, Peri,” ketik Rizzar kepada Ara.
Ara membaca pesan Rizzar itu dan tersenyum. “Tapi tadi kamu habis
pusing Kurcaci, sekarang baru satu stasiun sudah berdiri lagi. Izinkan Peri
Baik memberikan tempat duduknya buat Kurcaci ya,” balas Ara.
Rizzar membaca pesan Ara itu kemudian menoleh ke Ara sambil
tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya pasti.
“Aku baik-baik saja, Peri,” balas Rizzar lagi dan kemudian menaruh
i-phonenya kembali ke sakunya.
Ara memandangi Rizzar yang masih dengan ekspresi tersenyum
kepadanya dibalik maskernya itu. Ara kemudian memutuskan berdiri disamping
Rizzar membuat Rizzar pun terkejut melihatnya. “Kok kamu ikutan berdiri, Ra?
Sudah kamu duduk saja sebelum ditempati orang lain. Stasiun Bogor masih jauh
lho, Ra. Aku baik-baik saja kok, bukannya kamu tadi bilang bahwa kamu percaya
kalau aku itu Superman tangguh?”
Kini Ara yang menggelengkan kepalanya ke Rizzar menolak untuk
duduk kembali sambil tersenyum lebih lebar.
“Suatu kehormatan buat Peri Baik bisa menemani berdiri disebelah
Superman yang tangguh dan cakep ini, apalagi Superman baru saja memberikan
tempat duduknya buat seorang ibu dan anak balitanya. Sebuah hal kecil yang
mulia apalagi kalau mengingat Superman yang baru saja pusing sebelumnya,” ucap
Ara lirih di dekat Rizzar sambil menatap lembut Rizzar.
Rizzar pun tergelak mendengarnya dan kemudian balas menatap Ara
dengan senyuman tersipu. Kalimat Ara yang terasa tulus itu menyentuh hatinya
dengan indah, membakar semangat Rizzar untuk menjadi Superman yang lebih
tangguh lagi.
“Peri bisa aja membesarkan
hal-hal yang kecil,” sambung Rizzar kemudian sambil memanyunkan bibirnya.
Ara pun mengedipkan matanya sambil tertawa kecil ke Rizzar. “Hal
yang kecil menurut kita bisa jadi hal besar bagi orang lain, Riz. Dan perlu
diingat, bahwa kebaikan besar pun bisa dimulai dari kebaikan-kebaikan kecil.
Jadi kebaikan kecil yang kamu lakukan barusan sangat berharga di mata Peri
Baik, Superman”. Lagi-lagi Rizzar tersenyum memandangi Ara yang berdiri di
sebelahnya itu. “Dan alasan lain kenapa Peri ingin berdiri disebelah Superman,
karena Peri ingin Superman tahu bahwa Superman tidak sendiri. Peri ingin
menemani Kurcaci yang menjelma menjadi Superman ini, meski cuma sekedar
menemani berdiri, he he,” sambung Ara tertawa kecil.
“Terima kasih banyak, Peri Baik...” hanya ucapan itu yang keluar
dari mulut Rizzar yang masih menatap Ara. Kalimat Ara membuat Rizzar kehilangan
kata-kata untuk menjawabnya dengan kalimat yang lebih panjang. Ara berhasil
menyentuh hatinya untuk makin tersenyum sekaligus berhasil membuatnya tenang
dan damai.
Beberapa saat kemudian, Rizzar dan Ara pun menghabiskan waktu
melihat pemandangan sepanjang perjalanan KRL, sambil mengamati manusia-manusia
di sekitar mereka, bertukar cerita tentang nilai-nilai di kehidupan mereka,
berbagi cerita aktivitas mereka dan hal-hal lucu. Ada kalanya, Rizzar tidak
bisa menahan kantuknya di siang itu dan Ara pun berusaha terjaga seolah ingin
menjaga Rizzar yang terpejam sejenak dalam posisi berdiri. Begitu pun
sebaliknya Rizzar, Rizzar berusaha untuk menjaga Ara ketika mata Ara beberapa
kali terpejam karena kantuk. Perjalanan KRL Jakarta Kota – Bogor mungkin hanya
perjalanan yang sederhana bahkan sangat biasa, tapi buat Rizzar Ara perjalanan
itu istimewa karena mereka jarang melakukannya. Menyusuri rute KRL itu
memberikan nuansa yang berbeda dari rutinitas mereka biasanya. Mengamati
manusia dan sekitar selama perjalanan KRL, membuat mereka ingat dan menyadari
hal-hal sederhana yang suka terlupakan saat mereka bersentuhan dengan
“kemewahan” dan kepopuleran.
Waktu menunjukkan pukul 17.10 saat Rizzar dan Ara berada dalam
perjalanan mereka dari arah Bogor-Jakarta dan sampai di Stasiun Depok Baru.
“Setelah stasiun ini, kita tiba di Stasiun Pondok Cina, Riz. Nanti kita turun
disana ya,” ujar Ara ke Rizzar yang duduk disebelahnya. Rizzar menoleh ke Ara dengan ekspresi bertanya-tanya. “Hmmm, memang
kita mau ngapain, Ra?”
“Kita melihat matahari terbenam di danau UI, mau nggak?”
Rizzar melebarkan bola matanya sambil menatap Ara. “Oke, siapa
takut... Sekalian habis itu kita Maghriban di Masjid UI ya, kan masjidnya dekat
danau seingatku”. Rizzar dan Ara pun tertawa bersama.
Beberapa menit selanjutnya, Ara dan Rizzar pun asyik berjalan
cepat menuju danau UI di dekat balairung itu dan mencari tempat duduk diatas
rumput yang strategis untuk melihat matahari terbenam. Terlihat ada beberapa
pedagang di sekitar mereka, mulai dari pedagang kopi/teh dan siomay yang
menggunakan sepeda. Ada juga pedagang mainan kertas yang juga asyik menata
dagangannya sambil menunggu pembelinya.
“Lihat mereka para pejuang kehidupan itu, Superman. Meski pembeli
mereka belum tentu banyak, tapi mereka tetap berjuang menjual dagangan mereka.
Kita jauh lebih beruntung secara materi dari mereka,” ujar Ara menyambung lagi
diskusi ringan mereka akan kehidupan.
“Iya, Peri Baik benar. Apalagi bapak tua yang berjualan mainan
kertas itu. Coba lihat, dagangannya masih tersisa banyak, entah siapa yang
bakal membelinya kecuali orang-orang tertentu, Peri Baik”.
Ara mengamati bapak tua yang tak jauh dari tempat mereka duduk itu
kemudian menoleh ke Rizzar seraya tersenyum lembut.
“Tunggu sebentar disini ya, Superman”. Ara tiba-tiba bangkit dan
menghampiri bapak tua dan dagangan mainan kertasnya itu kemudian membeli 3
mainan kertas itu. Rizzar yang mengamati tingkah laku Ara tertegun pada awalnya
kemudian tersenyum lebar. Terlihat Ara sedang memainkan mainan kertas di
tangannya itu dengan wajah ceria serta tawa lebar sambil menatap dan
menghampiri Rizzar.
“Ternyata orang-orang tertentu itu salah satunya kamu ya, Peri
Baik,” ujar Rizzar lembut sambil tersenyum lebar dan mengedipkan matanya.
Ara memberikan satu mainan kertas yang dibelinya itu kepada
Rizzar. “Anggap kenang-kenangan kita saat menyusuri rute KRL bersama, Superman.
Meskipun kamu tidak suka, tolong jangan dibuang, disimpan aja di laci kamar
kamu. Setidaknya bapak tua tadi sudah berusaha membuat mainan kertas sederhana
ini,” ucap Ara ke Rizzar dengan ceria dan bersemangat.
Rizzar mengangguk pasti, “Pasti,
insyaa Allah aku simpan, Peri Baik. Salah satu pemberian dari Peri Baik, meski mainan ini sederhana, tapi
niat Peri Baik membantu bapak tua itu dengan membeli mainan kertas ini
membuatnya jadi berharga”. Ara tersenyum sedikit tersipu mendengar ucapan
Rizzar itu membuat Rizzar pun iseng untuk menggoda Ara. “Ehm ehm ada yang
tersipu malu sepertinya”. Ara dan Rizzar pun tenggelam dalam gelak tawa. Perjalanan
mereka seolah membuat baik Rizzar maupun Ara memaknai sederhana menjadi berharga
dengan bermacam hal yang mereka temui di sepanjang perjalanan. Rizzar dan Ara
pun kembali larut duduk melihat matahari yang mulai terbenam di ujung barat.
Bias cahayanya, memantulkan indah di danau yang ada di depan mereka. Senja
menyisakan tenang bagi mereka yang sejenak mau menikmatinya. Begitu pula yang
dirasakan Rizzar dan Ara saat itu. Biasanya waktu senja, dihabiskan mereka
untuk segudang aktivitas dan kesibukan. Apalagi Rizzar, hampir setiap harinya
senja ia habiskan dengan aktivitasnya di lokasi syuting, tanpa sempat
menikmatinya. Bahkan di hari libur sekalipun, ia jarang meluangkan waktunya
sejenak untuk menikmati senja, merasakan
tenang bersamanya. Dan sekarang, setelah sekian lama akhirnya ia kembali
menikmati senja bersama Ara, seseorang yang istimewa tapi langka untuk dirinya
bisa menghabiskan waktu bersamanya.
“Can you feel the warmth of this sunset, Superman (ind: Apakah
kamu bisa merasakan kehangatan matahari yang terbenam ini, Superman)?” tanya
Ara tiba-tiba menoleh kearah Rizzar sambil tersenyum lembut membuat Rizzar
sempat tertegun sejenak, terbangun dari lamunannya.
Rizzar mengangguk dan membalas senyuman Ara dengan lebih lebar
lagi. “Hangat dan damai rasanya, Peri Baik”. Ara pun mengangguk mantap tanda
setuju dengan kalimat Rizzar itu. Melihat Rizzar dengan senyuman lebarnya
beberapa kali selama hari ini membuat Ara merasakan bahagia yang berlebih
selain bahagia yang ia rasakan bersama senja saat itu.
Matahari pun perlahan menghilang dari pandangan mereka dan
menyisakan langit yang memerah ketika Ara dan Rizzar mendengarkan adzan
berkumandang dari masjid UI di dekat danau itu.
Ara dan Rizzar pun bergegas berdiri, berjalan menuju masjid itu
untuk melakukan sholat maghrib.
Seusai sholat, Ara dan Rizzar kembali bertemu di beranda masjid.
Mereka duduk sejenak disana.
“UI adalah salah satu universitas yang menjadi tujuan aku selepas
SMA, Peri Baik. Tapi... sampai sekarang aku masih asyik menikmati karier aku.
Entah masih ada harapan atau nggak aku bakal kuliah disini,” ujar Rizzar
memulai perbincangan.
“Selalu ada harapan, Superman. Selama kamu masih punya tekad dan
niat, aku yakin kamu pasti bisa meraih apapun yang kamu inginkan, termasuk
kuliah di UI ini. Mungkin kamu masih mencari waktu yang tepat saja.
Semangaaat,” balas Ara lembut sambil tersenyum kearah Rizzar.
Rizzar tersenyum melihat tulus dan rasa percaya Ara terhadap
dirinya yang tergambar dari senyuman Ara. “Tapi aku pernah mencobanya dan
gagal, Peri Baik..., “ lanjut Rizzar lagi.
Ara semakin tersenyum lebar kearah Rizzar dengan wajah yang lebih
ceria dan bersemangat. “Kegagalan itu selangkah lebih dekat dari kesuksesan
Superman, sepanjang kita tetap berusaha dan tidak menyerah”. Rizzar mengangguk
pelan sambil mengepalkan tangannya tanda bersemangat, “Semangatttt, pasti bisa,
dan mencari waktu yang tepat!!!!”
Ara dan Rizzar pun kembali tergelak bersama meski dengan suara
lirih karena mereka sedang berada di lingkungan masjid.
Oh iya, Peri Baik. Kebetulan kita sedang di masjid, tiba-tiba aku
ingat soal bacaan Al Kahfi. Andai waktunya memungkinkan, seru juga sepertinya
kita bisa saling mengoreksi bacaan kita disini ya, sambil mengaji bareng,”ujar
Rizzar lagi.
Ara mengangguk setuju, “Sayangnya waktunya tidak memungkinkan,
Superman. Kita saling tukar rekaman suara kita saja ya buat saling mengoreksi”.
Ara dan Rizzar pun saling
mengirimkan rekaman suara bacaan Al Kahfi mereka ke satu sama lain. “Mohon
bantuannya, untuk mengoreksi, ya Superman yang baik. Terima kasih banyak
sebelumnya,” lanjut Ara sambil sedikit membungkukkan badannya.
Rizzar pun tertawa kecil melihat ulah Ara itu.
Ia pun ganti sedikit membungkukkan badannya ke Ara, “Insyaa Allah Peri Baik.
Superman juga mohon bantuan Peri Baik untuk mengoreksi bacaannya juga ya. Thank
you so much before (ind: terima kasih banyak sebelumnya)“. Baik Ara dan Rizzar
pun kembali tergelak. Tak lama kemudian, mereka pun bergegas menuju ke stasiun
terdekat untuk meneruskan perjalanan balik mereka ke Stasiun Jakarta Kota.
KRL yang mereka naiki cukup
lengang dan mereka berdua masih bisa memilih tempat duduk bersebelahan.
Sepanjang perjalanan itu sesekali mereka bercanda dan berbagi cerita lucu
selebihnya mereka habiskan untuk diam dalam kantuk yang menyerang bersama musik
yang menemani mereka via earphone masing-masing. Rizzar melihat kearah Ara yang
sedang terkantuk dengan ekspresi yang menurut Rizzar lucu ketika Ara kembali
terbangun dan menyadari Rizzar yang sedang melihat kearahnya. “Kenapa kamu
senyum-senyum melihatku, Riz?”
Rizzar tertawa kecil. “Muka kamu
itu lucu kalau lagi menahan kantuk begitu, Ra. Kalau kamu mau tidur, kamu boleh
kok Ra bersandar di bahu aku. I’m ready (ind: aku siap),” ujar Rizzar tersenyum
lebar sambil menawarkan bahunya buat Ara. Bola mata Ara melebar, rasa kantuknya
tiba-tiba hilang mendengar ucapan Rizzar itu. “Hmmmm mulai lagi nakalnya deh, kamu
siapa dan aku siapa, pakai acara meminjamkan bahu segala...,” ucap Ara sambil
memanyunkan bibirnya di balik maskernya.
“Memangnya salah ya Ra kalau aku
menawarkan bahu aku agar kamu yang mengantuk itu bisa tidur?” tanya Rizzar
polos tidak memahami perkataan Ara itu.
Ara menatap Rizzar sejenak, dari
mata Rizzar, Ara tahu niat Rizzar meminjami bahu untuk dia bersandar itu tulus,
tanpa niat apa-apa. Rizzar melakukannya karena ia menganggap hal tersebut
adalah hal yang lumrah alias wajar. Ara tersenyum lebar, memandang Rizzar yang
sedang menatapnya dengan raut bertanya.
“Terima kasih untuk tawaran kamu,
Riz. Maaf, tapi aku tidak bisa menerimanya. Mungkin buat kamu itu adalah hal
yang biasa saja, tapi buat aku bersandar di bahu laki-laki apalagi laki-laki
itu adalah kamu adalah bukan hal yang biasa. Kita sudah beberapa kali
melakukannya saat adegan syuting sebenarnya, tapi itu sekedar acting, bukan
untuk realita. Aku harap kamu bisa memahaminya”.
Rizzar tersenyum seraya memandang
lembut Ara. Perempuan ini selalu istimewa di matanya. Ara berusaha selalu
menjaga diri dari dirinya meski dulu mereka sempat terlibat beberapa scene
romantis karena tuntutan acting. Dan begitupun Rizzar, dia selalu ingin
memuliakan perempuan istimewa ini dengan perlakuan yang terjaga. Apalagi saat
rumit semakin menyapa keduanya dan membuat jarak itu semakin jauh untuk mereka.
Ara seolah rela berjauhan mengambil kutub yang berbeda selama tetap bisa
melihat Rizzar baik-baik saja meski dari kejauhan.
“Ya sudah, kamu kan ngantuk.
Sekarang kamu tidur ya, Ra. Biar aku tetap terjaga agar bisa menjaga kamu. Aku
janji, aku tidak bakal macam-macam, termasuk menyandarkan kepala kamu di bahu
aku. Trust me, okay (ind: Percaya sama aku, oke)...,” sambung Rizzar lembut.
Ara tersenyum, “Kamu tidak perlu
terjaga buat terus menjaga aku, Riz. Kamu sudah menjaga aku sejak tadi kita
berangkat. Insyaa Allah aku baik-baik saja. Aku tahu kamu juga mengantuk, jadi
lebih baik kita memanfaatkan sisa perjalanan KRL kita ini untuk tidur. Bukan
hanya aku yang tidur, tapi kamu juga tidur, Riz. Lumayan buat mengistirahatkan
mata dan pikiran, ya nggak?”
Rizzar menatap Ara sejenak
kemudian lagi-lagi ia tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dan beberapa
stasiun sisa perjalanan mereka pun mereka lalui dengan memejamkan mata sejenak.
Jam di Stasiun Jakarta Kota
menunjukkan pukul 20.15 ketika Ara dan Rizzar akhirnya tiba kembali ke titik
awal mereka memulai perjalanan hari Jumat itu.
“Ra, bagaimana kalau kita makan
malam dulu?” tanya Rizzar ke Ara.
Ara menatap Rizzar sejenak seolah
sedang berpikir sesuatu. “Kamu sudah lapar ya, Superman?” tanya Ara diikuti
dengan anggukan dari Rizzar.
“Ya sudah, bagaimana kalau
makannya dibungkus dan dimakan di mobil saja. Riz?”
“Memangnya kenapa, Ra? Kamu nggak
mau makan bareng aku ya, Ra?”
Ara menggelengkan kepalanya pelan.
“Bukan begitu, Riz. Bukannya kamu yang bilang semalam bahwa kamu tidak ingin
ada kesalahpahaman baru tentang kita. Kalau kita makan di suatu tempat, kita
pasti copot masker wajah, dan kita tidak pernah bisa memastikan apakah tidak
akan ada orang yang mengenali aku atau kamu. Hal paling aman yang bisa
dilakukan, makan di mobil. Itupun kalau kamu mau Riz. Kalau pun enggak biar
kita makan malam di rumah atau di suatu tempat secara terpisah saja,” ujar Ara
sambil tersenyum.
Rizzar memandangi Ara sejenak
tanpa suara. Rizzar tertegun karena saat ia nyaris melupakan dinding yang selalu ia bangun untuk Ara,
justru Ara yang ganti mengingatkannya. “Tolong berhenti untuk
mengkhawatirkan aku, Peri Baik, cukup
aku yang mungkin terpaksa meninggalkan sebentuk rasa sedih untukmu, tak perlu
kamu ikut meninggalkan sedih untuk diri
kamu sendiri,” ujar Rizzar didalam hati. Ada rasa sakit yang ia rasakan sejenak
karena ketidakberdayaannya melakukan sesuatu untuk menghindarkan sedih untuk
Ara karena dirinya, terlebih saat Ara justru membantunya membangun dinding
Rizzar itu dengan menomorduakan perasaannya sendiri. Rizzar pun kemudian
tersenyum dan menatap lembut Ara yang sedang memandangnya dengan ekspresi
bertanya-tanya. “Ya sudah, kita makan malamnya di mobil kamu ya, Peri Baik”.
Setelah membungkus makanan untuk
berdua dari salah satu tempat makan cepat saji yang ada di Stasiun Jakarta
Kota, Rizzar dan Ara pun bergegas berjalan menuju mobil Ara. Rizzar sengaja
memilih mobil Ara karena kemungkinan salah paham itu lebih besar jika mereka
ada di mobil Rizzar. Selain itu, Rizzar ingin Ara tidak perlu keluar mobil lagi
setelahnya dan bisa langsung pulang. Sejenak Ara dan Rizzar larut menikmati
makan malam mereka. Perjalanan mereka tak dipungkiri menyisakan lapar bagi
keduanya. Lagu-lagu evergreen pun menemani mereka dari salah satu saluran radio
yang menjadi kesukaan baik Rizzar maupun Ara.
“Peri Baik, boleh tidak Superman mengajukan
satu permohonan?” tanya Rizzar memulai kembali perbincangan di tengah makan
malam ala Rizzar Ara. Ara yang sedang menggigit potongannya ayamnya pun menatap
kearah Rizzar sambil tersenyum, “Permohonan apa Superman?”
“Aku mohon Peri Baik tidak perlu
mengkhawatirkan Superman lagi. Jangan bantu Superman membangun dinding untuk
Peri Baik jika itu membuat Peri jadi bersedih atau bahkan terluka. Seperti Peri mengingatkan Superman untuk tidak makan
malam bersama tadi misalnya. Izinkan aku menjadi pelindung buat Peri Baik meski
dengan cara yang tidak biasa,” pinta Rizzar sambil menatap serius ke Ara. Ara
menghentikan makannya dan balas menatap Rizzar sejenak kemudian tersenyum
lembut kepadanya. “Aku cuma melakukan apa yang aku yakini benar dan harus aku
lakukan, Riz. Kalau aku membantu Superman membangun dinding antara kita, itu
karena ada sebentuk bahagia yang aku titipkan saat Superman atau Kurcaci
Raksasa atau Rizzar atau kamu bahagia. Saat kamu bahagia, aku juga ikut
bahagia, Riz,” ujar Ara sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar
seolah ingin meyakinkan Rizzar bahwa dirinya baik-baik saja.
“Kadang bahkan aku suka
bertanya-tanya sendiri buat apa dinding itu aku bangun, Peri Baik. Tapi aku
tetap harus membangunnya,” sambung Rizzar pelan dan ragu. Rizzar kembali balas
tersenyum melihat Ara yang masih tersenyum dengan tulusnya dihadapan Rizzar.
“Kamu punya alasan membangunnnya
dan aku percaya salah satu dari banyak alasan itu adalah untuk kebaikan aku
juga. Kadang melindungi seseorang tidak berarti kita bisa menghindarkannya dari
rasa sakit atau sedih sama sekali, Superman. Namun aku percaya Superman sudah
berusaha sebaiknya menjadi pelindung Peri meski dengan cara yang tidak biasa.
Terima kasih, Superman,” lanjut Ara sambil sedikit membungkukkan badannya dan tertawa
kecil membuat Rizzar pun tertular untuk ikut tergelak.
“Superman jangan khawatir, aku
bukan perempuan yang lemah. Kan aku Peri dan aku ingin menjadi Peri Baik yang
tangguh. Dan seperti obrolan kita di awal perjalanan tadi, apa yang kita
rasakan tentang hidup bergantung bagaimana kita memandang kehidupan itu sendiri.
Seperti halnya bicara soal dinding yang dibangun Superman tadi,” ujar Ara
sambil tersenyum lebar kemudian melanjutkan menggigit potongan ayamnya.
Rizzar menatap Ara dan tersenyum melihat tingkahnya. Peri Baik yang
sedang dilihatnya ini adalah perempuan yang selalu berusaha membungkus sedih
dalam bahagia, membungkus lemah dalam kuat, membungkus sakit dalam senyum. Bukan
berarti bahwa ia tidak merasakan sedih, lemah, dan sakit itu, sebagai perempuan
ia pasti merasakannya. Namun ia berusaha menjadi Peri Baik yang tangguh. Dan
Rizzar berharap dirinya bisa melakukan yang lebih baik untuk menjadi pelindung
bagi Ara.
Baik Rizzar dan Ara akhirnya
menyelesaikan makan malam mereka dengan hening beberapa saat kemudian ketika
Ara menyambung perbincangan kembali.
“Jadi seperti apa kesan Superman
dengan misi alias perjalanan hari ini? Apa misi sederhana ini bisa melahirkan
bahagia dan semangat positif atau jangan-jangan cuma berasa capeknya?” tanya
Ara sambil tersenyum.
Rizzar balas tersenyum lebar. “Terima
kasih banyak untuk misi istimewa hari ini, Peri Baik. Perjalanan kita hari ini
mengingatkanku banyak hal, tentang hal baik sederhana yang tenggelam bersama
kesibukan. Hati aku ikut tersenyum bahkan tertawa sepanjang perjalanan ini,
saat kita merenungi dan belajar dari kehidupan di sekitar yang kita lihat
termasuk tentang rasa syukur, saat kita melakukan kebaikan-kebaikan kecil di
perjalanan, saat kita berbagi senyum dan tawa bersama senja atau bacaan Al
Kahfi itu. Perjalanan ini membuat Kurcaci Raksasa semakin yakin dan bersemangat
untuk menjadi Superman yang lebih tangguh lagi, Peri Baik. Terima kasih sudah
mengajak dan menemani aku merasakan banyak kebahagiaan dan semangat positif
hari ini”.
Ara masih tersenyum dan menatap
Rizzar dalam diam sejenak.
“Sama-sama, Superman. Mungkin
kalau bukan karena kamu, aku belum tentu bisa mewujudkan perjalanan ini dan
merasakan kebahagiaan hari ini. Terima kasih sudah melakukan misi sederhana ini
bersama, Riz. Misi ini bukan hanya untuk Kurcaci Raksasa agar ia bisa menjelma
menjadi Superman yang lebih tangguh lagi, melainkan juga untuk Peri agar bisa
menjadi Peri Baik yang lebih tangguh lagi,” ujar Ara kemudian.
Rizzar dan Ara saling menatap satu
sama lain, mereka saling berbagi senyum, seolah masing-masing ingin memberikan
senyuman terindahnya untuk yang lainnya. Senyuman yang sepadan dengan senyuman
demi senyuman yang mereka bagi satu sama lain sepanjang perjalanan hari ini.
“Ya sudah Superman, sekarang sudah malam dan
sebaiknya kita segera pulang dan beristirahat. Apalagi besok kamu harus syuting
seharian kan,” sambung Ara.
Rizzar tersenyum lebar dan
menganggukkan kepalanya. “Apa Peri Baik perlu pengawalan sepanjang perjalanan
pulang?”
Ara menggelengkan kepalanya mantap,
“Insyaa Allah aku baik-baik saja, Superman. Aku kan Peri Baik yang tangguh,
jadi Superman tidak perlu terlalu khawatir”. Mereka kembali tertawa bersama.
“Oh iya, hampir lupa mengembalikan
tiket multi trip punya Peri Baik,” ujar Rizzar sambil merogoh saku jaketnya dan
menyerahkan tiket itu ke Ara.
“Kamu simpan saja tiket itu,
Superman. Siapa tahu suatu saat nanti kamu akan menggunakannya lagi. Siapa tahu
nanti kamu ingin melakukan perjalanan seperti hari ini lagi. Anggap saja, itu
kenang-kenangan perjalanan hari ini dari Peri buat Superman selain mainan
kertas tadi, he he”.
“Kalau suatu saat aku ingin
melakukan perjalanan seperti hari ini lagi, apa Peri Baik masih mau menemani
aku?” tanya Rizzar sambil tersenyum. “Insyaa Allah aku mau,” balas Ara spontan
sambil tertawa kecil diikuti dengan anggukan kepalanya.
Rizzar pun ikut tergelak, “Terima
kasih sekali lagi, Peri Baik. Insyaa Allah Superman akan simpan pemberian Peri
dengan baik. Selamat beristirahat Peri Baik, hati-hati di sepanjang perjalanan
pulang, ya”.
“Kamu juga hati-hati di
perjalanan, Superman. Jangan ngebut dan tergesa-gesa ingin sampai rumah.
Selamat beristirahat juga, semoga tidur nyenyak dan mimpi indah ya. Dan tetap
semangat buat kita,” ujar Ara dengan wajah ceria diikuti dengan anggukan kepala
dan tawa lepas Rizzar.
Rizzar keluar dari mobil Ara, tak
lupa sebelum menutup kembali pintu mobil Ara, Rizzar menatap ke Ara dan
membungkukkan sedikit badannya sambil tersenyum. Ganti Ara yang tertawa kecil
melihat tingkah Rizzar itu dan ia pun segera balas sedikit membungkukkan
badannya kearah Rizzar.
“Assalaamulaikum, Ara...,” ucap
Rizzar
“Waalaikumsalam, Rizzar...,” balas
Ara.
Perjalanan bersama mereka pun
diakhiri dengan saling bertukar senyum dan tawa diantara keduanya.
Ara mengamati Rizzar yang berjalan
menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari mobil Ara. Senyum tetap menghiasi
wajah Ara. “Sampai jumpa untuk berbagi kebaikan lagi, Superman atau Kurcaci
Raksasa atau Rizzar. Semoga Allah selalu menjaga kita, Riz,” ujar Ara sebelum
kemudian menghidupkan mesin mobilnya
Sementara itu Rizzar yang baru
masuk kedalam mobilnya pun segera memanaskan mesin mobilnya. Ia ambil mainan
kertas dan tiket multi trip itu dari tas ranselnya dan memandanginya sejenak.
Kemudian Rizzar pun tertawa kecil. “Bahkan hanya dengan melihat pemberian kamu
ini, sudah memutar kembali ingatan tentang apa yang kita lalui hari ini, Ra. Bukan
hanya menyisakan tawa di bibir aku, melainkan senyum dan tawa di hati aku.
Terima kasih banyak, Ara. Semoga aku bisa menjadi Superman yang lebih tangguh bukan
hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kamu, Ra”.
Senyuman itu mewarnai hari Jumat
Rizzar dan Ara. Senyuman yang terajut melalui hal-hal sederhana tapi bermakna.
Senyuman saat aku dan kamu, saat kita merajut sederhana.
-
Bersambung -
Catatan : menulis alur ini seperti melakukan perjalanan panjang. Rizzar
Ara yang selalu tersenyum di sepanjang perjalanan, tapi tangan seperti sedang
mencari polanya bersama imajinasi yang ada. Lega akhirnya bisa menyelesaikan
alur misi sederhana ini meski ala kadarnya. Plong karena bisa menyampaikan
hal-hal yang sederhana itu bersama mereka dan virus senyum dan tawa itu :).
Semoga ada hal positif yang bisa diambil :). See you ... .