Rizzar as Archimedes, Ara
as Jingga
Reihan dan Jingga pun membahas agenda gathering rumah singgah Pelangi, tempat
mereka terlibat bersama. Reihan adalah
koordinator yang kali pertama memelopori kegiatan volunteer disana. Jingga baru
aktif satu tahun terakhir setelah Reihan, yang juga merupakan kakak kelas
Jingga semasa di SMA, mengajaknya. Hingga saat ini, ada 3 volunteer yang aktif
di rumah singgah tersebut termasuk Reihan dan Jingga.
“Jingga, sesuai kesepakatan kemarin, kita akan mengajak
adik-adik rumah singgah Pelangi ke Kebun Raya Bogor, uang kas kita
kira-kira cukup nggak untuk membiayai
kegiatan itu?” tanya Reihan. “Dengan hitungan kita saat pertemuan kemarin sih
cukup, Kak. Tapi ada baiknya kita sesama volunteer juga mengumpulkan uang
sukarela buat menambahkan sumber dana untuk acara tersebut,” ujar Jingga. “Selain
itu, rencana Aldo tentang kita, para kakak volunteer ikut turun ke jalan untuk
membantu adik-adik berjualan satu-dua hari perlu dipertimbangkan”.
Reihan mengangguk, “Iya aku setuju, kemarin aku dapat
pertanyaan dari Iwan dan beberapa adik yang biasanya berjualan air mineral tentang
itu, apalagi katanya hari Minggu itu termasuk hari yang ramai buat mereka berjualan”.
Reihan dan Jingga pun membuat daftar apa saja yang harus
dilakukan untuk mewujudkan acara gathering
adik-adik di rumah singgah Pelangi.
Daftar yang harus dilakukan untuk gathering sebagai berikut:
1. mengumpulkan uang sukarela dari para kakak volunteer
(menyediakan kaleng bekas untuk pengumpulan uang tersebut agar para kakak
volunteer tidak ada yang merasa minder dengan donasi yang diberikan. Kaleng
baru boleh dibuka setelah semua kakak volunteer memberikan donasi).
2. setiap minggu,
kakak volunteer membantu berjualan adik-adik di rumah singgah secara bergantian
selama 4 minggu ke depan. Total adik asuh di rumah singgah (semua bekerja) = 14
orang dan total kakak volunteer = 3 orang. Setiap kakak volunteer mendapatkan
jatah membantu berjualan 4-5 orang adik untuk bisa mengganti uang pendapatan
mereka di hari saat gathering dilakukan
sehingga semua adik di rumah singgah Pelangi bisa ikut di acara gathering tersebut.
“Ada lagi yang mau ditambahkan kah, Kak Rei?” tanya Jingga. Reihan
terdiam sejenak seraya berpikir.
“Oh iya, kelebihan uang penghasilan dari target yang ingin
diperoleh, kalo menurut Jingga ada baiknya kalo kita masukkan ke tabungan
mereka masing-masing, lumayan kan Kak,” sambung Jingga. Reihan mengacungkan
jempolnya menandakan setuju dengan ide bagus dari Jingga.
“BTW, kita para volunteer, semuanya siap nggak turun ke
jalan membantu adik-adik berjualan, Jingga?” tanya Reihan. “Berani nggak?”
Jingga menatap Reihan sejenak sambil tersenyum. “Entahlah,
Kak Rei, aku juga belum terbayang lebih lanjut. Biasanya kita palingan
mendampingi mereka agar lebih berhati-hati saat berjualan di lampu merah, tanpa
ikut jualan he he”.
Reihan tertawa kecil.”Kita kuatkan niat kita untuk membantu
mereka saja, mudah-mudahan kita berani”. Reihan dan Jingga pun tertawa bersama
sambil mengepalkan tangan tanda semangat.
“Oh ya, Ngga, aku sepertinya bakal disibukkan dengan banyak
tugas kuliah minggu ini, bisa minta tolong gantiin aku ke rumah singgah hari
Jumat nanti nggak? Aku ada janji mau mengajarkan matematika buat Iwan dan Budi
juga Rika yang sebentar lagi mau try out.
Mereka kan kelas 6 sekarang”.
Jingga terdiam sejenak. “Baik Kak Rei, nanti biar Jingga
yang mengajarkan matematika ke mereka. Kebetulan Jumat Jingga memang berniat mampir
ke rumah singgah sekalian beberes disana. Kebetulan tidak ada jadwal kuliah
hari itu”.
Reihan kemudian menanyakan terkait konsep menabung yang
mereka berusaha tanamkan buat adik-adik di rumah singgah sekitar setengah tahun
lalu. Jingga yang bertanggung jawab untuk jalannya pembelajaran itu karena
Jingga yang mengusulkan ide tersebut. Menanamkan konsep menyisihkan uang
penghasilan pada anak-anak yang bekerja di jalanan itu susah susah gampang.
Awalnya, mereka takut tertipu dan uang yang mereka tabung akan hilang seperti
beberapa berita yang mereka baca di koran-koran dagangan mereka. Selain itu
mereka juga tidak paham akan manfaat menabung. Perlu beberapa minggu buat
Jingga dkk menanamkan pentingnya menyisihkan sebagian penghasilan ke adik-adik
di rumah singgah tersebut.
Adik-adik di rumah singgah Pelangi semuanya adalah anak usia
sekolah dasar yang bekerja di jalanan. Perlu perjuangan buat Reihan dkk
termasuk Jingga untuk meyakinkan mereka untuk tetap bersekolah. Reihan, Jingga,
dkk pun mengumpulkan uang kas untuk operasional kegiatan di rumah singgah
tersebut dan juga mengumpulkan bantuan dari donatur. Mereka bertekad bahwa
adik-adik yang mereka bimbing di rumah singgah tersebut tidak akan putus
sekolah minimal lulus SMA. Kebanyakan pemasukan kas rumah singgah pun adalah
iuran sukarela dan rutin dari para volunteer yang ada juga beberapa donatur
yang ingin bergabung. Oleh karena itu pulalah, Jingga mengajarkan adik-adik di
rumah singgah itu untuk menabung. Akan tetapi, meski uang kas rumah singgah dan
tabungan adik-adik rumah singgah menjadi satu dalam satu rekening tabungan,
Jingga membuat catatan detail pertanggungjawabannya dan membekali adik-adik itu
masing-masing buku tabungan yang biasa dipakai di sekolah. Bahkan untuk memberi
pemahaman dan pengetahuan ke mereka,
Jingga bergantian mengajak mereka saat dia menabung di bank.
“Oke deh Jingga…, aku ada kuliah jam 10.00, aku pergi dulu
ya. Kalau ada hal-hal yang perlu dibahas lagi,
via WA aja ya, Ngga”.
“Siip. Kak Rei..., by the way, kondisi Archimedes baik-baik
saja kan, Kak? Maksud aku terkait ingatan dia setelah kejadian itu…,” ujar
Jingga tiba-tiba sambil tersenyum.
“Archi baik-baik saja, kok Ngga. Masih merasa bersalah?
Nggak usah terlalu dipikirkan, dia punya orang-orang yang sangat sayang sama
dia, belum lagi fans dia yang peduli ke dia,“ ujar Reihan sambil tertawa kecil.
“Jingga serius nih Kak, kan yang tahu Archi mengalami
kecelakaan itu dokter, orang tua Archi dan kita berdua, Kak”.
Reihan tersenyum, “Archi baik-baik saja, kok. Sejak
kecelakaan itu sampai hari ini, dia tidak pernah terdengar sakit dan
sepengetahuanku juga sehat-sehat kok”. Jingga pun tersenyum dengan ekspresi
lega, “syukurlah kalo begitu, makasih ya, Kak”. Dan Reihan pun bergegas pergi
menuju kelasnya begitu pun Jingga bergegas pergi menuju perpus di fakultasnya.
Sepulang
kuliah, Jingga menghampiri Rina, seorang adik paling muda di rumah singgah yang
saat itu sedang asyik berjualan air mineral dan tissue di perempatan dekat
kampusnya. Jingga menemani sembari mengawasi Rina yang masih duduk di kelas 3
SD yang sibuk menjajakan dagangan di tengah lalu lintas Jakarta yang padat
merayap. Saat lampu hijau menyala, Rina menghampiri Jingga yang duduk di kursi
taman tepi jalan di dekat tempat dia berjualan. Jingga membawakan minuman
dingin dan roti buat Rina siang itu. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, saat
sebuah mobil berhenti tak jauh di tempat Jingga duduk.
“Ooo, jadi kerjaan kamu itu mengeksploitasi anak kecil untuk
berjualan di jalan. Pantas tadi waktu kamu menabrak teman aku dengan seenaknya,
aku merasa tidak asing dengan wajah kamu”.
Jingga mendongakkan kepalanya ke asal suara tersebut. “Archi…,” ujar Jingga pelan dengan ekspresi
terkejut. Meski pelan, ternyata Archi yang tiba-tiba berdiri di hadapannya itu
bisa mendengar ucapan Jingga. “Tahu dari mana kamu nama aku?” tanya Archimedes
tetap dengan nada tinggi. Jingga terdiam sejenak berusaha mencari jawaban yang
masuk akal dan belum sempat menjawab ketika Archimedes melanjutkan kalimatnya,”Aaah,
tidak penting kamu tahu nama aku dari mana, orang seperti kamu, pasti tipe
orang yang kepo dan maunya ikut campur urusan orang lain. Kamu saja tega
memanfaatkan anak-anak kecil ini menjadi mesin uang kamu apalagi cuma sekedar
tahu nama aku”.
Jingga menatap mata Archi, ada rasa marah tertahan di mata Jingga
saat itu. “Kamu itu, enggak ada hujan, enggak ada angin, tiba-tiba datang di
hadapan aku dan menuduh aku mengeksploitasi anak? Mana boleh menuduh orang
tanpa bukti seperti itu, Chi… harusnya kamu sebagai anak hukum lebih tahu
etikanya”.
“Wow, kamu bahkan tahu kalau aku anak fakultas hukum… Big
applause for you, cewek kepo pengeksploitasi anak. Nggak perlu kamu sok
mengajari aku seolah kamu itu orang bersih,“ jawab Archimedes masih dengan nada
yang semakin tinggi dengan pandangan yang semakin menantang ke arah Jingga.
Jingga pun mengalihkan pandangannya sejenak. Meski ia sedang marah kepada
laki-laki di hadapannya itu, entah kenapa dia tidak bisa benar-benar
melepaskannya. Ada semacam hutang budi kecil tapi bernilai yang tidak bisa ia
lunasi kepada Archimedes.
“Kenapa diam, kamu tertangkap basah dan tidak bisa mengelak
kan?” sambung Archimedes masih tetap dengan tuduhannya.
Jingga memandang kembali ke arah Archimedes, “Kamu masih
saja kekeuh dengan tuduhan tanpa dasar itu, buktinya apa?”
“Bukan kali ini saja aku melihat kamu ada di dekat anak-anak
jalanan itu, bahkan barusan aku bisa melihat, adik kecil di perempatan itu
memberikan uang ke kamu. Pasti uang setoran kan? Sudahlah kamu tidak perlu
mengelak lagi. Aku pikir aku bakal menunggu sampai menyelesaikan studiku buat
menindak orang semacam kamu ini. Tapi, aku ga akan biarkan kamu meneruskan
pekerjaan kamu mengeksploitasi anak-anak itu sekarang dan seterusnya”.
Jingga menarik nafas dalam-dalam, “Kalau kamu tidak bisa
mempercayai aku dan tetap yakin dengan tuduhan kamu, silahkan kamu tanya
langsung saja ke adik itu, apa aku memanfaatkan mereka atau….”. “Halaaah
percuma lah, aku tanya adik itu, dia pasti takut mengatakan kebenarannya.
Preman seperti kamu pasti punya banyak cara membungkam mereka”, ujar Archimedes
memotong ucapan Jingga.
Jingga mulai kehilangan
kesabarannya, “Kalau kamu tetap tidak bisa percaya dan tidak mau mendengarkan
penjelasan aku, lebih baik kamu tanyakan saja ke Kak Reihan. Dia sekelas dengan
kamu kan, Chi?”
Archi masih menatap tajam kearah Jingga. Seolah ada tanya
dalam sorot matanya yang berusaha tidak dia akui. Tanpa berkata apa-apa,
Archimedes pun pergi meninggalkan Jingga.
Jingga memandangi punggung Archimedes yang semakin menjauh.
“Aku tahu kamu itu orang baik, Chi. Tapi menuduh tanpa dasar itu tidak
seharusnya dilakukan oleh orang baik seperti kamu”.
“Kak Jingga baik-baik
saja kan? Apa cowok tadi berkata kasar ke Kakak?” Suara Rina menyadarkan Jingga
dari diamnya. Jingga mengusap rambut adik kecil itu seraya tersenyum. “Kak Jingga
baik-baik saja kok, Cantik”.
“Tapi Rina lihat, kakak cowok tadi kelihatan marah ke Kak
Jingga makanya Rina agak takut mau menghampiri Kakak pas lagi lampu hijau. Apa
kakak cowok tadi teman kampus Kak Jingga?”
Jingga masih mengusap lembut rambut Rina. “Kakak tadi cuma
salah paham aja, makanya jadinya marah-marah. Kakak cowok tadi… bukan teman Kak
Jingga, tapi kami memang satu kampus. Udah Rina nggak usah khawatir ya, mending
kita makan roti saja yuk”.
Rina sedang asyik melahap roti yang dibawa Jingga. “Kalau
kakak cowok tadi gangguin Kak Jingga lagi, teriak saja, Kak… biar Rina panggil
temen-temen yang lain buat ngeroyokin Kakak itu”. Jingga tertawa kecil sambil
membelai rambut Rina. “Main keroyokan itu nggak baik” ujar Jingga pelan
memberikan pengertian.
Keesokan
harinya, Archimedes dan Ryo pulang kuliah bersama. Mereka melewati perempatan
yang menjadi perdebatan mereka tempo
hari. “Ternyata ya, cewek yang mengeksploitasi anak jalanan kemarin itu
sekampus sama kita, Ryo,” ujar Archimedes dengan geram. “Hmm tahu dari mana,
Chi?”tanya Ryo penasaran.
“Kemarin dia menabrak Rhea di kampus, eh sorenya dia
kepergok lagi menerima setoran dari adik pekerja jalanan yang sedang jualan.
Pantas aja, wajahnya nggak asing. Tapi yaaa namanya orang kepergok, selalu berkelit”.
Ryo berpikir sejenak. “Jangan-jangan dia salah satu
volunteer yang aku ceritakan tempo hari, Chi”.
“Nggak mungkin sepertinya. Memang dia kemarin minta aku buat
klarifikasi ke Reihan, temen sekelas aku. Tapi aku tetep yakin dia cuma
berusaha mengulur waktu aja. Yang jelas aku tidak akan membiarkan dia
meneruskan kejahatannya itu”.
“Memang siapa namanya, Chi? Biar aku tanyakan ke temen
fakultas aku yang jadi volunteer juga”.
Archimedes memandang ke arah Ryo. “Aku lupa menanyakan siapa
namanya, tapi sepertinya kita bisa tanyakan itu sekarang langsung ke yang
bersangkutan. Tuh, lihat Ryo, dia lagi beraksi dengan adik pekerja jalanan yang
sama seperti kemarin,” ujar Archimedes sambil menunjuk ke arah Jingga yang
asyik bercakap-cakap dengan Rina di tempat yang sama seperti hari sebelumnya.
Jingga sedang asyik membantu Rina belajar berhitung ketika lampu kembali merah
dan Rina berlari kecil menawarkan lagi dagangannya.
“Masih mengelak setelah kembali kepergok?”. Suara tinggi
Archimedes membuat Jingga sedikit terkejut menatap Archimedes dan temannya.
“Aku bilang berhenti meminta setoran dari adik kecil itu,
kalau nggak aku bakalan laporin kamu ke kampus,” sambung Archimedes.
“Aku heran sama kamu, Chi…, masih saja tetap menuduh aku.
Kamu sudah menemui Kak Reihan, belum?” tanya Jingga berusaha menahan emosinya.
“Buat apa? Itu cuma alasan kamu saja, kan? Aku tetap tidak
percaya sama kamu”.
Ryo berusaha menenangkan Archimedes yang semakin meninggi.
“Chi, sabar. Aku tahu kamu benci eksploitasi terhadap anak,
tapi biarin cewek ini jelasin dulu. Maaf kalo teman saya ini emosi. Nama saya
Ryo, kalo boleh tahu nama kamu siapa? Dan sebenarnya, apa yang kamu lakukan
terhadap adik kecil itu?”
Jingga terdiam sejenak memandang bergantian ke arah Ryo dan
Archimedes. “Nama aku Jingga.. aku..”
“Jangan sakiti Kak Jingga…, “ tiba-tiba terdengar teriakan
Rina diikuti lemparan sebuah batu kecil mendarat tepat di dahi Archimedes.
Jingga terkejut, dahi Archimedes berdarah dan dia terlihat
meringis kesakitan. Ryo pun tak kalah terkejutnya. Lemparan itu begitu
tiba-tiba dan tidak terduga oleh mereka. Rina sudah bersiap akan melemparkan
lagi batu ke arah Ryo ketika Jingga segera menghentikannya. “Jangan, sayang…,
melukai orang lain itu tidak baik“. Rina mendekat kearah Jingga. Sementara Jingga terlihat cemas melihat dahi Archi yang berdarah. “Kak Jingga jangan takut, Kak. Rina bakal
bantu Kak Jingga ngelawan dua kakak jahat ini. “
Jingga segera membelai rambut Rina dengan lembut berusaha
memberi pengertian. “Sayang, mereka nggak jahat ke Kak Jingga kok. Rina nggak
boleh sakitin mereka ya.. Inget apa kata Kak Reihan minggu kemarin, kita harus saling
menyayangi sesama kita”.
Rina menatap menantang Archimedes yang terlihat kesakitan.
“Tapi kakak ini jahat ke Kak Jingga, dari kemarin dia selalu bentak-bentak Kak
Jingga”.
Jingga berusaha memberikan pengertian lebih ke Rina bahwa
Archimedes dan Ryo bukanlah orang jahat seperti yang dibayangkan Rina. Mereka
hanya sedang terlibat kesalahpahaman saja. “Coba lihat itu, kasihan jidat Kak
Archi jadi berdarah, Rina sekarang minta maaf ya,” ujar Jingga lembut“. Rina
menggelengkan kepalanya pelan, “Tetep saja Kakak itu sudah bentak-bentak Kak
Jingga seenaknya. Rina nggak mau minta maaf. Rina mau jualan lagi”. Rina
bergegas berlari menuju perempatan lampu merah tanpa mengindahkan panggilan
Jingga.
“Jadi, kamu itu volunteer, ya Ngga?” Pertanyaan Ryo itu,
kembali mengingatkan Jingga dengan luka di dahi Archimedes. Jingga memandangi
Archimedes yang terlihat menahan sakit tapi masih tetap dengan sikap “cool”-nya.
“Sepertinya luka di dahi Archimedes harus segera diobati, Ryo, biar darahnya
nggak keluar terus. Ada kotak P3K nggak di mobil kalian?” ujar Jingga seolah
tidak mendengar pertanyaan Ryo tadi. “Ada, biar aku ambilkan dulu di mobil,”
jawab Ryo yang segera berlari menuju mobil saat menyadari dahi Archimedes yang
berdarah. Sementara itu, Archimedes masih terdiam memegangi luka di dahinya dan Jingga segera
mengusapkan tissue ke luka Archimedes sekaligus memberikan tissue di tangan
Archimedes yang terkena darah. Archimedes menatap kearah Jingga yang terlihat
khawatir. Archimedes merasa situasi yang serupa pernah dialaminya. Bahkan raut
itu juga tiba-tiba seolah tidak asing baginya.
“Kamu baik-baik saja, Chi?” tanya Jingga lembut. Archimedes
setengah terkejut dan terbangun dari perasaan anehnya itu. Dia melepaskan
tangan Jingga dari dahinya dan mundur beberapa langkah dari Jingga. Dia kembali
menatap Jingga yang masih dengan wajah cemasnya beberapa saat, ketika Ryo
datang dengan kotak P3K. “Kita pergi dari sini, sekarang Ryo. Biar aku obatin
luka ini di mobil saja,”ujar Archimedes dingin sambil berbalik arah
meninggalkan Jingga dan menuju mobilnya.
“Aku benar-benar minta maaf, Chi. Maaf sudah membuat dahi
kamu terluka. Aku yang salah sudah membiarkan Rina, itu nama adik kecil tadi,
salah paham dan melempar batu mengenai dahi kamu”. Suara Jingga terdengar
bernada cemas dan penuh rasa bersalah. Archimedes berbalik memandang ke arah
Jingga. “Kamu takut aku memperkarakan ini ke jalur hukum?” tanya Archimedes
tiba-tiba. Jingga menatap balik Archimedes sambil menggelengkan kepalanya. “Aku
yakin kamu tidak akan melakukan itu, Chi. Aku.. aku cuma merasa bersalah dan
cemas saja melihat kamu terluka,” ucap Jingga pelan ke Archimedes. Archimedes
masih menatap mata Jingga. Tanpa mengucap satu patah kata pun, Archimedes
kemudian berbalik meninggalkan Jingga.
-Cut 2-
Syuting hari itu selesai cepat. Waktu
menunjukkan pukul 18.00 saat Ara mengambil wudlu dan bergegas masuk ke
ruang sholat dan dia berpapasan dengan Rizzar. Sikap Rizzar kembali dingin seperti
biasa sehingga Ara ragu untuk memulai percakapan dan hanya membagi senyuman
kepada Rizzar. Tempat sholat masih lengang saat itu, para kru di lokasi syuting
masih sibuk membereskan segala sesuatunya. Ara menunggu waktu Maghribnya dengan
melanjutkan mengaji hariannya tanpa mengeraskan suaranya, sedangkan Rizzar
terlihat khusyuk di tempatnya, tidak jauh di depan tempat duduk Ara. Adzan
Maghrib berkumandang saat Rizzar tiba-tiba
bangkit dari tempatnya dengan terburu-buru. Ara bisa melihat sepintas,
Rizzar seperti habis menangis, dugaan itu menguat karena Ara sempat melihat
bahu Rizzar saat Rizzar berusaha menahan isak tangisnya. Rizzar tak sedikitpun
melihat kearah Ara, dia bergegas menuju tempat wudlu untuk mengambil wudlu
sekali lagi.
“Aku tidak tahu masalah kamu, Riz.. tapi
sepertinya masalah itu cukup membebani kamu. Biasanya kamu itu tipe orang yang
berusaha tampil cuek apapun yang kamu hadapi, tapi kali ini sepertinya kamu
tidak bisa melakukannya. Semoga kamu ditunjukkan jalan keluar yang terbaik Riz.
Andai ada sesuatu yang bisa aku lakukan
untuk membantu kamu, Riz,” ujar Ara dalam hati. Tak lama kemudian, terlihat dua
kru masuk ke tempat sholat bersama dengan Rizzar. Rizzar menoleh sejenak ke
Ara. Mata mereka pun bertemu dan Rizzar buru-buru mengalihkan pandangannya ke
arah lain dan Ara pun menunduk.
Seusai
sholat berjamaah, di tempat itu, masih tertinggal Rizzar dan Ara. Ara seolah
bisa merasakan, hati Rizzar yang sedang sangat tidak tenang sehingga dia
memutuskan menunggu Rizzar menyelesaikan doanya saat itu. Rizzar bangkit dari
tempat duduknya, saat Ara menghampirinya, masih dengan menggunakan mukenanya.
“Kita ngaji bareng yuk, Riz…,” ujar Ara
masih dengan senyum tulusnya.
Rizzar memandang ke Ara, ada rasa
terkejut, ragu, dan tanda tanya disana. “Siapa tahu, dengan mengaji bareng,
bisa membuat hati kamu menjadi lebih tenang. Bukannya aku sok tahu, tapi aku
merasa kamu sedang benar-benar gelisah saat ini,” ucap Ara lembut.
Rizzar masih terdiam memandangi Ara. Ara
benar, hatinya sangat gelisah saat ini, dia masih belum bisa menemukan titik
cerah untuk menghadapi masalahnya dengan
kuat. Tapi di sisi lain, Rizzar ragu
karena dirinya sedang berkomitmen menjaga jarak dari Ara.
Sementara itu, Ara menunggu jawaban
Rizzar tetap dengan senyuman tulusnya.
“Bagaimana, Riz? Mau nggak? Aku tahu
kamu sedang menjaga jarak dari aku, jadi anggap saja aku orang asing dalam hal
ini. Meski kita dua orang asing, tapi siapa tahu kalo kita mengaji bersama, itu
bisa membuat rasa gelisah kamu sedikit berkurang”
Rizzar akhirnya mengangguk pelan meski
ada keraguan dimatanya. “Kita mengaji disini? Tapi…, bagaimana kalau ada orang
yang melihat dan salah paham tentang kita?”
Ara lagi-lagi tersenyum, kali ini
setengah tertawa kecil. “Iya kita mengaji disini saja, tempat sholat ini kan
agak terbuka dan wajar kalo kita mengaji disini. Kalau tentang orang salah
paham, sepertinya kemungkinannya kecil, lokasi sudah sepi, yaaa kita berpikir positif saja, niat kita ngaji
itu baik, kita berdoa saja semoga kita dijauhkan dari gosip”.
Akhirnya mereka mengaji berdua. Saat
itu, ketegangan diantara mereka seperti lenyap. Mereka larut dalam ibadah
mereka saat itu. Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB saat mereka selesai mengaji.
Mereka duduk berhadapan meski tetap berjarak.
“Gimana perasaan kamu sekarang, Riz?
Agak enakan, nggak?” tanya Ara. Rizzar menatap Ara kemudian tersenyum
mengangguk. “Makasih ya, Ra, kamu sudah menemani aku mengaji. Hati aku terasa
sedikit ringan.”
“Alhamdulillah kalo begitu. Aku cuma
bisa bantu doa, semoga kamu ditunjukkan jalan keluar yang terbaik aja, Riz. Setiap
masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan saat kita diberikan masalah, insyaa
Allah disitu ada pembelajaran buat kita
untuk bisa lebih baik dari sebelumnya. Semangat, Riz!” Rizzar masih menatap
Ara seraya memberikan senyumannya yang lebih lebar.“Sekali lagi, makasih, Ra”.
“Perasaan dari tadi kamu mengucapkan
terima kasih melulu, Riz,” ujar Ara sambil tersenyum kecil seolah mengajak
bercanda Rizzar. Rizzar pun tertawa.
Rizzar
tidak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjalin diantara dirinya dan
Ara. Buat Rizzar, pertemanannya bersama Ara selama mereka terlibat syuting
bersama terutama syuting panjang saat sinetron pertama mereka dipasangkan
berdua, membuat mereka lebih saling mengenal. Banyak tawa dan cerita yang
mereka telah bagi bersama, banyak waktu senggang dilokasi syuting yang mereka
telah habiskan bersama. Ara telah memberikan warna sendiri dalam kehidupan
Rizzar. Ara dan keceriaannya dan sikap humble
serta ramahnya kepada orang lain, baik kru, sesama pemain, dan juga fansnya
yang setia bergantian menemaninya di lokasi syuting. Rizzar belajar hal baru
dari Ara. Rizzar belajar lebih berani menyapa fans-nya dengan lebih hangat,
lebih dekat dengan mereka dengan sikap-sikap sederhana seperti yang Ara lakukan
dengan fansnya. Adanya Ara membuat rasa risih dan menjaga jarak Rizzar terhadap
fansnya seolah perlahan menjauh.
“Ya, sudah Riz… aku duluan ya,” ujar Ara. Rizzar tersenyum kearah
Ara. “Oh ya, Ra.. tumben Mama kamu tidak menemani kamu di lokasi syuting hari ini.
Biasanya beliau selalu ada”.
Ara membalas senyum Rizzar dengan
senyuman dia yang lebih lebar lagi. “Iya, kebetulan ada acara keluarga, jadinya
Mama tidak bisa menemani aku syuting”. Kali ini Rizzar membalas tersenyum
lebar. Dan lagi-lagi Ara melempar senyum yang lebih lebar ke Rizzar. “Oh iya,
aku baru lihat, ternyata Alquran kecil kita sama ya, cuma berbeda warna saja. Kebetulan
banget, ya Riz,” sambung Ara sambil memperlihatkan bagian depan Alquran kecil
yang dipegangnya.
“Iya ya, Ra... aku… dapat ini sebagai
hadiah dari fans”.
“Wah berarti sama, aku juga dapat ini
dari fans.., hmm jangan-jangan dari fans couple
kita di sinetron ya Riz”.
Ekspresi Rizzar tiba-tiba sedikit
berubah. Rizzar teringat kembali dengan komitmennya menjaga jarak dari Ara
setelah sinetron yang menjadikan mereka couple
tamat. Ara pun melihat perubahan ekspresi Rizzar yang terlihat kembali dingin.
“Maaf, Riz… aku tidak bermaksud mengusik
kamu dengan ketidaknyamanan yang terjadi terkait masalah couple kita di sinetron. Aku tahu kita harus menjaga jarak untuk
meredakannya. Jangan terlalu kamu pikirkan, ya. Soal Alquran kecil kita yang
sepasang ini, insyaa Allah tidak akan menambah masalah. Kita anggap saja, ini
hadiah yang terpisah dari fans kamu dan fans aku, tidak ada hubungan dengan
couple-couplean kita.”
Ara tiba-tiba merasa bersalah. Meski dia
tahu dirinya tidak melakukan hal yang salah, tapi tiap kali dia melihat Rizzar
membangun “dinding” secara tiba-tiba terhadap dirinya, Ara merasa bersalah.
“Maafin, aku ya Riz kalau aku mengusik
kamu,” ujar Ara pelan dan sungguh-sungguh.
"Kamu tidak bersalah dan kamu tidak perlu minta maaf, Ra. Hanya saja, jujur aku tidak punya
banyak kata tentang kita. Apa yang terjadi diantara kita terlalu rumit, dan aku
tidak nyaman dengan itu semua. Hal yang paling masuk akal buat kita adalah
menjaga jarak. Aku harap kamu bisa mengerti, Ra.”
Ara menatap mata Rizzar seraya tersenyum lebar dan tanpa keraguan. “Pasti, aku akan berusaha mengerti
kamu, Riz. Aku hanya seseorang asing yang datang ke kehidupan seorang Rizzar
baru-baru saja. Dan sebagai orang baru, aku harus tahu diri. Aku percaya,
setiap kita masuk dalam kehidupan seseorang entah itu sebagai teman, sahabat,
atau apapun itu, tidak seharusnya kita membuat hidup orang itu menjadi lebih
buruk karena kita. Kita harus berusaha memberi warna yang positif untuk setiap
orang yang kita temui. Atau… setidaknya kita memberikan warna yang netral saat
situasi dan kondisi tidak memungkinkan.”
Rizzar hanya mampu menatap Ara tanpa
berucap satu kata pun. Rizzar tidak tahu bagaimana dia seharusnya menjawab Ara.
Hatinya saat itu riuh, meski dia sudah
memantapkan hatinya untuk menjaga jarak terhadap Ara demi cewek dan fans-nya,
tapi selalu ada rasa bersalah yang menghantuinya setiap kali melihat Ara yang
masih tetap menawarkan senyuman tulus kepadanya. Tak hanya itu, ada sakit yang selalu terasa, tanpa Rizzar tahu benar apa sebabnya dan berusaha diabaikannya.
“Oh ya Riz, soal rasa bersalah kamu
terhadap Mama kamu, menurut pendapat aku, hal yang paling mungkin kamu lakukan
untuk mendamaikan hati kamu adalah segera meminta maaf ke beliau dan berjanji untuk
tidak mengulangi perbuatan yang mengecewakan beliau kemudian membuktikan itu melalui
tindakan kamu kedepannya. Aku yakin, Mama kamu pasti sudah memaafkan kamu
sebelum kamu memintanya. Tapi permintaan maaf yang yang tulus dari kamu kepada
beliau, itu menjadi kunci dari kedamaian hati kamu sendiri,” sambung Ara masih dengan
senyum tulusnya.
Rizzar mengangguk seraya tersenyum dan
menatap Ara. Lagi-lagi tak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibirnya saat
itu. Rizzar hanya terpaku di tempatnya memandangi setiap gerak gerik Ara yang
berpamitan pulang dan kemudian perlahan menghilang dari pandangannya.
Rizzar memandangi sejenak Alquran kecil
yang masih dipegangnya. “Maafin aku, Ra… dan… sekali lagi terima kasih banyak”.
Cast
: Rizky Nazar as Rizzar; Anisa Rahma as Ara :) :)
“Bersambung”
Part Setelahnya
Harus
banyak membaca lagi, tangan dan otak makin belepotan menuangkan ide.
Semangat!!! Baca baca baca…. demi paper, cerbung, puisi, tesis dan hasil karya
tulis lainnya :)
Dan
tetap berusaha menulis dari hati! :)