Rizzar Ara Part 5 : Sebuah Rencana dan Skenario Rasa
Ara sedang asyik menikmati makan
siangnya di lokasi syuting ketika Viko, salah satu pemain yang seproject dengan
Rizzar dan Ara, tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Sendirian aja, Ra?" tanya
Viko dengan gaya menggoda. Ara tertawa, "Hmmm bukannya kita sedang berdua
ya, Vik?" Viko pun ikut tertawa.
"Rizzar mana, bukannya biasanya
kalian sering bercanda bareng kalo lagi satu project, makan siang aja kadang
sama-sama," ujar Viko lagi.
Ara tersenyum, "Rizzar tadi lagi
ke parkiran sepertinya. Ada ceweknya datang sepertinya. Perasaan si Rizzar
bercandanya merata sama semua orang deh, Vik".
"Iya...., tapi biasanya kamu
selalu ada disela-sela bercandaan Rizzar kan, apalagi kalian banyak satu
scene," lanjut Viko dengan raut penasaran.
Ara tersenyum lebih lebar, tiba-tiba ia
teringat bagaimana biasanya ia bercanda lepas bersama Rizzar sebelum mereka
saling menjaga jarak satu sama lain. Rizzar yang usil dan humoris itu
seringkali menggoda dan mengerjai Ara sehingga Ara pun ikutan membalas keusilan
Rizzar itu dengan lebih bersemangat. Entah kapan dirinya dan Rizzar bisa
bercanda lepas seperti itu lagi.
“Ra,... kamu sama Rizzar sedang menjaga jarak
satu sama lain ya akhir-akhir ini?” Pertanyaan Viko membuyarkan flashback
singkat Ara itu. Ara buru-buru tersenyum lebar tak memberi jawaban.
“Udah lama aku dan kalian tidak pernah satu
project bareng, tapi aku merasa ada yang beda dengan kalian berdua sekarang
deh. Kalian nggak serame dan selepas dulu lagi. Aku lebih suka melihat kalian
seperti dulu lagi, lebih asyik, Ra,” lanjut Viko lagi.
“Ternyata kamu lumayan peka juga, Vik,” jawab
Ara masih tersenyum riang, “Aku dan Rizzar memang lagi menjaga jarak, Rizzar
yang menginginkannya karena sikon yang terjadi diantara kami akhir-akhir ini
dan... aku berusaha memahaminya. Terlebih aku jomblo sementara Rizzar punya
cewek, ... “.
Ara menarik nafasnya pelan dan dalam, entah
kenapa masih ada bagian di dalam hatinya yang mempertanyakan memangnya apa
salahnya menjadi jomblo sampai Rizzar pun menjaga jarak karena statusnya itu.
“Jadi Rizzar menjaga jarak dengan kamu
karena kamu jomblo, Ra? Kamu kehilangan kesempatan bercanda lepas dengan Rizzar
karena kamu jomblo?” tanya Viko mencoba mengklarifikasi.
“Hmmm entahlah, Vik, tapi sepertinya seperti
itu. Mungkin sebagian orang menganggap jomblo adalah ancaman bagi mereka yang
pacaran?” Ara lagi-lagi tersenyum.
“Atau, bisa jadi akunya yang kelewat lepas
waktu bercanda jadi membuat Rizzar merasa nggak nyaman kali ya...,” lanjut Ara. Viko menggelengkan kepalanya,
menandakan ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Ara. “Semua tergantung dari
sudut pandang mana kita memandangnya, Ra. Sejauh aku mengenal kamu, kamu itu
tipe orang yang berteman dengan lepas sama semua orang termasuk Rizzar, aku
atau rekan syuting kamu yang lainnya. Buat aku itu ga masalah dan asyik malah, membuat
kita yang terlibat satu project bisa lebih akrab. Hmmm tapi beda halnya mungkin
kalau ada perasaan terlibat disini,” ujar Viko membuat Ara memandang kearah
Viko beberapa saat. “Apa ada rasa yang berbeda diantara kalian, maksud aku
diantara kamu dan Rizzar?”
Ara tersenyum memikirkan ucapan Viko.
“Rasa itu sesuatu yang sangat sulit untuk
ditebak, kapan dia datang atau pergi. Selama rasa itu tetap berada di tempat
yang tepat, tetap tersimpan dengan baik di dalam hati, ada atau tidak rasa yang berbeda, bukannya tidak seharusnya
mengubah pertemanan yang sudah terjalin? Aku cuma ingin hubungan aku dengan
semua orang tetap baik, Vik, termasuk pertemanan aku dengan Rizzar”.
Giliran Viko tersenyum lebar membalas senyuman
Ara sambil menganggukkan kepalanya setuju.
“Aku juga lebih suka melihat kalian
yang dulu dibanding yang sekarang, Ra. Hmmm ya udah, aku punya ide tentang ini, Ra,” sambung Viko bersemangat.
“Ide???” tanya Ara dengan raut
penasaran.
“Iyaaa, biar kamu dan Rizzar bisa
bercanda lepas lagi, Ra. Kita pura-pura jadian dihadapan Rizzar. Gimana?”
Bola mata Ara membulat sambil menatap
Viko.
“Kamu bilang salah satu alasan
Rizzar menjauhi kamu adalah karena kamu jomblo kan? Kalau kita jadian, alasan
Rizzar buat berjarak dengan kamu menjadi berkurang kan, itu artinya kalian bisa
temenan lagi?”
Ara masih menatap Viko setengah
percaya dengan usulan orang didepannya itu. Bukankah berpura-pura itu sama saja
dengan berbohong? Padahal Ara ingin pertemanannya dengan Rizzar itu tetap
tulus. Bagaimana mungkin kebohongan bersanding dengan ketulusan. Ara berperang dengan pikiran dan
hatinya sendiri.
“Ra...,” panggil Viko menyadarkan Ara.
Ara menggelengkan kepalanya
ragu ke Viko.
“Aku rasa itu bukan ide yang cukup
bagus, Vik. Aku ga mau ada masalah di
kemudian hari dengan media atau juga cewek kamu termasuk juga dengan Rizzar.
Lagi pula aku tidak ingin mengemis pertemanan dengan menghalalkan berbagai
cara, Vik. Aku ingin berteman dengan Rizzar karena dia ikhlas dan tulus melakukannya
bukan karena kebohongan dan kepura-puraan, Vik”.
Viko ganti terdiam memikirkan kalimat
Ara meski kemudian tetap yakin meneruskan rencananya itu. “Kalau soal media dan cewek aku, kamu tenang saja,
Ra. Berita tentang kita jadian ini cuma diantara aku, cewek aku, kamu, Rizzar,
dan ceweknya mungkin, semua bisa dikondisikan. Soal cewek aku, kamu juga tenang
aja, dia udah banyak dengar dan tahu tentang kamu kok, insyaa Allah dia ga
bakal cemburu dan bakal mengerti. Aku bakal menghubungi dia dulu sebelum menjalankan
rencana ini. Soal Rizzar, okeee aku harus setuju dengan kalimat kamu tadi, tapi kita bukan
sedang mengemis pertemanan dengan Rizzar, Ara. Ini kondisi
khusus, Ra dan aku pikir kebohongan yang kita lakukan ini toh untuk kebaikan,
agar Rizzar mau berteman dengan kamu tanpa terbebani dengan status jomblo kamu.
Aku pikir sah-sah aja apa yang kita lakukan, Ra,” gantian Viko menjelaskan panjang lebar ke
Ara.
Ara masih terdiam ragu mencerna ucapan
Viko itu.
“Ara... ini hanya tentang sudut
pandang, Rizzar berjarak ke kamu karena dia memandang status jomblo kamu adalah
sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam pertemanan kalian. Padahal semestinya
pertemanan kalian itu bisa tetap indah andai dia tidak di sudut pandang itu.
Seperti aku ke kamu sekarang yang bisa tetap bercanda lepas, tanpa memandang
kamu itu jomblo atau tidak,” sambung Viko lagi berusaha meyakinkan Ara sambil tersenyum.
Ara pun akhirnya mengangguk pelan, setuju.
Langkah pertama yang Viko lakukan, dia
langsung menelepon ceweknya dan membeberkan rencananya dengan Ara itu kepada
ceweknya dengan sejelas-jelasnya. Ara pun ikut nimbrung dalam pembicaraan itu
karena Viko sengaja membuat sambungan pembicaraan lewat video call dan
mengenalkan Ara secara langsung ke ceweknya terlebih dahulu. Ara ingin memastikan
bahwa cewek Viko tidak masalah dengan rencana itu dan tidak salah paham kepada
Ara.
Seperti yang Viko bilang sebelumnya, cewek
Viko sepertinya cukup mudah memahami posisi Ara dan niat Viko untuk membantu
Ara tentang Rizzar itu. Keterbukaan dan keramahan cewek Viko membuat Ara
menjadi nyaman melakukan rencananya bersama Viko.
Setelah panggilan kepada cewek Viko selesai,
secara resmi, rencana Viko pun dimulai.
Beberapa saat kemudian, Ara sedang
asyik membaca script miliknya ditemani Viko sambil menghabiskan waktu
istirahatnya ketika Rizzar menghampiri keduanya yang sesekali
bercanda.
“Hai guys, emang habis ini scene
kalian berdua ya kok kalian kompak berduaan begini?” tanya Rizzar sambil
tersenyum dan mengambil script miliknya.
Ia kemudian duduk di sebelah Viko. Ara diam, hanya tersenyum, sementara Viko
sengaja mengambil banyak kesempatan bicara saat itu.
“Bukannya habis ini scene lo sama Ara
lagi, ya Riz? Scene gue ama Ara sih masih setelah kalian. Gue scene
bareng adik-adik kecil itu masih setelah ini,” jawab Viko santai sambil tertawa kecil.
“Terus ngapain lo malah bercanda sama
Ara disini, Bro? Adik-adik kecilnya kan disana?” lanjut Rizzar bertanya sambil
menunjukkan jarinya ke tempat adik-adik kecil itu sedang bercanda.
“Emangnya ga boleh gue bercanda sama,
Ara? Biasanya juga kalau lagi seproject bareng kita kan bercanda sama siapa
aja, he he,” jawab Viko lagi membuat
Rizzar tersenyum canggung dan melirik sejenak ke Ara yang masih tetap membaca
scriptnya. Iya saat mereka bareng di project sebelumnya, mereka bertiga terbiasa
bercanda dengan lepas antar pemain, berusaha menghilangkan rasa canggung yang
ada. Andai saja dia bisa tetap bersikap lepas dengan Ara. Rizzar pun sebenarnya
sangat mengharapkannya, hanya saja sikon diantara dirinya dan Ara membuat
semuanya tak lagi bisa sama.
“Oh iya, Riz mumpung lo nanya
tentang gue dan Ara, sekalian gue mau
ngasih tahu sesuatu ke loe, Bro...,” ujar Viko dengan wajah riang sambil
merangkul Rizzar yang memasang wajah penasaran itu.
“Sebenarnya, gueeee... udah jadian
sama Ara, Riz,” ucap Viko dengan yakin. Ara yang awalnya asyik memelototi
scriptnya, langsung menoleh ke Viko dan tersenyum lebar mendengarnya. Sementara
Rizzar hanya terdiam menatap Viko, antara terkejut dengan pernyataan Viko
tersebut dan entah apa lagi nama ketidaknyamanan yang ia rasakan tiba-tiba
tersenyum dihatinya saat itu. Sekilas ia, melirik ke arah Ara yang sedang
berbalas senyum dengan Viko dengan wajah
bahagia terlihat di keduanya itu.
“Kok lo diam aja, Riz... emang lo ga mau
ngasih ucapan selamat gitu ke gue sama Ara?” tanya Viko tersenyum lebar membuat
Rizzar ikut tersenyum lebih lebar.
“Sorry, gue bener-bener ga nyangka lo
bakal jadian sama Ara soalnya, Bro. Selamat ya buat kalian berdua. Semoga....
awet yaaa,” ucap Rizzar sambil memeluk Viko. Ara terlihat sedang tertawa ketika
Rizzar melihatnya.
“Selamat juga buat kamu ya, Ra,”
sambung Rizzar lagi dijawab Ara dengan ucapan terima kasih diantara wajah
riangnya itu. Ara sebenarnya tidak nyaman dengan topeng yang digunakannya saat
itu, tapi ia tetap harus melakukan rencana itu dengan baik.
“Tapi lo harus
janji ya Riz, jangan bicara tentang gue dan Ara ke siapapun ya. Gue dan Ara
pingin hubungan gue dan dia menjadi privasi diantara kami berdua aja plus lo
dan cewek lo juga boleh deh,” lanjut Viko.
Rizzar menganggukkan kepalanya
mengerti membuat Viko kembali menoleh ke Ara dan lagi-lagi mereka berdua tertawa dalam bahagia. Harusnya Rizzar
bahagia dengan kenyataan itu, bahwa Ara jadian dengan Viko, itu artinya dia
bisa berteman biasa lagi dengan Ara, tapi entah kenapa hal itu justru bertolak
belakang dengan apa yang dirasakan hatinya.
“Oh iya, Bro...
emang lo sejak kapan pedekate sama Ara, kok tiba-tiba udah jadian aja?” tanya
Rizzar penasaran.
Lagi-lagi Viko tersenyum ke Ara
sebelum kemudian ia tersenyum lebar ke Rizzar.
“Udah beberapa bulan terakhir gue
bergerilya menyentuh hati Ara, Riz, he he. Tapi Ara baru menjawabnya sekarang.
Seproject bareng ini ada hikmahnya juga buat gue meyakinkan Ara, he he”.
Perbincangan mereka tentang seputar jadiannya
Viko dan Ara pun terhenti ketika salah satu kru memanggil Viko bergabung dengan
adik-adik kecil untuk latihan sebelum scene mereka diambil.
“Oh iya, Riz. Nanti malam sepulang
syuting gue pingin mengajak lo sama cewek lo buat dinner di kafe deket sini. Anggap aja sebagai ungkapan bahagia gue
dan Ara yang baru jadian. Gue harap lo datang yaaa,” ucap Viko sambil menepuk
bahu Rizzar. Rizzar masih memikirkan tawaran Viko itu, ketika Viko kembali berucap,
“Gue sangat berharap momen jadiannya gue sama Ara bisa makin mendekatkan
pertemanan diantara kita. Gue dan Ara bisa lebih berteman baik lagi dengan lo
dan juga cewek lo”.
Rizzar menoleh kearah Ara sejenak
mendengarnya kemudian kembali menatap Viko sembari tersenyum dan menganggukkan
kepalanya pelan. Viko kemudian berlari
menuju adik-adik kecil yang menunggu dirinya. “Ara, sampai ketemu nanti yaaa,”
lanjut Viko sambil setengah teriak ke Ara dengan tawa lebarnya. Ara melambaikan
tangannya dengan senyum tulusnya yang tak kalah lebar, “Semangat syutingnya, Vik... lakukan dari hati
ya”. Lagi-lagi Rizzar menoleh kearah Ara mendengarnya. Kalimat Ara itu membuat
Rizzar teringat akan apa yang terjadi diantara dirinya dan Ara yang sampai
sekarang membekas tanpa ia tahu bagaimana untuk menghapusnya. Dan entah kenapa,
ada semacam iri menyusup di hati Rizzar saat kalimat itu ditujukan Ara untuk
Viko.
Saat itu hanya tersisa Ara dan Rizzar, mereka
pun memutuskan untuk berlatih buat scene mereka selanjutnya. Keduanya
berusaha untuk bisa tetap melakukan akting mereka dari hati, seolah hal itu
adalah kesepakatan diantara keduanya meski tak tertulis. Dan entah kenapa,
mereka hampir selalu berhasil melakukannya. Seolah mereka dipersatukan oleh
energi positif satu sama lain meski kadang tanpa mereka sadari dan akui.
Beberapa saat kemudian, scene Rizzar
dan Ara berhasil mereka selesaikan
dengan baik dan lancar, Ara bergegas
mengemasi barang-barangnya sebelum dirinya berganti scene. Rizzar terlihat melakukan hal yang sama, sesekali ia
menoleh kearah Ara, ada sesuatu yang ingin diungkapkannya tapi ada ragu menahannya. Ara sebenarnya merasakan sikap Rizzar yang
ragu itu, tapi ia memutuskan untuk diam. Ia tidak ingin menambah jauh lagi
jarak diantara dirinya dan Rizzar hanya karena dia salah bicara atau bersikap.
“Riz, ...,” Ara hendak berpamitan ke
Rizzar ketika kalimat itu terpotong oleh Rizzar.
“Ra, boleh aku tahu kenapa kamu
menerima Viko sekarang, saat kamu seproject sama aku?” tanya Rizzar membuat Ara
langsung menoleh ke Rizzar. Ara bingung harus menjawab apa karena rencana Viko
itu pun tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Ara. Itu sebabnya pula, Ara
membenci kebohongan karena menurut Ara kebohongan yang satu akan bisa memicu
kebohongan-kebohongan selanjutnya untuk menutupi satu sama lain.
“Aku... aku menerima Viko karena....
karena aku perlu teman laki-laki buat melindungi dan menjaga aku, Riz,” jawab
Ara akhirnya. Rizzar menatap Ara sejenak, “Teman? Bukannya kamu punya banyak
teman yang siap melindungi dan menjaga kamu setahu aku, Ra?” lanjut Rizzar
lagi.
Ara balas menatap Rizzar, “Iya, kamu
mungkin benar, Riz. Tapi... ada juga
teman-teman yang memilih berjarak dan menjauh dari aku, seperti kamu salah
satunya”. Entah kenapa kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir Ara, seolah
dia ingin Rizzar mengetahui apa yang dirasakannya tentang pertemanan mereka
berdua.
“Jadi kamu menerima Viko karena aku
berjarak dengan kamu, Ra?” tanya Rizzar tajam penuh rasa ingin tahu.
Ara tertegun mendengar pertanyaan itu, seolah
Rizzar membaca apa yang di pikirannya. Namun ia berusaha mencari jawaban yang
sesuai buat Rizzar. Ara kembali menoleh ke Rizzar kemudian tersenyum lebar
kepadanya, “Viko sudah berjuang keras meyakinkan aku, Riz dan aku
memercayainya, Riz. Itu sebabnya aku bilang ya kepada Viko. Aku percaya Viko
bisa jadi teman yang baik buat aku”.
“Jadi kamu jadian dengan Viko hanya karena
perlu teman, Ra? Lantas bagaimana dengan perasaan diantara kalian? Bukannya
jadian itu artinya kamu menerima hatinya, Ra?” ujar Rizzar masih mengejar Ara
dengan rasa penasarannya.
Ara lagi-lagi tersenyum, “Rasa itu
sesuatu yang ada di hati, Riz. Dan aku percaya rasa itu bisa ditumbuhkan
perlahan melalui dua orang yang berteman baik dan saling menjaga satu sama
lain, Riz”. Rizzar langsung menoleh ke Ara mendengarnya, sejenak keduanya
kembali bertatapan sebelum akhirnya Ara mengalihkan pandangannya ke arah Viko.
“Seperti yang Viko tadi bilang, aku
berharap setelah aku jadian sama Viko, pertemanan kita bisa lebih lepas dan
kembali normal seperti dulu lagi, Riz. Sekarang kita berdua sudah punya batas
masing-masing, aku ada Viko dan kamu ada cewek kamu. Seharusnya kekhawatiran
kamu dan orang-orang didekat kamu yang membuat kamu berjarak dengan aku bisa
berkurang. Meski aku tidak terlalu berharap, tapi aku ingin pertemanan diantara
kita bisa lebih baik lagi, Riz,” sambung Ara masih tetap menatap kearah Viko.
Buat Ara menatap Viko yang sedang asyik dalam perannya itu lebih mudah
dibandingkan harus menatap Rizzar yang duduk disebelahnya itu. Rizzar lagi-lagi
menatap Ara dalam diam sejenak, kemudian tersenyum tipis, “semoga ya, Ra.
Semoga kehadiran Viko bisa membuat kita bisa berteman seperti dulu lagi”.
Rizzar bergegas berdiri dan berpamitan ke Ara, berniat menaruh beberapa barang
kembali ke mobilnya. Sejenak Ara memandangi
punggung Rizzar itu, “Jangan lupa undangan dinner nanti malam, Riz. Kita
tunggu kehadiran kamu dan cewek kamu ya,” ujar Ara setengah teriak membuat
Rizzar langsung menoleh kepadanya kemudian mengangguk pelan sambil mengacungkan
jari jempolnya.
Malam itu, waktu di i-phone Ara
menunjukkan pukul 20.30 ketika Rizzar, Ara, dan Viko sedang duduk bertiga di
sebuah kafe. “Maaf banget, guys, aku sudah coba memberitahu kabar jadian kalian ke cewek
aku dan mengajaknya datang kesini, tapi kebetulan dia lagi ada kegiatan
sekarang," ucap Rizzar dengan wajah setengah menyesal ke Ara dan Viko yang
duduk di hadapannya itu. “Wah sayang banget, ya Riz, padahal gue berharap kita
bisa saling ketemuan sekarang, gue pingin kita bisa temenan lebih akrab lagi,”
ujar Viko, “selama ini gue dan Ara kan nggak pernah gabung bercanda sama lo dan cewek lo. Gue pikir, kalau gue
dan Ara sudah jadian begini, bakal lebih nyaman dan enjoy ngobrolnya”. Viko
menoleh ke Ara, tersenyum lebar kepadanya dibalas Ara dengan senyuman tak kalah
lebar sambil menganggukkan kepalanya pelan. Sementara Rizzar hanya tersenyum
tipis melihat keduanya.
“Lain kali mungkin kita bisa janjian
ketemuan lagi,” lanjut Viko dibalas dengan anggukan kepala Rizzar.
Viko kembali mengenang candaan mereka
di project sebelumnya bersama Rizzar dan Ara, Viko merasa sangat terkesan
dengan semua tawa dan senyum diantara mereka saat itu, begitu lepas dan tanpa
beban.
“Apalagi becandaan lo dengan Ara yang
polos banget itu, kalian yang bercanda, tapi kita-kita terbawa ketawa...,
kalian itu benar-benar kocak pokoknya,” ucap Viko dengan santai sambil tertawa
kecil.
Ara dan Rizzar pun ikut tertawa
melihat Viko, flashback Viko itu membuat mereka seolah ada di masa itu lagi,
merasakan senyum dan tawa yang lepas diantara mereka itu lagi. Baik Rizzar
maupun Ara, keduanya sama-sama merindukan masa-masa itu, masa dimana mereka tak
terbebani untuk berbagi senyum dan tawa. Dan malam itu, entah kenapa flash back
Viko itu perlahan berhasil mengembalikan senyum dan tawa lepas mereka. Mereka
bertiga pun merajut tawa demi tawa bersama dengan celetukan-celetukan yang sengaja Viko rangkai buat Rizzar dan Ara.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam ketika
Rizzar, Ara, dan Viko berada di parkiran hendak pulang.
“Ra, aku antar kamu pulang ya, soalnya
sudah malam banget,” ujar Viko sambil tersenyum sambil mengedipkan matanya
tidak jelas kepada Ara. Ara tersenyum lebar sambil balas tersipu malu dengan
akting ngegombal yang dilakukan Viko dihadapan Rizzar itu.
“Udahan ah akting ngegombalnya Vik,
malu tuh dilihat Rizzar,” ujar Ara sambil tersenyum kemudian disambut Viko dengan senyuman yang lebih lebar.
“Perasaan aku sudah melakukannya dari hati deh, Riz, emang terlihat ngengombal,
ya Riz?” tanya Viko ke Rizzar yang masih berdiri di hadapan keduanya.
Rizzar hanya tersenyum di tempatnya,
meski melihat keduanya menghadirkan ketidaknyaman di salah satu hatinya, tapi
dia berusaha mengabaikannya. “Bukankah seharusnya aku bahagia melihat mereka?”batin Rizzar saat itu.
“Jujur, buat gue tingkah lo ke Ara tadi agak norak, Bro,” ucap Rizzar
pelan sambil tertawa kecil disambut Viko dengan meninju pelan bahu Rizzar
sambil tersenyum malu. Ara pun tak kuasa
menahan tawanya
saat
itu.
“Kalau kamu mengantar aku pulang,
terus nasib mobilmu gimana, Vik?” tanya Ara serius.
Lagi-lagi Viko tersenyum lebar. “Tenang,
Ra. Aku bisa pesan gojek buat nganter aku kesini lagi nanti, okeee”. Ara pun
tertawa kecil mendengarnya sambil menganggukkan kepalanya.
“Sampai jumpa besok, Riz..., hati-hati di
perjalanan pulang kamu,“ ujar Ara kemudian memandang kearah Rizzar sambil tersenyum lebar dibalas
Rizzar dengan senyuman yang awalnya canggung kemudian perlahan semakin lebar
sambil menganggukkan kepalanya.
Ara bergegas masuk ke dalam mobilnya
dan Viko hendak menyusulnya ketika Rizzar menahan langkahnya.
“Vik, lo serius kan dengan perasaan lo
ke Ara?” tanya Rizzar tiba-tiba. Rizzar terlihat serius
dengan senyum tertahan
menatap ke arah Viko.
“Emang masalah buat lo, Riz gue serius atau
nggak ke Ara?” jawab Viko balas bertanya sambil tersenyum lebar.
Rizzar terlihat canggung sejenak kemudian tertawa
kecil, “ Gue... gue...gue ga ada masalah dengan perasaan lo ke Ara, Bro.
Gue percaya lo orang baik. Begitu pun Ara juga orang baik. Gue harap lo ga
bakal nyakitin hati Ara yang baik itu dan gue yakin lo ga akan nyakitin dia”.
Viko balas tertawa kecil menatap
Rizzar sejenak, pertanyaan Rizzar yang tiba-tiba itu terasa aneh baginya. Meski
Rizzar menjaga jarak dengan Ara, tapi ada kepedulian disana, yang berusaha
Rizzar simpan rapi
meski kadang tetap terlihat.
Viko menepuk pelan bahu Rizzar, “Lo tenang aja, Bro, gue ga akan
menyakiti hati Ara yang baik itu. Lo juga jangan sakiti hati Ara, ya Riz...”.
Rizzar tertegun mendengar penghujung
kalimat Viko itu, “Apa maksud lo, Vik?”
Viko tersenyum lebar kearah Rizzar
yang terlihat serius itu, “Kan lo yang bilang gue ga boleh menyakiti hati Ara
karena Ara itu orang baik, berarti lo juga ga boleh menyakiti Ara bukan?”
Jawaban Viko itu pun membuat Rizzar pecah
dalam senyumannya. Rizzar merasa terlalu sensitif menanggapi ucapan Viko itu,
meski sebenarnya kalimat Viko itu memang mengena di hatinya. Apa yang
dilakukannya ke Ara akhir-akhir ini tentang menjaga jarak, mungkin saja
menyakiti hati Ara dan Rizzar menyadarinya meski berusaha tidak memikirkannya.
Sementara itu, Ara yang sudah duduk
manis di dalam mobilnya hanya tersenyum tipis melihat gerak gerik Rizzar dan
Viko tanpa bisa mendengar apa yang mereka yang bicarakan.
“Semoga kebohongan ini bisa membuat kita
berteman seperti dulu lagi, Riz. Aku benar-benar merasa bersalah melakukan hal
ini, Riz”.
Viko terlihat melambaikan tangannya ke Rizzar
dan bergegas masuk ke mobil Ara dan melajukan mobil itu menuju rumah Ara.
Sementara itu Rizzar pun bergegas pulang dengan mobilnya. Lagi-lagi ucapan Viko
itu terngiang di kepalanya, “Semoga aku bisa berteman dengan kamu lebih baik
lagi, Ra. Selama ini, salah satu alasanku berjarak dengan kamu karena aku takut
dari pertemanan kita yang nyaman itu, akan menghadirkan rasa yang berbeda,
terlebih dengan status kamu yang jomblo itu, Ra. Dan sekarang kamu punya Viko,...”.
Kalimat Rizzar itu terhenti, lagi-lagi ada yang
mengusik hatinya. Saat Ara menikmati kesendiriannya, Rizzar tidak bisa
berteman dengan Ara seperti biasa demi menjaga hati ceweknya. Namun, sekarang
saat Ara tak lagi sendiri dan jadian dengan seseorang, Rizzar bisa berteman
dengan Ara seperti biasa tapi entah mengapa Rizzar tak bisa mengusir perasaan
tidak nyaman yang selalu muncul di salah satu ruang hatinya.
Sementara itu, Ara dan Viko sedang
menikmati pemandangan sekitar di sepanjang jalan menuju rumah Ara.
“Vik, makasih banyak ya karena udah
membuat aku dan Rizzar bisa perlahan tersenyum lepas seperti dulu lagi. Yaaa..
meski jujur aku tetap merasa
bersalah ke Rizzar dengan kebohongan kita ini,” ujar Ara tersenyum lebar diantara lantunan musik dari salah
satu radio yang diputar di mobil Ara itu.
“Aku juga ga nyaman dengan kebohongan
ini, Ra... tapiiii sepertinya ini satu-satunya cara yang paling memungkinkan
agar kamu dan Rizzar bisa bercanda seperti dulu lagi. Ga usah terlalu
dipikirkan ya, Ra. Semoga apa yang kita lakukan ini bisa berujung kebaikan buat
kamu dan Rizzar,” jawab Viko sambil menoleh sejenak dan tersenyum lebar ke Ara.
Ara hanya tersenyum lebar, dalam
hatinya ia merasa ragu apakah mungkin segala sesuatu yang diawali dengan
kebohongan atau kepura-puraan akan berujung dengan kebaikan buat dia dan
Rizzar. Namun di lain sisi, Ara pun tak tahu apa yang harus ia lakukan agar
hubungan dia dan Rizzar bisa membaik dan mereka bisa tersenyum lepas seperti
sebelumnya.
“Sampai kapan kita bisa bertahan
dengan kebohongan ini, Vik? Serapi apapun kebohongan, dia pasti akan terbongkar
juga,” lanjut Ara lagi.
Viko tertawa kecil, “Yups, kamu benar.
Aku juga ga tau sampai kapan kebohongan ini bertahan, tapi semoga cukup sampai
membuat Rizzar bisa berteman seperti biasa dengan kamu seperti dulu, setidaknya
sampai Rizzar sadar dan tidak lagi menjadikan status jomblo kamu sebagai alasan
untuk menjauhi kamu lagi”.
Ara lagi-lagi tersenyum menganggukkan
kepalanya. Empat puluh menit berlalu sejak mereka berangkat dari parkiran cafe
tempat mereka makan malam tadi, akhirnya mereka pun tiba di depan rumah Ara.
Viko bergegas memesan gojek untuk kembali ke kafe tadi dan mengambil mobilnya.
Ara sengaja menemani Viko sampai gojek
pesanan Viko datang. “Oh iya Ra, besok sehabis syuting, kamu mau nggak ketemuan
sama cewek aku di cafe tadi lagi, kebetulan cafe itu salah satu cafe favorit
kita berdua, he he”.
“Oh ya??? Aku dengan senang hati
menerima undangan kamu buat ketemu cewek kamu. Vik. Tapiii, yakin ga masalah
kita ketemuan di kafe tadi, aku takut bagaimana kalau ternyata ketahuan
Rizzar?” ujar Ara menoleh kearah Viko.
“Kamu tenang aja, Ra. Aku tadi sempat
ngobrol sama Rizzar besok kayaknya dia sampai sore aja di lokasi syuting kita,
dia ada urusan, dipanggil buat project film barunya sepertinya, Ra,” jawab Viko
tersenyum lebar.
Ara menganggukkan kepalanya pelan
kemudian balas tersenyum lebar.
“Nah abang gojek aku udah datang
sepertinya, Ra. Aku pulang dulu, ya. Selamat istirahat ya dan jangan lupa tetap
berdoa semoga pertemanan kamu dan Rizzar bisa kembali normal seperti dulu ya,
he he. Sampai jumpa besok,” lanjut Viko sambil tertawa. Ara pun ikut tertawa
mendengarnya. “aamiin aamiin aamiin, makasih banyak buat semuanya, ya Vik . Kamu hati-hati juga di perjalanan, sampai
jumpa besok”.
Setelah bertukar salam, keduanya pun
berpisah malam itu.
Keesokan harinya, Rizzar, Ara, dan
Viko sudah tiba di lokasi syuting lebih pagi dari biasanya. Sesuai jadwal,
syuting hari itu dijadwalkan sampai sore saja. Viko kembali dengan rencananya
membantu Ara, dia sengaja membuat pancingan-pancingan buat Rizzar dan Ara agar
mereka bisa bercanda lepas lagi. Dan cukup berhasil, Rizzar yang awalnya
canggung pun dipaksa Viko untuk melupakan jaimnya itu dan bergabung dengan Ara
dan dirinya, larut dalam
candaan-candaan yang sedikit usil.
Syuting hari itu berjalan dengan penuh
keceriaan terlebih diantara ketiganya. Syuting berjalan lancar, bahkan cuaca pun
mendukung, menyertai canda tawa diantara ketiganya. Tak terasa waktu
menunjukkan pukul 16.50 ketika Rizzar bergegas hendak sholat Ashar dan
berpapasan dengan Viko.
“Bro, thank you
buat hari ini. Gue seneng banget kita bisa bercanda lepas seperti dulu. Gue ga
pernah ragu sama lo dan Ara, kalian berdua itu emang orangnya asyik banget, ha
ha,” ujar Viko sambil menepuk lengan Rizzar. Rizzar pun balas tertawa lebar, “Gue kali yang
harusnya terima kasih ke lo, Bro. Lo itu otaknya yang bikin kita bertiga jadi
asyik menikmati hari ini dengan candaan lepas kita. Hmmmm, sepertinya jadian
sama Ara bikin lo makin hidup, Bro”. Rizzar terdiam sejenak memandangi Viko
yang pecah dalam tawanya, lagi-lagi ada rasa tidak nyaman di hati Rizzar saat dia memaksakan kalimat itu
keluar dari mulutnya, “What’s wrong with me? (ind: Apa yang salah dengan diriku?)” ucap Rizzar di dalam hati.
“Ya udah kalo gitu gue pergi dulu ya. Ara udah
nungguin gue soalnya, he he. Have a great day, Riz (ind: Semoga hari lo menyenangkan)...,” sambung Viko,
menyadarkan Rizzar. Rizzar balas tersenyum ke Viko. “Have a great day for you
too, Vik. Enjoy your time (ind: Semoga hari lo menyenangkan juga, Vik. Nikmati waktu lo)...,” kalimat Rizzar pun terhenti menggantung, entah
kenapa untuk sejenak hatinya berperang dengan otaknya untuk menyelesaikan
kalimat itu, “with Ara (ind: dengan Ara)...”. Akhirnya susah payah kalimat itu pun berhasil
diucapkan Rizzar sambil tersenyum lebih lebar ke Viko yang balas menganggukkan
kepalanya dan tertawa kecil kemudian bergegas meninggalkannya
Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul
17.00 ketika Viko bergegas menghampirinya.
“Hi, a good girl, how about your
feeling today? Happy or (ind: Hai, perempuan baik, bagaimana perasaan kamu hari ini? Bahagia atau)...,” tanya Viko sambil menggoda Ara sambil tertawa.
Ara menoleh kearah Viko sambil
tersenyum lebar. “Hari ini aku merasa seneenggggggg banget. Melihat Rizzar
beberapa kali tertawa dan bercanda lepas hari ini, benar-benar membuat aku
merasa....,” kalimat Ara terhenti sejenak, ia terlihat sedang memikirkan apa
kata yang mewakili perasaannya saat itu, “aku... merasa... lega dan bahagia.
Terima kasih ya Vik, untuk semua bantuan kamu”. Viko menganggukkan kepalanya
pelan, masih tetap dengan tawanya yang lepas itu. “Aku benar-benar lega
mendengar kesan yang sama dari kamu dan Rizzar. Setidaknya aku merasa
kebohongan kita ini tidak sia-sia, Ra. Aku bisa melihat kalian merasa bahagia
lebih lepas dari hari-hari sebelumnya.
Kalian mulai kembali ke jalur yang benar”.
Ara tersenyum sembari mengangguk
pelan. Di dalam hatinya, ada resah yang menghinggapinya, seolah bahagia yang
dirasakannya sangat banyak hari ini hanya fatamorgana sebelum dirinya kembali
menyadari bahwa Rizzar dan dirinya ternyata masih berada di tempat yang sama,
tempat yang berjarak buat mereka. “Semoga saja tidak, aamiin,” ucap Ara lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar